Anda di halaman 1dari 26

Trakeostomi

I. PENDAHULUAN
Trakeostomi adalah suatu tindakan membuat stoma pada dinding anterior
trakea dengan tujuan membuat jalan napas buatan. Prosedur trakeostomi dahulu
disebut dengan berbagai istilah, antara lain laringotomi atau bronkotomi sampai
istilah trakeotomi diperkenalkan. Pada tahun-tahun belakangan ini digunakan
istilah yang lebih tepat yaitu trakeostomi.1
Terdapat berbagai indikasi untuk melakukan tindakan trakeostomi mulai
dari yang bersifat darurat maupun eletif. Sejumlah referensi menjelaskan
prosedur trakeostomi namun pada dasarnya semua mengharuskan adanya
persiapan pasien dan alat yang baik. Tindakan trakeostomi dapat menimbulkan
berbagai komplikasi baik akut maupun kronik.1
Komplikasi berdasarkan waktu dibagi menjadi tiga yaitu komplikasi
intraoperatif, komplikasi dini pasca operatif dan komplikasi lambat
pascaoperatif. Komplikasi intraoperatif di antaranya adalah perdarahan, cedera
laring dan trakea, udem paru. Komplikasi dini pasca operatif seperti emfisema
subkutis, perubahan posisi kanul trakeostomi, sumbatan kanul trakeostomi,
perdarahan pasca trakeostomi, infeksi dan Pneumomediastinum. Komplikasi
lambat pascaoperatif seperti jaringan granulasi, stenosis subglotik dan fistel.
Komplikasi trakeostomi bervariasi dari skala ringan hingga berat. Komplikasi
dikatakan berat karena dapat menyebabkan kematian. Komplikasi skala berat
seperti pneumomediastinum berat, perdarahan pada pembuluh darah besar dan
cardiopulmonary arrest. Komplikasi trakeostomi tersebut dapat terjadi pada
trakeostomi darurat maupun elektif.1
II. Definisi
Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pasda dinding depan/anterior
trakea untuk bernapas. Menurut letak stoma, trakeostomi dibedakan letak yang
tinggi dan letak yang rendah dan batas letak ini adalah cincin trakea ke tiga.
Sedangkan menurut waktu dilakukan tindakan maka trakeostomi dibagi dalam
1) trakeostomi darurat dan segera dengan persiapan sarana sangat kurang dan 2)
trakeostomi elektif (persiapan sarana cukup) dan dapat dilakukan secara baik
(lege artis).4

III. Sejarah
Pertama kali diketahui berdasarkan buku suci agama Hindu yang ditulis
antara tahun 2000 dan 1000 SM yang menjelaskan “satu tindakan yang dapat
menyatukan kembali pipa udara bila rawan leher dipotong.” Asclepiades adalah
orang yang pertama melakukan operasi ini. Dari laporan yang ada, dari tahun
1546-1833 hanya 28 tindakan trakeostomi yang dilaporkan. Operasi ini mulai
popular di daratan Eropa oleh Trousseau dan Bretonneau sebagai tindakan dalam
penatalaksanaan difteri. Lambat laun, mulai berkembang bermacam teknik
trakeostomi.7 Indikasi dari trakeostomi pun semakin banyak seperti pada cedera
kepala yang disertai hilangnya kesadaran, cedera dada berat, intoksikasi
barbiturat dan membuka jalan nafas pasca operasi.6

IV. Anatomi
Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, faring,
laring, trakea, bronkus, dan bronkiolus yang dilapisi oleh membran mukosa
bersilia. 2
Gambar 1. Anatomi laring dan trakea

Laring merupakan pintu masuk jalan napas atas yang berfungsi untuk
proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, menelan serta fonas. Fungsi laring untuk
proteksi ialah untuk mencegah makanan dan benda asing masuk ke dalam trakea
dengan jalan menutup aditus laring dan rima glotis secara bersamaan. Terjadinya
penutupan aditus laring ialah karena pengangkatan laring ke atas akibat
kontraksi otot-otot ekstrinsik laring supra hyoid dan menutupnya pita suara
akibat gerakan otot-otot intrinsik laring. Menutupnya pita suara terjadi akibat
kartilago aritenoid bergerak ke depan akibat kontraksi muskulus arytenoid
tranversa dan muskulus krikoaritenoid lateral. Muskulus Ariepiglotika berfungsi
sebagai sfingter.2
Trakea terletak di tengah dari leher namun makin ke distal bergeser ke arah
kanan kemudian masuk ke rongga mediastinum di belakang manubrium sterni.
Trakea sangat elastis, panjang dan letaknya berubah-ubah tergantung pada posisi
kepala dan leher. Ekstensi maksimal dari leher akan menambah panjang trakea
supraklavikula. Lumen trakea ditunjang oleh kira-kira 18 sampai 22 cincin
tulang rawan yang bagian posteriornya tidak bertemu. Di antara kartilago krikoid
dengan fossa sternalis terdapat 11 cincin trakea dan panjang leher antara
kartilago krikoid dengan fossa sternalis sekitar 6,9-8,2cm. Trakea berbentuk
pipa yang terdiri dari kartilago dan membran dengan panjang 11cm. Batas atas
trakea adalah kartilago krikoid dan batas bawah trakea adalah karina yaitu cincin
trakea yang paling bawah meluas ke inferior dan posterior di sebelah dalam, di
antara bronkus utama kanan dan kiri, membentuk sekat yang lancip.3 Dinding
belakang terdiri dari membran, dinding anterior dan lateral dibentuk oleh cincin
kartilago semisirkular. Panjang trakea sekitar 12 cm pada pria dan 10 cm pada
wanita. Diameter anterior posterior rata-rata 13 mm, sedangkan diameter
tranversal rata-rata 18 mm.2

