Anda di halaman 1dari 9

Fraktur colles adalah fraktur pada ujung distal tulang radius pada bagian

pergelangan tangan sesudah seseorang terjatuh, sedangkan tangan yang menahan


tubuhnya berada dalam keadaan ekstensi. Secara tipikal, fraktur ini menghasilkan
deformitas tangan yang menyerupai garpu.
Weller BF.Kamus saku perawat. Edisi ke-22 EGC.2005.h.155.

Fraktur colles adalah fraktur radius tersering pada dewasa, yang bersifat ekstraartikuler dan terjadi di 2,5-3 cm dari sebelah proksimal permukaan artikular radius
distal. Fraktur ini terjadi dengan tangan dalam posisi dorsofleksi. Segmen fraktur
distal mengalami angulasi kea rah dorsal dan menyebabkan deformitas garpu
perak. Reduksi dapat dilakukan dengan traksi dan manipulasi. Setelah melakukan
reduksi fraktur tersebut, dipasang gips lengan pendek selama 5 sampai 8 minggu.
Jika tidak bergeser tempat, diindikasikan pemasangan gips tanpa reduksi selama 6
minggu.
Graber MA, Toth PP, Herting RL.Dokter keluarga universitas of oiwa.Edisi ke3.EGC.2006.h.311.

Latar belakang
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau
tulang rawan.1 Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma
langsung, misalnya benturan pada lengan bawah yang menyebabkan patah tulang
radius dan ulna, dan dapat berupa trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu
pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah.2 Jenis
fraktur dapat dapat dilihat dari segi kedudukan, segi konfigurasi, segi adanya luka,
fraktur tertutup serta juga fraktur terbuka. Fraktur terbuka dibagi menjadi tiga
derajat, yaitu derajat 1, bila luka kurang dari 1 cm, derajat kerusakan jaringan
ringan dan tidak ada tanda remuk, serta juga terjadi with out-in dan with in-out.
Derajat 2, bila laserasi lebih dari 1 cm, derajat kerusakan jaringan sedang dan tidak
luas. Derajat 3, bila terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur
kulit, otot, dan neurovascular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat 3
dibagi atas 3A,3B, dan 3C. Fraktur derajat 3A, bila jaringan lunak yang menutupi
fraktur tulang adekuat atau luka kulit masih dapat ditutup. Fraktur derajat 3B
(tulang terbuka/bone expose), bila kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang
yang terpapar. Fraktur derajat 3C, bila terdapat luka pembuluh arteri/saraf perifer
yang harus diperbaiki tanpa melihat kerusakan jaringan lunak atau dapat
diamputasi primer.2,3

