Anda di halaman 1dari 4

INFORMED CONSENT PADA TINDAKAN ENDOSKOPI

I. DEFINISI INFORMED CONSENT


Informed Consent atau diterjemahkan sebagai Persetujuan Tindakan
Kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien. Informed
artinya telah diberitahukan, telah disampaikan, atau telah diinformasikan.
Consent artinya persetujuan yang telah diberikan kepada seseorang untuk
berbuat sesuatu. Pada hakekatnya Informed Consent adalah suatu "proses
komunikasi" bukan suatu formulir. Bentuk formulir hanya merupakan suatu
dokumentasi yang membuktikan terjadi interaksi antara pasien dan dokternya
(Sharma, 2014).
Hukum membebankan pada praktisi kesehatan, kewajiban untuk
mengungkapkan dan menginformasikan tiga aspek mendasar pengobatan (Raab,
2004; Sharma, 2014):
- Procedure (Prosedur tindakan), menjelaskan diagnosis dan prosedur
serta tindakan yang direncanakan
- Alternatives (Alternatif tindakan)
- Risk (Risiko bila dilakukan dan tidak dilakukan tindakan yang akan
dilakukan)

II. SEJARAH HUKUM INFORMED CONSENT


Sejarah hukum tentang informed consent berjalan seiring dengan sejarah
hukum tentang riset di bidang kedokteran. Kasus Slater vs Baker Stapleton pada
tahun 1767 merupakan kasus yang pertama di Inggris dimana diputuskan bahwa
dokter harus memperoleh ijin pasien terlebih dahulu sebelum melakukan
tindakannya. Pada saat itu terdapat dua orang dokter yang dipersalahkan karena
tanpa izin pasiennya telah memisahkan lagi callous (pertumbuhan tulang baru)
dari suatu fraktur yang sudah mulai sembuh sebagian dan menyatu. Tindakan
tersebut selain dilakukan tanpa izin pasien juga dianggap bertentangan dengan
standar profesi medik, karena dokter bedah lain tidak akan berbuat demikian
(Leclercq, 2010).
Nuremberg code yang dikeluarkan pada tahun 1947 sering kali dikatakan
sebagai asal mulanya informed consent dimana pada saat ini terdapat dokter
nazi melakukan percobaan di Nuremberg, Jerman, untuk melakukan riset pada
tawanan perang. Hasil ini disahkan sebagai Nuremberg code dan pertama kali
secara internasional diakui sebagai kode etika riset (Annas, 1993; Elnimeiri,
2008).
Dalam hukum Indonesia, informed consent dijelaskan dalam Undang-
Undang no. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah no. 23
tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, Undang-Undang Praktek Kedokteran no.
29 tahun 2004 dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen no. 8 tahun 1999
(Sugiarti, 2010).

III. INFORMED CONSENT PADA TINDAKAN ENDOSKOPI


GASTROINTESTINAL
Informasi-informasi yang perlu disampaikan atau diinformasikan pada
pasien, khususnya pada tindakan endoskopi gastrointestinal (Zuckerman, 2007;
Sharma, 2014) :
1. Diagnosis medis dan hasil pemeriksaan pasien
2. Prosedur tindakan yang akan dilakukan
3. Alasan prosedur tindakan tersebut dilakukan
4. Manfaat dari prosedur tindakan tersebut
5. Segala risiko dan komplikasi yang dapat terjadi akibat prosedur tindakan
6. Alternatif dari tindakan yang dapat dilakukan
7. Prognosis pasien bila tindakan tersebut tidak dilakukan

Pemberian informed consent pada tindakan endoskopi sebaiknya


dilakukan oleh dokter yang akan melakukan endoskopi itu sendiri. Sangat tidak
dianjurkan pemberian informed consent didelegasikan pada tenaga kesehatan
lainnya, oleh karena hal ini merupakan tindakan yang sangat penting antara
dokter dan pasien (Zuckerman, 2007).
IV. MANFAAT PEMBERIAN INFORMED CONSENT PADA TINDAKAN
ENDOSKOPI GASTROINTESTINAL
Pada studi yang dilakukan oleh Pehlivan et al, dimana dilakukan
pengamatan pada 300 pasien yang menjalani endoskopi saluran pencernaan
atas. Pasien tersebut dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok kontrol,
kelompok pasien yang diberikan informasi tertulis dan kelompok pasien yang
dijelaskan secara verbal terhadap tindakan endoskopi yang akan dilakukan. Pada
akhirnya didapatkan kesimpulan kelompok pasien yang diberikan penjelasan
secara verbal dan sangat mengerti tentang tindakan endoskopi yang akan
dilakukan mengalami tindakan endoskopi yang lebih nyaman (tidak nyeri dan
tidak mengalami kesulitan bernapas ketika tindakan), lebih merasa puas dan
prosedur tindakan endoskopi juga lebih mudah dilakukan. Tingkat kecemasan
pasien juga didapat lebih rendah dan penderita pada kelompok verbal juga lebih
kooperatif saat dilakukan tindakan endoskopi. Ini menunjukkan pentingnya
tindakan informed consent pada tindakan endoskopi atau tindakan kedokteran
lainnya (Pehlivan, 2011).

V. KEADAAN-KEADAAN PADA TINDAKAN ENDOSKOPI YANG DAPAT


DILAKUKAN TANPA PROSES PEMBERIAN INFORMED CONSENT
Terdapat beberapa keadaan pada tindakan endoskopi yang dapat
dilakukan tanpa proses pemberian informed consent terlebih dahulu, keadaan
tersebut adalah sebagai berikut (Zuckerman, 2007):
1. Keadaan gawat darurat (emergensi)
2. Tindakan yang akan memberi manfaat bagi pasien (therapeutic privilage)
3. Waiver atau surat pernyataan melepaskan tuntutan
4. Adanya perintah atau permintaan untuk dilakukan tindakan yang sifatnya
legal (legal mandate)
DAFTAR PUSTAKA

Annas GJ & Grodin MA (1993). " The Nazi Doctors and the Nuremberg Code:
Human Rights in Human Experimentation." The New England Journal of
Medicine 328(19):1429-1430.
Elnimeiri MKM (2008). " Nuremberg Code: A landmark document on medical
research ethics." Sudanese Journal of Public Health 3(2):94-96.
Leclercq WKG, Keulers BJ, Scheltinga MRM, Spauwen PHM & Wilt GJ. "A Review
of Surgical Informed Consent: Past, Present, and Future. A Quest to Help
Patients Make Better Decisions." World Journal of Surgery 34:1406-1415.
Pehlivan S, Ovayolu N, Koruk M, Pehlivan Y, Ovayolu O & Gulsen MT (2011).
"Effect of providing information to the patient about upper
gastrointestinal endoscopy on the patient’s perception, compliance and
anxiety level associated with the procedure." The Turkish Journal of
Gastroenterology 22(1):10-17.
Raab EL (2004). "The Parameters Of Informed Consent." Transaction of the
American Ophthalmological Society 102:225-232.
Sharma R (2014). "Informed consent in clinical practice and research: ethical and
legal perspective." International Journal of Healthcare and Biomedical
Research 3(1):144-151.
Sugiarti I (2010). "Perbandingan Hukum Informed Consent Indonesia dan
Amerika Serikat." Fakultas Hukum UNISBA 12(3):245-268.
Zuckerman MJ, Shen B, Harrison ME et al (2007). "Informed Consent for GI
Endoscopy." Gastrointestinal Endoscopy Journal 66(2):213-218.

Anda mungkin juga menyukai