Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS BESAR ANESTESI

PRIA 55 TAHUN DENGAN RHINOSINUSITIS KRONIK, SEPTUM


DEVIASI, DAN HIPERTROFI KONKHA MENJALANI TINDAKAN
BEDAH SINUS ENDOSKOPI FUNGSIONAL DENGAN GENERAL
ANESTESI

Diajukan untuk melengkapi syarat kepaniteraan klinik senior di bagian Anestesiologi


Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh :
Zahira Rikiandraswida
22010117220054

Pembimbing :
dr. Tatuk Himawan

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU ANESTESIOLOGI FAKULTAS


KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

2017
HALAMAN PENGESAHAN

Nama Mahasiswa : Zahira Rikiandraswida

NIM : 22010116220214

Bagian : Anestesiologi RSDK / FK UNDIP

Judul Kasus : Pria 55 Tahun dengan Rhinosinusitis Kronik, Septum


Deviasi, dan Hipertrofi Konkha Menjalani Tindakan
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional dengan General
Anestesi

Pembimbing : dr. Tatuk Himawan

Semarang, 23 Maret 2018

Pembimbing

dr. Tatuk Himawan


BAB I

PENDAHULUAN

Anestesia merupakan tindakan yang dilakukan untuk membuat pasien dari sadar menjadi

tidak sadar yang bersifat sementara, karena pemberian anestesi dengan tujuan untuk

menghilangkan nyeri saat pembedahan. Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua

kelompok yaitu anestesi umum dan anestesi lokal. Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar

tanpa nyeri yang reversible akibat pemberian obat-obatan, serta menghilangkan rasa sakit

seluruh tubuh secara sentral. Perbedaan dengan anestesi lokal adalah anestesi pada sebagian

tubuh, keadaan bebas nyeri tanpa kehilangan kesadaran

Perhatian utama pada anestesi umum adalah keamanan dan keselamatan pasien. Salah satu

faktor penentunya adalah kestabilan hemodinamik selama tindakan induksi anestesi

dilakukan. Stabilitas hemodinamik merupakan indikator penting dari suatu tindakan anestesi

yang ideal dan berpengaruh terhadap rencana pengelolaan anestesi. Penggunaan obat untuk

induksi anestesi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi stabilitas hemodinamik.

Zat anestetik sebagian besar bekerja dengan menekan aktivitas simpatis sehingga kontraksi

jantung menurun, terjadi vasodilatasi perifer dan. Efek anestesi ini bisa berlanjut menjadi

komplikasi yang tidak diinginkan. Komplikasi anestesi pada kardiovaskuler dapat berupa

hipertensi, hipotensi, disritmia, PONV (Post Operative Nausea and Vomiting).


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bedah Sinus Endoskopik Fungsional

2.1.1 Definisi

Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic Sinus

Surgery (FESS) adalah teknik operasi invasif minimal yang dilakukan pada sinus paranasal

dengan menggunakan endoskop yang bertujuan memulihkan “mucociliary clearance” dalam

sinus. Prinsipnya ialah membuka dan membersihkan daerah kompleks osteomeatal yang

menjadi sumber penyumbatan dan infeksi sehingga ventilasi dan drenase sinus dapat lancar

kembali melalui ostium alami. Tindakan ini hampir menggantikan semua jenis bedah sinus

terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan

tidak radikal

2.1.2 Indikasi

Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) umumnya dilakukan untuk penyakit

inflamasi dan infeksi di sinus. Walaupun BSEF secara mayoritas dilakukan untuk mengatasi

masalah rinosinusitis kronik yang tidak mengalami perbaikan setelah diberi terapi obat yang

optimal, tetapi bedah ini juga efektif pada penyakit yang lain seperti sinusitis akut berulang,

seringkali disertai adanya poliposis di daerah meatus media atau adanya polip yang sudah

meluas ke rongga hidung.

Indikasi lain BSEF termasuk mukokel sinus, sinusitis alergi yang berkomplikasi atau

sinusitis jamur yang invasif dan neoplasia. BSEF juga dilakukan untuk mengangkat tumor

hidung dan sinus paranasal, menambal kebocoran cairan serebrospinal, tumor hipofisa,

dekompresi orbita, kelainan kongenital (atresia koana), mengontrol epitaksis dan untuk
mengeluarkan benda asing. Selain itu, BSEF juga dilakukan untuk mengangkat tumor

pituitari karena berkembangnya teknik dan penggunaan instrumen yang lebih canggih.

Adakalanya, bedah ini juga dilakukan pada angiofibroma nasofaring yang juvenil.

Secara umum, indikasi untuk BSEF dibahgikan kepada dua yaitu absolut dan relatif.

Absolut berarti operasi BSEF pasti dilakukan pada penderita manakala relatif berarti bahwa

ahli bedah dan penderita harus mempertimbangkan potensi resiko dan keuntungannya, tetapi

operasi BSEF dapat dianggap sebagai pilihan kepada penderita setelah melakukan anamnesis

dan pemeriksaan fisik.

Tabel 2.1 dapat menggambarkan pembahgian indikasi Bedah Sinus Endoskopik


Fungsional (BSEF ) dengan lebih jelas.
2.1.3 Kontraindikasi
 Osteitis atau osteomielitis tulang frontal yang disertai pembentukan sekuester.
 Pasca operasi radikal dengan rongga sinus yang mengecil (hipoplasi).
 Penderita yang disertai hipertensi maligna, diabetes mellitus, kelainan
hemostasis yang tidak terkontrol.

2.1.4 Persiapan Praoperasi


CT Scan
Gambar CT Scan penting sebagai pemetaan yang akurat untuk panduan operator saat
melakukan operasi. Berdasarkan gambar CT scan tersebut, operator dapat mengetahui
daerah-daerah rawan tembus dan dapat menghindari daerah tersebut atau bekerja hati-
hati sehingga tidak terjadi komplikasi operasi.

Naso-endoskopi prabedah
Pada pemeriksaan ini operator dapat menilai kelainan rongga hidung, anatomi dan
variasi dinding lateral misalnya meatus media sempit karena deviasi septum, konka
media bulosa, polip meatus media, dan lainnya. Sehingga operator bisa memprediksi
dan mengantisipasi kesulitan dan kemungkinan timbulnya komplikasi saat operasi.

Persiapan kondisi pasien.


Pra-operasi kondisi pasien perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Jika ada
inflamasi atau edema, harus dihilangkan dahulu, demikian pula jika ada polip,
sebaiknya diterapi dengan steroid dahulu (polipektomi medikamentosa). Kondisi
pasien yang hipertensi, memakai obat-obat antikoagulansia juga harus diperhatikan.
Sebelum dilakukan operasi, pasien dapat diberi anaestesi umum ataupun lokal yaitu
injeksi anestasi lokal yaitu lidocaine 1% dan epinefrin dengan perbandingan 1:100
000. Ini dapat menstabilkan tekanan darah pasien dan meminimalkan pendarahan
ketika operasi.

Persiapan Instrumen Bedah


2.2 Anestesi Umum

2.2.1 Definisi

Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut juga dengan nama narkose

umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya

kesadaran yang bersifat reversibel (Miharja, 2009). Anestesi umum biasanya dimanfaatkan

untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan

lebih panjang, misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah

rekonstruksi tulang, dan lain-lain.

Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan

kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. Maka, selama penggunaan

anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk meminimalisasi

kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama operasi dilakukan

Untuk menentukan prognosis (Dachlan. 1989) ASA (American Society of

Anesthesiologists) membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien pra anestesi yang

membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut: ASA 1, yaitu pasien

dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi. ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan

sistemik ringan sampai sedang baik karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya.

Contohnya pasien batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis

akut dengan lekositosis dan febris. ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit

sistemik berat yang diaktibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis

perforasi dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia miokardium. ASA 4,

yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam kehiduannya.

ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak.

Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis krani dan syok hemoragik karena ruptura
hepatik. Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan

tanda darurat (E = emergency), misalnya ASA 1 E atau III E.

Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I (stadium induksi atau eksitasi

volunter), dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan hilangnya kesadaran.

Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi

dan defekasi. Stadium II (stadium eksitasi involunter), dimulai dari hilangnya kesadaran

sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang

tidak menurut kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah, midriasis,

hipertensi, dan takikardia. Stadium III (pembedahan/operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu;

Plane I yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota gerak. Tipe

pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal masih ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra,

konjuctiva dan kornea terdepresi. Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan

bola mata ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane III,

ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke tengah dan otot perut

relaksasi. Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis),ditandai dengan paralisis

otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata menunjukkan gambaran seperti mata

ikan karena terhentinya sekresi lakrimal

2.2.2 Sifat-Sifat Anestesi Umum yang Ideal

Sifat anestesi umum yang ideal adalah: (1) bekerja cepat, induksi dan pemilihan baik,

(2) cepat mencapai anestesi yang dalam, (3) batas keamanan lebar; (4) tidak bersifat toksis.

