Anda di halaman 1dari 56

LAPORAN MINI PROJECT

PENGARUH EDUKASI DAN PELATIHAN BANTUAN HIDUP DASAR


TERHADAP PENGETAHUAN PEGAWAI PUSKESMAS KUSUMA BANGSA
KOTA PEKALONGAN

Oleh :
dr. Adinda Ratna Puspita
dr. Annisa Falihati Salsabila
dr. Bejo Lanang Saprono
dr. Ni Putu Risa Egryani
dr. Yasinta Putri Nugraheni
dr. Yoanita Pratiwi Budiwiyono

Pembimbing:
dr. Rizki Aprilia Haryanti

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


PUSKESMAS KUSUMA BANGSA
KOTA PEKALONGAN – JAWA TENGAH
2020
KATA PENGANTAR

Puji Syukur ke hadirat ALLAH SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian yang berjudul “Pengaruh Edukasi dan
Pelatihan Bantuan Hidup Dasar Terhadap Pengetahuan Pegawai Puskesmas Kusuma
Bangsa Kota Pekalongan”.
Penyusunan laporan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu
penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1) dr. Siti Nurhajati selaku Kepala Puskesmas Kusuma Bangsa
2) dr. Rizki Apriliani Haryanti sebagai dokter pendamping dokter internsip
Puskesmas Kusuma Bangsa
3) dr. Siska Lia Kisdiyanti selaku dokter umum di Puskesmas Kusuma Bangsa
yang ikut serta membimbing dokter internsip selama melaksanakan kegiatan di
Puskesmas Kusuma Bangsa
4) Rekan-rekan paramedis yang membantu dokter internsip selama melaksanakan
kegiatan di Puskesmas Kusuma Bangsa
5) Orang tua dengan segala curahan kasih sayang, restu, dan dukungan kepada
penulis
6) Masyarakat dalam wilayah kerja Puskesmas Kusuma Bangsa.

Pekalongan, Januari 2020

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman Judul i

Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
Daftar Gambar V
BAB 1. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penelitian 3
1.4 Manfaat Penelitian 4
1.5 Keaslian Penelitian 5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 6
2.1 Cardiac Arrest 6
2.1.1 Pengertian 6
2.1.2 Faktor Predisposisi 6
2.1.3 Tanda Cardiac Arrest 8
2.1.4 Proses Terjadinya Cardiac Arrest 8
2.1.5 Prognosis 11
2.2 Konsep Basic Life Support 11
2.2.1 Pengertian 11
2.2.2 Tujuan Basic Life Support 12
2.2.3 Indikasi Basic Life Support 13
2.2.4 Rantai Keselamatan dan Langkah BLS 15
2.3 Pengetahuan 21
2.3.1 Pengertian 21
2.3.2 Adopsi Pengetahuan 22
2.3.3 Tingkat Pengetahuan 24
2.3.4 Cara Pengukuran Tingkat Pengetahuan 24
2.3.5 Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan 24
2.3.6 Cara Memperoleh Pengetahuan 28
2.4 Konsep Umum Pelatihan 29
2.4.1 Pengertian 29
2.4.2 Faktor yang Mempengaruhi Pelatihan 29
2.4.3 Langkah Pelatihan 30
2.4.5 Teori Belajar 32
2.6 Kerangka Konsep 37
BAB 3. METODE PENELITIAN 38
3.1 Jenis dan Desain Penelitian 38
3.2 Ruang Lingkup Penelitian 38
3.3 Populasi dan Sampel 38
3.4 Teknik Pemilihan Sampel 39
3.5 Instrumen Penelitian 39
3.6 Definisi Operasional 39
3.7 Aspek Pengukuran 40
3.8 Teknik Pengambilan Data 40
3.9 Analisis Data 40
3.10 Alur Penelitian 41
DAFTAR PUSTAKA 42
LAMPIRAN 46
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Algoritma Tatalaksana Henti Jantung 10


Gambar 2. Rantai Keselamatan pada Korban Dewasa 15
Gambar 3. Memeriksa Kesadaran Korban 16
Gambar 4. Posisi badan dan tangan Penolong 18
Gambar 5. Membuka Jalan Napas 18
Gambar 6. Memberi Napas buatan 19
Gambar 7. Melakukan Kejut Jantung 20
Gambar 8. Cara Melakukan Posisi Pemulihan 21
Gambar 9. Kerangka Konsep 37
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit jantung khususnya penyakit jantung koroner memiliki tingkat

kegawatdaruratan paling tinggi dibanding penyakit tidak menular lainnya. Henti

jantung adalah kondisi hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba pada seseorang yang

telah ataupun belum terdiagnosis penyakit jantung (AHA, 2014).

Jumlah kasus Penyakit Jantung Koroner di Jawa Tengah pada tahun 2007

sebanyak 29.099 kasus yang terdiri dari Angina Pektoris 20.497 kasus dan AMI

(Acute Myocard Infark) 8.602 kasus. Sedangkan, pada tahun 2008 jumlah kasus

Penyakit Jantung Koroner meningkat menjadi 29.933 kasus yang terdiri dari Angina

Pektoris 20.994 kasus dan AMI 8.939 kasus.

Berdasarkan laporan dari rumah sakit dan puskesmas, prevalensi kasus

Penyakit Jantung Koroner di Propinsi Jawa Tengah mengalami peningkatan dari

0,09% pada tahun 2006 menjadi 0,10% pada tahun 2007, dan 0,11% pada tahun 2008.

Prevalensi sebesar 0,11% berarti setiap 10.000 orang terdapat 11 orang penderita

Penyakit Jantung Koroner. Prevalensi tertinggi terjadi di Kota Pekalongan sebesar

0,76%. Sedangkan, prevalensi terendah sebesar 0,01% terjadi di Kabupaten

Banyumas, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Rembang, Kabupaten Batang, dan

Kabupaten Tegal (Dinkes Propinsi Jateng, 2008).

Penyakit jantung koroner pada kondisi tertentu dapat menyebabkan henti

jantung. Pasien yang mengalami henti jantung dapat segera ditolong dengan

1
melakukan bantuan hidup dasar (BHD). Aspek dasar pada BHD meliputi mengenali

kejadian henti jantung mendadak, mengaktivasi sitem respon gawat darurat,

melakukan resusitasi jantung paru (RJP), dan defibrilasi dengan automated external

defibrillator (AED) (American Heart Association, 2010). BHD harus segera dilakukan

ketika menemui pasien henti jantung mendadak. Setiap menit yang hilang sampai

dimulainya rangakaian BHD menyebabkan penurunan survival rate pasien sebesar

10% (American Heart Association, 2013). BHD dapat dilakukan oleh semua orang

yang telah mendapatkan pelatihan BHD, dalam rangka meningkatkan survival rate

pasien henti jantung mendadak. Studi yang dilakukan di Amerika Serikat tentang Out

of Hospital Cardiac Arrest (OHCA) pada bulan Oktober 2005 hingga Desember 2010

menunjukkan bahwa dari 36,7% pasien henti jantung mendadak, hanya 33,3% yang

mendapatkan BHD. BHD yang segera dilakukan oleh orang awam meningkatkan

survival rate pasien sebesar 2-3 kali (Wissenberg et al. 2013).

Salah satu cara menguasai BHD adalah dengan melakukan pelatihan. Pelatihan

dapat didefinisikan sebagai suatu cara yang digunakan untuk memberikan atau

meningkatkan keterampilan yang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan sekarang.

Sedangkan pendidikan lebih berorientasi kepada masa depan dan lebih menekankan

pada peningkatan kemampuan seseorang untuk memahami dan menginterpretasikan

pengetahuan (Panggabean, 2004). Pelatihan BHD pada siswa-siswi SMA Negeri 1

Toilili menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada pengetahuan

subjek terhadap BHD sebelum dilakukan pelatihan dan setelah dilakukan pelatihan

(Lontoh et al., 2013).

Selain pelatihan, kemampuan BHD juga dapat diasah dengan simulasi.

Simulasi dalam konteks medis dapat diartikan sebagai sebuah teknik pembelajaran
2
yang interaktif, sebuah aktivitas yang mengulang semua atau sebagian pengalaman

klinis tanpa mengekspos pasien pada resiko tertentu (Maran et al., 2003). Pelatihan

BHD berbasis simulasi memungkinkan para partisipan untuk berlatih menghadapi

situasi kritis, melakukan tindakan, dan mengulas konsekuensi dari tindakan yang

dipilih, tanpa membahayakan pasien. Sebuah studi pada perawat menunjukkan bahwa

perawat yang mengikuti pelatihan BHD berbasis simulasi mendapatkan kepuasan dan

kemajuan yang positif (Roh et al., 2013) BHD tidak hanya dilakukan untuk kejadian

henti jantung karena penyakit jantung koroner, tapi untuk semua kejadian dengan

indikasi henti napas dan henti jantung.

1.2 Rumusan Masalah

1. Gambaran pengetahuan pegawai Puskesmas Kusuma Bangsa terhadap bantuan

hidup dasar (BHD).

2. Apakah ada pengaruh edukasi dan pelatihan Bantuan Hidup Dasar (BHD)

terhadap tingkat pengetahuan menolong korban pada pegawai Puskesmas

Kusuma Bangsa.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

1. Mengetahui gambaran pengetahuan pegawai Puskesmas Kusuma

Bangsa terhadap bantuan hidup dasar (BHD).

2. Mengetahui pengaruh edukasi dan pelatihan Bantuan Hidup Dasar

(BHD) terhadap tingkat pengetahuan menolong korban pada pegawai


3
Puskesmas Kusuma Bangsa.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran pengetahuan tenaga kesehatan Puskesmas

Kusuma Bangsa terhadap bantuan hidup dasar.

2. Mengetahui gambaran pengetahuan tenaga administrasi Puskesmas

Kusuma Bangsa terhadap bantuan hidup dasar.

3. Mengetahui pengetahuan dan penatalaksanaan Airway dalam Bantuan

Hidup Dasar.

4. Mengetahui pengetahuan dan penatalaksanaan Breathing dalam

Bantuan Hidup Dasar.

5. Mengetahui pengetahuan dan penatalaksanaan Circulation dalam

Bantuan Hidup Dasar.

6. Mengetahui pengenalan dan pengaktifan cepat sistem tanggap darurat

dalam Bantuan Hidup Dasar.

7. Mengetahui resusitasi jantung dan paru dini dalam Bantuan Hidup

Dasar.

8. Mengetahui perbandingan penatalaksanaan pada dewasa, anak – anak

dan bayi dalam Bantuan Hidup Dasar.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat bagi tenaga kesehatan

Mendapatkan informasi mengenai motivasi dan pengetahuan dalam

memberikan pertolongan pertama sehingga tenaga kesehatan dapat berperan

aktif dalam melakukan promosi-promosi kesehatan untuk peningkatan kedua


4
aspek tersebut.

2. Manfaat bagi tenaga administrasi

Medapatkan informasi dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan

para tenaga administrasi dalam menolong masyarakat yang membutuhkan

pertolongan dalam bantuan hidup dasar.

3. Manfaat bagi Puskesmas

Meningkatkan kualitas dan mutu pegawai baik tenaga kesehatan maupun

tenaga administrasi Puskesmas.

4. Peneliti lain.

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber data dan acuan

bagi peneliti berikutnya.

1.5 Keaslian Penelitian

1. Penelitian Lontoh et.al. (2013) tentang pengrauh pelatihan teori pelatihan

BHD terhadap pengetahuan RJP siswa-siswi SMAN 1 Toilili. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pelatihan teori BHD terhadap

pengetahuan RJP pada siswa-siswi SMAN 1Toilili.

2. Penelitian Lestari (2014) tentang pengaruh pelatihan BHD pada remaja

terhadap tingkat pengetahuan menolong korban henti jantung. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa remaja yang diberikan perlakuan pelatihan BHD secara

aktif dapat meningkatkan pengetahuan menolong korban henti jantung.

3. Penelitian Hasanah (2015) tentang tingkat pengetahuan dengan keterampilan

5
perawat dalam melakukan tindakan BHD di RSUD Karanganyar. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan kuat antara tingkat

pengetahuan dan kemampuan perawat dalam melakukan BHD.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cardiac Arrest

2.1.1 Pengertian Cardiac Arrest

Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan

mendadak, bisa terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa dengan penyakit

jantung ataupun tidak. Waktu kejadiannya tidak bisa diperkirakan, terjadi dengan

sangat cepat begitu gejala dan tanda tampak (American Heart Association,2010).

Jameson, dkk (2005), menyatakan bahwa cardiac arrest adalah penghentian

sirkulasi normal darah akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif.

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa

henti jantung atau cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara mendadak

untuk mempertahankan sirkulasi normal darah untuk memberi kebutuhan oksigen

ke otak dan organ vital lainnya akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara

efektif.

2.1.2 Faktor predisposisi

Iskandar (2008), mengatakan bahwa faktor risiko cardiac arrest adalah:

Laki-laki usia 40 tahun atau lebih, memiliki kemungkinan untuk terkena cardiac

arrest satu berbanding delapan orang, sedangkan pada wanita adalah satu

berbanding 24 orang. Semakin tua seseorang, semakin rendah risiko henti jantung

mendadak. Orang dengan faktor risiko untuk penyakit jantung, seperti hipertensi,

hiperkholesterolemia dan merokok memiliki peningkatan risiko terjadinya cardiac

arrest (Iskandar,2008).

7
Menurut American Heart Association (2010), seseorang dikatakan

mempunyai risiko tinggi untuk terkena cardiac arrest dengan kondisi: a) Ada jejas

di jantung akibat dari serangan jantung terdahulu. b) Penebalan otot jantung

(Cardiomyopathy). c) Seseorang yang sedang menggunakan obat-obatan untuk

jantung. d) Kelistrikan jantung yang tidak normal. e) Pembuluh darah yang tidak

normal. f) Penyalahgunaan obat.

a.) Adanya jejas di jantung karena serangan jantung terdahulu atau

oleh sebab lain; jantung yang terjejas atau mengalami pembesaran

karena sebab tertentu cenderung untuk mengalami aritmia

ventrikel yang mengancam jiwa. Enam bulan pertama setelah

seseorang mengalami serangan jantung adalah periode risiko

tinggi untuk terjadinya cardiac arrest pada pasien dengan penyakit

jantung atherosclerotic.

b.) Penebalan otot jantung (cardiomyopathy) karena berbagai sebab

(umumnya karena tekanan darah tinggi, kelainan katub jantung)

membuat seseorang cenderung untuk terkena cardiac arrest.

c.) Seseorang sedang menggunakan obat-obatan untuk jantung;

karena beberapa kondisi tertentu, beberapa obat-obatan untuk

jantung (anti aritmia) justru merangsang timbulnya aritmia

ventrikel dan berakibat cardiac arrest. Kondisi seperti ini disebut

proarrythmic effect. Pemakaian obat-obatan yang bisa

mempengaruhi perubahan kadar potasium dan magnesium dalam

darah (misalnya penggunaan diuretik) juga dapat menyebabkan

8
aritmia yang mengancam jiwa dan cardiac arrest.

d.) Kelistrikan yang tidak normal; beberapa kelistrikan jantung yang

tidak normal seperti Wolff-Parkinson-White-Syndrome dan

sindroma gelombang QT yang memanjang bisa menyebabkan

cardiac arrest pada anak dan dewasa muda.

e.) Pembuluh darah yang tidak normal, jarang dijumpai (khususnya di

arteri koronari dan aorta) sering menyebabkan kematian mendadak

pada dewasa muda. Pelepasan adrenalin ketika berolah raga atau

melakukan aktifitas fisik yang berat, bisa menjadi pemicu

terjadinya cardiac arrest apabila dijumpai kelainan tadi.

f.) Penyalahgunaan obat; penyalahgunaan obat adalah faktor utama

terjadinya cardiac arrest pada penderita yang sebenarnya tidak

mempunyai kelainan pada organ jantung.

2.1.3 Tanda cardiac arrest

Tanda cardiac arrest menurut Diklat Ambulans Gawat Darurat 118 (2010):

a. Ketiadaan respon; pasien tidak berespon terhadap rangsangan suara,

tepukan di pundak ataupun cubitan.

b. Ketiadaan pernafasan normal; tidak terdapat pernafasan normal

ketika jalan pernafasan dibuka.

c. Tidak teraba denyut nadi di arteri besar (karotis, femoralis, radialis).

2.1.4 Proses terjadinya cardiac arrest

Kebanyakan korban henti jantung diakibatkan oleh timbulnya aritmia:

fibrilasi ventrikel (VF), takhikardi ventrikel (VT), aktifitas listrik tanpa nadi (PEA),

9
dan asistol (Diklat Ambulans Gawat Darurat 118, 2010)

a. Fibrilasi ventrikel

Merupakan kasus terbanyak yang sering menimbulkan kematian mendadak,

pada keadaan ini jantung tidak dapat melakukan fungsi kontraksinya,

jantung hanya mampu bergetar saja. Pada kasus ini tindakan yang harus

segera dilakukan adalah CPR dan DC shock atau defibrilasi.

b. Takhikardi ventrikel

Mekanisme penyebab terjadinyan takhikardi ventrikel biasanya karena

adanya gangguan otomatisasi (pembentukan impuls) ataupaun akibat adanya

gangguan konduksi. Frekuensi nadi yang cepat akan menyebabkan fase

pengisian ventrikel kiri akan memendek, akibatnya pengisian darah ke

ventrikel juga berkurang sehingga curah jantung akan menurun. VT dengan

keadaan hemodinamik stabil, pemilihan terapi dengan medika mentosa lebih

diutamakan. Pada kasus VT dengan gangguan hemodinamik sampai terjadi

henti jantung (VT tanpa nadi), pemberian terapi defibrilasi dengan

menggunakan DC shock dan CPR adalah pilihan utama.

c. Pulseless Electrical Activity (PEA)

Merupakan keadaan dimana aktifitas listrik jantung tidak menghasilkan

kontraktilitas atau menghasilkan kontraktilitas tetapi tidak adekuat sehingga

tekanan darah tidak dapat diukur dan nadi tidak teraba. Pada kasus ini CPR

adalah tindakan yang harus segera dilakukan.

d. Asistole

Keadaan ini ditandai dengan tidak terdapatnya aktifitas listrik pada jantung,

10
dan pada monitor irama yang terbentuk adalah seperti garis lurus. Pada

kondisi ini tindakan yang harus segera diambil adalah CPR.

Gambar 1. Algoritma Penatalaksanaan Henti Jantung

11
12
13
2.1.5 Prognosis

Kematian otak dan kematian permanen dapat terjadi hanya dalam jangka

waktu 8 sampai 10 menit dari seseorang tersebut mengalami henti jantung

(Diklat Ambulans Gawat Darurat 118,2010). Kondisi tersebut dapat dicegah

dengan pemberian resusitasi jantung paru dan defibrilasi segera (sebelum

melebihi batas maksimal waktu untuk terjadinya kerusakan otak), untuk secepat

mungkin mengembalikan fungsi jantung normal. Resusitasi jantung paru dan

defibrilasi yang diberikan antara 5 sampai 7 menit dari korban mengalami henti

jantung, akan memberikan kesempatan korban untuk hidup rata-rata sebesar

30% sampai 45 %. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa dengan penyediaan

defibrillator yang mudah diakses di tempat-tempat umum seperti pelabuhan

udara, dalam arti meningkatkan kemampuan untuk bisa memberikan

pertolongan (defibrilasi) sesegera mungkin, akan meningkatkan kesempatan

hidup rata-rata bagi korban cardiac arrest sebesar 64% (American Heart

Assosiacion.2010).

2.2 Konsep Basic Life Support

2.2.1 Pengertian

Basic Life Support adalah dasar untuk menyelamatkan nyawa ketika

terjadi henti jantung. Aspek dasar BLS meliputi penanganan langsung terhadap

sudden cardiac arrest (SCA) dan sistem tanggap darurat, cardiopulmonary

resuscitation (CPR) atau resusitasi jantung paru (RJP) dini, dan defibrilasi cepat

dengan (AED) automated external defibrillator (Berg, et al 2010)

Bantuan hidup dasar atau Basic Life Support merupakan sekumpulan

intervensi yang bertujuan untuk mengembalikan dan mempertahankan fungsi

vital organ pada korban henti jantung dan henti nafas. Intervensi ini terdiri dari

14
pemberian kompresi dada dan bantuan nafas (Hardisman, 2014). Menurut

Krisanty (2009) bantuan hidup dasar adalah memberikan bantuan eksternal

terhadap sirkulasi dan ventilasi pada pasien henti jantung atau henti nafas

melalui RJP/ CPR.

Menurut AHA Guidelines tahun 2015, tindakan BHD ini dapat disingkat

teknik ABC pada prosedur CPR (Cardio Pulmonary Resuscitation) yaitu:

A (Airway): Menjaga jalan nafas tetap terbuka

B (Breathing): Ventilasi paru dan oksigenasi yang adekuat

C (Circulation): Mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung paru.

2.2.2 Tujuan Basic Life Support

Tujuan Basic Life Support menurut (AHA, 2015) antara lain:

a. Mengurangi tingkat morbiditas dan kematian dengan mengurangi

penderitaan.

b. Mencegah penyakit lebih lanjut atau cedera

c. Mendorong pemulihan

Tujuan bantuan hidup dasar ialah untuk oksigenasi darurat secara efektif

pada organ vital seperti otak dan jantung melalui ventilasi buatan dan sirkulasi

buatan sampai paru dan jantung dapat menyediakan oksigen dengan

kekuatan sendiri secara normal (Latief & Kartini 2009). Sedangkan menurut

Alkatri (2007), tujuan utama dari bantuan hidup dasar adalah suatu tindakan

oksigenasi darurat untuk mempertahankan ventilasi paru dan mendistribusikan

darah-oksigenasi ke jaringan tubuh

15
2.2.3 Indikasi Basic Life Support

Tindakan Resusitasi Jantung Paru (RJP) yang terkandung didalam

bantuan hidup dasar sangat penting terutama pada pasien dengan cardiac arrest

karena fibrilasi ventrikel yang terjadi di luar rumah sakit, pasien di rumah sakit

dengan fibrilasi ventrikel primer dan penyakit jantung iskemi, pasien dengan

hipotermi, overdosis, obstruksi jalan napas atau primary respiratory arrest

(Alkatri, 2007).

a. Henti Jantung (Cardiac Arrest)

Henti jantung adalah berhentinya sirkulasi peredaran darah

karena kegagalan jantung untuk melakukan kontraksi secara efektif,

keadaan tersebut bias disebabkan oleh penyakit primer dari jantung atau

penyakit sekunder non jantung. Henti jantung adalah bila terjadi henti

jantung primer, oksigen tidak beredar dan oksigen tersisa dalam organ

vital akan habis dalam beberapa detik (Mansjoer & Sudoyo 2010).

Henti jantung dapat disebabkan oleh faktor intrinsik atau

ekstrinsik. Faktor intrinsik berupa penyakit kardiovaskular seperti

asistol, fibrilasi ventrikel dan disosiasi elektromekanik. Faktor

ekstrinsik adalah kekurangan oksigen akut (henti nafas sentral/perifer,

sumbatan jalan nafas dan inhalasi asap); kelebihan dosis obat (digitas,

kuinidin, antidepresan trisiklik, propoksifen, adrenalin dan isoprenalin);

gangguan asam basa/ elektrolit (hipo/ hiperkalemia, hipo/

hipermagnesia, hiperkalsemia dan asidosis); kecelakaan (syok listrik,

tenggelam dan cedera kilat petir); refleks vagal; anestesi dan

16
pembedahan (Mansjoer & Sudoyo 2010).

Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tidak teraba (a.

karotis, a. femoralis, a. radialas), disertai kebiruan (sianosis) atau pucat

sekali, pernapasan berhenti atau satu-satu (gasping, apnu), dilatasi pupil

tidak bereaksi dengan rangsang cahaya dan pasien dalam keadaan tidak

sadar (Latief & Kartini 2009).

b. Henti Napas (Respiratory Arrest)

Henti napas adalah berhentinya pernafasaan spontan disebabkan

karena gangguan jalan nafas persial maupun total atau karena gangguan

dipusat pernafasaan. Tanda dan gejala henti napas berupa hiperkarbia

yaitu penurunan kesadaran, hipoksemia yaitu takikardia, gelisah,

berkeringat atau sianosis (Mansjoer & Sudoyo 2010).

Henti nafas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh

banyak hal, misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam,

inhalasi asap/uap/gas, obstruksi jalan napas oleh benda asing, tersengat

listrik, tersambar petir, serangan infark jantung, radang epiglottis,

tercekik (suffocation), trauma dan lain-lain (Latief & Kartini 2009).

Pada awal henti nafas, jantung masih berdenyut, masih teraba

nadi, pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai

beberapa menit. Jika henti napas mendapat pertolongan dengan segera

maka pasien akan terselamatkan hidupnya dan sebaliknya jika

terlambat akan berakibat henti jantung yang mungkin menjadi fatal

(Latief & Kartini 2009).


