Anda di halaman 1dari 35

PENDEKATAN DIAGNOSIS DUCHENNE MUSCULAR DYSTROPHY

Disusun oleh:
Jessie Arisa
01073170013

Pembimbing:
dr. Andry Juliansen, SpA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


PERIODE 28 JANUARI – 6 APRIL 2019
SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE – RUMAH SAKIT UMUM
SILOAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
TANGERANG
2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .......................................................................................................... 1


PENDAHULUAN .................................................................................................. 2
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 3
2.1. Definisi ......................................................................................................... 3
2.2. Epidemiologi ................................................................................................ 3
2.3. Patogenesis ................................................................................................... 4
2.4. Manifestasi Klinis ........................................................................................ 6
2.5. Evaluasi Dan Diagnosis ............................................................................. 10
2.6. Diagnosis Diferensial ................................................................................. 17
2.7. Tata Laksana .............................................................................................. 21
2.8. Prognosis .................................................................................................... 29
KESIMPULAN ..................................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 32

1
PENDAHULUAN

Duchenne muscular dystrophy (DMD) adalah distrofi otot paling parah


dan paling banyak ditemukan pada anak-anak, menyerang sekitar 1 dari 3.500-
10.000 anak laki-laki. Diagnosis DMD sering terlambat bertahun-tahun setelah
gejala muncul, menyebabkan hilangnya kesempatan untuk terapi dan konseling
genetik.1 Identifikasi anak dengan keluhan lemah dimulai dari perhatian pengasuh
dan pemantauan perkembangan saat kunjungan anak sehat. Tanpa intervensi, anak
laki-laki yang menderita DMD akan kehilangan kemampuan untuk berjalan secara
mandiri pada usia 10 tahun dan terjadi kegagagalan jantung dan pernapasan
progresif. Dalam 20 tahun terakhir telah terdapat perubahan dalam perjalanan
penyakit DMD setelah perbaikan dalam perawatan klinis dan intervensi proaktif
untuk mengelola komplikasi penyakit. Setelah terdapat implementasi dari
rekomendasi perawatan, termasuk kortikosteroid, manajemen pernapasan dan
jantung, intervensi ortopedi, dan rehabilitasi, perjalanan penyakit DMD berubah
dari yang suatu kondisi yang progresif dan membatasi kehidupan ke suatu kondisi
yang lebih kronis dengan peningkatan angka harapan hidup.2
Referat ini akan membahas mengenai duchenne muscular dystrophy,
dengan penekanan terhadap pendekatan diagnosis, pemeriksaan penunjang, dan
penegakan diagnosis DMD.

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Duchenne muscular dystrophy (DMD) adalah suatu kelainan


neuromuskular letal terkait kromosom X resesif ditandai oleh kelemahan dan
pengecilan otot progresif karena distrofin, protein sitoskeletal yang memberikan
kekuatan, stabilitas, dan fungsionalitas serat otot tidak ada atau tidak cukup akibat
mutasi pada gen distrofin.3-4

2.2. Epidemiologi

Prevalensi DMD pada populasi umum di dunia adalah sekitar 3: 100.000


jiwa. Jumlah penderita DMD pada laki-laki baru lahir yang telah dilaporkan
adalah 1: 3.500.5 Prevalensi DMD yang pernah dilaporkan adalah 15,9 kasus per
100.000 kelahiran laki-laki di AS dan 19,5 kasus per 100.000 kelahiran laki-laki
di Inggris.4
Di Asia Tenggara, hingga saat ini belum ada studi mengenai insidensi dari
DMD, namun terdapat beberapa studi diagnostik. Sebanyak 21 laki-laki
terdiagnosis di UMMC Malaysia dengan DMD berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, peningkatan kadar creatine kinase (CK), dan tes
elektrofisiologi abnormal (elektromiogram / studi konduksi saraf) dan diagnosis
dikonfirmasi dengan setidaknya satu penyelidikan lain, seperti biopsi otot atau
studi penghapusan gen distrofin.6
Di Indonesia hingga saat ini belum ada studi mengenai insidensi DMD.
Dari penelusuran basis data Garba Rujukan Digital (GARUDA) dengan kata
kunci “Duchenne Muscular Dystrophy” ditemukkan 1 laporan kasus : Sigit di
Divisi Ortopedi dan Traumatologi FKUI/RSCM pada tahun 2007 melaporkan
kasus DMD pada laki-laki usia 13 tahun.7

3
2.3. Patogenesis

Duchenne muscular dystrophy (DMD) disebabkan oleh mutasi pada gen


yang mengkode distrofin, protein sitoskeletal 427-kDa. Kecepatan mutasi gen
distrofin relatif tinggi, pada sepertiga kasus disebabkan mutasi baru (de novo),
pada dua pertiga kasus mutasi diturunkan dari ibu yang biasanya tidak
menunjukkan manifestasi klinis dari kondisinya (pembawa asimtomatik), DMD
adalah kelainan gen resesif terpaut kromosom X. Mutasi menyebabkan
terganggunya sintesis distrofin.2 Distrofin memiliki peran struktural besar dalam
otot, ia adalah protein sitoskeletal membran yang menghubungkan sitoskeleton
internal ke matriks ekstraseluler. Ujung amino distrofin berikatan dengan F-aktin
dan ujung karboksil ke suatu kompleks glikoprotein yaitu dystrophyn-associated
protein complex (DAPC) di sarkolema. Dystrophyn-associated protein complex
terdiri dari dystroglycans, sarcoglycans, integrin dan caveolin, dan mutasi pada
komponen manapun menyebabkan distrofi otot yang diturunkan secara autosomal.
Protein distrofin diekspresikan di otot lurik, jantung, dan otak.8
Homeostasis kalsium sitoplasma pada otot menjadi abnormal. Fungsi
distrofin adalah menstabilisasi saluran kalsium dan hilangnya distrofin
menyebabkan deregulasi saluran kalsium. Terganggunya DAPC mengganggu
integritas membran sarkolema, menyebabkan kerusakan mekanis dan
berkontribusi dalam peningkatan masuknya Ca2+ ke dalam otot. Peningkatan Ca2+
menyebabkan aktivasi calpains (protease netral yang bergantung pada Ca2+,
terdapat di sitosol) dan menyebabkan proteolisis otot. Kecepatan kematian serat
otot tidak bisa dikompensasi dengan regenerasi dan diferensiasi sel otot baru.9
Hipotesis mekanis : berkurangnya distrofin menyebabkan instabilitas
membran sehingga menyebabkan meningkatnya permeabilitas membran, terutama
setelah kontraksi. Kerusakan yang diinduksi oleh aktivitas memiliki implikasi
penting untuk manajemen. Serat otot dengan diameter lebih kecil menunjukkan
lebih sedikit nekrosis. Ketidakterlibatan otot dengan diameter kecil seperti otot
ekstraokular, esofageal, dan otot distal kaki juga terjadi pada DMD. Sebaliknya,
grup otot proksimal yang terdiri dari otot dengan diameter yang besar dan
menanggung beban kerja lebih berat, terlibat lebih awal. Fisioterapi bersifat wajib

