BAB I
PENDAHULUAN
Saat dilakukan tindakan pembedahan pada pasien apendisitis, pada umumnya pasien
menggunakan anestesi spinal block, mengingat lokasi pembedahan yang berada pada bagian
perut, waktu operasi yang tidak lama, dan risiko perdarahan yang minimal.
Anestesi spinal sendiri adalah tindakan meniadakan nyeri secara regional, tidak
disertai hilangnya kesadaran dan bersifat reversible.
Ada beberapa persiapan yang harus dilakukan sebelum tindakan anestesi dilakukan.
Persiapan tersebut meliputi kunjungan praanestesi guna mengetahui identitas pasien secara
pasti, memperoleh informasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tindakan anestesi, serta
menentukan status fisik dan kebugaran pasien sehingga dapat direncanakan dan dipilih
dengan baik jenis teknik anestesi dan obat-obatan anestesi yang cocok diberikan kepada
pasien tersebut, dengan tujuan memperoleh hasil tindakan anestesi yang efektif dengan efek
samping seminimal mungkin. Selain itu, pada kunjungan pra-anestesi juga diperlukan dalam
hal meyakinkan pasien dan mempersiapkan mental pasien dalam menghadapi operasi (Latief,
2002).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 APENDISITIS
2.1.1. DEFINISI
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering1. Apendisitis akut menjadi salah satu
pertimbangan pada pasien yang mengeluh nyeri perut atau pasien yang menunjukkan gejala
iritasi peritoneal. Apendisitis akut adalah frekuensi terbanyak penyebab persisten,
progressive abdominal pain pada remaja. Belakangan ini gejalanya kadang-kadang
dibingungkan karena akut abdomen dapat menyerang semua usia. Tidak ada jalan untuk
mencegah perkembangan dari apendisitis. Satu-satunya cara untuk menurunkan morbiditas
dan mencegah mortalitas adalah apendiktomi sebelum perforasi ataupun gangrene3.
2.1.2. GEJALA
1. Gejala klasik yaitu nyeri sebagai gejala utama
a. Nyeri dimulai dari epigastrium, secara bertahap berpindah ke region umbilical,
dan akhirnya setelah 1-12 jam nyeri terlokalisir di region kuadrant kanan bawah.
b. Urutan nyeri bisa saja berbeda dari deskripsi diatas, terutama pada anak muda atau
pada seseorang yang memiliki lokasi anatomi apendiks yang berbeda.
2. Anoreksia adalah gejala kedua yang menonjol dan biasanya selalu ada untuk beberapa
derajat kasus. Muntah terjadi kira-kira pada tiga perempat pasien.
3. Urutan gejala sangat penting untuk menegakkan diagnosis. Anoreksia diikuti oleh
nyeri kemudian muntah (jika terjadi) adalah gejala klasik. Muntah sebelum nyeri
harus ditanyakan untuk kepentingan diagnosis5.
2.1.5. PENATALAKSANAAN
1. Apendektomi adalah terapi utama
2. Antibiotik pada apendisitis digunakan sebagai:
a. Preoperative, antibiotik broad spectrum intravena diindikasikan untuk
mengurangi kejadian infeksi pasca pembedahan.
b. Post operatif, antibiotic diteruskan selama 24 jam pada pasien tanpa komplikasi
apendisitis
1. Antibiotic diteruskan sampai 5-7 hari post operatif untuk kasus apendisitis
ruptur atau dengan abses.
4
2. Antibiotik diteruskan sampai hari 7-10 hari pada kasus apendisitis rupture
dengan peritonitis diffuse.
2.2.2 TEKNIK
PRE BLOCK PREPARATIONS
Karena induksi spinal anestesia seringkali menimbulkan perubahan hemodinamik yang
cukup bermakna, pasien harus dimonitor kontinyu, obat-obat resusitasi dan peralatan
harus dapat disediakan dengan segera.
