Anda di halaman 1dari 78

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALGESIA BLOK PARAVERTEBRAL INTRAOPERATIF PADA


PASIEN TORAKOTOMI FOKUS PADA RASA NYERI DAN
MOBILISASI.

TESIS

ANTONIUS SARWONO SANDI AGUS

0806359523

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
ILMU BEDAH TORAKS KARDIOVASKULER
JAKARTA
2015

!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALGESIA BLOK PARAVERTEBRAL INTRAOPERATIF PADA


PASIEN TORAKOTOMI FOKUS PADA RASA NYERI DAN
MOBILISASI.

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Spesialis Bedah Toraks Kardio Vaskular

ANTONIUS SARWONO SANDI AGUS

0806359523

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
ILMU BEDAH TORAKS KARDIOVASKULER
JAKARTA
2015

ii!
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya sendiri,


Dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : ANTONIUS SARWONO SANDI AGUS


NPM : 0806359523

Tanda Tangan :

Tanggal : 25 April 2015

iii!
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

iv!
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam
rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar spesialis bedah Toraks
Kardio Vaskular pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Saya
menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa
studi sampai pada penyusunan tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk
menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
(1) dr. Susan Hendriarini Mety, Sp.BTKV(K) selaku dosen pembimbing I yang
telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya
dalam penyusunan tesis ini;
(2) dr. Thariq Sp.An(K), selaku dosen pembimbing II yang telah menyediakan
waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam menyusun
tesis ini.
(3) Dr. Nuri Purwito Adi, MSc, MKK , Yoli Farradika, Mkes, selaku dosen
pembimbing statistik yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran
untuk mengarahkan saya dalam menyusun tesis ini.
(4) Prof. DR. Dr. Hafil Budianto AbdulGani, Sp.BTKV, DR. Dr. Jusuf
Rachmat, Sp.B, Sp.BTKV(K), MARS,dr. Dicky Fachri, Sp.B, Sp.BTKV(K),
selaku tim penguji hasil karya akhir ini yang telah banyak memberikan
masukan untuk perbaikan karya akhir ini
(5) dr. Agung Wibawanto, Sp.B, Sp.BTKV(K), dr. Frans Barna Busro, Sp.B,
Sp.BTKV(K), dr. Muhammad Arman, Sp.BTKV(K) dan dr. Susan H
Meity, Sp.BTKV(K) yang memberikan arahan, motivasi, menanamkan
disiplin serta membimbing saya selama menjalani pendidikan dalam
bidang Ilmu Bedah Toraks Kardio Vaskular khususnya ilmu bedah toraks
dan bedah pembuluh darah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jakarta/ RS Pusat Persahabatan Jakarta.
(6) dr. Wuryantoro, Sp.B, Sp.BTKV(K), dan dr. Suprayitno, Sp.BTKV(K),
dr. Arza, Sp.BTKV(K) dr. Dhama Shinta, Sp.BTKV(K), yang

v!
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

memberikan arahan, motivasi, menanamkan disiplin serta membimbing


saya selama menjalani pendidikan dalam bidang Ilmu Bedah Toraks
Kardio Vaskular khususnya ilmu bedah toraks di Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia Jakarta/ RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.
(7) dr. Tarmizi Hakim, SpB. BTKV(K), dr. Maizul Anwar, SpB. BTKV(K),
dr. Tri Wisesa Soetisna, Sp.B, Sp.BTKV(K), dr. Arinto Bono Adjie,
Sp.BTKV(K), dr. Dudy A Hanafy, Sp.BTKV(K), dr. Sugisman,
Sp.BTKV(K) dan dr Dicky A Wartono, Sp.BTKV(K), dr. Amin Tjubandi,
Sp.BTKV(K) yang selalu memberikan arahan, motivasi, menanamkan
disiplin serta membimbing saya selama menjalani pendidikan dalam
bidang Ilmu Bedah Toraks Kardio Vaskular khususnya ilmu bedah
jantung dewasa di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta/ RS
PJN Harapan Kita Jakarta
(8) dr. Dicky Fachri, Sp.B, Sp.BTKV(K), dr. Pribadi W Busroh,
Sp.BTKV(K), dr. Budi Rahmat, Sp.BTKV(K) dan dr. Salomo Purba,
Sp.BTKV(K) yang selalu memberikan arahan, motivasi, menanamkan
disiplin serta membimbing saya selama menjalani pendidikan dalam
bidang Ilmu Bedah Toraks Kardio Vaskular khususnya ilmu bedah
jantung anak di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta/ RS
PJN Harapan Kita Jakarta.
(9) Dr. dr. Jusuf Rachmat, Sp.B, Sp.BTKV(K), MARS, Dr. dr. Fathema D
Rachmat, Sp.B, Sp.BTKV(K) dan dr. Ismail Dilawar, Sp.BTKV(K) yang
memberikan arahan, motivasi, menanamkan disiplin serta membimbing
saya selama menjalani pendidikan dalam bidang Ilmu Bedah Toraks
Kardio Vaskular di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta/
Pelayanan Jantung Terpadu RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.
(10) dr. Marsono Tabrani, Sp B. BTKV(K), dr. Andreas A Lensoen, Sp.B,
Sp.BTKV(K), dr. Wijoyo Hadi Mursito, Sp.B, Sp.BTKV(K), dr. Arief
Widya Taufiq, Sp.BTKV(K) yang memberikan arahan, motivasi,
menanamkan disiplin serta membimbing saya selama menjalani
pendidikan dalam bidang Ilmu Bedah Toraks Kardio Vaskular di Fakultas

vi!
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta/ RS Pusat Angkatan Darat


Jakarta.
(11) Ayahanda Drs. F. Eddy Sandi Agus dan ibunda M.A. Ida Maydajanti BSc,
adinda Elisabeth Yunita MSc, yang telah memberikan kasih sayang,
semangat dan pengorbanan yang sedemikian besar demi membesarkan,
membimbing, mendidik, mendoakan, dan mendukung perjalanan hidup dan
pendidikan penulis dalam suka maupun duka.
(12) Kepada istri tercinta, dr.Marisa Kusuma Sp.KFR, yang dengan sabar dan
tanpa mengeluh senantiasa mendampingi penulis selama dalam pendidikan,
semoga Yesus Kristus selalu melimpahkan pahala dan kemuliaan yang tak
terhingga kepadanya, serta anak-anakku terkasih Rebecca Nicole Sandi Agus
dan Ruben Nathanael Sandi Agus, yang menjadi penyemangat dan pelita
dalam keluarga. Mohon maaf atas segala waktu yang terlewatkan tanpa
kehadiran penulis diantara kalian.
(13) Sahabat, senior dan junior PPDS Bedah TKV yang telah banyak
membantu saya dalam menyelesaikan tesis ini.

Dengan segala kerendahan hati penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah membantu,
baik secara langsung maupun tidak langsung dalam usaha menyelesaikan tesis ini.
Semoga Tuhan yang Maha Esa senantiasa membalas semua jasa baik tersebut. Akhir
kata, tesis ini masih jauh dari sempurna dan penuh dengan segala keterbatasan.
Diperlukan penelitian-penelitian lebih mendalam demi kemajuan dan perkembangan
Ilmu Bedah Toraks KardioVaskular. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa
melimpahkan berkat Nya kepada kita semua. Amin

Jakarta, April 2015


Penulis,

Antonius Sarwono Sandi Agus

vii!
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI


TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini:
Nama : ANTONIUS SARWONO SANDI AGUS
NPM : 0806359523
Program Studi : Ilmu Bedah Toraks Kardio Vaskular
Fakultas : Kedokteran
Jenis karya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive
Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
ANALGESIA BLOK PARAVERTEBRAL INTRAOPERATIF PADA
PASIEN TORAKOTOMI FOKUS PADA RASA NYERI DAN
MOBILISASI.
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih
media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat,
dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : 25 April 2015
Yang menyatakan

( ANTONIUS SARWONO SANDI AGUS )

viii!
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ORISINALITAS ........................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................ v
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................... viii
DAFTAR ISI ............................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xiii
ABSTRAK .................................................................................................. xiv
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................ 3
1.3. Hipotesis ....................................................................................... 3
1.4. Tujuan Penelitian ...................................................................... 3
1.4.1. Tujuan Umum ................................................................ 3
1.4.2. Tujuan Khusus ............................................................... 3
1.5. Manfaat Penelitian ........................................................................ 4
1.6. Keaslian Penelitian ................................................................... 4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Nyeri ......................................................................................... 7
2.2. Nyeri Torakotomi....................................................................... 7
2.2.1. Efek Nyeri pada Pasien pascatorakotomi ...................... 8
2.2.2. Patofisiologi yang terjadi pascatorakotomi ................... 10
2.2.3. Tatalaksana nyeri pascatorakotomi.. .............................. 12
2.3. Teknik Analgesia ....................................................................... 13
2.4. Blok Paravertebral ....................................................................... 15
2.4.1. Latar Belakang .............................................................. 15
2.4.2. Definisi ........................................................................... 16
2.4.3. Anatomi spatium paravertebral ...................................... 16
2.4.4. Teknik blok paravertebral .............................................. 18
2.4.5. Mekanisme dan penyebaran anestesia ........................... 22
2.4.6. Indikasi dan kontraindikasi ............................................ 23
2.4.7. Obat yang digunakan dan dosis ...................................... 24
2.4.8. Komplikasi ..................................................................... 24
2.4.9. Efek blok paravertebral pascatorakotomi........................ 24
2.5. Pengukuran Derajat Nyeri Pascabedah menggunakan VAS ......... 25
2.6. Kerangka Teori ........................................................................... . 27
2.7. Kerangka Konsep ....................................................................... . 28

BAB 3. METODE PENELITIAN


3.1. Desain Penelitian ....................................................................... 29

ix!
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian..................................................... 29


3.3. Populasi Penelitian ..................................................................... 29
3.4. Kriteria Inklusi dan Ekslusi ...................................................... 29
3.5. Cara Pemilihan Sampel .............................................................. 30
3.6. Estimasi Besar Sampel ............................................................... 30
3.7. Persetujuan Komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan .............. 31
3.8. Instrumen yang digunakan dan Cara Kerja ............................... 32
3.9. Identifikasi Variabel ................................................................... 36
3.10. Definisi Operasional ................................................................. 37
3.11. Pengolahan Data ...................................................................... 40
3.12. Alur Penelitian ........................................................................ 41

BAB 4. HASIL PENELITIAN .................................................................... 42


4.1. Distribusi Subjek Penelitian ...................................................... 42
4.2. Hubungan Teknik Analgesia dengan Nyeri dan Waktu Mobilisasi
pasien pascatorakotomi............................................................... 45
4.3. Hubungan Karakteristik Sosio-Demografi Pasien dengan Nyeri dan
Waktu Mobilisasi ........................................................................ 48

BAB 5. PEMBAHASAN .............................................................................. 51

BAB 6. PENUTUP
6.1. Kesimpulan ................................................................................ 54
6.2. Saran ........................................................................................... 54

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 55

LAMPIRAN ..................................................................................................... 58

x!
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Metode Torakotomi.......................................................................... 8


Gambar 2. Spatium Paravertebral...................................................................... 17
Gambar 3. Kateter yang dipersiapkan untuk blok paravertebral........................19
Gambar 4. Rejimen anestesi yang tersebar di ruang paravertebral................... 20
Gambar 5. Ruang Paravertebral yang terisi rejimen anestesi............................ 20
Gambar 6. Kateter yang berada di ruang paravertebral..................................... 21
Gambar 7. Dermatom ...................................................................................... 23
Gambar 8. Visual Analog Scale....................................................................... 26

xi!
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Karakteristik pasien pascatorakotomi ................................................ 43


Tabel 2. Komplikasi dan pemberian analgetik tambahan................................. 43
Tabel 3. Penilaian rasa nyeri (VAS) dan waktu mobilisasi duduk………………... 44

Tabel 4. Hubungan teknik analgesia dengan rasa nyeri (VAS jam ke-24)…............... 45
Tabel 5. Hubungan teknik analgesia dengan rasa nyeri (VAS jam ke-36)……......... 45
Tabel 6. Hubungan teknik analgesia dengan rasa nyeri (VAS jam ke-48)................. 45
Tabel 7. Hubungan teknik analgesia dengan waktu mobilisasi duduk………………..46
Tabel 8. Hubungan teknik analgesia dengan komplikasi yang terjadi ………………..47
Tabel 9. Hubungan teknik analgesia dengan pemberian analgetik tambahan ………...47
Tabel 10. Hubungan karakteristik pasien dengan rasa nyeri (VAS jam ke-24) ……. 48
Tabel 11. Hubungan karakteristik pasien dengan rasa nyeri (VAS jam ke-36) ......... 48
Tabel 12. Hubungan karakteristik pasien dengan rasa nyeri (VAS jam ke-48) ……… 48

Tabel 13. Hubungan karakteristik pasien dengan waktu mobilisasi duduk …………...49
Tabel 14. Hubungan karakteristik pasien dengan komplikasi yang terjadi............... 49
Tabel 15. Hubungan karakteristik pasien dengan analgetik tambahan ………......... 49

xii!
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Pasien Pascatorakotomi........................................................... 58


Lampiran 2. Daftar efek samping dan komplikasi PVB/Epidural …................... 59
Lampiran 3. Ethical clearance ………………………………….......................... 60
Lampiran 4. Data hasil penelitian kedua kelompok…………………................. 61
Lampiran 5. Data Diagnosis dan tindakan operasi subjek penelitian ………….. 62
Lampiran 6. Dokumentasi penelitian ……………………….............................. 63

xiii!
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

ABSTRAK

Nama : ANTONIUS SARWONO SANDI AGUS


Program Studi : Ilmu Bedah Toraks Kardio Vaskular
Judul : ANALGESIA BLOK PARAVERTEBRAL INTRAOPERATIF
PADA PASIEN TORAKOTOMI FOKUS PADA RASA NYERI
DAN MOBILISASI.

