Anda di halaman 1dari 72

PROPOSAL TESIS

EVALUASI KLINIS DAN FUNGSIONAL PASCA TINDAKAN


TRANSFER SARAF PADA PASIEN LESI PLEKSUS
BRAKIALIS TRAUMATIKA

MUHAMMAD ABDURRAHMAN AL HARAANI


011618126302

PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN KLINIK


JENJANG MAGISTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA

2020
2

PROPOSAL TESIS

EVALUASI KLINIS DAN FUNGSIONAL PASCA TINDAKAN


NEUROLISIS EKSTERNAL PADA PASIEN LESI PLEKSUS
BRAKIALIS TRAUMATIKA

MUHAMMAD ABDURRAHMAN AL HARAANI


011618126302

PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN KLINIK


JENJANG MAGISTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA

2020

2
3

LEMBAR PENGESAHAN

USULAN PENELITIAN TESIS INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL, AGUSTUS 2020

Oleh :

Pembimbing I,

Dr. Heri Suroto dr., Sp.OT(K)

NIP. 196306171989021005

Pembimbing II,

Lydia Arfianti, dr., Sp. KFR 

NIP. 198104042012122006

Mengetahui,

Ketua program Studi Ilmu Kedokteran Klinik Jenjang Magister

Dr. Aditiawarman, dr., Sp.OG(K)

NIP. 19581101198610100

3
4

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI

Usulan penelitian ini diajukan oleh :

Nama : Muhammad Abdurrahman Al Haraani

NIM : 011618126304

Program Studi : Orthopaedi dan Traumatologi


Judul : EVALUASI KLINIS DAN FUNGSIONAL PASCA
TINDAKAN TRANSFER SARAF PADA
PASIEN LESI PLEKSUS BRAKIALIS TRAUMATIKA

Usulan penelitian tesis ini telah diuji dan dinilai

Oleh panitia penguji pada : PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN

KLINIK JENJANG MAGISTER

UNIVERSITAS AIRLANGGA

Pada tanggal : Agustus 2020

Panitia penguji,

1. Pembimbing Ketua : Dr. Heri Suroto, dr., Sp.OT(K) ( )

2. Pembimbing anggota : Lydia Arfianti, dr., Sp. KFR ( )

3. Penguji : Dr. H. Budi Utomo, dr., M. Kes ( )

4. Penguji : Prof. Dr. Dwikora N. U., dr. Sp.OT(K) ( )

5. Penguji : Mouli Edward, dr., M.Kes., Sp.OT(K) ( )

4
5

5
DAFTAR ISI

SAMPUL DEPANi
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penelitian 3
1.3.1 Tujuan Umum 3
1.3.2 Tujuan Khusus 3
1.4 Manfaat Penelitian 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Definisi LPBT 5
2.2 Anatomi dan Patofisiologi LPBT 5
2.3 Epidemiologi LPBT 8
2.4 Klasifikasi LPBT………...............….....................................................9
2.6 Patoanatomi 12
2.7 Anamnesis / Riwayat Penyakit Lesi pleksus brakialis traumatika
13
2.8 Pemeriksaan Fisik Lesi pleksus brakialis traumatika 14
2.9 Pemeriksaan Penunjang 16
2.10 Penatalaksanaan 18
2.11 DASH questionnare 23
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL 25
3.1 Kerangka Konseptual 25
3.2 Hipotesis 26
BAB IV METODE PENELITIAN 27
4.1 Rancangan Penelitian 27
4.2 Populasi dan Besar Sampel 27
4.2.1 Populasi 27
4.2.2 Sampel 27
4.2.3 Besar Sampel 27
4.2.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 28
4.2.5 Teknik Pengambilan samperl 28
4.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel 28
4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian 30
4.5 Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data Penelitian 30
4.6 Cara Pengolahan dan Analisis Data 32
DAFTAR PUSTAKA 31
ii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Skema anatomi plexus brakhialis...................................................................7


Gambar 2.2 Lesi Pleksus Brakhialis Atas11
Gambar 2.3. Lesi Pleksus Brakhialis Bawah
Gambar 2.4 Avulsi Perifer.13
Gambar 2.5 Jenis Trauma pada Plexus Brakialis.13
Gambar 3.1 Kerangka konsep..........................................................................................25
Gambar 4.1 Skema Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan data.................................31

ii
iii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Jenis Saraf Yang Sering Digunakan Sebagai Donor Dan Resipien19
Tabel 2.2 Sejarah pemindahan otot21
Tabel 4.1 Variabel dependen30

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Lesi Pleksus Brakialis Traumatika adalah cedera anyaman saraf tepi di

daerah leher dan bahu berakibat pada kelumpuhan otot – otot bahu , siku ,

pergelangan tangan dan jari jari tangan. Anyaman saraf tepi di daerah leher yang

dibenyuk oleh akar saraf cervical 5,6,7,8 dan thoracal 1, dapat mengalami

kerusakan yang disebabkan oleh peregangan yang berlebihan , kompresi atau

terkena benda tajam ( Suroto, 2019 )

Dari beberapa penelitian epidemiologi di Amerika dan Eropa, 10-20%

dari cedera saraf perifer merupakan cedera pleksus brakhialis, dimana 80-90%

cedera tersebut disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Cedera pleksus

brakhialis banyak ditemukan pada rentang usia 15-25 tahun (Samania , 2012 )

Berdasarkan studi epidemiologis dari tahun 2005 hingga 2017 di SMF

Orthopaedi dan Traumatologi RSUD dr.Soetomo Surabaya , telah dilakukan

tindakan operasi terhadap lesi pleksus brakialis sebanyak 423 pasien dengan

mekanisme terbanyak adalah kecelakaan sepeda motor sebanyak 90%, kecelakaan

sepeda kayuh sebanyak 3 % dan kecelakaan rumah tangga sebanyak 3 % (Suroto ,

2019 )

Dampak dari lesi pleksus brakialis traumatika pada pasien sangat besar

pada berbagai aspek kehidupan karena akibat dari kelumpuhan anggota gerak atas

tentunya akan berdampak pada hilangnya fungsi aktivitas sehari hari sehingga

pasien tidak dapat bekerja dengan baik sehingga berdampal pada kehidupan

1
2

keluarga dan sosial tidak kalah berat juga terhrjadi dalam kehidupan pasien

pribadi bahkan penderita dengan kepribadian yang kurang matang dapat

mengalami deperesi berat hingga mengakibatkan percobaan bunuh diri (Suroto,

2020)

Penanganan lesi Pleksus Brakhialis dianggap sebuah usaha yang sia-sia

oleh beberapa pakar pada masa 40 -50 tahun lalu sehingga muncul paradigma

pada masa lampau bahwa penatalaksanan untuk lesi pleksus brakialis cenderung

untuk menunggu hingga 1 tahun untuk dilakukan operasi padahal penatalaksanaan

operatif yang dilakukan sebelum 1 tahun memliki kemampuan restorasi yang baik

sedang jika dilakukan lebih dari 1 tahun bahkan tertunda hingga 2 tahun hasilnya

sangat buruk karena sel otot telah rusak dan tidak ada harapan untuk pulih

kembali

Saat ini kemajuan dalam pengetahuan akan fisiologi saraf perifer dan

dalam tehnik pembedahan mikro telah memberikan hasil yang baik. Pilihan

pembedahan modern meliputi cangkok saraf pada akar saraf yang sehat, transfer

saraf, Free Functional Muscle Transfer, tendon transfer dan kombinasi dari

tehnik-tehnik tersebut. (Suroto , 2020 )

Narakas mempublikasikan teknik neurotisasi atau transfer saraf, dimana

dilakukan penyambungan secara langsung saraf donor yang fungsional ke saraf

resipien yang mengalami cedera. Hal ini merupakan kemajuan besar dalam teknik

rekonstruksi saraf pada cedera pleksus brakhialis. (Narakas , 1985)

Transfer saraf pada lesi pleksus brakialis traumatika pada tipe C5-C6 yang

berakibat pada gangguan dalam abduksi bahu dan fleksi siku dapat dilakukkan
3

dengan cara mentransfer saraf interkostal ke saraf muskulokutaneus lalu transfer

saraf spinal acesory ke saraf supra scapular (Jaime , 2010)

Untuk lesi pleksus brakialis traumatika tipe C5-C6-C7 yang berakibat

gangguan dalam gerakan abduksi bahu dan fleksi siku serta ditambah gerakan

dalam ekstensi siku dan ekstensi pergelangan tangan dapat dilakukan dengan

menambah transfer saraf pada prenikus ke saraf supraskapular dan saraf spinal

asesorius ke saraf muskulokutaneus (Kai , 2018)

Untuk lesei pleksus brakialis trumatika tipe C8-Th yang berakibat pada

gangguan fungsi fleksi dan ekstemsi pada jari jari 1 dapat dikakukan transfer saraf

intra osesus anterior distal ke fasikel saraf ulnaris dan juga cabang saraf medianus

ke cabang saraf radialis (Kai , 2018)

Tujuan dari rekonstruksi saraf pada leksi pleksus brakhialis adalah

mengembalikan fungsi klinis dan tercapainya kualitas hidup yang optimal. Hasil

akhir tindakan bergantung dari luas lesi dan fungsi yang tersisa, salah satu fungsi

penting yang diharapkan kembali adalah fleksi siku yang merupakan prioritas

terapi, dilanjutkan dengan restorasi fungsi bahu dan tangan. (Bhandari , 2016)

Keberhasilan transfer saraf pada lesi pleksus brakialis biasanya diikuti

dengan penilaian luaran klinis dan fungsional sebagai follow-up pasca operasi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dengan tepat keluaran klinis dan

fungsional pasca operasi transfer saraf pada pasien dengan LPBT dengan

penilaian fungsional dan klinis dalam hal fungsi sensorik , motorik, VAS, DASH

Score, SF36 , Mini Score dan EMG-NCV.


4

1.2. Rumusan Masalah

Adakah hubungan antara lama waktu tunggu operasi dengan fungsi

sensorik , motorik , VAS, DASH Score, SF36 , Mini Score , EMG NCV pada

penderita LPBT pasca tindakan Transfer Saraf di RSUD Dr Soetomo Surabaya?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan umum

Evaluasi hasil fungsional dan klinis dalam hal fungsi sensoris, motorik,

VAS, DASH Score, SF36 , Mini Score dan EMG-NCV pada penderita

LPBT pasca operasi transfer saraf di RSUD Dr Soetomo Surabaya.

1.3.2. Tujuan khusus

1. Mengetahui data demografi penderita LPBT dewasa pasca operasi

transfer saraf di RSUD Dr Soetomo Surabaya.

2. Mengetahui fungsi sensoris pada penderita LPBT dewasa pasca

operasi transfer saraf di RSUD Dr Soetomo Surabaya

3. Mengetahui fungsi motorik shoulder , elbow , wrist, finger pada

penderita LPBT dewasa pasca operasi transfer saraf di RSUD Dr

Soetomo Surabaya

4. Mengetahui nilai VAS pada penderita LPBT dewasa pasca operasi

transfer saraf di RSUD Dr Soetomo Surabaya

5. Mengetahui nilai DASH Score pada penderita LPBT dewasa pasca

operasi transfer saraf di RSUD Dr Soetomo Surabaya


5

6. Mengetahui nilai SF36 pada penderita LPBT dewasa pasca operasi

transfer saraf di RSUD Dr Soetomo Surabaya

7. Mengetahui nilai mini Score pada penderita LPBT dewasa pasca

operasi transfer saraf di RSUD Dr Soetomo Surabaya

8. Mengetahui hasil EMG – NCV pada penderita LPBT dewasa pasca

operasi transfer saraf di RSUD Dr. Soetomo Surabaya

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat teoritis

Memberikan informasi hubungan antara hasil evaluasi fungsional

dan klinikal dalam hal fungsi sensoris, motorik, VAS, DASH

Score, SF36 dan mini score dan EMG-NV pada penderita LPBT

pasca operasi transfer saraf di RSUD Dr Soetomo Surabaya

terhadap outcome pada penderita LPBT pasca operasi transfer

saraf di RSUD Dr Soetomo Surabaya,

1.4.2. Manfaat praktis

1. Memberikan informasi evaluasi fungsional dalam hal VAS, DASH

Score, SF36 , mini score dan EMG-NCV pada penderita LPBT

dewasa pasca operasi transfer saraf di RSUD Dr Soetomo Surabaya

sehingga diharapkan dapat menjadi panduan dalam melakukan

terapi operatif LPBT di Surabaya.

2. Memberikan informasi evaluasi secara klinis dengan menilai fungsi

sensoris dan motorik pada penderita LPBT dewasa pasca operasi

transfer saraf di RSUD Dr Soetomo Surabayasehingga diharapkan


6

dapat menjadi panduan dalam melakukan terapi operatif LPBT di

Surabaya.

