Anda di halaman 1dari 20

1

BAB I
PENDAHULUAN

Saat dilakukan tindakan pembedahan pada pasien apendisitis, pada umumnya pasien
menggunakan anestesi spinal block, mengingat lokasi pembedahan yang berada pada bagian
perut, waktu operasi yang tidak lama, dan risiko perdarahan yang minimal.
Anestesi spinal sendiri adalah tindakan meniadakan nyeri secara regional, tidak
disertai hilangnya kesadaran dan bersifat reversible.
Ada beberapa persiapan yang harus dilakukan sebelum tindakan anestesi dilakukan.
Persiapan tersebut meliputi kunjungan praanestesi guna mengetahui identitas pasien secara
pasti, memperoleh informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tindakan anestesi, serta
menentukan status fisik dan kebugaran pasien sehingga dapat direncanakan dan dipilih
dengan baik jenis teknik anestesi dan obat-obatan anestesi yang cocok diberikan kepada
pasien tersebut, dengan tujuan memperoleh hasil tindakan anestesi yang efektif dengan efek
samping seminimal mungkin. Selain itu, pada kunjungan pra-anestesi juga diperlukan dalam
hal meyakinkan pasien dan mempersiapkan mental pasien dalam menghadapi operasi (Latief,
2002).
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 APENDISITIS
2.1.1. DEFINISI
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering1. Apendisitis akut menjadi salah satu
pertimbangan pada pasien yang mengeluh nyeri perut atau pasien yang menunjukkan gejala
iritasi peritoneal. Apendisitis akut adalah frekuensi terbanyak penyebab persisten,
progressive abdominal pain pada remaja. Belakangan ini gejalanya kadang-kadang
dibingungkan karena akut abdomen dapat menyerang semua usia. Tidak ada jalan untuk
mencegah perkembangan dari apendisitis. Satu-satunya cara untuk menurunkan morbiditas
dan mencegah mortalitas adalah apendiktomi sebelum perforasi ataupun gangrene3.

2.1.2. GEJALA
1. Gejala klasik yaitu nyeri sebagai gejala utama
a. Nyeri dimulai dari epigastrium, secara bertahap berpindah ke region umbilical,
dan akhirnya setelah 1-12 jam nyeri terlokalisir di region kuadrant kanan bawah.
b. Urutan nyeri bisa saja berbeda dari deskripsi diatas, terutama pada anak muda atau
pada seseorang yang memiliki lokasi anatomi apendiks yang berbeda.
2. Anoreksia adalah gejala kedua yang menonjol dan biasanya selalu ada untuk beberapa
derajat kasus. Muntah terjadi kira-kira pada tiga perempat pasien.
3. Urutan gejala sangat penting untuk menegakkan diagnosis. Anoreksia diikuti oleh
nyeri kemudian muntah (jika terjadi) adalah gejala klasik. Muntah sebelum nyeri
harus ditanyakan untuk kepentingan diagnosis5.

2.1.3. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik yang ditemukan tergantung dari tahapan penyakit dan lokasi dari
apendiks.
1. Suhu dan nadi sedikit lebih tinggi pada awal penyakit. Suhu yang lebih tinggi
mengindikasikan adanya komplikasi seperti perforasi maupun abses.
2. Nyeri pada palpasi titik McBurney ( dua pertiga jarak dari umbilicus ke spina iliaca
anterior) ditemukan bila lokasi apendiks terletak di anterior. Jika lokasi apendiks pada
3

pelvis, pemeriksaan fisik abdomen sedikit ditemukan kelainan, dan hanya


pemeriksaan rectal toucher ditemukan gejala significant.
3. Tahanan otot dinding perut dan rebound tenderness mencerminkan tahap
perkembangan penyakit karena berhubungan dengan iritasi peritoneum.
4. Beberapa tanda, jika ada dapat membantu dalam menegakkan diagnosis
a. Rovsing’s sign yaitu nyeri pada kuadran kanan bawah pada palpasi kuadran kiri
bawah.
b. Psoas sign yaitu nyeri rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul
kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang menempel di
m.psoas mayor, tindakan tersebut akan menyebabkan nyeri2.
c. Obturator sign adalah nyeri pada gerakan endotorsi dan fleksi sendi panggul
kanan, pasien dalam posisi terlentang5

2.1.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan Darah Lengkap: Leukositosis moderat/ sedang (10.000-16.000 sel darah
putih) dengan predominan neutrofil. Jumlah normal sel darah putih tidak dapat
menyingkirkan adanya apendisitis5.
2. Urinalisis untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin.
Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti
infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang memiliki gejala klinis yang hampir sama
dengan apendisitis.
3. Radiologis: USG: untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti KET, abses dan
sebagainya.