4
untuk meningkatkan dan menstabilisasi fungsi otot, namun pada sisi lain, aktivitas
berlebihan dapat merugikan. Akibat terjadinya instabilitas membran,
permeabilitas membran meninkat, sehingga terjadi kebocoran komponen
intraseluler otot yang terlihat dengan meningkatnya creatine kinase dan
transaminase darah.9
Hipotesis inflamasi : data dari studi genom menunjukkan terdapat aktivitas
respon berbagai komponen peradangan kronis, termasuk pemberian sinyal pada
sitokin dan kemokin, adhesi dan diapedesis leukosit, dan aktivasi sistem
komplemen.9
Keterlibatan otot dalam DMD ditandai dengan siklus berulang dari cedera,
peradangan dan perbaikan yang menghasilkan nekrosis progresif dan penggantian
sel otot dengan lemak dan jaringan fibrosa. Otot-otot kaki bagian bawah,
khususnya kompartemen posterior, membesar, dikenal sebagai pseudohipertrofi,
yang merupakan karakteristik namun tidak spesifik pada DMD. Transformasi
jaringan otot-otot kaki posterior bagian bawah menyebabkan berkurangnya
panjang otot fleksor plantar, yang menyebabkan pola berjalan berjinjit yang
terlihat pada anak laki-laki dengan DMD. Pseudohipertrofi terjadi terutama
sebagai akibat akumulasi lemak dan jaringan fibrosa yang 2 hingga 3 kali lebih
tinggi bila dibandingkan dengan kontrol yang sehat.10
Perubahan patologis ini bermanifestasi secara klinis dengan hilangnya
kekuatan dan masa otot secara progresif. Walaupun peran distrofin dalam otak
masih belum diketahui, gangguan intelektual dilaporkan pada 30% pasien DMD.2

5
Bagan 1. Dystrophyn associated protein complex11

2.4. Manifestasi Klinis

 Kelemahan
Tanda khas DMD adalah kelemahan dan berkurangnya massa otot
(wasting). Perubahan patologis sudah mulai terjadi sejak masih di dalam
kandungan, pasien tampak normal saat lahir namun onset klinis berupa kelemahan
biasanya muncul pada umur kedua dan ketiga kehidupan, hampir semua anak laki-
laki dengan DMD simtomatik sebelum umur 5 tahun.12 Kelemahan secara selektif
mempengaruhi otot anggota gerak proksimal sebelum distal dan anggota gerak
bawah sebelum anggota gerak atas. Maka dari itu, anak yang menderita DMD
memiliki kesulitan berlari, melompat, dan berjalan menaiki tangga. Ketika bangun
dari lantai, pasien akan menggunakan tangan untuk membantu dirinya berdiri,
aksi yang disebut tanda Gower’s. Dapat ditemukan pula gaya berjalan
melenggang, lordosis lumbar, dan pembesaran betis. Keluhan nyeri otot juga
dapat ditemukan pada perjalanan awal penyakit. Tanda dan gejala motorik lain
adalah berjalan jinjit, berkurangnya daya tahan, berkurangnya kontrol kepala
ketika ditarik untuk duduk, kaki rata, sering terjatuh, ceroboh, keterlambatan
motorik kasar, ketidakmampuan untuk mengikuti teman-teman seumurannya,

6
kehilangan kemampuan motorik, dan nyeri atau keram otot. Dengan progresi
penyakit, kelemahan otot mempengaruhi seluruh otot lurik, sehingga
menyebabkan hilangnya kemampuan untuk berjalan, berkurangnya fungsi motorik
pada ekstremitas atas, dan skoliosis akibat kelemahan aksial.4
Pemeriksaan fisik menunjukkan mengecilnya otot, hipertrofi betis dan otot
kuadrisep, lordosis lumbar, gaya berjalan melenggang, pemendekan tendon
achilles, hipotonia, dan hiporefleksia atau arefleksia, kelemahan otot fleksor
leher.4

Gambar 1. Tanda Gower13

Gambar 2. Gaya berdiri tipikal pasien DMD. Tampak lordosis lumbar,


hipertrofi betis, dan kontraktur tendon Achilles1

7
 Keterlambatan pertumbuhan
Kecepatan pertumbuhan biasanya lebih lambat dari normal pada setahun
pertama kehidupan, menyebabkan perawakan pendek. Keterlambatan
perkembangan bahasa dan kelainan perilaku, termasuk kelainan spektrum autistik,
pernah dilaporkan dan dapat muncul sebelum manifestasi kelemahan otot.15
 Peningkatan CK dan dan transaminase
Konsentrasi creatine kinase serum meningkat pada pasien DMD sebelum
munculnya tanda klinis penyakit. Peningkatan bahkan terjadi sejak pasien
neonatus. Creatine kinase serum memuncak pada umur 2 tahun, biasanya 10-20
kali batas atas normal dan dapat lebih tinggi. Selanjutnya tingkat creatine kinase
serum akan berkurang secara progresif dengan kecepatan 25% pertahun dan pada
akhirnya mencapai batas normal karena lebih banyak otot digantikan dengan
lemak dan fibrosis. Tingkat aldolase dan enzim otot lain seperti aspartate
transaminase (AST) dan alanine transaminase (ALT), juga meningkat.16
 Kardiomiopati
DMD menyebabkan kardiomiopati dilatasi primer dan kelainan konduksi
terutama intraartial dan interartrial tetapi juga melibatkan nodus atrioventrikular
dan beberapa aritmia, terutama supraventrikular. Kardiomiopati dikarakteristikkan
dengan fibrosis ekstensif dinding posterobasal ventrikel kiri, menghasilkan
perubahan elektrokardiografi khas berupa gelombang R prekordial kanan yang
tinggi dengan peningkatan rasio R/s dan gelombang Q dalam pada sadapan 1,
aVL, dan V5-6.17 Insidensi kardiomiopati simtomatik pada pasien DMD
meningkat secara bertahap pada masa remaja. Pada kasus seri 328 anak laki-laki
dengan DMD, kardiomiopati yang terlihat secara klinis terlihat pada 1/3 pasien
pada umur 14 tahun, ½ pasien pada umur 18 tahun, dan semua pasien pada umur
lebih dari 18 tahun.18
 Komplikasi ortopedi
Fraktur tangan dan kaki sering terjadi pada pasien DMD. Mekanisme
tersering adalah terjatuh. Fraktur vertebra juga sering terjadi akibat terapi
glukokortikoid. Terdapat laporan dimana 75 pasien DMD yang mendapatkan

8
terapi glukokortikoid, 32% diantaranya mengalami fraktur kompresi vertebra.
Skoliosis progresif terjadi pada hampir seluruh anak dengan DMD.19
 Gangguan kognitif dan perilaku
Anak-anak dengan DMD sering memiliki berbagai derajat gangguan
kognitif ringan atau keterlambatan perkembangan global. Dibandingkan dengan
populasi umum, pasien DMD memiliki autisme, gangguan defisit atensi dan
hiperaktivitas.20
 Gangguan fungsi respirasi
Otot respirasi juga mengalami perubahan patologis yang sama
menyebabkan penyakit paru restriktif. Insufisiensi respirasi dapat diprediksi
waktku kemunculannya, biasanya muncul setelah hilangnya kemampuan
ambulansi independen. Keterlibatan diafragma secara signifikan berkontribusi
pada berkurangnya kapasitas vital paksa, tanda awal gangguan fungsi respirasi,
meningkatnya infeksi dada, dan gangguan pernapasan saat tidur.21
 Perempuan pembawa gen (asymptomatic carrier)
Perempuan pembawa gen dapat asimtomatik atau memiliki kelemahan otot
ringan, dengan peningkatan CK, hipertrofi betis, mialgia, dan keram otot, dan
risiko untuk mengalami kardiomiopati dilatasi.4
 Perjalanan penyakit
Pasien tampak normal saat lahir dan mulai menunjukkan tanda-tanda
kecerobohan pada usia 3-5 tahun. Diagnosis sering dibuat pada usia 4, ketika
kelemahan otot proksimal terlihat (tanda Gower's). Pasien kesulitan untuk bangkit
dari lantai antara usia 7 - 9 tahun, diikuti oleh ketidakmampuan untuk berjalan
pada usia 13 tahun. Skoliosis terjadi setelah pasien kehilangan kemampuan
berjalan. Pasien berada dalam fase plateau jika mereka tidak mengalami
perkembangan motorik (mulai dari umur 4 hingga 8 tahun). Fase plateau diikuti
oleh fase deklinasi yang ditandai dengan hilangnya keterampilan motorik,
penurunan daya tahan fisik, dan lebih sering terjatuh. Kelainan jantung ditemukan
setelah usia 10 tahun. Tingkat keparahan dan onset kardiomiopati bervariasi dan
tidak terkait dengan mutasi gen distrofin individu. Otot pernafasan mengalami
fibrosis, yang menyebabkan insufisiensi pernapasan. Keterlambatan dalam

9
penguasaan bahasa, gangguan kognitif, dan keterbelakangan mental juga diamati.
Kematian terjadi karena kegagalan jantung atau respirasi.5

2.5. Evaluasi Dan Diagnosis

Proses diagnostik biasanya dimulai pada anak usia dini setelah tanda-tanda
dan gejala sugestif ditemukan, seperti kelemahan, kecerobohan, tanda Gower,
kesulitan saat menaiki tangga, atau berjalan kaki. Rujukan cepat ke spesialis
neuromuskuler, dengan masukan dari ahli genetika atau konselor genetik, dapat
menghindari keterlambatan diagnostik. Lebih jarang, diagnosis dicurigai sebagai
akibat dari keterlambatan perkembangan atau peningkatan konsentrasi enzim
serum seperti alanine aminotransferase, aspartate aminotransferase, lactate
dehydrogenase, atau creatine kinase. Kadang-kadang, peningkatan alanin
aminotransferase, aspartate aminotransferase, atau laktat dehidrogenase
menyebabkan fokus pada disfungsi hati, menunda diagnosis DMD.4
Karena sekitar 70% individu dengan DMD memiliki penghapusan atau
duplikasi single-exon atau multi-exon pada gen distrofin, pengujian penghapusan
dan duplikasi gen distrofin biasanya merupakan tes konfirmasi pertama. Pengujian
paling baik dilakukan dengan multiplex-ligation-dependent probe amplification
(MLPA) atau comparative genomic hybridisation array, karena penggunaan PCR
multiplex hanya dapat mengidentifikasi penghapusan. Jika pengujian
penghapusan atau duplikasi negatif, pengurutan genetik (genetic sequencing)
harus dilakukan untuk melihat jenis mutasi lainnya yang terkait dengan DMD
(sekitar 25-30%). Mutasi ini termasuk mutasi titik (nonsense atau missense),
penghapusan kecil, dan duplikasi atau sisipan kecil, yang dapat diidentifikasi
menggunakan pengurutan generasi berikutnya. Akhirnya, jika pengujian genetik
tidak mengkonfirmasi diagnosis klinis DMD, maka sampel biopsi otot harus diuji
untuk melihat keberadaan protein distrofin dengan imunohistokimia dari krioseksi
jaringan atau dengan western blot dari ekstrak protein otot.4

10
Bagan 2. Alur diagnostik DMD4
Menurut suatu studi deskriptif di Malaysia mengenai diagnosis DMD pada
negara berkembang, diagnosis klinis ditegakkan kemudian dilanjutkan dengan
investigasi suportif. Diagnosis dapat dicurigai berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisis, dan meningkatnya creatinine kinase dan didukung dengan
riwayat keluarga dengan DMD atau investigasi laboratorium seperti
elektromiografi atau studi konduksi saraf. Walaupun peningkatan creatinine
kinase serum tidak spesifik untuk DMD, peningkatan CK setidaknya 13 kali
normal ditemukan pada seri kasus pasien-pasien dengan DMD. Pendekatan ini
masih berguna di negara-negara dan rumah sakit dengan investigasi suportif tidak
tersedia. Diagnosis DMD dikonfirmasi dengan biopsi otot, dengan penampakan
histopatologi berupa perubahan distrofik pada serat-serat otot dan
imunohistokimia negatif untuk distrofin (distrofin-1, distrofin-2, dan distrofin-3),
dan atau reaksi rantai polimerase untuk mendeteksi penghapusan ekson
1,3,4,6,8,13,19,42-45,47,48,50-53, dan 60 gen distrofin. Penggunaan teknologi
pengurutan DNA terbatas pada negara-negara berkembang. Teknologi dengan

11
biaya yang lebih rendah seperti reaksi rantai polimerase multipleks dengan sampel
darah dapat membantu untuk mengidentifikasi penghapusan titik panas gen
distrofin sebelum melakukan biopsi otot karena lebih tidak invasif. Apabila tidak
ditemukan penghapusan gen distrofin, maka biopsi otot harus dilakukan.6
Biopsi otot secara karakteristik menunjukkan serat otot nekrotik atau
terdegenerasi. Serat nekrotik ini dikelilingi oleh makrofag dan limfosit CD4. Serat
otot kecil imatur dengan inti di pusat juga terlihat, mencerminkan regenerasi otot
dari myoblasts. Kemudian, kapasitas regeneratif dari otot habis dan serat otot
secara bertahap digantikan oleh jaringan ikat dan lemak. Karena itu, manifestasi
DMD adalah hasil dari ketidakseimbangan antara nekrosis serat otot dan
regenerasi myoblasts, fitur patologis utama adalah nekrosis.9

Gambar 3. Biopsi otot pasien DMD9

 Pemeriksaan laboratorium
Peningkatan transaminase serum pada keterlambatan motorik harus
dilanjutkan dengan penilaian tingkat CK serum, karena transaminase serum dapat
muncul dari otot dan liver dan CK hanya muncul dari otot, penilaian CK dapat
mencegah evaluasi liver yang tidak diperlukan. Konsentrasi CK meningkat secara
signifikan pada DMD, biasanya >1000U/L dan dapat mencapai 30.000 U/L. CK
adalah enzim otot yang dilepaskan di aliran darah sebagai respon dari cedera otot.5

12
13
 Elektromiografi
Elektromiografi adalah studi klinis aktivitas serat-serat otot. Aktivitas
elektrik direkam dengan elektroda permukaan atau jarum. Elektromiografi
digunakan untuk menganalisis potensial aksi unit motor, membedakan potensial
normal dan abnormal, dan untuk menentukan apakah abnormalitas merupakan
proses neurogenik atau myopatik. Hal-hal yang harus dinilai di elektromiogram
adalah:
- Amplitudo : diukur dari garis dasar sampai defleksi negatif pertama, yang
menggambarkan berapa banyak akson yang dapat terangsang. Besar kecilnya
amplitudo menunjukkan keadaan akson sepanjang perjalanan dari motor neuron/
kornu anterior sampai saraf motorik. Amplitudo menurun pada lesi motor neuron,
lesi radiks, lesi plesus, dan lesi perifer
- Durasi : diukur dari defleksi pertama sampai dengan titik dimana gelombang
tersebut memotong garis dasar kembali. Durasi menunjukkan kemampuan suatu
serabut saraf untuk menghantarkan impuls dalam waktu yang relative bersamaan.
- Jumlah fase : berapa kali gelombang melewati garis dasar.

Bagan 3 . Potensial aksi unit motor22


Pada penyakit neuropatik, lebih sedikit unit motor volunter yang berespon
pada dorongan sentral. Dapat ditemukan fibrilasi, gelombang positif tajam,
complex repetitive discharge dan fasikulasi.

14
Bagan 4 . Gambaran potensial aksi unit motor pada kelainan neuropatik22

Bagan 5. Gambaran potensial aksi unit motor pada kelainan myopatik22

Analisis aktivitas spontan berguna untuk mengerucutkan diagnosis


diferensial. Iritabilitas membran otot, dalam bentuk peningkatan aktivitas
insertional (lunjakan aktivitas elektriksaat insersi elektroda ke dalam otot),
potensial fibrilasi, dan gelombang positif tajam, adalah karakteristik beberapa
miopati seperti distrofi otot, proses inflamasi, toksik, nekrotik, dan kelainan
kongenital dan metabolik. Pada kelainan miotonik seperti distrofi miotonik,
miotonia kongenita, dan PMC tampak morfologi sama seperti fibrilasi dan
gelombang positif tajam, namun terdapat peningkatan dan penurunan ( wax and
wane ) pada frekuensi dan amplitudo. Hal ini juga dapat ditemukan pada miopati
inflamasi, miopati metabolik (ex: Pompe disease), dan miopati toksik. Terdapat
keadaan dimana aktivitas insertional normal berkurang yaitu pada miopati kronik
stadium lanjut. Ketika serat otot aktif digantikan dengan lemak atau jaringan ikat,
seperti pada distrofi otot atau miopati inflamasi yang sudah lama terjadi.23

15
Analisis morfologi potensial aksi unit motor adalah elemen kunci pada
EMG yang membantu mendiagnosis miopati. Pada proses miopati, terdapat
disfungsi serat otot, sehingga ukuran unit motor berkurang. Jumlah unit motor
tidak berkurang karena proses patologis terjadi pada akson distal. Hal ini
menghasilkan potensial aksi unit motor yang pendek, kecil, polifasik, temuan ini
disebut unit miopatik. Pada miopati, durasi dan amplitudo berkurang dan jumlah
fase meningkat. Pada miopati kronik, terdapat campuran aksi potensial unit motor
durasi singkat dan panjang.23
 Penapisan pada neonatus
Penyaringan bayi baru lahir untuk DMD adalah pertama-tama dimulai
pada pertengahan 1970-an melalui pengukuran konsentrasi creatine kinase dari
bercak darah kering. Sampel yang mengungkapkan suatu peningkatan konsentrasi
kreatin kinase kemudian diuji untuk mutasi gen distrofin. Penyaringan bayi baru
lahir untuk DMD telah dilakukan di beberapa negara, tetapi sebagian besar telah
dihentikan dan DMD saat ini termasuk dalam panel penyaringan yang disarankan,
karena terdapat keraguan pada sensitivitas dan spesifisitasnya. Namun, minat
untuk penyaringan bayi baru lahir telah dibangun karena terapi DMD terbukti
paling efektif jika mereka dimulai sebelum onset gejala.4

16
2.6. Diagnosis Diferensial

Pendekatan pada anak-anak dengan keterlambatan perkembangan motorik

Bagan 6. Alur diagnostik untuk anak-anak dengan keterlambatan


perkembangan motorik24

17
Penyebab keterlambatan perkembangan motorik dan kelemahan otot
kronik pada anak-anak kebanyakan berasal dari kelainan congenital yang muncul
beberapa saat setelah persalinan atau masa kanak-kanak awal. Kelainan dapat
berasal dari sistem saraf pusat, sistem saraf tepi, dan lain-lain.
 Kelainan pada sistem saraf pusat
Kelainan motor sentral muncul tanpa kelemahan progresif. Creatine kinase
serum jarang meningkat. Magnetic Resonance Imaging otak atau tulang belakang
diindikasikan pada anak-anak dengan peningkatan tonus dan dicurigai palsi
serebral, mikro atau makrosefalm atau keterlambatan atau kemunduran
neurokognitif.1
o Tumor otak
Dapat ditemukan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (sakit
kepala, muntah proyektil, defisit neurologis fokal). Kelemahan otot dapat
unilateral atau bilateral, fokal atau tidak fokal, ataksia, spastik, dan kehilangan
kemampuan untuk melakukan gerakan kompleks. Gangguan kognitif, persepsi
visual, dan sensoris dapat terjadi bersamaan dengan defisit motorik.25
o Palsi serebral
Palsi serebral secara klasik bermanifestasi berupa spastisitas, distonia, atau
athetosis, namun dapat juga berupa hipotonia. Anak-anak dengan palsi
serebral dapat memiliki riwayat kelainan perinatal dengan abnormalitas pada
pencitraan otak.13
o Tethered spinal cord
Kelainan neurologis yang terjadi akibat kompresi atau tarikan pada korda
spinalis distal. Manifestasi berupa hilangnya sensasi pada level dibawah lesi,
deformitas kaki, disfungsi usus dan atau kandung kemih, nyeri pinggang,
skoliosis, berkurangnya fungsi motorik, dan perubahan kulit berupa lesung di
punggung bawah.1
 Kelainan pada sistem saraf tepi
Kelainan motor perifer bersifat degeneratif dimana perkembangan yang
diharapkan terlambat atau mundur. Anak-anak dengan kelainan neuromuskular

18
biasanya datang keterlambatan motorik kasar, walaupun keterlambatan motorik
halus dan kognitif juga bisa ada.

Bagan 7. Alur diagnostik evaluasi anak-anak dengan tanda kelainan


neurologis atau neuromuskular1
Pengasuh melaporkan kekhawatiran tentang tonus otot, koordinasi,
kekuatan, dan ambulasi anak, serta pemberian makanan yang buruk atau lambat.
Pada semua kunjungan anak sehat, dokter harus meninjau tahap perkembangan
anak. Penggunaan alat penapisan yang diisi oleh pengasuh, seperti Ages and
Stages questionnaire atau Parents’ Evaluation of Developmental Status sebelum
kunjungan meningkatkan sensitivitas untuk mengidentifikasi keterlambatan
perkembangan. Meskipun keterlambatan neuromuskuler jarang merupakan
keadaan darurat, indikasi bendera merah untuk rujukan neurologi segera adalah
adanya fasikulasi lidah (menunjukkan atrofi otot tulang belakang), kehilangan

19
tonggak motorik, atau tingkat CK lebih besar dari tiga kali batas atas normal.
Creatine kinase serum sangat meningkat pada distrofi otot dan sedikit meningkat
atau normal pada atrofi otot spinal, neuropati, dan miopati kongenital.1
o Juvenille amyotrophic lateral sclerosis
Terdapat kombinasi gejala upper dan lower motor neuron. Gejala muncul
pada masa kanak-kanak awal sebelum umur 25 tahun. Gejala berupa
spastisitas wajah, disartria, dan gaya berjalan spastik. Tanda disfungsi UMN
seperti tanda Babinski, spasme otot, dan hiperrefleksia. Tanda disfungsi LMN
berupa atrofi, kelemahan, dan kedutan otot.26
o Atrofi otot spinal
Kelemahan otot distal, refleks tendon dalam berkurang atau absen.
Biasanya muncul saat masa infant awal, bermanifestasi berupa hipotonia
berat.24 Pasien tidak dapat menahan kepalanya, lambat saat merangkak, tidak
bisa memberikan beban pada kakinya, tremor tangan, sering jatuh.1
o Miastenia gravis
Kelemahan generalisata berhubungan dengan kelelahan melibatkan otot
levator palpebra, ekstraokular, wajah, lidah, mastikasi, palatal, dan faring
sehingga bermanifestasi ptosis, diplopia, diplegia wajah, disartria, kesulitan
mengunyah, dan disfagia. Tidak ada gangguan sensasi.12
o Myopati inflamasi (dermatomiositis)
Nyeri otot dan kelemahan otot proksimal, berhubungan dengan ruam pada
wajah dan permukaan ekstensor anggota gerak, tidak ada gangguan sensasi.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan peningkatan laju endap darah, CK
serum, dan leukositosis. Pada elektromiogram tampak perubahan miopatik.27
o Myopati metabolik
Gejala muncul saat beraktivitas, tidak pada istirahat, nyeri otot,
myoglobinuria. Manifestasi pada masa kanak-kanak atau remaja, CK normal
atau sedikit naik. EMG menunjukkan kelainan myopatik.27 Beberapa kelainan
memiliki fitur klinis yang khas, misalnya pada Pompe disease terdapat
pembesaran lidah, jantung, hati, akibat penyimpanan glikogen.14

20
2.7. Tata Laksana
Manajemen DMD bersifat multidisiplin, masukan dari berbagai spesialis
dan intervensi yang perlu dilakukan bergantung pada progresi penyakit.

Bagan 8 . Stadium penyakit dan konsiderasi pelayanan pasien DMD4

21
 Manajemen neuromuskular
Beberapa panel telah menemukan perawatan yang ditujukan untuk
mengoptimalkan kekuatan dan fungsi otot, yang meliputi intervensi farmakologis,
seperti glukokortikoid dan intervensi terapi fisik yang melibatkan aktivitas dan
latihan yang ringan dan manajemen sistem muskuloskeletal untuk mencegah /
meminimalkan kontraktur dan kelainan bentuk.21
Steroid
Glukokortikoid adalah satu-satunya obat saat ini tersedia yang
memperlambat penurunan kekuatan dan fungsi otot pada DMD yang juga
mengurangi risiko skoliosis dan menstabilkan fungsi paru. Deflazacort belum
disetujui penggunaannya oleh CDC, tapi memiliki efektifitas yang sama.
Tujuan penggunaan glukokortikoid adalah mempertahankan ambulasi dan
meminimalkan komplikasi pernapasan, jantung, dan ortopedi dengan
mempertimbangkan risiko terkait dengan pemberian glukokortikoid jangka
panjang. Sebuah uji selama 6 bulan pada 103 pasien DMD menunjukkan kekuatan
otot rata-rata meningkat 11 persen dengan pengobatan prednisone dibandingkan
dengan plasebo. Waktu yang dibutuhkan untuk menaiki tangga lebih cepat 43%
pada pasien dengan terapi prednisone dibandingkan dengan plasebo (4 detik, 7
detik). Kekuatan otot meningkat secara signifikan setelah 10 hari terapi,
maksimum pada 3 bulan terapi, dan dipertahankan pada bulan keenam.29
o Inisiasi terapi glukokortikoid
Klinisi harus mengenali tiga fase fungsi motor dalam DMD (progresi,
plateau, dan penurunan). Jadwal imunisasi nasional yang direkomendasikan
harus lengkap dan kekebalan terhadap varisela harus didapatkan sebelum
steroid dimulai. Inisiasi pengobatan glukokortikoid tidak direkomendasikan
untuk anak yang masih dalam tahap mendapatkan keterampilan motorik,
terutama ketika dia berusia di bawah 2 tahun. Anak tipikal dengan DMD terus
berkembang dalam keterampilan motorik hingga usia 4-6 tahun, meskipun
dengan kecepatan yang lebih lambat dari rekan-rekannya. Penggunaan
glukokortikoid harus didiskusikan pada tahap ini, untuk mengantisipasi fase
plateau dalam keterampilan motorik dan penurunan selanjutnya. Fase plateau,

22
yang biasanya bertahan hanya beberapa bulan, dapat diidentifikasi ketika tidak
ada kemajuan lagi pada keterampilan motorik. Anak yang membutuhkan
waktu lebih lama untuk diperiksa, kehilangan keterampilan (misalnya seperti
menaiki tangga), menunjukkan daya tahan yang kurang, atau lebih sering
jatuh, berada dalam fase penurunan. Setelah fase plateau diidentifikasi dengan
jelas, biasanya pada usia 4-8 tahun, inisiasi glukokortikoid harus diusulkan,
kecuali ada alasan substansial (seperti faktor risiko utama yang sudah ada
sebelumnya untuk efek samping) untuk menunggu sampai fase penurunan.
Memulai steroid saat fase penurunan atau ketika ambulasi masih
direkomendasikan, tetapi manfaatnya lebih terbatas. Penggunaan
glukokortikoid pada pasien yang sudah menerima glukokortikoid saat masih
bisa ambulasi dan telah kehilangan ambulasi tetap disarankan untuk
mempertahankan kekuatan anggota gerak atas dan mengurangi progresi
skoliosis, dan memperlambat perburukan fungsi respirasi dan jantung. Indikasi
untuk inisiasi glukokortikoid pada pasien tanpa ambulasi bersifat relatif.
Namun, efek dari faktor risiko yang sudah ada sebelumnya, seperti masalah
perilaku, risiko patah tulang, atau obesitas; harus lebih dipertimbangkan.4

23
Bagan 9. Alur pemberian glukokortikoid pada DMD4
o Regimen dan dosis glukokortikoid
Penggunaan glukokortikoid setiap hari lebih dipilih dibandingkan regimen
alternatif (dosis tinggi pada akhir pekan, selingan hari, 10 hari konsumsi
dilanjutkan 10-20 hari tanpa konsumsi). Prednison (prednisolon) dan
deflazacort dipercaya untuk bekerja dengan cara yang sama dan tidak ada
yang lebih superior dalam efeknya pada mengubah penurunan motorik,
pernapasan, atau fungsi jantung pada DMD. Dosis awal yang dianjurkan untuk
prednison untuk anak laki-laki ambulasi adalah 0,75 mg / kgbb setiap hari dan
untuk deflazacort adalah 0,9 mg / kgbb setiap hari, diberikan pada pagi hari.
Pasien dapat mengalami masalah perilaku sementara (misalnya, hiperaktif,
labilitas emosional) selama beberapa jam setelah obat diberikan. Untuk anak-
anak ini, administrasi obat di sore hari setelah sekolah dapat dilakukan. Secara
umum, dosis glukokortikoid yang lebih tinggi tidak lebih efektif. Dosis efektif
minimum yang menunjukkan beberapa manfaat (meskipun tidak secara

24
maksimal) adalah 0,3 mg / kgbb setiap hari untuk prednisone. Dosis yang
biasa digunakan untuk pasien yang terus menggunakan steroid dari fase
ambulasi adalah 0,3-0,6 mg / kgbb sehari. Untuk pasien rawat jalan, dosis
glukokortikoid meningkat seiring anak bertumbuh, asalkan efek samping
dapat dikelola dan ditoleransi, sampai pasien mencapai berat sekitar 40 kg,
dengan prednison sekitar 30-40 mg / hari. Remaja yang tidak ambulasi yang
sudah menerima terapi glukokortikoid kronis biasanya dengan berat badan di
atas 40 kg, dosis perkilogram berat badan diturunkan menjadi 0,3–0,6 mg / kg
perhari prednison. Pendekatan lain adalah tidak meningkatkan dosis
glukokortikoid seiring bertumbuhnya anak, mempertahankan dosis awal.
Efektivitas dan efek samping tidak diketahui.

 Manajemen psikososial
Penilaian psikososial
Menilai status emosi, neurokognitif, bicara dan bahasa, kemampuan
sosialisasi pasien.21
Intervensi psikososial
Psikoterapi
• Pelatihan manajemen orang tua
• Terapi individu: direkomendasikan untuk perilaku internalisasi (misalnya
rendah diri, depresi, gelisah, gangguan obsesif-kompulsif, dan kesulitan
penyesuaian)
• Terapi kelompok: direkomendasikan untuk pasien dengan defisit
keterampilan sosial
• Terapi keluarga: direkomendasikan untuk penyesuaian dan mengatasi
kesulitan dan konflik orang tua-anak
Intervensi farmakologis
• Serotonin re-uptake inhibitor selektif untuk depresi, kecemasan, obsesif-
kompulsif
• Penstabil mood untuk agresi, kemarahan / disregulasi emosional
Intervensi interaksi sosial

25
• Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan DMD di antara personil
sekolah
• Pelatihan keterampilan sosial (sesuai kebutuhan untuk mengatasi
kekurangan di bidang ini)
• Olah raga yang dimodifikasi / disesuaikan, perkemahan musim panas,
dan kelompok / program remaja
• Grup ekstrakurikuler
• Mempromosikan kemandirian pasien dan advokasi diri
Intervensi pendidikan
• Penilaian neuropsikologis saat diagnosis dan sebelum masuk sekolah
• Program pendidikan individual21

 Rehabilitasi
Penilaian
Penilaian dilakukan tiap 6 bulan, yang dinilai adalah rentang gerak pasif,
ekstensibilitas otot, postur tubuh, kekuatan, fungsi, kualitas hidup, dan partisipasi
dalam kegiatan normal kehidupan sehari-hari.4
Intervensi
- Pencegahan kontraktur dan kelainan bentuk
• Peregangan harian 4-6 kali per minggu; peregangan teratur di pergelangan kaki,
lutut, dan pinggul; peregangan pergelangan tangan, tangan, dan
• Intervensi ortotik, splinting, casting, positioning, dan peralatan:
• AFO untuk peregangan di malam hari
• AFO untuk peregangan atau pemosisian siang hari pada fase non
ambulasi
• Splint pergelangan tangan atau tangan untuk peregangan — biasanya
dalam fase non ambulasi
• Casting serial — dalam fase ambulasi atau non ambulasi
• Alat untuk membantu berdiri
• KAFO dengan sendi lutut yang terkunci — opsi untuk fase ambulasi
akhir dan non ambulasi

26
• Tempat duduk khusus di kursi roda (kursi solid, punggung solid, ,
penopang tubuh lateral, adduktor, dan sandaran kepala)
• Komponen pemosisian daya pada motor
kursi roda (miring, berbaring, mengangkat sandaran kaki, berdiri
dukungan, dan ketinggian kursi yang bisa disesuaikan)
Latihan dan aktivitas
- Aktivitas atau olahraga aerobik teratur (misalnya, berenang dan
bersepeda) dengan bantuan sesuai kebutuhan, menghindari latihan daya
tahan tinggi, pemantauan untuk menghindari aktivitas berlebihan,
mementingkan istirahat dan konservasi energi.
- Pencegahan dan manajemen jatuh dan fraktur
• Meminimalkan risiko jatuh di semua lingkungan
• Manajemen fraktur tulang panjang dan pemberian rehabilitasi terkait
untuk mempertahankan ambulasi dan / atau kemampuan berdiri yang
didukung
- Pencegahan dan manajemen nyeri
- Pencegahan rasa sakit dan manajemen komprehensif, sesuai kebutuhan,
sepanjang hidup
 Manajemen respirasi
Komplikasi pernapasan merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada orang dengan DMD. Komplikasi termasuk kelelahan otot
pernapasan, penyumbatan lendir, atelektasis, pneumonia, dan gagal napas. Jika
dibiarkan dan tidak diobati, pasien berisiko dispnea berat, masuk rumah sakit
dalam jangka waktu panjang karena atelektasis atau pneumonia, dan kematian
karena henti napas. Pendekatan antisipatif terhadap manajemen meliputi
pemantauan fungsi otot pernapasan dan tepat waktu, batuk yang dibantu, ventilasi
yang dibantu pada malam hari, dan ventilasi pada siang hari. Terapi inti ini dapat
mengurangi komplikasi pernapasan, meningkatkan kualitas hidup, dan
memperpanjang harapan hidup. Pasien biasanya harus menggunakan sebagian
besar atau semua terapi inti ini pada usia 18-21 tahun.21

27
Bagan 10. Manajemen respirasi pada DMD21

 Manajemen kardiologi
Komplikasi kardiovaskular adalah penyebab utama morbiditas dan
mortalitas terkait penyakit di antara individu dengan DMD. Seiring penyakit
berlanjut, miokardium gagal memenuhi tuntutan fisiologis dan gagal jantung
klinis berkembang. Kegagalan miokardium juga berisiko menyebabkan kelainan
irama yang mengancam jiwa. Strategi proaktif diagnosis dan perawatan sejak dini
sangat penting untuk memaksimalkan durasi dan kualitas hidup.21

28
Bagan 11. Manajemen kardiologi pada DMD21
Edukasi keluarga
Anggota keluarga dari seorang individu dengan DMD harus menerima
konseling genetik untuk menetapkan siapa yang berisiko menjadi pembawa.
Pengujian pembawa disarankan untuk kerabat perempuan dari anak laki-laki atau
laki-laki yang telah secara genetik dikonfirmasi memiliki DMD. Sekali
diidentifikasi, pembawa perempuan memiliki beberapa pilihan reproduksi untuk
dipertimbangkan, termasuk diagnosis genetik preimplantasi atau tes genetik
prenatal melalui pengambilan sampel dari korionik villus atau cairan ketuban.
Pembawa perempuan juga perlu penilaian medis dan tindak lanjut.4

2.8. Prognosis

Pasien dengan DMD harus menggunakan kursi roda pada umur 13 tahun
dan meninggal pada masa akhir remaja atau umur 20 tahunan akibat insufisiensi
respirasi atau kardiomiopati, hanya sedikit pasien DMD yang bertahan lebih dari
umur 30 tahun. Sekitar 10-15% pasien DMD dapat meninggal akibat gagal
jantung kiri. Pada suatu penelitian di Itali, ditunjukkan bahwa terdapat perbaikan
tingkat kelangsungan hidup pada umur 20 tahun pada pasien DMD yang lahir 10
tahun kemudian. Penelitian tersebut membagi pasien DMD menjadi tiga grup,

29
grup pertama adalah pasien DMD yang lahir pada kisaran waktu 1961-1970, grup
kedua pada 1971-1980, dan grup ketiga pada 1981-1990. Presentase pasien yang
bertahan hidup sampai umur 20 tahun adalah 23,3% pada grup 1, 54% pada grup
2, dan 59,8% pada grup 3. Umur rata-rata terjadinya kematian akibat
kardiomiopati adalah umur 19,6 tahun (kisaran 13,4-27,5) dengan peningkatan
umur pada 15 tahun terakhir. Rata-rata usia saat kematian akibat insufisiensi
respirasi adalah 17,7 tahun pada pasien tanpa bantuan ventilator dan 27,9 tahun
pada pasien dengan ventilator.30

30
KESIMPULAN

Duchenne muscular dystrophy (DMD) adalah distrofi otot paling parah


dan paling banyak ditemukan pada anak-anak, menyerang sekitar 1 dari 3.500-
10.000 anak laki-laki. Diagnosis DMD sering terlambat bertahun-tahun setelah
gejala muncul, menyebabkan hilangnya kesempatan untuk terapi dan konseling
genetik. Prevalensi DMD pada populasi umum di dunia adalah sekitar 3: 100.000
jiwa. Duchenne muscular dystrophy (DMD) disebabkan oleh mutasi pada gen
yang mengkode distrofin, protein sitoskeletal 427-kDa. Keterlibatan otot dalam
DMD ditandai dengan siklus berulang dari cedera, peradangan dan perbaikan
yang menghasilkan nekrosis progresif dan penggantian sel otot dengan lemak dan
jaringan fibrosa.
Pasien tampak normal saat lahir dan mulai menunjukkan tanda-tanda
kecerobohan pada usia 3-5 tahun. Diagnosis sering dibuat pada usia 4, ketika
kelemahan otot proksimal terlihat (tanda Gower's). Pasien kesulitan untuk bangkit
dari lantai antara usia 7 - 9 tahun, diikuti oleh ketidakmampuan untuk berjalan
pada usia 13 tahun. Kelainan jantung ditemukan setelah usia 10 tahun. Tingkat
keparahan dan onset kardiomiopati bervariasi dan tidak terkait dengan mutasi gen
distrofin individu. Otot pernafasan mengalami fibrosis, yang menyebabkan
insufisiensi pernapasan. Keterlambatan dalam penguasaan bahasa, gangguan
kognitif, dan keterbelakangan mental juga diamati. Kematian terjadi karena
kegagalan jantung atau respirasi.
Proses diagnostik biasanya dimulai pada anak usia dini setelah tanda-tanda
dan gejala sugestif ditemukan. Pengujian penghapusan dan duplikasi gen distrofin
biasanya merupakan tes konfirmasi pertama. Jika pengujian genetik tidak
mengkonfirmasi diagnosis klinis DMD, maka sampel biopsi otot harus diuji.
Tata laksana DMD bersifat multidisiplin dan melibatkan banyak aspek.
Terdapat perbaikan tingkat kelangsungan hidup pada pasien DMD. Diagnosis dini
harus segera agar pasien DMD dapat menerima manajemen yang sesuai.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Lurio JG, Peay HL, Mathews KD. Recognition and management of motor
delay and muscle weakness in children. American family physician.
2015;91:38-44.

2. Henriette Van Ruiten KB, Michela Guglieri. State of the art advances in
duchenne muscular dystrophy 2016:EMJ. 2017;2:90-99.

3. Ruiten HJ, Straub V, Bushby K, Guglieri M. Improving recognition of


duchenne muscular dystrophy: a retrospective case note review. Archives
of disease in childhood. 2014;99:1074-7.

4. Birnkrant DJ, Bushby K, Bann CM, Apkon SD, Blackwell A, Brumbaugh


D, et al. Diagnosis and management of duchenne muscular dystrophy, part
1: diagnosis, and neuromuscular, rehabilitation, endocrine, and
gastrointestinal and nutritional management. The Lancet Neurology.
2018;17:251-67.

5. Hasan Machfoed M, Besin V, Basuki M, Ferlina Lasmono S. Duchenne


muscular dystrophy: overview and future challenges2017. p.144-9

6. Thong MK, Bazlin RI, Wong KT. Diagnosis and management of


Duchenne muscular dystrophy in a developing country over a 10-year
period. Developmental medicine and child neurology. 2005;47(7):474-7.

7. Siregar UP, Wedhanto S. Duchenne Muscular Dystrophy. Journal of the


Indonesian Medical Association. 2007(Vol. 57 No. 9 September 2007).

8. Nowak KJ, Davies KE. Duchenne muscular dystrophy and distrofin:


pathogenesis and opportunities for treatment. EMBO reports.
2004;5(9):872-6.

9. Deconinck N, Dan B. Pathophysiology of duchenne muscular dystrophy:


current hypotheses. Pediatric neurology. 2007;36(1):1-7.

10. Torriani M, Townsend E, Thomas BJ, Bredella MA, Ghomi RH, Tseng
BS. Lower leg muscle involvement in Duchenne muscular dystrophy: an
MR imaging and spectroscopy study. Skeletal radiology. 2012;41(4):437-
45.

11. Ehmsen J, Poon E, Davies K. The distrofin-associated protein complex.


Journal of cell science. 2002;115(Pt 14):2801-3.
12. Cardamone M, Darras BT, Ryan MM. Inherited myopathies and muscular
dystrophies. Seminars in neurology. 2008;28(2):250-9.

32
13. McDonald CM. Clinical approach to the diagnostic evaluation of
hereditary and acquired neuromuscular diseases. Physical medicine and
rehabilitation clinics of North America. 2012;23(3):495-563.

14. Patterson MC, Gomez MR. Muscle disease in children: a practical


approach. Pediatrics in review. 1990;12(3):73-82.

15. Wood CL, Straub V, Guglieri M, Bushby K, Cheetham T. Short stature


and pubertal delay in Duchenne muscular dystrophy. Archives of disease
in childhood. 2016;101(1):101-6.

16. Mendell JR, Shilling C, Leslie ND, Flanigan KM, al-Dahhak R, Gastier-
Foster J, et al. Evidence-based path to newborn screening for Duchenne
muscular dystrophy. Annals of neurology. 2012;71(3):304-13.

17. Sanyal SK, Johnson WW, Thapar MK, Pitner SE. An ultrastructural basis
for electrocardiographic alterations associated with Duchenne's
progressive muscular dystrophy. Circulation. 1978;57(6):1122-9.

18. Spurney CF. Cardiomyopathy of Duchenne muscular dystrophy: current


understanding and future directions. Muscle & nerve. 2011;44(1):8-19.

19. Oda T, Shimizu N, Yonenobu K, Ono K, Nabeshima T, Kyoh S.


Longitudinal study of spinal deformity in Duchenne muscular dystrophy.
Journal of pediatric orthopedics. 1993;13(4):478-88.

20. Banihani R, Smile S, Yoon G, Dupuis A, Mosleh M, Snider A, et al.


Cognitive and Neurobehavioral Profile in Boys With Duchenne Muscular
Dystrophy. Journal of child neurology. 2015;30(11):1472-82.

21. Bushby K, Finkel R, Birnkrant DJ, Case LE, Clemens PR, Cripe L, et al.
Diagnosis and management of Duchenne muscular dystrophy, part 1:
diagnosis, and pharmacological and psychosocial management. The
Lancet Neurology. 2010;9(1):77-93.

22. Mills KR. The basics of electromyography. Journal of neurology,


neurosurgery, and psychiatry. 2005;76 Suppl 2(Suppl 2):ii32-ii5.

23. Emeryk-Szajewska B, Kopec J. Electromyographic pattern in Duchenne


and Becker muscular dystrophy. Part I: Electromyographic pattern in
subsequent stages of muscle lesion in Duchenne muscular dystrophy.
Electromyography and clinical neurophysiology. 2008;48(6-7):265-77.

24. H. Noritz G, Murphy N. Motor Delays: Early Identification and


Evaluation2013. e2016-e27 p.

33
25. Kushner DS, Amidei C. Clinical implications of motor deficits related to
brain tumors†. Neuro-Oncology Practice. 2015;2(4):179-84.

26. Kumar S, Aga P, Gupta A, Kohli N. Juvenile amyotrophic lateral


sclerosis: Classical wine glass sign on magnetic resonance imaging.
Journal of pediatric neurosciences. 2016;11(1):56-7.

27. Saguil A. Evaluation of the patient with muscle weakness. American


family physician. 2005;71(7):1327-36.

28. Mendell JR, Moxley RT, Griggs RC, Brooke MH, Fenichel GM, Miller
JP, et al. Randomized, double-blind six-month trial of prednisone in
Duchenne's muscular dystrophy. The New England journal of medicine.
1989;320(24):1592-7.

29. Griggs RC, Moxley RT, 3rd, Mendell JR, Fenichel GM, Brooke MH,
Pestronk A, et al. Prednisone in Duchenne dystrophy. A randomized,
controlled trial defining the time course and dose response. Clinical
Investigation of Duchenne Dystrophy Group. Archives of neurology.
1991;48(4):383-8.

30. Passamano L, Taglia A, Palladino A, Viggiano E, D'Ambrosio P, Scutifero


M, et al. Improvement of survival in Duchenne Muscular Dystrophy:
retrospective analysis of 835 patients. Acta myologica : myopathies and
cardiomyopathies : official journal of the Mediterranean Society of
Myology. 2012;31(2):121-5

34

Anda mungkin juga menyukai