Untuk menjelaskan keadaan fraktur, hal-hal yang perlu dideskripsikan adalah


komplit atau tidak komplit, bentuk garis patah dan hubungannya dengan
mekanisme trauma, jumlah garis patah, bergeser a tau tidak bergeser, terbuka atau
tertutup serta komplikasi atau tanpa komplikasi. Fraktur komplit, bila garis fraktur
melalui seluruh penampang tulang atau melebihi kedua korteks tulang, sedangkan
fraktur tidak komplit bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang,
seperti hairline fracture (patah retak rambut), buckle fracture atau torus fracture
bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spiongiosa di
bawahnya, biasanya pada distal radius anak-anak. Serta juga greenstick fracture
yang mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada
tulang panjang anak. Bentuk garis fraktur dan hubungannya dengan mekanisme
trauma yang meliputi garis patah melintang (trauma angulasi/langsung), garis
patah oblik (trauma angulasi), garis patah spiral (trauma rotasi), fraktur kompresi
(trauma aksial-fleksi pada tulang spongiosa) dan fraktur avulse (trauma
tarikan/traksi otot pada insersinya di tulang, misalnya fraktur patella. Jumlah garis
patah meliputi fraktur kominutif bila garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan, fraktur segmental bila garis patah lebih dari satu tetapi tidak
berhubungan. BIla dua garis patah disebut pula fraktur bifocal. Fraktur multiple bila
garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan tempatnya, misalnya
fraktur femur, fraktur kruris dan fraktur tulang belakang. Deskripsi fraktur
berikutnya adalah bergeser atau tidak. Fraktur undisplaced (tidak bergeser), garis
patah komplit tetapi kedua fragmen tidak bergeser, periosteumnya masih utuh,
sedangkan fraktur displaced (bergeser) bila terjadi pergeseran fragmen-fragmen
fraktur yang juga disebut lokasi fragmen. Berikutnya adanya komplikasi atau tanpa
komplikasi.
Tujuan
Dalam makalah ini, bertujuan untuk mengetahui anamnesis dari pasien,
pemeriksaan terhadap pasien dengan gejala fraktur, working diagnosis, differential
diagnosis dari pasiem ,patofisiologi, etiologi, penatalaksaaan untuk pasien,
komplikasi, prognosis dari pasien, epidimiologi dari pasien dengan cara pencegahan
dari pasien.
Pembahasan
Anamnesis
Anamnesis adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara. Anamnesis
dapat dilakukan langsung kepada pasien, yang disebut autoanamnesis, atau
dilakuakan terhadap orang tua, wali, orang yang dekat dengan pasien atau sumber
lain. Disebut sebagai alloanamnesis. Termasuk didalam alloanamnesis adalah
semua keterangan dokter yang merujuk, catatan rekam medic, dan semua
keterangan yang diperoleh selain dari pasiennya sendiri. Yang perlu dilakukan pada
anamnesis pada anak adalah sebagai berikut.

Pertama, identitas yang meliputi nama, umur/usia, jenis kelamin, nama orang tua,
alamat, umur/pendidikan/pekerjaan orang tua serta juga agama dan suku bangsa.
Berikutnya menanyakan riwayat penyakit meliputi keluhan utama. Keluhan/gejala
yang menyebabkan pasien dibawa berobat dan tidak harus sejalan dengan
diagnosis utama. Selanjutnya riwayat perjalanan penyakit yang terdiri dari cerita
kronologis, rinci, jelas tentang keadaan pasien sebelum ada keluhan sampai dibawa
berobat, pengobatan, sebelumnya dan hasilnya (macam obat, dll), tindakan
sebelumnya (suntikan, penyinaran), reaksi alergi, perkembangan penyakit, gejala
sisa/cacat, riwayat penyakit pada anggota keluarga. Tetangga dan riwayat penyakit
lain yang pernah diderita sebelumnya. Terakhir menanyakan hal-hal yang perlu
ditanyakan tentang keluhan/gejala yang meliputi lama keluhan, keluhan lokal
(lokasi, menetap, pindah-pindah, menyebar), bertambah berat/ berkurang serta
upaya yang dilakukan dan hasilnya.3,4

Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik, kita lakukan dengan primary survey dan secondary survey.
Primary survey dilakukan dengan mengetahui keadaan umum pasien, sedangkan
secondary survey, untuk mengetahui gerakan pasien, apakah masih dianggap
normal atau tidak. Kedua pemeriksaan diatas dapat kita lakukan dengan look
(inspeksi), feel (palpasi). Dam move (gerakan). Perlu untuk diketahui bahwa
auskultasi tidak dapat dilakukan dalam pemeriksaan fisik tulang karena keras.
Melihat dan bandingkan cukup dengan deskripsi yang terlihat. Misalnya dengan
berpatokan pada sisi kontralateralm dimana kita menganggap bahwa sisi
kontralateral adalah normal. Pada inspeksi, kita dapat melihat deformitas yaitu
angulasi (medial, lateral, posterior atau anterior), diskrepensi (rotasi, perpendekan
atau perpanjangan), bengkak atau kebiruan dan fungsio laesa (hilangnya fungsi
gerak). Berikutnya kita meraba untuk mengukur selisih panjang ekstremitas kiri dan
kanan serta juga untuk mengetahui keadaan neurovascular bagian distal pasien
dengan meraba arteri paling distal, misalnya pada ekstremitas bawah pasien, yaitu
arteri dorsalis pedis, dan ekstremitas atas pasien yaitu arteri radialis. Terakhir dari
pemeriksaan fisik, yaitu dengan gerakan sendi proksimal dan distal dari tulang yang
patah. Misalnya terjadi fraktur pada antebrachii. Yaitu dengan melakukan gerakan
aktif pada siku yang meliputi fleksi-hiperekstensi dan supinasi-pronasi. Berikutnya
kita move untuk melihat apakah ada krepitasi bila fraktur digerakkan, tetapi ini
bukan cara yang baik dan kurang halus. Krepitasi timbul oleh pergeseran beradunya
ujung-ujung tulang kortikal. Pada tulang spongiosa atau tulang rawan epifisis tidak
terasa krepitasi. Selanjutnya kita memeriksa seberapa jauh gangguan fungsi,
gerakan-gerakan yang tidak mampu dilakukan, range of motion, dan kekuatan serta
kita melakukan pemeriksaan untuk melihat apakah ada gerakan tidak normal atau
tidak. Gerakan tidak normal merupakan gerakan yang tidak terjadi pada sendi,
misalnya pertengahan femur dapat digerakkan. Ini adalah bukti penting adanya
fraktur yang membuktikan adanya putusnya kontinuitas tulang sesuai definisi