5
Adalah sangat membantu untuk memiliki seorang asisten untuk memposisikan pasien dan
memberikan suport psikologis. Sedasi (analgetik dan anxiolitik) seringkali diberikan
sebelum melakukan anestesi spinal untuk mengurangi rasa tidak nyaman dan anxietas.
Obat-obat ini dapat menyebabkan gangguan yang signifikan pada kardiorespirasi dan
dapat menutupi nyeri / parastesia akibat injeksi intraneural. Adalah penting untuk
mengingat bahwa tidak semua spinal anestesia sukses dan spinal anestesia itu sendiri bisa
mengakibatkan gangguan respirasi.
Sehingga, setiap anestesia spinal potensial memerlukan perubahan yang cepat ke general
anestesia. Obat-obat dan peralatan untuk airway management yang tepat harus bisa
disediakan dengan cepat.
PATIENT POSITIONING
Lateral dekubitus, duduk dan prone posisi, semuanya dapat digunakan untuk melakukan
anestesia spinal. Tiap posisi memiliki kelebihan dan kekurangan. Lateral dekubitus
adalah posisi yang paling sering dipakai. Pasien biasanya merasa nyaman dengan posisi
ini dan lebih sedikit menelungkup dalam bergerak, dibandingkan posisi duduk. Sinkop
lebih jarang terjadi daripada posisi duduk. Pasien diposisikan pada pinggir meja operasi
(gb. 10-6) dengan pinggul dan bahu diposisikan vertikal. Laki-laki dewasa biasanya
memiliki axis vertebral sedikit naik, karena bahu yang sedikit lebih besar daripada lebar
pinggul.
Wanita dewasa biasanya memiliki axis vertebral sedikit turun. Kedua pinggul dan thorax
bagian atas harus difleksikan untuk memperoleh reverse lordotik posisi, yang
memaksimalkan jarak antara prosedur spinosus dari lumbal.
Posisi duduk, rutin dipilih oleh beberapa praktisi dan seringkali dipilih saat dilakukan
pada pasien obese. Pada populasi obese, palpasi dimidline processus spinosus seringkali
sulit / tidak memungkinkan. Pada kasus ini, posisi midline dapat diperkirakan dengan
menghubungkan garis imaginer antara vertebra cervical yang paling menonjol (C7) dan
cekungan intergluteal dan hal ini lebih mudah dilakukan saat pasien duduk. Seorang
asisten diperlukan untuk mempertahankan posisi stabil, terutama apabila pasien telah
tersedasi.
Pasien diminta untuk menundukkan bahu ke depan dan berusaha memfleksikan tulang
belakangnya (gb.10-7). Kesalahan yang tersering adalah karena pasien seringkali
melekukkan pinggangnya ke depan.
6
Posisi duduk juga memberikan teknik spinal anestesia yang terbatas pada daerah pelvis.
Ini menimbulkan “saddle block” atau blok sensoris yang terbatas pada permukaan
perineum, umumnya seperti pada bagian yang kontak dengan tempat duduk (sadel) saat
mengendarai punggung kuda (gb. 10-8). Injeksi anestesi lokal hiperbarik pada CSF
dengan posisi duduk menyebabkan pooling obat di daerah subrachnoid yang paling
dependent (sakrum). Teknik ini seringkali berguna untuk melahirkan per vagina, seperti
juga pada bedah urologi dan ginekologi.
Posisi telungkup kadangkala dipilih untuk melakukan spinal anestesia pada pasien yang
akan dilakukan anal surgery dengan posis jack-knife (gb. 10-9). Pasien diposisikan
sesuai pembedahan lalu dilakukan lumbal punksi. Anestesi lokal hipobarik dipergunakan
untuk membatasi efek anestesi pada dermatom sakral dan lumbal bawah.
