Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gaya hidup manusia akibat adanya urbanisasi, modernisasi, dan globalisasi

menjadi salah satu penyebab terjadinya peningkatan Penyakit Tidak Menular

(PTM). PTM merupakan penyakit kronis yang tidak ditularkan dari orang ke

orang. Dari profil World Health Organization (WHO) mengenai PTM di Asia

Tenggara, terdapat lima penyakit tidak menular dengan angka kesakitan dan kematian

yang tinggi, yaitu penyakit kardiovaskuler, kanker, penyakit pernapasan kronis,

Diabetes Mellitus (DM), dan cedera (Nur dan Warganegara, 2016). Perkembangan

PTM umumnya lambat dan membutuhkan durasi yang panjang. Berdasarkan data

WHO tahun 2010, 60% penyebab kematian semua golongan usia di dunia adalah

karena PTM, sebanyak 4% meninggal sebelum usia 70 tahun. Kematian yang

diakibatkan PTM seluruhnya terjadi pada orang-orang yang berusia kurang dari 60

tahun, sebanyak 29% pada negara-negara berkembang, sedangkan di negara-negara

maju sebesar 13% (Umayana dan Cahyati, 2015).

Secara umum, PTM seperti obesitas, DM dan hipertensi menjadi salah satu

penyebab utama kematian secara global. Menurut Federasi Diabetes Internasional

(FDI), jumlah penderita DM tipe 2 terus meningkat. Indonesia menduduki urutan

ke-7 di dunia, pada tahun 2025 diprediksi menjadi urutan ke-5. Jumlah pasien DM

tipe 2 diprediksi oleh WHO akan mengalami kenaikan dari 8,4 juta pada tahun 2000

menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 mendatang (Tjekyan, 2014).
DM merupakan salah satu penyakit metabolik yang ditandai dengan tingginya

kadar gula dalam darah (hiperglikemia) diakibatkan oleh adanya gangguan sekresi

insulin, dan resistensi insulin atau keduanya. Seseorang yang menderita DM akan

menemukan beberapa gejala, seperti poliuria (banyak berkemih), polidipsia (banyak

minum), dan polifagia (banyak makan) dengan penurunan berat badan (Putri dan

Isfandiari, 2013).

Selain DM, terdapat kasus hipertensi yang terus meningkat di berbagai

negara. Prevalensi hipertensi populasi dewasa di dunia diperkirakan mencapai 15-

25%. Kasus hipertensi pada populasi di Indonesia mencapai 13,4-14,6% (Korneliani

dan Meida, 2012). Selain DM dan hipertensi, berdasarkan Riskesdas (2013)

prevalensi obesitas pada laki-laki dewasa (>18 tahun) pada tahun 2013 sebanyak

19,7%, lebih tinggi dari tahun 2007 (13,9%) dan tahun 2010 (7,8%). Prevalensi

obesitas perempuan dewasa pada tahun 2013 yaitu 32,9 %, naik 18,1% dari tahun

2007 (13,9%) dan 17,5 % dari tahun 2010 (15,5%).

Hipertensi atau penyakit tekanan darahtinggi merupakan suatu gangguan

padapembuluh darah yang mengakibatkanpenurunan suplai oksigen dan

nutrisi(Pudiastuti, 2013). Penyakit ini menjadi salah satu masalah utama dalam dunia

kesehatan masyarakat di Indonesia maupun dunia. Diperkirakan sekitar 80%

kenaikan kasus hipertensi terutama terjadi di negara berkembang pada tahun 2025

dari Jumlah total 639 juta di tahun 2000. Jumlah ini diperkirakan meningkat menjadi

1,15 miliar kasus ditahun 2025. (Ardiansyah, 2012).


Prevalensi hipertensi dunia mencapai 29.2% pada laki-laki dan 24.8% pada

perempuan (WHO, 2013). Prevalensi hipertensi ini akan terus meningkat dan

diprediksi pada tahun 2025 sebanyak 29 % orang dewasa di seluruh dunia menderita

hipertensi (Kemenkes RI, 2013).

Hipertensi penyebab kematian nomor 3 setelah stroke dan tuberkulosis, yakni

mencapai 6,7% dari populasi kematian pada semua umur di Indonesia. Prevalensi

hipertensi di Indonesia mencapai 31,7 % dari populasi usia 18 tahun keatas. Dari

jumlah itu, 60% penderita hipertensi mengalami komplikasi stroke. Sedang sisanya

mengalami penyakit ginjal, gagal ginjal, dan kebutaan. (Triyanto, 2014).