3. Sebagai landasan guna pengembangan ilmu pengetahuan serta

menambah data dan wacana mengenai dimensi penanganan LPBT.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Lesi Pleksus Brakialis Traumatika

Pleksus brakialis merupakan sekelompok jaringan saraf yang saling

bertautan dan berada di leher, dada bagian atas, dan ketiak. Saraf yang menyusun

pleksus brakialis berperan dalam pergerakan dan sensor tangan, lengan, serta

bahu. Lesi brachial plexus adalah kerusakan pada kelompok saraf tersebut. Lesi

ini dapat berupa saraf tertekan, tertarik, robek, atau putus. Gejala penyakit ini

tergantung pada seberapa parah kerusakan saraf yang terjadi.(Thatte, Babhulkar,

and Hiremath 2013)

Brachial pleksus tersusun atas lima saraf yang memiliki fungsi berbeda-

beda. Lesi pada saraf yang satu akan memberikan keluhan yang berbeda dengan

lesi pada saraf lainya. Lesi brachial plexus tingkat ringan umum terjadi pada atlet

yang banyak melibatkan adu badan antarpemain, seperti pegulat. Namun kondisi

ini juga bisa dialami oleh bayi ketika proses kelahiran. Sementara lesi brachial

plexus tingkat berat biasanya dialami oleh korban kecelakaan kendaraan

bermotor.(Smania et al. 2012)

7
8

2.2. Anatomi dan Patofisiologi Lesi Pleksus Brakialis Traumatika

Pleksus brakialis melintas di dalam segitiga interscalene yang dibatasi

oleh otot skalena anterior anterior, otot skalena tengah posterior dan batas superior

iga pertama inferior. Pleksus brakialis melintasi segitiga posterior leher, dibentuk

oleh klavikula inferior, otot trapezius lateral dan perbatasan posterior otot

sternocleidomastoid medial. Kemudian melewati lateral rusuk pertama dan

memasuki aksila untuk memasok anggota tubuh bagian atas. Pleksus brakialis

tersusun oleh 5 komponen anatomi: 5 akar, 3 batang, 6 divisi, 3 kabel, dan 5

cabang terminal. Lima akar termasuk cabang anterior dari 4 akar saraf tulang

belakang leher terendah (C5-C8) dan akar saraf toraks pertama (T1). Dua pasang

akar saraf memanjang dari setiap segmen sumsum tulang belakang; akar ventral

(anterior) dan dorsal (posterior). Akar ventral mengandung serat motor yang

keluar dari sumsum tulang belakang. Akar dorsal menyampaikan serat sensorik

yang berasal dari ganglion akar dorsal dan memasuki sumsum tulang belakang.

Akar ventral dan punggung menyatu di luar ganglion, dan menjadi saraf tulang

belakang (Park et al. 2017)

Akar dorsal dan ventral ini terdiri dari rootlets, yang didefinisikan pada

magnetic resonance imaging (MRI) sebagai 3 atau 4 bandlet akar pada akar atas

(C5-C7) dan 2 band pada akar ower (C8, T1) 22). Pada saat akar ventral dan

punggung meninggalkan sumsum tulang belakang, arachnoid dan dura

diperpanjang dan membentuk selongsong akar. Lengan akar melekat pada akar

ventral dan ganglion tulang belakang, dan membentuk selubung saraf. Untuk

alasan ini, tidak ada perluasan ruang cairan serebrospinal (CSF) di luar foramen

intervertebralis. Hanya akar saraf sampai ke tingkat foramen intervertebralis yang


9

divisualisasikan dalam mielografi. Myelography tidak dapat menunjukkan saraf

tulang belakang distal ke foramen intervertebralis. Saraf tulang belakang

bergabung dan membentuk 3 batang; atas, tengah dan bawah. 2 akar atas (C5, C6)

bergabung ke batang atas pada titik Erb. Root C7 tengah dilanjutkan sebagai trunk

tengah. 2 akar bawah (C8, T1) bergabung dan membentuk batang bawah. Batang-

batang ini membelah menjadi divisi anterior-posterior (AP) tepat di atas klavikula.

Tali lateral dibuat oleh divisi anterior batang atas dan tengah, dan medial cord

dibentuk oleh kelanjutan divisi anterior batang bawah. Pembagian posterior setiap

batang bergabung dan membentuk kabel posterior. Tali posterior menempatkan

posterior ke arteri subklavia. Istilah anatomis dari 3 tali ini menunjukkan

hubungan mereka dengan bagian kedua dari arteri aksila. Tali lateral dibagi

menjadi dua cabang terminal; saraf muskulokutaneus dan akar lateral saraf

median yang disebut kontribusi sensorik. Tali medial dibagi menjadi saraf ulnaris

dan akar medial saraf medianus, yaitu 'kontribusi motorik'. Tali posterior dibagi

menjadi saraf radial dan saraf aksila (Park et al. 2017)

Gambar 2.1 Skema anatomi plexus brakhialis


10

2.3. Epidemiologi Lesi Pleksus Brakialis Traumatika

Lesi Pleksus Brakialis (Lesi pleksus brakialis traumatika/ LPBT) dapat

ditemukan pada anak-anak dan orang dewasa. Prevalensi lesi Pleksus Brakialis

pasien dewasa pada tahun 1900-an untuk populasi Amerika Utara adalah 1,2%.

LPBT paling sering ditemukan pada orang dewasa muda yang sehat, usia 14 - 63

tahun, dengan 50% pasien berusia 19 - 34 tahun pada pasien laki-laki sebesar 89%

yang berisiko mengalami LPBT.

Beberapa penelitian retrospektif di Amerika dan Eropa, menunjukkan 10-

20% dari lesi saraf perifer merupakan lesi pleksus brakhialis, serta 80-90% lesi

tersebut disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Kebanyakan pasien

dengan lesi pleksus brakhialis adalah laki-laki berusia antara 15sampai 25

tahun.6,7,8 LPBT telah terbukti terjadi 44% hingga 70% dengan lesi traumatis,

seperti kecelakaan sepeda motor, kegiatan olahraga, atau bahkan di tempat kerja.

Dengan 22% lesi motor dan sekitar 4,2% mengalami kerusakan pleksus.3Sekitar

70% sampai 75% dari lesi pleksus brakhialisditemukan di daerah supraklavikula.

Kira-kira 75% dari lesi ini melibatkan lesi seluruh pleksus (C5-T1), di samping

itu, 20% hingga 25% dari lesi melibatkan kerusakan pada roots saraf dari C5

melalui C7 dan 2% sampai 35% dari lesi adalah lesi supraklavikula untuk C8 dan

T1. Lesi panplexal biasanya melibatkan ruptur C5-C6 disertai avulsi roots C7-T1.

Sisanya 25% dari lesi pleksus yang infraklavikularis(Kaiser 2018).


11

2.4. Klasifikasi Lesi Pleksus Brakialis Traumatika

Tingkat keparahan lesi Pleksus Brakialis ditentukan oleh jenis kerusakan

saraf. Ada beberapa sistem klasifikasi yang berbeda untuk menilai tingkat

keparahan saraf dan lesi pleksus brakialis. Sebagian besar sistem berusaha untuk

mengkorelasikan tingkat lesi dengan gejala, patologi dan prognosis. Klasifikasi

Seddon, dirancang pada tahun 1943, terus digunakan, dan didasarkan pada tiga

jenis utama lesi serat saraf, dan apakah ada kelangsungan saraf. Skema klasifikasi

asli Seddon menggambarkan tiga kemungkinan disfungsional saraf: neuropraxia,

axonotmesis, atau neurotmesis.(Leechavengvongs et al. 2006; Sedain et al. 2011)

Pemahaman klasifikasi lesi saraf diperlukan untuk menentukan apakah

operasi diperlukan atau tidak dengan menentukan pola dari trauma sarafnya.

(Leechavengvongs et al. 2006; Sedain et al. 2011)Lesi serabut saraf dapat

dibedakan lebih lanjut berdasarkan ganglion dorsal root (DRG) yakni:

1. Lesi postganglionik (infraganglionik) terletak distal dari DRG

Pada lesi postganglionik, baik motorik dan sel saraf sensorik telah

terganggu sehingga akan ada kelainan pada potensial aksi motorik dan

SNAP (Moran, Steinmann, and Shin 2005)

2. Lesi preganglionik (supraganglionik) terletak proksimal dari DRG

Pada lesi preganglionic, saraf telah avulsi dari spinal cord sehingga

memisahkan serabut saraf motoric dari badan sel motoric di sel tanduk

anterior (anterior horn cell). Serabut sensorik dan badan sel masih

terhubung di DRG, namun serabut eferen yang masuk ke dorsal kolumna

vertebra mengalami ganggguan. Hal ini menjelaskan alasan potensi aksi


12

saraf sensorik (SNAP) dipertahankan pada pasien dengan lesi

preganglionik (Moran, 2005). Lesi preganglionik tidak dapat diperbaiki

dan saraf motoric alternatif perlu ditransfer untuk mengembalikan fungsi

ekstremitas atas (Sakellariou, 2014)

Klasifikasi lesi pleksus brakhialis juga dapat dibedakan menurut tingkat

lesi. Jika dikelompokkan berdasarkan tingkatan anatomis, dibagi menjadi

supraklavikula, retroklavikula atau infraklavikula. Supraklavikula merupakan

lokasi dengan frekuensi lesi pleksus brakhialis tersering, Lesi supraklavikula

sendiri dibagi menjadi 3, yaitu lesi pada C5 dan C6 atau cabang atas (Erb Palsy)

yang merupakan 20%-25% lesi pleksus brakhialis; lesi pada C8 dan T1 atau

cabang bawah (Klumpke palsy) yang lebih jarang terjadi, hanya sekitar 0,6-3,0%

kejadian dari lesi pleksus brakhialis; dan yang tersering pada lesi supraklavikula

adalah keterkaitan secara komplit dari seluruh serabut saraf yang merupakan 75-

80% dari lesi pleksus brakhialis (Christensen et al. 2014)

2.5. Patofisiologi Lesi Pleksus Brakialis Traumatika

Zona supraklavikula merupakan lokasi paling sering dari lesi pleksus

brakialis traumatika (LPBT).. Lesi pada zona infraklavikular dan retroklavikular

tidak umum terjadi. Serabut dan batang saraf lebih mudah terdampak

dibandingkan dengan kord dan cabang terminal. Pada tingkat zona supraklavikula,

lesi avulsi diamati setelah kepala dan leher berpaling ke lateral dengan keras dari

bahu ipsilateral, mengakibatkan gangguan serabut saraf C5, C6, dan C7 atau

gangguan batang atas. Hal ini umumnya terjadi pada kasus kecelakaan seperti
13

jatuh dengan bahu menumpu badan (Christensen et al. 2014; Sakellariou et al.

2014)

Gambar 2.2 Lesi pleksus brakialis tas

Lesi avulsi juga dapat diamati dalam kasus traksi kuat pada ekstremitas

atas. Ketika ekstremitas atas abduksi lebih dari tingkat kepala dengan kekuatan

yang cukup, lesi avulsi serabut C8-T1 atau batang bawah mungkin terjadi. Lesi

pleksus brakhialis pada bagian distal infraklavikula biasanya disebabkan oleh

trauma energi tinggi di daerah bahu. Lesi ini dapat disertai ruptur arteri aksilaris.

Hal ini dapat terjadi pada kondisi seperti lengan yang menahan diri agar tidak

jatuh, atau lengan yang ditarik dengan kekuatan yang cukup besar (Christensen et

al. 2014; Sakellariou et al. 2014)


14

Gambar 2.3 Lesi Pleksus Brakhialis Bawah

2.6. Patoanatomi Lesi pleksus brakialis traumatika

Avulsi serabut saraf terjadi pada 75% kasus lesi supraklavikular. Ada dua

mekanisme untuk lesi avulsi: perifer dan sentral. Lesi avulsi perifer lebih sering

terjadi. Mekanisme perifer terjadi ketika kekuatan traksi pada lengan lebih besar

dari penyangga fibrous di sekitar serabut-serabut saraf. Root anterior dapat avulsi

dengan atau tanpa serabut-serabut saraf posterior. Kantong epidural dapat robek

tanpa avulsi komplit dari serabut saraf. Konus epidural bergeser masuk ke dalam

kanal foramen pada avulsi perifer. Serabut saraf C5 dan C6 memiliki rekatan

fascia yang kuat pada tulang belakang dan tidak mudah avulsi jika dibandingkan

dengan serabut saraf C7 hingga T1 (Moran et al. 2005).


15

Gambar 2.4 Avulsi perifer

Mekanisme sentral dari avulsi serabut saraf merupakan hasil dari spinal

cord yang bergerak secara longitudinal atau transversal tergantung seberapa

signifikan trauma servikal yang terjadi. Lekukan pada spinal cord di dalam kanalis

medularis menginduksi terjadinya vulsi pada serabut saraf. Serabut saraf tetap

terjaga dalam foramen dan selaput epidural tidak ruptur (Moran et al. 2005).

Gambar 2.5. Jenis trauma pada pleksus brakialis


16

2.7. Anamnesis/ Riwayat Penyakit Lesi Pleksus Brakialis Traumatika

Tanda dan gejala mungkin termasuk lengan yang lumpuh, kurangnya

kontrol otot di lengan, tangan, atau pergelangan tangan, dan kurangnya sensasi di

lengan atau tangan. Meskipun beberapa mekanisme menjelaskan lesi pleksus

brakialis, yang paling umum adalah kompresi atau peregangan saraf. Bayi,

khususnya, mungkin menderita lesi Pleksus Brakialis selama persalinan dan

ditandai dengan kelemahan, tergantung pada bagian Pleksus Brakialis yang

terlibat. Bentuk lesi yang paling parah adalah avulsi roots saraf, yang

menyebabkan kelemahan lengkap pada otot terkait. Ini biasanya menyertai

dampak kecepatan tinggi yang terjadi selama kecelakaan kendaraan bermotor atau

sepeda. (Rohde and Wolfe 2007).

