Disusun oleh :
Zahira Rikiandraswida
22010117220054
Pembimbing :
dr. Tatuk Himawan
2017
HALAMAN PENGESAHAN
NIM : 22010116220214
Pembimbing
PENDAHULUAN
Anestesia merupakan tindakan yang dilakukan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian anestesi dengan tujuan untuk
menghilangkan nyeri saat pembedahan. Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua
kelompok yaitu anestesi umum dan anestesi lokal. Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar
tanpa nyeri yang reversible akibat pemberian obat-obatan, serta menghilangkan rasa sakit
seluruh tubuh secara sentral. Perbedaan dengan anestesi lokal adalah anestesi pada sebagian
Perhatian utama pada anestesi umum adalah keamanan dan keselamatan pasien. Salah satu
dilakukan. Stabilitas hemodinamik merupakan indikator penting dari suatu tindakan anestesi
yang ideal dan berpengaruh terhadap rencana pengelolaan anestesi. Penggunaan obat untuk
induksi anestesi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi stabilitas hemodinamik.
Zat anestetik sebagian besar bekerja dengan menekan aktivitas simpatis sehingga kontraksi
jantung menurun, terjadi vasodilatasi perifer dan. Efek anestesi ini bisa berlanjut menjadi
komplikasi yang tidak diinginkan. Komplikasi anestesi pada kardiovaskuler dapat berupa
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
Surgery (FESS) adalah teknik operasi invasif minimal yang dilakukan pada sinus paranasal
sinus. Prinsipnya ialah membuka dan membersihkan daerah kompleks osteomeatal yang
menjadi sumber penyumbatan dan infeksi sehingga ventilasi dan drenase sinus dapat lancar
kembali melalui ostium alami. Tindakan ini hampir menggantikan semua jenis bedah sinus
terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan
tidak radikal
2.1.2 Indikasi
inflamasi dan infeksi di sinus. Walaupun BSEF secara mayoritas dilakukan untuk mengatasi
masalah rinosinusitis kronik yang tidak mengalami perbaikan setelah diberi terapi obat yang
optimal, tetapi bedah ini juga efektif pada penyakit yang lain seperti sinusitis akut berulang,
seringkali disertai adanya poliposis di daerah meatus media atau adanya polip yang sudah
Indikasi lain BSEF termasuk mukokel sinus, sinusitis alergi yang berkomplikasi atau
sinusitis jamur yang invasif dan neoplasia. BSEF juga dilakukan untuk mengangkat tumor
hidung dan sinus paranasal, menambal kebocoran cairan serebrospinal, tumor hipofisa,
dekompresi orbita, kelainan kongenital (atresia koana), mengontrol epitaksis dan untuk
mengeluarkan benda asing. Selain itu, BSEF juga dilakukan untuk mengangkat tumor
pituitari karena berkembangnya teknik dan penggunaan instrumen yang lebih canggih.
Adakalanya, bedah ini juga dilakukan pada angiofibroma nasofaring yang juvenil.
Secara umum, indikasi untuk BSEF dibahgikan kepada dua yaitu absolut dan relatif.
Absolut berarti operasi BSEF pasti dilakukan pada penderita manakala relatif berarti bahwa
ahli bedah dan penderita harus mempertimbangkan potensi resiko dan keuntungannya, tetapi
operasi BSEF dapat dianggap sebagai pilihan kepada penderita setelah melakukan anamnesis
Naso-endoskopi prabedah
Pada pemeriksaan ini operator dapat menilai kelainan rongga hidung, anatomi dan
variasi dinding lateral misalnya meatus media sempit karena deviasi septum, konka
media bulosa, polip meatus media, dan lainnya. Sehingga operator bisa memprediksi
dan mengantisipasi kesulitan dan kemungkinan timbulnya komplikasi saat operasi.
2.2.1 Definisi
Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut juga dengan nama narkose
umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran yang bersifat reversibel (Miharja, 2009). Anestesi umum biasanya dimanfaatkan
untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan
lebih panjang, misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah
kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. Maka, selama penggunaan
anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk meminimalisasi
Anesthesiologists) membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien pra anestesi yang
membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut: ASA 1, yaitu pasien
dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi. ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan
sistemik ringan sampai sedang baik karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya.
Contohnya pasien batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis
akut dengan lekositosis dan febris. ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit
sistemik berat yang diaktibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis
perforasi dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia miokardium. ASA 4,
yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam kehiduannya.
ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak.
Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis krani dan syok hemoragik karena ruptura
hepatik. Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan
Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I (stadium induksi atau eksitasi
volunter), dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan hilangnya kesadaran.
Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi
dan defekasi. Stadium II (stadium eksitasi involunter), dimulai dari hilangnya kesadaran
sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang
tidak menurut kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah, midriasis,
hipertensi, dan takikardia. Stadium III (pembedahan/operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu;
Plane I yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota gerak. Tipe
pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal masih ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra,
konjuctiva dan kornea terdepresi. Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan
bola mata ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane III,
ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke tengah dan otot perut
otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata menunjukkan gambaran seperti mata
Sifat anestesi umum yang ideal adalah: (1) bekerja cepat, induksi dan pemilihan baik,
(2) cepat mencapai anestesi yang dalam, (3) batas keamanan lebar; (4) tidak bersifat toksis.
Untuk anestesi yang dalam diperlukan obat yang secara langsung mencapai kadar yang tinggi
di SSP (obat intravena) atau tekanan parsial yang tinggi di SSP (obat ihalasi). Kecepatan
induksi dan pemulihan bergantung pada kadar dan cepatnya perubahan kadar obat anastesi
dalam SSP.
2.2.3 Teknik Anestesi Intravena
menggunakan obat-obat anastesi yang dimasukkan lewat jalur intravena. TIVA digunakan
untuk ketiga trias anastesi yaitu hipnotik, analgetik, dan relaksasi otot..Kebanyakan obat-obat
anastesi intravena hanya mencakup 2 komponen anastesi, akan tetapi ketamin mempunyai
ketiga trias anastesi sehingga ketamin dianggap juga sebagai agent anastesi yang lengkap.
Kelebihan TIVA
Dapat dikombinasikan atau terpisah dan dapat dititrasi dalam dosis yang lebih akurat
dalam pemakaiannya.
Mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat-alat serta mesin anestesi khusus.
GOLONGAN BARBITURAT
Obat ini tersedia dalam bentuk serbuk higroskopis, bersifat basa, berbau belerang, larut dalam
air dan alcohol.Penggunaannya sebagai obat induksi, suplementasi dari anastesi regional,
Dosis : Induksi iv : 305 mg/Kg BB, anak 5-6 mg/Kg BB, bayi 7-8 mg/kg BB
Vasodilatasi perifer
Pemulihan kesadaran pada orang tua lebih lama dibandingkan pada dewasa muda
Kontraindikasi :
Pericarditis constriktiva
Syok
GOLONGAN BENZODIAZEPIN
Obat ini dapat dipakai sebagai trasqualiser, hipnotik, maupun sedative.Selain itu obat ini
a. Obat induksi
d. Antikonvulsi
g. Untuk premedikasi
Diazepam
Karena tidak larut air, maka obat ini dilarutkan dalam pelarut organic (propilen glikol dan
sodium benzoate).Karena itu obat ini bersifat asam dan menimbulkan rasa sakit ketika
disuntikan, trombhosis, phlebitis apabila disuntikan pada vena kecil.Obat ini dimetabolisme
Obat ini dapat menurunkan tekanan darah arteri.Karena itu, obat ini digunakan untuk induksi
Diazepam biasanya digunakan sebagai obat premedikasi, amnesia, sedative, obat induksi,
relaksan otot rangka, antikonvulsan, pengobatan penarikan alcohol akut dan serangan panik.
Awitan aksi : iv< 2 menit, rectal < 10 menit, oral 15 menit-1 jam
kebingungan, depresi, Inkontinensia, Ruam kulit, DVT, phlebitis pada tempat suntikan
Midazolam
Obat ini mempunyai efek ansiolitik, sedative, anti konvulsif, dan anteretrogad amnesia.
Durasi kerjanya lebih pendek dan kekuatannya 1,5-3x diazepam. Obat ini menembus
plasenta, akan tetapi tidak didapatkan nilai APGAR kurang dari 7 pada neonatus.
Dosis :
PROPOFOL
Merupakan cairan emulsi isotonic yang berwarna putih. Emulsi ini terdiri dari gliserol,
phospatid dari telur, sodium hidroksida, minyak kedelai dan air. Obat ini sangat larut dalam
lemak sehingga dapat dengan mudah menembus blood brain barier dan didistribusikan di
Penggunaanya untuk obat induksi, pemeliharaan anastesi, pengobatan mual muntah dari
kemoterapi
Dosis :
Antiemetic : iv 10 mg
Pada ibu hamil, propofol dapat menembus plasenta dan menyebabakan depresi janin. Pada
sistem kardiovaskuler, obat ini dapat menurunkan tekanan darah dan sedikit menurunkan
nadi. Obat ini tidak memiliki efek vagolitik, sehingga pemberiannya bisa menyebabkan
asystole. Oleh karena itu, sebelum diberikan propofol seharusnya pasien diberikan obat-
obatan antikolinergik. Pada pasien epilepsi, obat ini dapat menyebabkan kejang.