Hipertensi dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu hipertensi primer

dan sekunder. 90% dari semua kasus hipertensia dalah primer. Tidak ada penyebab

yang jelas tentang hipertensi primer, namun ada beberapa teori yang menunjukkan

bahwa faktor genetik dan perubahan hormon bisa menjadi fakor pendukung.

Hipertensi sekunder merupakan hipertensi yang diakibatkan oleh penyakit tertentu

(Baradero, 2008). Pengobatan hipertensi dapat dilakukan secara farmakologis dan

non farmakologis. Pengobatan farmakologis merupakan pengobatan dengan

menggunakan obatobatanyang dapat membantu menurunkan serta menstabilkan

tekanan darah. Pengobatan farmakologis memiliki efek samping yaitu dapat

memperburuk keadaan penyakit atau efek fatal lainnya. Hal ini dikarenakan respon

terhadap suatu jenis obat pada setiap orang berbeda. Efek samping yang mungkin

timbul adalah sakit kepala, pusing, lemas dan mual (Susilo & Wulandari, 2011).
Senam jantung sehat adalah olahraga yang disusun dengan selalu mengutamakan

kemampuan jantung, gerakan otot besar, dan kelenturan sendi. Serta upaya

memasukkan oksigen sebanyak mungkin. Selain meningkatnya perasaan sehat dan

kemampuan untuk mengatasi stress, keuntungan latihan aerobik yang teratur adalah

meningkatnya kadar HDL-C, menurunnya kadar LDL-C, menurunnya tekanan darah,

berkurangnya obesitas, berkurangnya frekuensi denyut jantung saat istirahat dan

konsumsi oksigen miokardium (MVO2), dan menurunnya reistensi insulin

(Fakhruddin, 2013) Pendekatan nonfarmakologis yang dapat mengurangi hipertensi

adalah akupresur, ramuan cina, terapi herbal, relaksasi nafas dalam, aroma terapi,

terapi music klasik, meditasi dan pijat (Sulistyarini,2015) Pengobatan non

farmakologis dapat digunakan sebagai pelengkap untuk mendapatkan efek

pengobatan pada saat obat anti hipertensi diberikan (Dalimartha, 2008). Studi

Pendahuluan dilakukan pada tanggal 20 Desember 2017 di RW 7 Kalurahan Sewu

Surakarta . Jumlah lansia yang ada di RW 7 Kalurahan Sewu Surakarta sebanyak 40

lansia dengan jumlah penderita hipertensi sebanyak 23 lansia dengan tekanan darah

rata-rata diatas 140/90 mmHg. Melalui wawancara terhadap 10 orang lansia yang

menderita hipertensi mengatakan mengalami pusing.

Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit tidak menular yang

ditandai oleh kenaikan kadar gula darah (hyperglikemia) kronik yang dapat

menyerang banyak orang di semua lapisan masyarakat. Problema diabetes melitus


terus berkembang di masyarakat meskipun sudah banyak dicapai kemajuan di semua

bidang riset diabetes melitus maupun penatalaksanaannya (Hasnah, 2009).

Terdapat 2 tipe diabetes melitus yaitu diabetes tipe 1 atau diabetes juvenil

yaitu diabetes yang umumnya didapat sejak masa kanak-kanak dan diabetes tipe 2

yaitu diabetes yang didapat setelah dewasa. Diabetes tipe 1 biasa menyerang dari usia

dini karena gangguan pada pankreas yang tidak menghasilkan insulin. Berbeda

dengan diabetes melitus tipe 2 yang biasa menyerang usia di atas 40 tahun akibat

resistensi insulin yang terjadi karena pola hidup yang salah (Riskesdas, 2013).

Diabetes melitus tipe 2 terjadi oleh dua kelainan utama yaitu adanya defek sel

β pankreas sehingga pelepasan insulin berkurang dan adanya resistensi insulin. Para

ahli sepakat bahwa diabetes melitus tipe 2 dimulai dengan adanya resistensi insulin,

kemudian menyusul berkurangnya pelepasan insulin. Penderita obesitas ditemukan

juga adanya resistensi insulin. Ada dugaan bahwa penderita diabetes melitus tipe 2

dimulai dengan berat badan normal, kemudian menjadi obesitas dengan resistensi

insulin dan berakhir dengan diabetes melitus tipe 2. Pada umumnya penderita

diabetes melitus yang datang ke klinik sudah ditemukan resistensi insulin maupun

defek sel β pankreas (Adam, 2011).