2.1.5. PENATALAKSANAAN
1. Apendektomi adalah terapi utama
2. Antibiotik pada apendisitis digunakan sebagai:
a. Preoperative, antibiotik broad spectrum intravena diindikasikan untuk
mengurangi kejadian infeksi pasca pembedahan.
b. Post operatif, antibiotic diteruskan selama 24 jam pada pasien tanpa komplikasi
apendisitis
1. Antibiotic diteruskan sampai 5-7 hari post operatif untuk kasus apendisitis
ruptur atau dengan abses.
4

2. Antibiotik diteruskan sampai hari 7-10 hari pada kasus apendisitis rupture
dengan peritonitis diffuse.

2.2 ANESTESI SPINAL


2.2.1 PEMAKAIAN KLINIS
Anestesia spinal sesuai untuk sebagian besar prosedur pada ekstremitas bawah dan
genitourinari. Prosedur pada abdomen bawah seperti melahirkan lewat caesar, ligasi tuba
postpartum dan histerektomi tanpa komplikasi juga sesuai dengan anestesia spinal.
Kebanyakan prosedur yang melibatkan bedah pada abdomen atas lebih baik
dikerjakan dengan general anestesia, walaupun pada appendektomi sebagian besar
menggunakan spinal anesthesia.
Durasi pembedahan mempengaruhi pemilihan antara spinal atau general anestesia.
Hampir tidak ada batasan waktu anestesia dapat diperoleh dengan melakukan CSE atau
continous spinal anestesia. Bagaimanapun juga, seleksi pasien dan pemakaian sedasi yang
bijaksana adalah penting, karena banyak pasien akan merasa tidak nyaman bila berada dalam
posisi yang sama untuk waktu lama.
Kebanyakan studi melaporkan, lebih sedikit nausea dan vomiting akan mengikuti
spinal anestesia daripada general anestesia. Penambahan opoid neuroaxial seringkali dapat
meningkatkan kontrol nyeri setelah pembedahan. Tampaknya tidak ada perbedaan klinis
yang signifikan pada outcome cardiac antara spinal atau general anestesia, bahkan pada
pasien dengan resiko tinggi.
Spinal anestesia tidak boleh dilakukan pada keadaan dengan koagulopati, akibat
resiko epidural hematom. Infeksi sistemik atau lokal pada regio lumbal merupakan
predisposisi terbentuknya abses lokal / meningitis. Hipovolemia yang signifikan merupakan
predisposisi timbulnya hipotensi berat dan potensial menyebabkan cardiac arrest pada spinal
anestesia. Akhirnya, spinal anestesi seringkali dihindari pada pasien dengan kelainan spesifik
intrakardiac, dimana pemeliharaan preload dan afterloadnya kritis.

2.2.2 TEKNIK
 PRE BLOCK PREPARATIONS
Karena induksi spinal anestesia seringkali menimbulkan perubahan hemodinamik yang
cukup bermakna, pasien harus dimonitor kontinyu, obat-obat resusitasi dan peralatan
harus dapat disediakan dengan segera.
5

Adalah sangat membantu untuk memiliki seorang asisten untuk memposisikan pasien dan
memberikan suport psikologis. Sedasi (analgetik dan anxiolitik) seringkali diberikan
sebelum melakukan anestesi spinal untuk mengurangi rasa tidak nyaman dan anxietas.
Obat-obat ini dapat menyebabkan gangguan yang signifikan pada kardiorespirasi dan
dapat menutupi nyeri / parastesia akibat injeksi intraneural. Adalah penting untuk
mengingat bahwa tidak semua spinal anestesia sukses dan spinal anestesia itu sendiri bisa
mengakibatkan gangguan respirasi.
Sehingga, setiap anestesia spinal potensial memerlukan perubahan yang cepat ke general
anestesia. Obat-obat dan peralatan untuk airway management yang tepat harus bisa
disediakan dengan cepat.

 PATIENT POSITIONING
Lateral dekubitus, duduk dan prone posisi, semuanya dapat digunakan untuk melakukan
anestesia spinal. Tiap posisi memiliki kelebihan dan kekurangan. Lateral dekubitus
adalah posisi yang paling sering dipakai. Pasien biasanya merasa nyaman dengan posisi
ini dan lebih sedikit menelungkup dalam bergerak, dibandingkan posisi duduk. Sinkop
lebih jarang terjadi daripada posisi duduk. Pasien diposisikan pada pinggir meja operasi
(gb. 10-6) dengan pinggul dan bahu diposisikan vertikal. Laki-laki dewasa biasanya
memiliki axis vertebral sedikit naik, karena bahu yang sedikit lebih besar daripada lebar
pinggul.
Wanita dewasa biasanya memiliki axis vertebral sedikit turun. Kedua pinggul dan thorax
bagian atas harus difleksikan untuk memperoleh reverse lordotik posisi, yang
memaksimalkan jarak antara prosedur spinosus dari lumbal.
Posisi duduk, rutin dipilih oleh beberapa praktisi dan seringkali dipilih saat dilakukan
pada pasien obese. Pada populasi obese, palpasi dimidline processus spinosus seringkali
sulit / tidak memungkinkan. Pada kasus ini, posisi midline dapat diperkirakan dengan
menghubungkan garis imaginer antara vertebra cervical yang paling menonjol (C7) dan
cekungan intergluteal dan hal ini lebih mudah dilakukan saat pasien duduk. Seorang
asisten diperlukan untuk mempertahankan posisi stabil, terutama apabila pasien telah
tersedasi.
Pasien diminta untuk menundukkan bahu ke depan dan berusaha memfleksikan tulang
belakangnya (gb.10-7). Kesalahan yang tersering adalah karena pasien seringkali
melekukkan pinggangnya ke depan.
6

