Anda di halaman 1dari 77

HUBUNGAN ANTARA LAMA PUASA DENGAN KEJADIAN POST

OPERATIVE NAUSEA VOMITING PADA PASIEN PASCA GENERAL


ANESTESI DI RS BORNEO CITRA MEDIKA PELAIHARI

I WAYAN SURYAWIDANA

2213063AJ

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN


ANESTESIOLOGI INSTITUT TEKNOLOGI SAINS DAN KESEHATAN
RS dr. SOEPRAOEN MALANG
2023

1
PERSETUJUAN PEMBIMBING

“HUBUNGAN ANTARA LAMA PUASA DENGAN KEJADIAN POST


OPERATIVE NAUSEA VOMITING PADA PASIEN PASCA GENERAL
ANESTESI DI RS BORNEO CITRA MEDIKA PELAIHARI”

Disusun Oleh :
I WAYAN SURYAWIDANA
2213063AJ

Telah disetujui oleh pembimbing pada tanggal Telah disusun dan ditetapkan
sebagai panduan bagi mahasiswa dalam menyelesaikan Tugas Akhir di Program
Studi Terapan Keperawatan Anestesiologi Institut Teknologi dan Kesehatan RS dr
Soepraoen
31
Menyetujui,
Pembimbing Nama pembimbing Tanda tangan

Pembimbing I Bayu Budi Laksono, S.Kep.,NS., M.Kep

NIDN : 0706098705

Pembimbing II Suryanto,S.Kep.Ns., S.Tr.Kes.,M.Kes

NIDN : 0714066506

Pelaihari, Juni 2023


Mengetahui,
DEKAN ITSK RS dr. Soepraoen Ka.Prodi An. Sekretaris Prodi STKA
31

Amin Zakaria, S.Kep.,Ners.,M.Kes Widigdo Rekso Negoro, S.Tr.Kep.,MH


NIDN: 0703077604 NIDN: 0714048104

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan Penelitian ini. Penulisan
Penelitian ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai
gelar Sarjana Terapan pada Program Studi Sarjana Terapan Keperawatan
Anestesiologi Institut Sains dan Kesehatan RS dr. Soepraoen Malang. Penelitian
ini terwujud atas bimbingan, pengarahan dan bantuan dari berbagai pihak yang
tidak bisa penulis sebutkan satu persatu dan pada kesempatan ini penulis
menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Bapak Arief Efendi, S.Kes., SH.(Adv), S.Kep., Ns, MM., M.Kes, selaku
rektor Anestesiologi Institut Teknologi dan Kesehatan Soepraeon
Malang.
2. Bapak Amin Zakaria, S. Kep.,Ners., M.Kes, selaku dekan Yayasan
Anestesiologi Institut Teknologi dan Kesehatan Soepraeon Malang yang
telah memberikan dukungan dan memfasilitasi sarana dan prasarana
selama masa pendidikan.
3. Bapak Widigo Rekso Negoro,S. Tr. Kep,.MH, selaku sekretaris Program
Studi Sarjana Terapan Keperawatan Anestesiologi Institut Teknologi
dan Kesehatan Soepraeon Malang, yang telah memberikan pengarahan,
masukan dan motivasi kepada penulis.
4. Bapak Suryanto S.Tr. Kes., M.Kes selaku pembimbing I yang telah
membimbing penelitian dalam menyelesaikan Skripsi ini.
5. Bapak Bayu Budi Laksono, S.Kep. Ns., M.Kep selaku pembimbing II
yang telah membimbing penelitian dalam menyelesaikan Skripsi ini.
6. Kedua orang tua saya yang sangat saya sayangi atas segala doa,
bimbingan dan dukungannya.
7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatuyang telah
membantu penyusunan skripsi ini.

3
Akhir kata, penulis berharap kepada Tuhan Yang Maha Esa berkenan
untuk membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga
Tugas Akhir ini bermanfaat bagi pengembangan Ilmu Keperawatan Anestesi.

Pelaihari, November 2023

Penulis

I WAYAN WIDYADINATA

DAFTAR ISI

4
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN.
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR viii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 5
1.3 Tujuan Penelitian 5
1.3.1 Tujuan Umum 5
1.3.2 Tujuan Khusus 5
1.4 Manfaat Penelitian 5
1.4.1 Manfaat Teoritis 5
1.4.2 Manfaat Praktis 6
1.5 PENELITIAN TERKAIT 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10
2.1 Landasan Teori 10
2.1.1 Anestesi 10
2.1.2 Post Operative Nausea Vomoting (PONV) 22
2.1.3 Lama Puasa 35
2.1.4 Spinal anestesi 26
2.2 Kerangka Teori 41
2.3 Kerangka konsep 42
2.4 Hipotesis Penelitian 43
BAB III METODE PENELITIAN 44
3.1 Desain Penelitian 44
3.2 Populasi dan Sampel 45
3.2.1 Populasi 45
3.2.2 Sampel 45
3.2.3 Jenis Pengambilan Sampel 45
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian 46
3.3.1 Tempat Penelitian 46
3.3.2 Waktu Penelitian 46
3.4 Instrument Penelitian 46

5
3.5 Cara Pengumpulan Data 47
3.6 Prosedur Penelitian 48
3.7 Etika Penelitian 49
DAFTAR PUSTAKA 51

DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 Definisi Operasional............................................................ 44

6
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka Konsep........................................................... 42
Gambar 2. Kerangka Teori............................................................... 43

7
8

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penanganan medis secara invasif salah satunya dengan
operasi atau pembedahan yang merupakan suatu tindakan untuk
mendiagnosa atau mengobati penyakit, injuri, atau deformitas
tubuh yang akan mencederai jaringan sehingga menimbulkan
perubahan fisiologis tubuh dan mempengaruhi organ tubuh lainya,
untuk pembukaan bagian tubuh ini umumnya dilakukan dengan
membuka sayatan. Informasi yang diperoleh dari Kemenkes
(2015), diperkirakan beban penyakit di dunia berasal dari penyakit
atau keadaan yang sebenarnya bisa ditanggulangi dengan
pembedahan sekitar 11%. Presentase tersebut mengakibatkan
tingkat insidensi yang meningkat dari tahun ke tahun.
Dalam pembedahan dibutuhkan adanya anestesi untuk
mengurangi rasa nyeri akibat dari luka sayatan tersebut, anestesi
pada umumnya terbagi menjadi dua yaitu anestesi general dan
anestesi regional. Anestesi general bekerja menekan aksis
hipotalamus pituitari adrenal sedangkan anestesi regional berfungsi
untuk menekan transmisi impuls nyeri dan menekan saraf otonom
eferen ke adrenal (Morgan, G. E, Maged SM, Mikhail JM. 2013).
Tindakan pembedahan yang dilakukan pada pasien menggunakan
general anestesia atau anestesi umum. General anestesi adalah
suatu tindakan yang bertujuan menghilangkan nyeri, membuat
tidak sadar dan menyebabkan amnesia yang bersifat reversible dan
dapat diprediksi, saat dilakukan pembiusan dan operasi general
anestesia menyebabkan kesadaran dan ingatan pasien hilang
sehingga saat pasien pulih dari kesadarannya, pasien tidak
9

mengingat peristiwa pembedahan yang dilakukan (Pramono, Ardi.


2015).
Preoperatif adalah fase dimulai ketika keputusan untuk
menjalani operasi atau pembedahan dibuat dan berakhir ketika
pasien dipindahkan ke meja operasi ( Smeltzer & Bare, 2012 ).
Sebelum menjalani pembedahan pasien diwajibkan untuk
menjalani puasa. Puasa pada pasien yang akan menjalani operasi
merupakan keharusan sebelum tindakan operatif, hal ini berguna
untuk mengurangi volume dan keasaman lambung serta
mengurangi risiko aspirasi yang lebih dikenal dengan Mendelson’s
syndrome selama anestesi. Sejak tahun 1999 American Society of
Anesthesiologist (ASA) untuk mempuasakan pasien dari makanan
padat maupun cair, tetapi puasa yang berlebihan dapat
menyebabkan komplikasi pascaoperatif. Puasa preoperatif yang
disarankan menurut ASA adalah 6 jam untuk makan padat dan 2
jam untuk air putih. Namun, pada praktiknya instruksi puasa yang
sering diterima pasien adalah sejak tengah malam tanpa melihat
jadwal operasinya sehingga puasa preoperatif pada pasien yang
akan menjalani operasi cenderung lebih lama daripada yang
disarankan. Waktu puasa yang panjang atau baru saja makan akan
meningkatkan insiden Post operative Nausea and Vomiting
(PONV).
Menurut penelitian Fakhrunnisa, E, (2017), menyatakan
bahwa pasien yang dilakukan anestesi umum lebih banyak
mengakibatkan PONV yaitu sebanyak 18,75% dibandingkan
dengan menggunakan anestesi regional yaitu 7% . Sedangkan pada
penelitian yang dilakukan oleh Sholihah (2014) tindakan anestesi
umum mengakibatkan PONV yang lebih banyak dari anestesi
regional, yaitu sebanyak 18.75% dan pada pasien regional 8.33%.
Sehingga tidak semua pasien spinal anestesi mengalami PONV.
10

Komplikasi yang sering terjadi pada general anestesia dalam 24


jam pertama setelah operasi adalah PONV.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Anwari (2017)
bahwa faktor anestesi pada pasien pasca operasi memiliki
prosentase PONV 53,3%, sebagian besar responden faktor anestesi
penggunaan opioid yang digunakan PONV terdapat 51,6% pasien
yang diberikan opioid dan 48,3% tidak diberikan opioid,
sedangkan kejadian PONV yang terjadi pada pasien yang
diberikan opioid sebanyak 43,3% di Rumah Sakit Umum Daerah
Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Di seluruh dunia
insidensi PONV pada pasien bedah mencapai 30% dari lebih dari
100 juta (Sholihah, Marwan dan Husairi, 2015). Pada penelitian
Nurjanah (2017) menyatakan obat opioid dapat menyebabkan
PONV, di buktikan responden yang semua mendapatkan opioid
sebanyak 40,4% mengalami PONV dan sebanyak 59,4% tidak
mengalami kejadian PONV. Dalam hal ini, sesuai dengan pendapat
Collins AS. (2011), bahwa opioid dapat meningkatkan sensitivitas
vestibular yang ditandai dengan adanya vertigo akibat stimulasi
langsung sistem vestibular
Di Indonesia insiden terjadinya PONV belum tercatat
jelas. Berdasarkan penelitian Salasa, W, N. (2017), menunjukkan
bahwa berdasarkan lama anestesi sebanyak 66,7% responden
dengan lama anestesi kurang dari 2 jam dan 33,3% responden
dengan lama anestesi 2-4 jam. Distribusi kejadian tidak PONV
sebanyak 61,7% dan kejadian PONV sebanyak 38,3% responden.
Hasil penelitian Sholihah, Marwan & Husairi. (2015) juga
melaporkan insiden PONV pada pasien pembedahan berkisar
antara 20-30%. Penelitian lainnya oleh Anggrahini, E. (2017),
melaporkan bahwa responden perokok aktif sebagian besar atau
81,8% tidak mengalami PONV sebanyak sedangkan 18,2%
11

mengalami PONV, sedangkan kejadian PONV pada perokok pasif


terjadi lebih sering sebanyak 54,5% dibandingkan dengan perokok
pasif yang tidak mengalami PONV sebanyak 45,4%. Insidensi
mual pada dua jam pertama post operasi di PACU (Post Anastesia
Care Unit) mencapai 20% dan muntah 5%. Sedangkan pada dua
jam berikutnya sampai 24 jam insidensi mual mencapai 50% dan
muntah 25% (Kovac, 2003 dalam Silaban J. H, 2015). Berdasarkan
observasi yang peneliti lakukan di Rumah Sakit Borneo Citra
Medika Pelaihari, biasanya 45 menit sampai satu jam postoperative
baru pasien diobservasi ke ruangan.
Terjadinya PONV bila tidak segera ditangani, dapat
menyebabkan timbulnya masalah baru. PONV dapat menyebabkan
dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, hipertensi vena,
perdarahan, reptur esofageal, dan dalam keadaan dapat membuat
pasien mengalami dehidrasi berat (Conway, 2009 dalam Supatmi
& Agustiningsih, 2015). Selain itu, PONV juga menyebabkan
stress post operasi dan kecenderungan malas latihan gerak atau
ambulasi dini pada pasien (Allen, 2004 dalam Supatmi &
Agustiningsih, 2015). Dampak lebih lanjut dari PONV apabila
tidak ditangani maka dapat memperpanjang waktu perawatan,
meningkatkan biaya perawatan dan dapat menyebabkan
peningkatan stressor (Buckle, 2007 dalam Supatmi &
Agustiningsih, 2015). Oleh karena itu perawat harus memahami
dengan benar kondisi mual dan muntah yang dialami pasien dan
bagaimana penanganan untuk mencegah dampak lebih lanjut dari
PONV.
Instalasi Bedah Sentral (IBS) di RS Borneo Citra Medika
mempunyai 4 kamar operasi dan satu ruang pemulihan / recovery
room (RR). Dari data yang didapat saat melakukan studi
pendahuluan, di peroleh informasi bahwa dalam operasi rata-rata 1
12

bulan dengan tindakan anestesi adalah 210 kasus bervariasi seperti


operasi urologi, operasi digestif, operasi ginekologi, dan operasi
orthopedi. Dimana untuk general anestesi berjumlah 150 (62,5%)
kasus, sedangkan regional anestesi berjumlah 60 (37,5%), Untuk
kasus general anestesi pada pasien dewasa dalam 1 bulan terakhir
(bulan Oktober) ini rata-rata 135 Kasus.
Menurut data yang diperoleh dari wawancara dengan
perawat di bangsal rata-rata pasien dianjurkan untuk puasa sekitar
7-8 jam, akan tetapi diperoleh data bahwa sekitar 20% pasien
puasa lebih dari 8 jam dikarenakan operasinya mundur, dan 15% di
temukan pasien puasa kurang dari 6 jam dikarenakan operasinya
dimajukan. Dari wawancara perawat di recovery room sebanyak
30% yang mengalami PONV pasca general anestesi. Oleh karena
itu, peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara lama puasa
dengan kejadian PONV di RS Borneo Citra Medika Pelaihari.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan
sebelumnya maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah
“Apakah terdapat hubungan antara lama puasa dengan kejadian
Post Operative Nausea Vomiting pada pasien pasca general
anestesi di RS Borneo Citra Medika Pelaihari?”.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
hubungan antara lama puasa dengan kejadian Post Operative
Nausea Vomiting pada pasien pasca general anestesi di RS
Borneo Citra Medika Pelaihari.

2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya lama puasa pada pasien operasi elektif.
13

b. Diketahuinya kejadian Post Operative Nausea Vomiting pada


pasien pasca general anestesi.
c. Diketahuinya keeratan hubungan antara lama puasa dengan
kejadian Post Operative Nausea Vomiting pada pasien pasca
general anestesi.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi dan data yang dapat digunakan sebagai masukan ilmu
keperawatan anestesi tentang hubungan lama puasa dengan
kejadian Post Operative Nausea Vomiting pasca general
anestesi di RS Borneo Citra Medika Pelaihari.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi RS Borneo Citra Medika Pelaihari
Sebagai salah satu bahan informasi dan ilmu
pengetahuan untuk mengetahui kejadian PONV, yang
merupakan akibat dari faktor PONV dan bahan masukan
dalam merumuskan kebijakan rumah sakit terkait dengan
Standar Operasional Prosedur (SOP) tentang pemantauan
PONV pasca general anestesi dan diketahuinya lama puasa
yang efektif untuk mencegah terjadinya PONV pada pasien
pasca general anestesi.
b. Bagi Perawat Ruangan
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan
kewaspadaan terhadap PONV pasca general anestesi
bangsal Raudah guna menceggah terjadinya kegawatan jalan
nafas pasien dan meningkatkan kesiapan dalam menangani
kejadian PONV pada pasien sebelum terjadi komplikasi
yang tidak diinginkan setelah adanya kejadian PONV.
c. Bagi ITSK RS dr. Soepraoen Kesdam V Malang
14

Meningkatkan pengetahuan mahasiswa ITSK RS


dr. Soepraoen Kesdam V Malang khususnya mahasiswa
Sarjana Terapan Keperawatan tentang hubungan lama puasa
dengan kejadian PONV pasca general anestesi dan dapat
digunakan sebagai bahan bacaan di perpustakaan.
15

E. Keaslian Penelitian

No Judul Isi

1 Sholihah (2014) : Gambaran angka Hasil dari penelitian ini adalah


kejadian Post Operative Nausea And menunjukkan dari 96 pasien sebanyak 26
Vomiting (PONV) di RSUD Ulin pasien (27,08%) mengalami PONV.
Banjarmasin Kelompok usia dengan keluhan PONV
terbanyak yaitu kelompok usia 40-54 tahun,
yaitu sebanyak 11 pasien (11,46%).
Berdasarkan jenis kelamin menunjukkan
bahwa jenis kelamin perempuan lebih banyak
mengalami PONV, yaitu sebanyak 18 pasien
(18,75%). Berdasarkan jenis tindakan
anestesi, anestesi umum lebih banyak
mengakibatkan PONV, yaitu sebanyak 18
pasien ?(18,75%). Jenis pembedahan yang
mengakibatkan PONV terbanyak adalah
bedah digestif, sebanyak 12 pasien (12,50%).
Kesimpulan penelitian adalah gambaran
angka kejadian PONV di RSUD Ulin
Banjarmasin terbanyak terjadi pada kelompok
usia 40-54 tahun, jenis kelamin perempuan,
jenis tindakan anestesi umum, dan pasien
yang melakukan tindakan bedah digestif.

Persamaannya terletak pada metode


pengumpulan datanya yaitu menggunakan
observasional dan wawancara. Perbedaannya
terletak pada pembahasannya yaitu pada
penelitian sebelumnya membahas tentang
gambaran angka kejadian post operative
nausea and vomiting (PONV). Sedangkan
pada penelitian ini peneliti membahas tentang
hubungan antara lama puasa dengan kejadian
Post

2 Salasa, W, N. (2017) : Hubungan Hasil penelitian menunjukkan bahwa


Lama Anestesi Dengan Kejadian berdasarkan lama anestesi sebanyak 40
PONV Pasien Pasca General (66,7%) responden dengan lama anestesi < 2
Anestesi di RSUD Sleman jam dan 20 (33,3%) responden dengan lama
anestesi 2-4 jam. Distribusi kejadian tidak
PONV sebanyak 37 (61,7%) dan kejadian
PONV sebanyak 23 (38,3%) responden.

Persamaannya terletak pada metode


pengumpulan datanya yaitu menggunakan
observasional dan wawancara. Perbedaannya
terletak pada pembahasannya yaitu pada
penelitian sebelumnya membahas tentang
hubungan lama anestesi dengan kejadian
16
PONV pasien pasca general anestesi di
RSUD Sleman. Sedangkan pada penelitian ini
peneliti membahas tentang hubungan antara
lama puasa dengan kejadian Post Operative
Nausea and Vomiting pasca general anestesi
di PKU Muhammadiyah Yogyakarta

3 Anwari (2017) : Faktor-Faktor Yang Hasil penelitian ini menunjukkan


Mempengaruhi Kejadian Post responden yang mengalami PONV sebagian
Operative Nausea Vomiting (PONV) besar (53,6%) sementara tidak mengalami
Pada Pasien Dengan Tindakan PONV sebagian kecil (46,7%). Secara
Anestesi di RSUD Prof. dr. Margono keseluruhan faktor-faktor risiko
Soekarjo Purwokerto mempengaruhi kejadian PONV dengan nilai
signifikan sebesar 0,007 (ρ<0,05).
Sedangkan faktor dominan adalah faktor
pasien dengan nilai signifikan sebesar 0,001
(ρ<0,05).
Persamaannya dengan penelitian
sebelumnya adalah jenis penelitiannya
menggunakan observasional analitik dengan
teknik pengumpulan datanya yaitu
menggunakan observasional dan
wawancara. Perbedaan dengan penelitian
sebelumnya terletak pada teknik penentuan
sampel yang digunakan yaitu accidental
sampling, jumlah sampel dalam penelitian
dihitung dari 20% dari jumlah populasi 150
didapatkan jumlah 30 responden, dan
variabelnya yaitu faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian Post Operative
Nausea Vomiting (PONV). Sedangkan
dalam penelitian ini, teknik pengumpulan
menggunakan consecutive sampling
17

BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA

A. Tinjauan Teori
1. Anestesi

a. General Anestesi

General Anestesi adalah suatu tindakan menghilangkan

nyeri secara sentral dengan disertai hilangnya kesadaran namun

bersifat pulih kembali (reversible) yang meliputi trias anestesi

yaitu pasien kehilangan kesadaran (hipnotik), pasien terbebas

dari rasa nyeri saat pembedahan (analgetik), dan pasien

mengalami kelumpuhan otot (relaksasi) (Mangku, 2013).

Sedangkan menurut Morgan (2013), general anestesi merupakan

berubahnya status fisiologis yang juga disertai dengan hilangnya

kesadaran, tanpa merasakan sakit dari seluruh tubuh, hilang

ingatan, dan beberapa derajat relaksasi otot. Sehingga dapat

ditarik kesimpulan bahwa general anestesi adalah tindakan yang

menyebabkan panderita atau pasien tidak sadar dengan

menggunakan obat-obatan tertentu akan tetapi dapat disadarkan

kembali.

b. Teknik General Anestesi

1) General Anestesi Intravena (Total Intravenous Anesthesia/TIVA)


18
Merupakan teknik general anestesi yang dilakukan

dengan menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke


13

dalam pembuluh darah vena dari bermacam substansi, seperti

tiopental. Teknik ini digunakan untuk induksi dan

pemeliharaan anestesi, bedah singkat, suplemen hypnosis dan

sedasi pada beberapa tindakan medis (Mangku, 2013). Agen

anestetik intavena memiliki keuntungan yaitu mudah meledak,

mudah untuk diberikan kepada pasien, dan memerlukan sedikit

peralatan. Kejadian PONV yang rendah membuat metode ini

sangat bermanfaat dalam bedah mata, karena muntah dapat

membahayakan pandangan tekanan intraokuler dan

membahayakan pandangan pada mata yang dioperasi. Anestesi

intravena sangat bermanfaat untuk produksi singkat tapi jarang

digunakan dalam prosedur lama seperti pada bedah (Brunner &

Suddarth, B.A.R. (2010).

2) General Anestesi Inhalasi (Volatile Inhalation and

Maintenance Anesthesi / VIMA)

Merupakan salah satu teknik general anestesi yang

dilakukan dengan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi

yang berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui

alat atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi. Gas-gas

tertentu, neperti nitrous oksida dan siklopropan, cepat

diabsorpsi, bekerja dengan cepat, dan dieliminasi dengan cepat

pula. Teknik general anestesi inhalasi meliputi sungkup muka,

pipa endotrakea nafas spontan dan pipa endotrakea nafas


14

kendali
15

(Mangku, 2013). Anestetik yang menguap (volatile anesthetic)

mempunyai tiga sifat dasar yang sama yaitu : berbentuk cairan

pada suhu kamar, mempunyai sifat anestetik kuat pada kadar

yang rendah dan relatif mudah larut dalam lemak, darah, dan

jaringan (Goodman & Gilman, 2013).

Menurut Goodman & Gilman (2013), cara pemberian

anestetik inhalasi bibagi menjadi empat yaitu :

a) Open Drop Method

Cara ini dapat digunakan untuk anestetik yang

menguap, peralatan sangat sederhana dan tidak mahal. Zat

anestetik di teteskan pada kapas yang ditempelkan didepan

hidung sehingga kadar zat anestetik dihirup tidak diketahui

dan pemakainnya karena zat anestetik menguap ke udara

terbuka.

b) Semi Open Drop Method

Cara ini hampir sama dengan open drop , hanya untuk

mengurangi terbuangnya zat anestetik digunakan masker.

Karbondioksida yang dikeluarkan sering terhisap kembali

sehingga dapat terjadi hipoksia, untuk menghindari hal ini

dialirkan oksigen melalui pipa yang ditempatkan dibawah

masker.

c) Semi Closed Method


16

Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni

yang dapat ditentukan kadarnya, kemudian dilewatkan pada

penguap (vaporizer) sehingga kadar zat anestesi dapat

ditentukan. Sesudah dihisap penderita, udara napas yang

dikeluarkan akan dibuang ke udara luar. Keuntungan cara

ini ialah dalamnya anestesia dapat diatur dengan

memberikan kadar tertentu dan zat anestetik, dan hipoksia

dapat dihindari dengan pemberian oksigen.

d) Closed Method

Cara ini hampir sama dengan semi closed, hanya

udara ekspansi dialirkan melalui absorben (soda lime) yang

dapat mengikat karbondioksida, sehingga udara

mengandung anestetik dapat digunakan lagi.

3) General Anestesi Imbang

Merupakan teknik general anestesi dengan

menggunakan kombinasi obat-obatan baik obat anestesi

intravena maupun obat anestesi inhalasi atau kombinasi teknik

general anestesi dengan analgesia regional untuk mencapai

trias anestesi secara optimal dan berimbang. Triase anestesi

meliputi efek hipnosis yaitu diperoleh dengan mempergunakan

obat hipnotikum atau obat anestesi umum yang lain, efek

analgesi yaitu diperoleh dengan mempergunakan obat analgetik

opiat atau obat general anestesi atau dengan cara analgesia


17

regional,
18

dan efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat

pelumpuh otot atau general anestesi, atau dengan cara analgesia

regional (Mangku, 2013).

c. Stadium General Anestesi

Stadium general anestesi dibagi dalam 4 yaitu stadium I

(analgesia), stadium II (eksitasi), stadium III (pembedahan), dan

stadium IV (depresi medulla oblongata) (Pramono, Ardi, 2015).

1) Stadium I (stadium induksi atau eksitasi volunter)

Disebut juga stadium analgesia atau stadium

disorientasi, dimulai dari pemberian agen anestesi sampai

menimbulkan hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien

masih dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesia

(hilangnya rasa sakit). Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi

nafas dan pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan

defekasi. Stadium ini diakhiri dengan ditandai oleh tidak adanya

reflek bulu mata yang dapat diketahui dengan kelakukan

perabaan pada bulu mata.

2) Stadium II (stadium eksitasi involunter)

Disebut juga stadium eksitasi atau stadium delirium,

dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium

pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang

tidak menurut kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia


19

urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan takikardia. Pada

stadium ini berakhir dengan hilangnya reflek menelan dan

kelopak mata.

3) Stadium III (pembedahan/operasi)

Stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan

hingga hilangnya pernapasan spontan. Stadium ini ditandai

dengan hilangnya pernapasan spontan, hilangnya reflek

kelopak mata, dan dapat digerakkannya kepala ke kiri dan ke

kanan dengan mudah. Stadium III terbagi dalam 3 bagian yaitu;

a) Plane I yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan

terhentinya anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-

abdominal, refleks pedal masih ada, bola mata bergerak-

gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea terdepresi.

b) Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan

bola mata ventro medial semua otot mengalami relaksasi

kecuali otot perut.

c) Plane III, ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola

mata kembali ke tengah dan otot perut relaksasi.

4) Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau overdosis)

Ditandai dengan paralisis otot dada, pulsus cepat dan

pupil dilatasi. Bola mata menunjukkan gambaran seperti mata

ikan karena terhentinya sekresi lakrimal. Kelumpuhan

pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan


20

pernapasan buatan.
21

d. Obat Anestesi

Ada berbagai macam obat yang berbeda di ruang anestesi

yang digunakan secara regular, jarang sekali digunakan sendirian

atau bersamaan dengan obat lain. Pengetahuan tentang agen,

terutama farmakologi dan alasan pemberian adalah esensial untuk

mengerti seni dari anestesi. Sebagian besar obat anestesi

mempunyai efek depresi miokard.

Obat anestesi dapat digunakan untuk induksi anestesi,

pemeliharaan anestesi atau sedasi tergantung dari dosis yang

diberikan. Dapat diberikan intavena sebagian cairan atau gas

sebagai inhalasi. Untuk sebagian besar kasus intravena (IV)

digunakan untuk induksi dan agen inhalasi digunakan untuk

pemeliharaan (Keat, 2013).

Menurut Soerasdi. E. (2010) obat-obatan yang digunakan

dalam anestesi umum ialah :

1) Obat anestesi intravena

a) Atropine sulfat

b) Midazolam

c) Pethidine

d) Fentanyl

e) Atracurium besilate
22

f) Rocuronium bromide

g) Propofol

h) Ketamin HCL

i) Prostigmin

2) Obat anestesi inhalasi

a) Nitrous Oxide

b) Halothane

c) Isoflurane

d) Sevoflurane

e) Desflurane

f) Enflurane

e. Pemeriksaan Status Anestesi

Pemeriksaan status fisik untuk dilakukan pembiusan

dilakukan untuk keselamatan selama pembedahan. Sebelum

dilakukan anestesi demi kepentingan pembedahan, pasien akan

mengalami pemeriksaan status fisik yang diperlukan untuk menilai

sejauh mana resiko pembiusan terhadap diri pasien.

Pemeriksaan yang biasa digunakan adalah pemeriksaan

dengan menggunakan metode ASA (American Societi of

Anesthesiologist) pemeriksaan ini dilakukan karena obat dan teknik

anestesi pada umumnya akan mengganggu fungsi pernafasan,

peredaran darah dan sistem saraf (Majid, 2011).


23

Menurut Majid, Abdul, Muhammad Juda & Istianah Umi.

(2011) klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran

fisik seseorang berasal dari American Societi of Anesthesiologist

(ASA) yaitu :

1) ASA 1 yaitu pasien dengan sehat organik, fisiologi, psikiatrik,

dan bikimia.

2) ASA 2 yaitu pasien dengan penyakit sistemik ringan atau

sedang dan tidak ada keterbatasan fungsional.

3) ASA 3 yaitu pasien dengan penyakit sistemik berat sehingga

aktifitas rutin terbatas.

4) ASA 4 yaitu pasien dengan penyakit sistemik berat dan tidak

dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan

ancaman setiap saat

5) ASA 5 yaitu pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau

tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

6) ASA E yaitu pasien yang akan dilakukan operasi emergensi

atau darurat.

f. Komplikasi General Anestesi

Keberhasilan dalam mengatasi komplikasi anestesi

tergantung dari deteksi gejala dini dan kecepatan dilakukan

tindakan koreksi untuk mencegah keadaan yang lebih buruk

(Brunner & Suddarth, B.A.R, 2010). Tindakan anestesi menjadi


24

sangat aman
25

karena evaluasi dan persiapan pra anestesi yang lebih baik, pilihan

pasien yang cermat, monitoring yang lebih baik, ketersediaan obat

yang aman (Nileshwar, Anitha. 2014).

1) Komplikasi general anestesi parenteral

Reaksi yang merugikan dari obat anestesi parenteral

meliputi sakit pada tempat suntikan, thrombosis vena, gerakan

otot yang involunter, cegukan, hipotensi, hipertensi, hipoksia dan

delirium pasca pembedahan. Reaksi hipersensitivitas karena

pelepasan histamine lebih sering terjadi. Warna kemerahan pada

sebagian tubuh dapat terjadi akibat vasodilatasi pembuluh darah,

biasanya terjadi hipotensi. Bronkospasme terjadi kurang dari 50%

kejadian, seringkali sakit perut dan muntah (Aitkenhead A.R,

Moppet,I & Thomson J. 2013).

2) Komplikasi general anestesi inhalasi

Komplikasi general anestesi inhalasi menyebabkan

hipotensi, depresi pernapasan, hipertensi, hiperkarbia dan

kerusakan hepar (Brunner & Suddarth, B.A.R. 2010). Jenis agen

anestesi dengan penggunaan inhalasi dan anesi volatile

meningkatkan risiko PONV. Agen anestesi yang dihirup seperti

N2O meningkatkan risiko PONV karena dapat menyebabkan

distensi usus dan tekanan pada telinga tengah, yang telah

ditemukan untuk berkontribusi PONV (Hambridge, Kevin

2013).
26

3) Komplikasi general anestesi seimbang

Komplikasi general anestesi seimbang biasanya

terjadi risiko PONV yang meningkat. Walaupun faktor lain

misalnya faktor pembedahan dan penggunaan opioid bisa

menyebabkan PONV, agen inhalasi juga berkontribusi terhadap

kejadian PONV. Selain itu juga dari obat-obat anestesi

parenteral meliputi sakit pada tempat suntikan, thrombosis

vena, gerakan otot involunter, cegukan, hipotensi, hipertensi,

hipoksia dan deliriu, pasca pembedahan (Aitkenhead A.R,

Moppet,I & Thomson J. (2013).