fraktur. Hal ini penting untuk membuat visum, misalnya bila tidak ada fasilitas
pemeriksaan rontgen.2 Pemeriksaan radiologis untuk fraktur-fraktur dengan tandatanda klasik, diagnosis dapat dibuat secara klinis, sedangkan pemeriksaan
radiologis tetap diperlukan untuk melengkapi deskripsi fraktur dan dasar untuk
tindakan selanjutnya. Untuk fraktur-fraktur yang tidak memberikan tanda-tanda
klasik memang diagnosanya harus dibantu pemeriksaan radiologi baik rontgen
ataupun dengan melakukan pemeriksaan canggih seperti, MRI, misalnya untuk
fraktur tulang belakang dengan komplikasi neurologis. Foto rontgen minimal harus
2 proyeksi, yaitu AP dan lateral. AP dan lateral harus benar-benar AP dan lateral, jika
ada posisi yang salah akan memberikan intrepestasi yang salah. Untuk pergelangan
tangan atau sendi panggul diperlukan posisi axial pengganti lateral. Untuk
acetabulum diperlukan proyeksi khusus alar dan obturator. Pemeriksaan radiologis
dapat menggunakan bantuan x-ray image yang berdasarkan rules of two yang
meliputi 2 posisi (AP dan lateral), 2 sendi (sendi atas dan bawah tulang yang patah)
dan 2 ekstremitas (kanan dan kiri) dan terutama pemeriksaan pada anak yang
lempeng pertumbuhan masih aktif. Pemeriksaan x-ray ini harus dilakukan 2 kali
yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan. Pada pemeriksaan radiologis ini
dengan pembuatan foto rontgen 90 derajat didapatkan gambaran garis patah. Pada
patah yang fragmennya mengalami dislokasi, gambaran garis patah biasanya
jelas.4,6
Pemeriksaan radiologi tidak dimaksudkan untuk diagnostic, karena pemeriksaan
klinisnya sudah jelas, tetapi untuk menentukan pengelolaan yang tepat dan
optimal. Foto rontgen juga harus memenuhi beberapa syarat, yaitu letak patah
tulang harus dipertengahan foto dan sinar harus menembus tempat ini secara tegak
lurus karena foto rontgen merupakan foto gambaran bayangan. Bila sinar
menembus secara miring, gambaran menjadi samar, kurang jelas, dan lain
kenyataan. Harus selalu dibuat dua lembar foto dengan arah yang saling tegak
lurus. Pada tulang, panjang persendian proksimal maupun distal harus turut difoto.
Bila ada kesangsian atas adanya patah tulang atau tidak, sebaikbya dibuat foto
yang sama dari anggota gerak yang sehat untuk perbandingan. Bila tidak diperoleh
kepastian adanya kelainan, seperti fisura, sebaiknya foto diulang setelah satu
minggu dimana retak akan menjadi nyata karena hyperemia setempat sekitar
tulang yang retak itu akan tampak sebagai dekalsifikasi.1

Working diagnosis
Diagnosis fraktur antebrachii ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang, yaitu radiologis. Pada anak biasanya diperoleh dengan
alloanamnesis, dimana ditemukan adanya riwayat trauma dan gejala-gejala seperti
nyeri, pembengkakan, perubahan bentuk dan gangguan gerak. Pada pasien dengan
riwayat trauma ditanyakan adalah waktu terjadinya, cara terjadinya, posisi
penderita dan lokasi trauma. Bila tidak ada riwayat trauma, berarti merupakan

fraktur patologis. Pada fraktur antebrachii kita dapat menduga apakah anak
tersebut terkena fraktur monteggia ataukah fraktur galeazzi. Fraktur monteggia
merupakan fraktur sepertiga proksimal ulna disertai dislokasi ke anterior, lateral
dan juga posterior dari kapitulum radius. Penyebabnya biasanya trauma langsung
terhadap ulna. Pengobatan dengan cara konservatif biasanya berhasil pada anak,
tetapi metode operatif sering menjadi pilihan pada orang dewasa. Sedangkan
fraktur galeazzi merupakan fraktur distal radius disertai dislokasi atau subluksasi
sendi radioulnar distal. Terjadinya fraktur ini biasanya akibat trauma langsung sisi
lateral ketika jatuh. Bila ringan, nyeri dan tegang hanya dirasakan pada daerah
fraktur dan bila berat biasanya terjadi pemendekan lengan bawah. Pengobatan
secara konservatif mungkin kurang memuaskan, dan bila demikian, terapi bedah
menjadi pilihan.
Komplikasi
Komplikasi dapat berupa komplikasi umum, lokal atau sistemik meliputi komplikasi
dini atau lambat, oleh trauma atau akibat pengobatan. Komplikasi umum meliputi
crush syndrome, deep venosus thrombosis, gas gangrene dan emboli lemak. Crush
syndrome terjadi karena trauma keras yang menyebabkan otot hancur. Penderita
yang terkena crush syndrome, deep venosus thrombosis, gas gangrene dan emboli
lemak. Crush syndrome terjadi karena trauma keras yang menyebabkan otot
hancur. Penderita yang terkena crush syndrome dapat menderita kontinensia urin
akibar dari otot yang hancur mengeluarkan acid myohaetamin yang akan
menyebabkan kebuntuan pada tubulus sehingga penderita dapat menderita
acutetubular necrosis. Untuk terapi kita harus melakukan amputasi atau rena
dialysis untuk menyelamatkan nyawa penderita. Gas gangrene dapat terjadi karena
infeksi dari clostridium perfringens yang terpaksa bagian tubuh orang yang terkena
infeksi ini harus diamputasi. Berikutnya emboli lemak yang timbul setelah patah
tulang, terutama tulang panjang. Embolus lemak dapat timbul akibat pajanan
sumsum tulang, atau dapat terjadi akibat aktivasi system saraf simpatis yang
menimbulkan stimulasi mobilisasi asam lemak bebas setelah trauma. Embolus
lemak yang timbul setelah patah tulang panjang sering tersangkut disirkulasi paru
karena ada robekan dari pembuluh balik yang mempunyai daya tarik kembali
terhadap darah-darah kotor yang keluar dari pembuluh balik yang juga
mengikutsertakan lemak yang dapat menimbulkan gawas napas dan gagal napas.
Berikutnya, komplikasi lokal yang meliputi komplikasi dini dan lambat. Komplikasi
dini meliputi komplikasi dini tulang, dini jaringan lunak dan dini sendi. Komplikasi
dini tulang misalnya dapat terjadi infeksi pada tulang. Komplikasi dini jaringan lunak
misalnya adanya kelepuhan pada kulit, luka akibat plester, terjadi robekan pada
otot serta tendon dan sindrom kompartemen yang ditandai oleh kerusakan atau
destruksi saraf dan pembuluh darah yang disebabkan oleh pembengkakan dan
edema di daerah fraktur. Komplikasi dini sendi misalnya terjadi haemarthrosis dan
infeksi. Sedangkan komplikasi lambat meliputi lambat tulang, lambat jaringan lunak
dan lambat sendi. Komplikasi lambat tulang misalnya terjadi avaskular nekrosis,

non-union, delayed union, atau mal-union yang menimbulkan deformitas atau


hilangnya fungsi. Komplikasi lambat jaringan lunak misalnya terjadi bed sores
karena tidur lama yang menyebabkan luka ulkus pada bagian gluteus, myositis
ossifikasi dimana otot mengalami perkapuran, tendinitis (iritasi dan pembengkakan)
serta juga rupture tendon (tendon pecah), penyempitan saraf misalnya
ketidakstabilan pada sendi, kekakuan pada sendi dan algodistrofi (nyeri pada
sendi).1,3
Komplikasi lambat yang tersering adalah salah taut dan apabila salah tautnya
berupa angulasi disertai dengan ketidaksejajaran radius dan ulna, akan terjadi
gangguan gerak pronasi dan supinasi, Komplikasi lain adalah terbentuknya
sinostosis atau jembatan kalus, yaitu kalus antara radius dan ulna sehingga
kemungkinan supinasi dan pronasi hilang. Perlu diketahui bahwa kalus merupakan
hyperkeratosis setempat yang umumnya berbentuk kurang lebih bundar akibat
gesekan kronik. Biasanya kelainan ini timbul di atas penonjolan tulang dan akan
hilang sendiri bila gesekan kronik tadi dihentikan. Pada anak, dengan timbulnya
kalus ini akan disertai proses pengaturan kembali pertumbuhan epifisis sehingga
sudut patahan akan pulih sampai derajat tertentu.2
Patofisiologi
a. Patogenesis
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih
besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang
yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah
terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks,
marrow dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan
terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga
medulla tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang
patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon
inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasim, eksudasi plasma dan leukosit
serta infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari
proses penyembuhan tulang nantinya.2,4
b. Proses penyembuhan
Tulang bias beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur
merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan
membentuk tulang baru diantara ujung patahab tulang. Tulang baru dibentuk
oleh aktivitas sel-sel tulang.
4. Stadium penyembuhan tulang
1. kerusakan jaringan dan pembentukan
Hematoma pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar darah
fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak
dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini
berlangsung 24-48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.3

2. Inflamasi dan proliferasi seluler


Pada stadium ini dalam 8 jam terjadi inflamasi akut dan terjadi proliferasi
serta diferensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,
endoesteum dan bonemarrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang
mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan
disanalah osbetoblast beregenerasi dan terjadilah proses osteogenesis.
Dalam beberapa haru terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua
fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah
fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.3
3. Pembentukan kallus (tulang muda)
Sel-sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik,
bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan
juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan
osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorpsi sel-sel tulang yang mati.
Massa sel yang tebal dengan tulang yang immature dan kartilago,
membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal.
Sementara tulang yang immature (anyaman tulang) menjadi lebih padat
sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah
fraktur menyatu.3
4. Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah
menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan
osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur dan tepat
dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen
dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu
beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa bebanyang normal.3
5. Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama
beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses
resorbsi dan pembentukan tulang yang terus menerus. Lamellae yang lebih
tebal diletakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang
tidak dikehendaki di buang, rongga sumsum dibentuk dan akhirnya dibentuk
struktur yang mirip dengan normalnya.
3. Etiologi
Fraktur dapat disebabkan oleh trauma, non trauma, dan stress. Trauma dapat
dibagi menjadi trauma langsung dan trauma tidak langsung. Trauma
langsung berarti benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur di tempat
itu. Sedangkan trauma tidak langsung bila titik tumpuan benturan dengan
terjadinya fraktur bergantian. Non trauma fraktur terjadi karena kelemahan
tulang akibat kelainan patologis didalam tulang, non trauma ini bisa karena
kelainan metabolic atau infeksi. Fraktur stress terjadi karena trauma yang
terus menerus pada suatu tempat tertentu.
4. Gejala klinis