Lesi pada Pleksus Brakialis dapat terjadi di banyak lingkungan.

Termasuk olahraga, kecelakaan kendaraan bermotor, dan kelahiran. Meskipun ini

hanyalah beberapa kejadian umum, ada salah satu dari dua mekanisme lesi yang

tetap konstan terjadi pada titik lesi. Dua mekanisme yang dapat terjadi adalah

traksi dan heavy impact. Kedua metode ini mengganggu saraf Pleksus Brakialis

dan menyebabkan lesi. Evolusi dari lesi pleksus brakialis memiliki riwayat tiga

hal penting. Pada keadaan 3 minggu awal tahap selesainya degenerasi Wallerian

dan awal degenerasi otot pada bulan ke enam. Riwayat lain yang harus diperoleh

adalah energi yang mengakibatkan lesi, riwayat nyeri, apakah ada tanda-tanda

reinervasi (Chung 2012)


17

2.8. Pemeriksaan Fisik Lesi Pleksus Brakialis Traumatika

Setelah keputusan dibuat untuk dilakukan operasi, perencanaan pra

operasi yang matang dengan seluruh tim bedah sangat penting. Catatan klinis

harus diperiksa dengan perhatian khusus pada pemeriksaan fisik pasca-rawat

pasien dan pemulihan selanjutnya, jika ada. Evaluasi yang hati-hati dan berulang

terhadap fungsi motorik dan sensorik ekstremitas atas adalah wajib. Ketika

mengevaluasi lesi supraklavikula, penting untuk membedakan antara avulsi dan

lesi ekstraforaminal. Meskipun lecet dan ekimosis pada leher posterior leher

umumnya terlihat pada kedua jenis lesi, tanda positif Tinel menunjukkan adanya

lesi ekstraforaminal. Roots avulsi atau lesi preganglionik ditandai dengan

kehilangan sensasi di atas klavikula. Sindrom Horner menunjukkan lesi avulsi

pada dua roots yang lebih rendah. Fraktur dari proses transversal C7 atau tulang

rusuk pertama juga terkait dengan lesi preganglionik ke dua roots yang lebih

rendah. Kepala dapat miring dari sisi yang terluka, yang menunjukkan lesi

intradural lima tingkat lengkap. Adanya nyeri deafferentasi yang tak henti-

hentinya, yang dijelaskan oleh pasien sebagai membroots atau menghancurkan

dalam karakter, juga mendukung diagnosis lesi preganglionik. Paradoksnya, nada

simpatis periferal dapat dipertahankan, karena badan sel simpatik berada di dalam

trunkus simpatik, di luar tali pusat dan distal ke zona lesi. Temuan pemeriksaan

fisik yang berbeda terkait dengan lesi infraklavicular. Mungkin ada hemat saraf

perifer yang berasal dari tali — misalnya, saraf subscapularis (atas, tengah,

bawah) dan saraf pectoralis (medial, lateral). Pasien mungkin mengalami


18

penurunan atau hilangnya nada simpatis perifer. Tinel Sign yang sangat positif

hampir selalu ada pada lesi infraklavicular (Chung 2012).

Pada kunjungan pertama riwayat trauma harus dirinci. Setiap pasien

seharusnya dilakukan pemeriksaan fisik secara lengkap, baik komponen motorik

maupun sensorik yang diinervasi oleh pleksus brakhialis. Setiap otot diperiksa

kekuatannya dengan gradasi 0 – 5 menurut system “British Medical Research

Council” (BMRC). Sensasi dermatom dicatat dan seandainya mungkin sensasi 2

titik pada jari-jari tangan. Ada atau tidak adanya Tinel Sign pada supraclavicular

maupun infraclavicular, yang dapat digunakan sabagai indikator bahwa lesi

Pleksus Brakialis itu distal dari foramen spinalis (postganglionik). Ruang gerak

sendi pasif dan aktif pada bahu, siku, antebrachii dan pergelangan tangan

diperiksa dan dicatat. Tanda khusus fisik seperti Horner’s sign atau nyeri hebat

pada ekstremitas anaestetik, menunjukkan adanya deaferensiasi. Penemuan

tersebut merupakan indicator bahwa lesi pleksus brakhialis adalah proksimal dari

foramen spinalis (preganglionik) dan merupakan prognosis jelek untuk terjadinya

pemulihan spontan. Pemeriksaan vascular dengan palpasi denyut arteri radialis

dan ulnaris, dilakukan untuk mengetahui adanya lesi vascular yang menyertainya

(Thatte et al. 2013)

2.9. Pemeriksaan Penunjang

Radiografi standar harus mencakup pandangan tulang belakang leher,

pandangan bahu (anteroposterior, pandangan aksila), dan rontgn dada. Vertebra

servikalis harus diperiksa untuk semua fraktur cervical terkait, yang dapat

menyebabkan risiko sumsum tulang belakang. Selain itu, adanya fraktur proses

transversal vertebra serviks mungkin menunjukkan avulsi roots pada tingkat yang
19

sama. Fraktur klavikula juga bisa menjadi indikator trauma pada pleksus brakialis.

Rontgen dada dapat menunjukkan fraktur tulang rusuk (rusuk pertama atau

kedua), menunjukkan kerusakan pada Pleksus Brakialis di atasnya. Peninjauan

yang teliti terhadap radiografi toraks dapat memberikan informasi mengenai

fraktur tulang costa, yang mungkin menjadi penting jika saraf interkostal

dipertimbangkan untuk transfer saraf (karena fraktur tulang costa sering melukai

saraf interkostal yang terkait). Selain itu, jika saraf frenik terluka, akan ada

kelumpuhan terkait dan peningkatan hemidiafragma. Arteriografi dapat

diindikasikan dalam kasus-kasus di mana lesi vaskular dicurigai.(Chuang 2005;

Chuang and Hernon 2012)

Pemeriksaan radiografik terhadap tulang belakang leher, ekstremitas dan

bahu, serta thoraks penting dalam menyingkirkan kemungkinan patah tulang

belakang, costae, clavicula, scapula dan tulang lainnya dari ekstremitas yang

terkena.(Bertelli and Ghizoni 2010)

CT Myelografi dapat digunakan untuk menentukan letak lesi roots saraf,

manakala terjadi avulsi roots saraf Cervical maka selaput dura akan sembuh

disertai tumbuhnya pseudomeningocele. MRI Cervical dapat digunakan untuk

mengevaluasi kemungkinan avulsi roots saraf, neuroma paska trauma, serta

inflamasi yang menyertainya. Angiografi resonansi magnetik juga dapat berguna

untuk mengkonfirmasi patensi dari perbaikan atau rekonstruksi vaskular

sebelumnya. CT dikombinasikan dengan myelography telah berperan dalam

membantu untuk menentukan tingkat lesi roots saraf. (Ali et al. 2016)
20

2.10. Pemeriksaan Neurofisiologi (EMG-NCV)

Studi elektrodiagnostik merupakan komponen dasar dari pengambilan

keputusan pra operasi dan intraoperatif ketika digunakan dengan tepat dan

ditafsirkan dengan benar. Penelitian elektrodiagnostik dapat membantu

mengkonfirmasi diagnosis, melokalisasi lesi, menentukan keparahan kehilangan

akson dan kelengkapan lesi, menghilangkan kondisi lain dari diagnosis banding,

dan mengungkapkan pemulihan subklinis atau gangguan subklinis yang tidak

dikenali. Oleh karena itu, penelitian elektrodiagnostik berfungsi sebagai tambahan

informasi yang penting untuk riwayat sakit secara menyeluruh, pemeriksaan fisik,

dan studi pencitraan, bukan sebagai pengganti untuk mereka. Tambahan informasi

ini menyebabkan keputusan dapat dibuat, berupa apakah akan melanjutkan

dengan intervensi operasi atau tidak. Untuk cedera tertutup, pemeriksaan

elektromiografi awal (EMG) dan saraf (NCSs) dapat dilakukan 3 hingga 4 minggu

setelah cedera karena degenerasi Wallerian akan terjadi saat ini. Studi

elektrodiagnostik serial dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan fisik

berulang setiap beberapa bulan untuk mendokumentasikan dan mengukur

reinnervasi atau denervasi yang sedang berlangsung. (Wang et al. 2016)

Pemeriksaan EMG menguji otot saat istirahat dan saat aktivitas.

Perubahan denervasi (yaitu, potensi fibrilasi) pada otot yang berbeda dapat dilihat

pada otot proksimal 10 sampai 14 hari setelah cedera dan 3 sampai 6 minggu

pasca cedera pada otot yang lebih distal. Pengurangan potensi unit motorik (MUP)
21

dapat ditunjukkan segera setelah gejala kelemahan dari cedera neuron motorik

yang lebih rendah terjadi. Kehadiran unit motorik aktif dengan usaha sukarela dan

beberapa fibrilasi saat istirahat memiliki prognosis yang baik dibandingkan

dengan otot yang tidak memiliki unit motorik dan banyak memiliki fibrilasi. EMG

dapat membantu membedakan lesi preganglionik dan postganglionik dengan

pemeriksaan jarum otot proksimal yang dipersarafi oleh cabang-cabang motorik

radiks (misalnya, paraspin serviks, rhomboids, serratus anterior). NCS juga

dilakukan dengan EMG. Pada lesi Pleksus Brachialispasca trauma, amplitudo

potensial aksi otot majemuk (CMAPs) umumnya rendah. (García de Cortázar et

al. 2018)

Pemeriksaan SNAP penting dalam melokalisasi lesi sebagai lesi

preganglionik atau postganglionik. SNAP diawetkan dalam lesi proksimal ke

DRG. Karena tubuh sel saraf sensorik utuh dan dalam DRG, NCSs akan sering

menunjukkan bahwa SNAP adalah normal dan konduksi motor tidak ada, ketika

secara klinis, pasien tidak dapat mendeteksi dermatom terkait. SNAP tidak

ditemukan pada lesi pra dan pasca ganglion postganglionik atau gabungan. Karena

persarafan sensorik yang tumpang tindih, terutama di jari telunjuk, dokter perlu

berhati-hati tentang lokalisasi saraf tertentu dengan cedera preganglionik

berdasarkan SNAP saja. (Wang et al. 2016)

Ada batasan yang jelas untuk studi elektrodiagnostik. Hasil pemeriksaan

EMG/ NCS tergantung pada pengalaman dokter dalam melakukan penelitian dan

menafsirkan hasilnya. Tentu saja, EMG dapat menunjukkan bukti pemulihan dini

pada otot (yaitu, munculnya potensi yang baru lahir, penurunan jumlah potensi

fibrilasi, atau penampilan atau peningkatan jumlah MUP); temuan ini mungkin
22

mendahului pemulihan yang jelas secara klinis dalam beberapa minggu ke bulan.

Pemulihan EMG tidak selalu sama dengan pemulihan yang relevan secara klinis,

bagaimanapun, baik dalam hal kualitas regenerasi atau tingkat pemulihan. Ini

hanya menunjukkan bahwa sejumlah serat yang tidak diketahui telah mencapai

otot dan membentuk koneksi ujung-pelat motor. (Wang et al. 2016)

Studi elektrodiagnosis adalah komponen integral untuk evaluasi baik

sebelum, selama maupun sesudah operasi karena dapat menetukan lokasi lesi

maupun derajat keparahan lesi. Lesi tertutup pada Pleksus Brakhialis dapat

dilakukan pemeriksaan EMG dan NCV pada minggu ke 3 oleh karena degenerasi

Wallerian terjadi pada masa tersebut. EMG menguji otot-otot baik pada saat

istirahat maupun aktifitas. Perubahan denervasi (potensial fibrilasi) dapat dilihat

pada otot-otot proksimal pada 10 – 14 hari paska trauma, sementara pada otot-otot

distal 3 – 6 minggu paska trauma. Adanya motor unit aktif dengan upaya volunter

dan fibrilasi kecil saat istirahat menunjukkan progonsis yang baik dibandingkan

dengan ketiadaan motor unit disertai beberapa fibrilasi. EMG dapat membedakan

lesi preganglionik dari postganglionik dengan pemeriksaan otot-otot yang

dipersarafi oleh cabang motorik dari roots saraf yang proksimal seperti otot

Paraspinal Cervical, Rhomboid dan Seratus Anterior. Pemeriksaan NCV

dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan EMG. Pada lesi Pleksus Brakhialis

amplitudo dari compound muscle action potential (CMAP) umumnya rendah.

SNAP adalah penting dalam melokasi letak lesi, apakah preganglionik atau

postganglionik. SNAP masih ada pada lesi proksimal dari DRG, karena badan sel

saraf sensoris intak, sehingga pada pemeriksaan NCV akan menunjukkan bahwa

SNAP nya normal namun tidak ada konduksi motoriknya. Hal ini menunjukkan
23

lesi preganglionik. Ketiadaan SNAP menunjukkan lesi postganglionik atau

kombinasi pre dan postganglionik. (Wolfe et al. 2014)

2.11. Penatalaksanaan Operatif

2.11. 1. Prosedur saraf

2.11.1.1. Neurolisis

Terapi ini masih merupakan kontroversi. Bisa digunakan jika terjadi

neuropraxia yang tidak membaik dengan sendirinya. Keadaan ini seringkali

disebabkan oleh penebalan jaringan fibrous di perineural. Sehingga dapat

digunakan perineurorektomi untuk menghilangkan jaringan fibrous. Penggunaan

stimulasi saraf sebelum dan sesudah neurolisis dapat memperlihatkan peningkatan

konduksi saraf. Hasil klinis neurolisis tidak mudah untuk diidentifikasi, banyak

faktor yang mempengaruhi peningkatan funsgsional, selain neurolisis.

(Leechavengvongs et al. 2006)

2.11.1.2. Transfer saraf

Transfer saraf merupakan tindakan rekonstruksi saraf yang memindahkan

secara langsung saraf donor yang fungsional ke saraf resipien yang mengalami

lesi. Tindakan rekonstruksi ini sering dilakukan pada lesi pleksus brakhialis tipe

pre-ganglionik, dimana terjadi avulsi root dari pleksus brakhialis yang tidak

memungkinkan untuk menggunakan root pada sebagai donor saraf.(Giuffre J,

Kakar S, Bishop A 2010)

Indikasi operasi transfer saraf pada pasien lesi pleksus brakhialis adalah: (1)

bila didapatkan stump saraf proksimal yang non-fungsional, sehingga tidak dapat
24

digunakan sebagai donor saraf, (2) bila tindakan rekonstruksi saraf akan

menggunakan nerve graft yang terlalu panjang, (3) bila pasien yang akan

dilakukan rekonstruksi saraf memiliki zona trauma yang besar dengan jaringan

fibrotik yang luas, sehingga diperlukan donor saraf ekstrapleksal. Sementara itu,

kontraindikasi operasi transfer saraf adalah: (1) selisih waktu kejadian sampai

dengan operasi lebih dari 18 bulan, sehingga melebihi waktu re-inervasi, (2)

kekuatan motorik saraf donor kurang dari M4.(Lee S 2012) Donor saraf

ekstrapleksal untuk transfer saraf meliputi N. Accesorius (N XI), N. Intercostalis,

N. Phrenicus, dan root C7 kontralateral. Donor saraf intrapleksal meliputi fasikel

motorik otot flexor carpi ulnaris dari N. Ulnaris, fasikel motorik otot flexor carpi

radialis dari N. Medianus, dan cabang motorik otot triceps longus dari N. Radialis.

(Songcharoen P, Wongtrakul S 2005)

Pola pada lesi pleksus brakhialis antara lain:

1. Lesi C5 – C6

Sekitar 15% penderita mengalami lesi pada C5 dan C6 atau pada pertemuan

antara C5 dan C6 yang membentuk trunkus superior (Erb’s point). Penderita akan

mengalami lesi gangguan pada stabilitas bahu, abduksi, eksternal dan internal

rotasi (supraspinatus dan infraspinatus, deltoid, subscapularis), begitu pula

gangguan pada fleksi siku (biceps, brakhialis, brakhioradialis) dan supinasi lengan

bawah (supinator). Gangguan sensoris terjadi pada dermatome C5 dan C6.

Ekstensi pada siku, pergelangan tangan dan tangan masih normal. Pola lesi ini

disebut sebagai Erb’s atau Erb-Duchennepalsy.(Wolfe SW, Hotchkiss RN,

Pederson WC 2011)

2. Lesi C5 – C7
25

Sebanyak 20-35% penderita, kelemahan otot yang dipersarafi oleh C5 dan

C6 seperti yang telah disebutkan sebelumnya akan disertai oleh lesi pada C7 atau

trunkus media. Pada penderita akan didapatkan kelemahan pada ekstensi siku,

pergelangan tangan dan terkadang ekstensi jari-jari tangan. Gangguan sensoris

terjadi pada bagian proksimal lengan atas, begitu pula pada ibu jari hingga jari

tengah. Lesi ini disebut sebagai pola Erb’s-plus.(Wolfe SW, Hotchkiss RN,

Pederson WC 2011)

3. Lesi C8 – Th1

Sebanyak 10% penderita didapatkan lesi pada C8 dan Th1. Penderita akan

mengalami kelemahan pada otot-otot ekstrinsik maupun intrinsik tangan, disertai

kelemahan ekstensi jari-jari, karena bisa disertai keterlibatan pada C7. Gangguan

sensoris terjadi pada sisi ulnar, sisi medial lengan bawah, dan bagian distal dari

lengan atas. Pola lesi ini disebut sebagai Klumpke’s atau Dejerine-Klumpke palsy.

(Wolfe SW, Hotchkiss RN, Pederson WC 2011)

4. Lesi Pan-Pleksus (C5 – Th1)

Lesi pada seluruh pleksus brakhialis terjadi pada 50-75% penderita.

Gambaran klinis penderita berupa flail arm dan insensate hand.(Wolfe SW,

Hotchkiss RN, Pederson WC 2011)

5. Lesi Infraclavicular dan Terminal Branch

Lesi pleksus brakhialis pada infraclavicular atau retroclavicular dapat terjadi

pada level division atau cord. Fraktur pada clavicula seringkali didapatkan pada

lesi tipe ini. Beberapa pola khusus seperti misalnya lesi pada posterior cord (saraf

aksilaris dan radialis) atau lesi pada saraf suprascapular.(Wolfe SW, Hotchkiss

RN, Pederson WC 2011)


26

Transfer saraf ini menjadi semakin penting dalam intervensi bedah mikro

lesi Pleksus Brakialis. Prosedur ini utamanya diindikasikan pada lesi Pleksus

Brakialis letak tinggi. Bila terjadi lesi Pleksus Brakialis letak tinggi, maka

potongan saraf sisi proksimal sudah tidak dapat lagi ditemukan. Peranan transfer

saraf di sini adalah penggunaan saraf yang sehat untuk ditransferkan ke target

saraf sesuai dengan prioritas. Penggunaan donor saraf yang sehat atau masih

fungsional akan memberikan kepastian terjadinya regenerasi aksonal pada saat

ditransferkan ke target saraf tersebut. Teknik rekonstruksi transfer saraf motorik

distal memungkinkan diseksi jaringan yang tidak mengalami lesi dan tidak ada

parut, sehingga akan mengurangi jarak dan waktu regenerasi aksonal sekaligus

memastikan reinervasi otot sebelum perubahan yang sifatnya irreversible terjadi

pada motor end plate. Reinervasi otot yang optimal akan bergantung kepada

jumlah yang memadai dari regenerasi aksonal motorik dalam mencapai target otot

dalam kurun waktu sekitar satu tahun setelah lesi. Secara umum kriteria pemilihan

pasien yang akan dilakukan transfer saraf adalah ketiadaan potongan saraf

proksimal, waktu regenerasi aksonal diprediksi akan lama bila menggunakan

teknik lain seperti reparasi maupun cangkok saraf, dan tidak tentunya level lesi

saraf.(Suroto 2019)

a. Donor

Pilihan saraf donor yang optimal untuk transfer saraf motoric adalah (1)

kuantitas akson motorik, (2) kedekatan dengan otot target, (3) sinergisitas fungsi

otot. Cabang saraf yang hanya murni menginervasi otot atau fasikel motorik yang

mudah untuk dipisahkan dari saraf campuran motorik dan sensorik, seperti fasikel
27

motorik N. Ulnaris untuk Fleksor Carpi Ulnaris (FCU) dan fasikel motorik N.

Radialis untuk medial Triseps, merupakan pilihan yang potensial. Penggunaan

saraf donor yang memberikan fungsi sinergis ke otottarget akan memudahkan

rehabilitasi dan re-edukasi pasca operasi,yang selanjutnya akan meningkatkan

keberhasilannya. Sebaliknya,jika saraf donor tidak sinergis atau bahkan antagonis,

maka rehabilitasi dan re-edukasinya akan lebih sulit.(Suroto 2019)

b. Resipien

Verifikasi saraf motorik yang rusak intraoperatif merupakanhal yang sangat

penting pada transfer saraf. Saraf resipien yanglesi sudah seharusnya diidentifikasi

dan dinilai dengan electricalstimulation lebih dulu untuk menghindari

pemotongan saraf yangternyata sedang mengalami pemulihan, serta pencegahan

diseksi sarafdonor yang sebenarnya sudah tidak perlu lagi. Saraf donor

didiseksidan dievaluasi derajat kontraktilitas otot yang diiner vasinya

denganelectrical stimulation. Jika saraf donor yang akan digunakan hanyalahsatu

fasikel saja dari saraf tersebut, maka perlu dilakukan neurolisisinternal secara

teknik bedah mikro. Kualitas dan fungsi donor fasikelharus dinilai dengan baik,

demikian juga fasikel lainnya dari saraftersebut untuk menghindari terjadinya

morbiditas. Transfer sarafyang sering dilakukan pada ekstremitas atas dapat

dilihat pada Tabel 2.4. Kepastian transfer saraf bebas tegang tanpa kompensasi

postural dapat dilakukan dengan membebaskan baik saraf resipienseproksimal

mungkin dan saraf donor sedistal mungkin. Hindari penggunaan cangkok saraf

sebisa mungkin pada prosedurtransfer sarafini.(Suroto 2019)


28

Tabel 2.4. Transfer Saraf Motorik pada ekstermitas atas (Suroto, 2019)

Defisit Motorik Saraf Resipien Saraf Donor


Fleksi silku Cab Biseps & Brakialis Fasikel ke FCU N,
MCN Ulnaris
Fasikel ke FDS/PL/FCR
N Medianus
Fleksi siku N. Musculocutaneous Cab N. Medial pectoralis
Fleksi siku N. Musculocutaneous N. Thoracodorsal
Fleksi siku N.Musculocutaneous N.Accesorius distal
Fleksi siku N. Musculocutaneous N.intercostal
Abduksi/ Rotasi N. Suprascapularis N. Accesorius, fasikel
eksternal bahu Pectoral C7, Trunkus
Medius
Abduksi bahu N. Axillaris Cab Medial triseps
Abduksi bahu N.Axillaris N. Pectoralis Medial
Abduksi bahu N. Axillaris N. Thoracodorsal
Abduksi bahu N.Axillaris N.Intercostal
Scapular winging N. Thoracikus longus N. Thoracodorsal
Scapular winging N. Thoracikus longus Fasikel Pectoral C7,
Trunkus Medius
Scapular winging N. Thoracikus longus N. Intercostal
Intrinsik Tangan Deep motor branch/ Distal AIN
fascicles of ulnar nerve
Pronasi Pronator teres branches ECRB branch of radial
of median nerve nerve
FDs or FCR/palmaris
longus branch of median
nerve
Ekstensi Wrist &jari Cab. N. Radialis: ECRB Cab N Medianus pro
& PIN FDS, FCR/PL
Fleksi jari-jari Cab. N. Medianus; AIN Cab MCN:Brakialis,
cab. N. Radialis: ECRB
& Supinator
Ekstensi siku Cab N, Radialis: Triseps N. UInaris fasikel
FCU.N. Radialis fasikeI
ECRL
Ekstensi siku Cab N. Radialis: Triseps N. Intercostal

c. Waktu Pelaksanaan Operasi

Waktu pembedahan untuk transfer saraf dalam hubungannyadengan saat lesi

merupakan hal yang sangat penting. Waktuyang paling baik untuk transfer saraf

seharusnya dilakukan sebelum6 bulan setelah lesi. Hasil transfer saraf akan
29

menurun secarabermakna apabila dikerjakan setelah 6 bulan. Pada kasus yang

dating terlambat, maka transfer saraf dengan FFMT Gracilis merupakan pilihan

terbaik.(Suroto 2019)

2.10.1.1.Nerve Grafting

Teknik memotong area yang trauma kemudian menyambungkan dengan

area yang lebih proksimal. Hasilnya akan dipengaruhi oleh panjang saraf yang

akan disambung/ dicangkok, munculnya jaringan skar pada daerah luka.

Pembedahan Saraf menggunakan graft dibagi menjadi:

1. Perbaikan Intra plexus

Pada kasus trauma postganglionik, dimana terdapat donor radix,

radix stumps akan bergabung dengan target saraf yang lebih distal

dengan bantuan autologous grafts. Hal ini dapat dikerjakan pada

penggunaan graft pendek, yang memungkinkan pengambilan graft

dan vaskularisasinya secara bebas.(Ochiai et al. 1996)

2. Perbaikan Ekstra pleksus

Teknik ini menggunakan graft yang berasal dari luar pleksus

seperti nervus intercostal sampai musculokutaneus digunakan

untuk graft pada nervus biseps dan nervus spinal accessory sampai

nervus suprascapular.untuk menginervasi rotator cuff. (Bertelli and

Ghizoni 2010)

3. Transfer Saraf Distal

Konsep dasarnya adalah menggunakan fascikula atau cabang saraf

distal yang masih fungsional untuk menginervasi area otot yang


30

mengalami denervasi. Saraf donor biasanya mengalami sedikit

penurunan fungsional tetapi otot resipien terdekat akan cepat

dipersarafi dan akan menjadi fungsional (Wolfe et al., 2012),

sebagai contoh:

1. Fascikula nervus ulnaris sampai nervus muskulokutaneus

untuk otot biseps. Teknik penjahitannya cukup mudah karena

nervus muskuokutaneus dan nervus ulnaris bersebelahan.

Secara klinis, tidak terdapat gangguan sensorik dan motorik

pada nervus ulnaris.

2. Cabang long head triseps sampai bagian posterior dari nervus

aksillaris untuk otot deltoid.

3. Cabang nervus muskulokutaneus sampai otot brakhialis

diberikan kepada nervus medianus untuk fleksi jari-jari

tangan.

Tabel 2.1 Jenis Saraf Yang Sering Digunakan Sebagai Donor Dan Resipien

DONOR RESIPIEN

Nervus Aksesori spinalis Nervus Supraskapularis atau muskulokutaneus


Nervus frenikus atau Radix
Nervus Aksilaris
C5
Nervus Muskulokutaneus, Medialis dan
Nervus Interkostalis
Radialis
Kontralateral Radix C7 Nervus Medialis

Nervus untuk biseps Nervus aksilaris cabang anterior

2.10.1. Prosedur Otot


31

Prosedur rekonstruksi paliatif meliputi pemindahan otot, pemindahan

tendon, transplantasi otot yang masih berfungsi baik, tenodesis, dan arthrodesis.

Orthosis dan prosthesis juga dapat digunakan. Pemindahan otot lokal seringkali

menimbulkan adanya lesi saraf parsial. Sebagai contoh, penggunaan transfer otot

latissimus dorsi lokal untuk fleksi siku pada lesi avulsi C5 dan C6-C7 biasanya

menghasilkan M3, tetapi bukan kekuatan otot M4, dibandingkan dengan transfer

latissimus dorsi pada hilangnya biceps dan brakialis secara traumatik, yang selalu

mengakibatkan kekuatan otot M4. Alasan perbedaan hasil ini adalah keadaan saraf

torakodorsal, yang berasal dari C6-8. Rekonstruksi paliatif dapat dipertimbangkan

ketika lesi melibatkan tingkat C8 dan T1, yang disebut kelumpuhan Klumpke

pada orang dewasa, atau ketika kelainan menetap setelah pemulihan maksimum,

baik dengan atau tanpa rekonstruksi saraf.(Doi 2008)

Rekonstruksi saraf hampir selalu mempunyai hasil yang lebih baik

daripada transfer otot atau tendon pada lesi pleksus brakialis pada pasien dewasa.

Oleh karena itu lesi pleksus brakialis dewasa harus dieksplorasi pada tahap awal,

dalam waktu 5 bulan setelah lesi. Setelah itu, satu-satunya pilihan rekonstruktif

terlambat pada flail limb termasuk transfer tendon, transfer otot bebas, atau

transfer otot fungsional.

Pemindahan otot latissimus dorsi dan teres mayor tidak memuaskan pada

orang dewasa, meskipun mereka sangat efektif pada anak-anak.. Transfer otot

yang berbeda telah digunakan; transfer trapezius digunakan untuk kelumpuhan

deltoid oleh Hoffa pada tahun 1891, Lewis pada tahun 1910, Lange pada tahun

1911 dan Mayer pada tahun 1927 (Choi et al. 1997). Saat ini, transfer trapezius

umumnya digunakan untuk deltoid palsy.


32

Tabel 2.2 Sejarah Pemindahan Otot

Nama Transfer Otot Nama Peneliti

Pectoralis major transfer Hildebrandt (1906)

Trapezius muscle transfer Hoffa (1902)

Long head of triceps to acromium Sloaman

Short head of biceps Ober, Hass, Davidson, Harmon

Latissimus dorsi Shultze-Berge L’Episcopo

Indikasi untuk transfer trapezius meliputi:

1. Kegagalan perbaikan saraf;

2. Lesi pleksus brakialis (late);

3. Kelumpuhan otot deltoid, supraspinatus secara klinis dan oleh

EMG;

4. Kekuatan Trapezius setidaknya M4, idealnya M5;

5. Sendi glenohumeral yang normal;

6. Minimal 80 ° abduksi secara pasif;

7. Rotator cuff yang utuh.

Kontraindikasi meliputi:

1. Kekuatan trapezius kurang dari M4;

2. Masalah sendi Glenohumeral, termasuk artritis degeneratif, artritis

septik, dislokasi bahu lama yang tidak tereduksi, dan fraktur kepala

humerus atau glenoid yang malunited;


33

3. Pekerja dengan pekerjaan yang menuntut fisik.

Kontraindikasi relatif adalah: robekan rotator cuff lengkap, neurotisasi

saraf spinal aksesori ke saraf muskulokutaneus (bahkan parsial), dan tidak ada

fleksi siku. Kesulitan mungkin termasuk:

1. Gerakan bahu kaku sebelum operasi yang membutuhkan

fisioterapi;

2. Bekas luka dari perbaikan saraf sebelumnya;

3. Fraktur humerus;

4. Humerus osteomielitis setelah fraktur terbuka;

5. Dislokasi akromioklavikular;

6. Osteoporosis berat.

Komplikasi dapat mencakup: infeksi, melonggarnya sekrup, tidak adanya

penyatuan fragmen tulang akromial, dan lesi saraf. Pemindahan otot trapezius

memiliki beberapa keunggulan(Shin and Spinner 2005):

1. Mengurangi subluksasi bahu dan dislokasi;

2. Memberikan peningkatan fungsional;

3. Menghilangkan rasa sakit;

4. Operasi pemindahan otot lebih berhasil dan memiliki tingkat

komplikasi yang lebih rendah;

5. Pembedahan relatif singkat.

Transfer trapezius (Modifikasi Saha) dapat digabungkan dengan transfer

lain untuk mencapai fungsi lengan yang maksimal, misal transfer latissimus dorsi

ke siku, fleksorplasti siku Steindler, dan transfer tendon ke pergelangan tangan

atau fusi pergelangan tangan.(Leechavengvongs et al. 2003) Transfer trapezius


34

cukup kuat untuk menjaga bahu stabil dan memungkinkan beberapa abduksi

secara aktif, dan memungkinkan rentang pasif penuh pada masa pemulihan.

Akromion harus ditransfer ke bawah tuberositas humerus yang lebih besar dan

difiksasi dengan sekrup (Gambar 3 dan 4). Titik fiksasi pada humerus adalah

faktor yang menentukan mengenai sejauh mana fungsi pasca operasi, terutama

abduksi dan fleksi ke depan. Kadang-kadang distalisasi transfer trapezius dibatasi

oleh tingkat mobilisasi yang terbatas..(Dy et al. 2016)

Transfer trapezius yang berhasil menunjukkan bahwa otot setidaknya

harus M4, harus ada gerakan bahu pasif yang sangat baik, arah otot harus lurus,

dan ketegangan harus memadai. Setelah transfer trapezius dengan akromion pada

pasien traumatis, mencapai peningkatan yang memuaskan dalam stabilitas dan

fungsi.

2.12. Disabilities of the Arm, Shoulder, and Hand (DASH) questionnaire

DASH diperkenalkan oleh American Academy of Orthopaedic Surgeons

berkerjasama dengan sejumlah organisasi dan di anggap baik untuk penilaian

klinis pada sendi pergelangan tangan dan ekstremitas atas berdasarkan kepuasan

pasien. DASH sudah di adopsi dalam berbagai bahasa antara lain Bahasa Jerman,

Italia, Spanyol, Swedia, Prancis, Belanda dan Jepang dengan reliabilitas dan

validitas yang sebanding dengan versi aslinya(Prasad 2013)

DASH Score (Disabilities of the Arm, Shoulder, and Hand)

questionnaire ialah skor penilaian disabilitas pada ekstrimitas atas. DASH adalah

alat pengukuran klinis yang responsif, valid dan terpercaya untuk menilai

ekstremitas atas. Kuesioner ini terdiri dari 30 buah pertanyaan yang diisi sendiri
35

oleh pasien. Kuesioner ini memiliki beberapa penilaian didalamnya, antara lain

yaitu tingkatan kesulitan dalam menjalani kegiatan aktivitias fisik sehari-hari;

tingkat keparahan pada setiap gejala nyeri, kesemutan, kelemahan, ataupun

kekakuan; permasalahan yang diakibatkan aktivitas social, pada saat bekerja,

tidur, dan potret diri.

2.13. Kuesioner Short Form-36 (SF- 36)

Kuesioner SF-36 merupakan instrumen penilai kualitas hidup yang

generik. Penilaian kualitas hidup di dalam artritis reumatoid, meskipun

menggunakan instrumen yang sifatnya generik, namun ternyata hasilnya tidak

berbeda bermakna bila dibandingkan dengan menggunakan instrumen yang

sifatnya spesifik. Meskipun memiliki kemampuan yang baik dalam menilai

kualitas hidup, sifatnya yang generik membuat intrumen kualitas hidup generik

memiliki bias bila digunakan untuk menilai kualitas hidup pasien yang menderita

lebih dari satu penyakit kronik sehingga penafsiran hasil penilaian kualitas hidup

pasien yang memiliki lebih dari satu penyakit kronik dengan menggunakan

instrumen generik perlu dilakukan dengan lebih hati-hati. Skala penilaian kualitas

hidup pasien yaitu fungsi fisik, peran fisik, nyeri, kesehatan secara umum,

vitalitas, fungsi social, peran emosi, dan kesehatan jiwa.(Huo et al. 2018)

2.13. Skala Nyeri VAS (Visual Analog Score)

Skala Analogi Visual (VAS) terdiri dari garis lurus dengan titik akhir yang

mendefinisikan batas ekstrim seperti ‘tidak ada rasa sakit sama sekali' dan 'rasa

sakit paling buruk yang bisa terjadi'. Pasien diminta untuk menandai tingkat rasa
36

sakitnya pada garis antara dua titik akhir. Jarak antara 'tidak ada rasa sakit sama

sekali' dan tanda kemudian menentukan rasa sakit subjek. Alat ini pertama kali

digunakan dalam psikologi oleh Freyd pada tahun 1923. Jika istilah deskriptif

'ringan', 'moderat', 'berat' atau skala numerik ditambahkan ke VAS, seseorang

berbicara tentang Skala Penilaian Grafik (GRS). (Bird and Dickson 2001)

Panjang garis 10 atau 15 cm menunjukkan kesalahan pengukuran terkecil

dibandingkan dengan versi 5- dan 20 cm dan tampaknya paling nyaman bagi

responden. Scott dan Huskisson menunjukkan bahwa konfigurasi GRS dapat

memengaruhi pola distribusi jawaban. Selain itu, mereka menunjukkan bahwa

pengalaman pasien dengan alat ini memengaruhi hasil. Sementara pasien yang

tidak memiliki pengalaman dengan GRS dengan angka 1–20 di bawah garis

menunjukkan preferensi untuk angka 10 dan 15, subjek yang berpengalaman

dalam penggunaan mengabaikan skala bernomor dan tidak menunjukkan

preferensi dan karenanya, distribusi jawaban yang hampir seragam. Pengamatan

analog dilakukan dengan istilah deskriptif. Dalam beberapa penelitian, VAS dan

GRS telah terbukti sensitif terhadap efek pengobatan. Ditemukan adanya korelasi

positif dengan pengukuran intensitas nyeri yang dilaporkan sendiri.(Gummesson,

Atroshi, and Ekdahl 2003; Rasulić et al. 2017)

Selain itu, perbedaan dalam intensitas nyeri diukur pada dua titik waktu

yang berbeda oleh VAS mewakili perbedaan nyata dalam besarnya rasa sakit yang

tampaknya menjadi keuntungan utama dari alat ini dibandingkan dengan yang

lain. Namun, rasio ini lebih dapat diandalkan di tingkat kelompok daripada di

tingkat individu. Beberapa upaya telah dilakukan untuk mengidentifikasi jumlah

perubahan yang diperlukan untuk menjadi signifikan secara klinis. Untuk sakit
37

punggung kronis, perubahan sekitar 20% dan untuk nyeri akut perubahan sekitar

12%, dianggap signifikan secara klinis.(Bird and Dickson 2001; Nahler and

Nahler 2009)

Karena jarak antara 'tanpa rasa sakit' dan tanda buatan pasien harus diukur,

penilaian lebih memakan waktu dan rentan terhadap kesalahan pengukuran

daripada skala penilaian. Oleh karena itu, VAS mekanik telah dikembangkan di

mana subjek memposisikan slider pada skala nyeri linier alih-alih menandai tanda

silang pada garis yang ditarik. Penyelidik kemudian diaktifkan untuk secara

langsung membaca intensitas nyeri pada skala milimeter di sisi lain dari

penggeser. Beberapa studi telah menunjukkan sistem ini sangat terkait dengan

VAS asli. Selain itu, telah ditunjukkan bahwa VAS mekanik memang memiliki

reliabilitas pengujian-pengujian ulang yang baik dan tampaknya memiliki kualitas

rasio juga.(Bird and Dickson 2001; Nahler and Nahler 2009)

Akhir-akhir ini, penilaian rasa sakit berbasis komputer telah muncul.

Komputer Palm-top memungkinkan untuk menggunakan VAS pada layar sentuh

yang memungkinkan penilaian data elektronik. Laporan Tiplady et al. menyatakan

bahwa buku harian elektronik berbasis pena sangat dapat diterima oleh pasien

asma. Jamison et al. membandingkan VAS kertas konvensional dengan VAS

elektronik dalam pengaturan studi eksperimental, menggunakan komputer palm-

top berbasis pena. Tingkat nyeri yang ditandai pada layar sentuh dinyatakan

sebagai angka antara 0 (tanpa rasa sakit) dan 100 (kemungkinan rasa sakit

terburuk). Kertas VAS terdiri dari garis panjang 10 cm dengan titik akhir

didefinisikan dengan cara yang sama seperti yang disebutkan di atas. Skor VAS

elektronik menunjukkan korelasi yang tinggi dengan VAS kertas dan disimpulkan
38

bahwa ini adalah metode yang valid dan hemat waktu untuk penilaian nyeri.

(Andresen et al. 2018)

Selain kerugian yang disebutkan di atas, VAS tampaknya lebih sulit

dipahami daripada metode pengukuran lainnya dan karenanya, lebih rentan

terhadap salah tafsir atau 'nilai nol'. Ini terutama berlaku pada pasien usia lanjut.

Sebagai kesimpulan, VAS, VAS mekanik dan GRS adalah instrumen yang

berharga untuk menilai intensitas nyeri dan perubahan karena terapi ketika

responden diberikan instruksi yang baik dan keterbatasan yang diingat. (Hisey et

al. 2014)

TIDAK ADA NYERI NYERI PALING BURUK

TIDAK ADA NYERI NYERI PALING BURUK


(MILD) (MODERATE) (SEVERE)

TIDAK ADA NYERI NYERI PALING BURUK

Gambar 2.6. Skala Nyeri VAS(Nahler and Nahler 2009)


39

2.14. Kesehatan Jiwa dan Gangguan Jiwa

2.14.1 Definisi Kesehatan Jiwa

WHO mendefinisikan kesehatan jiwa sebagai keadaan sejahtera dimana

setiap individu menyadari potensi atau dirinya sendiri, dapat menghadapi tekanan

yang normal dalam kehidupan, dapat bekerja secara produktif dan baik, dan

mampu memberikan kontribusi kepada komunitasnya. Pengertian diatas

menunjukan bahwa kesehatan jiwa sangat penting bagi kesejahteraan individu dan

masyarakat di sekitarnya.(Who 2009)

Dimensi positif dari kesehatan jiwa ditekankan dalam definisi sehat WHO

sebagaimana tercantum dalam konstitusi yaitu, sehat adalah keadaan sejahtera

secara paripurna fisik, mental dan sosial dan bukan hanya terbebas dari penyakit

atau kecacatan.(Who 2009)

Pengertian kesehatan jiwa juga ditekankan di Indonesia dalam Undang-

Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, bahwa kesehatan adalah keadaan

sehat baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap

orang untuk hidup produktif secara social dan ekonomis. Berdasarkan Undang–

undang Republik Indonesia terbaru tentang kesehatan jiwa yaitu, UU No.18 tahun
40

2014 disebutkan bahwa kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu

dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu

tersebut menyadari kemampuan sendiri,dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja

secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.

(Kementerian Kesehatan RI Badan Penelitian dan Pengembangan 2018)

2.14.2 Definisi Gangguan Jiwa

Setiap individu bereaksi terhadap penyakit dengan cara interaksi yang

kompleks dan berkembang dari beberapa faktor. Faktor tersebut termasuk

kepribadian premorbid, pengalaman sebelum sakit, hubungan interpersonal,

ancaman keparahan penyakit, pengobatan fisik yang diperlukan dan interaksi

dengan siapa meminta bantuan pengobatan. Kebanyakan penyakit memerlukan

periode penyesuaian (Lloyd and Guthrie 2007). Tingkat penyesuaian diri

tergantung pada interaksi dua variabel, yaitu beratnya stres dan sumber daya

penyesuaian individu. Seorang individu lebih mudah terganggu karena stres

daripada oranglain yang lebih kuat dan dapat mengatasinya dengan lebih mudah

karena ketidakmatangan, kerangka pengetahuan yang salah, daya tahan stres yang

rendah atau kekurangan kemampuan individu. Kepribadian yang matang dan

stabil sebaliknya dapat terganggu juga bila stres itu sangat berat atau lama atau

spesifik.(Franzblau and Chung 2015)

Gangguan jiwa terjadi bila stres ringan atau berat melebihi daya

penyesuaian. Definisi gangguan jiwa menurut Pedoman Penggolongan dan

Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ-V) digambarkan sebagai suatu

keadaan dengan adanya gejala klinis yang bermakna dalam pola perilaku dan pola
41

psikologik, yang menimbulkan penderitaan/distress ( misal rasa nyeri) dan

menimbulkan disabilitas fungsi dalam aktivitas sehari-hari. (Maslim 2013)

Gangguan jiwa dibedakan menjadi dua kategori besar, yaitu (Sadock 2007):

1. Gangguan jiwa psikotik

Kondisi yang memberi indikasi terdapatnya hendaya berat dalam

kemapuan daya nilai realitas, sehingga terjadi salah menilai persepsi dan

pikirannya, dan salah dalam menyimpulkan dunia luar, bahkan dalam

menghadapi pembuktian sebaliknya.

2. Gangguan jiwa neurosis

Gangguan jiwa non psikotikyang kronis atau berulang, yang

ditandai terutama oleh kecemasan yang muncul sendiri atau sebagai

gejala, seperti obsesi, kompulsi, fobia, atau disfungsi seksual.

Psikosis identik dengan kerusakan berat dari fungsi sosial dan pribadiyang

ditandai dengan penarikan diri dari lingkungandan ketidakmampuan untuk

melakukan pekerjaan rumah tangga biasa dan peran pekerjaan. Neurosis

menunjukkan bahwa daya nilai realitas dan kepribadian individu masih utuh,tetapi

orang tersebut tertekan oleh berbagai gejala yang mengganggu (Sadock 2007).

2.14.3 Gangguan jiwa

Mini International Neuropsychiatric Interview (MINI) versi International

Classification of Diseases (ICD)-10 dirancang sebagai suatu wawancara terstrukur

yang sangat singkat untuk mendiagnosis gangguan jiwa utama dari ICD.
42

Validasdan realiabilitas sudah dilakukan terhadap Structured Clinical Interview

for DSM-IV Axis 1 Disorders (SCID) (DSM-IV) dan Composite International

Diagnostic Interview (CIDI) (ICD-10) dengan hasil validasi yang tinggi dan skor

reabilitas yang akseptabel dan dilaksanakan dalam waktu yang relative lebih

singkat (rata–rata 15 menit). Pertanyaan cukup dijawab “ya” atau “tidak”

(Hidayat et al. 2010) . Ada 15 gangguan jiwa yang dapat diketahui dari MINI,

gangguan tersebut dapat dilihat pada tabel 2.3 berikut.

Tabel 2.3 Daftar gangguan jiwa yang dikaitkan dengan kerangka waktu yang
dibutuhkan untuk menegakkan diagnosisnya. (Bourgeois, Hales, and Shahrokh
2011)

No. Versi MINI ICD-10 Kerangka Waktu


1 Episode depresif 2 minggu terakhir
2 Disitimia 2 tahun terakhir
3 Risiko bunuh diri 1 bulan terakhir
4 Episode Manik Seumur hidup
5 Agoraphobia Baru-baru ini
6 Gangguan panic Baru-baru ini
7 Sosialfobia Baru-baru ini
8 Gangguan obsesif kompulsif 2 minggu terakhir
9 Gangguan ansietas menyeluruh 6 bulan terakhir
10 Gangguan stress pascatrauma 3 bulan terakhir
11 Bulimia nervosa Baru-baru ini
12 Anoreksia nervosa Tahun lalu
13 Gangguan yang berkaitan dengan alkohol Tahun lalu
14 Gangguan yang berkaitan dengan zat psikoaktif Tahun lalu
15 Gangguan Psikotik Seumur hidup

2.14.3.1 Episode depresif


43

Terminologi depresi diperoleh dari Bahasa Latin yaitu deprimere, yang

artinya ditekan ke bawah. Emil Kraepelin seorang psikiater Jerman yang pertama

kali menggunakan terminologi depresi untuk menggambarkan seseorang dalam

kondisi melankolia (PP PDSKJI 2013).

Sedih adalah perasaan manusia yang alamiah. Depresi merupakan suatu

keadaan sesaat tidak bahagia dan tidak ada harapan, namun sebagai gangguan

jiwa depresi terdiri dari kumpulan gejala (PP PDSKJI 2013). Sadock menjelaskan

depresi adalah kondisi mental yang ditandai dengan perasaan sedih, kesepian,

putus asa/patah semangat, berkurangnya perasaan harga diri, dan menyalahkan

diri sendiri; yang disertai tanda retardasi psikomotor atau agitasi, menarik diri dari

hubungan interpersonal, dan gejala vegetatif, seperti insomnia dan anoreksia.

Istilah ini mengacu pada suasana perasaan yang merupakan suatu karakteristik

atau sebagai gangguan mood (Sadock 2007).

Banyak teori mencoba menjelaskan etiologi dari depresi. Tidak ada

penyebab tunggal pada gangguan depresi, selain dari segi biologi, peran peristiwa

dalam kehidupan dan psikososial juga cukup penting. Gangguan depresi berat,

paling sering terjadi, dengan prevalensi seumur hidup kira–kira 15 persen dan

pada perempuan dapat mencapai 25 persen (Ismail dan Siste, 2010). Pedoman

PPDGJ V yang mengacu pada ICD 10 menandai beberapa batasan episode

depresi.(Maslim 2013)

2.14.3.2 Gangguan Ansietas Menyeluruh

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorde r(DSM-IV-TR)

mendefinisikan bahwa gangguan ansietas menyeluruh adalah kecemasan dan rasa


44

khawatir yang berlebihan terhadap beberapa peristiwa atau aktifitas dalam kurun

waktu sebagian besar hari selama periode setidaknya 6 bulan. Pada Batasan dan

uraian umum PPPDSKJI (2012) dijelaskan bahwa gangguan ansietas menyeluruh

merupakan ganggua nansietas kronik yang ditandai dengan kekhawatiran

berlebihan, sulit dikendalikan, dan menetap yang disertai dengan gejala–gejala

somatic dan psikis. Kecemasan tidak terbatas atau hanyamenonjol

padakeadaansituasi khusus tertentu saja (sifatnya free-floating atau

mengambang). Rata-rata prevalensi selama 1 tahun sekitar 3 hingga 8 persen.

Rasio perempuan dan laki-laki yang menderita gangguan ini adalah 2:1. Beberapa

penelitian melaporkan prevalensi gangguan ansietas menyeluruh tertinggi

terdapat dipelayanan primer (Sadock 2007).

2.14.3.3 Gangguan stres pascatrauma

Gangguan stress pasca trauma merupakan keadaan yang timbul sebagai

respon berkepanjangan dan atau tertunda terhadap kejadian atau situasi yang

bersifat stressor katastrofik, sangat menakutkan, yang cenderung menyebabkan

penderitaan pada hampir semua orang (misalnya perang, gempa bumi, kecelakaan

berat, menjadi korban penyiksaan, teroris medan perkosaan). Tampilan khas

berupa episode kilas balik (flashback) ingatan lama (intrusive), mimpi buruk,

penumpulan emosi, detachment terhadap orang lain, anhedonia, penghindaran

akan aktivitas dan situasi yang mengingatkan akan trauma. (Maslim 2013)

Angka insiden gangguan stress pasca trauma diperkirakan sekitar 9hingga

15 persendan prevalensi pada populasi umum diperkirakan sekitar 8 persen.

Prevalensi seumur hidup pada kelompok yang mempunyai risiko tinggi yaitu
45

yang pernah mengalami kejadian traumatik adalah sekitar 5 hingga 75 persen.

Angka prevalensi gangguan ini lebih tinggi pada perempuan dibanding pada laki-

laki (Sadock 2007).

2.15. Evaluasi Klinis

2.15.1. Rentang pergerakan sendi

Rentang pergerakan sendi meliputi gerakan flexi bahu, flexi dari siku,

Extensi wrist. Pengukuran dilakukan dengan gerakan pasif, dengan gerakan

dilakukan oleh pemeriksa, dan gerakan aktif, dengan gerakan dilakukan oleh

pasien. Pemeriksaan di ukur dengan goniometer untuk dicatat rentang

pergerakannya.

2.15.2 Kekuatan motorik

Kekuatan motorik di evauasi menggunakan skala dari Medical Reserch

Council (MRC), dengan nilai terendah adalah 0 yang artinya tidak ada kontraksi

yang terlihat/teraba dan maksimal nilai adalah 5 yang artinya kekuatan normal

atau dapat melawan gravitasi dan tahanan maksimal dari pemeriksa.(James 2007)

2.16. Rehabilitasi Pasca Transfer Saraf

Setelah prosedur operasi selesai, pasien di immobilisasi dengan arm sling

posisi siku flexi 90 derajat selama minimal 6 minggu. Heparin injeksi 1000 IU

diberikan hingga 6 jam post arteri tersambung. Pemberian terapi Rheologi seperti

Pentoxifilin hanya diberikan sesuai indikasi. Antibiotik profilaksis dilanjutkan

hingga 24 jam post operasi. Analgetik injeksi diberikan sesuai dengan assesment
46

nyeri post operatif. Tranfusi darah diberikan hingga Hemoglobin post operatif

lebih dari sama dengan 10 mg/dl.

Evaluasi luka operasi di evaluasi hari kedua di ruangan. Monitoring keluhan

dan komplikasi yang mungkin terjadi dilakukan tiap hari. Pasien dapat pulang jika

telah mobilisasi berjalan umumnya setelah 3-4 hari post operasi. Evaluasi luka

dan komplikasi selanjutnya dari Poliklinik Orthopaedi dan Traumatologi.

Hasil akhir dari tindakan Nerve transfer pada pasien BPI sangat dipengaruhi

oleh kepatuhan pasien melakukan program rehabilitasi medik, sebelum dan

setelah prosedur operasi. Sebelum di lakukan tindakan nerve transfer perlu

dilakukan latihan Rentang pergerakan sendi secara penuh untuk mencegah

kekakuan sendi dan otot. Latihan penguatan otot donor diperlukan untuk

meningkatkan kekuatannya karena pada saat di transfer kekuatan otot dapat

menurun. Selain itu untuk meningkatkan kemampuan kelompok otot disekitar

donor sehingga tidak menimbulkan komplikasi yang berat pada saat otot gracilis

diambil.

Pada transfer saraf, terdapat istilah latihan induksi (Induction or motivation

exercise). Hal ini merupakan latihan otot yang penting pada prosedur transfer

saraf. Latihan pada otot atau otot-otot yang diinervasi oleh saraf yang

ditransferkan dimulai ketika otot baru yang diinervasi tersebut teraba kontraksinya

(MI). Aksi ini dapat disamakan dengan internal electrical stimulation. Berbagai

transfer saraf mempunyai latihan induksi masing masing. (Suroto 2019)

Rehabilitasi setelah operasi diawali dengan immobilisasi dengan arm sling

posisi siku 90 derajat selama 6 minggu, untuk memastikan anastomosis pembuluh

darah, dan saraf telah bersambung dengan baik, dan tempat jahitan origo dan
47

insersi telah kuat. Setelah 6 minggu flexi siku dikurangi 10-20 derajat tiap minggu

dengan cara melonggarkan sabuk arm sling.

Latihan menggerakkan dimulai bulan ke 2 atau 3. Jika sumber saraf adalah

spinal accecory pasien dilatih untuk mengangkat pundak, jika sumber saraf

dengan saraf inter costa pasien dilatih untuk menarik nafas dalam dengan dada.

Pemeriksaan dilakukan dengan palpasi otot donor untuk mencari adanya kontraksi

atau kontraksi otot grade 1. Setelah didapatkan kontraksi latihan rehabilitasi dapat

dilakukan dengan progresif.


BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual

TRAUMA

CEDERA PLEKSUS
BRAKHIALIS

NEUROPRAKSIA AXONOTMESIS NEUROTMESIS

JARINGAN FIBROTIK NEUROMA AVULSI ROOT

EXTERNAL
NERVE TRANSFER
NEUROLISIS - C5-6
- C5-6-7
- C8 – Thoracal-1
- C5 – Thoracal-1
RECOVERY

MOTORIK OUTCOME SENSORIS

INVESTIGASI
- SHOULDER FUNGSIONAL
- Abduksi
LANJUTAN
- Fleksi
- Eksorotasi

- ELBOW - EMG/NCV
- Fleksi - VAS
- Ekstensi - DASH SCORE
- SF36
- WRIST - MINI Score
- Fleksi - EMG/NCV
- Ekstensi

- FINGER
- Fleksi
- Ekstensi Keterangan:
- Abduksi (Garis lurus) : Variabel yang diteliti
- Adduksi (Garis terputus) : Variabel yang tidak diteliti

Ga
mbar 3.1 Kerangka konseptual penelitian

48
49

3.2 Hipotesis Penelitian

Didapatkan adanya hubungan antara waktu tunggu lama oeprasi dengan

hasil klinis dan fungsional pada pasien LPBT yang dilakukan tindakan

operatif transfer saraf berdasarkan fungsi sensoris, motorik, DASH score ,

VAS, SF36 , Mini Score dan EMG-NCV


BAB 4

MATERI DAN METODE PENELITIAN

4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional analitik, dengan

rancangan cohort retrospective study, terhadap 72 pasien LPBT yang dilakukan

tindakan operatif transfer saraf oleh 1 ahli bedah (HSO) di RSUD Dr Soetomo

dalam kurun waktu Januari 2009 – Januari 2019

4.2 Populasi dan Sampel Penelitian

4.2.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah semua pasien (consecutive sampling )LPBT

yang telah dilakukan tindakan operasi transfer saraf oleh 1 ahli bedah (HSO) di

RSUD Dr Soetomo dalam kurun waktu Januari 2009 – Desember 2019.

4.2.2 Sampel

Sampel penelitian ini adalah pasien lesi pleksus brakialis pasca operasi

transfer saraf di RSUD Dr. Soetomo yang memenuhi kriteria inklusi.

4.2.4 Kriteria Inklusi dan Ekslusi

4.2.4.1 Kriteria inklusi:

1) Pasien LPBT dengan usia minimal usia 17 tahun dan maksimal 65 tahun

2) Pasien LPBT yang dilakukan tindakan operatif transfer saraf.

50
51

3) Pasien bersedia ikut serta dalam penelitian (informed consent).

4.2.4.2 Kriteria eksklusi:

1) Pasien lesi Obstetrical Brachial Plexus Palsy (OBPP)

2) Pasien LPBT yang disertai komorbid yang berdampak terjadinya

polineuropati misalnya diabetes melitus

3) Pasien LPBT dengan cidera otak organik

4.2.5 Teknik Pengambilan Sampel

Sampel diambil secara consecutive sampling, dimana setiap pasien yang

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dimasukkan dalam sampel penelitian

sampai didapatkan besar sampel yang dibutuhkan. Kemudian sampel

diidentifikasi untuk mencari faktor-faktor yang mempengaruhi hasil fungsional

post operasi.

4.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel

4.3.1 Variabel Bebas (Independen) :

1. Pasien dengan lesi pleksus brakhialis pasca tindakan operasi transfer saraf

4.3.2 Variabel Tergantung (Dependen) :

A. Evaluasi Fungsional

1) Disabilitas ekstremitas atas berdasarkan skor DASH

2) Skor VAS

3) Kuisioner SF36

4) Mini Score

5) EMG-NCV
52

B. Evaluasi Klinis

1) Follow Up Time

2) Fungsi sensoris

3) Fungsi motoris

 Shoulder (Abduksi, Fleksi, eksorotasi)

 Elbow (Fleksi, Ekstensi)

 Wrist (Fleksi, Ekstensi)

 Finger (Fleksi, Ekstensi, Abduksi, Adduksi)(Total Active

Movement)

4.3.3 Definisi Operasional Variabel

4.3.3.1Variabel independen

Tabel 4.1. Variabel Independen

Skala
No Variabel Alat Ukur Skala Pengukuran
Data

1. Operasi Wawancara Transfer saraf yaitu Tindakan Nominal


operatif yang dilakukan pada
penderita Lesi pleksus brakialis
traumatika (LPBT) dengan
melakukan pemindahan inervasi
satu atau beberapa nervus ke posisi
lain untuk memperbaiki atau
mengembalikan fungsi pergerakan
ekstremitas atas. Teknik transfer
saraf yang dilakukan pada penelitian
ini meliputi: Posedur Oberlin,
53

Neurotisasi N. Suprascapularis,
Neurotisasi N. Phrenicus,
Neurotisasi N. Muculocutaneous,
Neurotisasi N. Axillaris, Neurotisasi
N. Intercostalis, dan Neurotisasi N.
Accecorrius . Dibagi menjadi 5
kategori: C5, C6, C7, C8 dan T1

2. Usia Wawancara Dikategorikan berdasarkan Data


Departemen kesehatan Republik Kontinyu
Indonesia tahun 2009 dengan (Rasio)
modifikasi. Masa remaja usia 12-25
tahun, masa dewasa 26-35 tahun,
dan masa lansia 46-65 tahun

3. Jenis Wawancara Dibedakan menjadi 2 yaitu laki-laki Nominal


Kelamin dan perempuan

5. Donor, Transfer saraf secara umum dapat Nominal


Resipien diklasifikasikan dalam 3 kategori,
yaitu transfer saraf intrapleksal (dari
dalam pleksusitu sendiri), transfer
saraf ekstrapleksal (dari luar Pleksus
Brakialis),dan transfer saraf target
terdekat (close target transfer saraf).
54

4.3.3.2 Variabel dependen

Tabel 4.2 Variabel Dependen

Skala
No Variabel Alat Ukur Skala Pengukuran
Data

1. Fungsi Pemeriksaan Pemeriksaan terhadap fungsi Nominal


Sensoris Klinis sensoris pasien dengan rangsangan
raba, tajam, panas dan dingin

2. Fungsi Pemeriksaan Pemeriksaan terhadap fungsi Data


Motorik Klinis motorik pasien dengan menilai Kontinyu
ROM (Range of Motion) dari (Rasio)
sendi-sendi:

 Shoulder (Abduksi, Fleksi,


eksorotasi)
 Elbow (Fleksi, Ekstensi)
 Wrist (Fleksi, Ekstensi)
 Finger (Fleksi, Ekstensi,
Abduksi, Adduksi)

3. EMG-NCV Pemeriksaan Elektromiografi (EMG) adalah Data


penunjang teknik yang digunakan untuk Kontinyu
mengevaluasi fungsi saraf dan otot (Rasio)
dengan cara merekam aktivitas
listrik. Kecepatan konduksi saraf
(NCV) adalah untuk mendeteksi
kecepatan impuls saraf.
55

4. Output EMG-NCV Hasil pemeriksaan elektrofisiologi Data


fungsional Post Op (EMG) setelah dilakukan tindakan kontinyu
berdasarka oiperasi transfer saraf yang (rasio)
n hasil menunjukan adanya unit motor
EMG aktif dan temuan EMG pada otot
yang dilakukan transfer saraf :
- Tanda denervasi (fibrilasi + ,
PSW +)
- Adanya unit motor aktif (MUAP)

5. Disabilitas Skor DASH Total skor minimum adalah 0 dan Data


ekstremitas maksimum adalah 100. Semakin Kontinyu
atas tinggi skor DASH, maka semakin (Rasio)
berat derajat disabilitasnya

6. Nyeri VAS Total skor dari 0 – 10. Dengan Data


kategori tidak nyeri dengan skor 0, Kontinyu
nyeri ringan dengan skor 1-3, nyeri (Rasio)
sedang dengan skor 4-6, dan nyeri
berat dengan skor 7-10

7. Kualitas SF36 Memiliki delapan skala penilaian Data


hidup kualitas hidup pasien yaitu fungsi Kontinyu
fisik, peran fisik, nyeri, kesehatan (Rasio)
secara umum, vitalitas, fungsi
social, peran emosi, dan kesehatan
jiwa. Nilai skor SF-36 yakni 0-100.

8. Level lesi Penunjang Level lesi pleksus brakhialis adalah Nominal


lokasi anatomis dari pleksus
brakhialis yang mengalami lesi dan
dapat dinilai berdasarkan kondisi
klinis penderita saat pemeriksaan
56

awal. Dapat dibagi menjadi C5-6


post ganglion, C5-7 post ganglion,
C8-Th1 post ganglion, C5-6 post
ganglion C7-Th1 preganglion, C5-
Th1 post ganglion dan C5-Th1
preganglion.

9. Waktu Wawancara Waktu dilakukan operasi sejak lesi Nominal


Operasi terjadi adalah saat dilakukannya
prosedur pembedahan terhitung
sejak penderita mengalami
kejadian yang menyebabkan lesi
pleksus brakhialis. Waktu
dilakukan operasi sejak lesi terjadi
diukur dengan satuan bulan, dan
dibagi menjadi kelompok dini (< 6
bulan), tertunda (6-12 bulan) dan
terlambat (≥ 12 bulan)

10. MINI Score MINI Keadaan sesaat tidak bahagia dan Nominal
tidak ada harapan, namun sebagai
gangguan jiwa depresi terdiri dari
kumpulan gejala yang dievaluasi
dalam MINI dalam kerangka waktu
2 minggu terakhir

4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di IRJ Orthopaedi dan Traumatologi RSUD Dr.

Soetomo Surabaya selama periode 1Agustus 2020 sampai dengan 30Desember

2020.
57

4.5 Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data Penelitian

Tahap persiapan pengambilan dan pengumpulan datapenelitian adalah

melakukan penelusuran database rekam medis rawat inap dan rekam medis IRJ

Orthopaedi dan yang Traumatologi RSUD Dr. Soetomo untuk mendata populasi

pasien lesi pleksus brakhialis telah dilakukan tindakan operasi selama kurun

waktu Januari 2009 s.d Desember2019. Sampel diambil secara consecutive

sampling, dimana setiap pasien yang memenuhikriteria inklusi dan eksklusi

dimasukkan dalam sampel penelitian sampai didapatkan besar sampel yang

dibutuhkan. Selanjutnya dilakukan pengukuran fungsi klinis pasca operasitransfer

saraf dengan pemeriksaan sensorik, motoric,VAS, DASH, SF36 dan MINI yang

terlebih dahulu dilakukan informed consent, baik dengan bertemu pasien di IRJ

Orthopaedi dan Traumatologi RSUD Dr. Soetomo maupun mendatangi langsung

rumah pasien (home-visite).


58

Gambar 4.1 Skema prosedur pengambilan dan pengumpulan data


59

4.6 Cara Pengolahan dan Analisis Data

Data demografi mengenai jenis kelamin, umur, diagnosis, selisih waktu

kejadian s.d operasi (dalam bulan), dan selisih waktu operasi s.d evaluasi (dalam

bulan) pada variabel independen akan disajikan menggunakan statistik deskriptif,

dengan menggunakan nilai rata-rata dengan simpang baku, nilai median disertai

nilai minimum-maksimum, atau nilai angka dengan persentase.

Untuk analisis inferensial pada penelitian ini menggunakan program SPSS

26. Statistik analitik pada penelitian ini menggunakan uji korelasi pearson apabila

terdistribusi normal dan uji korelasi spearman apabila terdistribusi tidak normal.

Tingkat kemaknaan (α) ditetapkan sebesar 0,05 dan bermakna signifikan secara

statistik apabila p<0,05.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zarina S., Victoria E. Johnson, William Stewart, Eric L. Zager, Rui Xiao,
Gregory G. Heuer, Maura T. Weber, Arka N. Mallela, and Douglas H. Smith.
2016. “Neuropathological Characteristics of Brachial Plexus Avulsion Injury
with and without Concomitant Spinal Cord Injury.” Journal of
Neuropathology and Experimental Neurology 75(1):69–85.
Andresen, Andreas Kiilerich, Rune Tendal Paulsen, Frederik Busch, Alexander
Isenberg-Jørgensen, Leah Y. Carreon, and Mikkel Andersen. 2018. “Patient-
Reported Outcomes and Patient-Reported Satisfaction After Surgical
Treatment for Cervical Radiculopathy.” Global Spine Journal.
Bertelli, Jayme Augusto, and M. F. Ghizoni. 2010. “Nerve Root Grafting and
Distal Nerve Transfers for C5-C6 Brachial Plexus Injuries.” Journal of Hand
Surgery 35(5):769–75.
Bird, Steven B., and Eric W. Dickson. 2001. “Clinically Significant Changes in
Pain along the Visual Analog Scale.” Annals of Emergency Medicine.
Bourgeois, James A., Robert E. Hales, and Narriman C. Shahrokh. 2011. “Study
Guide to Psychosomatic Medicine: A Companion to The American
Psychiatric Publishing Textbook of Psychosomatic Medicine (2nd Ed.).”
Study Guide to Psychosomatic Medicine: A Companion to The American
Psychiatric Publishing Textbook of Psychosomatic Medicine (2nd Ed.).
Choi, P. D., C. B. Novak, S. E. Mackinnon, and D. G. Kline. 1997. “Quality of
Life and Functional Outcome Following Brachial Plexus Injury.” Journal of
Hand Surgery 22(4):605–12.
Christensen, Thomas J., Allen T. Bishop, Robert J. Spinner, and Alexander Y.
Shin. 2014. “Traumatic Brachial Plexus Injuries.” Pp. 1089–95 in
Comprehensive Orthopaedic Review, edited by M. I. Boyer. American
Academy of Orthopaedic Surgeons.
Chuang, David Chwei Chin. 2005. “Nerve Transfers in Adult Brachial Plexus
Injuries: My Methods.” Hand Clinics 21(1):71–82.
Chuang, David Chwei Chin, and Catherine Hernon. 2012. “Minimum 4-Year
Follow-up on Contralateral C7 Nerve Transfers for Brachial Plexus Injuries.”
Journal of Hand Surgery 37(2):270–76.
Chung, Kevin C. 2012. Practical Management of Pediatric and Adult Brachial
Plexus Palsies. South Carolina: Elseviers.

60
61

Doi, Kazuteru. 2008. “Management of Total Paralysis of the Brachial Plexus by


the Double Free-Muscle Transfer Technique.” Journal of Hand Surgery:
European Volume 33(3):240–51.
Dy, Christopher J., Jack Baty, Mohammed J. Saeed, Margaret A. Olsen, and
Daniel A. Osei. 2016. “A Population-Based Analysis of Time to Surgery and
Travel Distances for Brachial Plexus Surgery.” Journal of Hand Surgery
41(9):903-909.e3.
Franzblau, Lauren, and Kevin C. Chung. 2015. “Psychosocial Outcomes and
Coping after Complete Avulsion Traumatic Brachial Plexus Injury.”
Disability and Rehabilitation 37(2):135–43.
García de Cortázar, Unai, Sabino Padilla, Enrique Lobato, Diego Delgado, and
Mikel Sánchez. 2018. “Intraneural Platelet-Rich Plasma Injections for the
Treatment of Radial Nerve Section: A Case Report.” Journal of Clinical
Medicine 7(2):13.
Giuffre J, Kakar S, Bishop A, Spinner R. 2010. “Current Concepts of the
Treatment of Adult Brachial Plexus Injuries.” Journal of Hand Surgery
35A:678–88.
Gummesson, Christina, Isam Atroshi, and Charlotte Ekdahl. 2003. “The
Disabilities of the Arm, Shoulder and Hand (DASH) Outcome
Questionnaire: Longitudinal Construct Validity and Measuring Self-Rated
Health Change after Surgery.” BMC Musculoskeletal Disorders.
Hidayat, D., E. Ingkiriwang, Asnawi E. Andri, R. S. Widya, and D. H. Susanto.
2010. “Penggunaan Metode Dua Menit (M2M) Dalam Menentukan
Prevalensi Gangguan Jiwa Di Pelayanan Primer.” Maj Kedokt Indon
60(10):448–54.
Hisey, Michael S., Hyun W. Bae, Reginald Davis, Steven Gaede, Greg Hoffman,
Kee Kim, Pierce D. Nunley, Daniel Peterson, Ralph Rashbaum, and John
Stokes. 2014. “Multi-Center, Prospective, Randomized, Controlled
Investigational Device Exemption Clinical Trial Comparing Mobi-C
Cervical Artificial Disc to Anterior Discectomy and Fusion in the Treatment
of Symptomatic Degenerative Disc Disease in the Cervical Spine.”
International Journal of Spine Surgery.
Huo, Tianyao, Yi Guo, Elizabeth Shenkman, and Keith Muller. 2018. “Assessing
the Reliability of the Short Form 12 ( SF-12 ) Health Survey in Adults with
Mental Health Conditions : A Report from the Wellness Incentive and
Navigation ( WIN ) Study.” 1–8.
Ismail, RI, and K. Siste. 2010. “Gangguan Depresi.” in Buku ajar psikiatri.
62

Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.


James, Michelle. 2007. “Use of the Medical Research Council Muscle Strength
Grading System in the Upper Extremity.” The Journal of Hand Surgery
32:154–56.
Kaiser, Radek. 2018. “Epidemiology , Etiology , and Types of Severe Adult
Brachial Plexus Injuries Requiring Surgical Repair : Systematic Review and
Meta-Analysis.” Neurosurgical Review (1).
Kementerian Kesehatan RI Badan Penelitian dan Pengembangan. 2018. “Hasil
Utama Riset Kesehatan Dasar.” Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Lee S, Wolfe S. 2012. “Nerve Transfers for the Upper Extremity: New Horizons
in Nerve Reconstruction.” American Academy of Orthopaedic Surgery
20:506–17.
Leechavengvongs, Somsak, Kiat Witoonchart, Chairoj Uerpairojkit, and Phairat
Thuvasethakul. 2003. “Nerve Transfer to Deltoid Muscle Using the Nerve to
the Long Head of the Triceps, Part II: A Report of 7 Cases.” Journal of Hand
Surgery 28(4):633–38.
Leechavengvongs, Somsak, Kiat Witoonchart, Chairoj Uerpairojkit, Phairat
Thuvasethakul, and Kanchai Malungpaishrope. 2006. “Combined Nerve
Transfers for C5 and C6 Brachial Plexus Avulsion Injury.” Journal of Hand
Surgery 31(2):183–89.
Lloyd, Geoffrey, and Elspeth Guthrie. 2007. Handbook of Liaison Psychiatry.
Cambridge University Press.
Maslim, Rusdi. 2013. “DIAGNOSIS GANGGUAN JIWA RUJUKAN RINGKAS
Dari PPDGJ - III Dan DSM - 5.” in DIAGNOSIS GANGGUAN JIWA
RUJUKAN RINGKAS dari PPDGJ - III dan DSM - 5.
Moran, Steven L., Scott P. Steinmann, and Alexander Y. Shin. 2005. “Adult
Brachial Plexus Injuries: Mechanism, Patterns of Injury, and Physical
Diagnosis.” Hand Clinics 21(1):13–24.
Nahler, Gerhard, and Gerhard Nahler. 2009. “Visual Analogue Scale (VAS).” in
Dictionary of Pharmaceutical Medicine.
Ochiai, Naoyuki, Akira Nagano, Hiroshi Sugioka, and Tetsuya Hara. 1996.
“Nerve Grafting in Brachial Plexus Injuries.” Journal of Bone and Joint
Surgery - Series B 78(5):754–58.
Park, Hye Ran, Gwang Soo Lee, Il Sup Kim, and Jae-Chil Chang. 2017. “Brachial
Plexus Injury in Adults.” The Nerve 3(1):1–11.
63

PP PDSKJI. 2013. “Panduan Gangguan Depresi Mayor.” Perhimpunan Dokter


Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia 1–83.
Prasad, Lakshmi. 2013. “Traumatic Brachial Plexopathies.” The Indian Journal of
Neurotrauma 10:72–79.
Rasulić, Lukas, Andrija Savić, Bojana Živković, Filip Vitošević, Mirko Mićović,
Vladimir Baščarević, Vladimir Puzović, Nenad Novaković, Milan Lepić,
Miroslav Samardžić, and Stefan Mandić-Rajčević. 2017. “Outcome after
Brachial Plexus Injury Surgery and Impact on Quality of Life.” Acta
Neurochirurgica 159(7):1257–64.
Rohde, Rachel S., and Scott W. Wolfe. 2007. “Nerve Transfers for Adult
Traumatic Brachial Plexus Palsy (Brachial Plexus Nerve Transfer).” HSS
Journal 3(1):77–82.
Sadock, B. J. 2007. “Delusional Disorder and Shared Psychotic Disorder In:
Kaplan and Sadock’s Synopsis of Psychiatry 10th Ed.”
Sakellariou, Vasileios I., Nikolaos K. Badilas, George A. Mazis, Nikolaos A.
Stavropoulos, Helias K. Kotoulas, Stamatios Kyriakopoulos, Ioannis
Tagkalegkas, and Ioannis P. Sofianos. 2014. “Brachial Plexus Injuries in
Adults : Evaluation and Diagnostic Approach.” ISRN Orthopedics 2014.
Sedain, Gopal, Manish Singh Sharma, Bhawani Shankar Sharma, and Ashok
Kumar Mahapatra. 2011. “Outcome after Delayed Oberlin Transfer in
Brachial Plexus Injury.” Neurosurgery 69(4):822–28.
Shin, Alexander Y., and Robert J. Spinner. 2005. “Clinically Relevant Surgical
Anatomy and Exposures of the Brachial Plexus.” Hand Clinics.
Smania, N., G. Berto, E. La Marchina, C. Melotti, A. Midiri, L. Roncari, A.
Zenorini, P. Ianes, A. Picelli, A. Waldner, S. Faccioli, and M. Gandolfi.
2012. “Rehabilitation of Brachial Plexus Injuries in Adults and Children.”
European Journal of Physical and Rehabilitation Medicine 48(3):483–506.
Songcharoen P, Wongtrakul S, Spinner R. 2005. “Brachial Plexus Injuries in the
Adult. Nerve Transfers: The Siriraj Hospital Experience.” Hand Clinics
21:91–102.
Suroto, Heri. 2019. Lesi Plexus Brakhialis: Tata Laksana Komprehensif.
Airlangga University Press.
Thatte, Mukund R., Sonali Babhulkar, and Amita Hiremath. 2013. “Brachial
Plexus Injury in Adults: Diagnosis and Surgical Treatment Strategies.”
Annals of Indian Academy of Neurology 16(1):26–33.
Wang, Jung Pan, Schneider K. Rancy, Steve K. Lee, Joseph H. Feinberg, and
64

Scott W. Wolfe. 2016. “Shoulder and Elbow Recovery at 2 and 11 Years


Following Brachial Plexus Reconstruction.” Journal of Hand Surgery
41(2):173–79.
Who. 2009. “Improving Health Systems and Services for Mental Health.” World
Health.
Wolfe, Scott W., Parker H. Johnsen, Steve K. Lee, and Joseph H. Feinberg. 2014.
“Long-Nerve Grafts and Nerve Transfers Demonstrate Comparable
Outcomes for Axillary Nerve Injuries.” Journal of Hand Surgery
39(7):1351–57.
Wolfe SW, Hotchkiss RN, Pederson WC, Kozin SH. 2011. Green’s Operative
Hand Surgery. 6th ed. Philadelphia: Elsevier Churchill Livingstone.

Anda mungkin juga menyukai