Posisi duduk juga memberikan teknik spinal anestesia yang terbatas pada daerah pelvis.
Ini menimbulkan “saddle block” atau blok sensoris yang terbatas pada permukaan
perineum, umumnya seperti pada bagian yang kontak dengan tempat duduk (sadel) saat
mengendarai punggung kuda (gb. 10-8). Injeksi anestesi lokal hiperbarik pada CSF
dengan posisi duduk menyebabkan pooling obat di daerah subrachnoid yang paling
dependent (sakrum). Teknik ini seringkali berguna untuk melahirkan per vagina, seperti
juga pada bedah urologi dan ginekologi.
Posisi telungkup kadangkala dipilih untuk melakukan spinal anestesia pada pasien yang
akan dilakukan anal surgery dengan posis jack-knife (gb. 10-9). Pasien diposisikan
sesuai pembedahan lalu dilakukan lumbal punksi. Anestesi lokal hipobarik dipergunakan
untuk membatasi efek anestesi pada dermatom sakral dan lumbal bawah.

 PUNCTURE SITE
Punksi dura biasanya dilakukan dibawah L2 untuk menghindari spinal cord yang berakhir
pada L1-L2. Meskipun terdapat variasi dari masing-masing individu, sebuah garis yang
melalui Krista iliaca biasanya akan melalui ruang diantara L4-L5 (gb. 10-7). Teknik
aseptik yang baik adalah penting. Hal ini termasuk melapisi regio lumbal dengan iodine
dan atau larutan alkohol dan memakai penutup steril.

 MIDLINE ATAU PARAMEDIAN APPROACH


Dua pendekatan ke ruang subarachnoid seringkali dipakai yaitu midline dan paramedian
(gb. 10-10). Keduanya simpel dan efektif. Praktisi harus familiar dengan kedua
pendekatan ini, sehingga mereka memiliki teknik alternatif pada saat pendekatan pertama
gagal dilakukan.
Untuk pendekatan midline, processus spinosus dipalpasi di regio lumbal. Setelah
membersihkan regio dan mendapatkan posisi kulit dimana terletak processus, jarum
spinal dimasukkan dengan sagittal plane, dengan orientasi jarum 10o ke cephalad.
Orientasi ini diperlukan karena ruang interlaminer adalah sedikit cephalad daripada
intrespinosus space yang kita palpasi.
Pendekatan paramedian seringkali dipilih pada pasien dengan lordosis lumbal berlebihan
dan pasien hamil yang tidak bisa memfleksikan kolumna vertebra mereka. Dengan
lordosis berlebihan, processus spinosus mereka jadi lebih berdekatan di midline,
mencegah pasase jarum spinal ke kanalis spinalis. Pendekatan paramedian kurang
7

dipengaruhi oleh fleksi suboptimal dari spine. Pendekatan paramedian juga dipilih pada
pasien tua dengan kalsifikasi ligamen interspinosus. Dengan pendekatan paramedian,
kulit disuntikkan dengan anestesi lokal sekitar 1 – 1,5 cm ke inferior dan lateral dari
interspace vertebra yang diinginkan. Jarum spinal disuntikkan dengan orientasi 15o ke
cephalad dan medial.
Taylor approach adalah varian dari pendekatan paramedian yang dipakai untuk
memasuki interspace L5-S1. Interspace ini adalah interspace lumbal terbesar dan
seringkali dipakai sebagai jalan masuk, apabila jalan masuk di interspace yang lebih
tinggi sulit dilakukan. Palpasi bagian inferior dari posterior iliaca spine (PSIS). Punksi
jarum dilakukan 1 cm medial dan 1 cm inferior dari batas PSIS inferior (gb. 10-10).
Jarum spinal disuntikkan dengan angulasi jarum ke midline (45 – 55o) dan kemudian
cephalad (45-55o). Pada pasien obese, arah jarum harus 30 – 45o ke cephalad dan
orientasi medial untuk mengatasi ketebalan jaringan. Jika terjadi kontak dengan tulang
jarum diarahkan lebih cephalad melewati tulang lamina menuju interspace.

 MEMPOSISIKAN PASIEN DAN BLOK YANG DIINGINKAN


Dengan memilih posisi pasien bersamaan dengan jumlah dan barisitas larutan lokal
anestesia, ketinggian blok dapat relatif terkontrol, dan dapat dicapai derajat dari blok
unilateral. Bagaimanapun, dapat dicapai selama 15 – 20 menit pada posisi lateral untuk
blok unilateral yang memuaskan. Yang lebih umum, pasien tetap dipertahankan pada
posisi mereka untuk beberapa menit lalu diposisikan supine kembali. Hal ini akan
menghasilkan blok bilateral yang hampir sama setelah beberapa menit.
Sebagai contoh saat memakai barisitas dan posisi pasien, istilah “saddle block” dimaksud
untuk menyuntikkan dosis kecil dari lidocaine hiperbaric (misal 25 mg dari 5% lidocaine
dalam 7,5 % dekstrose) ke ruang lumbal pada pasien dengan posisi duduk pasien
dibiarkan pada posisi ini selama 5 – 10 menit setelah injeksi, menyebabkan larutan
anestesi lokal mengalami pooling pada nerve roots sacral. Anestesia perineal akan
terjadi (gb. 10-8) dengan minimal hipotensi (karena ketinggian blok adalah dibawah L2 –
ujung dari serta saraf simpatis).

2.2.3 PEMILIHAN FARMAKOLOGI


Hampir semua anestesia spinal melibatkan injeksi anestetik lokal, baik tanpa maupun dengan
kombinasi obat-obat adjuvant. Farmakologi dari obat ini telah dibahas pada bab awal. Bagian
8

ini memfokuskan pada pemakaian spesifik dari obat-obat ini di ruangan subarachnoid (tabel
10-1).

 ANESTESI LOKAL
Lidokain & bupivakaine semuanya umum dipakai untuk spinal anestesia.

- Lidokain
Lidokain (durasi sedang spinal anestesia) dengan dosis 20 – 100 mg seringkali dipilih
untuk kasus-kasus yang diperkirakan memakan waktu sekitar 90 – 200 menit. Lidokain
sangat mudah larut dalam air dan sangat stabil. Tidak iritatif terhadap jaringan walaupun
diberikan dalam konsentrasi larutan 88%. Toksisitasnya 1.5 kali prokain. Diperlukan
waktu 2 jam untuk hilang sama sekali dari tempat suntikan.
Penambahan epinephrine 0,2 mg memanjangkan anestesia 15 – 40 menit, tergantung
dosis anestesi lokal yang dipakai, tetapi berhubungan dengan blok motoris yang
memanjang secara signifikan dan miksi yang terlambat.
Fentanyl 15 – 25 gr adalah aditif lain yang berguna. Menimbulkan reduksi substansial
pada dosis lidokain (untuk menimbulkan recovery lebih cepat dan insiden transient
neurologic simpton yang lebih rendah) dan efektif memblok nyeri torniquet pada
ekstremitas bawah.
- Bupivakain
Bupivakaine (durasi panjang spinal anestesia) dengan dosis 5 – 15 mg adalah sesuai
untuk pembedahan selama 180 – 600 menit. Ikatan dengan HCl mudah larut dalam air,
sangat stabil. Potensinya 3-4 kali dari lidokain dan lama kerjanya 2-5 kali dari lidokain.
Sifat hambatan sensorisnya lebih dominan dibandingkan dengan hambatan motorisnya.
Jumlah obat yang terikat pada saraf lebih banyak dibandingkan dengan yang bebas dalam
tubuh. Dikeluarkan dari dalam tubuh melalui ginjal. Spinal anestesia umumnya dilakukan
dengan 0,75% bupivacaine dalam 8,25 % dekstrosa. Larutan bupivakain 0,5 % tanpa
dekstrosa adalah isobarik atau sedikit hipobarik dan umumnya dipakai untuk pembedahan
ekstremitas bawah. Epinephrine memanjangkan blok sensoris dan motoris kira-kira 30 –
45 menit saat ditambahkan pada bupivakain dosis kecil (7,5 mg).
Fentanyl juga dipakai sebagai adjuvant untuk mengurangi dosis bupivakain (sehingga
hipotensi lebih sedikit) dan meningkatkan analgesia.
9

2.2.4 ADITIF PADA SPINAL ANESTESIA


- Vasokontriktor
Vasokontriktor seringkali ditambahkan pada lokal anestetik intrathecal untuk
menghambat uptake vaskuler sehingga memanjangkan blok. Epinephrine dan lebih jarang
phenylephrine adalah agen yang dipakai untuk tujuan ini. Selain vasokontriksi,
epinephrine juga menimbulkan analgesia lewat stimulasi 2 receptor. Klonidine, 2
agonis memperpanjang blok motoris dan sensoris pada tetracaine, lebih besar daripada
epinephrine.
Selain memanjangkan blok sensoris, penambahan epinephrine pada spinal anestetik lokal
juga memanjangkan blok motoris dan memperlambat miksi. Dua faktor ini menghambat
pulih dari anestesi spinal. Untuk outpatient surgery, kebanyakan center menghindari
epinephrine intrathecal. Sesungguhnya, pemakaian opoid lipofilik intratekal akan
meningkatkan dan memanjangkan anestesia tanpa menghambat pemulihan.
- Opioids
Analgesik opioid dapat ditambahkan pada spinal anestesia. Opioid nampaknya
menimbulkan supra-aditif (sinergistik) anestesia saat ditambahkan pada intratekal lokal
anestetik. Efek sinergis ini tampak menonjol terutama pada nyeri visceral. Opioid spinal
memblok pathway nyeri dengan tambahan minimal pada blok serat motoris dan simpatis.
Dua klas opioid dipakai pada spinal anestesia dan analgesia.
Opioid hidrofilik biasanya ditambahkan untuk prolong postop analgesia. Morphine sulfat
0,1 – 0,3 mg adalah yang umum dipilih. Agen ini memiliki efek analgesik dalam 45
menit pada pemberian lumbal dan mengurangi kebutuhan tambahan analgesia postop
selama 12 – 24 jam.
Morphin spinal memiliki beberapa efek lain yang tidak diinginkan. Nausea dan
vomiting tampaknya lebih banyak daripada opioid sistemik. Pruritus yang umum (60 –
80 %) dan yang parah (20 %). Miksi secara substansial dihambat, mungkin karena
hambatan pada mekanisme detrusor. Karena adanya sedikit resiko dari depres nafas yang
delayed dan gangguan fungsi kencing, obat ini tidak sesuai untuk bedah pada outpatient.
Opioid Lipofilik (fentanyl dan sulfentanyl) populer pada spinal anestesia. Fentanyl
10-25 g atau sulfentanyl 2,5 – 10 gr dapat ditambahkan pada anestesia spinal untuk
mencapai beberapa tujuan. Agen ini memiliki onset cepat terhadap sinergis anestetik dan
meningkatkan anestesia intraoperatif. Hal ini seringkali ditunjukkan dengan berkurangnya
10

nyeri torniquet saat prosedur bedah ortophedi, seperti juga berkurangnya nyeri dan
muntah selama proses melahirkan seksio cesarea.
Opioid lipofilik juga mengurangi dosis co-administered anestesi lokal, sehingga pulih
motoris dari anestesi spinal lebih cepat pada outpatient. Lidokain 30 mg (0,5 %)
diskombinasi dengan fentanyl 20 g menimbulkan anestesi yang baik untuk arhtroskopi
lutut dengan insiden nausea lebih rendah dan peningkatan kontrol nyeri postoperatif, bila
dibandingkan dengan dosis standar lidokain hiperbarik.
Demikian juga 3,75 mg bupivakain (0,75% dalam 8,25% dekstrosa) dikombinasi dengan
25 g tentanil menghasilkan anestesia yang sangat baik untuk outpatient yang
mendapatkan oocyte selama fertilisasi invitro. Depres respirasi jarang terjadi pada opioid
lipophilic intralekal. Tidak seperti morphin, miksi tidak dihambat, diantara efek spinal
lokal anestetik agen.
11

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas pasien


Nama : NWDT
Jenis Kelamin : Perempuan
Ttl/Umur : 24-02-1994 / 23 tahun
Alamat : Denpasar
Pekerjaan : Pelajar
NO. RM : 18016985 BPJS
Waktu MRS : 21/04/2018 pukul 23.45 WITA
WAKTU OK : 22/04/2018 pukul 15.30 WITA

PRE-OPERATIF
3.2. Anamnesis
Pasien datang ke IGD RSUP Sanglah dengan keluhan nyeri pada perut bagian kanan
bawah sejak satu hari yang lalu. Nyeri dirasakan seperti melilit dan dirasakan nyeri tersebut
menetap. Riwayat mual (+), muntah (+), demam (+)
Riwayat penyakit sistemik : tidak ada
Riwayat penyakit keluarga : tidak ada
Riwayat alergi : tidak ada
Riwayat operasi : tidak pernah menjalani operasi sebelumnya
Makan terakhir : jam 17:00 WITA (21/04/2018)
Minum terakhir : jam 03:00 WITA (22/04/2018)

3.3. Pemeriksaan Fisik


BB: 64kg, TB : 165cm, IMT: 23,5 kg/m2, Tax: 36.5°C, Vas 3/10
SSP: kesadaran compos mentis, GCS E4V5M6, Pupil +/+
Respi: RR 14x/mnt, vesikuler +/+, wheezing -/-, rhonkhi -/-, SpO2 98% udara ruangan
KV: TD 110/70, HR 97 bpm, suara jantung S1 S2 tunggal, murmur (-)
GIT: BU (+) normal, distensi (-), nyeri tekan (+) McBurney, asites (-)
MS: Fleksi defleksi leher normal, Mallampati II
UG: BAK (+) DC dengan produksi urine 0.6ml/KgBB/jam
12