Fraktur antebrakius pada anak paling sering berupa patah dahan hijau/muda.
Biasanya tampak angulasi anterior dan biasanya kedua ujung tulang yang
patah masih berhubungan satu sama lain. Secara klinis anak mengeluh sakit
pada lengan bawahnya sehingga tidak mau menggerakkan tangannya.1
5. Penanganan
Patah tulang pada anak termasuk dalam golongan relative stability yaitu
hanya dilakukan penanganan tindakan pemasangan gips 3-4 minggu atau
imobilisasi dari luar karena pada anak epifisis tulang pertumbuhan dan
osteoblast masih sangat aktif sehingga memungkinkan terbentuknya kalus.
Pada fraktur yang tidak berubah posisinya dilakukan pemasangan gibs di atas
siku selama 3-4 minggu. Pada fraktur yang posisinya berubah harus dilakukan
reposisi tertutup untuk kemudian dipasang gibs diatas siku. Tindakan reposisi
dilakukan untuk mengembalikan tulang yang patah kearah/alignment yang
benar, pengembalian fragmen distal terhadap proksimal dan mengembalikan
kedudukannya ke arah yang benar serta untuk menjamin keadaan
neurovascular terjamin baik kembali. Untuk fraktur radius ulnar proksimal,
lengan bawah diimobilisasi dalam gips pada posisi supinasi. Posisi ini
dimaksudkan untuk mengatasi rotasi radius dan mengendurkan otot
supinator. Fraktur bagian distal umumnya diimobilisasi dalam posisi pronasi
dan patah tulang bagian tengah dalam posisi netral. Akan tetapi, pada
umumnya fraktur kedua tulang radius dan ulna sulit untuk di lakukan reposisi
tertutup dengan baik sehingga diperlukan operasi reposisi terbuka dan fikasi
internal. Tindakan fiksasi internal dilakukan dengan pemasangan irschner
wire, plate dan screw serta nail. Reposisi terbuka juga lebih sering diperlukan
pada patah tulang yang disertai dislokasi sendi.1,3
6. Prognosis
Pada kasus fraktur, prognosisnya bergantung dari tingkat keparahan serta
tata laksana dari tim medis terhadap pasien dengan korban fraktur. Jika
penanganannya cepat, maka prognosisnya akan lebih baik. Begitu juga
sebaliknya. Sedangkan dari tingkat keparahan, jika fraktur yang dialami
ringan, maka proses penyembuhan akan berlangsung dengan cepat dengan
prognosis yang baik. Tapi jikalau pada kasus yang berat prognosisnya, juga
akan buruk. Bahkan jikalau parah, tindakan yang dapat diambil adalah cacat
fisik hingga amputasi. Selain itu penderita dengan usia yang lebih muda akan
lebih bagus prognosisnya di banding penderita dengan usia lanjut.
7. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembelajaran yang dikaji, dapat disimpulkan bahwa hasil
hipotesis yang disepakati dapat diterima. Pengujian hipotesis dilakukan
dengan analisa terhadap anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang, working diagnosis, differential diagnosis, patofisiologi, etiologi,
penatalaksanaan, komplikasi, prognosis, epidimiologi, dan pencegahan pada
fraktur radius-ulna.

Daftar pustaka
1. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2006.h.136571.
2. Jonathan G. Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga;
2007.h.16.
3. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2009.h.19.
4. Departement farmakologi dan terapeutik FKUI. Farmakologi dan terapi.
Edisi ke-5. Jakarta: FKUI; 2009.h.210-42.
5. Rasjad C. Buku pengantar ilmu bedah ortopedi. Edisi ke-3. Makassar: Yarsif
Watampone; 2007.h.352-489.
6. Gunawan SG, Nafrialdi RS, Elysabeth. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5.
Jakarta: FKUI; 2007.h.210-46.

Anda mungkin juga menyukai