KETAMIN
Obat ini mempunyai efek trias anastesi sekaligus. Pemberiannya menyebabkan pasien
mengalami katalepsi, analgesic kuat, dan amnesia, akan tetapi efek sedasinya ringan.
Dosis
Sedasi dan analgesia : iv 0,5-1 mg/kg BB, im/rectal 2,5-5 mg/kg BB, Po 5-6
mg/kg BB
Ketamin meningkatkan aliran darah ke otak, kerana itu pemberian ketamin berbahaya bagi
meningkatkan tekanan darah, laju jantung dan curah jantung.Dosis tinggi menyebabkan
depresi napas.
jantung, Unstable angina, Infark miokard, Aneurisma intracranial, thoraks dan abdomen TIK
OPIOID
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan dalam dosis
berjaitan dengan iskemia miokard, dan dipsnea yang berkaitan dengan kegagalan
Dosis Analgesic : iv 2,5-15 mg, im 2,5-20 mg, Po 10-30 mg, rectal 10-20 mg setiap 4
jam
Induksi : iv 1 mg/kg
b) Petidin
Penggunaannya untuk nyeri sedang sampai berat, sebagai suplemen sedasi sebelum
pembedahan, nyeri pada infark miokardium walaupun tidak seefektif morfin sulfat,
untuk menghilangkan ansietas pada pasien dengan dispnea karena acute pulmonary
Dosis
Oral/ IM,/SK : Dewasa : Dosis lazim 50–150 mg setiap 3-4 jam jika perlu
Injeksi intravena lambat : dewasa 15–35 mg/jam.
Kontraindikasi
Sistem saraf : sakit kepala, gangguan penglihatan, vertigo, depresi, rasa mengantuk,
Hati-hati pada pasien dengan disfungsi hati & ginjal krn akan memperlama kerja &
efek kumulasi opiod, pasien usia lanjut, pada depresi sistem saraf pusat yg parah,
Efek samping obat : Bradikardi, hipotensi, Depresi saluran pernapasan, apnea Pusing,
LAPORAN KASUS
Nama : Tn. E
Umur : 55 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Semarang
Pekerjaan : Wiraswasta
Ruang : Rajawali 1B
Tanggal masuk : 20 Maret 2018
3.2 ANAMNESIS
D. Riwayat Pengobatan
-
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat tekanan darah tinggi disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat penyakit kencing manis disangkal
COR
PULMO
- Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris, retraksi dinding dada (+)
- Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri sama
- Perkusi : Sonor kedua lapangan paru
- Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+)
ABDOMEN
Hasil Nilai
Pemeriksaan Satuan
(01/09/2016) Rujukan
Hematologi Paket
Hemoglobin 15.2 g/dL 13.00-16.00
Hematokrit 42.9 % 40-54
Eritrosit 5.14 106/uL 4,4-5,9
MCH 29.6 pg 27.00-32.00
MCV 83.5 fL 76-96
MCHC 35.4 g/dL 29.00-36.00
Leukosit 7.4 103/uL 3.8-10.6
Nasoendoskopi dan MSCT sinus paranasal dengan kontras : Konkha hipertrofi, septum
deviasi, rhinosinusitis kronik.
O: -
Ip Rx :
- Antibiotik
- Antiinflmasi topikal
- Analgetik
- Rujuk sejawat THT
Ip Mx :
Ip Ex :
Penatalaksanaan
1. Premedikasi
- Obat : Midazolam 3 mg iv
- Oksigenasi : 6 L/menit selama 2 menit
2. Anestesi general secara intravena intermitten menggunakan :
- Propofol 1000 mg
- Rocuronium 30 mg
- Fentanil 100 mg
- Tramadol 100mg
Maintenance : Sevoflurane, O2 , N2O
Posisi pasien : Terlentang
Mulai anestesi : 20.30 WIB
Selesai anestesi : 23.00 WIB
Lama anestesi : 150 menit
3. Teknik Anestesi
- I.V : Intermiten
BB : 48 kg
EBV : 65 cc/kgBB × 48 kg = 3120 cc
Jumlah perdarahan : 200 cc
Kebutuhan cairan :
Tabel 1. Hasil Pemantauan Heart Rate, Tekanan Darah, dan Saturasi Oksigen
Selama Operasi
Pemakaan obat/bahan/alat
1. Pemakaian obat suntik
Propofol
Rocuronium
Fentanil
Tramadol
2. Pemakaian obat inhalasi
Sevofrunil, O2 , N2O
4. Alat/lain-lain : Ringer
Spuit 3 Laktat
cc 3 botol 3
Spuit 5 cc 2
Spuit 10 cc 1
Nasal kanul 1
Elektroda EKG 3
Suction catheter 14 1
Perintah di Ruangan
PEMBAHASAN
Kasus ini menyajikan seorang pria 55 tahun dengan keluhan hidung tersumbat selama 4
Dari anamnesis didapatkan keluhan hidung tersumbat hilang timbul sejak 4 bulan yang
lalu. Keluhan dirasakan semakin memberat. Pasien juga mengeluhkan nyeri wajah sekitar
hidung. Nyeri dirasakan seperti mencengkram, disertai pilek dengan warna kekuningan
kental, mata berarir, dan tidak bisa menerima bau. Pasien juga merasakan sakit kepala. Pasien
tidak demam
composmentis dengan GCS 15. TD: 120/80 mmHg, MAP: 83 mmHg, HR: 80x/menit, RR:
20x/menit, SpO2: 95%. Pada pemeriksaan mata dan kepala didapatkan hasil dalam batas
normal. Pada pemeriksaan hidung didapatkan nyeri tekan sekitar hidung (+), discharge (+/+),
Pada pemeriksaan fisik cor, pulmo, abdomen, dan ekstremitas atas bawah dalam batas
normal.
Dilakukan pemeriksaan penunjang darah rutin, kimia klinik, elektrolit, dan koagulasi
didapatkan hasil yang normal. Pada pemeriksaan nasoendoskopi dan MSCT sinus paranasal
dengan kontras didapatkan septum deviasi, konkha hipertrofi, dan gambaran rhinosinusitis.
pasien mengalami rhinosinusitis kronik dengan septum deviasi dan konkha hipertrofi
Penatalaksanaan pasien ini pada tingkat layanan primer yaitu pemberian antibiotik,
anlagetik, antiinflmasi topikal, serta perujukan ke dokter spesialis THT. Pada dokter THT
dilakukan FESS (Functional Endoscopic Sinus Surgery) untuk dilakukannya septum recovery
dan konkhoplasty dengan menggunakan anestesi umum. Anestesi umum dipilih sebagai
teknik anestesi yang dipakai pada kasus ini karena merupakan teknik anestesi yang paling
Premedikasi pada pasien diberikan midazolam 20 mg agar pasien tidak cemas saat akan
dilakukan prosedur operasi. Selain itu juga memberikan efek amnesia anterograd selama
operasi berlangsung.
Obat anestesi yang diberikan meliputi obat inhalasi: 1. Sevoflurane, 2. N2O, 3. O2; Obat
cairan disesuaikan berdasarkan kebutuhan cairan dan kehilangan cairan pada waktu puasa,
pembedahan, dan perdarahan. Proses pembedahan pada kasus ini tergolong derajat operasi
sedang. Jumlah cairan yang diberikan pada s a a t operasi yang berlangsung selama kurang
lebih 150 menit sebesar 2320 cc dengan jumlah perdarahan 200 cc (6,41% dari EBV).
Setelah anestesi selesai dan keadaan umum serta tanda vital baik, pasien
yaitu tekanan darah, heart rate, respiratory rate, dan saturasi oksigen. Kemudian dilakukan
penilaian Bromage score yaitu salah satu indikator respon motorik pasca anestesi. Jika skor
kurang dari sama dengan 2 pasien boleh keluar dari ruang pemulihan dan pindah ke ruang
rawat inap
DAFTAR PUSTAKA
Brockwell, RC, Andrew JJ : Inhaled Anestethic Delivery Systems dalam Miller RD:
Miller’s Anesthesia, 6th ed. Philadelphia, Elsevier Churchill Livingstone, 2005, p 273-311
Oridin FK : Anesthetic System dalam Miller RD: Anesthetic, New York, Churchill
Livingstone, 1981, p 117-152
Howley JE, Roth PA: Anesthetia Delivery Systems dalam Stoelting RK, Miller RD :
basic of anesthesia, 5th ed. Philadelphia, Churchill Livingstone , 2007, p 185-206