Abstrak
Latar Belakang : Analgesia efektif dapat mengurangi morbiditas, mempercepat
pemulihan, meningkatkan kondisi pasien dan mengurangi biaya rumah sakit.
Teknik blok epidural sering digunakan untuk tatalaksana nyeri
pascatorakotomi,namun beberapa keterbatasan ditimbulkan pada teknik ini.
Teknik blok Paravertebral (PVB) dapat digunakan sebagai alternatif tatalaksana
nyeri,pemasangan intraoperatif oleh dokter bedah Toraks Kardio Vaskular.
Metode : Penelitian eksperimental, consecutive sampling, 22 subjek, dilakukan
torakotomi posterolateral elektif, di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan
Jakarta. Subjek dibagi menjadi kelompok 1 (PVB) dan kelompok 2 (epidural).
Diberikan regimen anestesi blok yang sama di kedua kelompok. Skor nyeri VAS
diukur saat pasien telah di ekstubasi, pada jam ke-24, 36, dan 48. Dilakukan
pengukuran terhadap waktu mobilisasi duduk, komplikasi dan analgetik
tambahan.
Hasil : Blok Paravertebral memberikan hasil lebih baik pada penilaian VAS jam
ke-24 (p=0,029). Pada penilaian VAS jam ke-36 dan 48, tidak ada perbedaan
signifikan dikedua kelompok. Pada pengamatan waktu mobilisasi didapakan
kelompok1 lebih cepat mobilisasi (p=0,038). Pada pengamatan terhadap
komplikasi dan penambahan analgetik tidak didapatkan perbedaan bermakna.
Kesimpulan : Teknik blok Paravertebral dengan kateter yang dipasang oleh
dokter BTKV dapat digunakan dengan beberapa keuntungan untuk manajemen
tatalaksana nyeri pada pasien pascatorakotomi.

Kata Kunci : nyeri pascatorakotomi, blok Paravertebral, blok epidural.

xiv!
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

ABSTRACT

Name : ANTONIUS SARWONO SANDI AGUS


Study Program : Cardio Thoracic and Vascular Surgery
Title : Block Paravertebral Analgesia Intraoperatively on patient post
thoracotomy focus in pain and mobilization.

Abstract
Background : Analgesia can effectively reduce morbidity, recovery, emprove
condition and reduce hospital cost. Epidural block is often used for pain
treatment post thoracotomy, however, some limitation posed on this technique.
Paravertebral block (PVB) can be used as an alternative to the treatment of pain,
instalation intraoperatively by Cardio Vascular Thoracic Surgeon.
Method : Experimental research, consecutive sampling, 22 subjects, performed
elective posterolateral thoracotomy, in General Hospital Persahabatan Jakarta.
Subjects were divided into group 1 (PVB) and group 2 (epidural). Given same
regimen block anesthesia in both groups. VAS pain scores measured when the
patient has extubated, at 24 hr, 36, and 48. Do measures of mobilization time
sitting, complication and additional analgetics
Results : PVB provides better result in VAS assessment 24 hr (p=0,029). On VAS
assessment 36 hr and 48 h, there was no significant difference in both groups.
Group 1 found faster mobilization (p=0,038). In observation of complications and
additional analgetic not found significant differences
Conclusion : PVB with catheter, placed by surgeon can be used with multiple
advantages for pain management in post thoraotomy.

Keywords : Post thoracotomy pain, Paravertebral block, Epidural block.

xv!
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

1!

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tindakan operasi sering dikaitkan dengan rasa nyeri yang muncul pascaoperasi.
Rasa nyeri ini yang memengaruhi kualitas hidup dari seorang pasien pada proses
pemulihan, sehingga penatalaksanaan nyeri sangat penting untuk membantu
seorang pasien segera beraktifitas seperti biasa.

Tindakan torakotomi adalah salah satu prosedur bedah yang paling menimbulkan
rasa sakit, sehingga efektifnya penatalaksanaan nyeri pascatorakotomi dapat
menambah kepuasan pasien dan kualitas hidup mereka.1

Rasa nyeri yang ditimbulkan setelah tindakan torakotomi ini dapat mengurangi
kemampuan pasien untuk penatalaksanaan remobilisasi, diperburuk oleh gerakan
pernafasan yang konstan dan minimal, sehingga kondisi pasien untuk pulih
semakin sulit. Keefektifan penatalaksanaan nyeri pascatorakotomi dapat menjadi
penentu dalam kemampuan pasien untuk berpartisipasi dalam fisioterapi dan
tatalaksana rehabilitasi lainnya. Oleh karena itu, penatalaksanaan nyeri merupakan
tindakan penting untuk membantu seorang pasien memfasilitasi batuk dan
melakukan pernafasan dalam untuk menjamin terbukanya jalan nafas.

Metode untuk mendeskripsikan nyeri berupa nilai peringkat numeric (Visual


Analog Scale – VAS) terbukti paling akurat dan dapat direproduksi. Masalah yang
sering muncul dalam mengurangi rasa sakit, berhubungan dengan rencana
pemberian analgesia, rejimen yang tepat, komunikasi antara dokter anestesi,
dokter bedah, dan perawat. Penatalaksanaan nyeri yang digunakan tergantung dari
preferensi tenaga ahli anestesi dan sarana yang tersedia. Prosedur penatalaksanaan
nyeri pascatorakotomi berupa pemasangan kateter untuk tindakan anestesi blok
paravertebral dan blok thoracic-epidural analgesia. Prosedur ini mempunyai
keuntungan dan kerugian masing-masing.2

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

2!

Beberapa penelitian terdahulu untuk membandingkan luaran penatalaksanaan


nyeri menggunakan teknik analgesia blok paravertebral dan blok thoracic-
epidural pada pasien pascatorakotomi, didapatkan lebih rendahnya komplikasi
paru dan beberapa komplikasi yang berhubungan dengan teknik analgesia
(hipotensi, retensi urine) yang terjadi, apabila menggunakan teknik blok
paravertebral.3 Menurut Davies dan kawan-kawan, komplikasi yang disebabkan
oleh teknik blok epidural pada pasien yang menjalani pembedahan toraks, dapat
dihindari bila menggunakan blokade di daerah paravertebral, yang hanya
memberikan blok simpatik unilateral. Menurut penelitian meta-analisisnya, blok
paravertebral dapat menghasilkan analgesia sebanding dengan epidural, tetapi
dengan kejadian efek samping yang lebih rendah.3,4

Analgesia blok thoracic-epidural banyak digunakan pada tindakan operasi


torakotomi, namun ada risiko yang terkait dengan teknik pemasangan kateter
seperti hematoma, cedera neurologis dan paraplegia. Pengelolaan analgesia
epidural tidak sama di beberapa institusi, serta memerlukan pengawasan yang
ketat. Teknik analgesia blok epidural ini tidak dapat dilakukan pada anatomi yang
sulit (kelainan tulang belakang) dan kontraindikasi pada pasien dengan sepsis,
gangguan koagulasi, serta gangguan neurologis.

Disisi lain, blok Paravertebral menawarkan teknik analgesia yang lebih aman dan
memiliki sedikit kontraindikasi pada penggunaannya. Pemasangan kateter
paravertebral intraoperatif oleh ahli bedah Toraks Kardio Vaskuler selama
torakotomi dapat menghindari beberapa penyulit pada prosedur epidural.

Pada penelitian ini penulis ingin mengetahui perbandingan di antara kedua teknik
blok analgesia ini pada pasien pascatorakotomi yang dilakukan di Indonesia,
karena teknik analgesia blok paravertebra ini sangat jarang bahkan dapat
dikatakan belum pernah dilakukan sebelumnya oleh dokter bedah Toraks Kardio
Vaskuler di Indonesia. Selama ini penatalaksanaan nyeri untuk torakotomi yang
rutin digunakan di RS Persahabatan menggunakan blok thoracic-epidural oleh
dokter anestesi. Oleh karena itu perlu dilakukan studi untuk mempelajari

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

3!

bagaimana penatalaksanaan nyeri menggunakan blok paravertebral untuk pasien


pascatorakotomi.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah analgesia dengan teknik blok paravertebral yang dikerjakan oleh dokter
bedah toraks kardio vaskuler sama efektif nya dengan blok epidural dalam
menurunkan nyeri dan waktu mobilisasi pada pasien pascatorakotomi.

1.3 Hipotesis

Analgesia dengan teknik paravertebral blok sama efektifnya dengan blok epidural
dalam menurunkan nyeri pascabedah torakotomi yang dinilai dengan skor Visual
Analog Scale dan waktu mobilisasi pasien.

1.4. Tujuan

1.4.1 Tujuan umum

Menurunkan morbiditas dengan teknik analgesia pada pasien pascatorakotomi.

1.4.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui karakteristik nyeri pada pasien pascatorakotomi


2. Menganalisis nyeri dengan skor VAS kelompok analgesia blok paravertebral
dan kelompok analgesia blok thoracic-epidural jam ke-24, ke-36 dan ke-48
pascatorakotomi
3. Menganalisis waktu mobilisasi kelompok analgesia blok paravertebral
dan kelompok analgesia blok thoracic-epidural
4. Membandingkan kejadian komplikasi kelompok analgesia blok paravertebral
dan kelompok analgesia blok thoracic-epidural

1.5. Manfaat Penelitian

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

4!

1. Bagi ilmu pengetahuan : Menambah khasanah ilmu, khususnya dalam bidang


bedah toraks kardio dan vaskular.
2. Bagi Peneliti : Dapat menambah pengetahuan dalam bidang bedah thoraks
kardio dan vaskular, dan keterampilan dalam menyusun suatu karya ilmiah,
serta dapat memenuhi persyaratan dalam pendidikan spesialis bedah toraks
kardiovaskular.
3.Bagi pelayanan masyarakat : Dapat ditingkatkannya kualitas pelayanan
tatalaksana analgesia pascatorakotomi sehingga dapat meningkatkan kualitas
hidup.

1.6. Keaslian Penelitian

NO. JUDUL HASIL PENGARANG

1. Thoracic paravertebral Hubungan antara blok Garutti I, et al


block after paravertebral toraks pada
thoracotomy: pemberian secara infus
comparison of three anestesi lokal berkelanjutan di Experimental study
different approaches daerah insisi pembedahan
memberikan penghilang rasa
sakit yang lebih baik daripada European Journal
pemberian blok paravertebral of Cardio-thoracic
saja yang dilakukan oleh Surgery 35: 829-
dokter bedah saja/ dokter 832 (2009)
anestesi saja.

2. Pain relief after Blok epidural berperan dalam Alexander Ng, et al


thoracotomy: is penghilang rasa nyeri
epidural analgesia the pascatorakotomi, dan
optimal technique? alternative lain blok anestesi Randomized
akan menjadi metode bimodal Controlled Trial
yang lebih baik dibandingkan
British Journal of

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

5!

dengan blok paravertebral. Anaesthesia 98 (2):


159–62 (2007)

3. A prospective, Blok paravertebral lebih Richardson J, et al


randomized comparison superior dibandingkan dengan
of preoperative blok epidural menggunakan
andcontinuous bupivacaine. Randomized
balanced epidural or Controlled Trial
paravertebral
bupivacaine onpost-
thoracotomy pain, British Journal of
pulmonary function and Anaesthesia 83 (3):
stress responses 387–92 (1999)

4. Single-injection Pemberian injeksi tunggal Vogt A, et al


thoracic paravertebral blok paravertebral
block for postoperative meningkatkan
pain treatment after penatalaksanaan nyeri setelah Randomized
thoracoscopic surgery pembedahan torakoskopi. Controlled Trial

British Journal of
Anaesthesia 95 (6):
816–21 (2005)

5. A prospective study of Analgesia pascatorakotomi Fibla JJ, et al


analgesic quality after dikombinasikan dengan
Randomized
a thoracotomy: pemasangan paravertebral
Controlled Trial
paravertebral block catheter dan NSAID, sangat
with ropivacaine before aman dan tindakan yang European Journal
and after rib spreading efektif. of Cardio-thoracic
Surgery 36 : 901-

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

6!

905 (2009)

6. Subpleural Catheter Pemberian anestesi local Detterbeck


Placement for Pain secara infus ke dalam kantung
Experimental study
Relief After ekstrapleural memberikan
Thoracoscopic hasil yang bagus dalam (Ann Thorac Surg
Resection meredakan nyeri pascaoperasi 81:1522–3 (2008)
dengan memberikan blok
pada multilevel saraf
interkostalis.

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

7!

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 NYERI

Menurut IASP (International Association of the Study of Pain), nyeri


didefinisikan sebagai perasaan sensorial dan pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata atau berpotensi rusak
atau tergambarkan seperti itu17. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik beberapa
kesimpulan5,6 :

1. Nyeri merupakan sensorial yang tidak menyenangkan. (Keluhan tanpa


unsur tidak menyenangkan, tidak dapat dikategorikan nyeri).
2. Nyeri selain merupakan sensorial, juga merupakan pengalaman emosional
yang melibatkan afektif. Jadi nyeri memiliki dua dimensi yakni dimensi
sensorial dan dimensi afektif.
3. Nyeri terjadi sebagai akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata. Hal ini
disebut sebagai pain with injury.
4. Nyeri juga dapat timbul akibat adanya rangsangan yang berpotensi
merusak jaringan. Hal ini disebut sebagai nyeri fisiologis yang fungsinya
untuk membangkitkan withdrawl reflex.
5. Nyeri tanpa adanya kerusakan jaringan yang nyata, tapi penderita
menggambarkannya sebagai suatu pengalaman seperti itu. Hal ini disebut
sebagai pain without injury.

2.2. NYERI TORAKOTOMI

Tindakan torakotomi dengan membuka dinding dada dalam penanganan kelainan-


kelainan pada rongga toraks sering dihubungkan dengan rasa nyeri pascaoperasi.
Nyeri ini disebabkan karena peregangan rongga dada yang menyebabkan trauma
pada tulang iga, otot sekitar dan saraf interkostalis sewaktu membuka dinding
dada7,8.

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

8!

Gambar 1. Torakotomi.

2.2.1. Efek nyeri pada pasien pascatorakotomi

Neurofisiologi nyeri yang berpengaruh meliputi jaringan perifer, spinal cord,


maupun otak. Respon reseptor nyeri perifer dapat meningkat disebabkan karena
stimulus fisik, lingkungan kimiawi, substans algesic endogen seperti
prostaglandin, serotonin, dan bradikinin, yang merubah suplai darah di
mikrosirkulasi, dan meningkatkan aktivitas simpatis efferent. Kemudian
mempengaruhi jalur di spinal cord yang telah disebutkan sebelumnya. Sangat
kompleksnya hubungan neural berpengaruh pada sistem saraf yang berperan
dalam respon nyeri. Nyeri ini dapat di modulasi di tingkat spinal cord, di
periaqueductal grey matter dan nucleus raphe dari brain stem yang mekanismenya
terjadi di thalamus di jalur cortex cerebral.7,9,10

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

9!

Nyeri pascatorakotomi ini dapat berupa nociseptive dan visceral. Sindrom nyeri
ini berkembang setelah pembedahan. Klasifikasi ini berdasarkan penyebab nyeri
pada visceral spesifik, musculoskeletal, neural, dan jaringan kulit.9

Nyeri nosiseptive setelah torakotomi berhubungan pada kerusakan jaringan dan


dipengaruhi erutama melalui saraf phrenic dari pleura diafragma dan via saraf
vagus dari paru dan mediastinum meliputi pleura mediastinal. Nyeri visceral
pasca toracotomi berhubungan pada iritasi pleura dan dipengaruhi oleh pleura
melalui saraf simpatis ke system saraf pusat. Nyeri musculoskeletal yang terjadi
berhubungan dengan struktur miofascial seperti otot, tulang, tendon dan ligament.
Fasciitis toraks pascatorakotomi juga sering ditemukan, dan sumber utamanya
disebabkan karena nyeri miofascial pada otot.10

Pasien dapat merasakan nyeri yang amat sangat disebabkan karena selang drain
yang terpasang pascatoracotomi jika selang tersebut menekan saraf interkostalis.
Retractor yang digunakan pada prosedur pembedahan dapat menyebabkan fraktur
tulang iga, yang dirasakan sangat nyeri sehingga membatasi fungsi respirasi dari
pasien. Saraf interkostalis dapat rusak jika penjahitan yang dilakukan melewati
tulang iga dekat dengan bundle neurovascular. Nyeri neural juga sering terjadi
disebabkan karena neuralgia intercostal pascatorakotomi. Tipe nyeri yang
dirasakan seperti terbakar, rase pedih, dan seperti tertarik dan dirasakan makin
parah waktu malam hari. Hiperaldesia sering berhubungan dengan luka itu
sendiri.11,12

Rasa nyeri yang berkepanjangan setelah tindakan torakotomi ini menyebabkan


pasien mengalami kesulitan untuk melakukan aktifitas harian secara normal,
segera setelah tindakan, sedangkan mobilitas awal pada pasien pascaoperasi ini
justru yang membantu percepatan kesembuhan dari pasien. Mulai dari upaya
untuk batuk sebagai usaha untuk bersihan jalan nafas atas sputum yang terbentuk
di jalan nafas, mobilisasi pasien berupa fisioterapi pergerakan rongga dada,
latihan inspirasi dan ekspirasi untuk mengaktifkan kembali fungsi pernafasan dari
pasien.13

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

10!

Apabila rasa nyeri ini masih mendominasi pascaoperasi, upaya batuk dan
fisioterapi tidak dapat dilakukan secara maksimal, sehingga hal ini merupakan
penghalang pasien untuk pulih bahkan dapat memperberat kualitas hidup pasien
bahkan keluarga pasien.

Otot-otot pernafasan adalah satu-satunya otot rangka vital bagi kehidupan.


Prosedur torakotomi dapat mempengaruhi otot-otot pernafasan yang disebabkan
oleh sejumlah mekanisme patofisiologis termasuk mekanika thoracoabdominal,
refleks, neuromechanical, dan hilangnya integritas otot. Penurunan fungsi otot
pernafasan setelah operasi dapat menyebabkan komplikasi pascaoperasi seperti
hipoventilasi, hipoksia, atelektasis, dan infeksi, beberapa di antaranya mungkin
mengancam nyawa. 14,15

Fungsi yang paling penting dari otot-otot pernapasan adalah untuk bernapas
karena otot tersebut merupakan motor penggerak sistem pernapasan. Bernafas,
merupakan tindakan yang dikerjakan seumur hidup, ditopang terutama oleh otot-
otot inspirasi, terutama diafragma. Sedang otot-otot inspirasi lainnya
berkontribusi sedikit untuk membantu pernapasan tetapi berfungsi ketika
diperlukan usaha ventilasi yang lebih lagi dari yang usaha bernafas biasa, seperti
dalam latihan dan penyakit paru obstruktif atau restriktif. Otot-otot ekspirasi
biasanya tidak digunakan saat bernafas kecuali pada upaya lebih dari ventilasi.
Fungsi kedua dari otot-otot pernapasan adalah untuk melakukan manuver
eksplosif seperti batuk dan muntah. Otot-otot pernafasan juga memiliki peran
sebagai stabilisator toraks dan abdomen karena mereka mengambil bagian dalam
pembentukan dinding dada dan perut. Fungsi otot pernapasan tergantung pada
fungsi pusat pernapasan, motor neuron spinal, saraf perifer, dan neuromuscular
junctions.15,16

2.2.2. Patofisoiologi yang terjadi pascatorakotomi

Pembedahan dapat mempengaruhi fungsi otot pernafasan oleh sejumlah


mekanisme yang berbeda. Sebagai contoh, sebuah sayatan pembedahan pada dada
mempengaruhi integritas otot-otot pernapasan dan dengan demikian secara

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

11!

langsung mempengaruhi fungsi mereka. Disfungsi otot-otot pernapasan karena


operasi dapat menyebabkan penurunan kapasitas vital (VC) dan volume tidal
(VT), kapasitas total paru (TLC) dan, dengan demikian mempengaruhi
terbatasnya fungsi batuk. Hal ini dapat menyebabkan atelektasis pada segmen
basal paru dan penurunan kapasitas residual fungsional (FRC) yang selanjutnya,
mempengaruhi sifat pertukaran gas paru-paru dengan meningkatkan ventilasi /
perfusi (V˙/Q˙) mismatch. Situasi selanjutnya dapat diperburuk oleh hipoventilasi
karena beberapa faktor termasuk sedasi, rasa sakit, dan peningkatan beban
mekanis. Akibatnya, hipoksia dapat terjadi dengan efek yang merugikan pada
kondisi pasien. Selain itu, atelektasis dapat menjadi faktor risiko untuk infeksi
paru yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan pada populasi
pasien ini. Dalam kasus yang parah konsekuensi dari gangguan otot pernapasan
dapat menyebabkan kegagalan pernapasan dan kematian.14,17

Fungsi otot pernafasan setelah tindakan torakotomi, akan dipengaruhi langsung


oleh kerusakan pada otot dan itu sendiri akibat sayatan, atau tidak langsung
sebagai akibat dari perubahan dalam mekanisme sistem pernapasan. Distorsi
konfigurasi dinding dada dapat mengurangi compliance dinding dada dan
meningkatkan kerja pernapasan menyebabkan penurunan efisiensi otot mekanik
pernapasan. Efisiensi otot-otot pernapasan dapat berkurang lagi dengan penurunan
compliance paru bila terjadi atelektasis . Secara teoritis, massa otot pernafasan
yang efektif dapat berkurang dengan pembatasan gerak mekanis atau dengan tidak
berfungsinya otot setelah operasi besar, sehingga lebih memperberat respon otot
pernafasan.16,17

Kerusakan dinding dada selama torakotomi memainkan bagian penting dalam


penurunan kekuatan otot pernapasan. Pembedahan dapat mempengaruhi fungsi
otot-otot pernafasan dalam beberapa cara. Beberapa jenis prosedur bedah
mempunyai pengaruh negative terhadap fungsi otot pernapasan sementara yang
lain memiliki efek yang menguntungkan. Perubahan fungsi otot pernafasan
mungkin karena efek langsung dari prosedur pembedahan pada otot-otot
pernafasan atau dari kontrol saraf, maupun dari mekanisme tidak langsung.18,19

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

12!

Beberapa komplikasi yang terkait dengan disfungsi otot pernafasan yang


disebabkan oleh operasi dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas hingga
batas tertentu. Penanganan pasien ini dengan menekan efek merugikan dari
operasi pada otot-otot pernafasan dan mengambil tindakan yang tepat untuk
mengurangi timbulnya komplikasi disfungsi otot pernafasan.16,20

Pada pasien dengan fungsi otot pernapasan yang terbatas, dengan adanya
peningkatan kerja pernapasan, terutama disebabkan oleh penurunan compliance
dinding dada setelah torakotomi, membawa morbiditas dan mortalitas yang cukup
besar. Telah terbukti bahwa reseksi paru (Segmentectomy, lobektomi,
pneumonectomy), khususnya pada pasien di atas 70 tahun, menurunkan MIP
(maximum inspiratory pressure) dan MEP (maximum expiratory pressure).
Penurunan ini dapat berlangsung selama setidaknya empat minggu setelah
operasi.14,17

2.2.3. Tatalaksana nyeri pascatorakotomi

Tujuan penatalaksanaan nyeri5

1. Mengurangi intensitas dan durasi keluhan nyeri.


2. Menurunkan kemungkinan berubahnya nyeri akut menjadi gejala nyeri
kronis yang persisten.
3. Mengurangi penderitaan dan ketidakmampuan akibat nyeri.
4. Meminimalkan reaksi tak diinginkan atau intoleransi terhadap terapi nyeri.
5. Meningkatkan kualitas hidup pasien dan mengoptimalkan kemampuan
pasien untuk menjalankan aktivitas sehari-hari.

Pengelolaan nyeri yang optimal diharapkan akan mengurangi penderitaan dan


meningkatkan kualitas hidup pasien.

WHO menganjurkan tiga langkah bertahap dalam penggunaan analgesik. Langkah


pertama digunakan untuk nyeri ringan dan sedang seperti obat golongan
nonopioid seperti aspirin, asetaminofen, atau Obat Anti Inflamasi Non Steroid
(OAINS), obat ini diberikan tanpa obat tambahan lain. Jika nyeri masih menetap

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

13!

atau meningkat, langkah kedua ditambah opioid, untuk non opioid diberikan
dengan atau tanpa obat tambahan lain. Jika nyeri terus menerus atau intensif,
langkah ketiga meningkatkan dosis potensi opioid atau dosisnya sementara
dilanjutkan non opioid dan obat tambahan lain.5

Dosis tambahan yang onsetnya cepat dan durasinya pendek digunakan untuk nyeri
yang menyerang tiba-tiba5.

2.3. Teknik Analgesia

Beberapa metode analgesia regional yang digunakan untuk penanganan nyeri


pascatorakotomi meliputi intercostal, paravertebral, interpleural, epidural, dan
blok spinal. Rejimen obat yang digunakan seperti bupivacaine dengan sediaan
0,5% diberikan melalui kateter dengan periode tertentu dan jumlah yang
diberikan menurut penelitian Saito dan Pusch, sebesar 0,2 cc/kgbb/jam dengan
menggunakan syringe pump khusus. Di beberapa penelitian disebutkan apabila
pemberian rejimen ini tidak menggunakan syringe pump, dapat diberikan periodik
dosis maintenance 8 mL sampai 10 mL dengan komponen 0,125% bupivacaine
dan 2 mg morfin yang mencakup 6 segmen dermatome yang terblok, tiap 12 jam
sampai 48 jam pascaoperasi. Menurut Wong, pemberian 2 mL dosis bupivacaine
0,125% dapat mengcover satu segmen intercostalis.

Anestesi blok pada thoraks tidak mencegah disfungsi otot pernafasan. Terdapat
penelitian yang memantau fungsi diafragma setelah torakotomi dengan
menanamkan sepasang kristal sonomicrometric dan dua elektroda elektromiografi
pada diafragma pesisir enam pasien menjalani reseksi paru elektif.32

Tanda penurunan aktif diafragma yang memendek terlihat setelah torakotomi


tidak berbanding terbalik dengan epidural thoraks anestesi, meskipun terdapat
peningkatan indeks lain dari fungsi pernapasan. 32

Interpretasi dari hasil ini, sangat rumit dengan kemungkinan bahwa anestesi blok
toraks dapat mempengaruhi lalu lintas eferen beberapa inspirasi dan ekspirasi

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

14!

otot. Pengaruh interkostalis blok pada fungsi paru-paru setelah torakotomi


dilaporkan minimal.32,33,34

Teknik analgesia blok thoracic-epidural dengan menggunakan anestetik lokal


memang dapat menekan respon stres, tetapi terbatas pada operasi abdomen bagian
bawah dan tungkai saja, sedangkan untuk jenis operasi abdomen bagian atas dan
toraks tidak mampu menekan respon stres secara sempurna karena analgesia
thoracic-epidural tidak dapat memblok semua nyeri somatik, apalagi teknik ini
sering diikuti dengan reaksi takifilaksis. 35,36

Dengan kata lain susunan saraf kita tak dapat disamakan dengan suatu kabel yang
kaku, tetapi suatu yang mampu berubah sesuai dengan fungsinya sebagai alat
proteksi. Susunan saraf mempunyai sifat plastisitas. Sekali susunan saraf
mengalami plastisitas, berarti akan menjadi hipersensitif terhadap nyeri dan
penderita mengeluh nyeri yang lebih hebat dan dibutuhkan dosis yang lebih
tinggi untuk mengontrolnya11,37. Untuk mengurangi keluhan nyeri pascabedah
dilakukan upaya-upaya untuk mencegah terjadinya plastisitas susunan saraf.5

Atas dasar teori plastisitas susunan saraf tersebut maka prinsip dasar
penatalaksanaan nyeri akut harus ditujukan untuk mencegah terjadinya sensitisasi

perifer dan sentral. Hal ini hanya mungkin dicapai jika kita dapat mengobati nyeri

sebelum terjadi (Preemptive Analgesia), sedangkan sensitisasi sentral dapat


dihambat dengan pemberian opioid. Kombinasi kedua obat tersebut akan bersifat

sinergik sehingga dengan dosis yang lebih kecil dapat dihasilkan analgesia yang
optimal.5,38

Kombinasi antara kedua obat tersebut merupakan Modifikasi Analgesia Terpadu


dimaksudkan bahwa intervensi dilakukan pada kedua proses perjalanan nyeri,
yakni pada proses transduksi dengan menggunakan obat Antiinflamasi
Nonsteroid, dan pada proses modulasi dengan menggunakan opioid. Balans,
dimana intervensi nyeri dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan5. Dengan
regimen analgesia balans ini diharapkan akan menghasilkan suatu analgesia

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

15!

pascabedah yang secara rasional akan menghasilkan analgesia yang optimal


bukan saja pada waktu istirahat, tetapi juga dalam keadaan mobilisasi.20

Acuan standar penanganan nyeri pascatorakotomi di Amerika Serikat


menggunakan analgesia epidural kontinu. Berbagai penelitian mengevaluasi
efisiensi kombinasi narkotik/anestesi lokal epidural dan menetapkan sebagai
pereda nyeri yang paling baik.39 Metode penanganan nyeri ini telah
didemonstrasikan lebih efisien daripada narkotik yang diberikan dan merupakan
pereda nyeri dengan sedikit efek samping yang ditimbulkannya. (misalnya
komplikasi paru). Walaupun begitu, analgetik epidural berhubungan dengan
sejumlah komplikasi meliputi penempatan obat yang tidak pada tempatnya,
komplikasi paru, pruritus, mual, dan muntah, depresi nafas, perubahan status
mental, hipotensi postural, parestesia, dan retensi urin.24,39

Metode alternatif untuk penanganan nyeri pascatorakotomi lainnya yaitu dengan


pemasangan kateter extrapleura paravertebral. Cara analgetik ini telah digunakan
di Eropa dengan hasil yang memuaskan dan komplikasi yang ditimbulkan
minimal1,2,3

2.4. Blok Paravertebral

2.4.1. Latar belakang

Hugo Sellheim dari Leipzig, Jerman (1871-1936) pertama kali memperkenalkan


teknik blok paravertebral di tahun 1905, dan teknik ini digunakan untuk tindakan
analgesia pada abdominal. Arthur Lawen memyempurnakan teknik dari Sellheim
ini di tahun 1911 dan dikenal dengan Anestesi konduksi paravertebral. Kappis
mengembangan teknik ini dan menggunakannya untuk anesthesia pembedahan
pada abdominal. Setelah teknik ini populer teknik blok paravertebral ini jarang
disebutkan lagi di literature dan jarang digunakan 30 tahun kemudian, sampai
tahun 1979 ketika Eason dan Wyatt memperkenalkan kembali blok paravertebral
dengan menggunakan teknik pemberian kateter. Dua decade berikutnya teknik ini
disukai karena dapat memblok saraf afferent. Sabanathan, Richardson, dan

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

16!

Lommqvist merupakan tida peneliti yang berperan banyak dalam


35
mengembangkan teknik blok paravertebral ini yang hampir terlupakan.

2.4.2. Definisi

Blok saraf paravertebra merupakan teknik injeksi anestesi lokal pada spatium
sebelah lateral saraf spinal yang keluar dari foramen intervertebralis. Karena
kemampuan untuk memberikan anesthesia unilateral yang tahan lama, teknik
paravertebra dapat digunakan dalam berbagai tindakan bedah antara lain
torakotomi, mastektomi, bedah umum, dan lain-lain. Hal ini dikarenakan blok
paravertebra memberikan analgesik yang lama sampai periode pascaoperasi pada
somatic ipsilateral dan blok saraf simpatis pada dermatom toraks daerah atas dan
bawah dari lokasi injeksi.32

Teknik blok saraf paravertebra ini sangat mudah dilakukan dan sangat efisien
untuk dilakukan untuk menangani nyeri akut dan kronik pada unilateral dari
daerah toraks dan abdomen. Penggunaan bilateral blok paravertebral ini juga
dapat digunakan. Pada sejumlah percobaan menunjukkan analgesia yang
digunakan lebih baik dan dapat mengurangi kebutuhan opioid dengan teknik blok
paravertebral dibanding dengan anestesi umum. Selain itu teknik blok
paravertebral juga memiliki keuntungan yaitu mengurangi rasa mual pascaoperasi,
mengurangi rasa nyeri pascaoperasi dan juga diduga bahwa teknik blok
paravertebral dapat mengurangi insiden nyeri kronik pascaoperasi torakotomi
posterolateral, serta panggunaannya yang aman dan efisien pada anak dan
neonatus.32,33

2.4.3. Anatomi spatium paravertebral

Spatium paravertebra toraks berbentuk segitiga dan berbatasan dengan tiap


vertebra tubuh sepanjang columna spinalis. Spatium ini di sebelah medial dibatasi
oleh vertebra, discus intervertebralis dan foramen intervertebralis, antero-
lateralnya oleh pleura dan posteriornya oleh ligamentum costotranversa superior,
yang letaknya berdekatan dengan processus tranversus. Pada sebelah atas dan
bawahnya, spatium tersebut berhubungan secara bebas. Spatium paravertebra juga

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

17!

berhubungan dengan foramina vertebralis. Rami primer ventral dan dorsal


melewati spatium ini, membawa aferen sensorik dan membentuk saraf spinal.
Ruangan segitiga ini lebih lebar pada sisi kiri daripada di sisi kanan. Pada lokasi
paravertebral ini, fascia endothoracic terletak di dekat tulang iga dan menyatu di
bagian medial dengan periosteum pada titik tengah dari tulang vertebral. Saraf
spinal di ruangan paravertebral ini terbagi dalam kesatuan kecil yang terletak
bebas diantara lemak dan dilapisi oleh selubung fascial yang membuat kesatuan
saraf ini dengan mudah untuk dilakukan blok anestesi. Saraf intercostaliisa dan
pembuluh darahnya berada di belakang fascia endotoracic, sedangkan saraf
simpatis berada di anteriornya di ruangan paravertebral ini.33

Gambar 2 : Spatium paravertebral31

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

18!

2.4.4. Teknik Blok Paravertebra30,31,32,33

Teknik insersi klasik untuk blok paravertebral dengan perkutaneus dan di


peragakan oleh Eason dan Wyatt. Sama dengan insersi epidural, hilangnya
tahanan yang dirasakan segera setelah menusuk ligament costotransversum
superior, yang merupakan batas belakang dari ruang paravertebral. Kira-kira 2,5
cm ke arah lateral dari garis tengah tulang belakang, prosessus transversus ditekan
dan jarum ditusukkan langsung (umumnya atau dibawah penanda tulang sekitar 1
cm dan kateter dengan maupun tanpa anestesi lokal di masukkan. Jarah antara
kulit ke paravertebral sekitar 5,5 cm. teknik ini secara jelas diterangkan oleh
Hounsell. Insersi perkutaneus memiliki kegagalan 10%. Penggunaaan ultrasound
secara dramatis merubah cara anestesi regional, dan sekarang sering digunakan
pada penggunaan blok paravertebral. Anatomi dari ruang paravertebral terlihat
dengan menggunakan ultrasound sehingga lebih mudah dikenali.

Angka keberhasilan blok paravertebral sangat bergantung pada teknik insersi,


banyak literature yang masih mempertanyakan lokasi yang benar dari ruang
paravertebral. Agar teknik blok ini berhasil, anestesi lokal harus diinjeksikan
sedekat mungkin dengan kolumna vertebralis. Jika injeksi terlalu ke lateral, blok
ini gagal untuk menyebar secara adequate ke cephalad-caudad, dan blok ini sama
dengan teknik blok intercostal. Dimana blok intercostal tidak memberikan pereda
nyeri yang adequate untuk torakotomi. Teknik insersi yang tepat dikemukakan
oleh Sabanathan di tahun 1988, dan di kemukakan kembali di tahun 1995. Posisi
kateter digambarkan lebih jelas pada Gambar 3, 4, 5 dan 6.

Kateter paravertebral toraks dapat dipasang dengan aman, akurat, dan mudah
dengan melihat langsung selama torakotomi dari dalam rongga toraks. Sabanathan
dan kawan menjabarkannya secara jelas cara pemasangan kateter paravertebral
intra torakotomi, dengan melihat bayangan pleura parietal dari batas posterior
insisi torakotomi yang dibuat berdekatan dengan tulang vertebral, kemudian
membuat kantung ekstrapleura pada rongga paravertebral sebagai tempat insersi
dari kateter yang dimasukkan perkutan sejajar sisi tulang iga yang dibuka.

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

19!

Sabanathan menjelaskan teknik blok paravertebral sebagai berikut, pada akhir


operasi, pleura parietal yang muncul dari dinding toraks posterior diatas tulang
vertebra dari ruang intercostalis atas, dan bawah dari titik insisi torakotomi,
terlihat ruang paravertebral. Luka kecil dibuat pada fascia ekstrapleura pada ruang
paravertebral menggunakan forceps Lahey. Cannula di masukkan secara
perkutaneus menembus defek yang dibuat tadi di ruang paravertebral dibawah
pengamatan langsung intra torakotomi di rongga toraks, dan diletakkan 2 sampai
3 cm lebih dalam melewati sendi costovertebral. Pleura kemudian dijahit kembali,
jika memungkinkan, dan ruang paravertebral diinfuskan selama 5 hari dengan
0,5% bupivacaine dengan dosis 0,1 mL/kg berat badan per jam dengan
menggunakan filter bakteri pada kateter tersebut.

Gambar 3 : kateter yang dipersiapkan untuk blok paravertebral34

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

20!

Gambar 4 : rejimen anestesi yang tersebar di ruang paravertebral34.

Gambar 5 : ruang paravertebral yang terisi rejimen anestesi.34

Metode ini kemudian disempurnakan untuk memastikan penempatan akurat


kateter di rongga paravertebral dengan tunneling tip melalui insersi trocar jarum
Tuohy epidural secara penglihatan langsung menggunakan teknik Seldinger
selama operasi sebelum menutup rongga toraks yang dilakukan oleh ahli bedah di

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

21!

fasia ekstrapleural tanpa merobek pleura parietal, sehingga memastikan


keefektifan rejimen obat analgesia lokal untuk berperan mengatasi nyeri
pascatorakotomi. Metode blok paravertebral inilah yang akan digunakan pada
penelitian ini untuk dibandingkan dengan teknik blok thoracic-epidural. Anatomi
fasia ekstrapleural kadang tidak jelas, dan fasia endothoracic mungkin telah
bergeser ke fasia ekstrapleural. Metode ini, yang mengharuskan pembukaan
rongga toraks, dan apabila mengggabungkan injeksi perkutaneus sebelum insisi
pada ruang paravertebral toraks, akan sangat efektif dalam memberikan analgesia
selama intraoperative dan pascatorakotomi.

Gambar 6 : kateter yang berada di ruang paravertebral.34

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

22!

2.4.5. Mekanisme dan penyebaran anestesia32

Injeksi paravertebral toraks dapat memberi efek lokal pada daerah yang
disuntikkan, dan dapat menyebar ke daerah atas dan bawah dari titik yang
disuntikkan, ke arah lateral sepanjang rongga interkostalis, dan ke arah medial di
rongga epidural., attau kombinasi dari daerah yang disebutkna sebelumnya yang
mempengaruhi somatic ipsilateral dan saraf simpatis, meliputi ramus primer
posterior pada multiple dermatom toraks. Eason dan Wyatt menemukan bahwa
setidaknya4 rongga interkostalis yang dapat terpengaruh dengan pemberian
injeksi tunggal 15 ml dari 0,375% bupivacaine. Baru-baru ini pemberian injeksi
15 ml bupivacaine 0,5% ke ruang paravertebral menunjukkan blok somatic
unilateral sampai ke 5 dermatom dan blok simpatis sampai 8 dermatom.

Penelitian terbaru mengemukakakn bahwa injeksi tunggal 0,375-0,5%


bupivacaine, 15-20 ml atau 0,3 ml/kg sama efektif nya dengan multiple injeksi
dengan 0,5% bupivacaine, 3-4 ml per titik injeksi, yang menghasilkan anesthesia
unilateral pada empat sampai lima dermatom toraks. Efek dengan memberikan
volume yang lebih pada injeksi lokal anestesi ini tifdak diketahui jelas, tapi
dimungkinkan adanya blok sensoris bilateral. Sehingga jika dibutuhkan blok
toraks unilateral yang luas (lebih dari lima dermatom), lebih disarankan untuk
dilakukan multiple injeksi pada beberapa titik atau pada dua titik terpisah di
bagain dermatom yang berpengaruh.

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

23!

Gambar 7 : Dermatom (http://www.aic.cuhk.edu.hk/web8/Dermatomes.htm)

2.4.6. Indikasi dan kontraindikasi

Blok paravertebra toraks dapat memberikan analgesia yang diinginkan untuk


operasi-operasi bedah dimana rangsang aferen dari dinding dada sebagian besar
unilateral. Hal ini meliputi, operasi toraks (torakotomi pada reseksi paru,
pleurodesis), operasi payudara (mastektomi, eksisi lokal yang luas, dengan atau
tanpa pembersihan axiller, rekonstruksi payudara dan implant payudara), dan
trauma (patah tulang iga). 28

Kontraindikasi absolut tindakan blok paravertebral antara lain yaitu, selulitis atau
infeksi kulit pada tempat pungsi jarum, pasien menolak, tumor pada paravertebra,
dan alergi obat anestesi lokal. Sedangkan kontraindikasi relatif dari tindakan blok
paravertebral yaitu, koagulopati, paralisis diafragma ipsilateral, penyakit paru
berat (Pasien membutuhkan otot interkostal untuk membantu pernafasan),
kifoskoliosis, dan Torakotomi sebelumnya (adanya jaringan parut dapat

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

24!

menyebabkan adhesi pada pleura perietalis dan meningkatkan resiko


29
pneumothoraks).

2.4.7. Obat yang digunakan dan dosis

Tidak ada data yang secara jelas menyebutkan dosis yang optimal atau
konsentrasi dari anestesi lokal untuk injeksi tunggal atau infus paravertebral
toraks berkelanjutan. Untuk level multiple blok paravertebral, dengan teknik
anestesi, digunakan 3-4 ml bupivacaine 0,5% atau ropivacaine 0,5% dengan
epinefrin (2,5 mikrogram.ml) yang disuntikkan di tiap segmen. Untuk tindakan
torakotomi dilakukan pada dermaton T3 sampai T9.28,29

2.4.8. Komplikasi

Komplikasi yang terjadi pada blok paravertebra antara lain yaitu, infeksi,
hematoma, toksisitas pada anaestesi lokal, nerve injury, nyeri pada otot
paravertebra, total spinal anesthesia , Horner's syndrome, pneumothorax (pada
teknik insersi percutaneous). 30

2.4.9. Efek blok Paravertebral pascatorakotomi

Penggunaan blok paravertebral ini dengan menggunakan infus berkelanjutan


maupun secara periodik, melalui kateter yang dipasang di rongga paravertebral
dibawah penglihatan langsung intra torakotomi merupakaan metode yang aman,
sederhana dan efektif memberikan analgesia pascatorakotomi. Pemberian pada
pasien anak sangat efektif digunakan sebagai teknik analgesia tunggal, namun
untuk pasien dewasa biasanya digunakan bersamaan dengan obat tambahan
(opioid atau OAINS) untuk memberikan pemulihan nyeri yang optimal
pascatorakotomi.31,32

Teknik blok paravertebral toraks ini mempertahankan fungsi pernafasan lebih


baik dan menghasilkan efek samping yang lebih sedikit daripada analgesia
interpleural. Hipotensi dan retensi urin lebih jarang ditemukan dibandingkan
dengan teknik blok thoracic-epidural. Teknik blok paravertebral ini memberikan
kontrol nyeri yang lebih baik pascatorakotomi daripada bolus rejimen yang

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

25!

intermitten dengan mengurangi penurunan fungsi pernafasan dan menambah


pemulihan mekanika pernafasan. Serta mengurangi munculnya neuralgia kronis
pascatorakotomi.pemberian regimen analgesia yang seimbang yang meliputi
profilaksis preoperative (premedikasi opioid dan OAINS sebelum pemasangan
blok paravertebral) dalam hubungannya dengan pemberian rejimen bupivacaine
pada kateter paravertebral pascatorakotomi, pemberian regular OAINS, dan
opioid sesuai kebutuhan, sangat efektif pascatorakotomi. Hal ini mencegah
kenaikan plasma kortisol pascatorakotomi, mempertahankan fungsi respirasi
seperti sebelum operasi, dan lebih unggul daripada tindakan blok thoracic-
epidural dengan bupivacaine.31

2.5. Pengukuran Derajat Nyeri Pasca Bedah menggunakan VAS (Visual


Analog Scale)

Untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan nyeri dilakukan pengukuran secara


subyektif dari pasien dengan menilai nilai nyeri yang dialami oleh pasien pada
waktu tertentu pascaoperasi.

VAS adalah cara yang paling banyak digunakan untuk menilai nyeri. Skala linier
ini menggambarkan secara visual gradasi tingkat nyeri yang mungkin dialami
seorang pasien. Rentang nyeri diwakili sebagai garis sepanjang 10 cm, dengan
atau tanpa tanda pada tiap centimeter. Tanda pada kedua ujung garis ini dapat
berupa angka atau peryataan deskriptif. Ujung yang satu mewakili tidak ada nyeri,
sedangkan ujung yang lain mewakili rasa nyeri terparah yang mungkin terjadi.38

Skala dapat dibuat vertikal atau horizontal. Manfaat utama VAS adalah
penggunaannya yang sangat mudah dan sederhana. Pasien diminta untuk
memberikan tanda pada garis tersebut sesuai dengan intensitas nyeri yang ia
rasakan. Skor VAS ditentukan dengan mengukur jarak dari ujung paling kiri
sampai tanda yang diberikan oleh pasien. VAS nyeri 1-3 disebut nyeri ringan, 4-7
disebut nyeri sedang, dan di atas 7 dianggap nyeri hebat.39

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

26!

Gambar 8 : Visual Analog Scale

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

27!

2.6. Kerangka Teori

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

28!

2.7. Kerangka Konsep

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

29!

BAB 3
METODOLOGI

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan studi experimental untuk mengevaluasi penatalaksanaan


nyeri dengan menggunakan teknik analgesia blok Paravertebral pada tindakan
operasi torakotomi posterolateral elektif di Rumah Sakit Umum Pusat
Persahabatan Jakarta dibandingkan dengan penatalaksanaan nyeri menggunakan
teknik analgesia blok thoracic-epidural yang selama ini rutin digunakan.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan dari bulan November 2014 hingga April 2015 di Rumah
Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta.

3.3 Populasi Penelitian

Sebagai populasi terjangkau pada penelitian ini adalah seluruh pasien yang
dilakukan operasi torakotomi posterolateral elektif di SMF Bedah Toraks Rumah
Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta.

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria inklusi:

1. Pasien direncanakan operasi torakotomi posterolateral elektif


2. usia subjek 17 - 65 tahun

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

30!

Kriteria eksklusi:

1. Pasien tidak setuju ikut penelitian


2. Kontraindikasi untuk dilakukan blok paravertebral (selulitis atau infeksi kulit
pada tempat pungsi jarum, tumor pada paravertebra)
3. Sepsis
4. Pasien dengan kelainan psikiatri
5. Pasien yang menjalani operasi tambahan lain selain torakotomi
6. Pasien belum ekstubasi hingga 24jam pascaoperasi

3.5 Cara Pemilihan Sampel

Sampel dipilih dengan cara consecutive sampling, setiap pasien yang memenuhi
kriteria seperti yang disebut diatas dimasukkan dalam sampel.

3.6 Estimasi Besar Sampel

Rumus besar sampel yang digunakan adalah sesuai dengan rumus besar sampel
untuk uji hipotesis beda 2 proporsi kelompok independen (Sastroasmoro &
Ismael, 2010) :

[Z1−α /2 2P(1− P) + Z1−β P1(1− P1) + P2(1− P2)]2


n=
(P1-P2)2

Keterangan :

n : jumlah perkiraan sampel

:standar normal deviasi untuk!!

:standar normal deviasi untuk!!

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

31!

P1 : proporsi kejadian efek pada kelompok control atau standar yang didapat
dari

pustaka atau berdasarkan pengalaman peneliti

P2 : proporsi kejadian efek pada kelompok uji coba yang didapat dari
perbedaan

proporsi yang dianggap bermakna secara klinik

P : proporsi gabungan antara kedua kelompok yang dihitung

Dengan rumus :1/2 (P1+P2)

P1-P2 : perbedaan proporsi yang dianggap bermakna secara klinik

Perhitungan besar sampel digunakan untuk menilai ketepatan penelitian.


Penelitian ini menggunakan derajat kemaknaan 5% dengan kekuatan uji 90%.
Untuk perhitungan besar sampel, peneliti menggunakan dasar penelitian kohort
MASTER, dalam penelitian Susan M. Nimmo tahun 2004, proporsi kepuasan
pasien pada penggunaan analgesia epidural sebesar 50%. Proporsi kejadian efek
pada kelompok uji coba diharapkan sebesar 10% sehingga perhitungan P
didapatkan sebesar ((0,5+0,1)/2 = 0,3).

Berdasarkan rumus diatas dapat dihitung sebagai berikut :

[1, 96 2(0, 3)(1− 0, 3) + 0,842 0, 5(1− 0, 5) + 0,1(1− 0,1)]2


n=
(0,5-0,1)2

n = 10, 3 ≈ 10

maka jumlah sampel minimal adalah 10 dengan perkiraan drop out 10% maka
besar sampel 11 orang masing-masing kelompok.

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

32!

3.7 Persetujuan Komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan

Komite Etik Penelitian Bidang Kesehatan Rumah Sakit Umum Pusat


Persahabatan. Sebelum penelitian dilakukan informed consent kepada pasien.
Kedua teknik yang diteliti ini memiliki efek samping yang dapat diantisipasi. Bila
efek samping ditemukan, pemakaian obat langsung dihentikan dan pasien diterapi
sesuai penyakit yang ditimbulkannya.

Penelitian ini aman dilaksanakan pada manusia karena tindakan analgetik ini
sudah lama dipakai sebagai analgesia perioperatif dan terbukti aman bila tidak ada
kontraindikasi pada pasien. Pada penelitian ini dosis obat yang digunakan adalah
dosis terapeutik. Selain itu penelitian dengan jenis obat yang sama sudah sering
dilakukan pada pusat-pusat pendidikan lain

3.8 Instrumen yang digunakan dan Cara Kerja

Pasien kandidat posterolateral torakotomi setelah melewati kriteria inklusi dan


eksklusi di randomisasi menjadi 2 kelompok untuk kelompok 1 (teknik analgesia
blok Paravertebral) dan kelompok 2 (teknik analgesia blok thoracic-epidural).

Secara umum pasien kandidat posterolateral torakotomi dilakukan pembiusan


umum oleh dokter anestesi dan intubasi dengan menggunakan ETT double lumen.

Pada kelompok 2 (epidural), dilakukan blok thoracic-epidural oleh dokter


anestesi, dimana pasien masih dalam keadaan sadar, dilakukan pemasangan
kateter thoracic-epidural preinsisi. Untuk maintenance analgesia diberikan
periodik bolus tiap 12 jam dengan 0,25% bupivacaine dan 2mg morfin selama 48
jam.

Pada kelompok 1 (paravertebral) dilakukan teknik analgesia blok paravertebral.


Menjelang akhir operasi, sebelum penutupan dada, pemasangan kateter epidural
radiopaque standar dilakukan oleh dokter bedah ke dalam ruang paravertebral,
sekitar 2 sampai 3 cm lateral dari processus spinosus ke 5 dan ke 6, dengan
penglihatan langsung selama tindakan torakotomi dengan menggunakan teknik
Seldinger, dengan melakukan teknik memasukkan kateter ke ruang ekstra pleura

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

33!

melalui penglihatan langsung selama operasi, membentuk saluran kantung di


sebelah lateral pleura parietal dan menempatkan kateter sedalam mungkin di
dalam saluran tersebut agar tidak terjadi kebocoran rejimen anestesi lokal secara
signifikan, yang menyebabkan kontrol nyeri pascatorakotomi kurang efektif.

Insersi kateter ini menggunakan trocar jarum Tuohy ukuran 18 Gauge 3,5 inch,
yang dimasukkan pada satu ruang dibawah sisi posterior tempat luka insisi
torakotomi dan beberapa centimeter menjauhi tempat dipasangnya drain toraks.
Ketika ujung dari trokar ini terlihat di ruang ekstra pleura, kateter epidural 20
Gauge dimasukkan melalui trokar dan diposisikan kearah vertikal meliputi dua
ruang interkostal. Ujung akhir kateter kemudian dihubungkan kearah luar dan
diberikan rejimen obat analgesia, disuntikkan melalui kateter tersebut. Pastikan
rejimen yang dimasukkan berada di posisi yang tepat. Perhatikan
penggelembungan dari ruang ekstra pleura tanpa adanya kebocoran dari rejimen
anestesi lokal ke dalam rongga pleura, merupakan indikasi penempatan kateter
yang benar.

Pemasangan kateter blok paravertebral ini dilakukan oleh operator tunggal agar
memastikan keefektifan penelitian ini dan berhubungan dengan masalah etik agar
operator yang terlatih dapat mengerjakan teknik ini tanpa adanya komplikasi.
Apabila terjadi kegagalan pada pemasangan kateter blok paravertebral, kejadian
yang tampak berupa kebocoran cairan obat analgesia kedalam rongga pleura
karena robekan dari pleura parietal dan hal ini tidak menimbulkan kelainan
maupun efek samping apapun dari pasien. Tindakan berikutnya apabila terjadi
robekan ini, dilakukan pemberian cairan obat analgesia di sekitar daerah target
kembali agar dosis dan jumlah obat sesuai dengan instrumentasi penelitian.

Pemberian rejimen ini diperjelas dengan menambahkan juga 1 mL methylen blue


ke dalam ruang paravertebra untuk memastikan obat yang diberikan benar
menyebar di caputcostaedan collar costaebagian atas dan bawah tempat
pemasangan kateter yang dapat mencakup blok 4 dermatom. Kemudian
dilanjutkan penutupan rongga toraks.Sesuai dengan penelitian Saito dan Pusch,

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

34!

diberikan dosis maintenance analgesia sebesar 10 ml dengan komponen 0,125%


bupivacaine dan 2mg morfin yang mencakup 6 segmen dermatome yang terblok,
tiap 12 jam sampai 48 jam pascaoperasi.

Gambar 9a.

Gambar 9b.

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

35!

Keterangan gambar :

Gambar 9a : Gambaran ruang paravertebral sebelum dilakukan pemasangan


kateter blok paravertebral perkutan secara penglihatan langsung selama operasi

Gambar 9b : Sebuah trokar jarum Tuohy diinsersikan perkutan dari dinding


toraks posterior ke ekstra pleura. Ujung jarum ini terlihat di ekstra pleura di
sebelah lateral dari ruang paravertebral sampai ke daerah medial dari ruang
interkostal. Tanda panah menunjukkan penyebaran rejimen anestesi lokal ke arah
medial dari ujung jarum ke ruang paravertebral. Ruang paravertebral terlihat terisi
rejimen obat dibawah pleura menyebar ke arah caudal dan cranial.

Dressing plastik (Tegaderm;3M Health Care) digunakan untuk menutup tempat


masuk kateter yang ke dalam dinding dada, dan kateter paravertebral ditutup
dengan dressing plastik. Sangat penting untuk mengamankan secara benar kateter
paravertebral ini, semua kateter ini diharapkan memiliki filter bakteri. Kateter
yang dipasang ini dipertahankan selama 48 jam. Pasca penutupan kulit dilakukan
pemberian rejimen anestesi blok di kedua grup ini dengan 10 ml campuran
komponen 0,125% bupivacaine dan 2mg morfin, serta pemberian tambahan 1 ml
fentanil untuk analgesia pascaoperasi.

Cara penilaian Visual Analog Scale

Semua pasien dirawat di ruang ICU dan ruang perawatan post op dengan
mendapat terapi pascaoperasi dan fisioterapi yang sama. Ekstubasi dilakukan
ketika kriteria weaning sudah tercapai. Untuk mengukur nyeri pascaoperasi,
pasien diminta menggunakan skor yang diukur dengan skala analog visual (VAS)
dari angka 0 untuk tanpa nyeri sampai 10 untuk nyeri yang amat sangat.

Pasien mendapat tambahan analgetik bila VAS > 4. Analgetik yang diberi Obat
Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) rectal diklofenak sewaktu di ruang
perawatan.Apabila selama di ruang intensif terdapat gejolak nyeri yang amat
sangat, dengan VAS > 7, segera dilakukan tindakan diberikan opioid fentanyl

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

36!

dengan pegawasan. Data pascatorakotomi dikumpulkan selama 48 jam mengenai


teknik regional ini. VAS dicatat 1 jam setelah diberikan bolus analgesia
paravertebral (VAS jam ke-24, ke-36, ke-48 pascatorakotomi).

Pengumpulan data dilakukan oleh orang ketiga (bagian bedah toraks dibantu oleh
perawat yang bertugas) di kardex pasien

Data yang dikumpulkan dicatat dalam lembar observasi yang ada (lampiran).

3.9 Identifikasi variabel

Variabel bebas:

Teknik analgesia blok paravertebra

Variabel terikat :

1. Nyeri dengan penilaian VAS


2. Waktu mobilisasi duduk pascaoperasi
3. Komplikasi
4. Analgetik tambahan

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

37!

3.10 Definisi operasional

Variabel Definisioperasional Skaladancarapengukuran

Analgesia blok Tindakan analgesia regional Nominal


Paravertebral dengan cara menginjeksikan
agen anestesi local pada
spatium sebelah lateral saraf
spinal yang keluar dari
foramen intervertebralis,
melalui pemasangan kateter
Tuohy epidural perkutan.

Analgesia blok Tindakan analgesia regional Nominal


thoracic-epidural dengan cara menginjeksikan
agen anestesi local kedalam
ruang epidural. Blok saraf
terjadi pada akar nervus
spinalis yang berasal dari
medulla spinalis dan
melintasi ruang epidural.
Anestetik local melewati
duramater memasuki cairan
cerebrospinal sehingga
menimbulkan efek anestesi.

Nyeri pascaoperasi Suatu perasaan sensorial dan Numerik


dengan penilaian pengalaman emosional yang
VAS tidak menyenangkan akibat
adanya kerusakan jaringan
yang nyata atau berpotensi
rusak.

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

38!

Penilain dinilai dengan


Visual Analog Scale (VAS),
yaitu dengan grafik yang
memuatangka 0 sampai 10.

Angka 0 menyatakan tidak


ada nyeri sama sekali dan
angka10 menyatakan sangat
nyeri sekali dari yang
dirasakan pasien
pascaoperasi.

Diobservasi setelah pasien


ekstubasi pada jam ke-24,
ke-36, ke-48

Observasi dilakukan oleh


pengumpul data (bagian
bedah Toraks)

Waktu mobilisasi Waktu yang diukur saat Numerik


pascaoperasi pasien mulai duduk,
dihitung dalam jam.

Duduk dengan punggung


tegak tidak bersandar dan
kaki menjuntai ke bawah.

Efek samping dan Kejadian yang tidak Nominal


komplikasi analgesia diinginkan yang muncul
blok Thoracic- pada tindakan pemasangan
epidural kateter pada blok Thoracic-
epidural,meliputi rasa nyeri,
mual muntah, rasa tidak

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

39!

nyaman, gangguan motorik,


retensi urin, pruritus, nyeri
kepala, kegagalan saat
pemasangan kateter, injeksi
yang salah masuk ke tempat
lain (ruang subarachnoid,
ruang intravaskuler),
kerusakan spinal cord,
paraplegia,abses epidural,
perdarahan, hematoma
epidural.

Efek samping dan Kejadian yang tidak Nominal


komplikasi analgesia diinginkan yang muncul
blok Paravertebral pada tindakan pemasangan
kateter pada blok
paravertebral dengan
penglihatan langsung selama
operasi sebelum penutupan
rongga toraks, meliputi
perdarahan, robekan pleura
parietal.

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

40!

3.11 Pengolahan data

Persiapan data sebelum analisis adalah data cleaning, coding dan tabulasi,
selanjutnya data dimasukkan ke dalam komputer. Data yang berskala nominal
akan dideskripsikan sebagai distribusi frekuensi dan persen, sedangkan data yang
berskala interval akan dideskripsikan sebagai rerata.

Untuk menganalisa perbedaan rerata dilakukan uji Mann-Whitney, uji Fisher


Exact, uji korelasi Spearman, Uji korelasi Pearson, dan uji T tidak berpasangan.
Semua data diolah dengan bantuan komputer menggunakan perangkat lunak SPSS
for Win 15.0. Kemaknaan pada penelitian ini diperoleh jika didapatkan nilai
p<0.05 dengan 95% interval kepercayaan.

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
!

41!

3.12 Alur penelitian

Penyusunan!proposal!penelitian!

Pasien!kandidat!operasi!torakotomi!posterolateral!elektif!

Kriteria!eksklusi!

Kriteria!inklusi!

Randomisasi!

Kelompok!1!! Kelompok!2!

Analgesia!dengan!teknik!blok!paravertebral! Analgesia!teknik!blok!thoracic(epidural!

Pengukuran!VAS!jam!keF24,! Pengukuran!VAS!jam!keF24,!
keF36,!keF48! keF36,!keF48!

Hasil!

Universitas Indonesia
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
! 42!

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Jakarta


dengan subyek penelitian pasien yang dilakukan tindakan torakotomi usia 17 – 65
tahun, yang memenuhi kriteria penelitian dan dibagi menjadi dua kelompok. Satu
kelompok mendapatkan perlakuan tindakan analgesia blok paravertebral
(kelompok 1) sedangkan kelompok lain mendapatkan tindakan analgesia blok
thoracic-epidural yang sering digunakan untuk tatalaksana analgesia
pascatorakotomi! posterolateral elektif (kelompok 2). Pada kelompok 1, jumlah
subyek penelitian 11 orang. Kelompok 2, jumlah subyek penelitian sebanyak 11
orang. Total subyek penelitian berjumlah 22 orang.

4.1. Distribusi subjek penelitian

Dari hasil penelitian didapatkan kelompok 1 terdiri dari 6 subjek berjenis kelamin
laki-laki dan 5 subjek berjenis kelamin perempuan, sebaliknya pada kelompok 2
didapatkan 5 subjek berjenis kelamin laki-laki dan 6 subjek berjenis kelamin
perempuan. Rata-rata usia subjek penelitian adalah 45 tahun pada kelompok 1 dan
38 tahun pada kelompok 2. Berat badan subjek penelitian pada kelompok 1
memiliki rata-rata yang lebih besar (61,55 kg) dibandingkan kelompok 2 (56,91
kg).

Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015


! 43!
!

Tabel 1. Karakteristik Subjek Pascatorakotomi

Blok paravertebral Blok epidural Total


Variabel n (%) Mean ± n (%) Mean ± n (%) Mean ± SD
SD SD
Jenis
kelamin 6 (54,5) 5 (45,5) 11 (50)
Laki-laki 5 (45,5) 6 (54,5) 11 (50)
Perempuan 11 (100) 11 (100) 22 (100)
Total
Umur 45,64 ± 38,09 ± 41,86 ±
(tahun) 13,46 14,03 13,96
Berat badan 61,55 ± 56,91 ± 59,23 ±
(kg) 12,81 12,86 12,75

Tabel 2 menunjukkan bahwa pada kelompok 2 terjadi satu kejadian komplikasi,


yaitu hematoma pada daerah insersi kateter. Analgetik tambahan diberikan pada 2
orang subjek kelompok perlakukan (18,2%), dan pada kelompok 2 analgetik
tambahan diberikan pada 4 subjek (36,4%).

Tabel 2. Komplikasi dan Pemberian Analgetik Tambahan


Blok paravertebral Blok epidural Total
Variabel
n % n % n %
Komplikasi
Ada 0 0 1 9,1 1 4,5
Tidak 11 100 10 90,9 21 95,5
Total 11 100 11 100 22 100
Analgetik tambahan
Ya 2 18,2 4 36,4 6 27,3
Tidak 9 81,8 7 63,6 16 72,7
Total 11 100 11 100 22 100

Universitas Indonesia
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
! 44!
!

Tabel 3 menyajikan nyeri pada subjek pascatorakotomi diukur menggunakan


VAS jam ke-24, ke-36, dan ke-48. Skor VAS jam ke-24 memiliki rata-rata skor
nyeri 2,82 pada kelompok 1 dan 4,00 pada kelompok 2. Nilai tengah yang
digunakan untuk sebaran data yang tidak normal adalah median. Sehingga, skor
VAS jam ke-36 dan 48 disajikan dengan nilai median. Skor VAS jam ke-36 dan
VAS jam ke-48 sama-sama memiliki median 1 pada kelompok 1 dan median 2
(VAS jam ke-36) dan 1 (VAS jam ke-48) pada kelompok 2. Waktu mobilisasi
duduk subjek lebih cepat pada kelompok 1, yaitu jam ke 59 dengan rentang waktu
37-174 jam pada kelompok 1. Satu subjek mobilisasi duduk pada jam ke 174
dikarenakan masih merasa takut, subjek dengan kasus trauma toraks dengan
psikologis yang amat rendah ambang nyerinya. Nilai median kelompok 2 untuk
mobilisasi duduk adalah jam ke 81.

Tabel 3. Penilaian rasa nyeri (VAS) dan waktu mobilisasi duduk


Blok paravertebral Blok epidural Total
Variabel Mean ± Median Mean ± Median Mean ± Median
SD (min – max) SD (min – max) SD (min – max)
VAS jam 2,82 ± 4, 00 ± 3,41 ±
ke-24 1,17 1,18 1,30
VAS jam 1 (1 – 5) 2 (1 – 4) 2 (1 – 5)
ke-36
VAS jam 1 (1 – 4) 1 (1 – 3) 1 (1 – 4)
ke-48
Waktu 59 (37–174) 81 (51–133) 66 (37–174)
mobilisasi
duduk
(jam ke)

Universitas Indonesia
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
! 45!
!

4.2. Hubungan Teknik Analgesia dengan Nyeri dan waktu Mobilisasi Pasien

Tabel 4 menyajikan hasil bahwa teknik analgesia yang digunakan pada torakotomi
berhubungan secara statistik dengan rasa nyeri subjek yang dinilai dengan VAS
jam ke-24. Rata-rata skor VAS jam ke-24 adalah 2,82 ± 1,168 pada kelompok
blok paravertebral dan 4,00 ± 1,183 pada kelompok epidural, dengan nilai
p=0,029. Hal ini menunjukkan ada perbedaan signifikan rerata skor nyeri subjek
(VAS jam ke-24) antara penggunaan teknik blok paravertebral (kelompok 1)
dengan blok epidural (kelompok 2).

Tabel 4. Hubungan teknik analgesia dengan rasa nyeri (VAS jam ke-24)
VAS jam ke-24
Teknik analgesia p
n Mean ± SD
Blok paravertebral 11 2,82 ± 1,168
0,029
Blok epidural 11 4,00 ± 1,183
Uji T tidak berpasangan

Tabel 5. Hubungan teknik analgesia dengan rasa nyeri (VAS jam ke-36)
VAS jam ke-36
Teknik analgesia p
n Median (min – mak)
Blok paravertebral 11 1 (1 – 5)
0,091
Blok epidural 11 2 (1 – 4)
Uji Mann Whitney

Tabel 6. Hubungan teknik analgesia dengan rasa nyeri (VAS jam ke-48)
VAS jam ke-48
Teknik analgesia p
n Median (min – mak)
Blok paravertebral 11 1 (1 – 4)
0,353
Blok epidural 11 1 (1 – 3)
Uji Mann Whitney

Universitas Indonesia
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
! 46!
!

Tabel 5 dan tabel 6 menunjukkan bahwa teknik analgesia yang digunakan pada
operasi torakotomi tidak berhubungan secara statistik dengan rasa nyeri subjek
yang dinilai dengan VAS jam ke-36 dan VAS jam ke-48. Median skor VAS jam
ke-36 pada kelompok blok paravertebral adalah 1 (1 – 5) dan pada kelompok blok
epidural adalah 2 (1 – 4), dengan nilai p=0,091. Median skor VAS jam ke-48 pada
kelompok blok paravertebral adalah 1 (1 – 4) dan pada kelompok blok epidural
adalah 1 (1 – 3).

Hal ini berarti tidak ada perbedaan yang signifikan mean rank skor nyeri subjek
(VAS jam ke-36) antara penggunaan teknik blok paravertebral (9,32) dengan blok
epidural (13,68). Begitu juga dengan VAS jam ke-48, tidak ada perbedaan yang
signifikan mean rank skor nyeri subjek antara penggunaan teknik blok
paravertebral (10,64) dengan blok epidural (12,36).

Tabel 7. Hubungan teknik analgesia dengan waktu mobilisasi duduk subjek


Waktu mobilisasi (jam ke)
Teknik analgesia p
n Median (min – mak)
Blok paravertebral 11 59 (37 – 174)
0,038
Blok epidural 11 81 (51 – 133)
Uji Mann Whitney

Tabel 7 menunjukkan bahwa teknik analgesia yang digunakan pada operasi


torakotomi berhubungan secara statistik dengan waktu mobilisasi duduk subjek.
Blok paravertebral memiliki median waktu mobilisasi duduk jam ke-59 (37 – 174)
dan blok epidural memiliki median waktu mobilisasi duduk jam ke-81 (51 – 133),
dengan nilai p=0,038. Hal ini berarti bahwa ada perbedaan yang signifikan mean
rank waktu mobilisasi duduk subjek antara penggunaan teknik blok paravertebral
(8,64) dengan blok epidural (14,36).

Universitas Indonesia
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
! 47!
!

Tabel 8. Hubungan teknik analgesia dengan komplikasi yang terjadi


Komplikasi yang terjadi
OR
Teknik analgesia Ada Tidak ada Total p
(95% CI)
n % n % n %
Blok paravertebral 0 0 11 100 11 100
1,000 –
Blok epidural 1 9,1 10 90,9 11 100
Uji Fisher Exact

Tabel 9. Hubungan teknik analgesia dengan pemberian analgetik tambahan


Pemberian analgetik tambahan
OR
Teknik analgesia Ya Tidak Total p
(95% CI)
n % n % n %
Blok paravertebral 2 18,2 9 81,8 11 100 0,389
Blok epidural 4 36,4 7 63,6 11 100 0,635 (0,055 –
2,771)
Uji Fisher Exact

Pada Tabel 8 dan Tabel 9, dilakukan uji untuk melihat hubungan teknik analgesia
dengan komplikasi yang terjadi pada subjek (Tabel 8) dan pemberian analgetik
tambahan (Tabel 9). Terlihat bahwa teknik analgesia tidak berhubungan secara
statistic dengan komplikasi yang terjadi (p=1,000) dan pemberian analgetik
tambahan (p=0,635). Hal ini berarti, tidak ada perbedaan yang signifikan proporsi
kejadian komplikasi pada pasien antara blok paravertebral dengan blok epidural.
Demikian juga dengan pemberian analgetik tambahan, tidak ada perbedaan yang
signifikan proporsi pemberian analgetik tambahan antara blok paravertebral
dengan blok epidural.

Universitas Indonesia
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
! 48!
!

4.3. Hubungan Karakteristik Demografi Subjek dengan Nyeri dan Waktu


Mobilisasi

Tabel 10. Hubungan karakteristik subjek (umur, jenis kelamin, dan berat
badan) dengan rasa nyeri (VAS jam ke-24) pascatorakotomi
VAS jam ke-24
Karakteristik p r
n Mean ± SD
Jenis kelamin
Laki-laki 11 3,36 ± 1,433 0,874*
Perempuan 11 3,45 ± 1,214
Umur (tahun) 0,092** – 0,368
Berat badan (kg) 0,278** – 0,242
*Uji T tidak berpasangan **Uji Korelasi Pearson

Tabel 11. Hubungan karakteristik subjek (umur, jenis kelamin, dan berat
badan) dengan rasa nyeri (VAS jam ke-36) pascatorakotomi
VAS jam ke-36
Karakteristik p r
n Median (Min – Mak)
Jenis kelamin
Laki-laki 11 2 (1 – 5) 0,778a
Perempuan 11 2 (1 – 4)
Umur (tahun) 0,067b – 0,397
b
Berat badan (kg) 0,159 – 0,311
a b
Uji Mann Whitney Uji Korelasi Spearman

Tabel 12. Hubungan karakteristik subjek (umur, jenis kelamin, dan berat
badan) dengan rasa nyeri (VAS jam ke-48) pascatorakotomi
VAS jam ke-48
Karakteristik p r
n Median (Min – Mak)
Jenis kelamin
Laki-laki 11 1 (1 – 4) 0,261a
Perempuan 11 1 (1 – 3)
Umur (tahun) 0,437b – 0,175
b
Berat badan (kg) 0,963 – 0,011
a b
Uji Mann Whitney Uji Korelasi Spearman

Universitas Indonesia
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
! 49!
!

Tabel 10, tabel 11, dan tabel 12 memperlihatkan bahwa karakteristik subjek, yaitu
usia, jenis kelamin, dan berat badan, tidak berhubungan secara statistik dengan
skor nyeri VAS jam ke-24, VAS jam ke-36, dan VAS jam ke-48. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai p > 0,05 untuk semua variabel.

Tabel 13. Hubungan karakteristik subjek dengan waktu mobilisasi duduk

Waktu mobilisasi duduk jam ke


Karakteristik p r
n Median (Min – Mak)
Jenis kelamin
Laki-laki 11 63 (37 – 101) 0,430a
Perempuan 11 77 (50 – 174)
Umur (tahun) 0,720b – 0,081
Berat badan (kg) 0,887b – 0,032
a b
Uji Mann Whitney Uji Korelasi Spearman
Tabel 13 memperlihatkan bahwa umur, jenis kelamin, dan berat badan tidak
berhubungan secara statistik dengan waktu mobilisasi duduk pasien pascaoperasi
torakotomi, dengan nilai p > 0,05 untuk ketiga variabel tersebut.

Tabel 14. Hubungan karakteristik dengan komplikasi yang terjadi


Komplikasi yang terjadi
OR
Ada Tidak ada Total
Karakteristik p (95%
n % Mean n % Mean n % Mean
CI)
± SD ± SD ± SD
Jenis
kelamin 0 0 11 100 11 100
1,000c –
Laki-laki 1 9,1 10 90,9 11 100
Perempuan
Umur 45,00 41,71 41,86
(tahun) ± ± 0,825*
14,29 13,96
Berat badan 76,00 58,43 59,23
(kg) ± ± 0,184*
12,49 12,75
c
Uji Fisher Exact *Uji T tidak berpasangan

Universitas Indonesia
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
! 50!
!

Tabel 15. Hubungan karakteristik subjek dengan pemberian analgetik


tambahan pascatorakotomi
Pemberian analgetik tambahan
OR
Ya Tidak Total
Karakteristik p (95%
n % Mean n % Mean n % Mean
CI)
± SD ± SD ± SD
Jenis 1,000
kelamin 3 27,3 8 72,7 11 100 (0,153
1,000c
Laki-laki 3 27,3 8 72,7 11 100 –
Perempuan 6,531)
Umur 35,83 44,13 41,86
(tahun) ± ± ± 0,223*
13,32 13,92 13,96
Berat badan 55,33 60,69 59,23
(kg) ± ± ± 0,393*
13,88 12,45 12,75
c
Uji Fisher Exact *Uji T tidak berpasangan

Tabel 14 dan 15 memperlihatkan bahwa karakteristik subjek yang terdiri dari


variabel usia, jenis kelamin, dan berat badan tidak berhubungan secara statistik
dengan komplikasi yang terjadi pada subjek dan pemberian analgetik tambahan.
Hal ini dilihat dari nilai p > 0,05 untuk ketiga variabel karakteristik subjek
tersebut.
!
!

!
!
!
!
!
!
!

Universitas Indonesia
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
! 51!
!

BAB 5

PEMBAHASAN

Dilakukan analisa karakteristik terhadap rerata umur subyek penelitian pada


kelompok I adalah 45 tahun dan kelompok II adalah 38 tahun. Usia dimana
subyek penelitian dapat secara kooperatif mengungkapkan skala nyeri yang
dialaminya, menurut IASP (International Association of the Study of Pain), yang
mendefinisikan nyeri sebagai perasaan sensorial dan pengalaman emosional yang
tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata atau berpotensi
rusak atau tergambarkan seperti itu17
Pada analisa karakteristik terhadap berat badan, dimana berat badan pasien
berpengaruh pada dosis obat analgesia yang diberikan dan merupakan indikator
untuk keadaan gizi dan kondisi umum pasien. Pasien dengan penyakit kronis
memiliki berat badan yang lebih rendah dari normal. Pada penelitian ini berat
badan pasien pada kelompok 1 memiliki rata-rata yang lebih besar (61,55 kg)
dibandingkan kelompok 2 (56,91 kg).
Penelitian ini juga menilai karakteristik tindakan pada pasien pascatorakotomi
dinilai dari komplikasi yang terjadi dari kedua teknik blok analgesia, pada
kelompok 1 tidak terdapat adanya komplikasi pada pasien, sementara itu pada
kelompok 2 terdapat 1 pasien (9,1%) yang mengalami komplikasi berupa
hematoma pada tempat insersi pemasangan kateter epidural. Pada pemberian
penambahan analgetik, didapatkan ada pada kedua kelompok, karena VAS>4
sehingga diberikan penambahan analgetik tambahan.
Pada penelitian ini dilakukan pembandingan terhadap nilai VAS pada jam ke 24,
nilai VAS pada jam ke 36, nilai VAS pada jam ke 48, waktu mobilisasi duduk
pascatorakotomi baik pada pasien dengan analgesia blok PVB maupun pada blok
thoracic-epidural, dan analgesia tambahan (rectal diclofenac) yang diberikan
untuk mengatasi nyeri yang dialami (VAS>4). Ada variabilitas analgesik
tambahan pascaoperasi yang digunakan dan obat yang diberikan ke dalam ruang
paravertebral dan epidural. Sampai sekarang jenis obat dan dosis konsentrasi
terbaik belum dapat dipastikan, meskipun sebagian besar mungkin akan

Universitas Indonesia
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
! 52!
!

mendukung penatalaksanaan analgesia dengan menggunakan anestesi lokal


sebagai salah satu solusinya. Terlepas dari dosis yang diberikan pada anestesi
lokal blok paravertebral maupun epidural, analgesia yang terbaik adalaha dengan
memberi kombinasi dari berbagai gabungan multimodal analgetik pada pasien
pascatorakotomi menurut Karmaker dkk43.
Pada penilaian terhadap VAS jam ke 24 terdapat perbedaan yang signifikan,
dimana teknik analgesia blok PVB memberikan hasil yang lebih baik daripada
teknik blok epidural (p=0,029). Hal ini sejalan dengan penelitian Hefnawi dkk
yang menyebutkan teknik blok analgesia PVB menunjukkan keberhasilan
penatalaksanaan nyeri pada grup pasien di 18 jam pertama59.
Pada penilaian terhadap VAS jam ke 36, VAS jam ke 48, dan penilaian terhadap
waktu mobilisasi, terdapat sebaran data yang tidak rata, sehingga secara statistik
dilakukan perhitungan dengan menggunakan nilai median. Tidak didapatkan
hubungan secara statistik pada rasa nyeri pasien yang dinilai dengan VAS jam ke
36 dan penilaian VAS jam ke 48 dengan nilai p=0,091. Hal ini berarti tidak ada
perbedaan yang signifikan median rank skor nyeri pasien antara penggunaan
antara kedua teknik blok analgesia. Di kedua grup pasien ini didapatkan skor nilai
nyeri VAS yang lebih rendah dari skor nilai nyeri VAS pada jam ke 24 seiring
pemulihan dari pasien dari tindakan operasi.
Pada pengamatan waktu mobilisasi pasien pascatorakotomi didapatkan perbedaan
yang signifikan diantara kedua grup, dimana pasien dengan analgesia blok PVB
lebih cepat mobilisasi daripada analgesia blok thoracic-epidural (p=0,038). Hasil
ini sejalan dengan pernyataan Davies dkk dan Richardson dkk yang menyebutkan
bahwa teknik analgesia PVB memiliki keuntungan memberikan blok unilateral
regional di beberapa dermatom tanpa adanya efek simpathicolisis dan memblok
secara unik dan efektif stimulus nyeri saraf spinal dan rantai simpatis tanpa
memblok rantai simpatis kontralateral sehingga mempercepat mobilisasi pada
pasien pascatorakotomi23,40.
Pada pengamatan terhadap komplikasi yang terjadi dan pemberian analgetik
tambahan, secara statistik didapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
pada kedua kelompok (p=1,000) dan (p=0,635).

Universitas Indonesia
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
! 53!
!

Tidak ada hubungan secara statistik pada penilaian skor rasa nyeri VAS jam ke
24, VAS jam ke 36, VAS jam 48, waku mobilisasi, komplikasi yang terjadi dan
analgesik tambahan yang diberikan yang dibandingkan dengan karakteristik
pasien (umur, jenis kelamin, dan berat badan), dimana didapatkan nilai p>0,05.
Dengan demikian variabel-variabel tersebut tidak memberikan pengaruh terhadap
perbedaan hasil penelitian ini.
Pada prinsipnya terdapat beberapa keuntungan pada tindakan analgesia blok
paravertebral yang pada penelitian ini tidak dibandingkan secara khusus, berupa
tidak diperlukannya waktu dan posisi khusus saat dilakukan pemasangan kateter
paravertebral, karena pemasangan kateter ini dilakukan pada saat pasien masih
dalam keadaan pembiusan umum dan dalam posisi yang sama saat pasien
dilakukan torakotomi. Pada tindakan analgesia blok epidural dilakukan
pemasangan kateter epidural pada saat pasien masih sadar dan dalam posisi
duduk, hal ini memberikan pengalaman nyeri tersendiri, dimana nyeri merupakan
perasaan sensorial dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa blok paravertebral merupakan salah satu
teknik yang dapat dianjurkan untuk manajemen tatalaksana nyeri pada pasien
pascatorakotomi.

!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!

Universitas Indonesia
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
! 54!
!

BAB 6

PENUTUP

6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian pengaruh teknik analgesia blok paravertebral dalam
menurunkan nyeri yang dinilai dengan skor Visual Analog Scale dan waktu
mobilisasi pasien dapat disimpulkan bahwa :
Teknik blok paravertebral merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan
dengan beberapa keunggulan untuk manajemen tatalaksana nyeri pada pasien
pascatorakotomi.
6.2. Saran
1. Teknik analgesia blok paravertebral diharapkan dapat diaplikasikan di semua
rumah sakit yang melakukan tindakan torakotomi posterolateral elektif karena
didapatkan efek analgesia yang tidak berbeda bahkan lebih baik, dengan
komplikasi yang minimal serta tekniknya tergolong mudah dan aplikatif.
2. Pada pendidikan Bedah Toraks Kardio Vaskuler, peserta didik diharapkan
terpapar dengan teknik ini sehingga dapat menjadi alternatif untuk tatalaksana
nyeri tindakan torakotomi.
3. Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih
besar, waktu penelitian yang lebih panjang, dengan kriteria inklusi dan
eksklusi yang lebih ketat.

!
!
!
!
!
!
!
!
!
!

Universitas Indonesia
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
! 55!
!

DAFTAR PUSTAKA

1. Elsayed H, McKevith J, McShane J, Scawn N. Thoracic epidural or


paravertebral catheter for analgesia after lung resection: is the outcome
different? Journal of cardiothoracic and vascular anesthesia
2012;26:78!82.
2. Scarci M, Joshi A, Attia R. In patients undergoing thoracic surgery is
paravertebral block as effective as epidural analgesia for pain
management? Interactive cardiovascular and thoracic surgery
2010;10:92!6.
3. Sabanathan S, Smith PJ, Pradhan GN, Hashimi H, Eng JB, Mearns AJ.
Continuous intercostal nerve block for pain relief after thoracotomy. Ann
Thorac Surg 1988;46:425–6
4. Davies RG, Myles PS, Graham JM. A comparison of the analgesic
efficacy and side-effects of paravertebral vs epidural blockade for
thoracotomy – a systematic review and meta-analysis of randomized trials.
British Journal of Anaesthesia 2006; 96:418-26.
5. Tantra AH. Nyeri akut mekanisme dan pengelolaannya. Dalam
makalah pertemuan ilmiah regional I PERDOSSI cabang Makasar dan
Manado 2-4 Desember 1999.
6. Tantra AH. Analgesia balans. Dalam 1 st national congress Indonesian
pain society. Makasar. 2002: 48-54.
7. Carabine UA, Gilliland H, Johnston JR, McGuigan J. Pain relief for
thoracotomy. Comparison of morphine requirements using an extrapleural
infusion of bupivacaine. Reg Anesth. 1995;20:412-417.
8. Gravlee GP and Rauck RL, editors. Pain management in cardiothoracic
surgery. Philadelphia: JB Lippincott Company; 1993. P. 220
9. Sabanathan S, Eng J, Mearns AJ. Alterations in respiratory mechanics
following thoracotomy. J R Coll Surg Edinb. 1990;35:144-50.
10. Downs CS, Cooper MG. Continuous intercostal nerve block for post-
thoracotomy analgesia in children. Anaesth Intensive Care. 1997;25:390-
397.
11. Conacher ID. Pain relief after thoracotomy. Br J Anaesth. 1990;65:806-
812. Bonica JJ. Management of intractable pain with analgesic blocks.
Journal of the American Medical Association 1952;150:1581!6.
12. Varela G, Brunelli A, Rocco G, Marasco R, Jiménez MF, Sciarra V,
Aranda JL, Gatani T. Predicted versus observed FEV1 in the immediate
postoperative period after pulmonary lobectomy. Eur J Cardiothorac Surg.
2006;30:644-648.
13. Craig DB. Postoperative recovery of pulmonary function. Anesth Analg
1981; 60(1): 46-52.
14. Benedetti F, Vighetti S, Ricco C, Amanzio M, Bergamasco L, Casadio C,
Cianci R, Giobbe R, Oliaro A, Bergamasco B and Maggi G.
Neurophysiologic assessment of nerve impairment in posterolateral and
muscle-sparing thoracotomy. J Thorac Cardiovasc Surg 1998; 115(4):
841–847.

Universitas Indonesia
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
! 56!
!

15. Ballantyne JC, Carr DB, deFerranti S, Suarez T, Lau J, Chalmers TC,
Angelillo IF,Mosteller F. The comparative effects of postoperative
analgesic therapies on pulmonary outcome: cumulative meta-analyses of
randomized, controlled trials. Anesth Analg. 1998;86:598-612.
16. Hamada H, Moriwaki K, Shiroyama K, Tanaka H, Kawamoto M and
Yuge O. Myofascial pain in patients with postthoracotomy pain syndrome.
Reg Anesth Pain Med 2000; 25(3): 302–305.
17. Kaiser AM, Zollinger A, De Lorenzi D, Largiader F, Weder W.
Prospective, randomized comparison of extrapleural versus epidural
analgesia for postthoracotomy pain. The Annals of thoracic surgery
1998;66:367!72.
18. Joshi GP, Bonnet F, Shah R, Wilkinson RC, Camu F, Fischer B,
Neugebauer EA, Rawal N, Schug SA, Simanski C, Kehlet H. A systematic
review of randomized trials evaluating regional techniques for
postthoracotomy analgesia. Anesthesia and analgesia 2008;107:1026!40.
19. Peeters-Asdourian C, Gupta S. Choices in pain management following
thoracotomy. Chest. 1999 ;115:122S-124S.
20. Roy G, Eugene S. acute pain management for patient undergoing
thoracotomy. Ann thorac Surg 2003;75:1349-57.
21. Kehlet H, Wilkinson RC, Fischer HB, Camu F, Prospect Working G.
PROSPECT: evidence!based, procedure!specific postoperative pain
management. Best practice & research Clinical anaesthesiology
2007;21:149!59.
22. Hazelrigg SR, Landreneau RJ, Boley TM, Priesmeyer M, Schmaltz RA,
Nawarawong W, Johnson JA,Walls JT and Curtis JJ. The effect of muscle
sparing versus standard posterolateral thoracotomy on pulmonary function,
muscle strength, and postoperative pain. J Thorac Cardiovasc Surg 1991;
101(3): 394–400.
23. Eng J, Sabanathan S. Site of action of continuous extrapleural intercostal
nerve block. Ann Thorac Surg. 1991;51:378-389.
24. Mozell EJ, Sabanathan S, Mearns AJ, Bickford Smith PJ, Majid MR,
Zografos G. Continuous extrapleural intercostal nerve block after
pleurectomy. Thorax 1991;46:21-24.
25. Fischer B.Paravertebral Block:is it the block of the future [article].
Alexandra Hospital Redditch: England;2009
26. Richardson J, Sabanathan S, Mearns AJ, Evans CS, Bembridge J,
Fairbrass M. Efficacy of preemptive analgesia and continuous extrapleural
intercostal nerve block on post!thoracotomy pain and pulmonary
mechanics. The Journal of cardiovascular surgery 1994;35:219!28.
27. Sabanathan S, Mearns AJ, Bickford Smith PJ, Eng J, Berrisford RG,
Bibby SR, Majid MR. Efficacy of continuous extrapleural intercostal
nerve block on post!thoracotomy pain and pulmonary mechanics. The
British journal of surgery 1990;77:221!5.
28. Richardson J, Sabanathan S, Jones J, Shah RD, Cheema S, Mearns AJ. A
prospective, randomized comparison of preoperative and continuous
balanced epidural or paravertebral bupivacaine on post!thoracotomy pain,
pulmonary function and stress responses. British journal of anaesthesia
1999;83:387!92.

Universitas Indonesia
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
! 57!
!

29. Karmakar MK. Thoracic paravertebral block. Anesthesiology


2001;95:771!80.
30. Saito T, Den S, Cheema SP, Tanuma K, Carney E, Carlsson C, Richardson
J. A single!injection, multi!segmental paravertebral block!extension of
somatosensory and sympathetic block in volunteers. Acta
anaesthesiologica Scandinavica 2001;45:30!3.
31. Richardson J, Lonnqvist PA. Thoracic paravertebral block. British journal
of anaesthesia 1998;81:230!8.
32. Cheema SP, Ilsley D, Richardson J, Sabanathan S. A thermographic study
of paravertebral analgesia. Anaesthesia 1995;50:118!21.
33. Dodd M, Hunsley J.Thoracic Paravertebral Block: Landmark
Techniques Anaesthesia Tutorial of The Week 24 [journal article].World
Federation of Societies of Anaesthesiologists.2011
34. Detterbeck F, Subpleural Catheter Placement for Pain Relief After
Thoracoscopic Resection. Ann Thorac Surg 2006;81:1522–3
35. Lönnqvist PA, Mackenzie J, Soni AK, Conacher ID. Paravertebral
blockade: failure rate and complications. Anaesthesia 1995;50:813-815.
36. Bimston DN, McGee JP, Liptay MJ, Fry WA. Continuous paravertebral
extrapleural infusion for post-thoracotomy pain management. Surgery.
1999;126:650–7.
37. Matthews PJ, Govenden V. Comparison of continuous paravertebral and
extradural infusions of bupivacaine for pain relief after thoracotomy. Br J
Anaesth 1989;62:204
38. D. Gould et al. INFORMATION POINT: Visual Analogue Scale (VAS).
Blackwell Science Ltd, Journal of Clinical Nursing.2001;697-706
39. Bijur PE. Reliability of the visual analog scale for measurement of acute
pain. Acad Emerg Med. 2001 Dec;8(12):1153-7
40. Hefnawi A, Moawad H, Mousa S. Single-dose paravertebral blockade
versus epidural blockade for pain relief after open in renal surgery: a
prospective randomized study. Saudi J. Anaesth. 2013 Jan-Mar; 7(1): 61-
67.
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!

Universitas Indonesia
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
! 58!
!

Lampiran 1. Data Pasien Pascatorakotomi

1. Nama
2. No.ID
3. Jenis subjek 1. PVB 2. Epidural
4. No. Med. Rec
5. No. telp
6. Tanggal lahir
7. Jenis Kelamin
8. Berat Badan (kg)
9. Tinggi Badan (cm)
10. Tanggal masuk RS
11. Tanggal Operasi
12. Diagnosa
13. Prosedur
14. Lateralitas operasi 1. Kanan 2. Kiri
15. Waktu yang diperlukan
untuk pemasangan kateter
blok epidural (dalam menit)
16. Skala VAS saat pemasangan
kateter blok epidural

17. Waktu yang diperlukan


untuk pemasangan kateter
blok paravertebral (dalam
menit)
18. Luas sela iga yang tampak
penyebaran obat analgesia
dengan methylene blue
19. Jam selesai operasi .........:..........
20. Waktu pemberian bolus
rejimen analgesia per
kateter untuk blok
Epidural/Paravertebral
terakhir sebelum
meninggalkan kamar
operasi
21. Dokter Bedah
22. Dokter Anestesi

Universitas Indonesia
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
! 59!
!

Lampiran 2. Daftar efek samping dan komplikasi PVB / Epidural

Efek samping dan YA TIDAK WAKTU (.....jam post-op)


komplikasi

Mual

Muntah

Rasa tidak nyaman

Nyeri kepala

Nyeri punggung

Kelemahan anggota tubuh


bawah

Retensi urin

Pruritus (ruam gatal di kulit)

Hematoma

Hipotensi dengan diuresis


<0,5 mL/KgBB/jam

Universitas Indonesia
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
! 60!
!

Lampiran 3. Ethical clearance.

Universitas Indonesia
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
! 61!
!

Lampiran 4. Data hasil penelitian kedua kelompok

BLOK PARAVERTEBRAL (Kelompok I)


No Jenis Umur Berat VAS VAS VAS Mobilisasi Komplikasi Analgetik
kelamin tahun badan jam jam jam duduk jam yang terjadi tambahan
(kg) ke 24 ke 36 ke ke
48
1 Wanita 50 60 3 1 1 174 Tidak Tidak
2 Pria 57 80 2 1 1 51 Tidak Tidak
3 Pria 65 63 1 1 1 37 Tidak Tidak
4 Pria 52 70 2 1 1 63 Tidak Tidak
5 Wanita 35 50 4 1 1 50 Tidak Ya
6 Wanita 43 70 2 1 1 56 Tidak Tidak
7 Pria 59 80 5 5 4 84 Tidak Ya
8 Wanita 24 45 2 1 1 59 Tidak Tidak
9 Pria 49 42 3 2 1 69 Tidak Tidak
10 Pria 53 60 3 2 1 51 Tidak Tidak
11 Wanita 22 57 4 2 1 63 Tidak Tidak

BLOK EPIDURAL (Kelompok 2)


No Jenis Umur Berat VAS VAS VAS Mobilisasi Komplikasi Analgetik
kelamin tahun badan jam jam jam duduk jam yang terjadi tambahan
(kg) ke ke 36 ke 48 ke
24
1 Wanita 45 76 4 2 1 124 Ada Tidak
2 Pria 47 56 4 2 1 101 Tidak Tidak
3 Wanita 40 47 6 4 1 133 Tidak Ya
4 Pria 20 40 5 4 3 81 Tidak Ya
5 Pria 34 60 5 4 3 88 Tidak Ya
6 Wanita 27 55 5 4 3 79 Tidak Ya
7 Wanita 25 47 3 2 1 62 Tidak Tidak
8 Pria 54 60 4 1 1 51 Tidak Tidak
9 Wanita 45 75 3 1 1 81 Tidak Tidak
10 Wanita 20 40 3 2 1 77 Tidak Tidak
11 Pria 62 70 2 1 1 63 Tidak Tidak

Universitas Indonesia
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
! 62!
!

Lampiran 5. Data diagnosis dan tindakan operasi subjek.

Universitas Indonesia
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015
! 63!
!

Lampiran 6. Dokumentasi penelitian.

Universitas Indonesia
!
Analgesia Blok..., Antonius Sarwono Sandi Agus, FK UI, 2015

Anda mungkin juga menyukai