Untuk anestesi yang dalam diperlukan obat yang secara langsung mencapai kadar yang tinggi

di SSP (obat intravena) atau tekanan parsial yang tinggi di SSP (obat ihalasi). Kecepatan

induksi dan pemulihan bergantung pada kadar dan cepatnya perubahan kadar obat anastesi

dalam SSP.
2.2.3 Teknik Anestesi Intravena

Anestesi intravena (TIVA) merupakan teknik anastesi umum dengan hanya

menggunakan obat-obat anastesi yang dimasukkan lewat jalur intravena. TIVA digunakan

untuk ketiga trias anastesi yaitu hipnotik, analgetik, dan relaksasi otot..Kebanyakan obat-obat

anastesi intravena hanya mencakup 2 komponen anastesi, akan tetapi ketamin mempunyai

ketiga trias anastesi sehingga ketamin dianggap juga sebagai agent anastesi yang lengkap.

Kelebihan TIVA

 Dapat dikombinasikan atau terpisah dan dapat dititrasi dalam dosis yang lebih akurat

dalam pemakaiannya.

 Tidak mengganggu jalan nafas pada pasien

 Mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat-alat serta mesin anestesi khusus.

Indikasi Pemberian TIVA

TIVA dalam prakteknya sehari-hari digunakan sebagai :

 Obat induksi anastesi umum

 Obat tunggal untuk anastesi pembedahan singkat

 Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat

 Obat tambahan anastesi regional

 Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP

Cara pemberian TIVA

 Suntikan tunggal, untuk operasi singkat Contoh : cabut gigi

 Suntikan berulang sesuai dengan kebutuhan Contoh : kuretase

 Diteteskan lewat infuse dengan tujuan menambah kekuatan anestesi


Jenis-jenis Anastesi Intravena

GOLONGAN BARBITURAT

Pentothal/ Thiopenthal Sodium/ Penthio Barbital/ Thiopenton

Obat ini tersedia dalam bentuk serbuk higroskopis, bersifat basa, berbau belerang, larut dalam

air dan alcohol.Penggunaannya sebagai obat induksi, suplementasi dari anastesi regional,

antikonvulsan, pengurangan dari peningkatan TIK, proteksi serebral. Metabolismenya di

hepar dan di ekskresi lewat ginjal.

Onset : 20-30 detik

Durasi : 20-30 menit

Dosis : Induksi iv : 305 mg/Kg BB, anak 5-6 mg/Kg BB, bayi 7-8 mg/kg BB

Suplementasi anastesi : iv 0,5-1 mg/kg BB

Induksi rectal : 25 mg/ kg BB

Antikonvulsan : iv 1-4 mg/kg BB

Efek samping obat:

 Depresi otot jantung

 Vasodilatasi perifer

 Turunnya curah jantung

 Sistem pernapasan, menyebabkan depresi saluran pernapasan konsentrasi otak

mencapai puncak apnea

 Dapat menembus barier plasenta dan sedikit terdapat dalam ASI

 Sedikit mengurangi aliran darah ke hepar

 Meningkatkan sekresi ADH (efek hilang setelah pemberian dihentikan)

 Pemulihan kesadaran pada orang tua lebih lama dibandingkan pada dewasa muda

 Menyebabkan mual, muntah, dan salivasi


 Menyebabkan trombophlebitis, nekrosis, dan gangrene

Kontraindikasi :

 Alergi barbiturate, Status ashmatikus, Porphyria

 Pericarditis constriktiva

 Tidak adanya vena yang digunakan untuk menyuntik

 Syok

 Anak usia < 4 th (depresi saluran pernapasan)

GOLONGAN BENZODIAZEPIN

Obat ini dapat dipakai sebagai trasqualiser, hipnotik, maupun sedative.Selain itu obat ini

mempunyai efek antikonvulsi dan efek amnesia.

Obat-obat pada golongan ini sering digunakan sebagai :

a. Obat induksi

b. Hipnotik pada balance anastesi

c. Untuk tindakan kardioversi

d. Antikonvulsi

e. Sebagai sedasi pada anastesi regional, local atau tindakan diagnostic

f. Mengurangi halusinasi pada pemakaian ketamin

g. Untuk premedikasi

Diazepam

Karena tidak larut air, maka obat ini dilarutkan dalam pelarut organic (propilen glikol dan

sodium benzoate).Karena itu obat ini bersifat asam dan menimbulkan rasa sakit ketika
disuntikan, trombhosis, phlebitis apabila disuntikan pada vena kecil.Obat ini dimetabolisme

di hepar dan diekskresikan melalui ginjal.

Obat ini dapat menurunkan tekanan darah arteri.Karena itu, obat ini digunakan untuk induksi

dan supplement pada pasien dengan gangguan jantung berat.

