2020
2
PROPOSAL TESIS
2020
2
3
LEMBAR PENGESAHAN
Oleh :
Pembimbing I,
NIP. 196306171989021005
Pembimbing II,
NIP. 198104042012122006
Mengetahui,
NIP. 19581101198610100
3
4
NIM : 011618126304
UNIVERSITAS AIRLANGGA
Panitia penguji,
4
5
5
DAFTAR ISI
SAMPUL DEPANi
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penelitian 3
1.3.1 Tujuan Umum 3
1.3.2 Tujuan Khusus 3
1.4 Manfaat Penelitian 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Definisi LPBT 5
2.2 Anatomi dan Patofisiologi LPBT 5
2.3 Epidemiologi LPBT 8
2.4 Klasifikasi LPBT………...............….....................................................9
2.6 Patoanatomi 12
2.7 Anamnesis / Riwayat Penyakit Lesi pleksus brakialis traumatika
13
2.8 Pemeriksaan Fisik Lesi pleksus brakialis traumatika 14
2.9 Pemeriksaan Penunjang 16
2.10 Penatalaksanaan 18
2.11 DASH questionnare 23
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL 25
3.1 Kerangka Konseptual 25
3.2 Hipotesis 26
BAB IV METODE PENELITIAN 27
4.1 Rancangan Penelitian 27
4.2 Populasi dan Besar Sampel 27
4.2.1 Populasi 27
4.2.2 Sampel 27
4.2.3 Besar Sampel 27
4.2.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 28
4.2.5 Teknik Pengambilan samperl 28
4.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel 28
4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian 30
4.5 Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data Penelitian 30
4.6 Cara Pengolahan dan Analisis Data 32
DAFTAR PUSTAKA 31
ii
DAFTAR GAMBAR
ii
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Jenis Saraf Yang Sering Digunakan Sebagai Donor Dan Resipien19
Tabel 2.2 Sejarah pemindahan otot21
Tabel 4.1 Variabel dependen30
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
daerah leher dan bahu berakibat pada kelumpuhan otot – otot bahu , siku ,
pergelangan tangan dan jari jari tangan. Anyaman saraf tepi di daerah leher yang
dibenyuk oleh akar saraf cervical 5,6,7,8 dan thoracal 1, dapat mengalami
dari cedera saraf perifer merupakan cedera pleksus brakhialis, dimana 80-90%
brakhialis banyak ditemukan pada rentang usia 15-25 tahun (Samania , 2012 )
tindakan operasi terhadap lesi pleksus brakialis sebanyak 423 pasien dengan
2019 )
Dampak dari lesi pleksus brakialis traumatika pada pasien sangat besar
pada berbagai aspek kehidupan karena akibat dari kelumpuhan anggota gerak atas
tentunya akan berdampak pada hilangnya fungsi aktivitas sehari hari sehingga
pasien tidak dapat bekerja dengan baik sehingga berdampal pada kehidupan
1
2
keluarga dan sosial tidak kalah berat juga terhrjadi dalam kehidupan pasien
2020)
oleh beberapa pakar pada masa 40 -50 tahun lalu sehingga muncul paradigma
pada masa lampau bahwa penatalaksanan untuk lesi pleksus brakialis cenderung
operatif yang dilakukan sebelum 1 tahun memliki kemampuan restorasi yang baik
sedang jika dilakukan lebih dari 1 tahun bahkan tertunda hingga 2 tahun hasilnya
sangat buruk karena sel otot telah rusak dan tidak ada harapan untuk pulih
kembali
Saat ini kemajuan dalam pengetahuan akan fisiologi saraf perifer dan
dalam tehnik pembedahan mikro telah memberikan hasil yang baik. Pilihan
pembedahan modern meliputi cangkok saraf pada akar saraf yang sehat, transfer
saraf, Free Functional Muscle Transfer, tendon transfer dan kombinasi dari
resipien yang mengalami cedera. Hal ini merupakan kemajuan besar dalam teknik
Transfer saraf pada lesi pleksus brakialis traumatika pada tipe C5-C6 yang
berakibat pada gangguan dalam abduksi bahu dan fleksi siku dapat dilakukkan
3
gangguan dalam gerakan abduksi bahu dan fleksi siku serta ditambah gerakan
dalam ekstensi siku dan ekstensi pergelangan tangan dapat dilakukan dengan
menambah transfer saraf pada prenikus ke saraf supraskapular dan saraf spinal
Untuk lesei pleksus brakialis trumatika tipe C8-Th yang berakibat pada
gangguan fungsi fleksi dan ekstemsi pada jari jari 1 dapat dikakukan transfer saraf
intra osesus anterior distal ke fasikel saraf ulnaris dan juga cabang saraf medianus
mengembalikan fungsi klinis dan tercapainya kualitas hidup yang optimal. Hasil
akhir tindakan bergantung dari luas lesi dan fungsi yang tersisa, salah satu fungsi
penting yang diharapkan kembali adalah fleksi siku yang merupakan prioritas
terapi, dilanjutkan dengan restorasi fungsi bahu dan tangan. (Bhandari , 2016)
dengan penilaian luaran klinis dan fungsional sebagai follow-up pasca operasi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dengan tepat keluaran klinis dan
fungsional pasca operasi transfer saraf pada pasien dengan LPBT dengan
penilaian fungsional dan klinis dalam hal fungsi sensorik , motorik, VAS, DASH
sensorik , motorik , VAS, DASH Score, SF36 , Mini Score , EMG NCV pada
Evaluasi hasil fungsional dan klinis dalam hal fungsi sensoris, motorik,
VAS, DASH Score, SF36 , Mini Score dan EMG-NCV pada penderita
Soetomo Surabaya
Score, SF36 dan mini score dan EMG-NV pada penderita LPBT
Surabaya.
TINJAUAN PUSTAKA
bertautan dan berada di leher, dada bagian atas, dan ketiak. Saraf yang menyusun
pleksus brakialis berperan dalam pergerakan dan sensor tangan, lengan, serta
bahu. Lesi brachial plexus adalah kerusakan pada kelompok saraf tersebut. Lesi
ini dapat berupa saraf tertekan, tertarik, robek, atau putus. Gejala penyakit ini
Brachial pleksus tersusun atas lima saraf yang memiliki fungsi berbeda-
beda. Lesi pada saraf yang satu akan memberikan keluhan yang berbeda dengan
lesi pada saraf lainya. Lesi brachial plexus tingkat ringan umum terjadi pada atlet
yang banyak melibatkan adu badan antarpemain, seperti pegulat. Namun kondisi
ini juga bisa dialami oleh bayi ketika proses kelahiran. Sementara lesi brachial
7
8
oleh otot skalena anterior anterior, otot skalena tengah posterior dan batas superior
iga pertama inferior. Pleksus brakialis melintasi segitiga posterior leher, dibentuk
oleh klavikula inferior, otot trapezius lateral dan perbatasan posterior otot
memasuki aksila untuk memasok anggota tubuh bagian atas. Pleksus brakialis
cabang terminal. Lima akar termasuk cabang anterior dari 4 akar saraf tulang
belakang leher terendah (C5-C8) dan akar saraf toraks pertama (T1). Dua pasang
akar saraf memanjang dari setiap segmen sumsum tulang belakang; akar ventral
(anterior) dan dorsal (posterior). Akar ventral mengandung serat motor yang
keluar dari sumsum tulang belakang. Akar dorsal menyampaikan serat sensorik
yang berasal dari ganglion akar dorsal dan memasuki sumsum tulang belakang.
Akar ventral dan punggung menyatu di luar ganglion, dan menjadi saraf tulang
Akar dorsal dan ventral ini terdiri dari rootlets, yang didefinisikan pada
magnetic resonance imaging (MRI) sebagai 3 atau 4 bandlet akar pada akar atas
(C5-C7) dan 2 band pada akar ower (C8, T1) 22). Pada saat akar ventral dan
diperpanjang dan membentuk selongsong akar. Lengan akar melekat pada akar
ventral dan ganglion tulang belakang, dan membentuk selubung saraf. Untuk
alasan ini, tidak ada perluasan ruang cairan serebrospinal (CSF) di luar foramen
bergabung dan membentuk 3 batang; atas, tengah dan bawah. 2 akar atas (C5, C6)
bergabung ke batang atas pada titik Erb. Root C7 tengah dilanjutkan sebagai trunk
tengah. 2 akar bawah (C8, T1) bergabung dan membentuk batang bawah. Batang-
batang ini membelah menjadi divisi anterior-posterior (AP) tepat di atas klavikula.
Tali lateral dibuat oleh divisi anterior batang atas dan tengah, dan medial cord
dibentuk oleh kelanjutan divisi anterior batang bawah. Pembagian posterior setiap
hubungan mereka dengan bagian kedua dari arteri aksila. Tali lateral dibagi
menjadi dua cabang terminal; saraf muskulokutaneus dan akar lateral saraf
median yang disebut kontribusi sensorik. Tali medial dibagi menjadi saraf ulnaris
dan akar medial saraf medianus, yaitu 'kontribusi motorik'. Tali posterior dibagi
ditemukan pada anak-anak dan orang dewasa. Prevalensi lesi Pleksus Brakialis
pasien dewasa pada tahun 1900-an untuk populasi Amerika Utara adalah 1,2%.
LPBT paling sering ditemukan pada orang dewasa muda yang sehat, usia 14 - 63
tahun, dengan 50% pasien berusia 19 - 34 tahun pada pasien laki-laki sebesar 89%
20% dari lesi saraf perifer merupakan lesi pleksus brakhialis, serta 80-90% lesi
tahun.6,7,8 LPBT telah terbukti terjadi 44% hingga 70% dengan lesi traumatis,
seperti kecelakaan sepeda motor, kegiatan olahraga, atau bahkan di tempat kerja.
Dengan 22% lesi motor dan sekitar 4,2% mengalami kerusakan pleksus.3Sekitar
Kira-kira 75% dari lesi ini melibatkan lesi seluruh pleksus (C5-T1), di samping
itu, 20% hingga 25% dari lesi melibatkan kerusakan pada roots saraf dari C5
melalui C7 dan 2% sampai 35% dari lesi adalah lesi supraklavikula untuk C8 dan
T1. Lesi panplexal biasanya melibatkan ruptur C5-C6 disertai avulsi roots C7-T1.
saraf. Ada beberapa sistem klasifikasi yang berbeda untuk menilai tingkat
keparahan saraf dan lesi pleksus brakialis. Sebagian besar sistem berusaha untuk
Seddon, dirancang pada tahun 1943, terus digunakan, dan didasarkan pada tiga
jenis utama lesi serat saraf, dan apakah ada kelangsungan saraf. Skema klasifikasi
operasi diperlukan atau tidak dengan menentukan pola dari trauma sarafnya.
Pada lesi postganglionik, baik motorik dan sel saraf sensorik telah
terganggu sehingga akan ada kelainan pada potensial aksi motorik dan
Pada lesi preganglionic, saraf telah avulsi dari spinal cord sehingga
memisahkan serabut saraf motoric dari badan sel motoric di sel tanduk
anterior (anterior horn cell). Serabut sensorik dan badan sel masih
sendiri dibagi menjadi 3, yaitu lesi pada C5 dan C6 atau cabang atas (Erb Palsy)
yang merupakan 20%-25% lesi pleksus brakhialis; lesi pada C8 dan T1 atau
cabang bawah (Klumpke palsy) yang lebih jarang terjadi, hanya sekitar 0,6-3,0%
kejadian dari lesi pleksus brakhialis; dan yang tersering pada lesi supraklavikula
adalah keterkaitan secara komplit dari seluruh serabut saraf yang merupakan 75-
tidak umum terjadi. Serabut dan batang saraf lebih mudah terdampak
dibandingkan dengan kord dan cabang terminal. Pada tingkat zona supraklavikula,
lesi avulsi diamati setelah kepala dan leher berpaling ke lateral dengan keras dari
bahu ipsilateral, mengakibatkan gangguan serabut saraf C5, C6, dan C7 atau
gangguan batang atas. Hal ini umumnya terjadi pada kasus kecelakaan seperti
13
jatuh dengan bahu menumpu badan (Christensen et al. 2014; Sakellariou et al.
2014)
Lesi avulsi juga dapat diamati dalam kasus traksi kuat pada ekstremitas
atas. Ketika ekstremitas atas abduksi lebih dari tingkat kepala dengan kekuatan
yang cukup, lesi avulsi serabut C8-T1 atau batang bawah mungkin terjadi. Lesi
trauma energi tinggi di daerah bahu. Lesi ini dapat disertai ruptur arteri aksilaris.
Hal ini dapat terjadi pada kondisi seperti lengan yang menahan diri agar tidak
jatuh, atau lengan yang ditarik dengan kekuatan yang cukup besar (Christensen et
Avulsi serabut saraf terjadi pada 75% kasus lesi supraklavikular. Ada dua
mekanisme untuk lesi avulsi: perifer dan sentral. Lesi avulsi perifer lebih sering
terjadi. Mekanisme perifer terjadi ketika kekuatan traksi pada lengan lebih besar
dari penyangga fibrous di sekitar serabut-serabut saraf. Root anterior dapat avulsi
dengan atau tanpa serabut-serabut saraf posterior. Kantong epidural dapat robek
tanpa avulsi komplit dari serabut saraf. Konus epidural bergeser masuk ke dalam
kanal foramen pada avulsi perifer. Serabut saraf C5 dan C6 memiliki rekatan
fascia yang kuat pada tulang belakang dan tidak mudah avulsi jika dibandingkan
Mekanisme sentral dari avulsi serabut saraf merupakan hasil dari spinal
signifikan trauma servikal yang terjadi. Lekukan pada spinal cord di dalam kanalis
medularis menginduksi terjadinya vulsi pada serabut saraf. Serabut saraf tetap
terjaga dalam foramen dan selaput epidural tidak ruptur (Moran et al. 2005).
kontrol otot di lengan, tangan, atau pergelangan tangan, dan kurangnya sensasi di
brakialis, yang paling umum adalah kompresi atau peregangan saraf. Bayi,
terlibat. Bentuk lesi yang paling parah adalah avulsi roots saraf, yang
dampak kecepatan tinggi yang terjadi selama kecelakaan kendaraan bermotor atau
hanyalah beberapa kejadian umum, ada salah satu dari dua mekanisme lesi yang
tetap konstan terjadi pada titik lesi. Dua mekanisme yang dapat terjadi adalah
traksi dan heavy impact. Kedua metode ini mengganggu saraf Pleksus Brakialis
dan menyebabkan lesi. Evolusi dari lesi pleksus brakialis memiliki riwayat tiga
hal penting. Pada keadaan 3 minggu awal tahap selesainya degenerasi Wallerian
dan awal degenerasi otot pada bulan ke enam. Riwayat lain yang harus diperoleh
adalah energi yang mengakibatkan lesi, riwayat nyeri, apakah ada tanda-tanda
operasi yang matang dengan seluruh tim bedah sangat penting. Catatan klinis
pasien dan pemulihan selanjutnya, jika ada. Evaluasi yang hati-hati dan berulang
terhadap fungsi motorik dan sensorik ekstremitas atas adalah wajib. Ketika
lesi ekstraforaminal. Meskipun lecet dan ekimosis pada leher posterior leher
umumnya terlihat pada kedua jenis lesi, tanda positif Tinel menunjukkan adanya
pada dua roots yang lebih rendah. Fraktur dari proses transversal C7 atau tulang
rusuk pertama juga terkait dengan lesi preganglionik ke dua roots yang lebih
rendah. Kepala dapat miring dari sisi yang terluka, yang menunjukkan lesi
intradural lima tingkat lengkap. Adanya nyeri deafferentasi yang tak henti-
simpatis periferal dapat dipertahankan, karena badan sel simpatik berada di dalam
trunkus simpatik, di luar tali pusat dan distal ke zona lesi. Temuan pemeriksaan
fisik yang berbeda terkait dengan lesi infraklavicular. Mungkin ada hemat saraf
perifer yang berasal dari tali — misalnya, saraf subscapularis (atas, tengah,
penurunan atau hilangnya nada simpatis perifer. Tinel Sign yang sangat positif
maupun sensorik yang diinervasi oleh pleksus brakhialis. Setiap otot diperiksa
titik pada jari-jari tangan. Ada atau tidak adanya Tinel Sign pada supraclavicular
Pleksus Brakialis itu distal dari foramen spinalis (postganglionik). Ruang gerak
sendi pasif dan aktif pada bahu, siku, antebrachii dan pergelangan tangan
diperiksa dan dicatat. Tanda khusus fisik seperti Horner’s sign atau nyeri hebat
tersebut merupakan indicator bahwa lesi pleksus brakhialis adalah proksimal dari
dan ulnaris, dilakukan untuk mengetahui adanya lesi vascular yang menyertainya
servikalis harus diperiksa untuk semua fraktur cervical terkait, yang dapat
menyebabkan risiko sumsum tulang belakang. Selain itu, adanya fraktur proses
transversal vertebra serviks mungkin menunjukkan avulsi roots pada tingkat yang
19
sama. Fraktur klavikula juga bisa menjadi indikator trauma pada pleksus brakialis.
Rontgen dada dapat menunjukkan fraktur tulang rusuk (rusuk pertama atau
fraktur tulang costa, yang mungkin menjadi penting jika saraf interkostal
dipertimbangkan untuk transfer saraf (karena fraktur tulang costa sering melukai
saraf interkostal yang terkait). Selain itu, jika saraf frenik terluka, akan ada
belakang, costae, clavicula, scapula dan tulang lainnya dari ekstremitas yang
manakala terjadi avulsi roots saraf Cervical maka selaput dura akan sembuh
membantu untuk menentukan tingkat lesi roots saraf. (Ali et al. 2016)
20
keputusan pra operasi dan intraoperatif ketika digunakan dengan tepat dan
akson dan kelengkapan lesi, menghilangkan kondisi lain dari diagnosis banding,
informasi yang penting untuk riwayat sakit secara menyeluruh, pemeriksaan fisik,
dan studi pencitraan, bukan sebagai pengganti untuk mereka. Tambahan informasi
elektromiografi awal (EMG) dan saraf (NCSs) dapat dilakukan 3 hingga 4 minggu
setelah cedera karena degenerasi Wallerian akan terjadi saat ini. Studi
Perubahan denervasi (yaitu, potensi fibrilasi) pada otot yang berbeda dapat dilihat
pada otot proksimal 10 sampai 14 hari setelah cedera dan 3 sampai 6 minggu
pasca cedera pada otot yang lebih distal. Pengurangan potensi unit motorik (MUP)
21
dapat ditunjukkan segera setelah gejala kelemahan dari cedera neuron motorik
yang lebih rendah terjadi. Kehadiran unit motorik aktif dengan usaha sukarela dan
dengan otot yang tidak memiliki unit motorik dan banyak memiliki fibrilasi. EMG
al. 2018)
DRG. Karena tubuh sel saraf sensorik utuh dan dalam DRG, NCSs akan sering
menunjukkan bahwa SNAP adalah normal dan konduksi motor tidak ada, ketika
secara klinis, pasien tidak dapat mendeteksi dermatom terkait. SNAP tidak
ditemukan pada lesi pra dan pasca ganglion postganglionik atau gabungan. Karena
persarafan sensorik yang tumpang tindih, terutama di jari telunjuk, dokter perlu
EMG/ NCS tergantung pada pengalaman dokter dalam melakukan penelitian dan
menafsirkan hasilnya. Tentu saja, EMG dapat menunjukkan bukti pemulihan dini
pada otot (yaitu, munculnya potensi yang baru lahir, penurunan jumlah potensi
fibrilasi, atau penampilan atau peningkatan jumlah MUP); temuan ini mungkin
22
mendahului pemulihan yang jelas secara klinis dalam beberapa minggu ke bulan.
Pemulihan EMG tidak selalu sama dengan pemulihan yang relevan secara klinis,
bagaimanapun, baik dalam hal kualitas regenerasi atau tingkat pemulihan. Ini
hanya menunjukkan bahwa sejumlah serat yang tidak diketahui telah mencapai
sebelum, selama maupun sesudah operasi karena dapat menetukan lokasi lesi
maupun derajat keparahan lesi. Lesi tertutup pada Pleksus Brakhialis dapat
dilakukan pemeriksaan EMG dan NCV pada minggu ke 3 oleh karena degenerasi
Wallerian terjadi pada masa tersebut. EMG menguji otot-otot baik pada saat
pada otot-otot proksimal pada 10 – 14 hari paska trauma, sementara pada otot-otot
distal 3 – 6 minggu paska trauma. Adanya motor unit aktif dengan upaya volunter
dan fibrilasi kecil saat istirahat menunjukkan progonsis yang baik dibandingkan
dengan ketiadaan motor unit disertai beberapa fibrilasi. EMG dapat membedakan
dipersarafi oleh cabang motorik dari roots saraf yang proksimal seperti otot
SNAP adalah penting dalam melokasi letak lesi, apakah preganglionik atau
postganglionik. SNAP masih ada pada lesi proksimal dari DRG, karena badan sel
saraf sensoris intak, sehingga pada pemeriksaan NCV akan menunjukkan bahwa
SNAP nya normal namun tidak ada konduksi motoriknya. Hal ini menunjukkan
23
2.11.1.1. Neurolisis
konduksi saraf. Hasil klinis neurolisis tidak mudah untuk diidentifikasi, banyak
secara langsung saraf donor yang fungsional ke saraf resipien yang mengalami
lesi. Tindakan rekonstruksi ini sering dilakukan pada lesi pleksus brakhialis tipe
pre-ganglionik, dimana terjadi avulsi root dari pleksus brakhialis yang tidak
Indikasi operasi transfer saraf pada pasien lesi pleksus brakhialis adalah: (1)
bila didapatkan stump saraf proksimal yang non-fungsional, sehingga tidak dapat
24
digunakan sebagai donor saraf, (2) bila tindakan rekonstruksi saraf akan
menggunakan nerve graft yang terlalu panjang, (3) bila pasien yang akan
dilakukan rekonstruksi saraf memiliki zona trauma yang besar dengan jaringan
fibrotik yang luas, sehingga diperlukan donor saraf ekstrapleksal. Sementara itu,
kontraindikasi operasi transfer saraf adalah: (1) selisih waktu kejadian sampai
dengan operasi lebih dari 18 bulan, sehingga melebihi waktu re-inervasi, (2)
kekuatan motorik saraf donor kurang dari M4.(Lee S 2012) Donor saraf
motorik otot flexor carpi ulnaris dari N. Ulnaris, fasikel motorik otot flexor carpi
radialis dari N. Medianus, dan cabang motorik otot triceps longus dari N. Radialis.
1. Lesi C5 – C6
Sekitar 15% penderita mengalami lesi pada C5 dan C6 atau pada pertemuan
antara C5 dan C6 yang membentuk trunkus superior (Erb’s point). Penderita akan
mengalami lesi gangguan pada stabilitas bahu, abduksi, eksternal dan internal
gangguan pada fleksi siku (biceps, brakhialis, brakhioradialis) dan supinasi lengan
Ekstensi pada siku, pergelangan tangan dan tangan masih normal. Pola lesi ini
Pederson WC 2011)
2. Lesi C5 – C7
25
C6 seperti yang telah disebutkan sebelumnya akan disertai oleh lesi pada C7 atau
trunkus media. Pada penderita akan didapatkan kelemahan pada ekstensi siku,
terjadi pada bagian proksimal lengan atas, begitu pula pada ibu jari hingga jari
tengah. Lesi ini disebut sebagai pola Erb’s-plus.(Wolfe SW, Hotchkiss RN,
Pederson WC 2011)
3. Lesi C8 – Th1
Sebanyak 10% penderita didapatkan lesi pada C8 dan Th1. Penderita akan
kelemahan ekstensi jari-jari, karena bisa disertai keterlibatan pada C7. Gangguan
sensoris terjadi pada sisi ulnar, sisi medial lengan bawah, dan bagian distal dari
lengan atas. Pola lesi ini disebut sebagai Klumpke’s atau Dejerine-Klumpke palsy.
