Anda di halaman 1dari 70

UNIVERSITAS INDONESIA

HUBUNGAN G10 SEBAGAI PENILAIAN KANTUNG EMPEDU


INTRAOPERATIF DENGAN PROSEDUR BAILOUT PADA LAPARASKOPI

KOLESISTEKTOMI DI RSUPN Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO

dr. Rony, SpB


1806264681

Pembimbing:
Dr. Yarman Mazni, SpB(K)BD

DIVISI BEDAH DIGESTIF


DEPARTEMEN MEDIK ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
JAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kolesistolitiasis (batu kantung empedu) adalah penyakit paling umum pada saluran
empedu. Diperkirakan hampir 10-15% dari populasi orang dewasa di negara-negara
maju memiliki batu kantung empedu, dengan kemungkinan penderita akan mengalami
gejala sebesar 1-4% pertahun [ CITATION San \l 1033 ]. Dewasa ini, tindakan
kolesistektomi dengan pembedahan terbuka semakin menurun dibandingkan dengan
laparaskopi [ CITATION Hsu10 \l 1033 ]. Penatalaksanaan kolesistektomi secara
laparoskopi juga telah menjadi standar baku untuk penanganan kolesistolitiasis
simptomatik di RS Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Dari tahun 2008 - 2012,
tercatat jumlah kasus laparaskopi kolesistektomi yang dikerjakan di RSCM sebesar 217
pasien. Dari jumlah tersebut, persentase komplikasi trauma bilier yang terjadi tercatat
sebesar 2,4% dengan angka konversi open kolesistektomi sebesar 3.9%[CITATION
Ibr14 \l 1033 ]. Sementara pada tahun 2014, dari 90 kasus laparaskopi kolesistektomi,
tercatat persentase komplikasi trauma bilier sebesar 3,33% dengan angka konversi
4,44%[ CITATION Bat15 \l 1033 ]. Angka komplikasi cedera bilier pada laparaskopi
kolesistektomi lebih tinggi daripada operasi terbuka. Tingginya persentase cedera bilier
yang terjadi salah satunya disebabkan oleh difficult gallbladder (DGB), yaitu kondisi
kantung empedu yang sedang atau pernah mengalami proses inflamasi sehingga
menyebabkan kesulitan diseksi dan identifikasi duktus sistikus. Kesalahan
mengidentifikasi duktus sistikus dapat menyebabkan terjadinya cedera bilier yang
serius. Untuk mencegah terjadinya cedera bilier, dokter bedah disarankan mengganti
teknik infundibular dengan Critical View of Safety (CVS)[ CITATION Str00 \l 1033 ].
Selain itu saat menghadapi DGB, dokter bedah dapat menggunakan prosedur bailout,
antara lain teknik fundus first cholecystectomy (FF), subtotal cholecystectomy (SC),
konversi kolesistektomi terbuka, dan kolesistostomi [ CITATION Iwa17 \l 1033 ].

1 UNIVERSITAS INDONESIA
Dokter bedah harus berusaha menghindari terjadinya cedera saluran empedu yang
dapat memperberat morbiditas pasien sehingga dokter bedah harus bisa mengenali
tingkat kesulitan kasus yang dihadapinya intraoperatif, kemudian mengetahui cara
mengatasinya. Untuk itu dibutuhkan sistem penilaian intraoperatif yang sederhana dan
objektif untuk menggambarkan tingkat kesulitan saat tindakan laparaskopi
kolesistektomi, dengan demikian memungkinkan pengambilan keputusan bedah yang
tepat untuk mencegah terjadinya trauma bilier. Sugrue et al [ CITATION Sug19 \l 1033 ]
telah mengembangkan sistem penilaian kantung empedu intraoperatif menggunakan
G10 untuk menilai tingkat kesulitan yang dihadapi dokter bedah saat melakukan
laparaskopi kolesistektomi. Sistem ini menilai severitas kolesistitis berdasarkan
persentase adhesi kantung empedu, kondisi kantung empedu yang mengalami distensi
atau mengkerut, ketidakmampuan memegang kantung empedu tanpa mendekompresi/
melukai kantung empedu, adanya batu > 1 cm yang impaksi di Hartmann’s pouch,
Body Mass Index (BMI) >30, adanya adhesi karena riwayat operasi sebelumnya,
adanya cairan empedu atau pus di luar kantung empedu, dan adanya fistula. Sistem
penilaian G10 terbukti dapat memprediksi kemungkinan konversi kolesistektomi
terbuka [ CITATION Sug19 \l 1033 ] . Konversi kolesistektomi terbuka hanyalah salah satu
prosedur bailout yang dipilih dokter bedah saat menghadapi DGB. Sehingga penilaian
G10 ini seharusnya juga dapat dipakai sebagai pedoman untuk melakukan prosedur
bailout.
Di RSCM, belum ada sistem penilaian kantung empedu intraoperatif yang
diterapkan saat operasi laparaskopi kolesistektomi. Penggunaan sistem penilaian
kantong empedu intraoperatif yang sesuai akan memfasilitasi pelaporan yang terstandar
dalam menggambarkan tingkat kesulitan saat tindakan laparaskopi kolesistektomi, serta
memungkinkan pengambilan keputusan bedah yang tepat untuk mencegah terjadinya
trauma bilier. Melalui penelitian ini diharapkan dapat menjadi penelitian awal untuk
mengetahui hubungan antara nilai G10 dengan teknik laparaskopi kolesistektomi yang
telah dilakukan.

2 UNIVERSITAS INDONESIA
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, diperlukan adanya evaluasi nilai G10 dan
hubungannya dengan teknik operasi pada pasien yang sudah dilakukan laparaskopi
kolesistektomi di RS Dr. Cipto Mangunkusumo.

1.3. Pertanyaan Penelitian


1. Bagaimanakah sebaran nilai G10 terhadap kasus-kasus laparaskopi
kolesistektomi yang dilakukan di RSCM dari Januari 2019 sampai Desember
2019 ?
2. Bagaimana hubungan antara nilai G10 dengan prosedur Bailout pada pasien
yang dilakukan laparaskopi kolesistektomi di RSCM dari Januari 2019 sampai
Desember 2019 ?

1.4. Hipotesis Penelitian


Ada hubungan antara nilai G10 dengan prosedur Bailout pada operasi laparaskopi
kolesistektomi.

1.5. Tujuan Penelitian


1.5.1. Tujuan Umum
Didapatkan gambaran derajat kesulitan kasus-kasus laparaskopi kolesistektomi
di RSCM dari Januari 2019 sampai Desember 2019.
1.5.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui sebaran nilai G10 pada kasus-kasus laparaskopi kolesistektomi
yang dilakukan di RSCM dari Januari 2019 sampai Desember 2019
2. Mengetahui hubungan antara nilai G10 dengan prosedur Bailout pada pasien
yang telah dilakukan laparaskopi kolesistektomi di RSCM dari Januari 2019
sampai Desember 2019.

1.6. Manfaat Penelitian

3 UNIVERSITAS INDONESIA
1.6.1. Bagi bidang keilmuan
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber data dan informasi mengenai tingkat
kesulitan intraoperatif pasien yang dilakukan laparaskopi kolesistektomi di RSCM dari
Januari 2019 sampai Desember 2019, beserta tehnik operasi yang dipilih, lama operasi
nyeri pascaoperasi dan lama perawatan pascaoperasi. Penelitian ini juga diharapkan
dapat menjadi salah satu sumber literatur dan pembuka bagi penelitian-penelitian
berikutnya, sehingga diharapkan dapat mengembangkan tehnik bedah laparaskopi
kolesistektomi.

1.6.2. Bagi pelayanan


1.6.2.1. Bagi penyelenggara pelayanan
Penelitian ini diharapkan menjadi masukan peningkatan pelayanan bedah laparaskopi
di Departemen Ilmu Bedah RSCM.

1.6.2.2. Bagi dokter


Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan pelayanan dokter saat
melakukan laparaskopi kolesistektomi.
1.6.2.3. Bagi pasien
Pasien mendapatkan pelayanan sesuai prosedur yang tepat.

4 UNIVERSITAS INDONESIA
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kolesistolitia
sis Simptomatik
Kolesistolitiasis adalah penyakit paling umum pada saluran empedu. Diperkirakan
hampir 10 - 15 % dari populasi orang dewasa di negara-negara maju memiliki batu
kantung empedu, dengan kemungkinan penderita akan mengalami gejala sebesar 1 - 4
% pertahun[ CITATION San \l 1033 ]. Insiden batu empedu meningkat dengan
bertambahnya usia. Adanya riwayat keluarga yang mengalami sakit yang sama juga
menjadi faktor risiko yang penting. Beberapa gejala yang dapat ditimbulkan oleh batu
empedu antara lain[ CITATION San \l 1033 ] :
 Kolik bilier
 Kolesistitis
 Jaundice/ ikterik
 Asending kolangitis
 Pancreatitis
 Gallstone ileus
 Gallbladder cancer
Tindakan kolesistektomi harus dilakukan pada penderita yang mengalami gejala
akibat batu empedu, dan penatalaksanaan kolesistektomi secara laparoskopi masih
merupakan standard baku.

2.2. Laparaskopi Kolesistektomi


Penatalaksanaan laparaskopi kolesistektomi saat ini merupakan standar baku untuk
penatalaksanaan penyakit batu empedu. Tindakan ini juga merupakan salah satu operasi
tersering dalam operasi elektif dan darurat di beberapa negara. Tindakan ini
memberikan banyak keuntungan jika dibandingkan dengan tindakan pembedahan

5 UNIVERSITAS INDONESIA
kolesistektomi terbuka. Namun penyelesaian operasi semata-mata secara laparoskopik
bukan merupakan satu-satunya indikator kualitas yang terbukti. Dibutuhkan evaluasi
kinerja tindakan pembedahan secara keseluruhan, meliputi evaluasi teknik dan temuan
operatif, penggunaan kolangiografi intra-operatif, angka konversi dari laparoskopi
menjadi terbuka, lama operasi dan morbiditas, termasuk angka readmisi ke rumah sakit.
Ada banyak variabel dalam penatalaksanaan kolesistitis, yang memerlukan pendekatan
khusus karena kondisi pasien dan keadaan kantung empedu saat pembedahan sangat
berbeda. Dalam beberapak kondisi, tindakan konversi dari laparaskopi kolesistektomi
menjadi kolesistektomi terbuka kadangkala merupakan pilihan yang lebih baik dan
lebih aman daripada melanjutkan laparoskopi. Namun spesialis bedah yang sudah
berpengalaman dengan teknik laparoskopi, juga dapat memilih prosedur damage
control yang berbeda selain tindakan konversi terbuka, antara lain dengan berbagai
prosedur bailout.[ CITATION Sug19 \l 1033 ]

2.2.1. Sejarah laparaskopi kolesistektomi


Batu empedu adalah salah satu penyakit yang telah dikenali sejak jaman dahulu.
Trallianus, seorang dokter Yunani pernah menggambarkan batu dalam radikel hati
manusia. Vesalius dan Fallopius, keduanya adalah ahli anatomi, menggambarkan batu-
batu empedu di dalam kantung empedu dari tubuh manusia yang dibedah [ CITATION
Sal12 \l 1033 ]. Awalnya penyakit ini ditangani dengan menggunakan obat-obatan,
seperti dengan pemberian obat belladonna dan golongan opiat. Pada tahun 1882, Carl
Langenbuch tercatat sebagai orang yang pertama kali berhasil melakukan terapi
definitif kolesistolitiasis melalui tindakan pembedahan kolesistektomi terbuka. Sejak
saat itu, maka penyakit ini mulai diadopsi sebagai salah satu kasus yang sering
ditangani oleh spesialis bedah. Hampir 2 abad, prosedur yang dilakukan oleh
Langenbuch ini dianggap sebagai standar baku untuk pengobatan batu empedu
simptomatik [ CITATION Tan16 \l 1033 ].
Prosedur laparaskopi kolesistektomi pertama kali dimulai di Jerman di tahun 1985,
yang kemundian dipopulerkan dan dimodifikasi di Perancis pada tahun berikutnya.

6 UNIVERSITAS INDONESIA
Tahun 1987, Francois Dubois, seorang dokter bedah Perancis, melakukan
kolesistektomi melalui insisi yang sangat kecil, yang dia klaim sebagai bekas insisi
yang paling kecil di dunia setelah operasi penganggkatan kantung empedu. Namun
ternyata Phillipe Mouret, dokter bedah sebelumnya, telah berhasil melakukan
pengangkatan kantung empedu menggunakan laparaskop beberapa bulan sebelumnya.
Karena terkesan dengan teknik ini, Francois Dubois akhirnya mempublikasikan laporan
penggunaan teknik laparaskopi ini pada 63 kasus yang dikerjakannya pada tahun 1989.
Pada tahun yang sama di bulan November, Reddick dan Olsen, di Nashville, juga
mempublikasikan makalahnya mengenai penggunaan laparaskopi pada operasi
kolesistektomi. Banyak dokter bedah yang terkesan dengan perbedaan dramatis pada
penyembuhan pascaoperasi pasien yang dilakukan laparaskopi kolesistektomi.
Sehingga tidak butuh waktu lama, hingga pada tahun 1991, prosedur kolesistektomi
melalui laparaskopi telah menjadi prosedur rutin di beberapa negara [ CITATION Tan16 \l
1033 ]. Hingga saat ini, laparaskopi kolesistektomi telah menjadi standar baku
penatalaksanaan kolesistolitiasis simptomatik di semua negara. Hal ini diikuti dengan
peningkatan jumlah tindakan kolesistektomi sebesar 20-30% dari angka sebelumnya.
Peningkatan ini terjadi terutama pada kasus kolesistolitiasis yang tidak komplek dan
dilakukan operasi elektif. Hal ini seiring dengan makin baiknya penerimaan pasien
yang mengalami gejala minimal, karena berkurangnya nyeri pascaoperasi dan jaringan
parut yang minimal setelah dilakukan prosedur minimal invasif [ CITATION Tan16 \l 1033
].