Gambar 2. Regio Leher Anterior

Anterior trakea diliputi oleh kulit, fasia superfisial, fasia profunda dan otot
strap muscles (sternohioid dan sternotiroid). Ismus tiroid umumnya terletak
setinggi cincin trakea 2 dan 3. Hubungan anterior trakea pada leher bagian
bawah dan pada superior mediastinum adalah vena tiroid inferior, arteri tiroid
ima dan timus.2
Arteri brakiosefalika yang juga dikenal dengan arteri inominata adalah
cabang terbesar dari arkus aorta. Pembuluh darah tersebut berjalan ke arah
posterior ke sentral manubrium sterni, menyebrangi trakea dari kiri ke kanan,
menempel di depan trakea dan kemudian ke arah kanan. Hal ini membagi pada
level sendi sternoklavikular tepat ke karotis kanan dan arteri subklavia kanan.
Vena brakiosefalika kiri dapat memproyeksi ke atas menuju leher ke anterior
trakea sehingga berisiko cedera saat trakeostomi. Struktur paratrakeal rentan
terhadap cedera termasuk nervus laringeus rekuren dan selubung karotis.2
Bagian anterior trakea diliputi kulit, jaringan subkutan, muskulus platisma,
fasia pretrakea dan kelenjar tiroid. Fasia servikalis dan profunda dibagi menjadi
tiga lapisan, yaitu lapisan selubung, lapisan pretrakea dan lapisan prevertebra.
Fasia pretrakea dan fasia prevertebra berisi faring bagian bawah, laring, trakea,
esophagus servikal, kelenjar tiroid dan pembuluh darah besar. Bagian bawah
ruangan ini berhubungan dengan mediastinum superior. Insisi fasia pretrakeal
menyebabkan terjadinya hubungan antara dunia luar dan rongga mediastinum.
Bagian anterior trakea sangat tipis sedangkan bagian lateral sangat tebal dan
diselubungi oleh selubung karotis.2

V. Indikasi
Indikasi untuk melakukan tindakan trakeostomi adalah : 4
1. Mengatasi obstruksi laring.
2. Mengurangi ruang rugi (dead air space) di saluran napas bagian atas seperti
daerah rongga mulut, sekitar lidah dan faring. Dengan adanya stoma maka
seluruh oksigen yang dihirupnya akan masuk ke dalam paru.
3. Mempermudah penghisapan sekret dari bronkus pada pasien yang tidak
dapat mengeluarkan sekret secara fisiologik, misalnya pasien koma.
4. Untuk memasang respirator (alat bantu pernapasan).
5. Untuk mengambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai
fasilitas untuk bronkoskopi.

VI. Kontraindikasi
A. Mutlak : 6
Dengan tidak adanya obstruksi jalan napas, kontraindikasi absolut
terhadap trakeostomi perkutan adalah sepsis lokal yang parah atau
koagulopati yang tidak dapat dikendalikan.
B. Relatif : 6
1. Anatomi yang sulit: misalnya, obesitas, kurangnya mobilitas leher,
cedera tulang belakang leher terbukti atau potensial, diketahui adanya
intubasi yang sulit, patologi trakea, patologi tiroid, pembuluh darah
menyimpang, jaringan rapuh, COPD dengan hiperekspansi atau bula.
2. Koagulopati sedang
3. Kedekatan dengan lokasi operasi atau trauma baru-baru ini: misalnya,
endarterektomi karotid, fiksasi servikal anterior, sternotomi, drainase
esofagus, faringostomi, luka bakar di daerah leher.
4. Pasien tidak stabil: misalnya, Pasien tidak dapat mentoleransi
perubahan hemodinamik atau ventilasi, seperti pasien dengan tekanan
intrakranial yang tidak stabil (ICP) setelah cedera otak
5. Masalah pertukaran gas yang parah: misalnya FiO2> 0,6 dan PEEP>
10 cm H2O
6. Usia: anak-anak di bawah 12 tahun.