PUNCTURE SITE
Punksi dura biasanya dilakukan dibawah L2 untuk menghindari spinal cord yang berakhir
pada L1-L2. Meskipun terdapat variasi dari masing-masing individu, sebuah garis yang
melalui Krista iliaca biasanya akan melalui ruang diantara L4-L5 (gb. 10-7). Teknik
aseptik yang baik adalah penting. Hal ini termasuk melapisi regio lumbal dengan iodine
dan atau larutan alkohol dan memakai penutup steril.
dipengaruhi oleh fleksi suboptimal dari spine. Pendekatan paramedian juga dipilih pada
pasien tua dengan kalsifikasi ligamen interspinosus. Dengan pendekatan paramedian,
kulit disuntikkan dengan anestesi lokal sekitar 1 – 1,5 cm ke inferior dan lateral dari
interspace vertebra yang diinginkan. Jarum spinal disuntikkan dengan orientasi 15o ke
cephalad dan medial.
Taylor approach adalah varian dari pendekatan paramedian yang dipakai untuk
memasuki interspace L5-S1. Interspace ini adalah interspace lumbal terbesar dan
seringkali dipakai sebagai jalan masuk, apabila jalan masuk di interspace yang lebih
tinggi sulit dilakukan. Palpasi bagian inferior dari posterior iliaca spine (PSIS). Punksi
jarum dilakukan 1 cm medial dan 1 cm inferior dari batas PSIS inferior (gb. 10-10).
Jarum spinal disuntikkan dengan angulasi jarum ke midline (45 – 55o) dan kemudian
cephalad (45-55o). Pada pasien obese, arah jarum harus 30 – 45o ke cephalad dan
orientasi medial untuk mengatasi ketebalan jaringan. Jika terjadi kontak dengan tulang
jarum diarahkan lebih cephalad melewati tulang lamina menuju interspace.
ini memfokuskan pada pemakaian spesifik dari obat-obat ini di ruangan subarachnoid (tabel
10-1).
ANESTESI LOKAL
Lidokain & bupivakaine semuanya umum dipakai untuk spinal anestesia.
- Lidokain
Lidokain (durasi sedang spinal anestesia) dengan dosis 20 – 100 mg seringkali dipilih
untuk kasus-kasus yang diperkirakan memakan waktu sekitar 90 – 200 menit. Lidokain
sangat mudah larut dalam air dan sangat stabil. Tidak iritatif terhadap jaringan walaupun
diberikan dalam konsentrasi larutan 88%. Toksisitasnya 1.5 kali prokain. Diperlukan
waktu 2 jam untuk hilang sama sekali dari tempat suntikan.
Penambahan epinephrine 0,2 mg memanjangkan anestesia 15 – 40 menit, tergantung
dosis anestesi lokal yang dipakai, tetapi berhubungan dengan blok motoris yang
memanjang secara signifikan dan miksi yang terlambat.
Fentanyl 15 – 25 gr adalah aditif lain yang berguna. Menimbulkan reduksi substansial
pada dosis lidokain (untuk menimbulkan recovery lebih cepat dan insiden transient
neurologic simpton yang lebih rendah) dan efektif memblok nyeri torniquet pada
ekstremitas bawah.
- Bupivakain
Bupivakaine (durasi panjang spinal anestesia) dengan dosis 5 – 15 mg adalah sesuai
untuk pembedahan selama 180 – 600 menit. Ikatan dengan HCl mudah larut dalam air,
sangat stabil. Potensinya 3-4 kali dari lidokain dan lama kerjanya 2-5 kali dari lidokain.
Sifat hambatan sensorisnya lebih dominan dibandingkan dengan hambatan motorisnya.