3.4. Pemeriksaan penunjang


• Darah lengkap (22/04/2018) : WBC: 21.15x103 /µL (4,1-11); HGB 12.53 g/dL (12-
16); HCT 41,23% (36-46); PLT 176.8x103µL (140-440)
• Faal Hemostasis (22/04/2018) : PTT 14.3 detik (10,8-14,4); aPTT 30.6 detik (24-36)
; INR 1.18 (0.9-1.1)
• Urine (22/04/2018): Warna kuning muda, kekeruhan: jernih, pH 5.00, Leukosit (-),
Protein (-), Bilirubin (-), Glukosa (-), darah (-)
• USG Abdomen Bawah (22/04/2018): Nyeri tekan transducer (+), appendix tidak
tervisualisasi dengan jelas, kemungkinan adanya appendicitis rectrocaecal belum
dapat disingkirkan, mohon korelasi klinis dan laboratorium. Tak tampak kelainan
pada ginjal kanan kiri dan buli.

Permasalahan Pasien :
Permasalahan Aktual :
Abdomen: Akut apendisitis
Permasalahan Potensial :
Perdarahan, nyeri, infeksi

3.5. Diagnosis Kerja


Akut Appendisitis
Status Fisik : ASA I
Jenis Pembedahan : Appendectomy

3.6. Tatalaksana anestesi


Persiapan Praanestesi: Informed consent, SIO, Puasa, STATICS, obat anestesi dan
emergensi, pemasangan IV line.

Teknik Anestesi: regional anestesi RA-BSA


Premedikasi : Midazolam 2mg IV
Analgetik : Petidine 25mg IV
Pemeliharaan : O2:compressed air, dilakukan blok spinal pada L3-L4 dengan
regimen Bupivacain 0.5% volume 12.5ml
Medikasi lain-lain : Dipenhidramin 10mg, Ondansetron 4mg
13

Durante operasi:
Hemodinamik : TD 110-120/60-80 mmHg; HR 70-90 kali/mnt, RR 16x/menit, SpO2 99-
100% nasal canul
Cairan masuk:
Infus : Kristaloid 750 ml
Darah : tidak ada transfusi
Cairan keluar:
Perdarahan : <20 ml
Urin : tidak diukur
Lama operasi : 1 jam 30 menit
Hasil Operasi : Pengangkatan appendix dengan cara appendisectomy

Pasca operasi:
Analgetik : Fentanyl 300mcg/24jam via syringe pump, Paracetamol 500mg tiap 6 jam
PO
Perawatan : Ruangan
14

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Resume Pasien


Pasien perempuan berumur 23 tahun dengan keluhan nyeri perut bagian kanan datang
ke IGD RSUP Sanglah pada tanggal 21/04/2018 23:45 WITA. Nyeri perut dirasakan sejak 1
hari SMRS, nyeri dirasakan seperti melilit dan dirasakan nyeri tersebut menetap. Riwayat
mual (+), muntah (+), demam (+).

4.2 Penegakan Diagnosis

Penegakan diagnosis akut apendisitis pada pasien dapat dilakukan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik:

Pada umumnya pasien dengan akut apendisitis akan datang ke Rumah Sakit ketika
mengalami rasa nyeri pada perut , biasanya nyeri berawal dari area epigastrium yang
kemudian menjalar ke perut kanan bawah dan menetap. Tanda dan gejala lain seperti muntah
juga dapat ditemukan pada tige per empat pasien akut apendisitis. Pada pemeriksaan fisik,
dapat ditemukan adanya kenaikan suhu tubuh dan nadi, pada pemeriksaan abdomen, dapat
ditemukan nyeri tekan McBurney, rebound tenderness, Psoas sign, Rovsing sign dan
Obturator sign.

Kasus:

Pada kasus ini, pasien datang ke IGD RSUP Sanglah mengeluh nyeri perut pada
bagian kanan bawah sejak 1 hari SMRS, nyeri dirasakan seperti melilit dan dirasakan nyeri
tersebut menetap. Pasien juga memiliki riwayat mual, muntah, demam. Pemeriksaan fisik
pada pasien ini ditemukan adanya nyeri tekan McBurney. Sedangkan, tanda lain seperti
rebound tenderness, Psoas sign, Rovsing sign dan Obturator sign negatif.

Pemeriksaan Penunjang:

Untuk mendukung diagnosis klinis, pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan


darah lengkap, urine lengkap dan USG perlu dilakukan. Pada pemeriksaan darah lengkap
biasanya akan dijumpai leukositosis moderat/ sedang (10.000-16.000 sel darah putih) dengan
predominan neutrofil. Jumlah normal sel darah putih tidak dapat menyingkirkan adanya
15

apendisitis5. Hasil urinalisis kadang menunjukkan adanya sel darah merah. Pemeriksaan USG
dilakukan untuk menyingkirkan adanya kemungkinan apendiks retrocaecal dan untuk
menyingkirkan diagnosis banding lain seperti KET, abses dan sebagainya.
Kasus:

Pada pasien ini dilakukan hasil pemeriksaan darah lengkap didapatkan: WBC:
21.15x103 /µL (4,1-11); HGB 12.53 g/dL (12-16); HCT 41,23% (36-46); PLT 176.8x103µL
(140-440). Hasil USG Abdomen: nyeri tekan transducer (+), appendix tidak tervisualisasi
dengan jelas, kemungkinan adanya appendicitis rectrocaecal belum dapat disingkirkan,
mohon korelasi klinis dan laboratorium. Tak tampak kelainan pada ginjal kanan kiri dan buli.
Setelah pasien didiagnosa akut appendisitis, persiapan operasi dilakukan pada tanggal
22/04/2018 15:30 WITA.

4.3 Tatalaksana Preoperative

Sebelum dilakukan tindakan operasi, sangat penting untuk dilakukan persiapan


preoperasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya kecelakaan anestesi. Persiapan
preoperasi sebagai berikut: anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, puasa,
klasifikasi status fisik ASA, premedikasi, memastikan identitas pasien pra-bedah dan
informed consent tindakan medis, persiapan obat anestesi dan emergensi.
Status Fisik ASA:
Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena efek samping
anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan. Status fisik ASA secara
umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif.

Kelas I : Pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.


Kelas II :Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa limitasi
aktivitas sehari-hari.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas normal.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dan memerlukan
terapi intensif, dengan limitasi serius pada aktivitas sehari-hari.
Kelas V : Pasien sekarat yang akan meninggal dalam 24 jam, dengan atau tanpa
pembedahan.

Kelas VI : Brain dead patient untuk organ removal (donor organ)


16

Kasus: Pasien ini diklasifikasikan dengan status fisik ASA I, dikarenakan tidak adanya
penyakit sistemik yang menyertai.

Premedikasi Anestesi:
Merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi yang bertujuan untuk
melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia, diantaranya:
a. Meredakan kecemasan
b. Memperlancar induksi anestesi
c. Mengurangi seksresi kelenjar ludah dan bronkus
d. Meminimalkan jumlah obat-obat anestetik
e. Mengurangi mual-muntah pasca bedah
f. Menciptakan amnesia
g. Mengurangi isi cairan lambung
h. Mengurangi refleks yang berlebihan
Kasus: Pada pasien ini diberikan obat premedikasi berupa injeksi Midazolam 2mg.
Midazolam berfungsi sebagai induksi, sedasi dan mengurangi kebutuhan obat anestesi.
Pemakaian Obat Anestesi:
Hampir semua anestesia spinal melibatkan injeksi anestetik lokal, baik tanpa maupun
dengan kombinasi obat-obat adjuvant. Hampir semua anestesia spinal melibatkan injeksi
anestetik lokal, baik tanpa maupun dengan kombinasi obat-obat adjuvant.
a. Lidokain (durasi sedang spinal anestesia) dengan dosis 20 – 100 mg seringkali dipilih
untuk kasus-kasus yang diperkirakan memakan waktu sekitar 90 – 200 menit.
Lidokain umumnya dipakai sebagai larutan 5 % dalam 7,5 % dektrose meskipun 1,5
dan 2 % lidokain juga berguna.
b. Bupivakaine (durasi panjang spinal anestesia) dengan dosis 5 – 15 mg adalah sesuai
untuk pembedahan selama 180 – 600 menit,
Kasus: Pemakaian medikasi anestesi pada pasien ini menggunakan bupivakain 0.5% 12.5ml.
Bupivakaine (potensi kuat dan durasi panjang) dengan dosis 12.5ml adalah sesuai untuk
pembedahan selama 180 - 600 menit.

Pemakaian teknik RA-BSA pada pasien ini didasari oleh analisis terhadap tindakan
pembedahan;
17

1. Lokasi: pembedahan dilakukan pada regio abdominal kanan bawah, dimana


regio ini adalah salah satu indikasi pemilihan teknik regional blok spinal
Subarakhnoid.
2. Posisi: pembedahan apendektomi dilakukan dengan posisi supine, regional
anestesi dapat dikerjakan juga pada posisi ini.
3. Manipulasi: operasi apendektomi tidak membutuhkan wilayah yang luas dan
tidak membutuhkan relaksasi lapangan operasi yang optimal
4. Durasi: operasi apendektomi pada umumnya hanya membutuhkan waktu yang
singkat, sehingga tidak diperlukan anesthesia umum.
Analgetik Post Operasi:
Analgesik adalah obat untuk menghilangkan atau mengurangi rasa sakit pada tubuh.
Kasus: pada pasien ini diberikan analgetik berupa Fentanyl 300mcg/24jam via syringe pump,
Paracetamol 500mg tiap 6 jam PO
Operasi dimulai pukul 15.30 WITA dan lama operasi 1 jam 30 menit. Salah satu tugas
utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang dianestesi selama operasi. Pada kasus ini
selama proses anestesi, saturasi oksigen pasien tidak pernah <95%, TD 110-120/60-80
mmHg; HR 70-90 kali/mnt. Total cairan yang diberikan pada pasien ini sejumlah 750 ml
cairan Kristaloid. Perdarahan pada operasi ini kurang dari 20 ml.
18

BAB V
KESIMPULAN
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering1. Apendisitis akut menjadi salah satu
pertimbangan pada pasien yang mengeluh nyeri perut atau pasien yang menunjukkan gejala
iritasi peritoneal. Apendisitis akut adalah frekuensi terbanyak penyebab persisten,
progressive abdominal pain pada remaja. Apendektomi adalah tindakan pembedahan untuk
mengangkat apendiks yang harus dilakukan segera mungkin untuk menurunkan risiko
perforasi.

Appendectomy pada umumnya menggunakan regional anestesia, karena posisi,


lokasi, insisi, dan manipulasi operasi ini mengindikasikan penggunaan RA-BSA.
Anestesi spinal tetap merupakan salah satu bentuk regional anestesia yang paling
umum. Dengan kemahiran pada prosedur, farmakologi, dan aspek fisiologi, blok spinal dapat
dilakukan dengan aman, tepat dan efisien.
19

DAFTAR PUSATAKA
1. Medscape Reference [Internet] Subarachnoid Spinal Block [Updated on Aug, 5,
2013] Available at http://emedicine.medscape.com/article/2000841-overview.
Accessed on 2013 Oct 15
2. S, Kristanto, Anestesia Regional; Anestesiologi.- Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Jakarta : CV. Infomedika,
2004; 123
3. S, Kristanto, Anestesia Regional; Anestesiologi.- Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Jakarta : CV. Infomedika,
2004; 125-8
4. Netter, H Franks, Interactive Digital Atlas Anatomy [Digital E-Book], Vertebral
Column, Section. Icon Learning System, Rochester : Section #146.
5. Netter, H Franks, Interactive Digital Atlas Anatomy [Digital E-Book], Vertebral
Column, Section. Icon Learning System, Rochester : Section #154A
6. NYSORA – New York School of Regional Anesthesia, [Internet] Subarachnoidal
Block [Last Update Oct 4 2013], Available at
http://www.nysora.com/techniques/neuraxial-and-perineuraxial-techniques/landmark-
based/spinal-epidural-cse/3423-spinal-anesthesia.html, Accessed on 2013, Oct 15
7. University of Pittsburgh Online Reference [Internet] Subarachnoid spinal block
anesthesia. [Last Update Jan 2013]. Available at
http://www.pitt.edu/~regional/Spinal/Spinal.htm. Accessed on 2013, Oct, 15
8. Gan Gunawan, Sulistya et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta;
Balai Penerbit FKUI, 259-72.
9. Khangure, Nicole in TOTW Anesthesia.- World Federation of Societies of
Anesthesiologist [Internet Journal] Neuraxial Anesthesia Adjuvant [Last Update on
July 4 2011] Available at .http://totw.anaesthesiologists.org/wp-
content/uploads/2011/07/230-Neuraxial-adjuvants.pdf
10. Christiansson, Lennart in Periodicum Biologorum; Update on Adjuvant in Regional
Anesthesi; UDC 57:61, CODEN PDBIAD, 2009, VOL. 111, No 2, 161–70.
11. G. Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail, Michael J. Murray. Clinical
Anesthesiology 4th Edition [Digital E-Book] Section Spinal, Epidural and Caudal
Anesthesia; Appleton and Lange, 2005. California: McGraw-Hill Publishing.
20

12. Mansjoer, A., Suprohaita., Wardani, W.I., Setiowulan, W., editor., “Bedah Digestif”,
dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, Cetakan Kelima. Media
Aesculapius, Jakarta, 2005, hlm. 307-313.
13. Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., “Usus Halus, Apendiks, Kolon, Dan
Anorektum”, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta, 2005,hlm.639-645.
14. Sabiston. Textbook of surgery, the biological basis of modern surgical practice
fourteenth edition. 1991. International edition; W.B. Saunders
15. Lawrence W.Way., editor., Current surgical diagnosis & treatment international
edition. Edition 9. 1990. Lange medical book.
16. Jarrell, B. E and Carabasi R.A., the national medical series for independent study 2nd
edition Surgery., national medical series., Baltimore, Hong Kong, London, Sydney.
17. Grace P.A & Borley N.R., At a Glance Ilmu Bedah edisi ketiga. 2005. Jakarta;
Erlangga Medical Series.
18. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed: Ke-
6. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai