Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS

CORONA VIRUS DISEASE 19 (COVID-19) DENGAN


OBESITAS, HIPERGLIKEMIA AKUT, DAN ACUTE
RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (ARDS)

Oleh
dr. Aditya Putra Pamungkas
dr. Oktaviana Grace Sutra
dr. Teresa Tiffani Thomas

Pembimbing
dr. Andi Khomeini Takdir, Sp.PD-KPsi

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT DARURAT COVID-19
WISMA ATLET KEMAYORAN
JAKARTA PUSAT
PERIODE MEI – AGUSTUS 2021

i
DAFTAR ISI
Halaman Sampul Depan ……………………………………………... i
Daftar Isi …..………………………………………………………..... ii
BAB 1. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang……………………………………………… 1
BAB 2. LAPORAN KASUS 4

2.1 Anamnesis………………………………………………… 4
2.2 Pemeriksaan Fisik.………………………………………... 6
2.3 Pemeriksaan Penunjang..…………………………………. 9
BAB 3. TINJAUAN PUSTAKA 15

3.1 COVID-19………………………………………………….. 15
3.1.1 Definisi…………………………………………………… 15
3.1.2 Epidemiologi……………………………………………... 15
3.1.3 Patofisiologi………………………………………………. 16
3.1.4 Pemeriksaan Klinis……….………………………………. 18
3.1.5 Pemeriksaan Darah…….…………………………………. 19
3.1.6 Pemeriksaan Radiologi…………………………………… 20
3.1.7 Kriteria Diagnosis.…….…………………………………. 21
3.1.8 Tatalaksana………….…………………………………… 23
3.2 Obesitas dan Hubungannya dengan COVID-19…………… 27
3.3 Hiperglikemia Akut dan Hubungannya dengan COVID-19.. 30
3.4 Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS).................... 32
BAB 4. PEMBAHASAN 34

Daftar Pustaka 36

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Coronavirus disease 2019 atau yang kita kenal sebagai COVID-19


adalah infeksi virus SARS-CoV-2 yang pertama kali ditemukan di Wuhan,
Provinsi Hubei, Cina pada Desember 2019. Infeksi virus ini bersifat sangat
menular dan menyebar cepat hingga dinyatakan WHO sebagai situasi
pandemi pada bulan Maret 2020 yang hingga saat ini masih diperangi oleh
lebih dari 180 negara di seluruh belahan dunia. Menurut data epidemiologi
mingguan yang diunggah di website WHO, sampai dengan tanggal 6 Juli
2021, terdapat lebih dari 183 juta kasus infeksi COVID-19 dan lebih dari 4
juta kematian yang dilaporkan di seluruh dunia. Di Indonesia, total
keseluruhan kasus sampai saat ini mencapai 2,4 juta dengan lebih dari
1
64.000 kematian.
Infeksi SARS-CoV-2 dikonfirmasi melalui deteksi RNA virus pada
sekret nasofaring melalui tes swab PCR. Infeksi ini ditandai dengan adanya
sindroma respirasi akut yang dapat bermanifestasi sebagai gejala ringan,
sedang, hingga berat. Secara klinis gejala utama yang sering muncul yaitu
demam, batuk dan sesak. Beberapa gejala khas yang sering ditemukan pada
pasien COVID-19 antara lain hilangnya kemampuan indera pembau
(anosmia) dan pengecapan (ageusia). Gejala lain yang juga sering ditemukan
berupa fatigue, mialgia, dan gejala gastrointestinal seperti diare dan
dispepsia. Gejala yang sangat variatif pada pasien -pasien tersebut
disebabkan mekanisme patogenesis SARS-CoV-2 yang berikatan dengan
reseptor angiotensin converter enzyme-2 (ACE-2), sehinggal sel target
infeksi SARS-CoV-2 dapat ditemukan pada hampir semua organ tubuh
manusia, antara lain, paru, jantung, otak, liver, ginjal, saluran cerna, bahkan
2
endotel pembuluh darah.
Seiring dengan bertambahnya kasus, semakin banyak pula yang dapat
kita pelajari mengenai patofisiologi virus baru ini. Salah satu temuan yang

1
sangat penting adalah faktor-faktor pada host yang dapat memperberat
infeksi dan perjalanan penyakit pada pasien-pasien tertentu. Pasien dengan
penyakit penyerta dan faktor komorbid sering kali mengalami perburukan
yang cepat dan berujung pada kondisi acute respiratory distress syndrome
3
(ARDS) dan bahkan kematian.

ARDS menyebabkan kerusakan difus pada alveoli paru. Pada fase


akut, terjadi pembentukan membran hyalin yang diikuti oleh fase organisasi
yang meliputi pelebaran ruang interstisial, edema, dan proliferasi fibroblast.
Diagnosis ARDS pada pasien COVID-19 ditegakkan ketika kasus
konfirmasi COVID-19 memenuhi kriteria ARDS Berlin 2012, antara lain (i)
gagal nafas dengan hipoksemia akut; (ii) perburukan gejala respiratorik akut
dalam jangka waktu satu minggu; (iii) opasitas bilateral pada foto toraks;
4
(iv) hipoksemia yang bukan disebabkan oleh kondisi gagal jantung. ARDS
terjadi 42% pasien dengan pneumonia COVID-19 dan 61-81% dari jumlah
5
tersebut memerlukan penanganan di unit perawatan intensif.
Hipertensi dan diabetes mellitus sebagai penyakit penyerta pada pasien
COVID-19 dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk. Pasien dengan
diabetes memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi sehingga
lebih sering membutuhkan perawatan di rumah sakit dan intensive care unit
(ICU). Gejala yang lebih berat juga sering ditemukan pada populasi geriatri.
Hal ini dikaitkan dengan adanya penurunan fungsi anatomis maupun fisiologis
paru yang dapat mempengaruhi mekanisme pertahanan saluran
6
nafas. Faktor komorbid lain yang sering dihubungkan dengan tingkat
morbiditas yang tinggi pada COVID-19 adalah obesitas.
Obesitas sendiri adalah sebuah kondisi akumulasi lemak abnormal
yang sudah menjadi sebuah epidemi global dan menyebabkan 2,8 juta
7
kematian di seluruh dunia pada tahun 2019. Menurut WHO, obesitas dibagi
menjadi beberapa kelompok berdasarkan indeks massa tubuh seseorang, yaitu
overweight dengan IMT ≥25, obesitas kelas I dengan IMT ≥30, obesitas kelas II
dengan IMT ≥35, dan obesitas kelas III dengan IMT ≥40. Karena
adanya perbedaan proporsi tubuh manusia dari berbagai ras, WHO Asia -

2
Pacific BMI menetapkan nilai cut-off obesitas yang sedikit berbeda, antara
lain overweight dengan IMT ≥23, obesitas IMT ≥25. Prevalensi obesitas
meningkat tiga kali lipat sejak tahun 1975 dan dihubungkan dengan faktor
komorbid pada COVID-19 lainnya yaitu, diabetes mellitus, hipertensi,
7
penyakit jantung, dan kanker.
Penelitian epidemiologi terbaru menunjukkan adanya hubungan
antara obesitas dengan peningkatan angka kejadian masuk rumah sakit dan
kebutuhan ventilasi mekanik, dan selanjutnya dihubungkan dengan
8
peningkatan mortalitas pada pasien-pasien tersebut. Walaupun
mekanismenya belum jelas, ada beberapa teori yang mendukung hipotesis
ini baik dari sisi anatomi maupun imunologi.

Secara mekanik, obesitas dapat mengurangi kemampuan


pengembangan diafragma sehingga meningkatkan anatomical dead space
dan tingkat kesulitan ventilasi. Obesitas juga erat kaitannya d engan proses
inflamasi tingkat rendah yang berjalan kronis yang mengakibatkan
rendahnya respon imun terhadap infeksi. Selain itu, proses inflamasi kronis
ini menyebabkan tingginya kadar sitokin proinflamatori seperti interleukin-6
(IL-6) yang menjadi salah satu prediktor tingkat mortalitas pada pasien
9
COVID-19, bahkan sebelum pasien terinfeksi.
Berbagai penelitian terus dilakukan guna mencari faktor komorbid
yang dapat memperburuk prognosis pasien dengan pneumonia COVID -19.
Obesitas merupakan salah satu faktor komorbid yang dapat dimiliki oleh
pasien dari segala kelompok usia, ras, dan jenis kelamin. Oleh karena itu,
penulis memutuskan untuk membahas hubungan antara obesitas dengan
tingkat morbiditas pada infeksi COVID-19.

3
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 ANAMNESIS
A. Identitas Penderita
Nama : Ny. Silva Yanti
Umur : 55 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jl. Gelong Baru, Tomang
No RM : 69009
Suku : Jawa
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : SMA
Status : Menikah
Tanggal Masuk : 18 Juni 2021
Tanggal Periksa : 5 Juli 2021

B. Data Dasar
Auto dan alloanamnesis dilakukan tanggal 18 Februari 2021
pukul 18:00 di IMCU

Keluhan Utama:
Sesak.