Diazepam biasanya digunakan sebagai obat premedikasi, amnesia, sedative, obat induksi,

relaksan otot rangka, antikonvulsan, pengobatan penarikan alcohol akut dan serangan panik.

Awitan aksi : iv< 2 menit, rectal < 10 menit, oral 15 menit-1 jam

Premedikasi : iv/im/po/rectal 2-10 mg

Sedasi : 0,04-0,2 mg/kg BB

Induksi : iv 0,3-0,6 mg/kg

Antikonvulsan : iv 0,05-0,2 mg/kg BB setiap 5-10 menit dosis maksimal 30 mg,

PO/rectal 2-10 mg 2-4 kali sehari

Efek samping obat :

Menyebabkan bradikardi dan hipotensi, Depresi pernapasan Mengantuk, ataksia,

kebingungan, depresi, Inkontinensia, Ruam kulit, DVT, phlebitis pada tempat suntikan

Midazolam

Obat ini mempunyai efek ansiolitik, sedative, anti konvulsif, dan anteretrogad amnesia.

Durasi kerjanya lebih pendek dan kekuatannya 1,5-3x diazepam. Obat ini menembus

plasenta, akan tetapi tidak didapatkan nilai APGAR kurang dari 7 pada neonatus.

Dosis :

Premedikasi : im 2,5-10 mg, Po 20-40 mg


Sedasi : iv 0,5-5 mg

Induksi : iv 50-350 µg/kg

Efek samping obat :

Takikardi, episode vasovagal, komplek ventrikuler premature, hipotensi Bronkospasme,

laringospasme, apnea, hipoventilasi, Euphoria, agitasi, hiperaktivitas Salvasi, muntah, rasa

asam, Ruam, pruritus, hangat atau dingin pada tempat suntikan

PROPOFOL

Merupakan cairan emulsi isotonic yang berwarna putih. Emulsi ini terdiri dari gliserol,

phospatid dari telur, sodium hidroksida, minyak kedelai dan air. Obat ini sangat larut dalam

lemak sehingga dapat dengan mudah menembus blood brain barier dan didistribusikan di

otak. Propofol dimetabolisme di hepar dan ekskresikan lewat ginjal.

Penggunaanya untuk obat induksi, pemeliharaan anastesi, pengobatan mual muntah dari

kemoterapi

Dosis :

Sedasi : bolus, iv, 5-50 mg

Induksi : iv 2-2,5 mg/kg

Pemeliharaan : bolus iv 25-50 mg, infuse 100-200 µg/kg/menit,

Antiemetic : iv 10 mg

Pada ibu hamil, propofol dapat menembus plasenta dan menyebabakan depresi janin. Pada

sistem kardiovaskuler, obat ini dapat menurunkan tekanan darah dan sedikit menurunkan

nadi. Obat ini tidak memiliki efek vagolitik, sehingga pemberiannya bisa menyebabkan
asystole. Oleh karena itu, sebelum diberikan propofol seharusnya pasien diberikan obat-

obatan antikolinergik. Pada pasien epilepsi, obat ini dapat menyebabkan kejang.

KETAMIN

Obat ini mempunyai efek trias anastesi sekaligus. Pemberiannya menyebabkan pasien

mengalami katalepsi, analgesic kuat, dan amnesia, akan tetapi efek sedasinya ringan.

Pemberian ketamin dapat menyebakan mimpi buruk.

Dosis

Sedasi dan analgesia : iv 0,5-1 mg/kg BB, im/rectal 2,5-5 mg/kg BB, Po 5-6

mg/kg BB

Induksi : iv 1-2,5 mg/kg BB, im/ rectal 5-10 mg/kg BB

Ketamin meningkatkan aliran darah ke otak, kerana itu pemberian ketamin berbahaya bagi

orang-orang dengan tekanan intracranial yang tinggi. Pada kardiovaskuler, ketamin

meningkatkan tekanan darah, laju jantung dan curah jantung.Dosis tinggi menyebabkan

depresi napas.

Kontraindikasi : Hipertensi tak terkontrol, Hipertroid, Eklampsia/ pre eklampsia Gagal

jantung, Unstable angina, Infark miokard, Aneurisma intracranial, thoraks dan abdomen TIK

tinggi, Perdarahan intraserebral, TIO tinggi, Trauma mata terbuk

OPIOID

Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan dalam dosis

tinggi.Opioid tidak mengganggu kardiovaskulet, sehingga banyak digunakan untuk induks

pada pasien jantung.


a) Morfin

Penggunaanya untuk premedikasi, analgesic, anastesi, pengobatan nyeri yang

berjaitan dengan iskemia miokard, dan dipsnea yang berkaitan dengan kegagalan

ventrikel kiri dan edema paru.