VII. Teknik Trakeostomi


Trakeostomi dapat dilakukan dengan dua teknik yaitu teknik pembedahan
(surgical/ open tracheostomy) dan teknik trakeostomi dilatasi perkutaneus
(Percutaneous Dilatational Tracheostomy (PDT)). Pasien dengan faktor risiko
tinggi dan kasus darurat umumnya menggunakan teknik pembedahan. Teknik
trakeostomi pembedahan yang dilakukan bedside dibandingkan di kamar operasi
ternyata dapat mengurangi waktu pembedahan, mengurangi biaya tindakan dan
diperkirakan dapat mengurangi lama perawatan di ICU. Selanjutnya akan
dijelaskan prosedur trakeostomi yang umum dikerjakan saat ini. 2
Saat persiapan tindakan, pastikan balon kanul trakeostomi dalam keadaan
baik dengan cara menggembungkan balon dengan udara sekitar 5-10cc
kemudian kempeskan kembali. Pada trakeostomi dengan teknik pembedahan,
pasien diposisikan terlentang dengan bahu disanggah gulungan kain atau
bantalan sehingga leher ekstensi terhadap bahu. Posisi ini dapat membuat trakea
lebih menonjol sehingga memudahkan operator mengakses trakea dari anterior
leher. Ekstensi leher tidak dapat dilakukan jika terdapat kelainan di tulang
belakang bagian servikal. Pasien sumbatan jalan napas sesak berat juga tidak
dapat kita lakukan posisi ekstensi leher tersebut sehingga harus dilakukan
trakeostomi dalam posisi duduk atau setengah duduk. Prosedur trakeostomi
dilakukan dalam kondisi steril. Daerah leher dan sekitarnya dibersihkan dengan
povidone-iodine. Prosedur ini dapat dilakukan dalam anastesia lokal maupun
anestesi umum.
Penanda yang harus diidentifikasi umumnya adalah adam’s apple/ thyroid
notch, kartilago krikoid dan fossa suprasternal. Lokasi insisi ditandai pada
pertengahan antara kartilago krikoid dan fossa suprasternal. Jika direncanakan
insisi kulit secara horizontal maka penanda yang harus diidentifikasi adalah
segitiga Jackson/Jackson’s triangle yaitu kartilago tiroid, fossa suprasternal dan
medial sternokledomastoid. Insisi kulit horizontal dilakukan 1 cm di atas fossa
suprasternal dan batas lateralnya adalah medial sternokleidomastoid.2

a b c
Gambar 3 : a. Posisi leher ekstensi terhadap bahu. b dan c. Identifikasi
segitiga Jackson
Panjang insisi pada kulit secara vertikal dilakukan sekitar 2-3cm sedangkan
secara horizontal sekitar 4-6cm diantara fossa sternalis dan kartilago tiroid (kira-
kira setinggi cincin trakea kedua). Kirchner yang dikutip oleh Vallamkondu
menyarankan menggunakan insisi vertikal pada pasien sadar untuk membantu
mobilisasi kanul trakeostomi. Insisi vertikal juga disarankan pada trakeostomi
bayi dan anak-anak. Pada kelompok usia anak, apeks pleura dapat meluas secara
superior ke arah leher sehingga insisi kulit vertikal meminimalkan diseksi ke
arah lateral trakea sehingga dapat mengurangi risiko pneumotoraks.2
Insisi diperluas melewati jaringan subkutis, platisma sampai fasia servikalis
profunda. Strap muscles, yaitu sternotiroid dan sternohioid, dipisahkan secara
tumpul dan diretraksi ke lateral. Ismus tiroid dapat ditarik ke arah superior atau
dipisahkan. Perdarahan dapat diatasi dengan kauter atau ligasi. Fasia pretrakea
dipisahkan secara tumpul sampai trakea terindentifikasi. Untuk mendapatkan
visualisasi trakea yang baik dapat digunakan hook. Hal-hal yang perlu
diperhatikan sebelum membuat lubang pada trakea, perlu dibuktikan dulu yang
akan dipotong itu benar-benar trakea dengan cara melakukan penusukan pada
trakea dengan spuit berisi cairan dapat berupa garam fisiologis atau lidokain,
dilanjutkan dengan aspirasi. Bila yang ditusuk adalah trakea maka saat dilakukan
aspirasi terasa ringan dan udara yang terisap akan menimbulkan gelembung
udara (air aspiration test). Untuk mengurangi refleks batuk dapat disuntikkan
lidokain sebanyak 1cc ke dalam trakea. Selanjutnya lakukan insisi trakea.
Terdapat beberapa jenis insisi pada trakea yaitu insisi vertikal, Bjork flap atau
insisi U terbalik, insisi palang, insisi horizontal dan insisi bulat. Pada kelompok
anak lebih sering dilakukan insisi vertikal sedangkan pada kelompok dewasa
lebih sering dilakukan insisi U terbalik atau Bjork flap. Insisi trakea dapat
dilakukan pada cincin trakea dua dan tiga atau tiga dan empat. Trakeostomi di
atas cincin trakea pertama harus dihindari karena berisiko terjadinya stenosis
subglotis. Kateter penghisap dapat dimasukkan dahulu untuk membersihkan
sekitar insisi trakea dan sebagai penuntun insersi kanul trakeostomi. Pada anak-
anak umumnya dilakukan insisi trakea secara vertikal dan dilanjutkan dengan
penjahitan pada kedua sisi lateral insisi sebagai traksi.2