2.2.2. Bile Duct Injury (BDI) dan Vasculobiliar Injury (VBI)


Laparaskopi kolesistektomi saat ini memang sudah menggantikan
kolesistektomi konvensional, sebagai standar baku untuk penatalaksanaan batu kantung
empedu. Namun terlepas dari kemajuan yang dicapai, ternyata komplikasi cedera
saluran empedu yang terjadi pada saat tindakan laparaskopi kolesistektomi lebih sering
terjadi dibandingkan dengan operasi kolesistektomi secara terbuka. Gennaro
melaporkan 235 kasus BDI, dengan total insiden 0,42% dari 56.591 kasus LC yang

7 UNIVERSITAS INDONESIA
dilakukan sejak Januari 1998 hingga Desember 2000. Penyebab yang paling sering dari
cedera saluran empedu adalah identifikasi yang buruk dari triangle of safety (36,8%),
dan masalah teknis (27,0%). Insiden BDI lebih tinggi pada kasus kolesistitis (P <0,01)
dan menurun dengan semakin banyaknya jumlah laparaskopi kolesistektomi yang
dilakukan oleh tim bedah (P <0,01) [ CITATION Nuz05 \l 1033 ] . Insiden komplikasi
terjadinya trauma bilier lain yang pernah dilaporkan akibat laparaskopi kolesistektomi
dilaporkan sebesar 0,2% -1,1%. Angka ini 2-5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
komplikasi yang terjadi akibat kolesistektomi terbuka. Padahal laparaskopi
kolesistektomi merupakan salah satu prosedur bedah yang paling umum dilakukan oleh
dokter bedah, artinya jumlah absolut pasien yang menderita komplikasi sangat tinggi.
Dari survey yang dilakukan di Italia, diketahui bahwa penerapan prosedur keamanan
selama laparaskopi kolesistektomi, antara lain dengan penggunaan intraoperative
cholangiografi (IOC), penerapan CVS dan identifikasi sulkus rouviere, ternyata juga
bervariasi antar institusi dan antar negara. Hal ini semakin menunjukkan perlunya
standarisasi prosedur laparaskopi kolesistektomi yang benar untuk mencegah terjadinya
trauma bilier.[ CITATION Hib17 \l 1033 ] Terjadinya BDI dan VBI akan menambah
morbiditas langsung terhadap pasien, meningkatkan resiko mortalitas pasien,
menurunkan kualitas hidup pasien serta memiliki implikasi medikolegal terhadap
dokter dan institusi terkait [ CITATION Gup19 \l 1033 ]. Salah satu cara
mengklasifikasikan BDI pascaoperasi laparaskopi kolesistektomi adalah dengan
menggunakan kriteria klasifikasi Strassberg yang merupakan modifikasi dari Bismuth
classification [ CITATION Str00 \l 1033 ].

2.2.3. Difficult Gallbladder (DGB) dan penilaian kantung empedu.


Difficult gallbladder (DGB) adalah kondisi kantung empedu yang sedang atau
pernah mengalami proses inflamasi sehingga menyebabkan kesulitan diseksi dan
identifikasi duktus sistikus. Kondisi ini seringkali menyebabkan kesulitan bagi operator
saat melakukan laparaskopi kolesistektomi. DGB akan menyebabkan waktu operasi
yang lama dan kemungkinan konversi ke prosedur operasi konvensional (open surgery)

8 UNIVERSITAS INDONESIA
yang lebih tinggi[ CITATION Gup19 \l 1033 ]. DGB juga berpotensi menempatkan pasien
mengalami resiko terjadinya cedera saluran empedu[ CITATION Ash16 \l 1033 ]. Beberapa
kondisi yang dapat menyebabkan DGB antara lain inflamasi akibat kolesistitis (akut
dan kronik), obesitas, batu impaksi di leher kantung empedu, mirizzi syndrome dan
sirosis hepatis [ CITATION Alt19 \l 1033 ].
Sejumlah publikasi telah melaporkan beberapa sistem penilaian kantung empedu.
Secara umum, penilaian tersebut dibedakan menjadi dua jenis, yaitu penilaian
preoperatif dan intraoperatif. Penilaian preoperatif didasarkan pada temuan klinis
sebelum operasi, dan hasil pencitraan. Sistem penilaian ini diharapkan dapat
memprediksi tingkat kesulitan operasi yang akan dihadapi sebelum dilakukan
laparaskopi kolesistektomi. Tujuannya untuk memberikan penatalaksanaan yang sesuai.
Pasien yang diprediksi tidak mengalami penyulit operasi dapat dijadwalkan operasi
melalui fasilitas rawat jalan (one day service), dan dimungkinkan untuk dioperasi olen
residen bedah atau trainee bedah digestif dibawah pengawasan dokter bedah yang lebih
berpengalaman. Sementara untuk pasien yang berisiko tinggi untuk mengalami penyulit
harus menjalani persiapan yang memadai sebelum operasi dan dioperasi oleh spesialis
bedah yang lebih berpengalaman[ CITATION Sut16 \l 1033 ] . Selain itu dengan
kemampuan untuk memprediksi penyulit saat operasi, dokter bedah dapat menentukan
kasus mana yang dapat dilakukan laparaskopi kolesistektomi atau cukup dengan
melakukan kolesistostomi secara perkutan, terutama bila pasien datang dengan kondisi
yang buruk dan memiliki toleransi operasi yang rendah [ CITATION Yeo16 \l 1033 ]
[ CITATION Che12 \l 1033 ].
Sistem penilaian preoperatif memiliki keterbatasan karena tidak menggambarkan
kenyataan kesulitan intraoperatif yang dihadapi oleh dokter bedah. Ada beberapa
variabel yang menyebabkan kesulitan teknis yang harus dihadapi selama laparaskopi
kolesistektomi, yaitu berhubungan dengan akses agar bisa melihat daerah operasi,
ketebalan adhesi dan vaskularisasi, serta ketebalan dan kerapuhan kantung empedu.
Selama beberapa tahun terakhir, para ahli hepato-bilier di dunia telah berkumpul untuk
mendefinisikan tingkat kesulitan laparaskopi kolesistektomi berdasarkan temuan

9 UNIVERSITAS INDONESIA
intraoperatif. Mereka membuat konsensus untuk mengidentifikasi hal-hal yang
menyebabkan kesulitan saat laparaskopi kolesistektomi [ CITATION Iwa17 \l 1033 ].
Tahun 2015, Sugrue et al mengajukan sistem penilaian intraoperative untuk menilai
severitas kolesistitis [ CITATION Sug15 \l 1033 ] . Sistem penilaian ini kemudian
disempurnakan menjadi G10, dengan mengganti parameter waktu yang dibutuhkan
untuk mengidentifikasi arteri dan duktus sistikus.

2.2.4. G10 sebagai penilaian laparaskopi kolesistektomi intraoperatif


Penilaian G10 memberikan penilaian sederhana dan objektif kondisi kantung
empedu. Sistem ini dapat memberikan parameter yang lebih terukur terhadap tingkat
kesulitan operasi laparaskopi kolesistektomi. Ada beberapa parameter penilaian yang
digunakan dalam penilaian G10 (Tabel 2.1.).

Tabel 2.1 Nilai severitas kolesistitis yang digunakan dalam peniaian G10
No Severitas kolesistitis Nilai
.
1 Penampakan
1
 Adhesi < 50 % dari kantung empedu
2
 Adhesi > 50 %, buried gallbladder (GB)
3 (maks)
 Completely buried GB
Distensi / Kontraksi
2 1
 Kantung empedu yang distensi atau contracted
3 1
 Tidak mampu memegang tanpa mendekompresi
4 1
 Batu > 1 cm impaksi di Hartmann’s pouch
Akses
5 1
 BMI > 30
6 1
 Adhesi dari operasi sebelumnya yang membatasi operasi
Sepsis dan Komplikasi

10 UNIVERSITAS INDONESIA
7  Cairan empedu atau nanah di luar kantung empedu 1
8  Fistula 1
Total Nilai Maksimal 10

Total hasil akhir penilaian kantung empedu intraoperatif dapat dikelompokkan


menjadi 4 kelompok. Operasi kantung empedu dianggap mudah jika nilai G10 = 1,
sedang bila nilainya 2 < 4, sulit bila nilainya 5 < 7 dan ekstrem bila nilainya 8 < 10.
Dengan G10, diharapkan spesialis bedah dapat memberikan penilaian severitas kantung
empedu intraoperatif yang lebih obyektif. Sistem penilaian ini sudah terbukti secara
statistik memiliki hubungan yang bermakna untuk memprediksi angka konversi dari
teknik laparaskopi menjadi kolesistektomi terbuka. Kelemahan dari G10 adalah bahwa
sistem penilaian ini dilakukan intra operasi, sehingga pasien yang tidak dioperasi tidak
dapat dilakukan penilaian [ CITATION Sug19 \l 1033 ].

2.2.5. Strategi mencegah cedera saluran bilier


Semua spesialis bedah memiliki kemungkinan besar menghadapi laparaskopi
kolesistektomi yang sulit. Dokter bedah harus berusaha menghindari terjadinya cedera
saluran empedu, sehingga perlu mengenali tingkat kesulitan kasus yang dihadapinya
dan mengetahui cara mengatasinya [ CITATION Wak18 \l 1033 ][ CITATION Sal98 \l 1033 ].
Banyak situasi sulit dan kejadian komplikasi yang dapat dicegah bila spesialis bedah
tersebut berhati-hati dan memiliki prosedur yang jelas untuk setiap masalah yang
mungkin terjadi.[ CITATION Law98 \l 1033 ] Strassberg dalam jurnalnya menekankan
pentingnya penerapan “Budaya Keselamatan” (Culture of Safety) saat melakukkan
operasi kolesistektomi [ CITATION Gup19 \l 1033 ] [ CITATION Str13 \l 1033 ]. Dasar
penerapan budaya keselamatan operasi kolesistektomi meliputi :
1. Pemahaman anatomi normal dan variasi anomali. Istilah dan struktur duktus
sistkus, arteri hepatika, arteri sistikus, saluran empedu, triangle of safety/
hepatocystic triangle, triangle of calot, cystic plate (CP), Sulcus Rouviere (SR) dan
fissura umbilikalis harus benar-benar dipahami. Begitupula usaha untuk

11 UNIVERSITAS INDONESIA
mengidentifikasi strutur tersebut harus menjadi perhatian karena akan menjadi
penanda yang penting saat operasi.
2. Kemampuan mengidentifikasi kasus DGB.
3. Pemahaman dan ketrampilan menerapkan metoda diseksi dengan Critical View of
Safety (CVS). Zona aman untuk melakukan diseksi adalah di arah sefalad dari garis
imajiner yang menghubungkan antara SR – dasar segmen 4 hepar – fissure
umbilikalis. Retraksi kantung empedu juga memegang peranan penting dalam
memberikan ekspos dan identifikasi yang baik. Fundus kantung empedu harus
ditraksi kearah sefalad, sementara infundibulum harus ditraksi kearah latero-caudal
agar ductus sistikus tidak sejajar dengan CBD [ CITATION Alt19 \l 1033 ]. Selain itu
dokter bedah juga harus ingat tentang konsep time-out dan eror trap saat
melakukan kolesistektomi.
4. Kemampuan mengatasi DGB, antara lain dengan menghentikan tindakan operasi,
meminta second opinion atau bantuan dari spesialis bedah yang lain, penggunaan
pencitraan intraoperatif, dan penerapan prosedur bailout.
5. Dokumentasi yang memadai.

2.2.6. Teknik operasi laparaskopi kolesistektomi.


2.2.5.1. Laparaskopi kolesistektomi dengan Critical View of Safety (CVS).
Pada tahun 1995, Strassberg menulis tinjauan analitik tentang pola cedera saluran bilier
yang sering terjadi pada masa itu dan mulai memperkenalkan metode identifikasi
duktus sistikus yang disebut sebagai Critical View of Safety (CVS). Pendekatan untuk
identifikasi saluran ini pernah dipublikasikan pada tahun 1992, tetapi istilah CVS
digunakan pertama kali di tahun 1995. Dalam pengamatannya, Strassberg menemukan
bahwa pada kasus trauma bilier yang terjadi saat itu disebabkan karena penggunaan
teknik infundibular oleh para dokter bedah yang menyebabkan mereka salah
mengidentifikasi duktus sistikus sehingga menyebabkan trauma bilier [ CITATION Str00 \l
1033 ]. Tujuan utama dari publikasi Strassberg tersebut adalah agar spesialis bedah
dapat menerapkan CVS dengan lebih baik dengan memahami mengapa metode ini

12 UNIVERSITAS INDONESIA
melindungi dari kesalahan identifikasi. Tujuan selanjutnya adalah untuk meninjau
status penggunaan CVS saat ini dan untuk menyarankan pendekatan yang mungkin
mengurangi insiden cedera bilier melalui penggunaannya[ CITATION Str10 \l 1033 ]
[ CITATION Str13 \l 1033 ]. Dewasa ini metode ini telah diadopsi oleh semakin banyak
dokter bedah di seluruh dunia saat melakukan laparaskopi kolesistektomi. CVS
memiliki 3 syarat. Pertama, segitiga Calot harus dibersihkan dari jaringan lemak dan
fibrosis. Sementara common bile duct (CBD) tidak harus tampak. Kedua, bagian
terendah kantung empedu harus dipisahkan dari cystic plate (CP), yang merupakan
dasar hati dari kantung empedu. Ketiga, hanya ada 2 struktur yang harus dilihat
memasuki kantung empedu. Bila 3 kriteria ini telah dipenuhi maka CVS telah tercapai.
Dasar pemikiran CVS didasarkan pada metode 2 langkah untuk identifikasi duktus
yang telah dan terus digunakan pada kolesistektomi terbuka. Pertama, dengan diseksi
pada segitiga Calot, sehingga duktus dan arteri sistika dapat diidentifikasi. Kedua, saat
kantung empedu telah dibebaskan seluruhnya dari hepar, tampak hanya ada 2 struktur
yang masih melekat pada kantung empedu. Sehingga untuk memenuhi persyaratan
CVS, tidak cukup hanya dengan pembuatan 2 jendela di daerah segitiga Calot,
melainkan kantung empedu proksimal harus dibebaskan dari CP sehingga jelas bahwa
satu-satunya langkah yang tersisa setelah ligasi dan pemotongan duktus dan arteri
sistika, operator hanya tinggal melepaskan sisa perlekatan kantung empedu dari hepar.
Pencapaian CVS dapat didokumentasikan dan dikonfirmasikan dengan foto doublet
yang menunjukan sisi anterior dan posterior (depan dan belakang) dari kantong empedu
untuk mengkonfirmasi semua kriteria telah berhasil dicapai [ CITATION San14 \l 1033 ].