Dosis Analgesic : iv 2,5-15 mg, im 2,5-20 mg, Po 10-30 mg, rectal 10-20 mg setiap 4

jam

Induksi : iv 1 mg/kg

Awitan aksi : iv< 1 menit, im 1-5 menit

Lama aksi : 2-7 jam

Efek samping obat : Hipotensi, hipertensi, bradikardia, aritmia Bronkospasme,

laringospasme, Penglihatan kabur, sinkop, euphoria, disforia Retensi urin, spasme

ureter, Spasme traktus biliaris, konstipasi, anoreksia, mual, muntah, penundaan

pengosongan lambung, Miosis

b) Petidin

Penggunaannya untuk nyeri sedang sampai berat, sebagai suplemen sedasi sebelum

pembedahan, nyeri pada infark miokardium walaupun tidak seefektif morfin sulfat,

untuk menghilangkan ansietas pada pasien dengan dispnea karena acute pulmonary

edema dan acute left ventricular failure.

Dosis

Oral/ IM,/SK : Dewasa : Dosis lazim 50–150 mg setiap 3-4 jam jika perlu
Injeksi intravena lambat : dewasa 15–35 mg/jam.

Anak-anak oral/IM/SK : 1.1–1.8 mg/kg setiap 3–4 jam jika perlu.

Untuk sebelum pembedahan : dosis dewasa 50 – 100 mg IM/SK

Petidin dimetabolisme terutama di hati.

Kontraindikasi

Pasien yang menggunakan trisiklik antidepresan dan MAOi. 14 hari sebelumnya

(menyebabkan koma, depresi pernapasan yang parah, sianosis, hipotensi,

hipereksitabilitas, hipertensi, sakit kepala, kejang), Hipersensitivitas. Pasien dengan

gagal ginjal lanjut

Efek samping obat : Depresi pernapasan,

Sistem saraf : sakit kepala, gangguan penglihatan, vertigo, depresi, rasa mengantuk,

koma, eforia, disforia, lemah, agitasi, ketegangan, kejang,

Pencernaan : mual, muntah, konstipasi,

Kardiovaskular : aritmia, hipotensi postural,

Reproduksi, ekskresi &endokrin : retensi urin, oliguria.

Efek kolinergik : bradikardia, mulut kering, palpitasi, takikardia, tremor otot,

pergerakan yg tidak terkoordinasi, delirium atau disorintasi, halusinasi.

Lain-lain : berkeringat, muka merah, pruritus, urtikaria, ruam kulit

Hati-hati pada pasien dengan disfungsi hati & ginjal krn akan memperlama kerja &

efek kumulasi opiod, pasien usia lanjut, pada depresi sistem saraf pusat yg parah,

anoreksia, hiperkapnia, depresi pernapasan, aritmia, kejang, cedera kepala, tumor

otak, asma bronchial


c) Fentanil

Digunakan sebagai analgesic dan anastesia

Dosis : Analgesik : iv/im 25-100 µg Induksi : iv 5-40 µg/ kg BB

Suplemen anastesi : iv 2-20 µg/kg BB Anastetik tunggal : iv 50-150 µg/ kg BB

Awitan aksi : iv dalam 30 detik, im < 8 menit

Lama aksi : iv 30-60 menit, im 1-2 jam

Efek samping obat : Bradikardi, hipotensi, Depresi saluran pernapasan, apnea Pusing,

penglihatan kabur, kejang, Mual, muntah, pengosongan lambung terlambat Miosis


BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PENDERITA

Nama : Tn. E
Umur : 55 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Semarang
Pekerjaan : Wiraswasta
Ruang : Rajawali 1B
Tanggal masuk : 20 Maret 2018

3.2 ANAMNESIS

Autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 20 Maret 2018 di R. Rajawali 1B


A. Keluhan utama:
Hidung tersumbat
B. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan hidung tersumbat hilang timbul sejak 4 bulan
yang lalu. Keluhan dirasakan semakin memberat. Pasien juga mengeluhkan
nyeri wajah sekitar hidung. Nyeri dirasakan seperti mencengkram, disertai pilek
dengan warna kekuningan kental, mata berarir, dan tidak bisa menerima bau.
Pasien juga merasakan sakit kepala. Pasien tidak demam.

C. Riwayat Penyakit Dahulu:


 Riwayat hipertensi (-)
 Riwayat penyakit jantung (-)
 Riwayat DM (-)
 Riwayat PPOK (-)
 Riwayat Alergi (-)

D. Riwayat Pengobatan
-
E. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat tekanan darah tinggi disangkal
 Riwayat asma disangkal
 Riwayat penyakit jantung disangkal
 Riwayat penyakit kencing manis disangkal

F. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien bekerja sebagai wiraswasta. Biaya pengobatan : JKN non PBI.
Kesan : sosial ekonomi cukup.