Jumlah obat yang terikat pada saraf lebih banyak dibandingkan dengan yang bebas dalam
tubuh. Dikeluarkan dari dalam tubuh melalui ginjal. Spinal anestesia umumnya dilakukan
dengan 0,75% bupivacaine dalam 8,25 % dekstrosa. Larutan bupivakain 0,5 % tanpa
dekstrosa adalah isobarik atau sedikit hipobarik dan umumnya dipakai untuk pembedahan
ekstremitas bawah. Epinephrine memanjangkan blok sensoris dan motoris kira-kira 30 –
45 menit saat ditambahkan pada bupivakain dosis kecil (7,5 mg).
Fentanyl juga dipakai sebagai adjuvant untuk mengurangi dosis bupivakain (sehingga
hipotensi lebih sedikit) dan meningkatkan analgesia.
9
nyeri torniquet saat prosedur bedah ortophedi, seperti juga berkurangnya nyeri dan
muntah selama proses melahirkan seksio cesarea.
Opioid lipofilik juga mengurangi dosis co-administered anestesi lokal, sehingga pulih
motoris dari anestesi spinal lebih cepat pada outpatient. Lidokain 30 mg (0,5 %)
diskombinasi dengan fentanyl 20 g menimbulkan anestesi yang baik untuk arhtroskopi
lutut dengan insiden nausea lebih rendah dan peningkatan kontrol nyeri postoperatif, bila
dibandingkan dengan dosis standar lidokain hiperbarik.
Demikian juga 3,75 mg bupivakain (0,75% dalam 8,25% dekstrosa) dikombinasi dengan
25 g tentanil menghasilkan anestesia yang sangat baik untuk outpatient yang
mendapatkan oocyte selama fertilisasi invitro. Depres respirasi jarang terjadi pada opioid
lipophilic intralekal. Tidak seperti morphin, miksi tidak dihambat, diantara efek spinal
lokal anestetik agen.
11
BAB III
LAPORAN KASUS
PRE-OPERATIF
3.2. Anamnesis
Pasien datang ke IGD RSUP Sanglah dengan keluhan nyeri pada perut bagian kanan
bawah sejak satu hari yang lalu. Nyeri dirasakan seperti melilit dan dirasakan nyeri tersebut
menetap. Riwayat mual (+), muntah (+), demam (+)
Riwayat penyakit sistemik : tidak ada
Riwayat penyakit keluarga : tidak ada
Riwayat alergi : tidak ada
Riwayat operasi : tidak pernah menjalani operasi sebelumnya
Makan terakhir : jam 17:00 WITA (21/04/2018)
Minum terakhir : jam 03:00 WITA (22/04/2018)
Permasalahan Pasien :
Permasalahan Aktual :
Abdomen: Akut apendisitis
Permasalahan Potensial :
Perdarahan, nyeri, infeksi
Durante operasi:
Hemodinamik : TD 110-120/60-80 mmHg; HR 70-90 kali/mnt, RR 16x/menit, SpO2 99-
100% nasal canul
Cairan masuk:
Infus : Kristaloid 750 ml
Darah : tidak ada transfusi
Cairan keluar:
Perdarahan : <20 ml
Urin : tidak diukur
Lama operasi : 1 jam 30 menit
Hasil Operasi : Pengangkatan appendix dengan cara appendisectomy
Pasca operasi:
Analgetik : Fentanyl 300mcg/24jam via syringe pump, Paracetamol 500mg tiap 6 jam
PO
Perawatan : Ruangan
14
BAB IV
PEMBAHASAN
Penegakan diagnosis akut apendisitis pada pasien dapat dilakukan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pada umumnya pasien dengan akut apendisitis akan datang ke Rumah Sakit ketika
mengalami rasa nyeri pada perut , biasanya nyeri berawal dari area epigastrium yang
kemudian menjalar ke perut kanan bawah dan menetap. Tanda dan gejala lain seperti muntah
juga dapat ditemukan pada tige per empat pasien akut apendisitis. Pada pemeriksaan fisik,
dapat ditemukan adanya kenaikan suhu tubuh dan nadi, pada pemeriksaan abdomen, dapat
ditemukan nyeri tekan McBurney, rebound tenderness, Psoas sign, Rovsing sign dan
Obturator sign.