Gambaran klinis penderita berupa flail arm dan insensate hand.(Wolfe SW,
pada level division atau cord. Fraktur pada clavicula seringkali didapatkan pada
lesi tipe ini. Beberapa pola khusus seperti misalnya lesi pada posterior cord (saraf
aksilaris dan radialis) atau lesi pada saraf suprascapular.(Wolfe SW, Hotchkiss
Transfer saraf ini menjadi semakin penting dalam intervensi bedah mikro
lesi Pleksus Brakialis. Prosedur ini utamanya diindikasikan pada lesi Pleksus
Brakialis letak tinggi. Bila terjadi lesi Pleksus Brakialis letak tinggi, maka
potongan saraf sisi proksimal sudah tidak dapat lagi ditemukan. Peranan transfer
saraf di sini adalah penggunaan saraf yang sehat untuk ditransferkan ke target
saraf sesuai dengan prioritas. Penggunaan donor saraf yang sehat atau masih
distal memungkinkan diseksi jaringan yang tidak mengalami lesi dan tidak ada
parut, sehingga akan mengurangi jarak dan waktu regenerasi aksonal sekaligus
pada motor end plate. Reinervasi otot yang optimal akan bergantung kepada
jumlah yang memadai dari regenerasi aksonal motorik dalam mencapai target otot
dalam kurun waktu sekitar satu tahun setelah lesi. Secara umum kriteria pemilihan
pasien yang akan dilakukan transfer saraf adalah ketiadaan potongan saraf
teknik lain seperti reparasi maupun cangkok saraf, dan tidak tentunya level lesi
saraf.(Suroto 2019)
a. Donor
Pilihan saraf donor yang optimal untuk transfer saraf motoric adalah (1)
kuantitas akson motorik, (2) kedekatan dengan otot target, (3) sinergisitas fungsi
otot. Cabang saraf yang hanya murni menginervasi otot atau fasikel motorik yang
mudah untuk dipisahkan dari saraf campuran motorik dan sensorik, seperti fasikel
27
motorik N. Ulnaris untuk Fleksor Carpi Ulnaris (FCU) dan fasikel motorik N.
b. Resipien
penting pada transfer saraf. Saraf resipien yanglesi sudah seharusnya diidentifikasi
diseksi sarafdonor yang sebenarnya sudah tidak perlu lagi. Saraf donor
fasikel saja dari saraf tersebut, maka perlu dilakukan neurolisisinternal secara
teknik bedah mikro. Kualitas dan fungsi donor fasikelharus dinilai dengan baik,
dilihat pada Tabel 2.4. Kepastian transfer saraf bebas tegang tanpa kompensasi
mungkin dan saraf donor sedistal mungkin. Hindari penggunaan cangkok saraf
Tabel 2.4. Transfer Saraf Motorik pada ekstermitas atas (Suroto, 2019)
merupakan hal yang sangat penting. Waktuyang paling baik untuk transfer saraf
seharusnya dilakukan sebelum6 bulan setelah lesi. Hasil transfer saraf akan
29
dating terlambat, maka transfer saraf dengan FFMT Gracilis merupakan pilihan
terbaik.(Suroto 2019)
2.10.1.1.Nerve Grafting
area yang lebih proksimal. Hasilnya akan dipengaruhi oleh panjang saraf yang
radix stumps akan bergabung dengan target saraf yang lebih distal
untuk graft pada nervus biseps dan nervus spinal accessory sampai
Ghizoni 2010)
sebagai contoh:
tangan.
Tabel 2.1 Jenis Saraf Yang Sering Digunakan Sebagai Donor Dan Resipien
DONOR RESIPIEN
tendon, transplantasi otot yang masih berfungsi baik, tenodesis, dan arthrodesis.
Orthosis dan prosthesis juga dapat digunakan. Pemindahan otot lokal seringkali
menimbulkan adanya lesi saraf parsial. Sebagai contoh, penggunaan transfer otot
latissimus dorsi lokal untuk fleksi siku pada lesi avulsi C5 dan C6-C7 biasanya
menghasilkan M3, tetapi bukan kekuatan otot M4, dibandingkan dengan transfer
latissimus dorsi pada hilangnya biceps dan brakialis secara traumatik, yang selalu
mengakibatkan kekuatan otot M4. Alasan perbedaan hasil ini adalah keadaan saraf
ketika lesi melibatkan tingkat C8 dan T1, yang disebut kelumpuhan Klumpke
pada orang dewasa, atau ketika kelainan menetap setelah pemulihan maksimum,
daripada transfer otot atau tendon pada lesi pleksus brakialis pada pasien dewasa.
Oleh karena itu lesi pleksus brakialis dewasa harus dieksplorasi pada tahap awal,
dalam waktu 5 bulan setelah lesi. Setelah itu, satu-satunya pilihan rekonstruktif
terlambat pada flail limb termasuk transfer tendon, transfer otot bebas, atau
Pemindahan otot latissimus dorsi dan teres mayor tidak memuaskan pada
orang dewasa, meskipun mereka sangat efektif pada anak-anak.. Transfer otot
deltoid oleh Hoffa pada tahun 1891, Lewis pada tahun 1910, Lange pada tahun
1911 dan Mayer pada tahun 1927 (Choi et al. 1997). Saat ini, transfer trapezius
EMG;
Kontraindikasi meliputi:
septik, dislokasi bahu lama yang tidak tereduksi, dan fraktur kepala
saraf spinal aksesori ke saraf muskulokutaneus (bahkan parsial), dan tidak ada
fisioterapi;
3. Fraktur humerus;
5. Dislokasi akromioklavikular;
6. Osteoporosis berat.
penyatuan fragmen tulang akromial, dan lesi saraf. Pemindahan otot trapezius
lain untuk mencapai fungsi lengan yang maksimal, misal transfer latissimus dorsi
cukup kuat untuk menjaga bahu stabil dan memungkinkan beberapa abduksi
secara aktif, dan memungkinkan rentang pasif penuh pada masa pemulihan.
Akromion harus ditransfer ke bawah tuberositas humerus yang lebih besar dan
difiksasi dengan sekrup (Gambar 3 dan 4). Titik fiksasi pada humerus adalah
faktor yang menentukan mengenai sejauh mana fungsi pasca operasi, terutama
harus M4, harus ada gerakan bahu pasif yang sangat baik, arah otot harus lurus,
dan ketegangan harus memadai. Setelah transfer trapezius dengan akromion pada
fungsi.
klinis pada sendi pergelangan tangan dan ekstremitas atas berdasarkan kepuasan
pasien. DASH sudah di adopsi dalam berbagai bahasa antara lain Bahasa Jerman,
Italia, Spanyol, Swedia, Prancis, Belanda dan Jepang dengan reliabilitas dan
questionnaire ialah skor penilaian disabilitas pada ekstrimitas atas. DASH adalah
alat pengukuran klinis yang responsif, valid dan terpercaya untuk menilai
ekstremitas atas. Kuesioner ini terdiri dari 30 buah pertanyaan yang diisi sendiri
35
oleh pasien. Kuesioner ini memiliki beberapa penilaian didalamnya, antara lain
kualitas hidup, sifatnya yang generik membuat intrumen kualitas hidup generik
memiliki bias bila digunakan untuk menilai kualitas hidup pasien yang menderita
lebih dari satu penyakit kronik sehingga penafsiran hasil penilaian kualitas hidup
pasien yang memiliki lebih dari satu penyakit kronik dengan menggunakan
instrumen generik perlu dilakukan dengan lebih hati-hati. Skala penilaian kualitas
hidup pasien yaitu fungsi fisik, peran fisik, nyeri, kesehatan secara umum,
vitalitas, fungsi social, peran emosi, dan kesehatan jiwa.(Huo et al. 2018)
Skala Analogi Visual (VAS) terdiri dari garis lurus dengan titik akhir yang
mendefinisikan batas ekstrim seperti ‘tidak ada rasa sakit sama sekali' dan 'rasa
sakit paling buruk yang bisa terjadi'. Pasien diminta untuk menandai tingkat rasa
36
sakitnya pada garis antara dua titik akhir. Jarak antara 'tidak ada rasa sakit sama
sekali' dan tanda kemudian menentukan rasa sakit subjek. Alat ini pertama kali
digunakan dalam psikologi oleh Freyd pada tahun 1923. Jika istilah deskriptif
berbicara tentang Skala Penilaian Grafik (GRS). (Bird and Dickson 2001)
pengalaman pasien dengan alat ini memengaruhi hasil. Sementara pasien yang
tidak memiliki pengalaman dengan GRS dengan angka 1–20 di bawah garis
analog dilakukan dengan istilah deskriptif. Dalam beberapa penelitian, VAS dan
GRS telah terbukti sensitif terhadap efek pengobatan. Ditemukan adanya korelasi
Selain itu, perbedaan dalam intensitas nyeri diukur pada dua titik waktu
yang berbeda oleh VAS mewakili perbedaan nyata dalam besarnya rasa sakit yang
tampaknya menjadi keuntungan utama dari alat ini dibandingkan dengan yang
lain. Namun, rasio ini lebih dapat diandalkan di tingkat kelompok daripada di
perubahan yang diperlukan untuk menjadi signifikan secara klinis. Untuk sakit
37
punggung kronis, perubahan sekitar 20% dan untuk nyeri akut perubahan sekitar
12%, dianggap signifikan secara klinis.(Bird and Dickson 2001; Nahler and
Nahler 2009)
Karena jarak antara 'tanpa rasa sakit' dan tanda buatan pasien harus diukur,
daripada skala penilaian. Oleh karena itu, VAS mekanik telah dikembangkan di
mana subjek memposisikan slider pada skala nyeri linier alih-alih menandai tanda
silang pada garis yang ditarik. Penyelidik kemudian diaktifkan untuk secara
langsung membaca intensitas nyeri pada skala milimeter di sisi lain dari
penggeser. Beberapa studi telah menunjukkan sistem ini sangat terkait dengan
VAS asli. Selain itu, telah ditunjukkan bahwa VAS mekanik memang memiliki
bahwa buku harian elektronik berbasis pena sangat dapat diterima oleh pasien
top berbasis pena. Tingkat nyeri yang ditandai pada layar sentuh dinyatakan
sebagai angka antara 0 (tanpa rasa sakit) dan 100 (kemungkinan rasa sakit
terburuk). Kertas VAS terdiri dari garis panjang 10 cm dengan titik akhir
didefinisikan dengan cara yang sama seperti yang disebutkan di atas. Skor VAS
elektronik menunjukkan korelasi yang tinggi dengan VAS kertas dan disimpulkan
38
bahwa ini adalah metode yang valid dan hemat waktu untuk penilaian nyeri.
terhadap salah tafsir atau 'nilai nol'. Ini terutama berlaku pada pasien usia lanjut.
Sebagai kesimpulan, VAS, VAS mekanik dan GRS adalah instrumen yang
berharga untuk menilai intensitas nyeri dan perubahan karena terapi ketika
responden diberikan instruksi yang baik dan keterbatasan yang diingat. (Hisey et
al. 2014)
setiap individu menyadari potensi atau dirinya sendiri, dapat menghadapi tekanan
yang normal dalam kehidupan, dapat bekerja secara produktif dan baik, dan
menunjukan bahwa kesehatan jiwa sangat penting bagi kesejahteraan individu dan
Dimensi positif dari kesehatan jiwa ditekankan dalam definisi sehat WHO
secara paripurna fisik, mental dan sosial dan bukan hanya terbebas dari penyakit
Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, bahwa kesehatan adalah keadaan
sehat baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap
orang untuk hidup produktif secara social dan ekonomis. Berdasarkan Undang–
undang Republik Indonesia terbaru tentang kesehatan jiwa yaitu, UU No.18 tahun
40
2014 disebutkan bahwa kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu
dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu
tergantung pada interaksi dua variabel, yaitu beratnya stres dan sumber daya
daripada oranglain yang lebih kuat dan dapat mengatasinya dengan lebih mudah
karena ketidakmatangan, kerangka pengetahuan yang salah, daya tahan stres yang
stabil sebaliknya dapat terganggu juga bila stres itu sangat berat atau lama atau
Gangguan jiwa terjadi bila stres ringan atau berat melebihi daya
keadaan dengan adanya gejala klinis yang bermakna dalam pola perilaku dan pola
41
Gangguan jiwa dibedakan menjadi dua kategori besar, yaitu (Sadock 2007):
kemapuan daya nilai realitas, sehingga terjadi salah menilai persepsi dan
Psikosis identik dengan kerusakan berat dari fungsi sosial dan pribadiyang
menunjukkan bahwa daya nilai realitas dan kepribadian individu masih utuh,tetapi
orang tersebut tertekan oleh berbagai gejala yang mengganggu (Sadock 2007).
yang sangat singkat untuk mendiagnosis gangguan jiwa utama dari ICD.
42
Diagnostic Interview (CIDI) (ICD-10) dengan hasil validasi yang tinggi dan skor
reabilitas yang akseptabel dan dilaksanakan dalam waktu yang relative lebih
(Hidayat et al. 2010) . Ada 15 gangguan jiwa yang dapat diketahui dari MINI,
Tabel 2.3 Daftar gangguan jiwa yang dikaitkan dengan kerangka waktu yang
dibutuhkan untuk menegakkan diagnosisnya. (Bourgeois, Hales, and Shahrokh
2011)
artinya ditekan ke bawah. Emil Kraepelin seorang psikiater Jerman yang pertama
keadaan sesaat tidak bahagia dan tidak ada harapan, namun sebagai gangguan
jiwa depresi terdiri dari kumpulan gejala (PP PDSKJI 2013). Sadock menjelaskan
depresi adalah kondisi mental yang ditandai dengan perasaan sedih, kesepian,
diri sendiri; yang disertai tanda retardasi psikomotor atau agitasi, menarik diri dari
Istilah ini mengacu pada suasana perasaan yang merupakan suatu karakteristik
penyebab tunggal pada gangguan depresi, selain dari segi biologi, peran peristiwa
dalam kehidupan dan psikososial juga cukup penting. Gangguan depresi berat,
paling sering terjadi, dengan prevalensi seumur hidup kira–kira 15 persen dan
pada perempuan dapat mencapai 25 persen (Ismail dan Siste, 2010). Pedoman
depresi.(Maslim 2013)
khawatir yang berlebihan terhadap beberapa peristiwa atau aktifitas dalam kurun
waktu sebagian besar hari selama periode setidaknya 6 bulan. Pada Batasan dan
Rasio perempuan dan laki-laki yang menderita gangguan ini adalah 2:1. Beberapa
respon berkepanjangan dan atau tertunda terhadap kejadian atau situasi yang
penderitaan pada hampir semua orang (misalnya perang, gempa bumi, kecelakaan
berupa episode kilas balik (flashback) ingatan lama (intrusive), mimpi buruk,
akan aktivitas dan situasi yang mengingatkan akan trauma. (Maslim 2013)
Prevalensi seumur hidup pada kelompok yang mempunyai risiko tinggi yaitu
45
Angka prevalensi gangguan ini lebih tinggi pada perempuan dibanding pada laki-
Rentang pergerakan sendi meliputi gerakan flexi bahu, flexi dari siku,
dilakukan oleh pemeriksa, dan gerakan aktif, dengan gerakan dilakukan oleh
pergerakannya.
Council (MRC), dengan nilai terendah adalah 0 yang artinya tidak ada kontraksi
yang terlihat/teraba dan maksimal nilai adalah 5 yang artinya kekuatan normal
atau dapat melawan gravitasi dan tahanan maksimal dari pemeriksa.(James 2007)
posisi siku flexi 90 derajat selama minimal 6 minggu. Heparin injeksi 1000 IU
diberikan hingga 6 jam post arteri tersambung. Pemberian terapi Rheologi seperti
hingga 24 jam post operasi. Analgetik injeksi diberikan sesuai dengan assesment
46
nyeri post operatif. Tranfusi darah diberikan hingga Hemoglobin post operatif
dan komplikasi yang mungkin terjadi dilakukan tiap hari. Pasien dapat pulang jika
telah mobilisasi berjalan umumnya setelah 3-4 hari post operasi. Evaluasi luka
Hasil akhir dari tindakan Nerve transfer pada pasien BPI sangat dipengaruhi
kekakuan sendi dan otot. Latihan penguatan otot donor diperlukan untuk
donor sehingga tidak menimbulkan komplikasi yang berat pada saat otot gracilis
diambil.
exercise). Hal ini merupakan latihan otot yang penting pada prosedur transfer
saraf. Latihan pada otot atau otot-otot yang diinervasi oleh saraf yang
ditransferkan dimulai ketika otot baru yang diinervasi tersebut teraba kontraksinya
(MI). Aksi ini dapat disamakan dengan internal electrical stimulation. Berbagai
darah, dan saraf telah bersambung dengan baik, dan tempat jahitan origo dan
47
insersi telah kuat. Setelah 6 minggu flexi siku dikurangi 10-20 derajat tiap minggu
spinal accecory pasien dilatih untuk mengangkat pundak, jika sumber saraf
dengan saraf inter costa pasien dilatih untuk menarik nafas dalam dengan dada.
Pemeriksaan dilakukan dengan palpasi otot donor untuk mencari adanya kontraksi
atau kontraksi otot grade 1. Setelah didapatkan kontraksi latihan rehabilitasi dapat
TRAUMA
CEDERA PLEKSUS
BRAKHIALIS
EXTERNAL
NERVE TRANSFER
NEUROLISIS - C5-6
- C5-6-7
- C8 – Thoracal-1
- C5 – Thoracal-1
RECOVERY
INVESTIGASI
- SHOULDER FUNGSIONAL
- Abduksi
LANJUTAN
- Fleksi
- Eksorotasi
- ELBOW - EMG/NCV
- Fleksi - VAS
- Ekstensi - DASH SCORE
- SF36
- WRIST - MINI Score
- Fleksi - EMG/NCV
- Ekstensi
- FINGER
- Fleksi
- Ekstensi Keterangan:
- Abduksi (Garis lurus) : Variabel yang diteliti
- Adduksi (Garis terputus) : Variabel yang tidak diteliti
Ga
mbar 3.1 Kerangka konseptual penelitian
48
49
hasil klinis dan fungsional pada pasien LPBT yang dilakukan tindakan
tindakan operatif transfer saraf oleh 1 ahli bedah (HSO) di RSUD Dr Soetomo
4.2.1 Populasi
yang telah dilakukan tindakan operasi transfer saraf oleh 1 ahli bedah (HSO) di
4.2.2 Sampel
Sampel penelitian ini adalah pasien lesi pleksus brakialis pasca operasi
1) Pasien LPBT dengan usia minimal usia 17 tahun dan maksimal 65 tahun
50
51
post operasi.
1. Pasien dengan lesi pleksus brakhialis pasca tindakan operasi transfer saraf
A. Evaluasi Fungsional
2) Skor VAS
3) Kuisioner SF36
4) Mini Score
5) EMG-NCV
52
B. Evaluasi Klinis
1) Follow Up Time
2) Fungsi sensoris
3) Fungsi motoris
Movement)
4.3.3.1Variabel independen
Skala
No Variabel Alat Ukur Skala Pengukuran
Data
Neurotisasi N. Suprascapularis,
Neurotisasi N. Phrenicus,
Neurotisasi N. Muculocutaneous,
Neurotisasi N. Axillaris, Neurotisasi
N. Intercostalis, dan Neurotisasi N.
Accecorrius . Dibagi menjadi 5
kategori: C5, C6, C7, C8 dan T1
Skala
No Variabel Alat Ukur Skala Pengukuran
Data
10. MINI Score MINI Keadaan sesaat tidak bahagia dan Nominal
tidak ada harapan, namun sebagai
gangguan jiwa depresi terdiri dari
kumpulan gejala yang dievaluasi
dalam MINI dalam kerangka waktu
2 minggu terakhir
2020.
57
melakukan penelusuran database rekam medis rawat inap dan rekam medis IRJ
Orthopaedi dan yang Traumatologi RSUD Dr. Soetomo untuk mendata populasi
pasien lesi pleksus brakhialis telah dilakukan tindakan operasi selama kurun
saraf dengan pemeriksaan sensorik, motoric,VAS, DASH, SF36 dan MINI yang
terlebih dahulu dilakukan informed consent, baik dengan bertemu pasien di IRJ
kejadian s.d operasi (dalam bulan), dan selisih waktu operasi s.d evaluasi (dalam
dengan menggunakan nilai rata-rata dengan simpang baku, nilai median disertai
26. Statistik analitik pada penelitian ini menggunakan uji korelasi pearson apabila
terdistribusi normal dan uji korelasi spearman apabila terdistribusi tidak normal.
Tingkat kemaknaan (α) ditetapkan sebesar 0,05 dan bermakna signifikan secara
Ali, Zarina S., Victoria E. Johnson, William Stewart, Eric L. Zager, Rui Xiao,
Gregory G. Heuer, Maura T. Weber, Arka N. Mallela, and Douglas H. Smith.
2016. “Neuropathological Characteristics of Brachial Plexus Avulsion Injury
with and without Concomitant Spinal Cord Injury.” Journal of
Neuropathology and Experimental Neurology 75(1):69–85.
Andresen, Andreas Kiilerich, Rune Tendal Paulsen, Frederik Busch, Alexander
Isenberg-Jørgensen, Leah Y. Carreon, and Mikkel Andersen. 2018. “Patient-
Reported Outcomes and Patient-Reported Satisfaction After Surgical
Treatment for Cervical Radiculopathy.” Global Spine Journal.
Bertelli, Jayme Augusto, and M. F. Ghizoni. 2010. “Nerve Root Grafting and
Distal Nerve Transfers for C5-C6 Brachial Plexus Injuries.” Journal of Hand
Surgery 35(5):769–75.
Bird, Steven B., and Eric W. Dickson. 2001. “Clinically Significant Changes in
Pain along the Visual Analog Scale.” Annals of Emergency Medicine.
Bourgeois, James A., Robert E. Hales, and Narriman C. Shahrokh. 2011. “Study
Guide to Psychosomatic Medicine: A Companion to The American
Psychiatric Publishing Textbook of Psychosomatic Medicine (2nd Ed.).”
Study Guide to Psychosomatic Medicine: A Companion to The American
Psychiatric Publishing Textbook of Psychosomatic Medicine (2nd Ed.).
Choi, P. D., C. B. Novak, S. E. Mackinnon, and D. G. Kline. 1997. “Quality of
Life and Functional Outcome Following Brachial Plexus Injury.” Journal of
Hand Surgery 22(4):605–12.
Christensen, Thomas J., Allen T. Bishop, Robert J. Spinner, and Alexander Y.
Shin. 2014. “Traumatic Brachial Plexus Injuries.” Pp. 1089–95 in
Comprehensive Orthopaedic Review, edited by M. I. Boyer. American
Academy of Orthopaedic Surgeons.
Chuang, David Chwei Chin. 2005. “Nerve Transfers in Adult Brachial Plexus
Injuries: My Methods.” Hand Clinics 21(1):71–82.
Chuang, David Chwei Chin, and Catherine Hernon. 2012. “Minimum 4-Year
Follow-up on Contralateral C7 Nerve Transfers for Brachial Plexus Injuries.”
Journal of Hand Surgery 37(2):270–76.
Chung, Kevin C. 2012. Practical Management of Pediatric and Adult Brachial
Plexus Palsies. South Carolina: Elseviers.
60
61