G. Anamnesis yang berkaitan dengan anestesi:


 Riwayat penyakit ginjal (-)
 Riwayat operasi sebelumnya : (-)
 Riwayat kencing manis : (-)
 Riwayat alergi obat dan makanan : (-)
 Riwayat asma : (-)
 Riwayat penyakit jantung : (-)
 Riwayat tekanan darah tinggi : (-)
 Batuk : (-)
 Demam : (-)

3.3 PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Baik


Kesadaran : Composmentis , GCS E4M6V5
TV : TD : 120/80 mmHg MAP : 83 mmHg
T : 37 oC HR : 80 x/menit
RR : 20x/menit SpO2 : 95%
ASA : II
BB : 48 kg
Kepala : mesosefal
Mata : mata cekung (-/-) konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-
), pupil isokor diameter (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+).
Telinga : discharge (-/-)
Hidung : Nyeri tekan sekitar hidung (+) VAS 3

discharge (+/+), konkha hipertrofi (+/+), septum deviasi (+),


hiposmia(+/+), epistaksis (-/-)
Mulut : sianosis (-), perdarahan gusi (-), Mallampati I
Tenggorok : T1-1, faring hiperemis (-)
Leher : Pembesaran nnll (-), deviasi trachea (-)

COR

- Inspeksi : ictus cordis tak tampak


- Palpasi : ictus cordis di SIC V, 2 cm medial LMCS
- Perkusi : konfigurasi jantung dalam batas normal
- Auskultasi : BJ I-II normal, bising (-), gallop (-)

PULMO
- Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris, retraksi dinding dada (+)
- Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri sama
- Perkusi : Sonor kedua lapangan paru
- Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+)

ABDOMEN

- Inspeksi : distensi (-), venektasi (-)


- Auskultasi : bising usus (+)
- Perkusi : Timpani
- Palpasi : Supel

Ekstremitas : Akral dingin -/- -/-


Edema -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Capillary refill <2”/<2” <2”/<2”
3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil Nilai
Pemeriksaan Satuan
(01/09/2016) Rujukan
Hematologi Paket
Hemoglobin 15.2 g/dL 13.00-16.00
Hematokrit 42.9 % 40-54
Eritrosit 5.14 106/uL 4,4-5,9
MCH 29.6 pg 27.00-32.00
MCV 83.5 fL 76-96
MCHC 35.4 g/dL 29.00-36.00
Leukosit 7.4 103/uL 3.8-10.6

Trombosit 255 103/uL 150-400


RDW 12.2 % 11,60-14,80
MPV 10 fL 4.00-11.00
Kimia Klinik
Glukosa Puasa 108 mg/dL 80-160

Ureum 28 mg/dL 15-39


Kreatinin 1.2 mg/dL 0,6-1,3
Elektrolit
Natrium 139 mmol/L 136-145
Kalium 4.3 mmol/L 3.5-5.1
Chlorida 99 mmol/L 98-107
Koagulasi
Plasma prothrombin
time
Waktu prothrombin 12.0 detik 9.4-11.3
PPT kontrol 10.9 detik
Partial tromboplastin
time 33.1 detik 27.7-40.2
Tromboplastin APTT
kontrol 31.6 detik

Nasoendoskopi dan MSCT sinus paranasal dengan kontras : Konkha hipertrofi, septum
deviasi, rhinosinusitis kronik.

3.5 DAFTAR MASALAH


1. Konkha hipertrofi
2. Septum deviasi
3. Hiposmia kanan kiri
4. Discharge nasal kanan kiri
5. Nyeri wajah area sekitar hidung
3.6 DIAGNOSIS KLINIK
1. Septum deviasi
2. Rhinosinustis kronik

3.7 INITIAL PLAN


Ip Dx : S: -

O: -

Ip Rx :

- Antibiotik
- Antiinflmasi topikal
- Analgetik
- Rujuk sejawat THT

Ip Mx :

- KU dan Tanda Vital

Ip Ex :

- Keluarga di edukasi mengenai penyakit yang diderita oleh pasien


- Edukasi mengenai tindakan operasi yang akan dilakukan kepada pasien,
manfaatnya, prosedur, prognosis, dan komplikasi yang mungkin terjadi

3.8. DIAGNOSIS OPERATIF


A. Diagnosis preoperasi
Rhinosinusitis kronik + Septum Deviasi + Konkha Hipertrofi

B. Pemeriksaan yang berkaitan dengan anestesi


Tidak ada kelainan yang berkaitan dengan anestesi
3.9 TINDAKAN OPERASI
Functional Endoscopic Sinus Surgery + Septum Recovery + Konkhoplasty

3.10 TINDAKAN ANESTESI


Jenis anestesi : Anestesi General
Risiko anestesi : Sedang
ASA : II
Persiapan Anestesi :
1. Informed concent
2. Puasa 6 jam sebelum operasi
3. Infus RL untuk cairan preoperatif

Penatalaksanaan
1. Premedikasi
- Obat : Midazolam 3 mg iv
- Oksigenasi : 6 L/menit selama 2 menit
2. Anestesi general secara intravena intermitten menggunakan :
- Propofol 1000 mg
- Rocuronium 30 mg
- Fentanil 100 mg
- Tramadol 100mg
Maintenance : Sevoflurane, O2 , N2O
Posisi pasien : Terlentang
Mulai anestesi : 20.30 WIB
Selesai anestesi : 23.00 WIB
Lama anestesi : 150 menit

3. Teknik Anestesi

- I.V : Intermiten

- Umum Inhalasi : Semi closed, ET No. 7.0


4. Terapi Cairan

BB : 48 kg
EBV : 65 cc/kgBB × 48 kg = 3120 cc
Jumlah perdarahan : 200 cc

% perdarahan : 200/3120 × 100% = 6,41

Kebutuhan cairan :

- Maintenance (M) = 2 cc × 48 kg = 96 cc/jam


- Stress operasi (SO) = 6 cc × 48 kg = 288 cc/jam
- Depresi puasa (DP) = 96 cc/jam × 6 jam = 576 cc

Total kebutuhan cairan durante operasi


- Jam I = M + SO + ½ DP = 96 + 288 + 288 = 672 cc
- Jam II = M + SO + ¼ DP = 96 + 288 + 144 = 528 cc
Total = 672 + 528 = 1200 cc
- Jam III = M + SO + ¼ DP = 96 + 288 + 144 = 528 cc
Total = 1200 + 528 = 1728 cc

Cairan yang diberikan : RL 2328 cc (5 fl)


Waktu Keterangan HR (x/menit) Tekanan SpO2 (%)
Darah
(mmHg)
20.30 Anestesi mulai 100 120/80 100
20.40 Operasi mulai 80 100/60 100
10.45 Operasi selesai 80 100/60 100
11.00 Anestesi 80 100/60 100
selesai

Tabel 1. Hasil Pemantauan Heart Rate, Tekanan Darah, dan Saturasi Oksigen
Selama Operasi

Pemakaan obat/bahan/alat
1. Pemakaian obat suntik
Propofol
Rocuronium
Fentanil
Tramadol
2. Pemakaian obat inhalasi

Sevofrunil, O2 , N2O

3. Cairan : Total = 2000 cc

4. Alat/lain-lain : Ringer
Spuit 3 Laktat
cc 3 botol 3

Spuit 5 cc 2
Spuit 10 cc 1
Nasal kanul 1
Elektroda EKG 3
Suction catheter 14 1

5. Pemantauan di Recovery Room (RR)

- Pasien risiko jatuh.


- Beri oksigen 3 L/menit nasal kanul atau masker 6 L/menit.
- Bila Bromage Score ≤2 , pasien boleh pindah ruangan.
- Bila sadar, mual (-), muntah (-), dan upaya minum secara bertahap.
Skor Bromage = 1

No Hal yang Dinilai Nilai


1. Gerakan penuh di tungkai 0
2. Tidak mampu ekstensi tungkai 1
3. Tidak mampu fleksi lutut 2
4. Tidak mampu fleksi pergelangan kaki 3

Perintah di Ruangan

- Bila terjadi kegawatan menghubungi anestesi (8050).


- Program cairan RL 20 tetes/menit.
- Program analgetik inj. ketorolac 30mg/8jam iv selama dua hari mulai
pukul 16.00 WIB – 24.00 WIB – 08.00 WIB.

- Jika menggigil diberi selimut dan cairan hangat


- Jika mual diberi inj. Ondansentron 4 mg i.v.
- Jika tekanan darah kurang dari 90/60 mmHg lakukan injeksi
dobutamin 100 mg i.v. diencerkan.

- Pengawasan keadaan umum dan tanda vital.


- Jika tidak terjadi terjadi mual dan muntah bisa diberi makan bertahap.

3.11 DIAGNOSIS POST OPERATIVE

Diagnosis post operasi, pasien pasca post operasi FESS + SR + Konkhoplas


BAB IV

PEMBAHASAN

Kasus ini menyajikan seorang pria 55 tahun dengan keluhan hidung tersumbat selama 4

bulan. Pasien datang ke RSDK pada tanggal 20 Maret 2018.

Dari anamnesis didapatkan keluhan hidung tersumbat hilang timbul sejak 4 bulan yang

lalu. Keluhan dirasakan semakin memberat. Pasien juga mengeluhkan nyeri wajah sekitar

hidung. Nyeri dirasakan seperti mencengkram, disertai pilek dengan warna kekuningan

kental, mata berarir, dan tidak bisa menerima bau. Pasien juga merasakan sakit kepala. Pasien

tidak demam

Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak baik. Keadaan

composmentis dengan GCS 15. TD: 120/80 mmHg, MAP: 83 mmHg, HR: 80x/menit, RR:

20x/menit, SpO2: 95%. Pada pemeriksaan mata dan kepala didapatkan hasil dalam batas

normal. Pada pemeriksaan hidung didapatkan nyeri tekan sekitar hidung (+), discharge (+/+),

konkha hipertrofi (+/+), septum deviasi (+), dan hiposmia (+/+)

Pada pemeriksaan fisik cor, pulmo, abdomen, dan ekstremitas atas bawah dalam batas

normal.

Dilakukan pemeriksaan penunjang darah rutin, kimia klinik, elektrolit, dan koagulasi

didapatkan hasil yang normal. Pada pemeriksaan nasoendoskopi dan MSCT sinus paranasal

dengan kontras didapatkan septum deviasi, konkha hipertrofi, dan gambaran rhinosinusitis.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang disimpulkan

pasien mengalami rhinosinusitis kronik dengan septum deviasi dan konkha hipertrofi

Penatalaksanaan pasien ini pada tingkat layanan primer yaitu pemberian antibiotik,

anlagetik, antiinflmasi topikal, serta perujukan ke dokter spesialis THT. Pada dokter THT

dilakukan FESS (Functional Endoscopic Sinus Surgery) untuk dilakukannya septum recovery
dan konkhoplasty dengan menggunakan anestesi umum. Anestesi umum dipilih sebagai

teknik anestesi yang dipakai pada kasus ini karena merupakan teknik anestesi yang paling

tepat pada tindakan operasi pasien tersebut

Premedikasi pada pasien diberikan midazolam 20 mg agar pasien tidak cemas saat akan

dilakukan prosedur operasi. Selain itu juga memberikan efek amnesia anterograd selama

operasi berlangsung.

Obat anestesi yang diberikan meliputi obat inhalasi: 1. Sevoflurane, 2. N2O, 3. O2; Obat

injeksi: 1. Propofol 1000mg, 2. Rocuronium 30mg, 3. Fentanil 1000mg. Pemberian terapi

cairan disesuaikan berdasarkan kebutuhan cairan dan kehilangan cairan pada waktu puasa,

pembedahan, dan perdarahan. Proses pembedahan pada kasus ini tergolong derajat operasi

sedang. Jumlah cairan yang diberikan pada s a a t operasi yang berlangsung selama kurang

lebih 150 menit sebesar 2320 cc dengan jumlah perdarahan 200 cc (6,41% dari EBV).

Terapi cairan yang diberikan adalah ringer laktat.

Setelah anestesi selesai dan keadaan umum serta tanda vital baik, pasien

dipindahkan ke ruang pemulihan. Di ruang pemulihan pasien dimonitor tanda-tanda vital

yaitu tekanan darah, heart rate, respiratory rate, dan saturasi oksigen. Kemudian dilakukan

penilaian Bromage score yaitu salah satu indikator respon motorik pasca anestesi. Jika skor

kurang dari sama dengan 2 pasien boleh keluar dari ruang pemulihan dan pindah ke ruang

rawat inap
DAFTAR PUSTAKA

Brockwell, RC, Andrew JJ : Inhaled Anestethic Delivery Systems dalam Miller RD:
Miller’s Anesthesia, 6th ed. Philadelphia, Elsevier Churchill Livingstone, 2005, p 273-311

Oridin FK : Anesthetic System dalam Miller RD: Anesthetic, New York, Churchill
Livingstone, 1981, p 117-152

Howley JE, Roth PA: Anesthetia Delivery Systems dalam Stoelting RK, Miller RD :
basic of anesthesia, 5th ed. Philadelphia, Churchill Livingstone , 2007, p 185-206

Taylor D: Choice of Anesthetic Technique dalam Stoelting RK, Miller RD : basic of


anesthesia, 5th ed. Philadelphia, Churchill Livingstone , 2007, p 174-18
31

Anda mungkin juga menyukai