Gambar 4. Insisi pada trakea

Jika trakeostomi dalam intubasi setelah dilakukan tindakan maka pipa


endotrakea dikeluarkan perlahan-lahan sampai ujung pipa endotrakeal tepat di
atas batas superior dari luka insisi. Selanjutnya dilakukan insersi kanul
trakeostomi dengan bantuan dilator trakea atau hak krikoid. Setelah kanul
masuk, segera keluarkan obturator dan masukkan kanul dalam. Kembungkan
balon kanul dengan udara sekitar 5-7cc. Jika luka insisi kulit terlalu lebar dapat
dilakukan penjahitan. Selanjutnya fiksasi kanul trakeostomi dengan tali pengikat
atau dilakukan penjahitan kanul ke kulit. Letakkan kassa disekitar stoma.2
Penempatan kanul trakeostomi yang benar dapat dikonfirmasi dengan
visualisasi langsung, end-tidal C02, kemudahan ventilasi dan saturasi oksigen
yang adekuat. Luka insisi pada tindakan trakeostomi jika terlalu panjang dapat
dijahit. Bronkoskopi fleksibel dapat digunakan untuk memastikan posisi kanul
dan untuk membersihkan sisa darah di bronkus.2
Penggunaan trakeostomi perkutan (PDT) dilakukan penyisipan kanula
trakea oleh modifikasi pendekatan Seldinger. Kawat pemandu dimasukkan
melalui dinding trakea anterior; kemudian dilakukan pelebaran hingga stoma
trakea cukup besar untuk penyisipan kanula trakea. Penyisipan kanula umumnya
dilakukan antara cicin yang kedua dan cincin trakea ketiga. Beberapa variasi
prosedur telah dikembangkan dan sedang digunakan hari ini.6

Gambar 5. Posisi pasien untuk perkutan trakeostomi

Pasien kemudian diposisikan untuk akses optimal dengan menjulurkan


kepala, menyangga bahu dengan bantal agar posisi trakea lebih anterior. Posisi
kepala 15-20 ° ke atas atau memiringkan tempat tidur untuk membantu drainase
vena dan dapat mengurangi perdarahan.6
Prosedur: Tindakan pencegahan aseptik harus diambil seperti untuk
prosedur bedah lainnya. Kulit di atas area minimal 10 cm di sekitar lokasi
sayatan diberi klorheksidin 2% atau preparat yodium dan dilakukan dengan
tepat. Lignokain dengan adrenalin 1 dalam 200.000 disuntikkan ke jaringan
pretrakeal di tengah antara tulang rawan krikoid dan takik suprasternal untuk
anestesi lokal. Sayatan kulit horizontal 1,5-2 cm dibuat di tengah-tengah antara
tulang rawan krikoid dan takik suprasternal (Gambar 6).
Gambar 6. Letak trakeostomi perkutan

Pada teknik PDT, tindakan trakeostomi dilakukan dengan insisi kulit yang
kecil kemudian dilanjutkan dengan dilatasi kulit. Mandren digunakan untuk
menembus trakea dan dilanjutkan dengan insersi kanul trakeostomi. Setelah
dilatasi trakea adekuat, tabung trakeostomi yang sesuai dimasukkan ke dalam
trakea di sepanjang kawat pemandu. Kawat pemandu kemudian dilepas dan
bronkoskop dilewatkan melalui tabung trakeostomi sampai karina diidentifikasi.
Penyedotan endotrakeal kemudian harus dilakukan untuk menghilangkan darah
dan puing-puing. Jika tabung trakeostomi terlalu pendek, manset dapat menimpa
dinding trakea anterior. Kapnografi juga mengkonfirmasi penempatan tabung
yang benar. Tabung trakeostomi dihubungkan ke ventilator setelah penempatan
yang benar dari tabung yang terkonfirmasi, selanjutnya tekanan manset
ditingkatkan dan ventilasi dilanjutkan. Tabung trakea diangkat setelah
penyedotan faring menyeluruh. Auskultasi dilakukan untuk menilai ventilasi
yang memadai dan ventilator diperiksa untuk mengetahui volume tidal yang
tepat dan tekanan jalan nafas. Sayap tabung trakeostomi dapat dijahit. Foto
rontgen dada tidak diperlukan secara rutin jika penempatan tabung telah
dikonfirmasi dengan bronkoskopi dan prosedurnya lancar. Namun, rontgen dada
dapat digunakan sebagai bukti untuk penempatan tabung trakeostomi yang benar
dan untuk menyingkirkan pneumotoraks. Dosis agen analgesik dan anestesi
harus dimodifikasi sesuai kebutuhan.6

Gambar 7. Prosedur Percutaneous dilatational tracheostomy (PDT)

Trakeostomi dilatasional perkutan (PDT) harus dilakukan dengan panduan


bronkoskopi yang fleksibel untuk memvisualisasikan tempat masuknya jarum
anterior, untuk menghindari cedera trakea posterior, dan untuk memastikan
bahwa kawat panduan dan dilator maju secara distal. Keuntungan dari PDT
termasuk (1) waktu yang diperlukan untuk PDT lebih singkat daripada untuk
trakeostomi terbuka, (2) menghilangkan kesulitan penjadwalan terkait dengan
ruang operasi dan anestesiologi untuk pasien ICU, (3) PDT prosedurnya cepat
karena pasien yang sakit kritis yang akan membutuhkan pemantauan intensif ke
ruangan atau dari ruang operasi tidak perlu diangkut; dan (4) biaya melakukan
PDT kira-kira setengah dari trakeostomi bedah terbuka karena penghematan
biaya ruang operasi dan biaya anestesiologi.6 Teknik ini lebih sering dilakukan
oleh ahli anestesi dan intensifis pada pasien perawatan intesif.2