2. Post Operative Nausea Vomoting (PONV)

1. Pengertian PONV

PONV adalah mual dan atau muntah yang terjadi dalam 24

jam pertama setelah pembedahan. PONV terdiri dari tiga gejala

utama yang dapat timbul segera atau setelah operasi yang meliputi

nausea atau mual, vomiting atau muntah, dan Retching. Nausea

atau mual adalah sensasi subyektif akan keinginan untuk muntah

tanpa gerakan ekspulsif otot, jika berat akan berhubungan dengan

peningkatan sekresi kelenjar ludah, gangguan vasomotor, dan

berkeringat. Vomiting atau muntah adalah keluarnya isi lambung


27

melalui mulut. Retching adalah keinginan untuk muntah yang tidak

produktif (Miller RD, 2010).

2. Klasifikasi PONV

Menurut Miller RD (2010) PONV dikelompokkan sebagai

berikut :

a. Earley PONV

Adalah mual dan muntah pasca operasi yang timbul pada 2-6

jam setelah pembedahan, biasanya terjadi pada fase 1 PACU

(Post Anesthesia Care Unit).

b. Late PONV

Adalah mual dan atau muntah pasca operasi yang timbul pada

6- 24 jam setelah pembedahan, biasanya terjadi diruang pulih

sadar atau ruang perawatan pasca bedah.

c. Delayed PONV

Adalah mual dan atau muntah pasca operasi yang timbul

setelah 24 jam pasca pembedahan.

3. Fisiologi PONV

Medulla mempunyai pusat muntah dan mual yang terpisah

tapi saling berinteraksi satu sama lain. Input afferen didapatkan

dari peregangan lambung dan duodenum, dan nyeri dari sistem

urogenital. Pusing dan rangsangan pada bagian belakang

tenggorokan dapat memicu muntah dengan merangsang reseptor

pada lambung dan duodenum atau mengaktifkan chemoreceptor


28

trigger zone (CTZ) pada daerah postrema diotak. CTZ merupakan

suatu kelompok sel yang terletak dekat dengan area postrema di

dasar ventrikel ke empat. CTZ juga sensitive terhadap stimulus

sistemik dan berkaitan dengan kontrol tekanan darah, asupan

makanan dan tidur (Black Joyce. M & Jane Hokanse Hawks,

2014).

4. Patofisiologi PONV

Menurut Gwinnut, Carl L (2011) jenis anestesi yang

paling berpengaruh adalah teknik general anestesi. Semakin lama

tindakan anestesi, semakin terpapar obat-obatan anestesi sehingga

beresiko terjadinya PONV. Lama tindakan anestesi memiliki

pengaruh besar khususnya agen volatil dengan konsentrasi yang

lebih tinggi dalam darah dan jaringan (khususnya lemak) kelarutan,

durasi anestesi yang lebih lama, sehingga agen-agen ini harus

berusaha mencapai keseimbangan dengan jaringan tersebut

(Chintamani & Elsa.S.D. (2008).

Menurut penelitian Pierre Sebastien, MD & Whelan

Rachel (2013), PONV dapat dipicu oleh beberapa rangsangan

perioperatif, termasuk opioid, anestetik volatil, kecemasan, reaksi

obat yang merugikan, dan gerak. Hal ini merangsang beberapa

jalur neurotransmitter yang terlibat dalam fisiologi mual dan

muntah. Enterochromaffin sel-sel di saluran pencemaran rilis

saluran serotonin, dan saraf vagus berkomunikasi dengan CTZ


29

melalui reseptor 5-HT3. Pemaparan obat-obat anestesi tersebut


30

menyebabkan metabolisme obat yang diekskresikan lebih lambat

dibanding absorbsinya dan menurunkan PH darah dan mortalitas

usus menurun yang menyebabkan perangsangan afferen simpatis

yang mempungaruhi aktivitas muntah pusat muntah.

5. Tahap Terjadinya Mual Sampai dengan Muntah

Menurut Gan (2007). tahap terjadinya mual sampai

dengan muntah meliputi sebagai berikut :

a. Gejala Awal Muntah (Mual)

1) Keringat dingin.

2) Salivasi.

3) Takikardi.

4) Bernafas dalam.

5) Pilorus membuka.

6) Kontraksi duodenum/yeyenum.

7) Saat ini bisa terjadi regurgitasi dari usus halus ke lambung.

b. Retching

1) Lambung berkontraksi.

2) Sfingter oesofagus bawah membuka sedangkan sfingter

oesofagus atas masih menutup.

3) Inspirasi dalam dengan kontraksi diafragma diikuti dengan

relaksasi otot dengan perut dan lambung.

c. Ekspulsi

1) Inspirasi dalam dengan kontraksi diafragma.


31

2) Otot dengan perut berkontraksi.

3) Kontraksi otot faring menutup glottis dan naresposterior.

4) Anti peristaltic pada lambung, pylorus menutup.

5) Sfingter oesofagus atas dan bawah membuka.

6. Faktor Risiko PONV

Menurut Stannard Daphne and Krenzischek Dina. (2012).

faktor-faktor risiko PONV antara lain :

a. Faktor risiko pasien

Beberapa risiko yang berasal dari pasien, meliputi :

1) Jenis kelamin

Prevalensi PONV jenis kelamin perempuan lebih

rentan terjadi PONV sebanyak 2-3 kali memungkinkan

terjadinya PONV dibandingkan dengan jenis kelamin laki-

laki (Stannard Daphne and Krenzischek Dina, 2012).

2) Usia

Pada anak-anak 2 kali lebih besar untuk terjadi

PONV dibandingkan dewasa. Insiden PONV meningkat

pada usia 5 tahun dan paling tinggi (34-51%) pada anak

dengan rentang umur 6-16 tahun, kemudian menetap

selama masa dewasa dan sedikit menurun pada usia lanjut

(Hambly, P, 2007). Risiko tinggi pada PONV yaitu pada

usia < 50 tahun (Gan, TJ and Habib, AS, 2016).


32

Tabel 1 Klasifikasi umur menurut Depkes tahun 2016

Katego Um
ri ur
Balita 0-5 tahun
Kanak-kanak 5-11 tahun
Remaja awal 12-16 tahun
Remaja akhir 17-25 tahun
Dewasa awal 26-35 tahun
Dewasa akhir 36-45 tahun
Lansia awal 46-55 tahun
Lansia akhir 56-65 tahun
Manula >65 tahun
Sumber : Profil Kesehatan Indonesia, 2016

3) Obesitas

Penderita yang gemuk (BMI >30) angka kekerapan

PONV lebih tinggi dibandingkan dengan penderita kurus.

Hal ini dikarenakan obat anestesi yang larut dalam lemak

dapat berakumulasi pada jaringan lemak sehingga akan

berlanjut dilepaskan dalam periode waktu panjang sehingga

memnerikan efek samping yang lama termasuk terhadap

penurunan venus return (hipotensi) terjadinya mual muntah

(Mochtar, 2012).

4) Riwayat migrain

Migrain merupakan sakit kepala berulang yang

idopatik dengan serangan nyeri yang berlangsung 4-72 jam,

dengan karakterikstik berlokasi unilateral, sifatnya nyeri


33

berdenyut (Pulsating). Gejala migrain biasanya disertai


34

gejala mual, muntah atau peka terhadap cahaya (Riyadina,

Woro, Yuda Taruna, 2014).

5) Puasa preoperatif

Puasa preoperatif yang adekuat akan menurunkan

risiko PONV setelah anestesi, sedangkan puasa yang

berlebihan justru meningkatkan risiko PONV. Oleh karena

itu puasa yang lebih dari 8 jam dapat meningkatkan

terjadinya peningkatan asam lambung. Puasa persiapan

operasi adalah minimal 8 jam pada orang dewasa (Majid,

2011). Hal ini juga di karenakan kondisi preoperatif pada

pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial, obstruksi

usus, pasien paska trauma, dan kadar alkohol dalam darah

yang tinggi memiliki risiko PONV yang tinggi. Kurang

berpuasa untuk cairan bening tampaknya mengurangi

kejadian PONV. Hubungan yang baik terjadi antara cairan

cepat dan kejadian PONV.

Banyak kejadian pasien yang berpuasa 12-16 jam

yang ditemukan diberbagagai institusi kesehatan. Puasa

akan memanjang lebih lama ketika operasi tertunda.

Penelitian di India mendapatkan data pemanjangan waktu

puasa disebabkan oleh instruksi yang salah dari petugas

kesehatan sebanyak 74 % dan akibat diundurnya jadwal

operasi sebanyak 32% (Dausawati, 2015).


35

Panduan puasa preoperatif yang diterapkan

diberbagai negara diperbolehkan minum clear fluids

samapai dengan 2 jam preoperatif. Pemberian minuman

kaya karbohidrat 2 jam preoperatif ternyata tidak

meningkatkan volume gaster atau meningkatkan keasaman

(Hartanto, B, Sitanggang, RH, Suwarman, 2016).

6) Riwayat PONV atau Motion Sickness

Pada beberapa pasien PONV atau Motion Sickness

mempunyai ambang rangsang yang rendah terhadap mual

dan muntah dibandingkan dengan ansietas karena

pengalaman PONV sebelumnya dapat menambah risiko.

Namun, riwayat PONV atau Motion Sickness hanya

berpengaruh pada efek mual saja.

7) Status merokok

Pasien yang merokok merupakan faktor proteksi

terhadap PONV, hal ini diduga karena adanya bahan

antiemetic didalam asap tembakau yang melakukan blokade

pada salah satu reseptor dopamine, cholinergic dan reseptor

neurokinin (Harijanto, E, 2010).


36

b. Faktor Risiko Pembedahan

1) Lokasi pembedahan

Operasi didaerah abdomen menunjukkan

kekerapan mual dan muntah lebih tinggi, khususnya pada

intra abdominal pada ginekologi berkisar 40%-60%. Pada

penelitian terbaru, dengan menggunakan laparaskopi dapat

menyebabkan PONV. Operasi tiroidektomi menyebabkan

PONV 63%-84%. Pembedahan spesifik yang

memungkinkan insiden PONV, seperti koreksi strabismus,

tonsil adenoidektomi, hernia umbilikalis, laparomy dan

pembedahan telinga tengah (Hambly, P, 2007).

2) Lama pembedahan

Lama operasi dapat menimbulkan stressor yang

lebih tinggi oleh pasien dikarenakan suhu ruangan, bau

obat, dan kecemasan pasien terhadap operasinya yang

menimbulkan peningkatan asam lambung serta

kontraktilitas dan terjadi kejadian mual muntah pada

operasi. Prosedur operasi yang lama lebih sering terjadi

PONV dibandingkan operasi yang singkat karena jarang

terjadi PONV (Hambly, P, 2007).