1.2 Pernyataan Masalah

1.3 Tujuan

1.4 Manfaat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi

2.1.1 Definisi Hipertensi

Menurut Lanny Sustrani, dkk dalam Nurhaedar Jafar (2010), Hipertensi atau

penyakit darah tinggi sebenarnya adalah suatu gangguan pada pembuluh darah yang

mengakibatkan suplai oksigen dan nutrisi yang dibawa oleh darah terhambat sampai

ke jaringan tubuh yang membutuhkan. Hipertensi sering kali disebut sebagai

pembunuh gelap (Silent Killer), karena termasuk penyakit yang mematikan tanpa

disertai dengan gejala-gejalanya lebih dahulu sebagai peringatan bagi korbannya.


Hipertensi adalah peningkatan tekanan pada sistole, yang tingginya tergantung

umur individu yang terkena. Tekanan darah berfluktuasi dalam batas – batas tertentu,

tergantung pada posisi tubuh, umur dan tingkat stress. Hipertensi juga dapat

digolongkan sebagai ringan, sedang atau berat, berdasarkan diastole. Hipertensi

ringan apabila tekanan diastole 90 – 99 mmHg, hipertensi sedang apabila tekanan

diastole 100 – 109 mmHg, hipertensi berat apabila tekanan diastole > 110 mmHg.
Menurut WHO (1978) batas tekanan darah yang masih dianggap normal

adalah 140/90 mmHg dan tekanan darah sama dengan atau di atas 160/95 mmHg

dinyatakan sebagai hipertensi. Hipertensi adalah peningkatan tekana darah di atas

normal yaitu bila tekanan sistolik (atas) 140 mmHg atau lebih dan tekanan diastolic

(bawah) 90 mmHg atau lebih.


2.1.2 Klasifikasi Hipertensi

Hipertensi dapat didiagnosa sebagai penyakit yang berdiri sendiri, tetapi lebih

sering dijumpai terkait dengan penyakit lain, misalnya obesitas, dan diabetes melitus.

Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dapat dikelompokkan menjadi dua golongan,

yaitu:

a. Hipertensi esensial atau hipertensi primer

Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya. Sebanyak 90-95 persen kasus

hipertensi yang terjadi tidak diketahui dengan pasti apa penyebabnya. Para pakar

menunjuk stress sebagai tuduhan utama, setelah itu banyak faktor lain yang

mempengaruhi, dan para pakar juga menemukan hubungan antara riwayat keluarga

penderita hipertensi (genetik) dengan resiko untuk menderita penyakit ini. Onset

hipertensi essensial biasanya muncul pada usia antara 25-55 tahun, sedangkan usia di

bawah 20 tahun jarang ditemukan.

Patogenesis hipertensi essensial adalah multifaktorial. Faktor-faktor yang

terlibat dalam pathogenesis hipertensi essensial antara lain faktor genetik,

hiperaktivitas sistem saraf simpatis, sistem renin angiotensin, defek natriuresis,

natrium dan kalsium intraseluler, serta konsumsi alkohol secara berlebihan.

b. Hipertensi renal atau hipertensi sekunder

Yaitu hipertensi yang disebabkan oleh penyakit lain. Pada 5-10 persen kasus

sisanya , penyebab spesifiknya sudah diketahui, yaitu gangguan hormonal, penyakit

jantung, diabetes, ginjal, penyakit pembuluh darah atau berhubungan dengan

kehamilan. Garam dapur akan memperburuk hipertensi, tapi bukan faktor penyebab.
Hipertensi sekunder memiliki patogenesis yang spesifik. Hipertensi sekunder dapat

terjadi pada individu dengan usia sangat muda tanpa disertai riwayat hipertensi dalam

keluarga. Penyebab hipertensi sekunder antara lain penggunaan estrogen, penyakit

ginjal, hipertensi vaskuler ginjal, hiperaldosteronisme primer dan sindroma cushing,

feokromsitoma, koarktasio aorta, kehamilan, serta penggunaan obat-obatan.

2.2 Diabetes melitus


2.2.1 Definisi

Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang dikarakteristikkan

dengan hiperglikemia kronis serta kelainan metabolisme karbohidrat, lemak dan

protein diakibatkan oleh kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya.

Hiperglikemia kronis pada diabetes melitus akan disertai dengan kerusakan dan

gangguan fungsi beberapa organ tubuh khususnya mata, ginjal, saraf, jantung, dan

pembuluh darah. Walaupun pada diabetes melitus ditemukan gangguan metabolisme

pada semua sumber makanan yang dikonsumsi, kelainan metabolisme yang paling

utama ialah kelainan metabolisme karbohidrat. Oleh karena itu diagnosis diabetes

melitus selalu berdasarkan tingginya kadar glukosa dalam plasma darah (Adam,

2011).

2.2.2 Etiologi
Menurut Suyono (2007), penyebab diabetes melitus berbeda-beda tergantung

pada jenis diabetes melitusnya.

A. Diabetes melitus tipe 1

Penyebab paling sering dihubungkan dengan destruksi sel β pada pulau-pulau

langerhans pankreas yang mengakibatkan tidak adanya seksresi insulin pankreas.

Destruksi sel β ini dapat disebabkan oleh faktor genetik, imunologi, dan mungkin

pula lingkungan.

a. Faktor genetik

Individu yang mewarisi tipe antigen HLA (Human Leucocyte Antigen)

spesifik DR3 dan DR4 mempunyai kecenderungan untuk terjadinya diabetes melitus

tipe 1. Human Leucocyte Antigen merupakan gen yang bertanggung jawab atas

antigen transplantasi dan proses imun lainnya. Kecenderungan diabetes melitus tipe 1

ini diperlihatkan dari hasil penelitian bahwa resiko diabetes melitus tipe I meningkat

10 – 20 kali lipat pada individu yang mempunyai HLA, DR3 dan DR4.

b. Faktor imunologi

Pada diabetes melitus tipe 1 ditemukan adanya respon autoimun yang

merupakan respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh

dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah

sebagai jaringan asing. Proses autoantibodi terhadap sel-sel pulau langerhans dan

insulin endogen terdeteksi pada saat diagnosis dibuat atau beberapa tahun sebelum

timbul tanda-tanda klinis diabetes melitus.


c. Faktor lingkungan

Hasil penelitian menyatakan bahwa virus (virus mumps, rubella, coxsackie

virus) atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang menimbulkan

destruksi sel β pankreas.

B. Diabetes melitus tipe 2

Hiperglikemia pada diabetes melitus tipe ini disebabkan oleh gangguan

sekresi insulin, resistensi insulin perifer, dan peningkatan produksi glukosa hepar.

Penyebab resistensi insulin pada diabetes melitus tipe 2 masih belum diketahui,

tetapi faktor-faktor resiko berikut berperan dalam proses terjadinya resistensi insulin :

a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas 65 tahun).

b. Obesitas, terutama yang bersifat sentral.

c. Kurangnya aktivitas fisik.

d. Faktor herediter.

e. Faktor etnik (golongan Hispanik serta penduduk asli Amerika tertentu

memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk terjadinya diabetes melitus tipe II

dibandingkan dengan golongan Afro-Amerika) (Suyono, 2007).

2.2.3 Epidemiologi

World Health Organization (WHO) tahun 2010 menyatakan bahwa Indonesia

menempati urutan ke-4 di dunia sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes

melitus terbanyak setelah India, China, dan Amerika Serikat. Tercatat pada tahun

2010, jumlah penderita diabetes di Indonesia mencapai 8,4 juta dengan peningkatan

sebanyak 230.000 pasien diabetes per tahunnya, sehingga pada tahun 2030
diperkirakan akan mencapai 21,3 juta penderita. Kenaikan ini antara lain karena usia

harapan hidup semakin meningkat, diet kurang sehat, kegemukan, dan gaya hidup

modern (Adam, 2011).

Menurut hasil Riskesdas 2013, didapatkan prevalensi DM di Aceh menempati

urutan ke tujuh tertinggi di Indonesia dengan penderita sebanyak 2,6 % dari total

penduduk Indonesia. Peringkat pertama di tempati Sulawesi tengah 3,7 %, lalu kedua

Sulawesi utara 3,6 %, di ikuti Sulawesi selatan 3,4%, keempat adalah Nusa tenggara

timur 3,3%, peringkat lima di tempati DKI Jakarta 3,0 %, dan peringkat enam adalah

DI Yogyakarta 3,0% (Riskesdas, 2013).

2.2.4 Klasifikasi
Klasifikasi Diabetes Melitus menurut PERKENI (2008) dalam dilihat dalam

tabel dibawah ini :


Tabel 2.1 Klasifikasi Diabetes Melitus
Jenis Etiologi

Tipe 1 Destruksi sel β, umumnya menjurus ke defisiensi


insulin absolut
a. Autoimun
b. Idiopatik
Tipe 2 Bervariasi, mulai dari resistensi insulin yang disertai
defisiensi insulin relatif hingga defek sekresi insulin
yang dibarengi resistensi insulin.