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien datang ke RS Wisma Atlet secara mandiri pada tanggal 18
Juni 2021, membawa berkas hasil swab PCR dengan hasil positif
tertanggal 16 Juni 2021. Awalnya pasien memiliki riwayat kontak erat
dengan salah satu anggota keluarga yang positif, lalu merasakan gejala
berupa demam dan batuk kering sejak lima hari sebelum masuk rumah

4
sakit. Setelah dua hari keluhan dirasa tidak kunjung membaik, pasien
memutuskan untuk melakukan swab PCR mandiri.
Saat datang, pasien mengeluh sesak, batuk, dan lemas yang
dirasa semakin memberat sejak dua hari sebelum masuk rumah sakit.
Saat datang ke triase tower 5 dan diperiksa tanda-tanda vital, pasien
kemudian diarahkan untuk dirawat di poli observasi Tower 5 dan
dipasangkan bantuan oksigen dengan simple mask. Setelah diobservasi
selama satu hari pasien merasa sesak semakin memberat dan nafas
semakin cepat, kemudian alat bantu oksigen diganti menjadi non-
rebreathing mask. Keluhan batuk mulai membaik dan pasien merasa
pernafasan lebih nyaman dengan bantuan non-rebreathing mask dan
posisi prone. Pasien kemudian dikonsulkan kepada dokter spesialis
paru pada tanggal 19 Juni 2021 dan diarahkan untuk mendapat
perawatan di HCU Tower 6.
Pada 20 Juni 2021, pasien mulai dirawat di HCU Tower 6
dengan device oksigen high flow nasal canule (HFNC). Pasien dirawat
di HCU selama 11 hari, lalu melanjutkan perawatan di ruangan
dengan bantuan nasal canule selama 1 hari sebelum akhirnya dilepas
dan pernafasan dinilai baik dengan oksigen udara bebas.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Pasien menyangkal adanya riwayat penyakit penyerta atau terdahulu.
Namun pasien mengakui memang tidak pernah kontrol ataupun
konsultasi kesehatan ke fasilitas kesehatan sama sekali karena tidak
merasa ada keluhan. Keluhan mudah lapar, mudah haus, dan sering
kencing disangkal. Pasien tidak pernah skrining gula darah sebelumnya.
Riwayat tekanan darah tinggi sebelumnya tidak diketahui.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Riwayat penyakit pada keluarga disangkal.

5
Riwayat Kebiasaan:
Riwayat Merokok : Tidak ada
Riwayat Alkohol : Tidak ada
Riwayat Olahraga : Tidak rutin
Riwayat Meminum Obat : Tidak ada

Riwayat Gizi
Pasien makan 3 kali sehari dengan nasi, lauk pauk, dan sayur dengan
porsi cukup.

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien seorang ibu rumah tangga dan memiliki BPJS.

2.2 PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 24 Juni 2021 dengan hasil sebagai berikut:
A. Keadaan umum

B. Tanda vital
a. Tensi : 155/92 mmHg
b. Nadi : 92x/menit, rreguler
c. Frekuensi nafas : 22 kali/menit
d. Suhu 0
: 36.7 C
e. Saturasi oksigen : 98 % on HFNC FiO2 70% Flow 55 Lpm
C. Status gizi
• Berat Badan : 70 kg
• Tinggi Badan: 155 cm
• IMT : 31,25 kg/m2
• Kesan : Obesitas gr 1

D. Kulit : sianotik (-), ikterik (-)


E. Kepala : Bentuk mesocephal

6
F. Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-
/-), pupil isokor dengan diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+)
G. Telinga : Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan
tragus (-)
H. Hidung : susah dievaluasi karena terpasang HFNC.
I. Mulut : Mukosa ikterik (-), sianosis (-), gusi berdarah (-), papil
lidah atrofi (-), gusi berdarah (-), luka pada sudut bibir (-) oral thrush (-)
J. Leher : Trakea ditengah, simetris, pembesaran kelenjar tiroid (-),
pembesaran kelenjar getah bening leher (-), leher kaku (-)
K. Thorax : Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan

= kiri, retraksi intercostal (-), pernafasan abdominothorakal, sela iga


melebar (-), pembesaran kelenjar getah bening axilla (-/-).
L. Jantung
• Inspeksi : Tidak terlihat pulsasi ictus cordis
• Palpasi : Pulsasi ictus cordis kuat angkat
• Perkusi : Tidak dilakukan. Seharusnya dilakukan
pemeriksaan batas jantung.

• Auskultasi : Tidakdilakukan. Seharusnya dilakukan pemeriksaan


bunyi jantung I-II dan intensitas, bising, gallop
serta murmur. Keadaan pemeriksa tidak
memungkinkan untuk menggunakan stetoskop.

M. Pulmo
a. Depan
• Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak
melebar, iga tidak mendatar
- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan =
kiri, sela iga dbn, retraksi intercostal (-)
• Palpasi
-Statis: Simetris

7
- Dinamis : Pergerakan dinding dada kanan = kiri,
fremitus raba kanan = kiri, nyeri tekan
(-)
• Perkusi
- Kanan : Tidak dilakukan. Seharusnya dilakukan
pemeriksaan perkusi lapang paru
- Kiri : Tidak dilakukan. Seharusnya dilakukan
pemeriksaan perkusi lapang paru
• Auskultasi
- Kanan : Tidak dilakukan. Seharusnya dilakukan
pemeriksaan suara dasar vesikuler dan
suara tambahan seperti wheezing (-),
RBK (-), RBH (-), krepitasi (-)
- Kiri : Tidak dilakukan. Seharusnya dilakukan
pemeriksaan suara dasar vesikuler dan
suara tambahan seperti wheezing (-),
RBK (-), RBH (-), krepitasi (-)
b. Belakang
• Inspeksi
- Statis : tidak dilakukan
- Dinamis : tidak dilakukan
• Palpasi
- Statis : tidak dilakukan
- Dinamis : tidak dilakukan
• Perkusi
Tidak dilakukan. Seharusnya dilakukan pemeriksaan
perkusi lapang paru dan peranjakan diafragma
• Auskultasi
Tidak dilakukan. Seharusnya dilakukan auskultasi
suara dasar vesikuler dan suara tambahan berupa
wheezing atau ronkhi di kedua lapang paru

8
N. Abdomen
• Inspeksi : Dinding perut = dinding thorak, venektasi (-),
sikatriks (-), striae (-), caput medusae (-), ikterik (-)
• Auskultasi : Tidak dilakukan. Seharusnya dilakukan
pemeriksaan untuk menilai bising usus, bruit hepar,
dan bising epigastrium
• Perkusi : Timpani, dbn
• Palpasi : Distended (-), hepar dan lien tdk teraba, nyeri tekan
(-)

O. Ekstremitas
• Superior Ka/ Ki : Eritema Palmaris (-/-), Oedem (-/-), sianosis
(-/-), pucat (-/-), akral dingin (-/-), ikterik (-/-), luka (-/-), kuku
pucat (-/-), spoon nail (-/-), clubbing finger (-/-), flat nail (-/-),
nyeri tekan dan nyeri gerak (-/-), deformitas (-/-)
• Inferior Ka/ Ki : Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral
dingin (-/-), ikterik (-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-), spoon nail
(-/-), clubbing finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri tekan dan nyeri
gerak (-/-), deformitas (-/-)

2.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Pemeriksaan serologis COVID-19
Swab Naso/Orofaring PCR:
POSITIF (16/6/2021):
CT value RdRP: 24,64
CT value E gene 23,93

9
B. Penunjang lain
Elektrokardiografi
Pemeriksaan EKG dilakukan pada tanggal 18 Juni 2021 di RS
Darurat Covid 19 Wisma Atlet Jakarta

Gambar 2.1 EKG tanggal 18 Juni 2021

Bacaan: EKG Ny. Silva Yanti 55 tahun, irama sinus, laju nadi
89x/menit dan reguler, LVH (-), STE (-), normal P wave, PR interval
0.15 detik, QRS complex 0.12 detik. Kesimpulan: dalam batas
normal

Foto Thorax
Pemeriksaan foto thorax PA dilakukan pada 20 Juni 2021 di IGD
dan pada tanggal 24, 27 Juni dengan Foto AP di HCU RS Darurat Covid
19 Wisma Atlet Jakarta.

Gambar 2.2. Foto CXR PA tanggal 20 Juni 2021


Bacaan:
Cor, tampak membesar.

10
Sinus kanan tumpul, diafragma kanan elevasi, sinus kiri dan
diafragma kiri normal.
Pulmo :
- Hili normal
- Corakan bronkovaskuler normal
- Tampak bercak lunak di kedua lapang paru
Kesimpulan:
- Pneumonia Bilateral
- Cardiomegali

Gambar 2.3. Foto CXR AP tanggal 24 Juni 2021


Bacaan:
Cor, tampak membesar.
Sinus kanan tumpul, diafragma kanan elevasi, sinus kiri dan
diafragma kiri normal.
Pulmo :
- Hili normal
- Corakan bronkovaskuler normal
- Tampak bercak lunak di kedua lapang paru
Kesimpulan:
- Pneumonia Bilateral
- Cardiomegali

11
Laboratorium darah
Pemeriksaan laboratorium darah dilakukan di RS Darurat Covid 19
Wisma Atlet tanggal 21/6/2021.
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hemoglobin 13,4 g/dL 13.2-17.3
Hematokrit 36,9 % 40-46
Leukosit 18,15 ribu/µl
Trombosit 382 ribu/µl 150-450
Eritrosit 4,74 juta/µl 3.8-5.9
MCV 77,8 /um 87.1-102.4
MCH 28,3 Pg 27.5-32.4
MCHC 36,3 g/dl 30.7-33.2
Eosinofil 0.00 % 1-3
Basofil 0.00 % 0-1
Neutrofil 89 % 40-70
Limfosit 5 % 30-45
Monosit 6 % 2-10
SGOT 27 u/l 0-35
SGPT 30 u/l 0-45
Creatinine 0,9 mg/dl 0.6-1.3
Ureum 56 mg/dl 15-45
GDS 240 mg/dl 60-200
aPTT 134,8 detik 23,6-34,8

Hasil Satuan Rujukan


Pemeriksaan
19/6 (NRM 20/6 (HFNC
10lpm) 70%, flow 55)

pH arteri 7.4 7.4 7.35-7.45


O2 arteri 94,5 98,4 % 95-98
CO2 arteri 23,9 21,7 mmHg 35-45
HCO3 18.3 17.1 Mmol/L 21-28

12
PaO2 65,5 98,2 mmHg 83-108
BE -3.3 -4,4 Mmol/L (-2)-3

3 Resume
Pasien perempuan 55 tahun terkonfirmasi COVID 19 simptomatik
berat dengan ARDS Moderate, serta komorbid obesitas grade 1,
hipertensi, dan diabetes melitus tipe 2.

4 Daftar Masalah
Vital Sign : SpO2 88% RA, 98% on HFNC FiO2 65% flow 45
Lab darah rutin : Peningkatan sel darah putih, pemanjangan APTT,
Hiperglikemia.
Rontgen Thorak : Pneumonia bilateral dan kardiomegali
Hasil Swab PCR : Positif Covid-19

5 Diagnosis
a. Confirmed Covid-19 Simptomatik berat
b. Obesitas grade 1
c. Moderate ARDS
d. Hipertensi
e. Diabetes Melitus tipe 2
6 Diagnosis Banding
a. Sepsis
7 Tatalaksana
O2 on HFNC FiO2 70% flow 55 lpm
IVFD NaCl 0,9% 500cc/24 jam
Antiviral :
- Remdesivir 1x100mg (H6/7)
Antibiotik:
- Levofloxacin 1x750mg (H6/7)
- Meropenem 3x 1g (H5)

13
Anti inflamasi:
- Dexamethasone 2x5mg (H1/3)
- Colchisine 2x0,5mg (H5)
- Spironolakton 2x100mg (H5)
Anti koagulan:
- Heparin drip 5000u/12 jam
Immunomodulator:
- Acetylsistein 1x5gr dalam NaCl 0,9% 100cc habis dalam 4 jam
(H5)
Anti hipertensi:
- Amlodipin 1x5mg
Antidiabetik:
- Sliding scale novorapid skala 4 unit tiap 8 jam
Lain-lain:
- Inj OMZ 2x40 mg
- PO Curcuma 3x1
- PO PCT 3x 500 mg k/p
- PO Vit D3 1x5000 iu
- PO Vit B complex 2x1
- PO Vit C 2x500mg
- PO Zinc 1x20mg
R/
Prone position min 12 jam/ hari
Cek aPTT jam ke 10 post heparin 12 jam
Swab tgl 29/6/21
CXR tgl 27/6/21

8 Prognosis
Prognosis pasien dalam perjalanan penyakit covid-19 dubia ad bonam.

14
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 COVID-19
3.1.1 Definisi
SARS-Cov-2 merupakan jenis virus baru yang menyebabkan pandemi saat
ini. Coronavirus disease atau COVID-19 merupakan suatu virus RNA strain
positif-single stranded yang berkapsul, dan memiliki bentuk partikel bulat atau
elips, maupun pleimorfik dengan diameter sekitar 50 -200m. Coronavirus berasal
dari ordo Nidovirales, keluarga Coronaviridae. Coronaviridae dibagi dua
subkeluarga dibedakan berdasarkan serotipe dan karakteristik genom. Terdapat
empat genus yaitu alfa, beta, delta, dan gamma coronavirus, (PDPI, 2020).
Struktur coronavirus membentuk struktur seperti kubus dengan spike
protein berlokasi di permukaan virus. Spike protein merupakan salah satu protein
antigen utama virus dan merupakan struktur utama untuk penulisan gen. Spike
protein ini berperan dalam penempelan dan masuknya virus kedalam sel host
(interaksi dengan reseptornya di sel inang), (Wang et al 2020; PDPI, 2020).

3.1.2 Epidemiologi
Pada tanggal 31 Desember 2019, terdapat suatu kasus pneumonia misterius yang
menyerang Cina. Dalam waktu 3 hari terdapat 44 orang tertular dan kini sudah
mencapai angka ribuan hingga jutaan, (WHO, 2020). Menurut data epidemiologi
menunjukkan bahwa 66% pasien terpajan dengan satu pasar seafood atau live market
di Wuhan, Provinsi Hubei Cina, (Huang et al, 2020). Sampel isolat dari pasien
tersebut diteliti dengan hasil menunjukkan adanya infeksi coronavirus, jenis beta
coronavirus tipe baru, dan diberi nama 2019-novel Coronavirus (2019-nCoV) lalu
WHO mengubah penamaan internasional dengan nama Coronavirus Disease
(COVID-19), (WHO, 2021). Sampai dengan 26 Februari 2021, jumlah pasien
terkonfirmasi di seluruh dunia sebanyak 113.321.880 orang, dengan kematian sebesar
2.558.227 kasus. Sedangkan di Indonesia jumlah pasien yang terkonfirmasi sebanyak
1.310.000 kasus, pasien sembuh sebanyak 1.110,000 kasus, dan pasien meninggal
sebanyak 35.254. Kasus yang berada di DKI Jakarta sendiri meningkat drastis selama
musim liburan dan tahun baru, hingga kini menempati peringkat 1

15
kasus tertinggi di Indonesia dengan total 334.239 kasus, 319.198 sembuh, serta
5.348 meninggal, (Gugus Tugas Percepatan Penangaan Covid -19, 2021) .

3.1.3 Patofisiologi
Wan et al (2020) melaporkan bahwa residu 394 (glutamin) pada receptor-
binding domain (RBD), sesuai dengan residu 479 dalam SARS-CoV, dapat
dikenali oleh critical lysin 31 pada reseptor ACE-2 manusia. Analisis lebih lanjut
menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 lebih efisien mengenali reseptor ACE-2 pada
manusia. Spike protein SARS-CoV-2 diprediksi juga memiliki afinitas yang kuat
terhadap ACE-2 manusia.
Spike glycoprotein adalah bagian yang paling imunogenik dari coronavirus,
yang dapat berikatan dengan reseptor ACE-2 untuk memasuki sel inang.
Kesamaan ditunjukkan antara Spike glycoprotein dari SARS-CoV dan SARS-
CoV-2. Distribusi ekspresi reseptor ACE-2 secara intens pada permukaan sel tipe
II alveolar epitel II, sel jantung, ginjal, usus, dan endotel konsisten dengan organ
target yang terlibat dan gambaran klinis pada infeksi COVID-19, (Wan et al,
2020; Yuki et al, 2020).
Akibat adanya ikatan dengan reseptor, maka terjadi reaksi inflamasi secara
lokal berupa ekspresi sitokin (IL-1β, IL-6 dan TNFα) (Soy et al, 2020, Zhang et
al, 2020). Pada pasien COVID-19 dengan gejala berat, akan timbul respons imun
yang berlebihan yang biasanya disebut cytokine storm atau badai sitokin.
Sehingga hal tersebut menyebabkan inflamasi sistemik yang mempercepat
timbulnya sepsis, (Soy et al, 2020).
SARS-CoV-2 menyebar terutama dengan kontak langsung melalui droplet yang
keluar dari saluran pernapasan, ketika orang yang terinfeksi batuk atau bersin. Setelah
mengikat reseptor permukaan sel ACE-2 oleh spike glycoprotein, ia memasuki
sitoplasma sel, di mana ia melepaskan genom RNA dan bereplikasi, menghasilkan
pembentukan partikel virus baru. Kemudian, sel hancur dan virus menyebar. Tubuh
akan memproteksi dirinya melalui sistem imun dengan melepaskan berbagai macam
mediator inflamasi yang dapat menimbulkan beberapa gejala seperti demam, dan
gejala lainnya. Demam, batuk dan sulit bernafas

16
merupakan gejala paling umum dari COVID-19, (Docea et al, 2020; Soy et al,
2020).

Gambar 3.1. COVID-19 berikatan dengan reseptor ACE-2, (Docea et al, 2020)
Pada penelitian yang dilakukan Zhang et al, (2020). melaporkan bahwa jumlah
limfosit T termasuk subtipe CD4 dan CD8, terutama sel NK jauh lebih rendah dari
perkiraan pada pasien dengan perjalanan penyakit yang parah. Jumlah sel T
regulator juga sangat rendah. Limfopenia berat adalah tanda penyakit yang sangat
dini, yang mendahului masalah paru, dan cenderung menjadi normal ketika pasien
membaik. Limfopenia termasuk di antara kriteria diagnostik di Cina. Meskipun
jumlahnya rendah, limfosit positif CD4 dan CD8 mengekspresikan tingginya
HLADR4 dan CD38, menunjukkan hiperaktif. Selain itu, sel T CD8 mengandung
butiran sitotoksik konsentrasi tinggi; Yaitu, 31,6% positif perforin, 64,2% positif
granulysin, dan 30,5% positif granulysin dan positif perforin. Jumlah leukosit dan
neutrofil dan rasio neutrofil / limfosit (NLR) meningkat terutama pada kasus yang
parah; NLR dapat digunakan sebagai parameter tindak lanjut pada pasien dengan
infeksi COVID-19. Secara umum, jumlah limfosit T CD8 pulih dalam 2-3 bulan,
sedangkan mungkin diperlukan hampir satu tahun untuk memori
limfosit T CD4 untuk pulih pada infeksi SARS CoV-2.
Selain jumlah limfosit perifer yang rendah, terdapat atrofi yang mencolok
pada organ limfoid sekunder termasuk kelenjar getah bening dan limpa, hal ini
dikonfirmasi oleh temuan otopsi. limfonode yang berhubungan dengan kelenjar
getah bening dan atrofi limpa, degenerasi sel limpa yang signifikan, nekrosis

17
hemoragik fokal, proliferasi makrofag, dan peningkatan apoptosis makrofag pada
limpa telah dilaporkan. Pewarnaan imunohistokimia menunjukkan penurunan
jumlah sel T positif CD4 dan CD8 di kelenjar getah bening serta limpa. Di sisi
lain, monosit dan makrofag meningkat, sehingga dapat menjelaskan mengapa
terjadi peningkatan kadar sitokin proinflamasi seperti interleukin (IL) -6, IL-1,
tumor necrosis factor (TNF) α, dan IL-8, yang dalam beberapa pasien berubah
menjadi badai sitokin, (Soy et al, 2020, Zhang et al, 2020).

3.1.4 Pemeriksaan Klinis


Manifestasi klinis dengan spektrum yang luas dimiliki pasien COVID-19,
mulai dari tanpa gejala (asimtomatik), gejala ringan, sedang, berat, ARDS, sepsis,
hingga syok sepsis. Sekitar 80% kasus tergolong ringan atau sedang, 13,8%
mengalami sakit berat, dan sebanyak 6,1% pasien jatuh ke dalam keadaan kritis.
Kondisi viremia dan viral load yang tinggi dari swab nasofaring pada pasien yang
asimptomatik telah dilaporkan, (Kam et al, 2020).
Pasien dengan gejala ringan didefinisikan sebagai pasien dengan infeksi
akut saluran napas atas tanpa komplikasi, bisa disertai dengan demam, fatigue,
batuk (dengan atau tanpa sputum), anoreksia, malaise, nyeri tenggorokan,
kongesti nasal, atau sakit kepala. Pada kondisi ini pasien tidak membutuhkan
suplementasi oksigen. Pada beberapa kasus pasien juga dapat mengeluhkan diare
dan muntah. Pasien COVID-19 dengan pneumonia berat ditandai dengan demam,
ditambah salah satu dari gejala: (1) frekuensi pernapasan >30x/menit (2) distres
pernapasan berat, atau (3) saturasi oksigen 93% tanpa bantuan oksigen. Pada
pasien geriatri dapat muncul gejala-gejala yang atipikal, (Kam et al, 2020).
Pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 sebagian besar menunjukkan gejala-
gejala pada sistem pernapasan seperti demam, batuk, bersin, dan sesak napas.
Gejala tersering adalah demam, batuk kering, dan fatigue hal ini berdasarkan data
55.924 kasus. Gejala lain yang dapat ditemukan adalah batuk produktif, sesak
napas, sakit tenggorokan, nyeri kepala, mialgia/artralgia, menggigil, mual/muntah,
kongesti nasal, diare, nyeri abdomen, hemoptisis, dan kongesti konjungtiva. Lebih
dari 40% demam pada pasien COVID-19 memiliki suhu puncak antara 38,1-39°C,
sementara 34% mengalami demam suhu lebih dari 39°C. Perjalanan penyakit

18
dimulai dengan awali dari masa inkubasi yang lamanya sekitar 3 -14 hari (median
5 hari). Pada masa ini pasien tidak bergejala dengan leukosit dan limfosit masih
normal atau sedikit menurun. Pada fase berikutnya dengan munculnya gejala
awal, virus menyebar melalui aliran darah, diduga terutama pada jaringan yang
mengekspresi ACE2 seperti paru-paru, saluran cerna dan jantung. Umumnya fase
ini hanya menimbulkan gejala ringan. Serangan kedua mulai terjadi empat hingga
tujuh hari setelah timbul gejala awal. Pada kondisi ini pasien masih demam dan
mulai sesak, lesi di paru memburuk, limfosit menurun. Jika tidak teratasi, pasien
akan memasuki fase lanjut dengan inflamasi semakin tidak terkontrol yang
beresiko terjadi badai sitokin yang mengakibatkan ARDS, sepsis, dan komplikasi
lain, (Setiati dan Azwar, 2020).

Gambar 3.2 Perjalanan penyakit pada COVID-19, (Setiati dan Azwar, 2020).

3.1.5 Pemeriksan Darah

Selama masa inkubasi, biasanya berkisar antara 1 sampai 14 hari, dan selama
fase awal penyakit, ketika gejala nonspesifik hadir, jumlah leukosit dan limfosit darah
tepi normal atau sedikit berkurang. Setelah viremia, SARS‐CoV-2 terutama
memengaruhi jaringan yang mengekspresikan ACE2 tingkat tinggi termasuk paru-
paru, jantung, dan saluran gastrointestinal. Kira-kira 7 sampai 14 hari sejak timbulnya
gejala awal, terdapat lonjakan manifestasi klinis penyakit ini. Hal ini disertai dengan
peningkatan sistemik mediator inflamasi dan sitokin, yang bahkan dapat dicirikan
sebagai "badai sitokin." Pada titik ini, limfopenia yang signifikan menjadi jelas.
Meskipun penelitian lebih mendalam tentang penyebab yang mendasari diperlukan,
beberapa faktor dapat berkontribusi pada limfopenia terkait COVID-19. Telah
ditunjukkan bahwa limfosit mengekspresikan reseptor ACE2 pada permukaannya;
jadi SARS-CoV-2 dapat secara langsung menginfeksi sel-sel

19
itu dan akhirnya menyebabkan lisisnya. Selain itu, badai sitokin ditandai dengan
peningkatan kadar interleukin (kebanyakan IL-6, IL-2, IL-7, faktor perangsang
koloni granulosit, protein 10 yang diinduksi interferon‐ protein 10, MCP‐1, MIP1‐
a) dan nekrosis tumor faktor (TNF)‐alpha, yang dapat meningkatkan apoptosis
limfosit. Aktivasi sitokin substansial dapat juga dikaitkan dengan atrofi organ
limfoid, termasuk limpa, dan selanjutnya mengganggu pergantian limfosit.
Asidosis asam laktat yang ada secara berdampingan, yang mungkin lebih
menonjol di antara pasien kanker yang memiliki peningkatan risiko komplikasi
dari COVID-19, juga dapat menghambat proliferasi limfosit, (Terpos et al, 2020).

3.1.6 Pemeriksaan Radiologi


Untuk diagnosis COVID-19, walaupun RT-qPCR merupakan pemeriksaan
spesifik, angka negatif palsu tidak dapat diabaikan karena konsekuensi serius
dari miss diagnosis. Banyak dokter yang mengusulkan CT scan harus menjadi
salah satu metode diagnostik tambahan yang diperlukan karena lebih sensitif.
Untuk individu dengan kecurigaan klinis tinggi terhadap infeksi SARS-CoV-2
dengan skrining RT-qPCR negatif, kombinasi tes RT-qPCR berulang dan CT
scan dada mungkin bisa membantu. Terutama CT resolusi tinggi (HRCT) untuk
dada sangat penting untuk diagnosis dini dan evaluasi derajat keparahan
penyakit pasien dengan SARS-CoV-2. Beberapa penelitian telah menganalisis
gambaran radiologi thoraks pasien yang terinfeksi dengan SARS-CoV-2.
Gambaran CT tipikal menunjukkan ground-glass parenkim paru bilateral dan
opasitas konsolidasi paru, kadang-kadang dengan morfologi bulat dan distribusi
paru perifer. Keterlibatan paru dengan dominasi perifer juga terlihat pada pasien
dengan infeksi SARS-CoV dan MERS-CoV, dan CT dada menunjukkan bahwa
penyakit berkembang dengan opasitas dan konsolidasi ground glass, yang mirip
dengan infeksi SARS-CoV-2. Menurut temuan-temuan itu, CT scan memiliki
nilai diagnostik klinis yang bagus untuk COVID-19, terutama di daerah
prevalensi tinggi infeksi SARS-CoV-2. Namun, CT scan juga memiliki beberapa
kekurangan, seperti ketidakterbandingan dari pneumonia virus lainnya dan hys-
teresis dari pencitraan CT abnormal, (Zu et al, 2020).

20
3.1.7 Kriteria Diagnosis
Untuk saat ini, pembagian diagnosis kasus COVID-19 yaitu Kasus Suspek,
Kasus Probable, Kasus Konfirmasi, Kontak Erat, Pelaku Perjalanan, Discarded,
Selesai Isolasi, dan Kematian, (Kemenkes, 2020).
a. Kasus suspek
Seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria berikut:
1) Orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan pada
14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat
perjalanan atau tinggal di negara/wilayah Indonesia yang
melaporkan transmisi lokal.
2) Orang dengan salah satu gejala/tanda ISPA dan pada 14 hari
terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan
kasus konfirmasi/probable COVID-19.
3) Orang dengan ISPA berat/pneumonia berat yang membutuhkan
perawatan di rumah sakit DAN tidak ada penyebab lain
berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan.
b. Kasus probable
Kasus suspek dengan ISPA Berat/ARDS/meninggal dengan
gambaran klinis yang meyakinkan COVID-19 DAN belum ada hasil
pemeriksaan laboratorium RT-PCR.
c. Kasus konfirmasi
Seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi virus COVID-19
yang dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium RT-PCR. Kasus
konfirmasi dibagi menjadi 2:
1) Kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik)
2) Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik)
d. Kontak erat
Orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable
atau konfirmasi COVID-19. Riwayat kontak yang dimaksud antara
lain:
1) Kontak tatap muka/berdekatan dengan kasus probable atau kasus
konfirmasi dalam radius 1 meter dan dalam jangka waktu 15 menit

21
atau
lebih.
2) Sentuhan fisik langsung dengan kasus probable atau konfirmasi
(seperti
bersalaman, berpegangan tangan, dan lain-lain).
3) Orang yang memberikan perawatan langsung terhadap kasus
probable
atau konfirmasi tanpa menggunakan APD yang sesuai standar.
4) Situasi lainnya yang mengindikasikan adanya kontak berdasarkan
penilaian risiko lokal yang ditetapkan oleh tim penyelidikan
epidemiologi setempat (penjelasan sebagaimana terlampir). Pada
kasus probable atau konfirmasi yang bergejala
(simptomatik), untuk menemukan kontak erat periode kontak
dihitung dari 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari
setelah kasus timbul gejala. Pada kasus konfirmasi yang tidak
bergejala (asimptomatik), untuk menemukan kontak erat periode
kontak dihitung dari 2 hari sebelum dan 14 hari setelah tanggal
pengambilan spesimen kasus konfirmasi.
e. Pelaku perjalanan
Seseorang yang melakukan perjalanan dari dalam negeri
(domestik) maupun luar negeri pada 14 hari terakhir.

Discarded apabila memenuhi salah satu kriteria berikut:


1) Seseorang dengan status kasus suspek dengan hasil pemeriksaan
RTPCR 2 kali negatif selama 2 hari berturut-turut dengan selang
waktu >24 jam.
2) Seseorang dengan status kontak erat yang telah menyelesaikan
masa karantina selama 14 hari.
g. Selesai isolasi
Selesai isolasi apabila memenuhi salah satu kriteria berikut:

22
1) Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik) yang tidak dilakukan
pemeriksaan follow up RT-PCR dengan ditambah 10 hari isolasi
mandiri sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi.
2) Kasus probable/kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik)
yang tidak dilakukan pemeriksaan follow up RT-PCR dihitung 10
hari sejak tanggal onset dengan ditambah minimal 3 hari setelah
tidak lagi menunjukkan gejala demam dan gangguan pernapasan.
3) Kasus probable/kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik)
yang mendapatkan hasil pemeriksaan follow up RT-PCR 1 kali
negatif, dengan ditambah minimal 3 hari setelah tidak lagi
menunjukkan gejala demam dan gangguan pernapasan.
h. Kematian
Kematian COVID-19 untuk kepentingan surveilans adalah kasus
konfirmasi/probable COVID-19 yang meninggal.

3.1.8 Tatalaksana
Pasien tanpa gejala melaksanakan isolasi mandiri dan pemantauan selama
10 hari sejak pegambilan specimen diagnosis konfirmasi. Terapi farmakologis
yang dapat diberikan untuk pasien tanpa gejala sebagai berikut:
- Bila terdapat penyakit penyerta / komorbid, dianjurkan untuk tetap
melanjutkan pengobatan yang rutin dikonsumsi. Apabila pasien rutin
meminum terapi obat antihipertensi dengan golongan obat ACE-inhibitor
dan Angiotensin Reseptor Blocker perlu berkonsultasi ke Dokter Spesialis
Penyakit Dalam atau Dokter Spesialis Jantung
- Vitamin C, dengan pilihan ;
o Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6-8 jam oral (untuk 14 hari)
o Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari)
o Multivitamin yang mengandung vitamin C 1-2 tablet /24 jam
(selama 30 hari),
o Dianjurkan multivitamin yang mengandung vitamin C,B, E, Zink
- Vitamin D

23
o Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet,
kapsul, tablet effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul
lunak, serbuk, sirup)
o Obat: 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet 1000 IU
dan tablet kunyah 5000 IU)
- Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka) maupun Obat Modern
Asli Indonesia (OMAI) yang teregistrasi di BPOM dapat dipertimbangkan
untuk diberikan namun dengan tetap memperhatikan perkembangan
kondisi klinis pasien.
- Obat-obatan yang memiliki sifat antioksidan dapat diberikan.
Pasien dengan gejala ringan melakukan isolasi mandiri di rumah atau fasilitas
karantina selama maksimal 10 hari sejak muncul gejala ditambah 3 hari bebas
gejala demam dan gangguan pernapasan. Jika gejala lebih dari 10 hari, maka
isolasi dilanjutkan hingga gejala hilang ditambah dengan 3 hari bebas gejala.
Terapi farmakologis yang dapat diberikan pada pasien dengan gejala ringan
sebagai berikut:
- Vitamin C dengan pilihan:
o Tablet Vitamin C non acidic 500 mg/6-8 jam oral (untuk 14 hari)
o Tablet isap vitamin C 500 mg/12 jam oral (selama 30 hari)
o Multivitamin yang mengandung vitamin C 1-2 tablet /24 jam
(selama 30 hari),
o Dianjurkan vitamin yang komposisi mengandung vitamin C, B, E,
zink
- Vitamin D
o Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet, kapsul,
tablet effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul lunak,
serbuk, sirup)
o Obat: 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet 1000 IU
dan tablet kunyah 5000 IU)
- Antivirus :
o Favipiravir (sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral
hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5)

24
- Pengobatan simptomatis seperti parasetamol bila demam.
- Obat-obatan suportif baik tradisional (Fitofarmaka) maupun Obat Modern
Asli Indonesia (OMAI) yang teregistrasi di BPOM dapat dipertimbangkan
untuk diberikan namun dengan tetap memperhatikan perkembangan
kondisi klinis pasien.
- Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada.
Pasien dengan gejala sedang melakukan isolasi mandiri di ruang perawatan
COVID-19. Terapi farmakologis yang dapat diberikan sebagai berikut:

- Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1
jam diberikan secara drip Intravena (IV) selama perawatan
- Vitamin D
o Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet, kapsul,
tablet effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul lunak,
serbuk, sirup)
o Obat: 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet 1000 IU
dan tablet kunyah 5000 IU)
- Salah satu antivirus berikut :
o Favipiravir (sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral
hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5) atau
o Remdesivir 200 mg IV drip (hari ke-1) dilanjutkan 1x100 mg IV
drip (hari ke 2-5 atau hari ke 2-10)
- Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP.
- Pengobatan simptomatis
- Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada
Pasien dengan gejala berat atau kritis sebaiknya melakukan isolasi di ruang
isolasi rumah sakit rujukan untuk dilakukan monitoring berkala pada keadaan
kritis. Pasien mendapatkan terapi oksigen sesuai dengan kebutuhan dan diberikan
terapi farmakologis seperti berikut:

- Vitamin C 200 – 400 mg/8 jam dalam 100 cc NaCl 0,9% habis dalam 1
jam diberikan secara drip Intravena (IV) selama perawatan.
- Vitamin B1 1 ampul/24 jam/intravena
- Vitamin D

25
o Suplemen: 400 IU-1000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet,
kapsul, tablet effervescent, tablet kunyah, tablet hisap, kapsul
lunak, serbuk, sirup)
o Obat: 1000-5000 IU/hari (tersedia dalam bentuk tablet 1000 IU
dan tablet kunyah 5000 IU)
- Bila terdapat kondisi sepsis yang diduga kuat oleh karena ko-infeksi
bakteri, pemilihan antibiotik disesuaikan dengan kondisi klinis, fokus
infeksi dan faktor risiko yang ada pada pasien. Pemeriksaan kultur darah
harus dikerjakan dan pemeriksaan kultur sputum (dengan kehati-hatian
khusus) patut dipertimbangkan.
- Antivirus :

o Favipiravir (sediaan 200 mg) loading dose 1600 mg/12 jam/oral


hari ke-1 dan selanjutnya 2 x 600 mg (hari ke 2-5) Atau

o Remdesivir 200 mg IV drip (hari ke-1) dilanjutkan 1x100 mg IV


drip (hari ke 2-5 atau hari ke 2-10)
- Deksametason dengan dosis 6 mg/24 jam selama 10 hari atau
kortikosteroid lain yang setara seperti metilprednisolon 32 mg, atau
hidrokortison 160 mg pada kasus berat yang mendapat terapi oksigen atau
kasus berat dengan ventilator.
- Terapi anti interleukin 6 (IL-6) tocilizumab atau sarilumab merupakan
obat kelompok anti IL-6. Sarilumab belum tersedia di Indonesia, sehingga
yang dipakai adalah Tocilizumab. Tocilizumab diberikan dengan dosis 8
mg/kgBB single dose atau dapat diberikan 1 kali lagi dosis tambahan
apabila gejala memburuk atau tidak ada perbaikan dengan dosis yang
sama. Jarak pemberian dosis pertama dan kedua minimal 12 jam.
Maksimal pemberian 800 mg per dosis.
- Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada
- Apabila terjadi syok, lakukan tatalaksana syok sesuai pedoman tatalaksana
syok yang sudah ada.
- Obat suportif lainnya dapat diberikan sesuai indikasi
- Antikoagulan LMWH/UFH berdasarkan evaluasi DPJP

26
3.2 Obesitas dan Hubungannya dengan COVID-19
Terdapat hubungan antara pasien COVID-19 yang disebabkan oleh severe
acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) dengan overweight atau
obesitas dengan risiko perawatan inap di rumah sakit dan perawatan di intensive
care unit (ICU). Hubungan antara pasien dengan indeks masa tu buh berlebih
terutama dengan kadar jaringan lemak visceral yang tinggi, pasien obesitas,
dengan gangguan kardiometabolisme meliputi hipertensi, penyakit jantung
coroner, hingga diabetes mellitus tipe 2, bahkan beberapa jenis kanker cukup
tinggi. Pasien dengan obesitas juga memiliki risiko acute respiratory distress
syndrome (ARDS) yang menjadi penyebab utama kematian pada COVID-19.
Obesitas adalah penyakit metabolic yang ditandai dengan perubahan
sistem metabolisme termasuk resistensi insulin, peningkatan glukosa serum,
perubahan adipokin (misalnya peningkatan leptin dan penurunan adiponectin),
dan peradangan kronis tingkat rendah. Perubahan sistemik ini mempengaruhi
respon individu terhadap suatu infeksi. Obesitas berhubungan erat dengan
resistensi insulin yang dapat menyebabkan hiperglikemia bahkan pada pasien
yang tidak memiliki riwayat diabetes mellitus sebelumnya. Kadar glukosa darah
yang tidak terkontrol terbukti secara signifikan dalam peningkatan risiko kematian
COVID-19. Keadaan ini merusak fungsi imunitas baik secara langsung maupun
tidak lansung dengan pembentukan oksidan dan produk glikasi. Insulin dan leptin
memiliki peran pemberian sinyal terhadap sel inflamatori seperiti sel T yang
meregulasi glikolisis sel, mendukung produksi sitokin efektor seperi IFN-γ dan
TNF-α. Factor metabolisme ini mempengaruhi metabolism sel imun yang
menentukan respon fungsional terhadap pathogen seperti SARS-CoV-2.
Selain itu, factor gaya hidup dan diet pasien obesitas seperti konsumsi
asam lemak yang tinggi juga dapat mempengaruhi respon inflamasi sistemik.
Prostaglandin yang merupakan turunan dari asam lemak rantai panjang adalah
pyrogen pada fase akut inflamasi local saat terjadi infeksi. Omega-3 dapat
menginduksi respon anti-inflamasi melalui aktivasi cyclooxygenase (COX),
sedangkan asam lemak omega-6 berperan sebagai mediator pro-inflamasi dengan
menekan produksi COX dari prostaglandin. Minyak sayur menganduk omega-6
lebih banyak dibandingkan omega-3, sehingga ketidak seimbangan respon

27
proinflamasi yang berlebih dibandingkan anti-inflamasi membuat klinis pasien
menjadi lebih buruk.
Jenis asam lemak lainnya seperti kolesterol juga memiliki peranan penting
dalam pembetukan envelope RNA virus seperti respiratory syncytial virus (RSV)
dan influenza. SARS-CoV, yang merupakan virus dengan relasi terdekat dengan
SARS-CoV-2, menggunakan kolesterol untuk memfasilitasi pengikatan protein S
virus dengan ACE2 reseptor pada sel host.

Gambar 3.3. Obesitas dan inflamasi kronik.

Di sisi lain, peningkatan body mass index (BMI) berhubungan dengan


peningkatan kadar sel T CD4 yang merupakan bagian dari Th2 dan sel T regulator
(Treg) yang merupakan sitokin anti-inflamasi. Peningkatan sel anti-inflamasi dapat
menurunkan respon tubuh terhadap infeksi, sementara itu tubuh membutuhkan respon
inflamasi untuk mengontrol penyebaran virus secara sistemik. Sel T regulator (Treg)
berperan untuk mengontrol respon inflamasi dari sebuah infeksi agar tidak berlebihan.
Treg pada kondisi hyperinsulinemia dengan obesitas menghasilkan kadar interleukin
10 (IL-10) yang lebih sedikit. IL-10 merupakan

28
sitokin yang memiliki fungsi utama pembatasan dan terminasi respon imun.
Ketidakseimbangan fungsi sitokin pro-inflamatori dan anti-inflamatori yang
dihasilkan sel T ini mempengaruhi respon imun tubuh pasien terhadap infeksi.
Ketidakseimbangan sel imun lebih lanjut pada pasien obesitas yaitu
akumulasi sel pro-inflamasi seperti makrofag, sel dentritik, sel T sitotoksik, dan
Th1 pada jaringan adiposa. Sel-sel imun ini berkontribusi dalam proses resistensi
insulin dan inflamasi kronik. Sel-sel pro-inflamasi ini beserta sel adiposa yang
hipertrofi meningkatkan sitokin inflamasi seperti IL-6, C-reactive protein (CRP),
dan interferon tipe I dan tipe III.
Pada orang dengan kadar lemak tubuh yang ideal, sel-sel imun pro-
inflamasi dan anti-inflamasi berada pada jumlah yang normal dan seimbang.
Obesitas menginduksi perubahan struktur jaringan adiposa dan hipertrofi sel
adiposit. Sel adiposit yang hipertrofi dan tidak normal ini akan mengalami
apoptosis yang nanti akan mengundang sel makrofag dan sel lain yang
membentuk kondisi inflamasi pada jaringan. Jaringan lemak yang normal memilki
tiga sel anti-inflamasi yang utama yaitu sel T helper (Th2), makrofag M-2 dan sel
T regulator (Treg). Ketiga sel ini memberikan feedback negative untuk
menghentikan inflamasi bila dianggap sudah cukup. Pada obesitas, ketiga sel anti-
inflamasi tersebut memiliki jumlah rendah. Sementara itu, sel pro-inflamasi
seperti sel T CD8+ dan makrofag M-1 bertambah.
Sebagai tambahan, pada kasus COVID-19 gejala berat sering ditemukan
limfopenia dan penurunan kadar IFN-γ dari sel T DC4. IFN-γ merupakan protein
antiviral yang penting. Pasien dengan obesitas memiliki kadar IFN-γ yang rendah.
Kondisi ketidakseimbangan kadar sel pro-inflamasi dan anti-inflamasi, ditambah
dengan respon tubuh inflamasi yang secara normal timbul pada kondisi infeksi
SARS-CoV-2 ini menimbulkan kondisi yang biasa disebut dengan badai sitokin
atau cytokine storm.
Dari sisi kardiovaskular, diketahui bahwa obesitas memiliki hubungan yang
erat dengan hipertensi, penyakit jantung kononer, stroke, fibrilasi arteri, penyakit
ginjal, dan gagal jantung. Pasien obesitas memiliki risiko kelainan kardiovaskular
yang multiple dan secara dini hingga komplikasi penyakit kardiorenalis.

29
Obesitas juga mengurangi kemampuan kontraktilitas diafragma yang
mempengaruhi FEV1 dan FVC pernafasan. Hal ini menyebabkan pola nafas yang
tidak efektif sehingga pasien COVID-19 dengan obesitas lebih mudah merasa
sesak.

Gambar 3.4. Hubungan obesitas dan COVID-19

3. 3 Hiperglikemia Akut dan Hubungannya dengan COVID-19

Gambar 3.5. Mekanisme patogen potensial pada pasien Covid-19

30
Kehadiran diabetes mellitus dan derajat hiperglikemia individu tampaknya
secara independent terkait dengan keparahan COVID-19 dan peningkatan
mortalitas. Selain itu, adanya komplikasi khas diabetes mellitus (CVD, gagal
jantung, dan penyakit ginjal kronis) meningkatkan mortalitas COVID-19.
Terdapat beberapa mekanisme patofisiologis yang mengarah pada peningkatan
mortalitas kardiovaskular dan semua penyebab setelah infeksi SARS-CoV-2 pada
pasien dengan diabetes mellitus.
Infeksi dengan sindrom pernafasan akut coronavirus 2 (SARS-CoV-2)
dapat menyebabkan peningkatan tingkat mediator inflamasi dalam darah,
termasuk lipopolisakarida, inflamasi sitokin dan metabolit toksik. Modulasi
aktivitas sel natural killer (meningkat atau menurun) dan produksi IFNγ dapat
meningkatkan permeabilitas interstisial dan/atau vaskular untuk produk pro
-inflamasi. Selain itu, infeksi SARS-CoV-2 menyebabkan peningkatan produksi
spesies oksigen reaktif (ROS). Efek-efek ini menyebabkan fibrosis paru,
kerusakan paru -paru akut dan sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS).
Produksi ROS dan aktivasi virus dari sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS)
(melalui peningkatan ekspresi angiotensin II) menyebabkan resistensi insulin,
hiperglikemia dan kerusakan endotel vaskular, yang semuanya berkontribusi pada
peristiwa kardiovaskular, tromboemboli dan diseminata intravaskular koagulasi
(DIC). Infeksi juga menyebabkan peningkatan komponen pembekuan fibrinogen
dan D -dimer, yang menyebabkan peningkatan viskositas darah dan kerusakan
endotel vaskular, dan kejadian kardiovaskular terkait, tromboemboli dan DIC
(Lim, Bae, Kwon, & Nauck, 2021).
Dalam studi SARS, ditemukan bahwa virus dapat masuk ke pulau
Langerhaans melalui kombinasi ke angiotensin converting enzyme 2 (ACE2),
merusak sel β pankreas dan menyebabkan diabetes akut. ACE2 diekspresikan di
berbagai jaringan dan organ tubuh manusia. Penghambatan jalur sinyal
ACE2/Ang1-7/Mas yang signifikan dan peningkatan aktivitas jalur
ACE/AngII/AT1R terjadi setelah SARS-CoV-2 mengikat ACE2 in vivo.
Kematian terjadi melalui ketidakseimbangan sistem renin-angiotensin (RAS) dan
peningkatan tingkat faktor inflamasi. Ditunjukkan bahwa ACE2 juga merupakan
reseptor SARS-CoV-2 (Yang, Lin, Ji, & Guo, 2010).

31
DM menghambat kemotaksis neutrofil, fagositosis, dan pembunuhan
mikroba intraseluler. Penurunan imunitas adaptif yang ditandai dengan
keterlambatan awal aktivasi imunitas yang dimediasi sel Th1 dan respon
hiperinflamasi yang terlambat sering diamati pada pasien dengan diabetes. Dalam
sebuah studi yang meneliti efek DM pada model tikus yang dimanusiakan dari
infeksi MERS-CoV pada diet tinggi lemak. Setelah infeksi MERS-CoV, penyakit
ini lebih parah dan berkepanjangan pada tikus jantan diabetes dan ditandai dengan
perubahan jumlah CD4+ T dan respon sitokin yang abnormal (seperti peningkatan
IL17a). Konsisten dengan temuan ini, pada pasien dengan COVID-19, jumlah sel
T CD4 CD dan CD8 peripher perifer rendah, tetapi dengan proporsi yang lebih tinggi
dari sel T CD4+ Th17 yang sangat proinflamasi, serta peningkatan kadar sitokin.
Dengan demikian, kemungkinan pasien dengan DM mungkin memiliki tanggapan
anti- virus IFN yang tumpul, dan aktivasi Th1/Th17 yang tertunda dapat berkontribusi
untuk menonjolkan tanggapan inflamasi (Muniyappa & Gubbi, 2020; Hui et al., 2020;
Feldman, Savelieff, Hayek, Pennathur, & Savelieff, 2020).

3.4 Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)


Dalam Rumende (2018) ARDS merupakan salah satu kondisi
kegawatdaruratan yang terjadi karena adanya akumulasi cairan di alveoli yang
menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas sehingga distribusi oksigen ke
jaringan menjadi berkurang. Berdasarkan Kriteria Berlin, ARDS didefinisikan
berdasarkan waktu, gambaran foto toraks, penyebab edema paru, dan derajat
hipoksemia, (Diamond et al, 2020).
Pada pasien COVID-19 perburukan gejala respirasi terjadi dalam 1 minggu
setelah diketahui kondisi klinis. Derajat ringan -beratnya ARDS berdasarkan
kondisi hipoksemia. Selain itu dibutuhkan pemeriksaan penunjang yang penting
yaitu pencitraan toraks seperti foto toraks, CT Scan toraks atau USG paru. Pada
pemeriksaan pencitraan dapat ditemukan: opasitas bilateral, tidak menjelaskan
akibat dari efusi, lobar atau kolaps paru atau nodul. Sumber dari edema tidak
sepenuhnya dapat dijelaskan oleh gagal jantung atau kelebihan cairan, dibutuhkan
pemeriksaan objektif lain seperti ekokardiografi untuk mengeksklusi penyebab
hidrostatik penyebab edema jika tidak ada faktor risiko. Untuk itu penting

32
dilakukan analisis gas darah untuk melihat tekanan oksigen darah dalam menentukan
tingkat keparahan ARDS serta terapi, (Wang et al, 2020; PDPI, 2020). Berikut rincian
derajat ARDS pada pasien dewasa menurut kriteria Berlin 2011:
Tabel 3.1 Definisi ARDS Kriteria Berlin 2011, (Diamond et al, 2020).

33
BAB 4
PEMBAHASAN

Pada pasien ini, diagnosa COVID-19 ditegakan berdasarkan gejala infeksi


saluran nafas atas serta gejala infeksi saluran nafas bawah, ditambah dengan
gambaran radiologis opasitas bilateral yang menggambarkan gejala pneumonia
viral, ditambah dengan pemeriksaan definitif, yaitu pemeriksaan PCR swab
nasofaring dan orofaring yang positif akan virus SARS-COV-2.
Derajat gejala berat pada pasien ini ditentukan berdasarkan temuan fisik,
yaitu laju nafas yang melebihi 30x/menit pada udara ruang, dan kebutuhan
oksigen lebih dari 4 liter per menit untuk mempertahankan saturasi oksigen diatas
92 % dan juga pemeriksaan penunjang gas darah arteri pasien yang menunjukan
rasio PaO2 dan FiO2 sebesar 140 mmHg, yaitu moderate ARDS.
Sedangkan diagnosa Sindroma Distress Pernafasan Akut ditegakan
berdasarkan kriteria berlin, yaitu pasien mengalami gejala sesak akut yang
memburuk kurang dari 1 minggu, opasitas bilateral pada lapang paru pada foto
xray rongent toraks, rasio P/F <300, dan tidak boleh ada penyebab kardiak dan
overload cairan. Semua kriteria terpenuhi pada pasien ini.
ARDS didefinisakan oleh Kriteria Berlin dengan gagal napas hipoksemik
akut dengan penyebab tertentu (seperti infeksi virus pernapasan) disertai
munculnya infiltrat bilateral pada foto thoraks/CT scan dengan menyingkirkan
etiologi kardiogenik atau hidrostatik. ARDS yang disebabkan oleh pneumonia
COVID-19 biasa disebut sebagai CARDS.
Virus SARS-CoV-2 menyebar melalui droplet lalu masuk ke tubuh
melalui membrane mukosa. Protein s dari virus ini kemudian menempel pada
reseptor human angiotensin-converting enzyme 2 (ACE-2) yang terdapat pada
paru, jantung, ginjal, dan usus. Struktur dari protein S ini lalu berubah dan
menyebabkan membran sel virus bersatu dengan membran sel dari host. Proses ini
dipermudah dengan bantuan beberapa enzim protease dari sel host, seperti
transmembrane protease serine protease 2 (TMPRSS2), cathepsin L, dan furin.
TMPRSS2 banyak diekspresikan bersama ACE2 di sel epitel hidung, paru, dan
cabang bronkus, yang menjelaskan tropisme jaringan SARS- CoV-2 ini.

34
Setelah proses penempelan, virus bereplikasi di epitel mukosa saluran
pernapasan bagian atas, kemudian lanjut bereplikasi di saluran pernapasan bawah
dan mukosa gastrointestinal, sehingga menimbulkan viremia ringan. Sebagian
reaksi infeksi yang timbul pada tahap ini dapat dikendalikan dan pasien tetap
asimtomatik. Namun pada beberapa kasus, replikasi cepat SARS-CoV-2 di paru-
paru dapat memicu respon imun yang berlebihan. Sindrom badai sitokin
menyebabkan ARDS dan kegagalan pernapasan bahkan sampai kematian.
Salah satu ciri utama ARDS pada COVID-19 adalah adanya badai sitokin.
Badai sitokin merupakan respons inflamasi sistemik yang tidak normal karena
produksi sitokin dan kemokin pro-inflamasi yang berlebihan.Pada kondisi normal,
respons sistem imun bawaan menjadi pertahanan pertama melawan infeksi.
Namun, respons imun yang tidak normal dan berlebihan dapat menyebabkan
kerusakan imun pada tubuh manusia. Suatu eksperimen sel in vitro menunjukkan
bahwa pada tahap awal infeksi SARS-CoV terjadi pelepasan sitokin dan kemokin
yang tertunda oleh sel epitel pernapasan, sel dendritik, dan makrofag.
2
Pasien ini memiliki indeks massa tubuh (IMT) sebesar 31,25 kg/m ,
sehingga dapat dikategorikan sebagai obesitas grade 1. Obesitas sendiri memiliki
hubungan erat dengan resistensi insulin yang dapat menyebabkan hiperglikemia
bahkan pada pasien yang tidak memiliki riwayat diabetes mellitus sebelumnya.
Pada penderita COVID-19 dengan obesitas terjadi akumulasi sel pro-
inflamasi seperti makrofag, sel dendritic, sel T sitotoksik, dan Th1 pada jaringan
adiposa sehingga sel-sel imun tersebut berkontribusi dalam proses resistensi
insulin dan inflamasi kronik Obesitas juga mengurangi kemampuan kontraktilitas
diafragma yang mempengaruhi FEV1 dan FVC pernafasan. Hal ini menyebabkan
pola nafas yang tidak efektif sehingga pasien COVID-19 dengan obesitas lebih
mudah merasa sesak.

35
DAFTAR PUSTAKA

Al-Goblan, A., Al-Alfi, MA., Khan, MZ. Mechanism linking diabetes mellitus and
obesity. Dovepress. 2014;7:587–591.
http://dx.doi.org/10.2147/DMSO.S67400

Bellani G, Laffey JG, Pham T, et al. Epidemiology, patterns of care, and mortality
for patients with acute respiratory distress syndrome in intensive care units
in 50 countries. JAMA 2016; 315: 788–800.

Feldman, E. L., Savelieff, M. G., Hayek, S. S., Pennathur, S., & Savelieff, M. G.
(2020). COVID- 19 and Diabetes : A Collision and Collusion of Two
Diseases. Diabetes, 1–75.

Hales CM, Carroll MD, Fryar CD, Ogden CL. Prevalence of Obesity and Severe
Obesity Among Adults: United States, 2017–2018. NCHS Data Brief, no
360. Hyattsville, MD: National Center for Health Statistics (2020).

Ho, JSY., Fernando DI., Chan, MY., Sia, CH. Obesity in COVID-19: a systematic
review and meta-analysis. Ann Acad Med Singap 2020;49:996 -1008.
https://doi.org/10.47102/annals-acadmedsg.2020299

Huang C, Wang Y, Li X, Ren L, Zhao J, Zang Li, Fan G, etc. 2020. Clinical
features of patients infected with 2019 novel coronavirus in Wuhan,
China. The Lancet.

Hui, Y., Li, Y., Tong, X., Wang, Z., Mao, X., & Huang, L. (2020). The risk
factors for mortality of diabetic patients with severe COVID-19 : A
retrospective study of 167 severe COVID-19 cases in Wuhan. PLoS
ONE, 15(12), 1–13. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0243602

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Revisi protocol tatalaksanan


COVID-19. Kemenkes RI. Jakarta. 2021.

Lim, S., Bae, J. H., Kwon, H.-S., & Nauck, M. A. (2021). COVID-19 and
diabetes mellitus: from pathophysiology to clinical management. Nature
Reviews Endocrinology, 17(January), 11– 30.
https://doi.org/10.1038/s41574-020-00435-4

Liu K, Chen Y, Lin R, Han K. Clinical features of COVID-19 in elderly patients:


a comparison with young and middle-aged patients. J Inf Secur.
2020;15(30):1–5. [PMC free article] [PubMed] [Google Scholar]

36
Mohammad, S., Aziz, R., Mahri, SA., Malik, SS., Khan, AH., Khatlani, TS., et al.
Obesity and COVID-19: what makes obese host so vulnerable? Immunity
& Ageing. BMC. 2021;18:1-10. https://doi.org/10.1186/s12979-020-
00212-x

Muniyappa, R., & Gubbi, S. (2020). COVID-19 pandemic, coronaviruses, and


diabetes mellitus.Am J Physiol Endocrinol Metab, (318), 736–741.
https://doi.org/10.1152/ajpendo.00124.2020

Popkin, BM., Du, S., Green, WD., Beck, MA., Algaith, T., Herbst, CH., et al.
Individuals with obesity and COVID-19: A global perspective on the
epidemiology and biological relationships. Wiley: Obesity review. 2020.
https://doi.org/10.1111/obr.13128

Puah SH. ATS and APSR Joint Webinar: Global perspectives on COVID-19. 27
March 2020; https://www.apsresp.org/ archive/2020-covid-19-
webinar.html (viewed June 2020).

Procel, C., Canadas, C., Aguirre, D., Pibaque, R., Bedon, R., Sempertegui, F., et
al. Immune response to SARS-CoV-2 infection in obesity and T2D.
Vaccines. 2021, 9, 102. https://doi.org/10.3390/vaccines9020102

Ruan Q, Yang K, Wang W, et al. Clinical predictors of mortality due to COVID -


19 based on an analysis of data of 150 patients from Wuhan, China.
Intensive Care Med 2020;46:846-8.

Sattar, N., Mclnnes, B., McMurray, JJV. Obesity is a risk factor for severe COVID-
19 infection. Multiple potential mechanism. Circulation. American Heart
Association. 2020;142:4-6. https://www.ahajournals.org/journal/circ

Soy, M., Keser, G., Atagündüz, P. et al. 2020. Cytokine storm in COVID -19:
pathogenesis and overview of anti-inflammatory agents used in treatment.
Clin Rheumatol 39, 2085–2094.

Tamara A, Tahapary DL. Obesity as a predictor for a poor prognosis of COVID-


19: a systematic review. Diabetes Metab Syndr 2020; 14:655-9.

Wu C, Chen X, Cai Y, et al. Risk factors associated with acute respiratory distress
syndrome and death in patients with coronavirus disease 2019 pneumonia
in Wuhan, China. JAMA Intern Med 2020; https://doi.org/10.1001/jamai
nternmed.2020.0994 [Epub ahead of print].

37
Yang, J.-K., Lin, S.-S., Ji, X.-J., & Guo, L.-M. (2010). Binding of SARS
coronavirus to its receptor damages islets and causes acute diabetes. Acta
Diabetol, (47), 193–199. https://doi.org/10.1007/s00592-009-0109-4

38

Anda mungkin juga menyukai