VIII. Pemilihan Tabung Trakeostomi


Tabung trakeostomi terbuat dari berbagai macam bahan dan desain.
Pemilihan tabung seharusnya berdasarkan pada indikasi. Semua tabung
seharusnya memiliki kanul dalam yang dapat dilepaskan dan dibersihakan
secara amn tanpa perlu melepaskan kanul luar dan membahayakan jalan
napas.8
Kanul trakeostomi dapat terbuat dari plastik (polyvinyl chloride atau
silikon) ataulogam (perak atau stainless steel). Berbagai jenis kanul meliputi
kanul trakeostomi dengan balon (cuffed), tanpa balon (uncuffed), dengan
lubang (fenestrated), tanpa lubang (non fenestrated), variasi panjang kanul,
lumen tunggal dan lumen ganda (dengan kanul dalam). Semua kanul
trakeostomi dilengkapi dengan obturator untuk membantu insersi kanul
trakeostomi.8

a b
Gambar 8. a) Tabung berbahan plastik dengan cuff, b) Tabung
berbahan bahan logam
Kanul trakeostomi tersedia dengan kanul dalam (kanul ganda) dan tanpa
kanul dalam. Kanul ganda memiliki kanul dalam yang dapat menjaga kanul
luar tetap bersih sehingga mencegah sumbatan kanul total. Kekurangan kanul
ganda adalah diameter kanulnya yang lebih kecil sehingga dapat
meningkatkan kerja pernapasan dan dapat meningkatkan sekret yang
terperangkap.8
Ukuran kanul harus disesuaikan dengan perkiraan ukuran trakea sesuai
umur atau berat badan. Bila kanul terlalu besar, sulit untuk memasukkannya
ke dalam lumen dan ujung kanul akan menekan mukosa trakea dan
menyebabkan nekrosis dinding trakea. Panjang kanul harus disesuaikan
dengan kebutuhan. Bila terlalu pendek akan mudah keluar lumen trakea dan
masuk ke dalam jaringan subkutis sehingga timbul emfisema kulit dan lumen
kanul tertutup sehingga menimbulkan asfiksia. Bila kanul terlalu panjang
maka mukosa trakea dapat teriritasi dan mudah timbul jaringan granulasi.9

Gambar 9. Ukuran tabung

Kanul dengan balon/ cuff umumnya digunakan untuk beberapa hari


pertama pascatrakeostomi. Kanul dengan balon mengurangi aspirasi sekresi
orotrakeal. Balon umumnya bertekanan rendah dan bervolume tinggi sehingga
memungkinkan distribusi yang lebih luas dari tekanan pada trakea dan
mengurangi insiden ulserasi dan stenosis pada trakea. Komplikasi dari kanul
dengan balon adalah terjadi gangguan menelan akibat penekanan balon pada
laring. Balon yang bertekanan tinggi dapat mengurangi aliran darah pada
kapiler dan menyebabkan iskemia mukosa untuk menilai tekanan pada balon
dapat digunakan manometer.8,9

Gambar 10. Tabung dengan flange

Kanul Fenestrated memiliki lubang tambahan di bagian posterior di atas


balon. Hal ini memungkinkan adanya aliran udara saluran napas atas dan
memfasilitasi bicara. Kanul ini memiliki kanul dalam tambahan yang
ukurannya lebih kecil dan memiliki penyumbat/ plug. Diameter kanul dalam
lebih kecil dibandingkan dengan diameter kanul luarnya, dan kanul dengan
fenestrasi dapat tertutup oleh kanul dalamnya. Untuk penggunaan kanul yang
tepat, stoma pasien diukur dan jarak dari flange ke fenestrasi 1cm lebih
panjang dari stoma. Bentuk kanul dirancang untuk mendapatkan sudut masuk
yang tepat ke dalam trakea untuk memfasilitasi ventilasi dan pembersihan
sekresi.10
Gambar 11. Kanul Fenestrated

IX. Komplikasi
A. Komplikasi Intraoperatif
1. Perdarahan
Perdarahan merupakan salah satu komplikasi trakeostomi yang
jarang namun jika terjadi umumnya fatal. Perdarahan dapat terjadi saat
dan pasca tindakan trakeostomi. Perdarahan primer saat trakeostomi
umumnya akibat cedera pada vena jugularis anterior disaat diseksi
terutama saat prosedur darurat atau pada isthmus tiroid saat mobilisasi dari
dinding anterior trakea atau saat memisahkan dan meligasi. Perdarahan
juga dapat terjadi akibat laserasi pembuluh darah besar di leher selama
prosedur. Perdarahan hebat dapat terjadi pada arteri inominata letak tinggi
saat diseksi terlalu inferior.9
2. Kerusakan struktur laring dan trakea
Cedera pada dinding posterior trakea dapat menyebabkan fistel
tracheoesophageal. Cedera pada kartilago krikoid dapat menyebabkan
kondritis yang dapat berlanjut menjadi stenosis subglotis dan diperlukan
tindakan trakeostomi ulang di lokasi yang lebih inferior dari lokasi
sebelumnya. Cedera kartilago krikoid juga sering terjadi pada operator
yang kurang berpengalaman.31 Diseksi lateral trakea harus dihindari
karena berisiko cedera pada nervus laringeus rekuren serta selubung
karotis.8
3. Pneumothoraks
Komplikasi penumothoraks dapat terjadi intraoperatif maupun pasca
operasi. Pada pasien dewasa, komplikasi pneumotorak umumnya timbul
pada trakeostomi darurat akibat rupturnya pulmonary bleb pada pasien
sesak berat yang sedang berusaha kuat untuk bernapas, gasping atau batuk
kuat selama prosedur dengan anestesi lokal. Pneumotorak juga dapat
terjadi karena cedera langsung pada pleura, akibat kontak langsung dengan
pisau saat insisi dan akibat pendorongan yang berlebihan saat insersi kanul
trakeostomi sehingga salah jalur, yaitu kanul trakeostomi masuk di antara
dinding anterior trakea dan jaringan lunak anterior mediastinum.
Pneumotorak sering timbul pada pasien anak karena letak apeks pleura di
leher lebih tingggi pada anak dibandingkan pada dewasa sehingga mudah
cedera dan lebih rentan lagi pada trakeostomi letak rendah.8
4. Pneumomediastinum
Komplikasi penumomediastinum dapat terjadi intraoperatif maupun
pasca operasi. Pneumomediastinum adalah akumulasi udara pada rongga
mediastinum. Komplikasi ini cukup sering terjadi pasca trakeostomi
terutama pada pasien anak.31 Komplikasi pneumomediastinum dapat
timbul akibat penekanan udara ke mediastinum pada pasien dengan
sumbatan jalan napas. Pneumomediastinum juga dapat terjadi saat insisi
kulit dan fasia pada daerah servikal yang menembus sampai ke rongga
mediastinum. Penyebab lain adalah adanya batuk yang terus menerus dan
kuat sehingga menyebabkan tekanan udara dari luka insisi pada stoma ke
lapisan jaringan yang lebih dalam pada leher.9
5. Emboli Udara
Emboli udara dapat terjadi akibat aspirasi udara ke dalam pembuluh
darah vena. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang terjadi.3
Komplikasi emboli udara pada trakeostomi umumnya terjadi akibat cedera
vena jugularis interna. Udara yang masuk dalam peredaran darah vena
akan berjalan melewati sirkulasi pulmoner menuju ke atrium dan ventrikel
jantung kanan, kemudian menuju arteri pulmoner dan dapat mengganggu
sistem pertukaran gas dalam darah, terjadi gangguan irama jantung,
hipertensi pulmoner bahkan mengakibatkan gagal jantung dan henti
jantung.9
6. Cardiopulmonary Arrest
Henti jantung dan henti napas dapat terjadi akibat pemasangan kanul
trakeostomi yang tidak baik sehingga terjadi false route dan timbul udem
paru. Henti jantung juga dapat terjadi jika prosedur trakeostomi dilakukan
terlalu rendah di trakea dan ujung kanul trakeostomi tertutup oleh dinding
anterior trakea. Pneumomediastinum dan pneumotorak akibat tekanan
positif ventilasi dapat menyebabkan henti jantung dan henti napas.8
B. Komplikasi Dini
1. Perubahan posisi kanul
Insiden perubahan posisi kanul trakeostomi termasuk rendah yaitu
sekitar 1,5%, namun memiliki angka kematian yang tinggi jika hal
tersebut terjadi. Komplikasi ini akan berbahaya jika perubahan posisi
kanul trakeostomi terjadi saat saluran (tract) antara kulit dan trakea belum
matur. Maturitas saluran antara kulit dan trakea mulai terjadi sekitar 5
sampai 6 hari pasca trakeostomi. Saluran dikatakan matur sekitar 10
sampai 14 hari.31 Jika saluran belum matur, jaringan akan dengan mudah
tertutup kembali saat terjadi perubahan posisi kanul sehingga dapat
menimbulkan sumbatan total saluran napas yang mengakibatkan gagal
napas dan kematian.8
2. Sumbatan kanul trakeostomi
Sumbatan kanul trakeostomi dapat disebabkan sekret yang
mengering/ mucus plugs, bekuan darah atau akibat perubahan posisi kanul
trakeostomi. Mucus plugs merupakan penyebab tersering komplikasi
tersebut. Pada trakeostomi selain terjadi pemintasan jalan napas juga
terjadi pemintasan proses humidifikasi sehingga pasien memiliki sekret
yang lebih mudah kering dan berisiko menutup lumen kanul. Perawatan
kanul dan penghisapan berkala harus dilakukan cukup sering karena pada
kanul trakeostomi anak umumnya tidak ada kanul dalam.9,10
3. Perdarahan
Perdarahan pascaoperatif dapat terjadi akibat ligasi yang tidak
adekuat setelah pemotongan ismus tiroid, erosi pembuluh darah,
perdarahan dari jaringan granulasi atau perdarahan dari dinding trakea
akibat tindakan penghisapan kanul trakeostomi yang agresif. Selain itu
perdarahan pascaoperatif juga dapat terjadi akibat efek vasokonstriksi dari
zat anestesi lokal yang telah habis atau sebagai akibat dari meningkatnya
tekanan darah dari kondisi pasien yang sebelumnya hipotensi.10
4. Infeksi
Infeksi pada stoma dapat terjadi terutama pada trakeostomi darurat
dengan sterilitas operasi yang rendah. Penggunaan kassa dan desinfektan
ternyata juga dapat menjadi penyebab infeksi pada stoma karena dapat
memicu timbulnya cedera pada stoma dan mengganggu proses
penyembuhan. Infeksi stoma dapat bermanifestasi sebagai infeksi yang
ringan, selulitis ringan atau jaringan granulasi. Infeksi yang serius pada
stoma mencakup mediastinitis, fasitis, abses dan osteomielitis pada
klavikula. Jika infeksi berlanjut maka dapat mengakibatkan trakeitis,
perikondritis, stenosis trakea, hilangnya jaringan trakea, kebocoran pada
trakea dan perdarahan. Area peristoma dapat dengan cepat terbentuk
kolonisasi kuman dan ditemukan kuman pseudomonas sekitar 85%. 9,10
5. Emfisema subkutis
Komplikasi berupa emfisema subkutis dapat terjadi akibat adanya
tekanan udara yang cukup besar pada jaringan mukosa saat pasien batuk
kuat saat dilakukan trakeostomi atau sesaat pasca trakeostomi. Emfisema
subkutis pascatrakeostomi juga dapat terjadi pada penjahitan luka insisi
atau penggunaan kassa pada penggunaan kanul trakeostomi tanpa cuff
sehingga udara dari trakea terperangkap di jaringan lunak sekitar stoma.
Ukuran kanul trakeostomi yang terlalu kecil atau insisi trakea yang terlalu
besar juga dapat menyebabkan aliran udara terperangkap pada jaringan
subkutis melalui sela-sela kanul dan trakea.9
6. Edema paru pasca sumbatan jalan napas
Edema paru pasca sumbatan jalan napas (postobstructive pulmonary
edema) disebut juga edema paru tekanan negatif. Penyebab terjadinya
komplikasi ini dihubungkan dengan keadaan hipoksia akibat sumbatan
jalan napas. Terjadi perubahan tekanan intrapleura yang mengakibatkan
translokasi aliran darah sistemik ke aliran darah paru yang kemudian
meningkatkan tekanan mikrovaskuler paru. Saat sumbatan jalan napas
telah teratasi dengan tindakan trakeostomi atau pemasangan
kanulendotrakea, edema pada paru akan tampak lebih jelas secara
langsung atau dalam beberapa jam.9
C. Komplikasi Lanjut
1. Jaringan granulasi pada stoma
Jaringan granulasi umumnya timbul akibat tingginya kolonisasi
bakteri dari stoma akibat luka pada stoma selalu lembab sehingga dapat
menimbulkan infeksi bakteri. Jaringan granulasi juga dapat disebabkan
adanya iritasi mekanis akibat pergerakan kanul. Granulasi teraba kenyal
dan berwarna kemerahan akibat adanya pembuluh darah di dalamnya. Jika
proses berlanjut akan terbentuk jaringan fibrosis dan diselimuti jaringan
epitel di dalamnya. Jaringan granulasi sering menimbulkan stenosis trakea
pada sisi trakea yang dilakukan trakeostomi.9
2. Fistel trakeoesofageal
Fistula trakeoesofageal termasuk komplikasi yang jarang terjadi pada
trakeostomi. Komplikasi ini dapat timbul karena nekrosis yang disebabkan
tekanan balon trakeostomi yang berlebihan dan terus menerus atau akibat
malposisi kanul trakeostomi yang menekan dinding posterior. Penggunaan
selang makan juga dapat meningkatkan faktor risiko timbulnya fistel
trakeoesofagus. Fistula trakeoesofageal juga dapat terjadi akibat trauma
pada dinding trakea posterior pada saat insersi kanul. Fistula
trakeoesofageal dicurigai bila ada sekresi berlebihan, aspirasi berulang,
kebocoran balon trakeostomi yang terus menerus, distensi lambung berat
atau keluarnya isi lambung melalui kanul trakeostomi.8
3. Fistel trakeokutan
Fistel trakeokutan terjadi akibat adanya epitelisasi pada stoma. Fistel
trakeokutanumumnya terjadi pada pasien yang menggunakan kanul
trakeostomi dalam jangka waktu lama. Fistel trakeokutan sering
ditemukan dengan jaringan parut disekitarnya. Jaringan parut melekat
sampai ke trakea, ditandai dengan ikut bergeraknya jaringan parut saat
menelan. Penurunan berat badan yang signifikan diikuti dengan
penggunaan kortikosteroid juga akan meningkatkan terjadinya fistel
trakeokutaneus karena berkurangnya jaringan subkutan di leher yang
menyebabkan kulit semakin dekat ke trakea. Fistel trakeokutan yang terus
menerus dapat mengakibatkan aspirasi, infeksi, batuk hebat, iritasi kulit
dan masalah dari segi kosmetik.9
4. Stenosis subglotis dan trakea
Trakea menjadi stenosis umumnya pada level stoma, tip serta balon
kanul. Stenosis trakea paling sering timbul akibat balon kanul trakeostomi
yang bertekanan tinggi dan bervolume rendah. Hal ini dapat menimbulkan
iskemia pada mukosa, ulserasi, kondritis, nekrosis kartilago dan jaringan
parut pada trakea. Pada kasus stenosis pada stoma, umumnya terjadi
akibat infeksi dan penggunaan ukuran kanul yang terlalu besar. Kasus
stenosis subglotis pasca trakeostomi sering timbul pada trakeostomi letak
tinggi karena mencederai kartilago krikoid. Cedera pada daerah tersebut
dapat membuat iskemia pada mukosa, kondritis, serta jika disertai infeksi
bakteri maka dapat menimbulkan destruksi kartilago dan jaringan parut
sehingga menyempitkan jalan napas atas.9