Tipe lain a. Defek genetik fungsi sel β


b. Defek genetik kerja insulin
c. Penyakit eksokrin pankreas
d. Endokrinopati
e. Karena obat atau zat kimia
f. Infeksi
g. Sebab imunologi (jarang)
h. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan
DM
Diabetes Melitus gestasional Intoleransi glukosa yang timbul atau terdeteksi pada
kehamilan pertama dan gangguan toleransi glukosa
setelah terminasi kehamilan.
Sumber : PERKENI (2008)

2.1.6 Gejala dan Tanda-Tanda Diabetes Melitus


Gejala dan tanda-tanda DM menurut Zahtamal et al., (2007) dapat

digolongkan menjadi gejala akut dan gejala kronik.

A. Gejala Akut Diabetes melitus

Gejala penyakit DM dari satu penderita ke penderita lain bervariasi bahkan,

mungkin tidak menunjukkan gejala apapun sampai saat tertentu. Pada permulaan

gejala yang ditunjukkan meliputi serba banyak (poli), yaitu:


a. Banyak makan (poliphagia).
b. Banyak minum (polidipsia).
c. Banyak kencing (poliuria).
Bila keadaan tersebut tidak segera diobati, akan timbul gejala seperti banyak

minum, banyak kencing, nafsu makan mulai berkurang atau berat badan turun dengan

cepat (turun 5-10 kg dalam waktu 2-4 minggu). Selain itu juga muncul rasa mudah

lelah dan bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual, bahkan penderita akan jatuh

koma yang disebut dengan koma diabetik.

B. Gejala Kronik Diabetes melitus

Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita diabetes melitus antara lain

kesemutan, kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa tebal di kulit,

kram, capai, mudah mengantuk, mata kabur dan biasanya sering ganti kacamata.

Selain itu, muncul gatal di sekitar kemaluan terutama wanita, gigi mudah goyah dan

mudah lepas. Gejala lainnya bisa muncul kemampuan seksual menurun bahkan
impotensi dan para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam

kandungan, atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg.

2.3 Program Prolanis

2.3.1 Definisi

2.3.2 Kegiatan

2.3.3 Tujuan

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Mini Project

3.2 Lokasi dan Waktu Mini Project

3.3 Populasi Mini Project


3.4 Subjek Mini Project

BAB IV

HASIL

4.1 Profil komunitas

4.2 Data Geografis

4.3 Data Demografik

4.4 Sarana Kesehatan Yang Ada

4.5 Data Kunjungan Peserta Prolanis 2018

BAB V

DISKUSI

DAFTAR PUSTAKA

Beckett N dkk. 2012, Immediate and late benefits of treating very elderly people with
hypertension: results from active treatment extention to hypertension in the
very elderly Randomized Control Trial, BMJ 2012:344.
Canadian Hypertension Education Program 2014,’The Canadian Recommendation
for The Management of Hypertension’.
Katzung, Bertam G 2002,’Farmakologi Dasar dan Klinik Buku 2 Edisi 8’, Jakarta, Salemba
Medika Glance.

Neal, M. J. 2006,’At a Glance Farmakologi Medis Edisi 5, Jakarta, Erlangga.

PERKI 2015,’Pedoman tatalaksana hipertensi pada penyakit kardiovaskular’, Edisi pertama,


Jakarta, Indonesia.

Riskesdas 2013,’Riset kesehtan dasar Indonesia’, Kementerian Kesehatan Republik


Indonesia.
Rosendorff C, Balck HR, Cannon CP, Cannon BJ, Gersh BJ, Gore J et al.
2007,’Treatment of Hypertension in the Prevention and Management of
Ischemic Heart Disease : A Scientific Statement from the American Heart
Association Council for High Blood Pressure Research and the Council on
Clinical Cardiology and Epidemiology and Prevention. Circulation no. 115,
hal.2761-2788.
The Task Force for the management of arterial hypertension of the European Society
of Hypertension (ESH) and of the European Society of Cardiology (ESC)
2013 ESH/ESC Guidelines for the management of arterial hypertension. Jour
of Hypertension, 31:1281-1357
Weber MA, Schiffrin EL, White WB, Mann S, Lindholm LH, Kenerson JG, et al.
2013,’Clinical Practice Guidelines for the Maganement of Hypertension in
the Community. A Statement by the American Society of Hypertension and the
International Society of Hypertension. ASH paper’, The Journal of Clinical
Hypertension.

Anda mungkin juga menyukai