2.2.5.2. Prosedur Bailout.


Tindakan kolesistektomi yang sederhana dan tanpa gangguan diibaratkan sama
dengan perjalanan menggunakan pesawat terbang yang aman dengan cuaca cerah di
mana sama sekali tidak ada penyimpangan standar operasi baku terkait lepas landas,
navigasi dan pendaratan. Namun saat cuaca buruk, perjalanan perlu dimodifikasi
tergantung pada tingkat gangguan cuaca. Alternatif yang dapat terjadi antara lain

13 UNIVERSITAS INDONESIA
mungkin penerbangan akan dibatalkan sama sekali sampai cuaca membaik. Jika cuaca
buruk berkembang dalam perjalanan, pilot memiliki beberapa pilihan untuk memilih
jalur yang berbeda. Pilot dapat memilih untuk kembali ke tempat asal, terbang di
sekitar cuaca buruk untuk mencapai tujuan yang diinginkan, atau mengalihkan
penerbangan ke tujuan alternatif. Apapun pilihan yang diambil, memiliki tujuan utama
keselamatan semua penumpang. Hal terpenting adalah melindungi nyawa para
penumpang daripada mencapai tujuan yang diinginkan (safety first). Demikian pula
situasi yang dihadapi saat melakukan operasi pada kondisi kantong empedu yang sulit
diidentifikasi. Bukan hal yang penting untuk terus maju dengan tujuan melakukan
kolesistektomi secara komplit sementara harus mempertaruhkan keselamatan pasien
karena potensi cedera bilier/ vaskular. Sangatlah penting untuk melakukan prosedur
alternatif (Bailout) yang memungkinkan dokter bedah menyelesaikan prosedur dengan
cara yang aman[ CITATION Gup19 \l 1033 ] . Ada beberapa strategi bailout saat spesialis
bedah berhadapan dengan kantung empedu yang sulit diidentifikasi / DGB, yaitu :
1. Menghentikan tindakan operasi.
2. Melakukan kolesistostomi.
3. Konversi tindakan pembedahan terbuka (open cholecystectomy).
4. Fundus first cholecystectomy (FF).
5. Subtotal cholecystectomy (SC).
Spesialis bedah akan menggunakan pertimbangan klinis saat intraoperatif untuk
memutuskan prosedur bailout yang akan dipilih. Teknik yang terbaik tergantung pada
situasi klinis dan pengalaman dari dokter bedah yang bersangkutan. Beberapa teknik
operasi diatas akan dijelaskan dibawah ini.

2.2.5.2.1. Teknik fundus first (FF) / fundus down cholecystectomy.


Teknik ini awalnya dipergunakan oleh dokter bedah Prancis, namun Reddick-Olsen
yang memperkenalkan teknik traksi fundus untuk mengekspos segitiga Calot dan
mempublikasikan pertama kali ditahun 1989[ CITATION Mar95 \l 1033 ]. Publikasi
menggunakan teknik FF melalui laparoskopi mulai muncul pada pertengahan 1990.

14 UNIVERSITAS INDONESIA
Kato melakukan diseksi segitiga calot kemudian melepaskan kantung empedu secara
retrograde dengan mempertahankan traksi fundus ke arah sefalad melalui genggaman
grasper pada serosa fundus [ CITATION Kel09 \l 1033 ]. Teknik FF melalui laparaskopi
dilakukan dengan teknik standar menggunakan 3 atau 4 port dan menggunakan
eletrokauter. Langkah awal dengan menggenggam fundus kantung empedu
menggunakan grasper forcep dan mengangkat hati untuk mengekspos segitiga Calot.
Diseksi dimulai dari daerah perlekatan lateral antara kantung empedu dan hati.
Kemudian diseksi dilanjutkan di daerah superior dari perlekatan hati dan kantung
empedu, dan berlanjut ke daerah medial. Diseksi segitiga calot (yang bukan hanya
terdapat arteri sistika dan duktus sistikus, namun seringkali juga terdapat arteri hepatika
kanan dan saluran empedu aksesorius) dilakukan terakhir. Untuk diseksi daerah fundus
dapat dilakukan secara tajam untuk melepaskan kantung empedu dari hepar, namun
saat diseksi mendekati leher kantung empedu, dilakukan diseksi tumpul dan
hidrodiseksi untuk mengekspos arteri sistika dan saluran empedu. Saat struktur duktus
sistikus dan arteri sistika sudah berhasil diidentifikasi, dilakukan ligasi dengan
menggunakan endoloop atau endoklip. Duktus sistikus dan arteri sistika bisa diligasi
secara terpisah atau bersamaan.[ CITATION Kel09 \l 1033 ][ CITATION Hua11 \l 1033 ]

2.2.5.2.2. Subtotal Cholecystectomy (SC).


Teknik ini dapat dikerjakan secara laparaskopi atau pembedahan terbuka [ CITATION
Sup17 \l 1033 ]. Teknik ini dimulai dengan melakukan insisi pada dinding anterior
kantung empedu dekat fundus. Kemudian seluruh isi kantung empedu dievakuasi,
termasuk batu juga disingkirkan. Fundus kantung empedu dieksisi menggunakan
perangkat hemostatis hingga seluruh dinding anterior kantung empedu terangkat
sampai mendekati infundibulum. Hanya tersisa dinding posterior kantung empedu yang
sepenuhnya melekat pada fossa hepar hingga CP dan 1-2 cm tepi anterior di atas
infundibulum. Ujung dukstus sistikus bila memungkinkan dilakukan penjahitan dari
bagian dalam infundibulum yang tersisa. Jika hal ini sulit dilakukan, maka cukup
dilakukan diseksi untuk menipiskan bagian dalam infundibulum dengan meggunakan
instrumen seperti disektor atau grasper. Permukaan mukosa dari dinding posterior sisa

15 UNIVERSITAS INDONESIA
dari kantung empedu dikauterisasi. Operasi selesai dengan meninggalkan drain yang
ditempatkan di dekat infundibulum[ CITATION Dis16 \l 1033 ]. Ada 2 macam SC, yaitu
fenestrating dan reconstituting. Tipe fenestrating dilakukan dengan menjahit duktus
sistikus dari dalam (bladder neck) atau membiarkan duktur sistikus terbuka. Tipe
reconstituting dilakukan dengan menjahit bagian kantung empedu yang paling bawah
sehingga tertutup [ CITATION Str16 \l 1033 ].

16 UNIVERSITAS INDONESIA
2.3. Kerangka Teori

KOLESISTOLITIASIS
SIMTOMATIK

NILAI G10 :

 Adhesi
 Kantung empedu distensi/
contracted
 Tidak mampu memegang
kantung empedu tanpa Fundus First
mendekompresi CVS Cholecystectomy
 Batu > 1 cm impaksi di LAPARASKOPI
Hartmann’s pouch KOLESISTEKTOMI
 BMI > 30
Prosedur Subtotal
Bailout Cholecystectomy
 Adhesi dari operasi
sebelumnya
 Cairan empedu/nanah di Konversi Open
luar kantung empedu Cholecystectomy
 Fistula

PERAWATAN PASCAOPERASI
Nyeri pascaoperasi (VAS)
Lama rawat pascaoperasi
Komplikasi

17 UNIVERSITAS INDONESIA
2.4. Kerangka Konsep

NILAI G10
 Adhesi
 Kantung empedu distensi/
contracted
 Tidak mampu memegang kantung
empedu tanpa mendekompresi
 Batu > 1 cm impaksi di Hartmann’s
pouch
 BMI > 30
 Adhesi dari operasi sebelumnya
 Cairan empedu/nanah di luar
kantung empedu
 Fistula

KLASIFIKASI TEKNIK OPERASI :


 CVS
 PROSEDUR BAILOUT

18 UNIVERSITAS INDONESIA
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Desain penelitian


Penelitian ini merupakan studi deskriptif analitik retrospektif dengan desain cross
sectional. Data penelitian merupakan data sekunder yang diambil dari rekam medis
dan dokumentasi foto intraoperatif pasien di Depertemen Ilmu Bedah Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo (RSCM).

3.2. Tempat dan waktu penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan di RSCM pada bulan Januari sampai Maret 2020.

3.3. Populasi dan sampel penelitian


3.3.1. Populasi
Populasi penelitian ini adalah pasien yang sudah dilakukan tindakan kolesistektomi
secara laparaskopi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dalam pada kurun waktu
Januari 2019 – Desember 2019 (12 bulan).
3.3.2. Kriteria inklusi dan eksklusi sampel
Kriteria inklusi Kriteria eksklusi
 Pasien yang hanya dilakukan tindakan  Pasien yang menjalani prosedur operasi yang
laparaskopi kolesistektomi atau lain selain laparaskopi kolesistektomi.
prosedur bailout dari 1 Januari 2019  Data di rekam medis tidak lengkap
sampai dengan 31 Desember 2019  Data di Divisi Bedah Digestive tidak
 Memiliki data yang lengkap dalam lengkap.
rekam medis dan memiliki data foto-
foto operasi di Divisi Bedah Digestive.

3.3.3. Teknik pengambilan sampel


Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode konsekutif dengan
mengambil seluruh pasien yang masuk dalam kriteria inklusi dalam data rekam medis
di Departemen Ilmu Bedah RSCM.

19 UNIVERSITAS INDONESIA
3.3.4. Estimasi besar sampel
Tidak dihitung karena seluruh pasien yang masuk dalam kriteria inklusi diambil
sebagai sampel

3.4. Variabel penelitian


3.4.1. Variebel bebas adalah nilai G10
3.4.2. Variabel terikat adalah teknik operasi.
3.4.3. Variabel perancu adalah faktor-faktor yang diduga mempengaruhi operasi,
terdiri dari operator dan sarana yang digunakan.

3.5. Definisi operasional


No Variabel Definisi Cara Kode Jenis
Pengukuran Data
1 Nilai G10 Sistem penilaian Data sekunder Interval
intraoperatif yang (rekam medik
menilai tingkat kesulitan dan foto
operasi laparaskopi operasi di
kolesistektomi. Nilai divisi bedah
yang diberikan berkisar digestif)
1 sampai 10.
2 Teknik Strategi operasi yang Data sekunder 1. Critical View of Safety Nominal
operasi dilakukan saat (rekam medik) (CVS)
laparaskopi 2. Prosedur Bailout,
kolesistektomi. antara lain : FF, SC
atau konversi operasi
terbuka.

3.6. Metode pengumpulan data


Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan status rekam medis pasien
dan dokumentasi foto saat operasi di Departemen Ilmu Bedah RSCM, kemudian
dilakukan pengambilan data identitas, jenis kelamin, nomor telpon, diagnosis, jenis
tindakan operasi, Nilai G10, teknik operasi yang dilakukan.
3.7. Rencana pengolahan dan analisis data

20 UNIVERSITAS INDONESIA
Data penelitian ini akan diolah dan dianalisis menggunakan software SPSS versi 25 for
windows. Data sosiodemografi, faktor-faktor preoperatif dan perioperatif disajikan
sebagai data deskriptif. Data nilai G10, lama operasi, jumlah perdarahan, nyeri
pascaoperasi dan lama perawatan pascaoperasi akan dilihat normalitasnya dengan uji
Kolmogorov smirnof, kemudian dilakukan uji Kruskal-Wallis untuk melihat adanya
perbedaan berdasarkan teknik operasi yang digunakan. Dilakukan uji statistik non
parametrik Mann-Whitney untuk melihat adanya hubungan antara nilai G10 dengan
teknik operasi. Bila ada hubungan, dilakukan uji ROC untuk melihat sensitifitas dan
spesifisitas nilai G10 terhadap prosedur Bailout, kemudian ditentukan nilai cut-off nya.

3.8. Alur penelitian

Proposal penelitian Sampel peneltian

Pengajuan etik
penelitian
Nilai G10
Pengambilan data Teknik operasi

Rekam medis pasien

Analisis data
Populasi penelitian

Kriteria inklusi dan


eksklusi Hasil

21 UNIVERSITAS INDONESIA
3.9. Etika Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan data dari rekam medik pasien RSCM dan akan
mengajukan permohonan kaji etik kepada komite etik RSCM sesuai dengan standar
yang berlaku. Segala bentuk data rekam medis yang didapatkan akan dijaga
kerahasiaannya dan digunakan terbatas hanya untuk kepentingan penelitian ini semata.

22 UNIVERSITAS INDONESIA
BAB IV
HASIL

4.1. Karakteristik Subjek Penelitian


Terdapat 104 pasien yang menjalani operasi laparaskopi kolesistektomi dari tanggal
1 Januari 2019 sampai 31 Desember 2019. Hanya 99 pasien memenuhi kriteria inklusi
dan masuk sebagai subyek penelitian. 5 pasien tidak memiliki data rekam medis dan
dokumentasi intraoperatif yang lengkap sehingga dieksklusi dari subyek penelitian
(Gambar 4.1).

104 pasien yang dilakukan laparaskopi kolesistektomi

5 pasien dieksklusi

99 pasien masuk kriteria inklusi Evaluasi nilai G10

CVS Bailout
N = 81 (81.8%) N = 18 (18.2%)

Fundus first
N = 14 (14.2 %)

Subtotal
N = 2 (2.0%)

Konversi pembedahan terbuka


N = 2 (2.0%)

Gambar 4.1 Flowchart dari 104 pasien yang dilakukan laparaskopi kolesistektomi di
RSCM periode 1 Januari 2019 sampai 31 Desember 2019.

Detail karakteristik sosiodemografi dan faktor-faktor preoperatif subyek penelitian


ditampilkan dalam Tabel 4.1. Terdapat 62 pasien (62.6%) yang datang dengan keluhan
utama nyeri pada perut kanan atas tanpa disertai riwayat ikterik dan 37 pasien (37.4 %)

23 UNIVERSITAS INDONESIA
memiliki riwayat ikterik sebelumnya. Pasien yang memiliki riwayat ikterik semua
pernah dilakukan ERCP dan 5 pasien (5.05 %) pernah dilakukan ESWL. 14 pasien
(14.1 %) mengeluhkan gejala yang dialami lebih dari 1 tahun. Sarana pencitraan yang
paling banyak dibawa oleh pasien adalah ultrasonografi (87 pasien, 87.9 %), ERCP (37
pasien, 37.4%), MRCP (28 pasien, 28.3 %) dan CT Scan (10 pasien, 10.1 %). 91 pasien
(91.9 %) datang dengan deskripsi hasil pencitraan menunjukkan adanya batu di
kantung empedu, sedangkan 8 pasien (8.1 %) tidak ada gambaran batu di kantung
empedu tapi memiliki gambaran radiologi lain di kantung empedu dan sistem bilier (4
pasien riwayat ikterik dan pernah menjalani ERCP, 3 pasien didapatkan polip kantung
empedu, 1 pasien dengan penebalan kantung embedu). 8 pasien (8.1 %) masuk melalui
Instalasi Gawat Darurat dengan tanda-tanda infeksi akut (nyeri disertai demam,
leukosistosis) dan 91 pasien (91.9 %) masuk melalui Instalasi Rawat Jalan. Hasil
diagnosis akhir, 67 pasien didiagnosis dengan kolesistolitiasis simptomatik (67.7%),
23 pasien kolesistitis kronis (23.2%), 4 pasien kolesistitis akut (4.0 %), 4 pasien
kolangitis akut (4.0 %) dan 1 pasien polip kantung empedu (1.0 %). Jenis tindakan
operasi yang dilakukan, 1 pasien (1.0 %) dilakukan tindakan operasi segera saat datang
di instalasi gawat darurat, 7 pasien (7.1 %) dilakukan operasi urgen (1 – 2 minggu
setelah rawat inap) dan sebagian besar sisanya dilakukan tindakan operasi elektif (91
orang, 91.9 %).

Tabel 4.1 Karakteristik sosiodemografi dan faktor-faktor preoperatif pasien laparaskopi


kolesistektomi di RSCM dari periode 1 Januari 2019 hingga 31 Desember 2019.
Sosiodemografi
Usia dlm tahun (median, minimum-maksimum) 51 (23 – 80)
Jenis kelamin (n, %)
 Laki-laki 37 (37.4 %)
 Perempuan 62 (62.6 %)
Agama (n, %)
 Islam 76 (76.8 %)
 Kristen 18 (18.2 %)
 Katolik 3 (3.0 %)
 Budha 2 (2,0 %)
 Hindu 0 (0 %)
Suku (n, %)

24 UNIVERSITAS INDONESIA
 Jawa 23 (23.2 %)
 Sunda 19 (19.2 %)
 Batak 17 (17.2 %)
 Betawi 14 (14.1 %)
 Minang 8 (8.1 %)
 Cina 3 (3.0 %)
 Melayu 3 (3.0 %)
12 (12.1 %)
 Lain
Status Pendidikan (n, %)
 SD 12 (12.1 %)
 SMP 15 (15.2 %)
 SMA 44 (44.4 %)
 Diploma 8 (8.1 %)
 S1 16 (16.2 %)
 S2 4 (4.0%)
Faktor perioperatif
IMT/ Index Masa Tubuh (kg/m2) 25.26 + 4.40
Riwayat Operasi di Abdomen (n, %)
 Tidak ada 80 (80.8 %)
 Ada 19 (19.2 %)
Keluhan Utama (n, %)
 Nyeri tanpa ikterik 62 (62.6 %)
 Ikterik/ riwayat ikterik 37 (37.4 %)
Riwayat intervensi sebelum operasi :
 ERCP 37 (37.37 %)
 ESWL 5 (5.05 %)
Lama Keluhan (n, %)
 < 1 tahun 85 (85.9 %)
 > 1 tahun 14 (14.1 %)
Penunjang Diagnosis (n, %)
 USG 87 (87.9 %)
 CT SCAN 10 (10.1 %)
 MRCP 28 (28.3 %)
 ERCP 37 (37.4 %)
Deskripsi hasil pencitraan (n, %)
 Batu di kantung empedu 91 (91.9 %)
 Sludge 9 (9.1 %)
 Polip di kantung empedu 5 (5.1 %)
 Hydrop kantung empedu 3 (3.0 %)
 Penebalan dinding kantung empedu 11 (11.1 %)
 Cairan di sekitar kantung empedu 2 (2.0 %)
Komorbid (n, %)
 Tidak ada 54 (54.5 %)
 Ada 45 (45.5 %)
Jenis Komorbid :
- Hipertensi 27 (27.27 %)
- Diabetes melitus 13 (13.13 %)
- Hepatitis 7 (7.07 %)
- Coronary artery disease / CAD 4 (4.04 %)
- Sirosis 2 (2.02 %)

25 UNIVERSITAS INDONESIA
- Chronic kidney disease / CKD 2 (2.02 %)
- Hyperthyroid 2 (2.02 %)
- Tuberkulosis 2 (2.02 %)
ASA (n, %)
 1 22 (22.2 %)
 2 68 (68.7 %)
 3 9 (9.1 %)
Diagnosis (n, %)
 Kolesistitis akut 4 (4.0 %)
 Kolesistitis kronis 23 (23.2 %)
 Kolesistolitiasis simptomatik 67 (67.7 %)
 Polip kantung empedu 1 (1.0 %)
 Kolangitis akut 4 (4.0 %)
Jenis Operasi (n, %)
 Darurat (dilakukan di IGD) 1 (1.0 %)
 Urgen (1-2 minggu setelah rawat inap) 7 (7.1 %)
 Elektif 91 (91.9 %)
Operator (n, %)
 Residen 9 (9.1 %)
 Trainee 52 (52.5 %)
 Dokter senior 38 (38.4 %)
Komplikasi pascaoperasi
 Perdarahan 1 (1.01 %)
 Post cholecystectomy syndrome (PCS) 7 (7.07 %)
 Infeksi luka operasi (ILO) 1 (1.01 %)

Dilakukan evaluasi terhadap status rekam medis, foto-foto dokumentasi saat operasi
dan laporan operasi setiap pasien untuk menilai adesi pada kantung empedu, kesulitan
akses karena perlengketan akibat operasi sebelumnya, bentuk kantung empedu,
kemampuan operator memegang kantung empedu tanpa mendekompresi/melukai
kantung empedu, adanya batu dengan diameter > 1 cm yang impaksi di Hartmann’s
pouch, adanya fistula (mirrizi tipe 2/3), adanya cairan empedu/pus diluar kantung
empedu, dan BMI pasien. Dari evaluasi tersebut didapatkan median nilai G10 adalah 2
(1-8), dengan distribusi sesuai dengan Gambar 4.2.

26 UNIVERSITAS INDONESIA
Nilai CVS Bailout (n,
G10 (n, %) %)
1 45 (100 %) 0 (0 %)
2 20 (80 %) 5 (20 %)
3 8 (72.7 %) 3 (27.3 %)
4 6 (60.0 %) 4 (40.0 %)
5 1 (55.6 %) 4 (44.4 %)
6 1 (50.0 %) 1 (50.0%)
7 0 (0%) 0 (0%)
8 0 (0%) 1 (100%)
9 0 (0%) 0 (0%)
10 0 (0%) 0 (0%)

Gambar 4.2 Distribusi frekuensi nilai G10 dari 99 pasien yang dilakukan laparaskopi
kolesistektomi di RSCM periode 1 Januari 2019 sampai 31 Desember 2019.

Hasil uji normalitas distribusi nilai G10, lama operasi, jumlah perdarahan
intraoperasi, nyeri pascaoperasi dan lama rawat pascaoperasi berdasarkan teknik
operasi didapatkan nilai signifikansi < 0.005, maka dapat disimpulkan data
berdistribusi tidak normal. Dari uji perbedaan dengan Kruskal-Wallis didapatkan
adanya perbedaan nilai G10, lama operasi, jumlah perdarahan saat operasi, nyeri
pascaoperasi dan lama rawat pascaoperasi antara kelompok pasien yang menggunakan
teknik CVS, FF, SC dan konversi pembedahan terbuka.

Tabel 4.2 Distribusi variabel intraoperatif dan outcome pascaoperasi berdasarkan


teknik operasi.
CVS FF SC Konversi P Value
(n = 81) (n = 14) (n = 2) (n = 2)
1 Nilai G10 1 (1-6) 3 (2-6) 5 (5-5) 6.5 (5-8) 0.000
(median, min-maks)
2 Lama operasi dlm menit 150 (45-320) 210 (150-305) 285 (180-390) 250 (230-270) 0.000
(median, min-maks)
3 Jumlah perdarahan intraoperatif 10 (5-100) 20 (5-300) 85 (20-150) 525 (350-700) 0.000
dlm cc (median, min-maks)
7 Nyeri pascaoperasi dalam VAS 2 (1-4) 2 (1-3) 2.5 (2-3) 4 (4-4) 0.001
(median, min-maks)
8 Lama perawatan pascaoperasi 2 (1-7) 3.5 (1-9) 4.5 (2-7) 5.5 (5-6) 0.002
dalam hari

27 UNIVERSITAS INDONESIA
(median, min-maks)
4.2. Hubungan nilai G10 dengan prosedur Bailout.
Hasil uji normalitas dengan One-Sample Kolmogorov-Smirnov terhadap nilai G10
terhadap prosedur Bailout didapatkan nilai signifikansi <0.005, sehingga distribusi data
tidak normal. Median nilai G10 pada 81 pasien yang dilakukan CVS adalah 1 dengan
rentang minimun 1 sampai dengan maksimum 6. Sedangkan median nilai G10 pada 18
pasien yang dilakukan prosedur bailout adalah 4 dengan rentang minimum 2 sampai
dengan maksimum 8. Dilakukan uji perbedaaan statistik untuk nilai G10 berdasarkan
teknik operasi menggunakan uji nonparametrik Mann-Whitney. Hasil uji didapat nilai
signifikasi < 0.05. Maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan nilai G10 yang
signifikan antara kelompok yang dilakukan CVS dengan kelompok yang dilakukan
prosedur Bailout, dimana nilai G10 untuk pasien yang dilakukan prosedur bailout lebih
besar daripada kelompok CVS.

Teknik CVS Prosedur Bailout

Gambar 4.3 Distribusi frekuensi nilai G10 pada pasien yang dilakukan teknik CVS
dan prosedur Bailout.

Dilakukan uji statistik Kendall’s tau untuk menilai hubungan antara nilai G10
dengan prosedur Bailout saat laparaskopi kolesistektomi. Kesimpulannya terdapat
hubungan yang kuat antara nilai G10 dengan prosedur Bailout. Makin tinggi nilai G10
maka angka persentase prosedur Bailout makin besar (p value< 0.01, Correlation
Coefficient +0.478). Akurasi nilai G10 untuk memprediksi prosedur Bailout dinilai
dengan menggunakan kurva Receiver Operating Characteristic (ROC) dan didapatkan

28 UNIVERSITAS INDONESIA
bahwa nilai G10 memiliki AUC 0.868 (p<0.05%). Setelah memaksimalkan nilai
sensitivitas dan spesifisitas, maka didapatkan cut-off nilai G10 yang paling optimal
untuk memprediksi prosedur Bailout adalah 2 (Sensitivitas 100 % dan spesifisitas 55.6
%).

29 UNIVERSITAS INDONESIA
Gambar 4.4. Kurva ROC menunjukkan hubungan nilai G10 terhadap prosedur Bailout.

30 UNIVERSITAS INDONESIA
BAB V
PEMBAHASAN

5.1. Karakteristik subjek penelitian


Kolesistolitiasis simtomatik dapat menimbulkan gejala klinis dan sistemik dengan
spektrum gejala yang sangat bervariasi. Gejala ditimbulkan bisa akibat pengaruh lokal
pada kantung empedu sampai dengan komplikasi yang terjadi pada saluran bilier. Pada
penelitian ini 62 pasien (62.6 %) datang dengan keluhan nyeri pada perut kanan atas
tanpa ada riwayat ikterik sebelumnya dan 37 pasien (37.4 %) disertai riwayat ikterik
sebelumnya. Dari semua pasien yang memiliki riwayat ikterik, semuanya pernah
menjalani ERCP (37.37 %) dan 5 pasien pernah menjalani ESWL (5,05 %). Di negara
berkembang, pasien seringkali datang untuk mencari penanganan setelah pasien
melewati fase akut dan mengalami keluhan dalam waktu yang lama. Adanya inflamasi
yang terjadi dalam waktu lama akan menyebabkan terjadinya adhesi dan fibrosis yang
dapat menyebabkan penyulit saat dilakukan laparaskopi kolesistektomi. 14 pasien (14.1
%) yang dilakukan operasi ternyata telah mengalami keluhan lebih dari 1 tahun.
Masalah yang paling umum ditemui pada DGB adalah ekspose yang adekuat. Pada
periode awal setelah diperkenalkannya penggunaan laparaskopi, adanya riwayat operasi
di perut menjadi kontraindikasi relatif terhadap laparaskopi kolesistektomi. Namun
seiring dengan semakin banyaknya pengalaman dokter bedah, menunjukkan tidak
semua riwayat operasi abdomen akan menyebabkan kesulitan ekspose pada kantung
empedu. Operasi masih dapat dilakukan dengan aman terhadap pasien yang memiliki
riwayat operasi di abdomen sebelumnya. 19 pasien (19,2 %) dari kasus laparaskopi
kolesistektomi pada studi ini memiliki riwayat operasi di abdomen sebelumnya. Namun
hanya ada 2 pasien (2.02 %) yang mengalami kesulitan ekspose akibat adhesi dari
operasi sebelumnya dan membutuhkan adhesiolisis. Meskipun tidak mungkin untuk
memprediksi dengan akurat operasi mana yang akan menghasilkan adhesi yang dapat
mengganggu ekspose kantung empedu, namun lokasi bekas luka insisi adalah hal

31 UNIVERSITAS INDONESIA
pertama yang harus dipertimbangkan oleh dokter bedah untuk memasukkan trokar
pertama untuk port kamera saat awal operasi. Dalam hal ini port pertama untuk kamera
tidak harus selalu harus dimulai di daerah infraumbilikus, melainkan bisa dimulai di
lokasi lain (right subcostal anterior axillary line) yang tidak ada luka bekas operasi.
Prosedur yang digunakan di RSCM untuk memasukkan trokar pertama dilakukan
secara terbuka (Hasson). Setelah kamera masuk di dalam abdomen maka baru dapat
dievaluasi keamanan memasukkan trokar berikutnya melalui bekas luka operasi. Selain
itu riwayat operasi di perut yang lebih dari satu kali atau adanya riwayat operasi di
hepar, gaster dan duodenum juga memiliki resiko lebih besar untuk menimbulkan adesi
di kantung empedu.
Diagnosis terbanyak pasien yang menjalani laparaskopi kolesistektomi sepanjang
tahun 2019 adalah kolesistolitiasis simtomatik dan kolesistitis kronis. Sedangkan
persentase kolesistitis akut hanya 4.0 % (4 pasien). Angka ini lebih rendah dari
beberapa studi lain yang mendapatkan persentase kasus kolesistitis akut berkisar 10-30
% [ CITATION Kna14 \l 1033 ]. Hal ini karena adanya sistem rujukan pelayanan kesehatan
yang diberlakukan oleh pemerintah sehingga kolesistitis akut sebagian besar telah
ditangani oleh rumah sakit rujukan pertama dan hanya kasus yang disertai penyulit
yang dirujuk di RSCM (sebagian besar adalah kasus elektif). Terdapat 1 pasien yang
mengalami komplikasi perdarahan akibat terlepasnya klip hem-o-lok yang digunakan
untuk ligasi arteri sistika sehinga harus dilakukan reoperasi. Selain itu ada 7 pasien
(7.1 %) mengalami post cholecystectomy syndrome (nyeri pascaoperasi) yang
membaik dengan terapi konservatif. Angka ini lebih rendah dari penelitian sebelumnya
[ CITATION TGl17 \l 1033 ] karena obsevasi yang dilakukan dalam studi ini hanya selama
1 bulan pascaoperasi.
Didapatkan perbedaan nilai G10 terhadap masing-masing teknik operasi. CVS
memiliki median nilai G10 yang rendah, diikuti dengan FF dan SC. Konversi memiliki
median nilai G10 yang paling besar (p<0.000). Penggunaan CVS dalam prosedur
laparaskopi kolesistektomi di RSCM sudah diterapkan sebagai standar operasional
baku di divisi bedah digestif. Dalam studi ini, CVS diterapkan pada 81 pasien (81.8 %)

32 UNIVERSITAS INDONESIA
dengan besar nilai G10 adalah 1 (1-6). Penderita yang dilakukan CVS memiliki waktu
operasi yang lebih pendek, jumlah perdarahan intraoperasi yang lebih sedikit, nyeri
pascaoperasi yang lebih ringan dan lama perawatan pascaoperasi yang lebih singkat
daripada teknik yang lain. Dalam studi ini didapatkan operator bedah menggunakan
teknik CVS umumnya pada kantung empedu dengan derajat severitas yang ringan.
Sedangkan untuk kantung empedu dengan derajat severitas yang lebih berat memiliki
persentase penggunaan teknik yang lain lebih besar. Adanya perbedaan severitas
kantung empedu dapat berpengaruh terhadap lama operasi dan jumlah perdarahan
intraoperatif, sehingga tidak dapat disimpulkan bahwa teknik CVS lebih baik dari
teknik yang lain.
Fundus first cholecystectomy (FF) adalah teknik bailout yang paling sering
digunakan di RSCM (14 pasien, 14.2%). Pasien yang dilakukan FF memiliki median
nilai G10 3 (range 2-6). Dokter bedah jarang menggunakan teknik ini pada kasus
laparaskopi kolesistektomi yang mudah. Namun pada kasus yang sulit, teknik ini dapat
mengekspose triangle of safety dengan lebih baik [ CITATION Kel09 \l 1033 ]. Pada studi
ini, alasan operator melakukan pendekatan FF adalah duktus sistikus yang melebar (5
kasus), contracted gallbladder (4 kasus), adesi cystic plate (3 kasus), dan kyphosis
hepar (2 kasus). Semua hal tersebut menyebabkan operator mengalami kesulitan dalam
menerapkan CVS dan memilih teknik FF. Mahmud et al melaporkan penggunaan FF
dapat mengurangi angka potensial konversi pembedahan terbuka dari 5.2 % menjadi
1.2 % [ CITATION Mah02 \l 1033 ]. Huang et al juga melaporkan pada kelompok yang
dilakukan FF memiliki angka konversi pembedahan terbuka yang lebih rendah,
presentase komplikasi yang lebih rendah dan lama perawatan postoperatif yang lebih
pendek daripada prosedur konvensional [ CITATION Hua11 \l 1033 ]. Dalam studi ini,
pasien yang dilakukan teknik FF memiliki waktu operasi yang lebih lama dari pada
CVS, namun lebih pendek daripada prosedur Bailout yang lain. Sedangkan jumlah
perdarahan intraoperasi, nyeri pascaoperasi dan lama perawatan pascaoperasi
sebanding dengan teknik CVS. Meskipun teknik ini merupakan salah satu prosedur
Bailout, namun dokter bedah harus ingat akan adanya resiko trauma bilier/vaskuler

33 UNIVERSITAS INDONESIA
yang dapat terjadi akibat error trap. Pada saat kantong empedu telah terpisah dari
hepar, kantong empedu cenderung terpuntir sehingga operator akan mengalami
kesulitan saat melakukan diseksi didaerah duktus sistikus. Untuk itu penggunaan
retraktor hepar menjadi hal yang penting. Selain itu pada kasus kolesistitis kronis dan
berat yang seringkali menyebabkan kantung empedu mengkerut, operator dapat
melakukan diseksi pada bidang yang salah didaerah cystic plate karena diseksi yang
dilakukan lebih dekat dengan hati daripada kantung empedu, sehingga dapat
menimbulkan cedera pada hilus. Untuk itu dokter bedah harus waspada saat
menggunakan teknik ini, dan harus memiliki pemahaman yang jelas tentang anatomi
cystic plate dan diseksi yang dilakukan harus tetap dekat dengan kantong empedu
selama pembedahan [ CITATION Gup19 \l 1033 ]. Tidak ada komplikasi trauma bilier pada
pasien yang dilakukan teknik FF dalam studi ini.
Laparascopic subtotal cholecystectomy (SC) dilakukan pada 2 pasien (2.0 %).
Median nilai G10 pada pasien yang dilakukan teknik ini adalah 3 (2-6). Pertimbangan
dilakukan teknik SC karena adanya adhesi berat pada triangle of safety sehingga tidak
dapat dilakukan identifikasi dan diseksi struktur sistikus (kesulitan mengidentifikasi
struktur anatomi sistem bilier). Teknik SC lebih jarang digunakan di RSCM
dibandingkan dengan teknik FF. Berbeda dengan hasil penelitian Manatakis [ CITATION
Man19 \l 1033 ] yang menyatakan teknik SC sebagai prosedur Bailout yang paling
banyak digunakan daripada FF saat menghadapi DGB. Hasil studi yang dilakukan oleh
Iwashita [ CITATION Iwa17 \l 1033 ] menemukan bahwa teknik SC lebih dikenal dan
direkomendasikan oleh dokter bedah yang berasal dari Amerika, sementara teknik FF
lebih sering digunakan oleh dokter bedah di Taiwan dan Korea. Komplikasi yang
paling sering dari teknik SC antara lain kebocoran cairan empedu/ bile leak (5.6-10.6
%), reccurent symptomatic gallstone (2.2 %) dan reoperasi (2.7 %)[ CITATION Hen13 \l
1033 ]. Resiko komplikasi yang dapat terjadi pada laparaskopi menggunakan teknik SC
lebih besar dari teknik FF, sehingga dokter bedah lebih memilih menggunakan FF
sebagai prosedur pertama yang dipilih saat menghadapi laparaskopi kolesistektomi
yang sulit. Apabila teknik FF gagal, baru dipertimbangkan untuk menggunakan teknik

34 UNIVERSITAS INDONESIA
SC[ CITATION Eik12 \l 1033 ]. Pasien yang dilakukan teknik SC memerlukan waktu
operasi yang lebih lama dibandingkan teknik CVS dan FF, namun jumlah perdarahan,
nyeri pascaoperasi dan lama perawatan pascaoperasi sebanding dengan teknik CVS dan
FF. Tidak ditemukan komplikasi pada pasien yang dilakukan dilakukan teknik SC
dalam penelitian ini.
Terdapat 2 pasien (2.0 %) yang dilakukan konversi kolesitektomi terbuka.
Pertimbangan untuk dilakukan konversi pada penelitian ini adalah karena didapatkan
perlengketan kantung empedu dengan duodenum yang gagal dilakukan adhesolisis (1
pasien) dan adanya sindrom mirizzi tipe 2 (1 pasien). Tujuan konversi adalah untuk
meningkatkan lapangan pandang, penggunaan sensasi taktil untuk mengidentifikasi
jaringan dan meningkatkan manipulasi yang lebih baik untuk mencegah trauma
iatrogenik. Nilai G10 pada pasien yang dilakukan konversi adalah 6.5 (5-8). Persentase
konversi pada studi ini sama bila dibandingkan dengan beberapa penelitian lain.
Konversi lebih sering terjadi pada pasien usia tua, pada kasus kolesistitis akut dengan
keradangan hebat dan pada kasus yang ditangani oleh operator yang belum terbiasa
menggunakan laparaskopi [ CITATION Man19 \l 1033 ] . Dewasa ini, tindakan
kolesistektomi dengan pembedahan terbuka semakin menurun dibandingkan dengan
laparaskopi. Begitu juga apabila prosedur laparaskopi kolesistektomi mengalami
kesulitan akibat DGB, dokter bedah lebih memilih untuk melakukan prosedur Bailout
yang lain daripada konversi kolesistektomi terbuka [ CITATION Ash16 \l 1033 ][ CITATION
Sug19 \l 1033 ]. Dalam penelitian ini, 1 pasien mengalami komplikasi berupa infeksi
luka operasi yang membaik dengan perawatan konservatif. Wolf melaporkan pada
pasien laki-laki, usia tua dan pasien yang memiliki riwayat operasi sebelumnya yang
dilakukan konversi kolesistektomi terbuka memiliki angka mortalitas dan morbiditas
yang lebih tinggi daripada pasien yang dilakukan laparaskopi kolesistektomi. Sehingga
pertimbangan untuk dilakukan konversi dari laparaskopi kolesistektomi menjadi
operasi terbuka harus benar-benar dipertimbangkan manfaatnya dan disesuaikan
dengan kesiapan tim yang menangani [ CITATION Wol09 \l 1033 ]. Bagaimanapun juga,
konversi kolesistektomi terbuka tidak dianggap sebagai komplikasi apalagi kegagalan

35 UNIVERSITAS INDONESIA
dari laparaskopi kolesistektomi. Keputusan melakukan konversi pembedahan terbuka
adalah hasil pertimbangan klinis dokter bedah dalam menyelesaikan kasus yang
dihadapinya dengan tujuan untuk kebaikan dan keselamatan pasien.

5.2. Nilai G10 sebagai panduan prosedur bailout pada laparaskopi kolesistektomi.
Sampai saat ini laparaskopi kolesistektomi masih merupakan terapi definitif untuk
kolesistolitasis simptomatik. Sedangkan resiko terjadinya BDI dan VBI pada
laparaskopi kolesistektomi bisa lebih tinggi daripada pada operasi terbuka. Terjadinya
BDI dan VBI akan menambah morbiditas, meningkatkan resiko mortalitas,
menurunkan kualitas hidup pasien serta memiliki implikasi medikolegal terhadap
dokter dan institusi terkait. Sehingga penting bagi dokter bedah untuk menghindari
terjadinya BDI dan VBI saat melakukan laparaskopi kolesistektomi. Sebagai langkah
awal, perlu penentuan severitas kantung empedu intraoperatif dengan menggunakan
sistem penilaian yang terstandard. Hal ini penting untuk mendapatkan kesamaan
persepsi terhadap severitas kantung empedu dan dapat menjadi pedoman untuk
menentukan teknik operasi yang tepat demi menghindari kemungkinan terjadinya BDI
dan VBI.
Nilai G10 adalah sistem penilaian severitas kantung empedu intraoperatif yang
menggunakan sistem penilaian berdasarkan beberapa variabel intraoperatif yang
terbukti mempengaruhi konversi kolesistektomi terbuka [ CITATION Sug19 \l 1033 ].
Namun kami melihat penggunaanya dapat diterapkan lebih luas yaitu sebagai panduan
dokter bedah untuk melakukan prosedur bailout saat melakukan tindakan laparaskopi
kolesistektomi. Semakin tinggi nilai G10 berhubungan dengan severitas kantung
empedu yang semakin berat sehingga persentase penggunaan prosedur Bailout semakin
besar (p<0.01). Hal yang seringkali menjadi batu sandungan bagi dokter bedah adalah
keinginan operator untuk melakukan kolesistektomi komplit tanpa menyadari tingkat
kesulitan kantung empedu yang dihadapinya. Melalui penerapan penilaian G10

36 UNIVERSITAS INDONESIA
intraoperatif secara rutin dokter bedah dapat menilai severitas kantung empedu secara
obyektif. Hal ini penting untuk meningkatkan kewaspadaan dokter bedah saat
menghadapi kasus DGB sehingga dapat segera mempersiapkan berbagai kemungkinan
yang dapat dilakukan bila menghadapi kesulitan.
Saat menghadapi kasus DGB, dokter bedah dapat menggunakan pencitraan untuk
membantu menggambarkan anatomi bilier pada kasus yang sedang dihadapi, antara lain
dengan menggunakan intraoperative cholangiography (IOC), intraoperative
ultrasonography (IOUS) dan fluorescence cholangiography. Dalam beberapa studi
disebutkan bahwa penggunaan sarana pencitraan tersebut dapat menurunkan persentase
trauma bilier [ CITATION Gra18 \l 1033 ]. Namun tidak semua fasilitas kesehatan di
Indonesia memiliki alat tersebut. Sampai saat ini, RSCM hanya memiliki IOC yang
penggunaannya dilakukan secara selektif, karena sarana dan prasarana yang terbatas.
Dari 99 kasus laparaskopi kolesistektomi yang sudah dilakukan, tidak ada yang
dilakukan pemeriksaan IOC. Sulitnya penyediaan IOC saat menghadapi DGB
mendorong kami melakukan diseksi yang baik dan lebih mengoptimalkan penggunaan
alternatif prosedur Bailout saat menghadapi DGB.
Pada studi ini, CVS diterapkap pada 81 pasien (81.8 %) dan prosedur Bailout pada
18 pasien (18.2 %). Ada perbedaan nilai G10 pada pasien yang dilakukan CVS
dibandingkan dengan prosedur Bailout (p<0.05). Nilai G10 juga memiliki hubungan
kuat dengan prosedur Bailout (p<0.01. Corr.Coef +0.478). Nilai G10 yang semakin
tinggi berhubungan dengan tingkat severitas kantung empedu yang semakin berat
akibat adanya proses peradangan, fibrosis, atau adhesi sehingga dokter bedah akan
mengalami kesulitan mengidentifikasi dan melakukan diseksi triangle of safety
[ CITATION Van18 \l 1033 ]. Saat menghadapi DGB, dokter bedah dapat
mempertimbangkan penggunaan prosedur Bailout untuk menghindari terjadinya trauma
bilier. Manatakis et al. melaporkan dari 1.226 kasus laparaskopi kolesistektomi yang
sudah dilakukan selama 10 tahun, CVS dilakukan pada 1.128 kasus (92 %) dan Bailout
pada 98 kasus (8 % kasus), terdiri dari 52 kasus subtotal cholecystectomy (4.2 %), 12
kasus fundus first cholecystectomy (1,0 %), 33 kasus konversi (2.7 %) dan 1 kasus

37 UNIVERSITAS INDONESIA
kolesistostomi (0.1 %). Tidak didapatkan kasus trauma bilier mayor pada studi tersebut
(zero incident). Hal ini karena mereka berhasil memaksimalkan penggunaan alternatif
prosedur Bailout untuk saling melengkapi. Teknik CVS dan berbagai alternatif
prosedur Bailout dapat saling melengkapi satu dengan yang lain untuk mencegah
trauma bilier, sehingga hal tersebut harus dipahami oleh setiap spesialis bedah dan
menjadi modal ketika menghadapi kasus laparakopi kolesistektomi yang sulit.
Evaluasi menggunakan kurva ROC juga menunjukkan nilai G10 memiliki tingkat
akurasi yang cukup baik untuk memprediksi prosedur Bailout (AUC 0.868). Nilai G10
< 2 adalah batas aman dilakukan teknik CVS tanpa prosedur Bailout. Apabila nilai G10
> 2 (cut-off point) harus mulai dipertimbangkan penggunaan prosedur Bailout untuk
mencegah terjadinya trauma bilier (sensitivitas 100 %). Namun panduan ini tidak
bersifat kaku. Nilai spesifisitas sebesar 55.6 % menunjukkan 44.6 % teknik CVS
dilakukan pada pasien yang memiliki nilai G10 > 2. Semakin sering dokter bedah
melakukan laparaskopi kolesistektomi maka kemampuan dan keahliannya melakukan
manuver operasi laparaskopi akan semakin baik, begitu juga kemampuan menerapkan
teknik CVS pada kasus DGB. Namun dokter bedah yang baik harus selalu
menempatkan keselamatan pasien sebagai hal yang paling utama dari setiap keputusan
yang dibuat.
Pada penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan. Jumlah subjek dalam penelitian
ini masih sedikit, yaitu hanya 99 pasien yang dapat diteliti dalam 1 tahun terakhir.
Dalam penelitian ini kami juga tidak mempertimbangkan tingkat keterampilan dokter
bedah, mengingat bahwa penelitian ini dilakukan di RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo
sebagai salah satu rumah sakit pendidikan dokter spesialis bedah umum dan trainee
bedah digestif di Indonesia. Sehingga tujuan kami untuk mengevaluasi sistem yang
dapat diterapkan dalam situasi klinis apapun terlepas dari keterampilan dokter bedah.

38 UNIVERSITAS INDONESIA
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
Studi ini menunjukkan penilaian G10 sebagai sistem penilaian kantung empedu
intraoperatif yang obyektif, sederhana dan dapat diterapkan saat melakukan laparaskopi
kolesistektomi. Nilai G10 berhubungan dengan prosedur Bailout saat laparaskopi
kolesistektomi. Nilai G10 2 adalah cut-off point yang optimal untuk melakukan
prosedur Bailout saat laparaskopi kolesistektomi.

6.2. Saran
Penelitian ini adalah penelitian awal untuk mengevaluasi kemungkinan penerapan
penilaian G10 pada operasi laparaskopi kolesistektomi di RSCM. Diharapkan sistem
penilaian ini dapat diterapkan pada setiap tindakan laparaskopi kolesistektomi di
RSCM dan dilakukan dokumentasi yang baik. Sehingga diharapkan kedepannya dapat
dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih banyak dan dapat
dilakukan adaptasi dan validasi yang lebih sesuai untuk lingkungan RSCM.

39 UNIVERSITAS INDONESIA
DAFTAR PUSTAKA

1. Sanders G, Kingsnorth A. Gallstones. BMJ. 2007 August 11; 335: 295-299.

2. Hsu CE, Lee KT, Chang CS, Chiu HC, Chao FT, Shi HY. Cholecystectomy prevalence and
treatment cost: an 8-year study in Taiwan. Surg Endos. 2010; 24: 3127–3133.

3. Ibrahim F. Angka kejadian komplikasi kolesistektomi laparaskopik dan hubungannya


dengan usia, riwayat kolesistitis, dan riwayat operasi abdominal. 2014.

4. Batubara R, Mazni Y. Kolesistektomi laparoskopi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo


2014 : Studi retrospektif observasional. 2015.

5. Strasberg SM, Eagon J, Drebin A. The "Hidden Cystic Duct" Syndrome and the Infundibular
Technique of Laparoscopic Cholecystectomy - the Danger of the False Infundibulum.
Journal American College of Surgeons. 2000; 191(6): 661-667.

6. Iwashita Y, et al. Delphi consensus on bile duct injuries during laparoscopic


cholecystectomy: an evolutionary cul-de-sac or the birth pangs of a new technical
framework? J Hepatobiliary Pancreat Sci. 2017; 24: 591–602.

7. Sugrue , Coccolini , Bucholc , Johnston , Contributors from WSES. Intra-operative


gallbladder scoring predicts conversion of laparoscopic to open cholecystectomy: a WSES
prospective collaborative study. World Journal of Emergency Surgery. 2019; 14(12).

8. Saldinger PF, Cocieru A. Natural history of gallstones and asymptomatic gallstones. In


Jarnagin WR, Belghiti J, Büchler MW, et al. Blumgart’s Surgery of the Liver, Biliary Tract,
and Pancreas. Philadelphia: ELSEVIER SAUNDERS; 2012. p. 438-486.

9. Tang L, Schlich T. Surgical Innovation and the Multiple Meanings of Randomized


Controlled Trials: The First RCT on Minimally Invasive Cholecystectomy (1980–2000).
Journal of the History of Medicine and Allied Sciences. 2016; 72(2): 117–141.

10. Nuzzo G, Giuliante , Giovannini I, Ardito , D’Acapito F, Vellone M, et al. Bile Duct Injury
During Laparoscopic Cholecystectomy : Results of an Italian National Survey on 56.591
Cholecystectomies. Arch Surg. 2005 October; 140: 986-992.

11. Hibi T, Iwashita Y, Ohyama , et al. The “right” way is not always popular: comparison of
surgeons’ perceptions during laparoscopic cholecystectomy for acute cholecystitis among
experts from Japan, Korea and Taiwan. J Hepatobiliary Pancreat Sci. 2017; 24: 24–32.

12. Gupta V, Jain G. Safe laparoscopic cholecystectomy: Adoption of universal culture of


safety in cholecystectomy. World J Gastrointest Surg. 2019 February 27; 11(2): 62-84.

40 UNIVERSITAS INDONESIA
13. Ashfaq A, Ahmadieh K, Shah AA, Chapital AB, Harold KL, Johnson DJ. The difficult gall
bladder: Outcomes following laparoscopic cholecystectomy and the need for open
conversion. The American Journal of Surgery. 2016; 212: 1261-1264.

14. Altieri MS, Brunt. Elimination of Bile Duct Injury in Cholecystectomy. Advances in Surgery.
2019; 53: 145-160.

15. Sutcliffe RP, Hollyman M, Hodson J, Bonney G, Vohra RS, Griffiths EA, et al. Preoperative
risk factors for conversion from laparoscopic to open cholecystectomy: a validated risk
score derived from a prospective U.K. database of 8820 patients. HPB. 2016;(18): 922-
928.

16. Yeo CSW, Tay VWY, Low JK, Woon WWL, Punamiya SJ, Shelat VG. Outcomes of
percutaneous cholecystostomy and predictors of eventual cholecystectomy. J
Hepatobiliary Pancreat Sci. 2016; 23: 65–73.

17. Cherng , Witkowski ET, Sneider EB, et al. Use of Cholecystostomy Tubes in the
Management of Patients with Primary Diagnosis of Acute Cholecystitis. Journal of the
American College of Surgeons. 2012 February; 214(2): 196-201.

18. Sugrue M, Sahebally SM, Ansaloni L, Zielinski MD. Grading operative findings at
laparoscopic cholecystectomy - a new scoring system. World Journal of Emergency
Surgery. 2015; 10(14).

19. Wakabayashi G, et al. Tokyo Guidelines 2018: surgical management of acute cholecystitis:
safe steps in laparoscopic cholecystectomy for acute cholecystitis. J Hepatobiliary
Pancreat Sci. 2018; 25: 73-86.

20. Salky BA, Edye MB. The difficult cholecystectomy : problems related to concomitant
diseases. Semin Laparosc Surg. 1998 June; 5: 107-114.

21. Laws HL. The difficult cholecystectomy : problems during dissection and extraction. Semin
Laparosc Surg. 1998 June; 5: 81-91.

22. Strasberg SM. A Teaching Program for the “Culture of Safety in Cholecystectomy” and
Avoidance of Bile Duct Injury. Journal American College of Surgeons. 2013; 4: 751.

23. Strasberg M, Brunt. Rationale and Use of the Critical View of Safety in Laparoscopic
Cholecystectomy. J Am Coll Surg. 2010 July; 211(1): 132-138.

24. Sanford DE, Strasberg SM. A simple effective method for generation of a permanent
record of the critical view of safety during laparoscopic cholecystectomy by intraoperative
‘‘doublet’’ photography. J Am Coll Surg. 2014; 218(2): 170-178.

25. Martin IG, Dexter PL, Marton J, Gibson J, Asker J, Firullo A, et al. Fundus-first laparoscopic
cholecystectomy. Surg Endosc. 1995; 9: 203-206.

41 UNIVERSITAS INDONESIA
26. Kelly MD. Laparoscopic retrograde (fundus first) cholecystectomy. BMC Surgery. 2009;
9(19).

27. Huang SM, Hsiao KM, Pan H, Yao CC, Lai TJ, Chen LY, et al. Overcoming the difficulties in
laparoscopic management of contracted gallbladders with gallstones: possible role of
fundus-down approach. Surg Endosc. 2011; 25: 284–291.

28. Supit C, Supit T, Mazni Y, Basir I. The outcome of laparoscopic subtotal cholecystectomy in
difficult cases – A case series. International Journal of Surgery Case Reports. 2017; 41:
311-314.

29. Dissanaike. A Step-by-Step Guide to Laparoscopic Subtotal Fenestrating Cholecystectomy:


A Damage Control Approach to the Difficult Gallbladder. J Am Coll Surg. 2016 August;
223(2): e15-e18.

30. Strasberg SM, Pucci MJ, Brunt L, Deziel DJ. Subtotal Cholecystectomye“Fenestrating” vs
“Reconstituting” Subtypes and the Prevention of Bile Duct Injury: Definition of the
Optimal Procedure in Difficult Operative Conditions. Journal of American College of
Surgeons. 2016 January; 222(1): 89-96.

31. Knab LM, Boller AM, Mahvi DM. Cholecystitis. Surg Clin N Am. 2014; 94: 455-470.

32. T GA, Lalisang TJM. Faktor resiko tingginya angka Sindrom Paskakolesistektomi (SPK) di
Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 2015. 2017 Februari.

33. Mahmud S, Massaud M, Canna K, Nassar M. Fundus-first laparoscopic cholecystectomy.


Surgical Endoscopy. 2002; 16: 581-584.

34. Manatakis DK, Dimitrios P, Antonopoulou MI. Ten-year Audit of Safe Bail-Out Alternatives
to the Critical View of Safety in Laparoscopic Cholecystectomy. World J Surg. 2019; 43:
2728-2733.

35. Henneman D, da Costa DW, Vrouenraets BC, van Wagensveld BA, Lagarde SM.
Laparascopic partial cholecystectomy for the difficult gallbladder : a systematic review.
Surg. Endosc. 2013; 27: 351-358.

36. Eikermann M, Siegel R, Broeders I, Dziri C, Fingerhut A, Gutt C, et al. Prevention and
treatment of bile duct injuries during laparoscopic cholecystectomy: the clinical practice
guidelines of the European Association for Endoscopic Surgery (EAES). Surg Endosc. 2012
October.

37. Wolf AS, Nijsse A, Sokal SM, Chang Y, Berger DL. Surgical outcomes of open
cholecystectomy in the laparoscopic era. The American Journal of Surgery. 2009; 197(6):
781-784.

38. Graf FWvd, Zaimi I, Stassen LPS, Lange JF. Safe laparoscopic cholecystectomy: A
systematic review of bile duct injury prevention. International Journal of Surgery. 2018;

42 UNIVERSITAS INDONESIA
60: 164–172.

39. Van de Graaf FW, Zaimi I, Stassen LPS, Lange JF. Safe laparoscopic cholecystectomy: A
systematic review of bile duct injury prevention. International Journal of Surgery. 2018;
60: 164–172.

43 UNIVERSITAS INDONESIA
HASIL ANALISIS STATISTIK

1. Sosiodemografi Sample

Statistics
Index Masa LAMA_RAWAT_
Usia (tahun) Tubuh (kg/m2) Nilai G10 PASKA_OP
N Valid 99 99 99 99
Missing 0 0 0 0
Mean 49.80 25.2573 2.16 2.34
Median 51.00 24.6100 2.00 2.00
Std. Deviation 13.421 4.39732 1.455 1.617
Minimum 23 15.52 1 1
Maximum 80 36.00 8 9

Usia (tahun)
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 23 2 2.0 2.0 2.0
25 2 2.0 2.0 4.0
26 1 1.0 1.0 5.1
29 1 1.0 1.0 6.1
30 2 2.0 2.0 8.1
31 2 2.0 2.0 10.1
32 2 2.0 2.0 12.1
33 1 1.0 1.0 13.1
34 2 2.0 2.0 15.2
36 6 6.1 6.1 21.2
37 2 2.0 2.0 23.2
41 5 5.1 5.1 28.3
42 3 3.0 3.0 31.3
43 3 3.0 3.0 34.3
44 1 1.0 1.0 35.4

44 UNIVERSITAS INDONESIA
45 1 1.0 1.0 36.4
46 1 1.0 1.0 37.4
47 3 3.0 3.0 40.4
48 3 3.0 3.0 43.4
49 2 2.0 2.0 45.5
50 4 4.0 4.0 49.5
51 3 3.0 3.0 52.5
52 4 4.0 4.0 56.6
53 2 2.0 2.0 58.6
54 6 6.1 6.1 64.6
55 1 1.0 1.0 65.7
56 2 2.0 2.0 67.7
57 5 5.1 5.1 72.7
58 4 4.0 4.0 76.8
59 3 3.0 3.0 79.8
60 1 1.0 1.0 80.8
61 2 2.0 2.0 82.8
62 1 1.0 1.0 83.8
64 1 1.0 1.0 84.8
65 2 2.0 2.0 86.9
66 2 2.0 2.0 88.9
67 1 1.0 1.0 89.9
68 1 1.0 1.0 90.9
69 1 1.0 1.0 91.9
70 2 2.0 2.0 93.9
73 1 1.0 1.0 94.9
75 2 2.0 2.0 97.0
77 1 1.0 1.0 98.0
78 1 1.0 1.0 99.0
80 1 1.0 1.0 100.0
Total 99 100.0 100.0

Index Masa Tubuh (kg/m2)

45 UNIVERSITAS INDONESIA
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 15.52 1 1.0 1.0 1.0
16.65 1 1.0 1.0 2.0
16.88 1 1.0 1.0 3.0
17.12 1 1.0 1.0 4.0
19.03 1 1.0 1.0 5.1
19.47 1 1.0 1.0 6.1
19.81 1 1.0 1.0 7.1
19.83 1 1.0 1.0 8.1
19.98 1 1.0 1.0 9.1
20.00 1 1.0 1.0 10.1
20.07 1 1.0 1.0 11.1
20.55 1 1.0 1.0 12.1
20.66 1 1.0 1.0 13.1
20.70 1 1.0 1.0 14.1
20.76 1 1.0 1.0 15.2
20.77 1 1.0 1.0 16.2
20.81 2 2.0 2.0 18.2
20.89 1 1.0 1.0 19.2
21.01 1 1.0 1.0 20.2
21.48 1 1.0 1.0 21.2
21.78 3 3.0 3.0 24.2
21.87 1 1.0 1.0 25.3
21.91 1 1.0 1.0 26.3
22.27 1 1.0 1.0 27.3
22.43 2 2.0 2.0 29.3
22.49 1 1.0 1.0 30.3
22.68 1 1.0 1.0 31.3
22.77 1 1.0 1.0 32.3
22.81 1 1.0 1.0 33.3
22.94 1 1.0 1.0 34.3
23.11 1 1.0 1.0 35.4
23.14 2 2.0 2.0 37.4
23.31 1 1.0 1.0 38.4
23.51 2 2.0 2.0 40.4

46 UNIVERSITAS INDONESIA
23.73 1 1.0 1.0 41.4
23.83 1 1.0 1.0 42.4
23.88 2 2.0 2.0 44.4
23.97 1 1.0 1.0 45.5
24.09 1 1.0 1.0 46.5
24.11 1 1.0 1.0 47.5
24.35 1 1.0 1.0 48.5
24.61 2 2.0 2.0 50.5
24.77 1 1.0 1.0 51.5
24.91 1 1.0 1.0 52.5
24.92 1 1.0 1.0 53.5
25.08 1 1.0 1.0 54.5
25.32 1 1.0 1.0 55.6
25.39 1 1.0 1.0 56.6
25.63 1 1.0 1.0 57.6
25.64 1 1.0 1.0 58.6
25.81 1 1.0 1.0 59.6
26.16 1 1.0 1.0 60.6
26.45 1 1.0 1.0 61.6
26.49 1 1.0 1.0 62.6
26.67 1 1.0 1.0 63.6
26.75 1 1.0 1.0 64.6
27.28 1 1.0 1.0 65.7
27.56 1 1.0 1.0 66.7
27.59 1 1.0 1.0 67.7
27.68 1 1.0 1.0 68.7
27.70 1 1.0 1.0 69.7
28.08 1 1.0 1.0 70.7
28.13 1 1.0 1.0 71.7
28.40 1 1.0 1.0 72.7
28.80 1 1.0 1.0 73.7
28.89 3 3.0 3.0 76.8
28.91 1 1.0 1.0 77.8
28.95 1 1.0 1.0 78.8
29.38 1 1.0 1.0 79.8

47 UNIVERSITAS INDONESIA
29.67 1 1.0 1.0 80.8
29.69 1 1.0 1.0 81.8
29.73 1 1.0 1.0 82.8
29.76 1 1.0 1.0 83.8
30.22 2 2.0 2.0 85.9
30.44 1 1.0 1.0 86.9
31.11 3 3.0 3.0 89.9
31.18 1 1.0 1.0 90.9
31.25 2 2.0 2.0 92.9
31.55 1 1.0 1.0 93.9
31.63 1 1.0 1.0 94.9
32.46 1 1.0 1.0 96.0
33.64 1 1.0 1.0 97.0
34.70 1 1.0 1.0 98.0
35.11 1 1.0 1.0 99.0
36.00 1 1.0 1.0 100.0
Total 99 100.0 100.0

Nilai G10
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid 1 45 45.5 45.5 45.5
2 24 24.2 24.2 69.7
3 12 12.1 12.1 81.8
4 10 10.1 10.1 91.9
5 5 5.1 5.1 97.0
6 2 2.0 2.0 99.0
8 1 1.0 1.0 100.0
Total 99 100.0 100.0

LAMA_RAWAT_PASKA_OP
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

48 UNIVERSITAS INDONESIA
Valid 1 35 35.4 35.4 35.4
2 33 33.3 33.3 68.7
3 16 16.2 16.2 84.8
4 5 5.1 5.1 89.9
5 2 2.0 2.0 91.9
6 5 5.1 5.1 97.0
7 2 2.0 2.0 99.0
9 1 1.0 1.0 100.0
Total 99 100.0 100.0

Jenis Kelamin
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Laki-laki 37 37.4 37.4 37.4
Perempuan 62 62.6 62.6 100.0
Total 99 100.0 100.0

Agama
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Islam 76 76.8 76.8 76.8
Kristen 18 18.2 18.2 94.9
Katolik 3 3.0 3.0 98.0
Budha 2 2.0 2.0 100.0
Total 99 100.0 100.0

Suku Bangsa
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Jawa 23 23.2 23.2 23.2
Sunda 19 19.2 19.2 42.4
Betawi 14 14.1 14.1 56.6

49 UNIVERSITAS INDONESIA
Batak 17 17.2 17.2 73.7
Minang 8 8.1 8.1 81.8
Melayu 3 3.0 3.0 84.8
Cina 3 3.0 3.0 87.9
Lain 12 12.1 12.1 100.0
Total 99 100.0 100.0

Tingkat Pendidikan
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid SD 12 12.1 12.1 12.1
SMP 15 15.2 15.2 27.3
SMA 44 44.4 44.4 71.7
Diploma 8 8.1 8.1 79.8
S1 16 16.2 16.2 96.0
S2 4 4.0 4.0 100.0
Total 99 100.0 100.0

2. Karakteristik Preoperatif

Index Masa Tubuh


(kg/m2)
N Valid 99
Missing 0
Mean 25.2573
Median 24.6100
Std. Deviation 4.39732
Minimum 15.52
Maximum 36.00

Frequency Table

Riwayat Operasi
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak ada 80 80.8 80.8 80.8

50 UNIVERSITAS INDONESIA
Ada 19 19.2 19.2 100.0
Total 99 100.0 100.0

Keluhan utama pasien dirawat


Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Nyeri tanpa ikterik 62 62.6 62.6 62.6
Ikterik atau riwayat ikterik 37 37.4 37.4 100.0
Total 99 100.0 100.0

Lama pasien mengalami keluhan utama


Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Kurang dari 1 tahun 85 85.9 85.9 85.9
Lebih dari 1 tahun 14 14.1 14.1 100.0
Total 99 100.0 100.0

Penunjang USG

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent


Valid Tidak ada 12 12.1 12.1 12.1

Ada 87 87.9 87.9 100.0

Total 99 100.0 100.0

Penunjang CT Scan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak ada 89 89.9 89.9 89.9
Ada 10 10.1 10.1 100.0
Total 99 100.0 100.0

Penunjang MRCP
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak ada 71 71.7 71.7 71.7
Ada 28 28.3 28.3 100.0
Total 99 100.0 100.0

Penunjang ERCP

51 UNIVERSITAS INDONESIA
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak ada 62 62.6 62.6 62.6
Ada 37 37.4 37.4 100.0
Total 99 100.0 100.0

Batu kantung empedu


Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak ada 8 8.1 8.1 8.1
Ada 91 91.9 91.9 100.0
Total 99 100.0 100.0

Sludge di kantung empedu


Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak ada 90 90.9 90.9 90.9
Ada 9 9.1 9.1 100.0
Total 99 100.0 100.0
Penebalan dinding kantung empedu
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak ada 88 88.9 88.9 88.9
Ada 11 11.1 11.1 100.0
Total 99 100.0 100.0

Cairan sekitar kantung empedu


Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak ada 97 98.0 98.0 98.0
Ada 2 2.0 2.0 100.0
Total 99 100.0 100.0

Hydrops kantung empedu


Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak ada 96 97.0 97.0 97.0
Ada 3 3.0 3.0 100.0
Total 99 100.0 100.0

Polip kantung empedu

52 UNIVERSITAS INDONESIA
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak ada 94 94.9 94.9 94.9
Ada 5 5.1 5.1 100.0
Total 99 100.0 100.0

Komorbid
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Tidak ada 54 54.5 54.5 54.5
Ada 45 45.5 45.5 100.0
Total 99 100.0 100.0

Status ASA
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 1 22 22.2 22.2 22.2
2 68 68.7 68.7 90.9
3 9 9.1 9.1 100.0
Total 99 100.0 100.0

Diagnosis akhir
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Kolesistitis akut 4 4.0 4.0 4.0
Kolesistitis kronis 23 23.2 23.2 27.3
Kolesistolitiasis simptomatik 67 67.7 67.7 94.9
Polip kantung empedu 1 1.0 1.0 96.0
Kolangitis 4 4.0 4.0 100.0
Total 99 100.0 100.0

Klasifikasi Operasi
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Segera 1 1.0 1.0 1.0
Urgen 7 7.1 7.1 8.1
Elektif 91 91.9 91.9 100.0
Total 99 100.0 100.0

Operator

53 UNIVERSITAS INDONESIA
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Residen 9 9.1 9.1 9.1
Trainee 52 52.5 52.5 61.6
Dokter Senior 38 38.4 38.4 100.0
Total 99 100.0 100.0

3. Distribusi variabel intraoperatif dan outcome pascaoperasi berdasarkan


teknik operasi.

 Distribusi Frekuensi teknik operasi

Teknik_Op2
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid CVS 81 81.8 81.8 81.8
Fundus First 14 14.1 14.1 96.0
Sub Total 2 2.0 2.0 98.0
Konversi 2 2.0 2.0 100.0
Total 99 100.0 100.0

 Evaluasi distribusi normalitas nilai G10 terhadap teknik operasi

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


Unstandardized
Residual
N 99
Normal Parametersa,b Mean .0000000
Std. Deviation 1.12221334
Most Extreme Differences Absolute .270
Positive .270
Negative -.185
Test Statistic .270
Asymp. Sig. (2-tailed) .000c
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
c. Lilliefors Significance Correction.

54 UNIVERSITAS INDONESIA
 Evaluasi distribusi normalitas lama operasi terhadap teknik operasi

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


Unstandardized
Residual
N 99
a,b
Normal Parameters Mean .0000000
Std. Deviation 53.55928186
Most Extreme Differences Absolute .113
Positive .113
Negative -.053
Test Statistic .113
Asymp. Sig. (2-tailed) .003c
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
c. Lilliefors Significance Correction.

 Evaluasi distribusi normalitas jumlah perdarahan terhadap teknik operasi

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


Unstandardized
Residual
N 99
a,b
Normal Parameters Mean .0000000
Std. Deviation 59.47512954
Most Extreme Differences Absolute .328
Positive .234
Negative -.328
Test Statistic .328
Asymp. Sig. (2-tailed) .000c
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
c. Lilliefors Significance Correction.

 Evaluasi distribusi normalitas nyeri pascaoperasi terhadap teknik operasi

55 UNIVERSITAS INDONESIA
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized
Residual
N 99
a,b
Normal Parameters Mean .0000000
Std. Deviation .55110997
Most Extreme Differences Absolute .321
Positive .285
Negative -.321
Test Statistic .321
Asymp. Sig. (2-tailed) .000c
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
c. Lilliefors Significance Correction.

 Evaluasi distribusi normalitas lama rawat pascaoperasi terhadap teknik operasi

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


Unstandardized
Residual
N 99
a,b
Normal Parameters Mean .0000000
Std. Deviation 1.39092580
Most Extreme Differences Absolute .229
Positive .229
Negative -.164
Test Statistic .229
Asymp. Sig. (2-tailed) .000c
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
c. Lilliefors Significance Correction.

 Distribusi frekuensi nilai G10, lama operasi, jumlah perdarahan, nyeri


pascaoperasi dan lama perawatan pascaoperasi berdasarkan teknik operasi.

56 UNIVERSITAS INDONESIA
Statistics
Nyeri Lama Rawat
Teknik_Op2 NILAI G10 Lama operasi Perdarahan Pascaoperasi Pascaoperasi
CVS N Valid 81 81 81 81 81
Missing 0 0 0 0 0
Mean 1.78 152.11 16.60 1.90 1.96
Median 1.00 150.00 10.00 2.00 2.00
Std. Deviation 1.107 52.111 16.082 .539 1.112
Minimum 1 45 5 1 1
Maximum 6 320 100 4 7
Fundus N Valid 14 14 14 14 14
First Missing 0 0 0 0 0
Mean 3.29 213.57 60.00 2.29 3.79
Median 3.00 210.00 20.00 2.00 3.50
Std. Deviation 1.267 49.475 85.147 .611 2.392
Minimum 2 150 5 1 1
Maximum 6 305 300 3 9
Sub Total N Valid 2 2 2 2 2
Missing 0 0 0 0 0
Mean 5.00 285.00 85.00 2.50 4.50
Median 5.00 285.00 85.00 2.50 4.50
Std. Deviation .000 148.492 91.924 .707 3.536
Minimum 5 180 20 2 2
Maximum 5 390 150 3 7
Konversi N Valid 2 2 2 2 2
Missing 0 0 0 0 0
Mean 6.50 250.00 525.00 4.00 5.50
Median 6.50 250.00 525.00 4.00 5.50
Std. Deviation 2.121 28.284 247.487 .000 .707
Minimum 5 230 350 4 5
Maximum 8 270 700 4 6

NILAI_G10

57 UNIVERSITAS INDONESIA
Cumulative
Teknik_Op2 Frequency Percent Valid Percent Percent
CVS Valid 1 45 55.6 55.6 55.6
2 20 24.7 24.7 80.2
3 8 9.9 9.9 90.1
4 6 7.4 7.4 97.5
5 1 1.2 1.2 98.8
6 1 1.2 1.2 100.0
Total 81 100.0 100.0
Fundus First Valid 2 5 35.7 35.7 35.7
3 3 21.4 21.4 57.1
4 4 28.6 28.6 85.7
5 1 7.1 7.1 92.9
6 1 7.1 7.1 100.0
Total 14 100.0 100.0
Sub Total Valid 5 2 100.0 100.0 100.0
Konversi Valid 5 1 50.0 50.0 50.0
8 1 50.0 50.0 100.0
Total 2 100.0 100.0

Lama_operasi
Cumulative
Teknik_Op2 Frequency Percent Valid Percent Percent
CVS Valid 45 2 2.5 2.5 2.5
50 1 1.2 1.2 3.7
75 1 1.2 1.2 4.9
85 1 1.2 1.2 6.2
90 4 4.9 4.9 11.1
100 1 1.2 1.2 12.3
102 1 1.2 1.2 13.6
105 1 1.2 1.2 14.8
106 1 1.2 1.2 16.0
110 2 2.5 2.5 18.5
115 1 1.2 1.2 19.8

58 UNIVERSITAS INDONESIA
118 1 1.2 1.2 21.0
120 11 13.6 13.6 34.6
125 1 1.2 1.2 35.8
130 1 1.2 1.2 37.0
135 4 4.9 4.9 42.0
138 1 1.2 1.2 43.2
140 1 1.2 1.2 44.4
148 1 1.2 1.2 45.7
150 12 14.8 14.8 60.5
152 1 1.2 1.2 61.7
160 1 1.2 1.2 63.0
165 3 3.7 3.7 66.7
170 2 2.5 2.5 69.1
180 9 11.1 11.1 80.2
190 1 1.2 1.2 81.5
195 1 1.2 1.2 82.7
197 1 1.2 1.2 84.0
203 1 1.2 1.2 85.2
210 4 4.9 4.9 90.1
220 2 2.5 2.5 92.6
237 1 1.2 1.2 93.8
240 1 1.2 1.2 95.1
255 1 1.2 1.2 96.3
270 1 1.2 1.2 97.5
300 1 1.2 1.2 98.8
320 1 1.2 1.2 100.0
Total 81 100.0 100.0
Fundus First Valid 150 1 7.1 7.1 7.1
155 1 7.1 7.1 14.3
170 1 7.1 7.1 21.4
180 3 21.4 21.4 42.9
210 2 14.3 14.3 57.1
220 1 7.1 7.1 64.3
225 1 7.1 7.1 71.4
240 1 7.1 7.1 78.6

59 UNIVERSITAS INDONESIA
270 1 7.1 7.1 85.7
295 1 7.1 7.1 92.9
305 1 7.1 7.1 100.0
Total 14 100.0 100.0
Sub Total Valid 180 1 50.0 50.0 50.0
390 1 50.0 50.0 100.0
Total 2 100.0 100.0
Konversi Valid 230 1 50.0 50.0 50.0
270 1 50.0 50.0 100.0
Total 2 100.0 100.0

Perdarahan
Cumulative
Teknik_Op2 Frequency Percent Valid Percent Percent
CVS Valid 5 24 29.6 29.6 29.6
10 27 33.3 33.3 63.0
15 2 2.5 2.5 65.4
20 12 14.8 14.8 80.2
25 2 2.5 2.5 82.7
30 5 6.2 6.2 88.9
35 1 1.2 1.2 90.1
50 7 8.6 8.6 98.8
100 1 1.2 1.2 100.0
Total 81 100.0 100.0
Fundus First Valid 5 1 7.1 7.1 7.1
10 1 7.1 7.1 14.3
15 1 7.1 7.1 21.4
20 5 35.7 35.7 57.1
30 1 7.1 7.1 64.3
50 2 14.3 14.3 78.6
80 1 7.1 7.1 85.7
200 1 7.1 7.1 92.9
300 1 7.1 7.1 100.0
Total 14 100.0 100.0

60 UNIVERSITAS INDONESIA
Sub Total Valid 20 1 50.0 50.0 50.0
150 1 50.0 50.0 100.0
Total 2 100.0 100.0
Konversi Valid 350 1 50.0 50.0 50.0
700 1 50.0 50.0 100.0
Total 2 100.0 100.0

NYERI_PASCAOPERASI
Cumulative
Teknik_Op2 Frequency Percent Valid Percent Percent
CVS Valid 1 15 18.5 18.5 18.5
2 60 74.1 74.1 92.6
3 5 6.2 6.2 98.8
4 1 1.2 1.2 100.0
Total 81 100.0 100.0
Fundus First Valid 1 1 7.1 7.1 7.1
2 8 57.1 57.1 64.3
3 5 35.7 35.7 100.0
Total 14 100.0 100.0
Sub Total Valid 2 1 50.0 50.0 50.0
3 1 50.0 50.0 100.0
Total 2 100.0 100.0
Konversi Valid 4 2 100.0 100.0 100.0

LAMA_RAWAT_PASKA_OP
Cumulative
Teknik_Op2 Frequency Percent Valid Percent Percent
CVS Valid 1 32 39.5 39.5 39.5
2 30 37.0 37.0 76.5
3 14 17.3 17.3 93.8
4 3 3.7 3.7 97.5
6 1 1.2 1.2 98.8
7 1 1.2 1.2 100.0

61 UNIVERSITAS INDONESIA
Total 81 100.0 100.0
Fundus First Valid 1 3 21.4 21.4 21.4
2 2 14.3 14.3 35.7
3 2 14.3 14.3 50.0
4 2 14.3 14.3 64.3
5 1 7.1 7.1 71.4
6 3 21.4 21.4 92.9
9 1 7.1 7.1 100.0
Total 14 100.0 100.0
Sub Total Valid 2 1 50.0 50.0 50.0
7 1 50.0 50.0 100.0
Total 2 100.0 100.0
Konversi Valid 5 1 50.0 50.0 50.0
6 1 50.0 50.0 100.0
Total 2 100.0 100.0

 Uji perbedaan nilai G10 berdasarkan teknik operasi.

Kruskal-Wallis Test
Ranks
Teknik_Op2 N Mean Rank
NILAI_G10 CVS 81 43.38
Fundus First 14 75.39
Sub Total 2 94.00
Konversi 2 96.50
Total 99

Test Statisticsa,b
NILAI_G10
Kruskal-Wallis H 28.376
df 3
Asymp. Sig. .000
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Teknik_Op2

 Uji perbedaan lama operasi berdasarkan teknik operasi.

62 UNIVERSITAS INDONESIA
Kruskal-Wallis Test
Ranks
Teknik_Op2 N Mean Rank
Lama_operasi CVS 81 43.82
Fundus First 14 75.39
Sub Total 2 82.50
Konversi 2 90.00
Total 99

Test Statisticsa,b
Lama_operasi
Kruskal-Wallis H 21.264
df 3
Asymp. Sig. .000
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Teknik_Op2

 Uji perbedaan jumlah perdarahan berdasarkan teknik operasi.

Kruskal-Wallis Test

Ranks
Teknik_Op2 N Mean Rank
Perdarahan CVS 81 44.64
Fundus First 14 69.75
Sub Total 2 80.25
Konversi 2 98.50
Total 99

Test Statisticsa,b
Perdarahan
Kruskal-Wallis H 18.189
df 3
Asymp. Sig. .000
a. Kruskal Wallis Test

63 UNIVERSITAS INDONESIA
b. Grouping Variable: Teknik_Op2

 Uji perbedaan nyeri pascaoperasi berdasarkan teknik operasi.

Kruskal-Wallis Test

Ranks
Teknik_Op2 N Mean Rank
NYERI_PASCAOPERASI CVS 81 46.18
Fundus First 14 62.25
Sub Total 2 71.00
Konversi 2 98.00
Total 99

Test Statisticsa,b
NYERI_PASCAO
PERASI
Kruskal-Wallis H 16.214
df 3
Asymp. Sig. .001
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Teknik_Op2

 Uji perbedaan nilai G10, lama operasi, jumlah perdarahan, nyeri pascaoperasi
dan lama perawatan pascaoperasi berdasarkan teknik operasi.

Kruskal-Wallis Test
Ranks
Teknik_Op2 N Mean Rank
LAMA_RAWAT_PASKA_OP CVS 81 45.18
Fundus First 14 68.32
Sub Total 2 74.75
Konversi 2 92.25
Total 99

Test Statisticsa,b

64 UNIVERSITAS INDONESIA
LAMA_RAWAT_P
ASKA_OP
Kruskal-Wallis H 15.082
df 3
Asymp. Sig. .002
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Teknik_Op2

4. Evaluasi Hubungan nilai G10 dengan klasifikasi teknik operasi

 Uji normalitas nilai G10 berdasarkan klasifikasi teknik operasi

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


Unstandardized
Residual
N 99
a,b
Normal Parameters Mean .0000000
Std. Deviation .32410308
Most Extreme Differences Absolute .345
Positive .345
Negative -.150
Test Statistic .345
Asymp. Sig. (2-tailed) .000c
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
c. Lilliefors Significance Correction.

Frequencies
Statistics
NILAI_G10
CVS N Valid 81
Missing 0
Mean 1.78
Median 1.00
Std. Deviation 1.107
Minimum 1
Maximum 6

65 UNIVERSITAS INDONESIA
Bailout N Valid 18
Missing 0
Mean 3.83
Median 4.00
Std. Deviation 1.654
Minimum 2
Maximum 8

NILAI_G10
Cumulative
Klasifikasi Teknik Operasi Frequency Percent Valid Percent Percent
CVS Valid 1 45 55.6 55.6 55.6
2 20 24.7 24.7 80.2
3 8 9.9 9.9 90.1
4 6 7.4 7.4 97.5
5 1 1.2 1.2 98.8
6 1 1.2 1.2 100.0
Total 81 100.0 100.0
Bailout Valid 2 5 27.8 27.8 27.8
3 3 16.7 16.7 44.4
4 4 22.2 22.2 66.7
5 4 22.2 22.2 88.9
6 1 5.6 5.6 94.4
8 1 5.6 5.6 100.0
Total 18 100.0 100.0

 Uji perbedaan nilai G10 berdasarkan klasifikasi teknik operasi

Mann-Whitney Test

Ranks
Klassifikasi Teknik
Operasi N Mean Rank Sum of Ranks
NILAI_G10 CVS 81 43.38 3513.50
Bailout 18 79.81 1436.50
Total 99

66 UNIVERSITAS INDONESIA
Test Statisticsa
NILAI_G10
Mann-Whitney U 192.500
Wilcoxon W 3513.500
Z -5.166
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Grouping Variable: Klasifikasi
Teknik_Operasi

 Uji Nonparametric Correlations nilai G10 dengan klasifikasi teknis


operasi

Correlations
Nilai G10 Teknik operasi
Kendall's tau_b Nilai G10 Correlation Coefficient 1.000 .478**
Sig. (2-tailed) . .000
N 99 99
**
Teknik operasi Correlation Coefficient .478 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 99 99
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

 Kurva ROC

Case Processing Summary


Teknik operasi Valid N (listwise)
Positivea 18
Negative 81
Larger values of the test result
variable(s) indicate stronger evidence
for a positive actual state.
a. The positive actual state is Bailout.

67 UNIVERSITAS INDONESIA
Area Under the Curve
Test Result Variable(s): Nilai G10
Asymptotic 95% Confidence Interval
a b
Area Std. Error Asymptotic Sig. Lower Bound Upper Bound
.868 .039 .000 .791 .945
The test result variable(s): Nilai G10 has at least one tie between the positive actual state
group and the negative actual state group. Statistics may be biased.
a. Under the nonparametric assumption
b. Null hypothesis: true area = 0.5

Coordinates of the Curve


Test Result Variable(s): Nilai G10
Positive if Greater
Than or Equal Toa Sensitivity 1 - Specificity
.00 1.000 1.000
1.50 1.000 .444
2.50 .722 .198
3.50 .556 .099
4.50 .333 .025
5.50 .111 .012

68 UNIVERSITAS INDONESIA
7.00 .056 .000
9.00 .000 .000
The test result variable(s): Nilai G10 has at least one
tie between the positive actual state group and the
negative actual state group.
a. The smallest cutoff value is the minimum observed
test value minus 1, and the largest cutoff value is the
maximum observed test value plus 1. All the other
cutoff values are the averages of two consecutive
ordered observed test values.

69 UNIVERSITAS INDONESIA

Anda mungkin juga menyukai