37

3) Nyeri

Trauma akibat luka operasi sudah pasti akan

menimbulkan rasa nyeri. Hal ini harus disadari sejak awal

dan bila pasien mengeluh rasa nyeri, segera berikan

analgesik (Mangku, 2013).

c. Faktor Risiko Anestesi

Faktor anestesi berikut ini dapat meningkatkan risiko PONV:

1) Penggunaan analgesik opioid (intravena dan pasca operasi)

Opioid yang diberikan pasca operasi merupakam

faktor risiko yang utama terjadinya PONV. Bila diberikan

dalam dosis besar maka tampaknya efek emetogenik

diseimbangkan dengan kebutuhan anestesi volatile yang

lebih rendah sehingga tidak menimbulkan risiko PONV,

(Apfel et al, 2012).

2) Penggunaan N2O

N2O secara langsung merangsang pusat muntah

dan berinteraksi dengan reseptor opioid. Juga membentuk

gelembung udara baik di telinga tengah dan saluran

pencernaan, sehingga mempengaruhi sistem vestibuler dan

meningkatkan masukan visceral ke pusat muntah.


38

3) Penggunaan beberapa agen inhalasi

Penelitian Apfel et al (2012) menunjukkan bahwa

agen anetestik volatile (Isofluran, Enfluran, Sevofluran)

merupakan penyebab utama PONV dalam 2 jam pertama

post operasi.

4) Lama anestesi

Pada general anetesi juga bisa menyebabkan mual

muntah bisa karena faktor intubasi (Stimulus pada efferan

mekanoreseptor faring yang menyebabkan nausea vomitus).

Anestesi yang digunakan lebih dalam atau dorongan

lambung selama pernafasan menggunakan fase mask dapat

menjadi slaah satu faktor untuk terjadinya PONV.

7. Dampak PONV

PONV memberikan dampak praktis baik pasien maupun

rumah sakit yang dapat mengakibatkan komplikasi medis dan

beban ekonomi bagi rumah sakit.

a. Dampak psikologis

Pada saat muntah pasien akan merasa sangat malu

kepada petugas dan pasien lain karena memberikan bekas

muntahan. Pasien yang merasakan PONV sebelumnya atau

motion sickness akan menambah resiko PONV lebih lanjut

(Mihendra, 2007).
39

b. Komplikasi medis

Kontraksi otot yang terjadi pada saat mual dan muntah

beresiko kerusakan pada luka dan jahitan operasi, meningkatkan

risiko perdarahan sehingga mempengaruhi hasil operasi.

Regurgitasi isi lambung dapat menyebabkan risiko obstruksi

jalan nafas, aspirasi pneumonia dan inflamasi paru. Gangguan

keseimbangan cairan dan elektrolit serta dehidrasi dapat terjadi

pada PONV berat, sangat riskan terutama pada pasien anak-

anak. Pada akhirnya kemampuan untuk asupan terapi oral dan

nutrisi terlambat (Mihendra, 2007).

8. Penilaian Respon Mual Muntah

Menurut Gordon Y., Carl G., (2003) respon mual muntah

post operasi anestesi umum dapat dinilai dengan sistem skoring,

yaitu :

a. Skor 0 : Bila responden tidak merasa mual dan muntah.

b. Skor 1 : Bila responden merasa mual saja.

c. Skor 2 : Bila responden mengalami retching muntah.

d. Skor 3 : Bila responden mengalami mual ≥30 menit atau muntah

≥ 2 kali.

9. Managemen

Update terbaru oleh American Society of Anesthesiologists


40

(ASA) menerbitkan pedoman praktek pasca operasi untuk

perawatan postoperatif. Tujuan dari pedoman ini adalah

memberikan informasi yang komprehensif untuk berlatih dokter,

perawat anestesi, perawat bedah, asisten ahli anestesi, apoteker,

dan perawat bangsal serta perawatan kesehatan lainnya tentang

strategi untuk mencegah dan penatalaksanaan mual pada orang

dewasa dan anak. (Gan, 2007). Penatalaksanaannya antara lain,

sebagai berikut :

a) Identifikasi pasien beresiko mual muntah

Identifikasi pasien yang beresiko harus dilakukan

secara obyektif menggunakan skor premedikasi terjadinya mual

muntah yang valid. Penggunaan akor prediksi PONV terlah

terbukti secara signifikan mengurangi tingkat PONV. Skor

risiko yang paling umum digunakan adalah resiko munculnya

mual muntah.

b) Kurangi faktor resiko munculnya mual muntah

Mengurangi faktor resiko pada awal dapat

menurunkan secara signifikam kejadian PONV. Strategi

dianjurkan untuk mengurangi risiko dasar meliputi :

1) Menghindari general anestesi dengan menggunakan

anestesi regional

2) Menggunakan propofol untuk induksi dan maintenance

anestesi
41

3) Meminimalkan penggunaan nitrous oksida


42

4) Meminimalkan anestesi volatile

5) Meminimalkan pemberian opioid intaoperatif dan

postoperatif

6) Hidrasi yang cukup

c) Kelola pencegahan mual muntah

Identifikasi pasien-pasien dengan risiko PONV dapat

dilakukan profilaksis. Pasien risiko sedang dapat diberikan

profilaksis dengan antiemetik tunggal atau kombinasi 2 obat.

Pasien dengan faktor PONV tinggi dapat dipertimbangkan

menggunakan kombinasi lebih dari dua obat antiemetik. Bila

terjadi kegagalan profilaksis PONV dianjurkan jangan

memberikan terapi antiemetik yang smaa dengan obat

profilaksis, tetapi menggunakan obat yang bekerja pada

reseptor yang berbeda.

3. Lama Puasa

a. Puasa Preoperatif

Periode puasa sebelum pemberian anestesi pada

pembedahan sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya aspirasi

dari isi lambung yang dapat menimbulkan bahaya yang fatal. Itulah

yang menjadi alasan pada banyak praktek klinik untuk

mempuasakan pasien dari makanan padat dan cairan dalam waktu

yang tidak terlalu lama. Pasien yang menjalani puasa sebelum


43

operasi mungkin akan menerima efek dari periode puasa ini,

tergantung status kesehatan mereka sebelum puasa (Gordon Y.,

Carl G., 2003).

Puasa preoperatif dimulai sejak tengah malam, padahal

puasa yang lama belum tentu dapat memberikan manfaat klinik

saat penggunaan anestesi. Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan

manfaat dari puasa yang pendek. Puasa yang pendek dianggap

sudah cukup untuk memastikan pengosongan lambung dan

menurunkan resiko dari aspirasi paru-paru. Pemberian cairan

bening secara oral 2 jam sebelum pemberian anestesi tidak

memberikan efek yang merugikan pada isi lambung. Pemberian

cairan tersebut juga bermanfaat dalam meningkatkan kenyamanan

pasien dengan mengurangi rasa haus, dengan demikian pemberian

secara peroral pun dapat meningkat. ASA (American Society of

Anesthesiologists) merekomendasikan untuk menggunakan waktu

puasa yang pendek untuk pasien bedah, tergantung dari tipe

pencernaan masing-masing pasien. Bagaimanapun hasil dari

penggunaan puasa yang pendek dapat mencegah aspirasi dan

kemungkinan komplikasi yang terjadi pada periode postoperatif

(Yavuz, M.S., et al., 2014).

Penelitian klinik dilakukan pada pasien dewasa di rumah

sakit Foothills, menegaskan bahwa pemasukan 150 ml air secara

oral 2-3 jam sebelum jadwal pembedahan tidak menunjukkan efek


44

klinik yang penting pada volume atau pH lambung, petunjuk puasa


45

untuk pasien rawat jalan melarang makanan padat tetapi

mengizinkan pemasukan cairan bening (Cunningham, J.D, 2002).

American Society of Anesthesiologist Task Force tahun 1999

mempublikasikan petunjuk preoperasi, mereka merekomendasikan

puasa yang tepat untuk cairan peroral selama 2 jam sebelum

penggunaan anestesi atau memonitor penggunaan anestesi pada

pasien dewasa. Puasa yang rasional sebelum operasi dapat

mengurangi resiko gangguan penyumbatan dan aspirasi dari cairan

pencernaan pada pasien selama pengaruh anestesi (Cunningham,

J.D, 2002).

1) Puasa Untuk Cairan

Penelitian yang dilakukan oleh Cunningham, J.D

(2002) dengan 140 peserta yang dibagi menjadi 4 kelompok.

Kelompok 1 diberi 150 ml air dengan placebo 2 ½ jam sebelum

operasi. Kelompok kedua diberi 150 ml air dengan H2 antagonis

ranitidine 2 ½ jam sebelum operasi untuk melihat ada tidaknya

perbedaan pada volume lambung jika H2 antagonis diberikan

sebelum operasi. Kelompok ke 3 dan ke 4 tidak diberi air

sebelum operasi, kecuali 10ml air 2 ½ jam sebelum operasi

digunakan untuk membantu menelan ranitidine pada kelompok

3 dan placebo pada kelompok 4. Semua peserta diberi

bromosulphtalein sebagai penanda untuk menelan. Hasilnya

adalah dengan penambahan air meningkatkan tekanan gradien


46

antara lambung dan usus yang dapat menstimulasi laju

peningkatan pengosongan lambung (Dean et al., 2002).

Penemuan yang sama juga diperoleh pada penelitian

yang dilakukan Scarr et al 1989. Total 211 pasien dibagi

menjadi

4 kelompok: kelompok 1 puasa cairan kurang dari 3 jam,

kelompok 2 puasa 3-5 jam, kelompok 3 puasa 5-8 jam dan

kelompok 4 tidak menerima apapun dari tengah malam.

Hasilnya tidak ada perbedaan yang significan antara volume

dan pH lambung pada tiap kelompok. Kedua penelitian ini

mendukung pernyataan bahwa lamanya puasa untuk cairan

tidak diperlukan untuk menurunkan residu di lambung.

Keuntungan dari peningkatan konsumsi cairan pada waktu

preoperatif seperti yang diharapkan, sebuah evidence

menyebutkan bahwa yang memiliki interval waktu yang

pendek antara pemberian cairan dan waktu operasi rasa haus

pada pasien menjadi berkurang daripada yang mempunyai

interval waktu yang lama. Penurunan waktu puasa cairan bisa

meningkatkan insiden dari mual muntah setelah operasi (Dean,

B., et al. 2002).

Penelitian yang dilakukan oleh Smith et al (1997)

yang membagi 2 kelompok, kelompok 1 pasien secara bebas

diberi air sampai 2 jam sebelum operasi, hanya 18% yang


47

mengalami muntah dibandingkan dengan 35% dari kelompok 2

yang dipuasakan secara konvensional. Hampir tidak ada

perbedaan
48

antara 2 kelompok tersebut dalam merasakan mual. Hal ini

mungkin dikarenakan kelompok 1 tidak segera minum setelah

operasi sehingga dapat memicu muntah. Ini membuktikan

bahwa peningkatan waktu puasa dapat menyebabkan mual

sebelum operasi sampai periode setelah operasi (Dean, B., et al.