X. Perawatan Pasca Tindakan


Perawatan pasien pascatrakeostomi sangatlah penting, karena perawatan
yang buruk dapat mengakibatkan kematian. Kematian yang sering terjadi
disebabkan oleh sumbatan pada kanul karena penumpukan sekret. Penggantian
kanul trakeostomi tidak boleh dilakukan sesaat setelah trakeostomi selesai
dikerjakan karena jalur trakeostomi belum matur.8
Setelah tindakan trakeostomi selesai, pasien dimonitor secara ketat.
Trakeostomi akan mengganggu mekanisme alami untuk melembabkan udara saat
inspirasi sehingga pasca trakeostomi harus di lengkapi dengan humidifikasi
buatan untuk mencegah desikasi dan kerusakan pada silia dan epitel pernapasan,
dan juga obstruksi dikarenakan mukosa yang kering. Bila sekret yang timbul
menjadi kental atau kering dapat disemprotkan 1-2cc NaCl fisiologis pada lubang
kanul trakeostomi yang kemudian diikuti dengan pengisapan lendir.9

Gambar 12. Humidifikasi air dingin dan air panas


Gambar 13. Protektor stoma

tabung trakeostomi dan inspirasi dengan udara yang kering akan


mengiritasi mukosa pernapasan dan meningkatkan sekresi mukosa. Trakeostomi
juga dapat menyebabkan aspirasi saliva dan makanan sebagai penghubung dari
jalan napas untuk mencegah elevasi laring saat menelan. Pasien tidak dapat
membersihkan sekresi secara efektif karena trakeostomi mencegah tekanan
subglotis yang membuat batuk dan pembersihan sekresi tidak efektif, sehingga
diperlukan tindakan penghisapan. Trakeostomi Sebaiknya pengisapan dilakukan
secara steril. Pada hari-hari pertama dapat dilakukan setiap 1-2 jam dengan
waktu 5-10 menit. Kemudian dilakukan pengisapan sekret sesuai dengan interval
yang dibutuhkan. Penghisapan tidak boleh lebih dari 10 detik. 8,9

XI. Dekanulasi
Dekanulasi hanya dilakukan jika pasien dalam kondisi klinis yang stabil,
yaitu tidak ada sumbatan jalan napas atas, tidak memerlukan lagi alat bantu napas
seperti ventilator dan tidak ada bahaya retensi sputum yaitu telah mampu
mengeluarkan dahaknya sendiri.11
Protokol dekanulasi setiap institusi berbeda-beda. Dekanulasi dapat
dilakukan dengan cara penurunan ukuran kanul trakeostomi (downsizing) atau
dengan cara penutupan kanul trakeostomi bertahap. Pada downsizing, umumnya
digunakan kanul tanpa balon. Sebelum dekanulasi umumnya dilakukan proses
penutupan kanul bertahap. Tahap pertama dilakukan penutupan kanul dari pagi
hingga sore hari kecuali malam hari; jika tidak ada keluhan saat penutupan kanul
maka dapat dilanjutkan dengan tahap berikutnya yaitu penutupan kanul selama
24 jam. Jika pada saat penutupan kanul selama 24 jam tidak ada keluhan maka
dekanulasi aman dilakukan.8
Proses dekanulasi memerlukan waktu yang lebih lama pada kasus pasien
dengan penggunaan kanul trakeostomi dalam jangka waktu lama. Setelah
dilakukan dekanulasi, stoma ditutup dengan kassa steril. Penutupan stoma
umumnya akan terjadi setelah 7 sampai 10 hari pasca dekanulasi.8
Daftar Pustaka

1. Rahardjo, S.P. 2009. Patient Demography And Diagnostic Indications Of


Tracheostomies Performed At Wahidin Sudirohusodo Hospital, Makassar.
The Indonesian Journal of Medical Science 2(2) : 112
2. Nurdiana, D. 2015. Proporsi Komplikasi Trakeostomi Dan Faktor-Faktor
Yang Berhubungan Di Departemen THT-KL RSUPN Cipto Mangunkusumo
Periode 2011 - 2013.Tesis. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.
3. Fitriah, H., Juniati, S.H. 2010. Peran Traktus Trakeo-Bronkial Dalam Proteksi
Paru. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo.
Surabaya.
4. Hadiwikarta A, Rusmarjono, Soepardi E. Penanggulangan sumbatan laring.
Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher.
Edisi 7. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2017.hal. 224-229
5. Russel C. 2004. What is a tracheostomy. In: Tracheostomi A
Multiprofessional Handbook. Cambridge. Hal. 30-34.
6. Acharya, D., Nanjangud, P. 2014. Percutaneous dilatational tracheostomy.
Indian Journal of Respiratory Care 3(2) : 489
7. Nora H., and Napolitano. MD. 2014. Tracheostomy: Epidemiology,
Indications, Timing, Technique, And Outcomes. Respiratory Care 59(6)
8. Hunt K, McGowan S. Tracheostomy Management. BJA Education 2015; 15
(3) p. 149-153
9. Russell C, Matta B. 2004. Tracheostomy: A Multiprofessional Handbook.
Cambridge
10. Fagan J. Tracheostomy. Open Access Atlas of Otolaryngology, Head and
Neck Operative Surgery. 2017.p. 1-8
11. Engels PT, Bagshaw SM, Meier M, Brindley PG. Tracheostomy: from
Insertion to Decannulation. Can J Surg. 2009;52(5):427-33.

Anda mungkin juga menyukai