17
c. Tidak sadarkan diri

2.2.4 Rantai keselamatan dan Langkah-Langkah Basic Life Support

Rantai keselamatan dan langkah-langkah Basic Life Support menurut

AHA (2015) antara lain:

Gambar 2. Rantai keselamatan pada korban dewasa

a. Langkah-langkah Basic Life Support pada korban dewasa

1. Identifikasi korban henti jantung dan Aktivasi SPGDT Segera

a.) Melakukan 3A (Aman)

Sebelum melakukan pertolongan harus diingat bahwa tidak jarang

anda memasuki keadaan yang berbahaya. Selain resiko infeksi anda

juga dapat menjadi korban jika tidak memperhatikan kondisi sekitar

pada saat melakukan pertolongan. Maka ada beberapa hal yang harus

dilakukan penolong pada korban yaitu :

 Memasikan keamanaan anda

Keamanaan sendiri merupakan prioritas utama karena bagaimana

kita dapat melakukan pertolongan jika kondisi kita sendiri berada

dalam bahaya. Akan merupakan hal yang ironiis seandainya kita

bermaksud menolong tetapi karena tidak memperhatikan situasi


18
kita sendiri yang terjerumus dalam bahaya.

 Memastikan keamanan lingkungan

Ingat rumus do no futher harm karena ini meliputi juga

lingkungan sekitar penderita yang belum terkena sedera. Sebagai

contoh ketika terjadi kecelakaan lalu lintas. Ingatlah para

penonton untuk cepat-cepat menyingkir karena ada bahaya

seperti ledakan/api.

 Memastikan keamanan penderita

Betatapun ironisnya, tetapi prioritas terakhir adalah penderita

sendiri, karena penderita ini sudah mengalami cedera dari awal.

 Memastikan kesadaran korban

Penolong juga perlu memeriksa pernafasaan korban, jika korban

tidak sadarkan diri dan bernafas secara abnormal (terengah-

engah) penolong harus mngasumsikan korban mengalami henti

jantung. Penolong harus memastikan korban tidak merespon

dengan cara memanggil korban dengan jelas, lalu menepuk-

nepuk korban atau menggoyang-goyangkan baru korban.

19
Gambar 3. Memeriksa kesadaran korban

 Meminta pertolongan

Korban tidak merespon maka penolong harus segera

mengaktifkan SPGDT dengan menelpon Ambulans Gawat

Darurat 118 Dinas Kesehatan DKI Jakarta, atau ambulans rumah

sakit terdekat. Mengaktifkan SPGDT penolong harus siap

dengan jawaban mengenai lokasi kejadian, kejadian yang sedang

terjadi, jumlah korban dan bantuan yang dibutuhkan. Rangkaian

tindakan tersebut dapat dilakukan secara bersamaan apabila pada

lokasi kejadian terdapat lebih dari satu penolong, misalnya

penolong pertama memeriksa respon korban kemudian

melanjutkan tindakan BLS sedangkan penolong kedua

mengaktifkan SPGDT dengan menelpon ambulans terdekat dan

mengambil alat kejut jantung otomatis (AED).

b.) Resusitusi Jantung Paru (RJP)

RJP terdiri dari penekanan dada dan bantuan napas dengan

perbandingan 30:2 berarti 30 kali penekanan dada kemudian dilanjutkan

dengan memberikan 2 kalibantuan napas. Bantuan napas diberikan jika

penolong yakin melakukannya.

Penekanan dada yang dilakukan dengan prinsip tekan kuat, tekan

cepat mengembang sempurna. Memaksimalkan efektivitas penekanan

20
dada, korban harus berada ditempat yang permukaannya datar. Penolong

meletakan pangkal telapak tangan ditengah dada korban dan meletakan

tangan yang lain diatas tangan yang pertama dengan jari-jari saling

mengunci dan lengan tetap lurus

Gambar 4. Posisi badan serta tangan penolong pada dada

korban

Penolong memberikan penekanan dada dengan kedalamaan

minimal 5cm (prinsip tekan kuat) dengan minimal 100-120 kali permenit

(prinsip tekan cepat). Penolong juga harus memberikan waktu bagi dada

korban untuk mengembang kembali untuk memungkinkan darah terisi

terlebih dahulu pada jantung (prinsip mengembang sempurna). Penolong

juga harus meminimalisasi interupsi saat melakukan penekanan (prinsip

interupsi minimal). Bantuan nafas diberikan setelah membuka jalan

napas korban dengan teknik mengadahkan kepala dan mengangkat dagu

(head tilt-chin lift).

Gambar 5. Membuka jalan napas dengan menangadahkan kepala dan

mengangkat dagu

21
Setelah itu cuping hidung korban dijepit menggunakan ibu jari dan

telunjuk agar tertutup kemudian diberikan napas buatan sebanyak dua

kali, masing-masing sekitar 1 detik, buang napas seperti biasa melalui

mulut. Bantuan napas diberikan dari muut atau menggunakan pelindung

wajah yang diletakkan diwajah korban. Lihat dada korban saat

memberikan napas buatan, apakah dadanya mengembang, kemudian

tunggu hingga kembali turun memberikan napas buatan berikutnya.

Gambar 6. Memberikan napas buatan

RJP dilakukan bergantian setiap 2 menit (5 siklus RJP) dengan

penolong lain. Penolong melakukan penekanan dada sampai alat kejut

jantung otomatis (AED) dating dan siap untuk digunakan atau bantuan

dari tenaga kesehatan telah datang.

c.) Melakukan kejut jantung dengan alat kejut jantung otomatis (AED)

Alat kejut jantung otomatis (AED) merupakan alat yang dapat

memberikan kejutan listrik pada korban. Pertama, pasang terlebih dahulu

bantalan (pad) alat kejut jantung otomatis pada dada korban sesuai

22
instruksi yang ada pada alat, setelah dinyalakan ikuti instruksi dari alat

tersebut yaitu jangan menyentuh korban kaena alat kejut jantung otomatis

akan menganalisis irama jantung korban.

Alat mengidentifikasi irama jantung yang abnormal dan

membutuhkan kejut jantung, minta orang-orang agar tidak ada yang

menyentuh korban, lalu penolong menekan tombol kejut jantung pada

alat. Penekanan pada dada segera setelah alat memberikan kejutan listrik

pada korban. Hal ini dilakukan untuk mengembalikan kelistrikan jantung

seperti semula.

Gambar 7. Melakukan kejut jantung

23
Posisi pemulihan dilakukan jika korban sudah bernapas dengan normal.

Tidak ada standar baku untuk melakukan posisi pemulihan, yang terpenting

adalah korban dimiringkan agar tidak ada tekanan pada dada korban yang bias

menggangu pernapasan. Rekomindasi posisi pemulihan adalah meletakan tangan

kanan korban keatas, tekuk kaki kiri korban, kemudian tarik korban sehingga

korban miring kearah lengan dibawah kepala korban.

Gambar 8. Cara melakukan posisi pemulihan

d.) Melakukan Bantuan Hidup Lanjut yang efektif

e.) Melakukan resusitasi setelah henti jantung secara terintegrasi

2.3 Pengetahuan

2.3.1 Pengertian

Pengetahuan (knowledge) adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi

setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.

24
Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni: indera penglihatan,

pendengaran, penciuman, perasa dan peraba. Sebagian besar pengetahuan

manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007).

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang (over behaviour). Pengetahuan diperlukan

sebagai dukungan dalam menumbuhkan rasa percaya diri maupun sikap dan

perilaku setiap hari, sehingga dapat dikatakan bahwa pengetahuan merupakan

fakta yang mendukung tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2007).

2.3.2 Adopsi Pengetahuan

Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa apabila suatu pembuatan yang

didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perbuatan yang tidak

didasari oleh pengetahuan, dan apabila manusia mengadopsi perbuatan dalam

diri seseorang tersebut akan terjadi proses sebagai berikut:wareness

(kesadaran) dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih

dahulu terhadap stimulus (objek).

 Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tertentu disini

sikap subjek sudah mulai timbul.

 Evaluation (menimbang-nimbang) baik dan tidaknya stimulus tersebut


bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

 Trial, dimana subjek mulai melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang

dikehendaki oleh stimulus.

 Adoption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan

pengetahuan kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.

2.3.3 Tingkat Pengetahuan


25
Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa pengetahuan yang dicakup

dalam bidang atau ranah kognitif mempunyai enam tingkatan bergerak dari

yang sederhana sampai pada yang kompleks yaitu:

a.) Tahu (Know)

Mengetahui berdasarkan mengingat kepada bahan yang sudah dipelajari

sebelumnya. Mengetahui dapat menyangkut bahan yang luas atau sempit

seperti fakta (sempit) dan teori (luas). Namun, apa yang diketahui hanya

sekedar informasi yang dapat disingkat saja. Oleh karena itu tahu merupakan

tingkat yang paling rendah.

b.) Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara

benar tentang objek yang diketahui, dapat menginterpretasi materi tersebut

secara benar.

c.) Aplikasi (Aplication)

Penerapan adalah kemampuan menggunakan suatu ilmu yang sudah

dipelajari ke dalam situasi baru seperti menerapkan suatu metode, konsep,

prinsip atau teori.

d.) Analisa (Analysis)

Analisa adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek

ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam satu struktur organisasi

tersebut dan masih ada kaitan suatu sama lainnya.

e.) Sintesis (Synthesis)

Sintesis adalah suatu kemampuan untuk meletakkan atau


26
menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru,

misalnya dapat menyusun, merencanakan, meringkas.

f.) Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi berkenaan dengan kemampuan menggunakan pengetahuan

untuk membuat penelitian terhadap suatu berdasarkan maksud atau kriteria

tertentu.

2.3.4 Cara pengukuran tingkat pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau

kuisoner yang menanyakan tentang isi materi yang akan diukur dari subjek

penelitian atau responden (Notoatmodjo, 2007). Menurut Wawan&Dewi

(2010) tingkat pengetahuan ada tiga yaitu:

Tingkat pengetahuan baik bila jumlah jawaban benar 76%-100%

Tingkat pengetahuan cukup bila jumlah jawaban benar 56%-75%

Tingkat pengetahuan kurang bila jumlah jawaban benar <56%

2.3.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat

pengetahuan meliputi:

a.) Umur

Umur adalah lamanya hidup seseorang di hitung sejak dia lahir hingga

penelitian ini dilakukan dan merupakan periode penyesuaian terhadap pola

kehidupan baru dan harapan baru. Pada masa ini merupakan usia produktif,
27
masa bermasalah, masa ketegangan emosi, masa ketersaingan sosial, masa

komitmen, masa ketergantungan, masa perubahan nilai, masa penyesuaian

dengan cara hidup baru, masa kreatif. Dimana semakin tinggi umur seseorang

maka semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Umur yang lebih cepat

menerima pengetahuan adalah 18 – 40 tahun.

b.) Tingkat Pendidikan

Pendidikan secara umum adalah segala upaya yang di rencanakan untuk

mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok, atau masyarakat sehingga

mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan (Notoatmodjo,

2007). Pendidikan adalah upaya untuk memberikan pengetahuan sehingga

terjadi perubahan perilaku positif yang meningkat. Jenjang pendidikan formal

terdiri atas pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah.

Pendidikan dasar berbentuk SD / sederajat, SLTP / sederajat, SMA / sederajat,

dan Perguruan Tinggi. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang banyak

pula menjadi tahu, dan ini juga didukung oleh umur dan pengalaman yang

didapat (Notoatmodjo, 2007).

Tingkat pendidikan berperan menentukan mudah tidaknya seseorang

menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh, pada umumnya

semakin tinggi pendidikan seseorang semakin mudah menerima informasi

sehingga semakin banyak pula pengetahuan yang dimiliki, sebaliknya

pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap cukup

seseorang (Herawati, 2005).

c.) Pekerjaan

Pekerjaan adalah seluruh aktivitas yang dilakukan sehari-hari, dimana

28
semua bidang pekerjaan umumnya diperlukan adanya hubungan sosial dengan

orang lain. Setiap orang harus bergaul dengan teman sejawat maupun

berhubungan dengan atasan (Notoatmodjo, 2007).

Pekerjaan digunakan dalam suatu tugas atau kerja yang menghasilkan

uang bagi seseorang. Dalam pembicaraan sehari-hari istilah ini sering dianggap

sinonim dengan profesi. Pekerjaan seseorang sering dikaitkan pula dengan

tingkat penghasilannya. Jenis pekerjaan misalnya : tidak bekerja/IRT, swasta,

wiraswasta, pegawai negeri sipil (PNS), buruh dan tani (Notoatmodjo, 2007).

Seseorang yang bekerja akan berinteraksi dengan orang lain sehingga

akan mendapatkan berbagai macam informasi yang dapat menambah

pengetahuannya, hal ini juga akan menambah pengalaman seseorang

(Notoatmodjo, 2007).

d.) Sumber Informasi

Sumber informasi diartikan sebagai sumber belajar sekalipun banyak

orang yang berpendapat bahwa pengalaman itu lebih luas dari pada sumber

belajar, sumber informasi yang disusun secara sistematis oleh otak, maka

hasilnya adalah ilmu pengetahuan (Soekanto, 2007).

Sumber informasi yang paling baik adalah tenaga kesehatan karena lebih

fokus pada pokok permasalahan (Notoatmodjo, 2007). Seseorang yang

mempunyai sumber informasi yang lebih banyak akan mempunyai

pengetahuan yang lebih luas (Soekanto, 2002). Pengetahuan diperoleh melalui

29
kenyataan dengan melihat dan medengar sendiri melalui alat komunikasi,

misalnya surat kabar radio, televisi, serta dari keluarga dan kerabat dekat.

Seseorang yang mempunyai sumber informasi yang lebih banyak akan

mempunyai pengetahuan yang lebih luas (Nursalam, 2005).

Seseorang mempunyai sumber informasi yang lebih banyak akan

mempunyai pengetahuan yang lebih luas. Informasi ini dapat diperoleh dari

beberapa sumber antara lain:

1. Media cetak

a. Rubrik atau tulisan-tulisan pada surat kabar atau majalah yang

membahas suatu masalah kesehatan atau hal-hal yang berkaitan

dengan kesehatan.

b. Leaflet ialah bentuk penyampaian informasi atau pesan-pesan

kesehatan melalui lembaran lipat.

c. Poster ialah bentuk penyampaian informasi atau pesan-pesan

kesehatan yang biasanya ditempel di tembok-tembok, tempat -tempat

umum, atau kendaraan umum.

d. Surat kabar merupakan media komunikasi yang efektif sebagaimana

diketahui pengaruh surat kabar sangat sulit dielakan bahkan dapat

dikatakan surat kabar sudah menjadi kebutuhan setiap orang.

e. Majalah bisa menjadi media yang efektif bila isi majalah disesuaikan

dengan kepentingan kepentingan pembaca dan harus berdasarkan

materi yang banyak diketahui oleh pembaca.

f. Buku-buku, diperpustakaan sekolah buku telah didefinisikan dan di

30
atur secara sistematis sehingga memudahkan orang untuk mencari

dan membacanya.

2. Media elektronik

Sebagai sarana untuk menyapaikan pesan-pesan atau informasi kesehatan

melalui media kesehatan, seperti:

a. Televisi, penyampaian pesan atau informasi-informasi kesehatan

melalui media televisi dapat dalam bentuk forum kesehatan.

31
b. Radio, penyampaian informasi atau pesan-pesan kesehatan melalui radio

juga dapat bermacam-macam bentuknya, antara lain: obrolan atau tanya

jawab, ceramah.

c. Vidio, penyampaian informasi atau pesan-pesan kesehatan dapat melalui

vidio.

e.) Pengalaman

Pengalaman adalah sesuatu yang pernah dialami seseorang tentang sesuatu.

Interaksi dengan orang lain, memungkinkan pengalaman yang dialami oleh orang

lain akan menambah pengetahuannya.

2.3.6 Cara Memperoleh Pengetahuan

Cara memperoleh pengetahuan menurut Wawan & Dewi (2011) yaitu:

a.) Cara Tradisional

 Cara coba salah

Cara coba ini dilakukan dengan menggunakan beberapa kemungkinan

dalam memecahkan masalah, dan apabila dan apabila kemungkinan tersebut

tidak berhasil, dicoba kemungkinan yang lain.

 Cara Kekuasan atau Otoritas

Sumber pengetahuan cara ini dikemukakan oleh orang yang mempunyai

otoritas baik berupa pimpinan-pimpinan masyarakat tanpa menguji terlebih

dahulu atau membuktikan kebenarannya baik berdasarkan fakta atau pendapat

sendiri.

 Berdasarkan Pengalaman Pribadi

Pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai upaya memperoleh

pengetahuan, hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman

32
yang pernah diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi masa

lalu.

b.) Cara moderen dalam memperoleh pengetahuan

Cara ini disebut dengan metode ilmiah atau lebih popular atau disebut

metodologi penelitian dan akhirnya lahir suatu cara untuk melakukan

penelitian.

2.4 Konsep Umum Pelatihan

2.4.1 Pengertian

Pelatihan adalah sebuah proses untuk memperoleh pengetahuan, sikap,

dan keterampilan sebagai hasil pengalaman seseorang sehingga menghasilkan

terjadinya perubahan prilaku (Vaughn, 2005). Pelatihan menurut

Mangkuprawira (2013) adalah sebuah proses mengajarkan pengetahuan dan

keahlian tertentu serta sikap agar seseorang semakin terampil dan mampu

melaksanakan tanggung jawab dengan semakin baik, sesuai dengan standar.

Menurut (Gary, 2006) bahwa “Pelatihan merupakan proses mengajar

ketrampilan yang dibutuhkan karyawan untuk melakukan pekerjaannya.

Selanjutnya pengertian pelatihan secara sederhana didefinisikan oleh

(Chrisogonus, 2007) sebagai “Proses pembelajaran yang dirancang untuk

mengubah kinerja orang dalam melakukan pekerjaannya.

2.4.2 Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Pelatihan

Faktor- faktor yang mempengaruhi efektivitas pelatihan menurut

(Veithzal, 2004) yaitu:

 Materi atau isi pelatihan

 Metode pelatihan

33
 Pelatih (instruktur/trainer) dan peserta pelatihan

 Sarana dan evaluasi pelatihan

2.4.3 Langkah-Langkah Pelatihan

Langkah pelatihan menurut (Brabender et al, 2004) yaitu:

a. Penelitian dan pengumpulan data

Hasil penelitian dan pengumpulan data tersebut dapat diketahui

kebutuhan akan pelatihan dalam meningkatkan keterampilan.

b. Menentukan Materi

Mengetahui kebutuhan akan pelatihan, sebagai hasil dari langkah yang

pertama dapat ditentukan materi pelatihan yang harus diberikan

c. Menentukan Metode Pelatihan

Materi yang dibutuhkan maka ditentukan cara penyajian yang paling

tepat. Materi yang akan disampaikan juga berkaitan dengan pelatihan

yang akan di lakukan.

d. Memilih pelatih yang dibutuhkan

Memilih dan mempersiapkan tenaga pelatih (instruktur) didadasarkan

pada keahlian dan kemampuannya untuk mentransformasikan

keahliannya tersebut kepada peserta pelatihan. Dibutuhkan pelatih yag

khusus bagi pelatih (training for trainers).

e. Mempersiapkan fasilitas yang dibutuhkan

Fasilitas yang dibutuhkan untuk mendukung berlangsungnya pelatihan

seperti ruangan, alat tulis, pantom, dukungan keuangan, konsumsi.

Pengadaan fasilitas ini tampaknya sangat mempengaruhi keberhasilan


34
suatu program pelaihan.

f. Memilih para responden atau peserta

Agar proram ini mencapai sasaran hendaklah para peserta dipilih yang

memenuhi karakteristik penelitian.

g. Melaksanakan program

Langkah ini harus selalu dijaga agar pelaksanannya kegiatan pelatihan

benar- benar mengikuti program yang telah ditetapkan. Adapun cara-

cara pelatihan menurut (Oemar, 2007) adalah sebagai berikut:

1) Model komunikasi Ekspositif

a) Sistem satu arah, tanggung jawab untuk menstraferkan

informasi terletak pada pelatih.

b) Sistem dua arah, pada system ini terdapat pola balikan untuk

memeriksa apakah peserta menerima informasi dengan tepat.

2) Model komunikasi diskoversi

a) Ceramah reflektif, pendekatan ini berdasarkan penyajian satu

arah oleh pelatih.

b) Diskoversi terbimbing, pendekatan ini melibatkan para peserta

untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh

pelatih.

3) Teknik komunikasi kelompok kecil

a) Tutorial perorangan, yaitu satu orang tutor berhadapan dengan

satu orang peserta.

b) Tutorial kelompok, satu orang pelatih membimbing satu

kelompok peserta, yang terdiri dari lima sampai dengan tujuh


35
orang pada waktu yang sama.

c) Lokakarya, peserta mendapat informasi tentang prosedur kerja

dan asas-asas pelaksanaan suatu topic dengan metode tertentu.

d) Diskusi kelompok, pemimpin kelompok merumuskan topic

yang akan dibahas dan bertindak sebagai ketua kelompok.

4) Pembelajaran berpogram

e) Teks program linier, sistem pembelajaran yang terpogram yang

menggunakan teks program.

f) Teks program bercabang, bentuk linier dan bentuk bercabang

dapat dicampurkan menjadi satu teknik yang mengandung

berbagai kemungkinan, yang dapat digunakan untuk setiap

latihan.

g) Media yang diprogram, prinsip pembelajaran berprogram dapat

juga diterapkan dalam media pembelajaran yang digunakan

dalam rangka belajar mandiri.

2.4.4 Teori Belajar

a. Classical Conditioning

Teori belajar ini mengatakan bahwa belajar merupakan proses

perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat yang kemudian

menimbulkan respon atau reaksi. Teori ini adalah latihan-latihan

yang kontinyu dan yang diutamakan belajar yang terjadi secara

otonomis (Anni, 2006).

b. Koneksionisme

Koneksi merupakan asosiasi antara kesan-kesan pengindraan

36
dengan dorongan dengan perilaku, yaitu bahwa proses mental dan

perilaku organisme berkaitan penyesuaian diri terhadap lingkungan

(Anni, 2006).

c. Teori psikologi gestalk

Menurut pandangan gestalk semua kegiatan belajar menggunakan

insight atau pemahaman terhadap hubungan-hubungan, terutama

hubungan-hubungan antara bagian dan keseluruhan. Tingkat

kejelasan atau keberartian dari apa yang diamati dalam situasi

belajar dan ganjaran (Dalyono, 2009)

d. Konsep Teori Pembelajaran Menurut Bloom

a) Ranah kognitif – Pengetahuan (knowledge)

Ranah kognitif mencakup perilaku yang menekankan aspek

intelektual, seperti pengetahuan dan keterampilan berpikir.

Bloom membagi ranah kognitif ke dalam tingkatan katagori,

yaitu:

 Pengetahuan

Kemampuan menyebutkan atau menjelaskan kembali.

Contoh: menyatakan kebijakan.

 Pemahaman

Kemampuan memahami instruksi atau masalah

menginterprestasikan dan menyatakan kembali dengan

kata-kata sendiri.

 Penerapan

37
Kemampuan menggunakan konsep dalam praktek atau

situasi yang baru. Contoh: menggunakan pedoman dalam

menghitung.

 Analisa

Kemampuan memisahkan konsep ke dalam beberapa

komponen untuk memperoleh pemahaman yang lebih luas

terhadap konsep tersebut secara utuh.

 Sintesa

Kemampuan merangkai kembali komponen-komponen

dalam rangka menciptakan arti atau pemahaman struktur

baru.

 Evaluasi

Kemampuan mengevaluasi dan menilai sesuatu

berdasarkan norma, acuan atau kriteria.

b) Ranah Afektif – Sikap (Attitude)

Ranah Afektif mencakup segala sesuatu yang terkait dengan

emosi, misalnya perasaan, nilai, penghargaan, semangat,

minat, motvasi, dan sikap. Lima katagori ranah ini diurutkan

mulai dari perilaku yang sederhana hingga yang paling

kompleks. Bloom membagi ranah afektif ke dalam tingkatan

katagori, yaitu:

 Penerimaan

Kemampuan untuk menunjukan atensi dan penghargaan

38
terhadap orang lain. Contoh mendengar pendapat orang

lain.

 Responsif

Kemampuan beradaptasi aktif dalam pembelajaran dan

selalu termotivasi untuk segera bereaksi dalam mengambil

tindakan atas suatu kejadian.

 Nilai yang dianut (Nilai diri)

Kemampuan menunjukan nilai yang dianut untuk

membedakan mana yang baik dan kurang baik terhadap

suatu kejadian dan nilai tersebut diekspresikan dalam

perilaku.

 Organisasi

Kemampuan membentuk system nilai dan budaya

organisasi dengan mengharmonisasikan perbedaan nilai.

 Karakteristik

Kemampuan mengendalikan perilaku berdasarkan nilai

yang dianut dan memperbaiki hubungan interpersonal dan

sosial.

c) Ranah Psikomotorik – Keterampilan (Skills)

Ranah psikomotorik meliputi gerakan dan koordinasi jasmani,

keterampilan motoric dan kemampuan fisik. Keterampilan ini

dapat diasah jika sering melakukannya. Perkembangan

tersebut dapat diukur sudut kecepatan, ketepatan, jarak,

39
cara/teknik pelaksanaan. Bloom membagi ranah psikomotorik

dalam tujuh tingkatan katagori, yaitu:

 Persepsi

Kemampuan menggunakan saraf sensori dalam

menginterprestasikan dalam memikirkan sesuatu.

 Kesiapan

Kemampuan untuk mempersiapkan diri bai mental, fisik,

emosi, dalam menghadapi sesuatu.

 Reaksi yang diarahkan

Kemampuan untuk memulai keterampilan yang kompleks

dengan bantuan atau bimbingan dengan meniru dan uji

coba.

 Reaksi natural (mekanisme)

Kemampuan untuk melakukan kegiatan pada tingkat

keterampilan tahap yang lebih sulit. Diharapkan

mahasiswa terbiasa melakukan tugas rutinnya.

 Reaksi yang kompleks

Kemampuan untuk melakukan kemahiran dimana hal

terlihat dari kecepatan, ketepatan, efisiensi dan

efektivitasnya. Semua tindakan dilakukan secara spontan,

lancer, cepat, tanpa ragu.

 Adaptasi

Kemampuan mengembangkan keahlian dan memodifikasi


40
pola sesuai dengan yang dibutuhkan

 Kreativitas

Kemampuan untuk menciptakan pola baru yang sesuai

dengan kondisi atau situasi tertentu dan juga kemampuan

mengatasi masalah dengan mengeksplorasi kreativitas diri.

2.5 Kerangka Konsep

Edukasi dan
Pelatihan BHD
-Ceramah
-Simulasi

SEBELUM SESUDAH

Pengetahuan Pegawai Pengetahuan Pegawai

41
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian jenis kuasi eksperimental

dengan desain pendekatan one group pre-test post-test untuk mengetahui pengaruh

pengetahuan pegawai puskesmas tentang pengetahuan bantuan hidup dasar (BHD)

pada sebelum dan sesudah edukasi dan pelatihan, pada rancangan ini tidak ada

kelompok pembanding (control).

3.2 Ruang Lingkup Penelitian

1. Ruang lingkup waktu

a. Pelaksanaan mini project dilakukan pada bulan Januari 2019

b. Pengambilan data dilakukan pada bulan Januari 2019.

2. Ruang lingkup tempat

Mini project dilaksanakan di Aula Puskesmas Kusuma Bangsa Pekalongan

3.3 Populasi dan Sampel

1. Populasi Target Penelitian

Populasi target dalam penelitian ini adalah pegawai di Puskesmas Kusuma

Bangsa, Pekalongan..

2. Populasi Terjangkau Penelitian

Populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah pegawai baik tenaga

42
medis, para medis maupun non medis yang bekerja di Puskesmas Kusuma

Bangsa, Pekalongan

3. Sampel Penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah populasi terjangkau yang memenuhi

kriteria inklusi yaitu pegawai baik tenaga medis, para medis maupun non medis

yang bekerja di Puskesmas Kusuma Bangsa, Pekalongan pada bulan Januari

yang datang saat kegiatan diselenggarakan.

3.4 Teknik Pemilihan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling.

3.5 Instrumen Penelitian

1. Instrumen dalam penelitian ini menggunakan kuesioner pengetahuan tentang

Bantuan Hidup Dasar (BHD).

2. Alat peraga simulasi BHD

3.6 Definisi Operasional

1. Edukasi adalah proses pendidikan atau pembelajaran untuk mengembengkan

potensi diri pada peserta didik yaitu sampel penelitian siswa/i SMK

Muhammadiyah 1 Salaman dengan menggunakan metode ceramah.

2. Pelatihan adalah proses dimana sampel penelitian siswa/i SMK

Muhammadiyah 1 Salaman mencapai kemampuan tertentu untuk melakukan

bantuan hidup dasar.

3. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui siswa/i SMK

43
Muhammadiyah 1 Salaman sebelum dan sesudah edukasi dan pelatihan

Bantuan Hidup Dasar.

3.7 Aspek Pengukuran

Kuesioner pengetahuan pegawai Puskesmas Kusuma Bangsa terdiri atas 10

pertanyaan. Pemberian skor dilakukan berdasarkan ketentuan, jawaban benar

diberi skor 1, dan jawaban salah diberi skor 0. Sehingga skor total yang tertinggi

adalah 10. Skor yang diperoleh masing-masing responden dijumlahkan,

dibandingkan dengan skor maksimal kemudian dikalikan 100.

Dengan memakai skala pengukuran menurut Hadi Pratomo dan Sudarti (1986),

yaitu :

1. Baik, bila jawaban responden benar > 75% dari total nilai angket

pengetahuan.

2. Sedang, bila jawaban responden benar 55-75% dari total nilai angket

pengetahuan.

3. Kurang, bila jawaban responden benar <55% dari total angket

pengetahuan.

3.8 Teknik Pengambilan Data

Data primer diperoleh dengan melakukan pengetahuan pegawai Puskesmas

Kusuma Bangsa yang diperoleh melalui kuesioner pre-test yang diberikan pada

responden sebelum dan kuesioner post-test sesudah edukasi dan pelatihan bantuan

hidup dasar (BHD).

3.9 Analisis Data


44
Setelah data terkumpul dilakukan analisa univariat untuk mendeskripsikan

karakteristik responden yaitu jenis kelamin, usia dan daerah domisili. Setlah itu

dilanjutkan analisis bivariat untuk membandingkan kemaknaan tingkat

pengetahuan responden sebelum dan sesudah penyuluhan menggunakan uji beda

statistic parametric dependent t test.

3.10 Alur Penelitian

1. Responden mengerjakan kuesioner pre-test peneliti selama 20 menit.

2. Mengumpulkan data pre-test pada pegawai Puskesmas Kusuma Bangsa

3. Memberikan edukasi dan pelatihan BHD terhadap pegawai Puskesmas Kusuma

Bangsa

4. Responden mengerjakan kuesioner sesudah edukasi dan pelatihan yang

diberikan peneliti selama 20 menit.

5. Mengumpulkan data post-test pada pegawai Puskesmas Kusuma Bangsa

6. Hasil test diolah dan dianalisis secara deskriptif dalam bentuk tabel dan diagram

batang dan secara analitik menggunakan uji parametric dependent t test.

45
DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association (2015). About Cardiac Arrest (SCA) Face Sheet, CPR
Statistics.http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/More/CardiacArrest/AboutCar
dia UCM 307905 Article.jsp.

American Hearth Association Guide lines For Cardiopulomonary Resuscitation and


Emergency Cardiov askular Care. AHA Journals, 122 (4):676-684

Alhidayat, N,A., Rahmat, A., Simunati. (2013). Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat
Instalasi Gawat Darurat tentang Pengkajian terhadap Pelaksanaan Tindakan Life
Support di Rumah Sakit Pelamonia Makassar. Vol. 2, No. 4

Alkatri. (2007). Resusitasi Kardio-pulmoner. Edisi IV. Jakarta: pusat penerbitan


departemant Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Unversitas Indonesia, 173-176

Arikunto. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Renika Cipta
Balitbangkes. (2008). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.
Balitbangkes, (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.
Balla. Rahmat. Junaidi (2014). Pelaksanaan Bantuan Hidup Dasar. Vol 1, No 5
Benjamin Bloom New Word Encyclopedia, from
http://newworldldencyclopedia.org/entry/benjamin
Berg RA, Hemphill R, Abella BS, Aufderheide TP, Cave DM, Hazinski MF, Lerner EB,
Rea TD, Sayre MR, Swor RA. (2010). Part 5: Adult basic life support: American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. Circulation. Research Journal: 122 (suppl 3) : S685-S705.

Brabender, Fallaha, J. F. Kocierz, L. Smith, C. M., Smith, S. C. L. & Perkins, G. D. (2004).


An evaluation of objective feedback in basic life support (BLS) training. Resuscitation,
Journal; 73(3): 417–424
Budiarto, Eko. (2002). Metodologi Penelitian Kedokteran. Jakarta : EGC. Chgogonus, D.
(2007). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Ghalia Indonesia
Christe, L. (2013). Pengaruh Pelatihan Teori Bantuan Hidup Dasap Terhadap
Pengetahuan Resusitasi Jantung Paru siswa-Siswi SMA Negeri 1 Toili. Ejournal
Keperawatan, 1(1): 1- 5.

Cristian L., Suarnianti, Ismail H., (2013). Pengetahuan Perawat tentang Kegawatan Nafas
dan Tindakan Resusitasi Jantung Paru pada Pasien yang mengalami Kegawatan
Pernafasan di Ruang ICU dan UGD RSUD Kolonodale Propinsi Sulawesi Tengah.
46
Vol. 3. No. 4

Cristian, W.G. (2009). American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine. BMC
Public Health

Diklat yayasan ambulans gawat darurat 118. 2010. Basic Trauma Life Support and Basic
Cardiac Life Support. Edisi lima. Jakarta : Yayasan ambulans gawat darurat 118.

Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah. 2012. Laporan Kegiatan P2ML, Dinas Kesehatan.

Dunnete. Darwis. Dr, Allan. dr. Lita. (2007). Pedoman Pertolongan Pertama.Jakarta :
Palang Merah Indonesia

Dzurriyatun, T (2014). Pengaruh Pelatihan Bantuan Hidup Dasar Pada Remaja Terhadap
Tingkat Motivasi Menolong Korban Henti Jantung. Universitas Muhammdiyah
Yogyakarta (UMY) Indonesia.

Fajarwati, D. (2012). Basic Life Support Tim Bantuan Medis FK UII.


http://medince.ui.i.ac.id/index.php/berita/Basic-Life-Support-Tim-Bantuan-Me dis
-FK- UI.html.

Fathoni. (2014). Gawat Darurat Panduan Kesehatan Wajib di Rumah Anda.Yogyakarta :


Aulia Publishing

Frame, S B. (2010). PHTLS: Basic and Advanced Prehospital Trauma Life Suppoort

Gary, D. (2006). Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi kesepuluh. Jakarta: PT


INKEDES
Guyton, A. C. Hall J. E. (2006). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC

Hadisman. (2014). Gawat Darurat Medis Praktik. Yogyakarta: Gosyen Publishing

Justine, T. (2006). Memahami Aspek-aspek Penngolahan Sumber Daya Manusia dalam


Organisasi. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta

Keenan, M. Lamacraft,G., & Joubert,G. (2009). A Survey Of Nurse Basic Life Support
knowledge and training at a tertiary hospital. African Journal Of Health proffesions
Education, 1(1), 4-7.

Kuhnighk, H & Sefrin P. (2005). Skills and Self assessment in cardio-pulmonary


resuscitation of the hospital nursing staf Journal
Article.

47
Latief, S. A. Kartini. (2009). Petunjuk Praktis Anestesiologi dan Terapi Intensif. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Mangkuprawira. (2013). Manajemen mutu Sumber Daya Manusia. Jakarta: Ghalia


Indonesia Mansjoer, A. Sudoyo, A. W. (2010). Resusitusi Jantung Paru. Buku Ajar
Ilmu Penyakit dalam. Edisi V jilid I. Jakarta: Interna Publishing

Mayo Clinic. (2012). Suddan Cardiac Aresst. Dikutip dari


http://www.mayoclinic.org/diseases- conditions/sudden-cardiacarrest/basic/cau
ses/com-20042982.

Muzaki. (2011). Model-model Desain Sistem Pembelajaran. Kencana Medika. Jakarta

NH & BL. (2011). What Caused Sudden Cardiac Arrest. National Institute of Health.
http//www.nhlbi.nlm.nih.gov/pubmed/18686738.

Notoatmodjo, S (2003). Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Oemar, Hamalik. (2005). Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem.


Jakarta: PT. Bumi Aksara

Oman, K, Koziol, J., Scheetz. (2008). Panduan Belajar Emergency. Jakarta:EGC

Papalia, D. E, Old, S.W. & Feldmen, R. D. (2008). Perkembangan Manusia Edisi 10 Buku
I Alih Bahasa Brian Marswendy dari Buku Human Development 10 th edition. New
york: McGrew-Hill Companiens. Inc. Jakarta: Selemba Humanika

Paryanti, S., Haryati, W., Hartati. (2007). Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan
Keterampilan Melaksanakan Prosedur tetap isap lendir/suction di Ruang ICU RSUD
Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwekerto. Vol. 2. No.

Prajulee & Salvaraj. (2011). Arbuscular Mycorrhizae: A Diverse Personality. Journal of


Central European Agriculture 7:349-353

Rahman. (2008). Analisis Kualitas Lingkungan, Laboratorium Kesehatan Lingkungan.


FKMUI. Depok

Rakhmat. (2011). Sikap dan Perilaku Kesehatan. Jakarta. EGC

Riwidikdo, H. (2007). Statistika kesehatan (belajar mudah teknis analisiS data penelitian
kesehatan). Yogyakarta: Mitra Cendekia

Riyanto. (2009). Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika

Sastroasmoro, S & Ismail, S. 2008, Dasar-dasar Metodelogi Penelitian Klinis Edisi 3,


Sagung Seto: Jakarta
48
Soekanto. (2004). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sofyan. Sahputra (2009). Tumbuh Kembang Remaja. Jakarta: Penerbit: Erlangga

Sterz, A. W. (2007). Awareness about preventable cardiovascular risk fator of student


attending faculties of nursing and literature. Anadolu Kardiyoul Derg. 2008:13:718-

Sudiharto & Sartono. (2011). Basic Trauma Cardiac Life Support. Jakarta: CV. Sagung

Seto Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung :

Alfabeta

Thygerson, Alton.(2009). First Aid: Pertolongan Pertama Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit
Erlangga

Umi, N (2015). Hubungan Tingkat Pengetahuan Dengan Keterampilan Perawat Dalam


Melakukan Tindakan Bantuan Hidup Dasar (BHD) Di RSUD Kabupaten Karanganyar.
Stikes Kusuma Husada. Indonesia.

Vaughn, R. H. (2005). The Professional Trainer. San Fransisco: Berrett-Koehler


Publisher, Inc. Veithzal. (2004). Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan
dari Teori ke Praktik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

WHO - World Health Organisation (2013). Orientation Progamme on adolescent health


for health cara providers.

Risk Reduction and Emergency Preparedneess. Printed by the WHO Dokument


Production Servies, GGeneva, Switzerland.

49
LAMPIRAN

1. Kuesioner Pelatihan Bantuan Hidup Dasar Dan Kegawatdaruratan


Jawablah dengan memberi tanda silang (X) pada salah satu jawaban yang menurut
anda sesuai
1. Bantuan Hidup Dasar (BHD) atau dalam bahasa Inggris disebut Basic Life Support
(BLS) merupakan pengertian dari..
a. Pertolongan pertama yang dilakukan seseorang yang mengalami henti jantung
b. Tindakan yang dilakukan pada seseorang yang mengalami patah tulang
c. Tindakan yang dilakukan pada seseorang yang mengalami nyeri

2. Bantuan Hidup Dasar (BHD) dapat dilakukan oleh..


a. Kalangan medis seperti dokter dan perawat saja
b. Siapa saja baik dari bidang medis maupun masyarakat yang mampu
melakukannya
c. Polisi dan aparat keamanan saja

3. Tujuan dari BHD atau pertolongan pertama antara lain..


a. Memberikan rasa aman, nyaman, dan mencegah kecacatan
b. Menyelamatkan jiwa korban dan mencegah kecacatan
c. Menyelamatkan jiwa korban, mencegah kecacatan, dan memberikan rasa aman
nyaman.

4. Tindakan Bantuan Hidup Dasar (BHD) terdiri dari...


a. Pembebasan jalan nafas dan memberi bantuan nafas
b. Pembebasan jalan nafas dan sirkulasi
c. Pembebasan jalan nafas, memberikan bantuan nafas, dan pijat jantung

5. Saat menemukan korban yang tidak sadar, hal yang pertama kali kita
lakukan adalah...

50
a. Cek kesadaran dengan menepuk pundak korban sambil memanggil “Pak!
Pak!” atau “Ibu! Ibu!”
b. Membebaskan jalan nafas
c. Memberi nafas buatan

6. Apabila korban tidak sadar, yang perlu dilakukan selanjutnya adalah...


a. Membebabaskan jalan nafas
b. Cek nadi korban
c. Meminta bantuan atau hubungi nomor darurat (ambulans atau rumah
sakit terdekat)
7. Pembebasan jalan nafas dilakukan dengan beberapa cara, yaitu...
a. Menekan dahi ke belakang, mengangkat dagu, dan mendorong rahang atas
b. Mengangkat dagu dan mendorong rahang
c. Mengangkat dagu saja

8. Menilai pernafasan dapat dilakukan dengan cara...


a. Melihat gerakan dada, mendengar suara nafas, dan merasakan hembusan nafas
b. Melihat gerakan dada saja
c. Mendengar suara nafas saja

9. Bantuan pernafasan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu...


a. Mulut ke mulut saja
b. Mulut ke hidung saja
c. Dari mulut ke mulut dan mulut ke hidung

10. Pijat jantung dan pemberian nafas buatan dilakukan dengan perbandingan...
a. 30:2 (30 kali pijat jantung : 2 kali nafas buatan)
b. 30:1 (30 kali pijat jantung : 1 kali nafas buatan)
c. 15:2 (15 kali pijat jantung : 2 kali nafas buatan)

51

Anda mungkin juga menyukai