2002).

2) Puasa Untuk Makanan

Pada Kenyataannya saat ini pasien selalu puasa lebih

lama dari yang direkomendasikan oleh guidelines

Perioperative fasting in adult and children (2005) bahwa

pasien boleh diberikan makanan padat 6 jam sebelum

pemberian anestesi, dan boleh diberikan cairan 2 jam sebelum

pemberian anestesi. Percobaan terkontrol secara acak

dalam skala kecil menggambarkan

bagaimana kelompok pasien yang diberikan sepotong roti

sebelum tidur dan 1 cangkir teh 2-3 jam sebelum operasi tidak

menunjukkan pebedaan volume lambung yang signifikan

ataupun pH ketika isi lambung dikeluarkan dibanding dengan

grup kontrol yang puasa semalam (Dean, B., et al. 2002). Puasa

cairan dan makanan lebih dari 4 jam tidak diperbolehkan untuk

volume lambung yang sedikit dan volume dan pH lambung

yang kecil. Lambung secara normal akan memproduksi asam

lambung selama periode puasa. Berdasarkan penelitiannya, 1


49

kelompok dipuasakan semalam dan kelompok


50

lainnya dalam waktu yang pendek. Hasilnya tidak ada efek

yang positif bila digunakan puasa yang lebih lama. Kelompok 1

mengalami peristiwa mual yang lebih tinggi (Dean, B., et al.

2002).

b. Masalah pada Waktu Puasa yang Lama

Penelitian yang dilakukan Rowe, 2000 menggambarkan

ketika pasien dipuasakan pada periode yang lama tubuh akan

kehilangan cadangan makanan untuk melakukan proses

katabolisme yang mengakibatkan menurunnya kekuatan pasien dan

kekurangan energi untuk masa penyembuhan setelah operasi dan

juga dapat menyebabkan hipoglikemia dan ketosis. Persiapan

pengosongan lambung yang tidak tepat sebelum dilakukan operasi

gastrointestinal dapat menyebabkan diare yang parah, keadaan

yang lebih buruk menyebabkan dehidrasi dan ketidakseimbangan

elektrolit , jika pasien dipuasakan lebih dari 8 jam maka akan

menyebabkan peningkatan asam lambung sehingga akan

menimbulkan refleks fagal dan akan menyebabkan aspirasi pada

pasien (Dean, B., et al. 2002).


51

B. Kerangka Teori

Berdasarkan pemahaman pada tinjauan pustaka, maka kerangka

teoritis hubungan lama anestesi dengan kejadian Post Operative Nausea

Vomiting pada pasien pasca general anestesi dapat digambarkan sebagai

berikut :

General Anestesi

Tindakan Anestesi

Faktor risiko PONV:


Merangsang Chemoreceptor
Pasien :
Trigger Zone (CTZ) di medulla
Jenis kelamin oblongata
Usia

Obesitas
Peningkatan kejadian refluks
esofagus
Riwayat migrain

a. Puasa
Kejadian post operative nausea
preoperatif
and vomiting (PONV) pada pasien
Riwayat PONV atau pasca general anestesi
Motion Sickness
Status perokok Kategori PONV :

Pembedahan: A. Early PONV (2-6 jam)


Lokasi pembedahan B. Late PONV (6-24 jam)
Lama pembedahan C. Delayed PONV (>24

Gambar I. Kerangka Teori


Sumber : Gan, T.J., et al. (2014), Zainumi (2019), Mochtar (2014), ASPAN
(2016), Brunner and Suddarth (2020), Fitrah (2014).
52

C. Kerangka Konsep Penelitian

Variabel bebas Variabel terikat

Kejadian mual muntah


Lama Puasa pada pasien pasca general
anestesi :
A. Tidak PONV

B. PONV

Variabel penggangu
Faktor risiko PONV:

Pasien :

Jenis kelamin

Usia

Obesitas

Riwayat migrain

• Riwayat PONV atau


Motion Sickness
Status perokok

Pembedahan :

Lokasi pembedahan

Lama pembedahan

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan :

: Diteliti

: Tidak diteliti
53

D. Hipotesis

Terdapat hubungan antara lama puasa dengan kejadian Post

Operative Nausea Vomiting pada pasien pasca general anestesi di RS

Borneo Citra Medika Pelaihari.


BAB 3
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain penelitian


Jenis penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan
menggunakan metode kuantitatif. Penelitian kuantitatif merupakan jenis
penelitian yang menemukan data dengan prosedur statistik secara terukur
(Donsu, 2016). Dalam penelitian ini yang menjadi fokus pengamatan adalah
lama puasa dengan kejadian Post Operative Nausea Vomiting pada pasien
pasca general anestesi di RS Borneo Citra Medika Pelaihari. Penelitian ini
menggunakan desain penelitian cross sectional, yaitu merupakan suatu
bentuk penelitian dengan pengukuran variabel yang hanya membutuhkan
waktu yang relatif singkat, artinya sampel dilakukan pengukuran variabel satu
kali pada pemeriksaan atau pengkajian data (Notoatmodjo, 2018).
B. Definisi Operasional
Menurut Wahab (2017), Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel
secara operasional berdasarkan katakteristik yang diamati, sehingga
memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara
cermat terhadap suatu objek atau fenomena. Definisi operasional dalam
penelitian ini dapat dilihat pada tabel 3.1 berikut:
Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat Ukur Skala Hasul Ukur


Operasional
45

Variabel Lama puasa Diperoleh Nominal 1. Puasa


bebas: Lama yaitu jumlah dengan Adekuat
Puasa waktu puasa menanyakan (Pasien puasa
sebelum kapan jam 6- 8 jam )
pemberian diinstruksika
anestesi pada n berpuasa, 2. Puasa Tidak
pembedahan kapan makan Adekuat
untuk mencegah dan minum ( Pasien puasa
terjadinya terakhir saat
aspirasi dari isi di ruang >8jam)
lambung yang penerimaan
dapat
menimbulkan
gagal nafas

Variabel Post Operative Lembar Nominal 1. Tidak PONV


terikat: Post Nause and observasi (Skor 0 : tidak
Operative Vomiting PONV mual dan muntah)
Nausea and (PONV) adalah menurut
Vomiting kejadian mual Gordon (2013)
(PONV) muntah setelah
2. PONV (Skor
operasi yang
1 : mual
didapat di
saja. Skor 2 :
ruang
muntah. Skor 3:
pemulihan dan
ruang mual ≥30 menit
perawatan dan muntah ≥2
dengan cara kali)
monitoring
setiap jam
selama 6 jam
pasca operasi

C. Populasi dan Sampel Penelitian


1. Populasi
Populasi dalam suatu penelitian merupakan kumpulan individu atau obyek
yang merupakan sifat-sifat umum. Menurut Arikunto (2010) menjelaskan
bahwa populasi adalah keseluruhan subyek penelitian. Sedangkan
menurut Sugiyono (2013) populasi adalah wilayah generalisasi yang
terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulan populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
pasien dewasa yang menjalani tindakan general anestesi di ruang IBS RS
Borneo Citra Medika Pelaihari dengan jumlah populasi rata-rata 73 pada
46

pasien remaja-dewasa dengan ASA I-II yang menjalani tindakan general


anestesi setiap bulannya.
2. Sampel
Menurut Sugiyono (2013) sampel adalah bagian dari jumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi besar dan
peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi,
misalnya karena keterbatasan dana, tenaga, dan waktu, maka peneliti dapat
menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu.
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pasien dewasa yang
menjalani tindakan general anestesi di IBS RS Borneo Citra Medika
Pelaijhari yang telah memenuhi kriteria sebagai berikut :
a) Kriteria Inklusi :
1) Pasien jenis operasi elektif dengan general anestesi
2) Pasien dengan usia 17 – 45 tahun
3) Status fisik ASA I-II
b) Kriteria Ekslusi
1) Pasien pasca general anestesi dengan indikasi masuk ICU
dikarenakan aspirasi pada saat di intraoperasi
2) Pasien dengan riwayat PONV atau motion sickness

Teknik penentuan sampel yang peneliti gunakan consecutive sampling,


artinya semua subyek yang datang berurutan dan memenuhi kriteria
pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subyek yang
diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro, 2014).

D. Tempat dan Waktu Penelitian


1. Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Ruang IBS RS Borneo Citra Medika
Pelaihari,
2. Waktu Penelitian
47

Penelitian ini dimulai dari persiapan penelitian hingga pengumpulan data


yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2023, kemudian dilanjutkan dengan
analisis data dan pengumpulan data sampai bulan Juni 2023.

E. Instrumen Penelitian
Instrumen pengumpulan data adalah alat-alat yang akan digunakan untuk
pengumpulan data (Notoadtmojo, 2018). Alat ukur yang digunakan untuk
menilai lama puasa dan kejadian Post Operative Nausea Vomiting (PONV)
adalah :
1. Lembar observasi
Lembar observasi untuk mengamati kejadian PONV setiap jam selama
2 x 24 jam pertama pasca operasi dengan menggunakan skala PONV
menurut Gordon, 2003 dalam Putri, (2016)
2. Cheklist
Cheklist ini merupakan daftar isian yang digunakan oleh peneliti untuk
memindahkan data dari lembar observasional, sehingga mempermudah
dalam memasukkan data lama puasa dan respon mual muntah pasca
tindakan anestesi.
F. Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengumpulan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
1. Tahap Persiapan
Menentukan masalah, rumusan masalah, studi kepustakaan, studi
pendahuluan, penyusunan proposal penelitian dan instrumen,
permohonan izin penelitian kepada dari ITSK RS dr. Soepraoen Kesdam
V Malang.
2. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di ruang pulih sadar. Sebelum pelaksanaan,
peneliti membuat kontrak waktu dengan responden, menjelaskan
maksud dan tujuan diadakannya penelitian, izin persetujuan penelitian
dari responden dan informed consent.
3. Teknik Pengumpulan
48

Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengobservasi pasien


dan dicatat di lembar observasi. Pengambilan data dilakukan setelah
responden diberikan penjelasan terlebih dahulu mengenai tujuan.

G. Teknik Pengolahan Data


Pengolahan data dilakukan setelah proses pengumpulan data selesai
dilakukan. Pengolahan data penelitian dilakukan melalui tahap-tahap
sebagai berikut (Notoatmodjo, 2010):
1. Editing (Memeriksa) Editing adalah memeriksa daftar pertanyaan yang
telah diserahkan oleh para pengumpul data.
2. Memberi tanda (Coding)
Coding adalah mengklasifikasikan hasil observasi dari para responden ke
dalam bentuk angka atau bilangan. Biasanya klasifikasi dilakukan dengan
cara memberi tanda atau kode berbentuk angka pada masing-masing
jawaban.
3. Memasukkan Data (Data Entry)
Lembar observasi sudah melewati proses coding, maka langkah
selanjutnya adalah memproses data agar data yang sudah di-entry dapat
dianalisis. Proses data dilakukan dengan cara meng-entry data dari
kuesioner ke program computer, kemudian dimasukkan ke dalam
program komputerisasi.
4. Pembersihan Data (Cleaning)
Merupakan kegiatan pengecekan kembali untuk melihat kemungkinan-
kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan dan
sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi.

H. Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian, diantaranya variabel pasien post
op general anestesi dengan variabel PONV menggunakan lembar
49

observasi agar mengetahui adanya hubungan antara dua variabel


tersebut.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat merupakan analisis untuk mengetahui hubungan antara
variabel dependen dan independen. Untuk membuktikan ada tidaknya
hubungan tersebut, dilakukan Uji Korelasi Spearman merupakan salah satu
analisis nonparametrik untuk mengetahui kekuatan hubungan dari dua
variabel yang berskala ordinal. Pada penelitian ini pengolahan data
menggunakan program komputer pengolahan data statistik, yang nantinya
akan diperoleh nilai . Nilai akan dibandingkan dengan nilai α. Dasar
penentu adanya hubungan penelitian berdasarkan pada signifikan (nilai )
yaitu Nilai koefisien korelasi spearman memiliki rentang nilai dari -1
hingga +1. Di mana, semakin nilainya mendekati -1 atau +1, maka
semakin kuat hubungannya. Secara umum, Menurut Notoatmodjo (2015)
interpretasi untuk koefisien korelasi spearman dapat mengikuti aturan
berikut
0 ≤ |rs| < 0.19 → sangat lemah
0.2≤|rs|<0.39→ lemah
0.4≤|rs|<0.59→ sedang
0.6≤|rs|<0.79→ kuat
0.8 ≤ |rs| ≤ 1→ sangat kuat

I. Etika Penelitian
Secara internasional disepakati bahwa prinsip dasar penerapan etik
penelitian kesehatan data KNEPK (Komisi Nasional Etik Penelitian
Kesehatan) adalah Beneficience & Non maleficienci, Respect for Person, dan
Justice.
1. Kemanfaatan dan Tanpa Kelalaian (Beneficience & Non maleficience)
Kemanfaatan dan tanpa kelalaian pada dasarnya adalah diatas
segalanya, tidak boleh membahayakan. Prinsip ini mengandung 4
dimensi:
50

a) Bebas dari berbahaya, yaitu peneliti harus berusaha melindungi


subjek yang diteliti, terhindar dari bahaya dan ketidaknyamanan fisik
atau mental. Selama masa pandemi covid 19 maka peneliti akan
menggunakan segala protocol kesehatan untuk mencegah terjadinya
infeksi silang selama melaksanakan penelitian, peneliti menggunakan
alat pelindung diri lengkap.
b) Bebas dari eksploitasi : keterlibatan peserta dalam peneliti tidak
seharusnya merugikan mereka atau memaparkan mereka pada
situasi yang mereka tidak disiapkan.
c) Manfaat dari penelitian. Penelitian ini bermanfaat bagi petugas
kesehatan, khususnya perawat dan bidan, institusi Puskesmas dan
Klien atau masyarakat pengguna jasa pelayanan Kesehatan
d) Rasio antara resiko dan manfaat. Penelitian ini memberikan manfaat
lebih besar dan tidak memiliki resiko terhadap responden.
2. Menghormati martabat seseorang (Respect For Person)
Menghormati martabat subjek berarti :
a) Hak untuk self determination (menetapkan sendiri) : Prinsip self
determination ini mengandung arti bahwa subjek mempunyai hak
untuk memutuskan secara suka rela apakah dia ingin berpartisipasi
dalam satu penelitian, tanpa berisiko untuk dihukum, dipaksa atau
diperlakukan tidak adil.
b) Hak untuk mendapatkan penjelasan lengkap (full disclosure) : Peneliti
telah secara penuh menjelaskan tentang sifat penelitian, hak subjek
untuk menolak berperan serta, tanggung jawab peneliti, serta
kemungkinan risiko dan manfaat yang bisa terjadi.
3. Justice
Prinsip ini mengandung hak subjek untuk mendapatkan perlakuan yang
adil dan hak mereka untuk mendapatkan keleluasaan pribadi. Hak untuk
mendapatkan perlakuan yang adil berarti subjek mempunyai hak yang
sama, sebelum, selama dan setelah partisipasi mereka dalam penelitian.
51

4. Lembar persetujuan (Informed consent)


Adalah bentuk dari persetujuan antara peneliti dan responden
penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Tujuannya yaitu
agar responden mengerti maksud dan tujuan penelitian dan mengetahui
dampaknya. Jika responden bersedia, maka mereka harus
menandatangani lembar persetujuan. Jika responden tidak bersedia
maka peneliti harus menghargai hak responden tersebut.
5. Tanpa Nama (Anonymity)
Etika dalam penelitian keperawatan yang memberikan jaminan dalam
pengguna subjek penelitian dengan cara tidak mencantumkan nama
dari responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada
lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang disajikan.
6. Kerahasiaan (Confidentiality)
Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan
kerahasiaan dari hasil penelitiaan, baik imformasi maupun masalah-
masalah lainnya. Semua imformasi yang dikumpulkan akan dijamin
kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan
dilaporkan pada hasil riset (Notoadmodjo, 2014).

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Profil tempat penelitian

B. Karakteristik responden
52

Sampel penelitian diambil dari semua pasien dengan teknik general


anestesi yang dilakukan di Ruang Pemulihan Instalasi kamar Bedah RS
Borneo citra medika pelaihari yang memenuhi kriteri sampel. Adapun
karakteristik responden yang telah diteliti dan didistribusikan ke dalam tabel
distribusi sebagai berikut:
1. Analisis Karakteristik Responden
Hasil pengumpulan data mengenai karakteristik
responden dapat disajikan dalam tabel 5.1
Tabel 5.1 Analisis Frekuensi Berdasarkan Karakteristik Responden
(n=73)
Karakteristik n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 37 50,7
Perempuan 36 49,3
Jumlah 73 100,0
Usia

17-25 tahun 24 32,9


26-45 tahun 49 67,1
Jumlah 73 100,0

Pada tabel 5.1 diatas menjelaskan bahwa responden


berdasarkan jenis kelamin yang terbanyak adalah laki-laki berjumlah
37 orang (50,7%). Sedangkan berdasarkan usia yang terbanyak adalah
26-45 tahun berjumlah 49 orang (67,1%).

2. Analisis Karakteristik Responden Berdasarkan Tipe Anestesi Bedah


Hasil pengumpulan data mengenai karakteristik responden
53

berdasarkan Tipe anestesi bedah dapat disajikan dalam tabel 5.2


Tabel 5.2 Analisis Karakteristik Responden Berdasarkan Tipe
Anestesi Bedah
Variabel n %

General Anestesi 73 100,0


Jumlah 73 100.0

Pada tabel 5.2 diatas menjelaskan bahwa responden


berdasarkan Tipe Anestesi General keseluruhannya berjumlah 73
orang (100.0%).
3. Analisis Karakteristik Responden Berdasarkan Teknik Anestesi
Hasil pengumpulan data mengenai karakteristik responden
berdasarkan Teknik anestesi dapat disajikan dalam tabel 5.3
Tabel 5.3 Analisis Karakteristik Responden Berdasarkan Teknik
Anestesi (n=73)
Variabel n %
Teknik Anestesi
Inhalasi 59 80,8
TIVA 14 19,2
Jumlah 73 100,0

Pada tabel 5.3 diatas menjelaskan bahwa responden


berdasarkan Teknik Anestesi yang terbanyak adalah Inhalasi yang
berjumlah 59 orang (80.8%).
4. Analisis Karakteristik Responden Berdasarkan Status Fisik
ASA Responden
Hasil pengumpulan data mengenai karakteristik responden
berdasarkan status fisik ASA dapat disajikan dalam tabel 5.4
54

Tabel 5.4 Analisis Frekuensi Berdasarkan ASA Responden (n=73)


Variabel n %
Status Fisik
ASA I 44 60,3
ASA II 29 39,7
Jumlah 73 100,0

Pada tabel 5.4 diatas menjelaskan bahwa responden


berdasarkan ASA yang terbanyak adalah ASA I berjumlah 44
orang (60,3%).

5. Analisis hubungan antara lama puasa dengan kejadian post operative nausea
vomiting pada pasien pasca general anestesi
Tabel 5.5 Analisis Frekuensi Berdasarkan Lama Puasa Responden
(n=73)
Variabel n %
Lama Puasa

Adekuat (6-8 jam) 61 83,6

Tidak adekuat (> 8 jam) 12 16,4


Jumlah 73 100,0

Pada tabel 5.5 diatas menjelaskan bahwa responden


berdasarkan Lama Puasa yang terbanyak adalah Puasa Adekuat (6-8
jam) berjumlah 61 orang (83.6%).

Hasil pengumpulan data mengenai variabel Kejadian


PONV responden dapat disajikan dalam tabel 5.6
Tabel 5.6 Analisis Frekuensi Berdasarkan Kejadian PONV
Responden (n=73)
Variabel n %
55

Kejadian PONV

34 46,6
● PONV

39 53,4
● Tidak PONV

Jumlah 73 100,0
Pada tabel 5.6 diatas dapat disimpulkan bahwa responden berdasarkan
Kejadian PONV yang terbanyak adalah Tidak PONV berjumlah 39 orang
(53.4%)

Hasil pengumpulan data mengenai hubungan antara lama puasa dengan


kejadian post operative nausea vomiting pada pasien pasca general anestesi
dapat disajikan dalam tabel 5.7
Tabel 9. Hubungan Antara Lama Puasa Dengan Kejadian Post Operative
Nausea Vomiting Pada Pasien Pasca General Anestesi
Kriteria PONV
Lama Puasa PONV Tidak PONV Total P Value
n % n % n %

Puasa Adekuat (6-8 jam) 25 41,0 36 59,0 61 83,55

Puasa Tidak Adekuat (> 8 jam) 9 75,0 3 25,0 12 16,45 0,031

Total 34 46,6 39 53,4 73 100,0

Pada tabel 5.6 diatas, menjelaskan bahwa hubungan lama


puasa adekuat (6-8 jam) dengan PONV berjumlah 25 orang (41.0%)
sedangkan yang tidak PONV berjumlah 36 orang (59.0%). Adapun
Lama puasa tidak adekuat (> 8 Jam) dengan kejadian PONV
berjumlah 9 orang (75.0 %) sedangkan yang tidak PONV berjumlah 3
orang (25.0%).
Berdasarkan hasil crosstab hubungan antara lama puasa
dengan kejadian PONV pada pasien pasca general anestesi di Rumah
Sakit Borneo Citra Medika terdapat hubungan yang signifikan dengan
nilai p=0.031.
56

C. Pembahasan
Berdasarkan sampel menurut umur responden, jumlah sampel terbanyak pada
rentang umur 26 – 45 tahun (Masa Remaja Akhir ) yaitu 67.1 % dari seluruh
sampel. Penggologan rentang usia pada penelitian ini sesuai dari Departemen
Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI, 2009). Terdapat hasil yang sedikit
berbeda pada penelitian yang dilakukan oleh Nurwakit di Rumah Sakit Tentara
Slamet Riyadi Surakarta pada tahun 2015, dimana rentang usia mayoritas pasien
dengan rentang umur 30 – 40 tahun yaitu 29 orang (60,4%) dari keseluruhan
responden, dan terdapat kesamaan dimana hasil yang diperoleh sama- sama
menunjukkan jumlah sampel terbanyak berada dalam rentang usia produktif.
Badan Pusat Statistika mendefinisikan bahwa usia produktif adalah mereka yang
berada dalam rentang usia 15-64 tahun (BPS, 2016). Badan Pusat Statistika
mengkategorikan usia produktif menjadi dua yakni usia sangat produktif (15-49
tahun) dan usia produktif (50-64 tahun), dimana pada usia tersebut seseorang
aktif bekerja dengan mobilitas relatif tinggi, sehingga akan berdampak pada
tingkat resiko atau hal-hal yang menyebabkan seseorang terkena penyakit yang
memerlukan proses operasi, misalnya dampak kecelakaan lalu lintas, akibat jatuh
maupun kecelakaan kerja serta penyakit yang lainnya.