Kasus:
Pada kasus ini, pasien datang ke IGD RSUP Sanglah mengeluh nyeri perut pada
bagian kanan bawah sejak 1 hari SMRS, nyeri dirasakan seperti melilit dan dirasakan nyeri
tersebut menetap. Pasien juga memiliki riwayat mual, muntah, demam. Pemeriksaan fisik
pada pasien ini ditemukan adanya nyeri tekan McBurney. Sedangkan, tanda lain seperti
rebound tenderness, Psoas sign, Rovsing sign dan Obturator sign negatif.
Pemeriksaan Penunjang:
apendisitis5. Hasil urinalisis kadang menunjukkan adanya sel darah merah. Pemeriksaan USG
dilakukan untuk menyingkirkan adanya kemungkinan apendiks retrocaecal dan untuk
menyingkirkan diagnosis banding lain seperti KET, abses dan sebagainya.
Kasus:
Pada pasien ini dilakukan hasil pemeriksaan darah lengkap didapatkan: WBC:
21.15x103 /µL (4,1-11); HGB 12.53 g/dL (12-16); HCT 41,23% (36-46); PLT 176.8x103µL
(140-440). Hasil USG Abdomen: nyeri tekan transducer (+), appendix tidak tervisualisasi
dengan jelas, kemungkinan adanya appendicitis rectrocaecal belum dapat disingkirkan,
mohon korelasi klinis dan laboratorium. Tak tampak kelainan pada ginjal kanan kiri dan buli.
Setelah pasien didiagnosa akut appendisitis, persiapan operasi dilakukan pada tanggal
22/04/2018 15:30 WITA.
Kasus: Pasien ini diklasifikasikan dengan status fisik ASA I, dikarenakan tidak adanya
penyakit sistemik yang menyertai.
Premedikasi Anestesi:
Merupakan pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi yang bertujuan untuk
melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia, diantaranya:
a. Meredakan kecemasan
b. Memperlancar induksi anestesi
c. Mengurangi seksresi kelenjar ludah dan bronkus
d. Meminimalkan jumlah obat-obat anestetik
e. Mengurangi mual-muntah pasca bedah
f. Menciptakan amnesia
g. Mengurangi isi cairan lambung
h. Mengurangi refleks yang berlebihan
Kasus: Pada pasien ini diberikan obat premedikasi berupa injeksi Midazolam 2mg.
Midazolam berfungsi sebagai induksi, sedasi dan mengurangi kebutuhan obat anestesi.
Pemakaian Obat Anestesi:
Hampir semua anestesia spinal melibatkan injeksi anestetik lokal, baik tanpa maupun
dengan kombinasi obat-obat adjuvant. Hampir semua anestesia spinal melibatkan injeksi
anestetik lokal, baik tanpa maupun dengan kombinasi obat-obat adjuvant.
a. Lidokain (durasi sedang spinal anestesia) dengan dosis 20 – 100 mg seringkali dipilih
untuk kasus-kasus yang diperkirakan memakan waktu sekitar 90 – 200 menit.
Lidokain umumnya dipakai sebagai larutan 5 % dalam 7,5 % dektrose meskipun 1,5
dan 2 % lidokain juga berguna.
b. Bupivakaine (durasi panjang spinal anestesia) dengan dosis 5 – 15 mg adalah sesuai
untuk pembedahan selama 180 – 600 menit,
Kasus: Pemakaian medikasi anestesi pada pasien ini menggunakan bupivakain 0.5% 12.5ml.
Bupivakaine (potensi kuat dan durasi panjang) dengan dosis 12.5ml adalah sesuai untuk
pembedahan selama 180 - 600 menit.
Pemakaian teknik RA-BSA pada pasien ini didasari oleh analisis terhadap tindakan
pembedahan;
17
BAB V
KESIMPULAN
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering1. Apendisitis akut menjadi salah satu
pertimbangan pada pasien yang mengeluh nyeri perut atau pasien yang menunjukkan gejala
iritasi peritoneal. Apendisitis akut adalah frekuensi terbanyak penyebab persisten,
progressive abdominal pain pada remaja. Apendektomi adalah tindakan pembedahan untuk
mengangkat apendiks yang harus dilakukan segera mungkin untuk menurunkan risiko
perforasi.
DAFTAR PUSATAKA
1. Medscape Reference [Internet] Subarachnoid Spinal Block [Updated on Aug, 5,
2013] Available at http://emedicine.medscape.com/article/2000841-overview.
Accessed on 2013 Oct 15
2. S, Kristanto, Anestesia Regional; Anestesiologi.- Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Jakarta : CV. Infomedika,
2004; 123
3. S, Kristanto, Anestesia Regional; Anestesiologi.- Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Jakarta : CV. Infomedika,
2004; 125-8
4. Netter, H Franks, Interactive Digital Atlas Anatomy [Digital E-Book], Vertebral
Column, Section. Icon Learning System, Rochester : Section #146.
5. Netter, H Franks, Interactive Digital Atlas Anatomy [Digital E-Book], Vertebral
Column, Section. Icon Learning System, Rochester : Section #154A
6. NYSORA – New York School of Regional Anesthesia, [Internet] Subarachnoidal
Block [Last Update Oct 4 2013], Available at
http://www.nysora.com/techniques/neuraxial-and-perineuraxial-techniques/landmark-
based/spinal-epidural-cse/3423-spinal-anesthesia.html, Accessed on 2013, Oct 15
7. University of Pittsburgh Online Reference [Internet] Subarachnoid spinal block
anesthesia. [Last Update Jan 2013]. Available at
http://www.pitt.edu/~regional/Spinal/Spinal.htm. Accessed on 2013, Oct, 15
8. Gan Gunawan, Sulistya et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta;
Balai Penerbit FKUI, 259-72.
9. Khangure, Nicole in TOTW Anesthesia.- World Federation of Societies of
Anesthesiologist [Internet Journal] Neuraxial Anesthesia Adjuvant [Last Update on
July 4 2011] Available at .http://totw.anaesthesiologists.org/wp-
content/uploads/2011/07/230-Neuraxial-adjuvants.pdf
10. Christiansson, Lennart in Periodicum Biologorum; Update on Adjuvant in Regional
Anesthesi; UDC 57:61, CODEN PDBIAD, 2009, VOL. 111, No 2, 161–70.
11. G. Edward Morgan, Jr., Maged S. Mikhail, Michael J. Murray. Clinical
Anesthesiology 4th Edition [Digital E-Book] Section Spinal, Epidural and Caudal
Anesthesia; Appleton and Lange, 2005. California: McGraw-Hill Publishing.
20
12. Mansjoer, A., Suprohaita., Wardani, W.I., Setiowulan, W., editor., “Bedah Digestif”,
dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, Cetakan Kelima. Media
Aesculapius, Jakarta, 2005, hlm. 307-313.
13. Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., “Usus Halus, Apendiks, Kolon, Dan
Anorektum”, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta, 2005,hlm.639-645.
14. Sabiston. Textbook of surgery, the biological basis of modern surgical practice
fourteenth edition. 1991. International edition; W.B. Saunders
15. Lawrence W.Way., editor., Current surgical diagnosis & treatment international
edition. Edition 9. 1990. Lange medical book.
16. Jarrell, B. E and Carabasi R.A., the national medical series for independent study 2nd
edition Surgery., national medical series., Baltimore, Hong Kong, London, Sydney.
17. Grace P.A & Borley N.R., At a Glance Ilmu Bedah edisi ketiga. 2005. Jakarta;
Erlangga Medical Series.
18. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed: Ke-
6. Jakarta: EGC.