Berdasarkan sampel menurut jenis kelamin responden, jumlah sampel


terbanyak pada jenis kelamin laki-laki yaitu 37 responden (50.7%) dari
seluruh sampel. Terdapat hasil yang sedikit berbeda pada penelitian yang
dilakukan oleh Sholihah, Sikumbang dan Husairi, (2015) yang
mengatakan bahwa berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa
sebagian besar responden mayoritas yang berjenis kelamin perempuan,
yaitu 16 orang atau sebesar 64%.

Berdasarkan sampel menurut tipe anestesi bedah responden yakni general


anestesi, jumlah sampel secara keseluruhan 73 responden (100.0%).
Terdapat hasil yang sama pada penelitian yang dilakukan Sholihah,
Marwan dan Husairi (2015) yang mengatakan bahwa sebagian besar
pasien mengalami PONV mendapat tindakan anestesi umum, yaitu 18
pasien (18.75%).
57

Berdasarkan sampel menurut teknik anestesi responden yang terbanyak


adalah teknik anestesi inhalasi berjumlah 59 (80.8%) responden. Terdapat
hasil yang sama pada penelitian yang dilakukan Saputri, Susilo & Istianah.
(2017). yang mengatakan bahwa sebagian besar responden mengalami
PONV mendapat teknik anestesi inhalasi.

Berdasarkan sampel menurut status fisik ASA responden yakni general


anestesi, jumlah sampel yang terbanyak adalah ASA I yaitu 44 responden
(60.3%). Terdapat hasil yang sama pada penelitian yang dilakukan Eva,
Kirnantoro dan Istianah (2017) yang mengatakan bahwa mayoritas ASA I
dengan persentase sebanyak 37 orang responden (88,1%) karena pada
penelitian ini mayoritas responden berkisar pada usia dewasa yaitu 25-45
tahun, dimana pada usia tersebut belum terjadi gangguan sistemik yang
berat.

Berdasarkan hasil penelitian diatas terdapat hubungan yang signifikan antara


lama puasa dengan kejadian PONV pasca general anestesi di RS Borneo Citra
Medika (p=0.031). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Munsterman
dan Strauss, (2017) tentang Rehidrasi Dini pada Pasien Bedah Dengan Puasa
Berkepanjangan untuk Mengurangi Mual dan Muntah Pasca Operasi mengatakan
bahwa ada hubungan lama puasa dengan kejadian PONV, namun dapat dicegah
dengan rehidrasi dini dengan tepat. Penelitian lain oleh Ismiatun (2019) tentang
insiden mual muntah pasca anestesi umum pada bedah sinus endoskopi
fungsional di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar mengatakan bahwa
pasien yang lebih banyak mengalami kejadian mual muntah pasca operasi
bedah sinus
58

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Responden berdasarkan Lama Puasa yang terbanyak adalah Puasa
Adekuat (6-8 jam) berjumlah 61 orang (83.6%).
2. Responden berdasarkan Kejadian PONV yang terbanyak adalah Tidak PONV
berjumlah 39 orang (53.4%)

3. Berdasarkan hasil crosstab hubungan antara lama puasa dengan kejadian


PONV pada pasien pasca general anestesi di Rumah Sakit Borneo Citra
Medika terdapat hubungan yang signifikan dengan nilai p=0.031
B. Saran
1. Penata Anestesi
Bagi penata anestesi diharapkan dapat melakukan penilaian
PONV secara kontinyu pasca general anestesi yang dilakukan
terutama pasca puasa yang berdurasi lama dengan tepat dan
cermat, dimana hasil pemeriksaan dan intervensi tersebut dicatat
lengkap di rekam medis pasien sebagai bukti sudah melakukan
tindakan.

2. Peneliti selanjutnya

Pada penelitian ini hanya meneliti kejadian PONV secara


umum. Diharapkan peneliti selanjutnya meneliti kejadian PONV
59

khusus pemberian Opioid, GA dengan TIVA maupun Inhalasi.

DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. (2018). Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi


Kebutuhan Dasar. Jakarta: Salemba Medika.
Depkes RI. (2009). Standar Pelayanan Anestesiologi dan Reanimasi Rumah
Sakit. Jakarta: Depkes RI.
Donsu J. (2016). Metodologi Penelitian Keperawatan. Yogyakarta: PT Pustaka
Baru.
Gaba, D.M., Fish, K.J., Howard, S.K., Burden, A. (2015). Crisis Management In
Anesthesiology 2nd ed. USA: Elsevier.
Geerts B.F., Bergh L.V.D., Stijnen T., Aarts L.P.P.H.J., Jansen J.R.C. (2012).
‘Comprehensive Review: Is It Better to Use The Trendelenderg Position or
Passive Leg Raising for Initial Treatment of Hypovolemia?’. Journal of
Clinical Anesthesia.
Gwinnutt Carl L. (2009). Catatan Kuliah Anestesi Klinis. Edisi 3; alih bahasa:
Susanto, Diana; editor Bahasa Indonesia: Wisurya, K., Surya, N., Hippy,
Indah. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hamlin, R., Richardson, Davies, M. (2009). Perioperative Nursing and
Introductory Text. Victoria: Elsivier.
Haniel. (2013). Cytokines and The Skin Barrier. Diakses dari:
http://www.mdpi.com/1422-0067/14/4/6720/pdf. Pada tanggal 26
September 2019.
Katz, J., Aidinis, SJ. (2018). Complications of Spinal and Epidural Anesthesia. J
Bone Joint Surg Am.
Keat, S., Bate, S.T., Brown, A., Lanham, S. (2013). Anaesthesia on The Move.
Jakarta: Indeks.
Kozier, Barbara, Erb, Glenora, Berman, Audrey, SS. (2018). Buku Ajar
Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, & Praktik Edisi 7. Jakarta:
EGC.
Latief, S., Suryadi. (2018). Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi 2. Jakarta: FK UI.
Lilly, L.S. (2015). Pathophysiology of Heart Disease Edisi 6. United States of
America: Lippincott Williams & Wilkins.
60

Majid, Abdul., Judha dan Istianah. (2011). Keperawatan Perioperatif.


Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Manuaba, I. I. ., Manuaba, C., & Manuaba, I. . (2017). Pengantar Kuliah Obstetri
(Cetakan II). EGC.
Marwoto, Primatika. (2013). Anestesi Lokal/Regional. Anestesiologi 2 Bagian
Anestesiologi dan terapi intensif FK UNDIP/RSUP Dr. Kariadi.
PERDATIN Semarang Jawa Tengah.
Mercier, FJ., Auge, M., Hoffmann, C., Fischer, C., Le Gouez, A. (2013). Maternal
hypotension during spinal anesthesia. Minerva Anesth. 79(1) : 62 – 73.
Metzger, A., Eisen, I., Todris, L., Etchin, A., Kuint, J. (2018). Maternal
hypotension during elective cesarean section and short term neonatal
outcome. Am J Obstet Gynecol. 202(1) : 56.
Michael F, Christopher M B, Susan B M, Francis V S. (2009). Regional
Anesthesia Edisi 4. India: Laserwoods Private Limited.
Mitayani. (2019). Asuhan Keperawatan Maternitas. Jakarta: Penerbit Salemba
Medika.
Mohamed, A.I., Elazhary, R.A.H., Abdelhady, R.M., Sadek, B.E., Said, K.M.
(2016). Utilization of Lower Leg Compression Technique for Reducing
Spinal Induced Hypotension, and Related Risks for Mothers and Neonates
During Cesarean Delivery. Journal of Nursing Education and Practice. 6(7)
: 11-12.
Morgan E.G., Mikhail S. Jhon F.Butterwworth , 2013. Clinical Anesthesiology,
Fiveth Edition, USA: McGra-Hill Companies,Inc

Mulroy, M.F., Bernards, C.M., McDonald, S.B., Salinas, F.V. (2009). A Practical
Approach to Regional Anesthesia 4th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer
Health.
Naiborhu F.T.M. (2009). Perbandingan penambahan midazolam 1 mg dan
midazolam 2 mg pada bupivakain 15 mg hiperbarik terhadap lama kerja
blokade sensorik anestesi spinal. Tesis. Fakultas Kedokteran USU.

Naomi, EB., James, EB. (2014). Seri Ilmu Pengetahuan Anatomi dan Fisiologi.
Jakarta: Indeks.

Notoatmodjo, Soekidjo. (2018). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta:


Rineka Cipta.

Nursalam. (2017). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan Edisi 4. Jakarta: Salemba Medika.

Orun. (2018). Factors Associated with Breastfeeding Initiation Time in A


BabyFriendly Hospital. Diakses dari:
http://www.turkishjournalpediatrics.org. Pada tanggal 26 September 2019.

Oxorn H dan Forte W. R. (2018). Ilmu Kebidanan: Patologi & Fisiologi


Persalinan. Yogyakarta: Andi.

Potter, & Perry A.G. (2018). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
61

Proses, dan Praktik, edisi 4, vol. 2. Jakarta: EGC.

Raj, P. Prithvi. (2013). Clinical Practice Of Regional Anesthesia. Churchili :


Livingstone.
Ramesh. (2012). Pediatric Intensive Care-Update. Indian:J.Aneaesth. 47:338-344.

Rustini, R., Fuadi, I., Surahman, E. (2016). Insidensi dan Faktor Hipotensi pada
Pasien yang Menjalani Seksio Sesarea dengan Anestesi Spinal. Jurnal
Anestesi Indonesia. 4(1) : 42-9.

Sari, N.K., Sutiyono, D., Wahyudi, F. (2012). Perbedaan Tekanan Darah Pasca
Anestesi Spinal Dengan Pemberian Preload Dan Tanpa Pemberian Preload
20cc/KgBB Ringer Laktat. Jurnal Kedokteran Diponegoro. 1(1)

Sjamsuhidajat , R. (2018). Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai