Anda di halaman 1dari 90

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TN.

AR
DENGAN GAGAL NAPAS TIPE 2 (HYPERCAPNIC)
DI RUANG INTENSIVE CARDIOVASCULAR CARE UNIT (ICVCU)
RS JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH HARAPAN KITA

STUDI KASUS
Disusun Oleh:

PROGRAM PELATIHAN KEPERAWATAN


KARDIOVASKULAR TINGKAT DASAR
RS JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH HARAPAN KITA
JAKARTA
TAHUN 2023
HALAMAN PENGESAHAN

Studi Kasus ini diajukan oleh :


Nama :
1. Ade Kristiani, AMK (RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto)
2. Arifuddin, AMK (RSUP. DR. Wahidin Sudirohusodo Makassar)
3. Ida Ardani, S.Kep,Ns (RSUD Pandan Arang Boyolali)
4. Retno Citro, S.Kep,Ns (RSUD Dr. Soedarso Pontianak)
5. Syaifuddin Zuhri, S.Kep,Ns (RSUD Dr. Iskak Tulungagung)

Program : Pelatihan Kardiovaskular Tingkat Dasar Angkatan III Tahun


2023
Judul Studi Kasus : Asuhan Keperawatan pada Pasien Tn. AR dengan
Gagal
Napas Tipe 2 (Hypercapnic) di Ruang Intensive
Cardiovascular Care Unit (ICVCU) Rumah Sakit
Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.

TIM PEMBIMBING
Pembimbing : Ns. Sungkono, M. Kep,Sp.KMB (……………)

Penguji : Ns. Wahyono, S.Kep (……………)

Penguji : Ns. Tandang Susanto, S.Kep, M.Kep (…………….)

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : Mei 2023

2
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
penulisan studi kasus dengan judul “ Asuhan Keperawatan pada Pasien Tn. AR
dengan Gagal Napas Tipe 2 (Hypercapnic) di Ruang Intensive
Cardiovascular Care Unit (ICVCU) Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh
Darah Harapan Kita.”. Penulisan studi kasus ini kami susun dalam rangka
memenuhi tugas sebagai peserta pelatihan keperawatan kardiologi tingkat dasar
(PKKvTD) di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Penulisan
studi kasus ini tidak terlepas dari dukungan dan bimbingan dari banyak pihak.
Oleh karena itu, kami mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr.dr. Iwan Dakota Sp.JP (K), selaku Direktur RS Jantung Dan
Pembuluh Darah Harapan Kita
2. Direktur Rumah Sakit Umum Daerah instansi kami yang sudah memberikan
kesempatan untuk mengikuti kegiatan Pelatihan PKKvTD III tahun 2023
3. Ibu Tina Rahmawati, MM, Selaku Kepala Instalasi Diklat RS Jantung Dan
Pembuluh Darah Harapan Kita
4. Ibu Uyuni Rahmawati, S.Kep, selaku Penanggung Jawab Program
Keperawatan Diklat RS Jantung Dan Pembuluh Darah Harapan Kita
5. Bapak Sungkono, S.Kep.Ners, M. Kep.Sp.KMB Selaku pembimbing yang
telah memberikan arahan, dukungan, dan motivasi dalam penulisan studi
kasus ini.
6. Bapak Ns. Wahyono, S.Kep. Selaku penguji yang telah memberikan masukan
dan dukungan dalam presentasi studi kasus ini.
7. Bapak Ns. Tandang Susanto, S.Kep, M.Kep. Selaku penguji yang telah
memberikan masukan dan dukungan dalam presentasi studi kasus ini.
8. Seluruh staf pengajar diklat dan CI di lapangan yang telah memberikan ilmu
dan bimbingan selama kami mengikuti pelatihan.
9. Keluarga kami yang selalu memberikan dukungan dan motivasi.
10. Teman-teman peserta PKKvTD (Pelatihan Keperawatan Kardiovaskuler
Tingkat Dasar) angkatan III tahun 2023 yang telah bersama dalam suka dan

3
duka selama mengikuti pelatihan ini.
Akhir kata, kami berharap Allah SWT berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu penyusunan studi kasus ini.
Semoga studi kasus ini diterima dan bermanfaat. Kami memohon kritik
dan saran yang membangun agar studi kasus ini dapat lebih baik dalam
pengembangan ilmu keperawatan.
Jakarta,
Mei 2023
Penulis

4
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN i
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan Studi Kasus 4
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat bagi layanan keperawatan 4
1.3.2 Manfaat bagi pendidikan keperawatan 4
1.3.3 Manfaat bagi perkembangan riset keperawatan 4
1.3.4 Manfaat bagi profesi keperawatan 4
BAB II TINJAUAN TEORITIS
2.1 Konsep Dasar Anatomi Fisiologi Sistem Pernafasan 5
2.1 Konsep Dasar Gagal Nafas
2.1.1 Pengertian 12
2.1.2 Etiologi 12
2.1.3 Klasifikasi gagal nafas 15
2.1.4 Patofisiologi 16
2.1.5 Manifestasi klinis 18
2.1.6 Komplikasi 18
2.1.7 Pemeriksaan Diagnostik 19
2.1.8 Penatataksanaan 20
2.2 Asuhan Keperawatan
2.2.1 Pengkajian 27
2.2.2 Diagnosa Keperawatan 28
2.2.3 Intervensi 29
BAB III TINJAUAN KASUS
3.1 Pengkajian 40
3.1 Identitas 40
3.2 Riwayat penyakit 40
3.2 Diagnosa Keperawatan 52

5
3.3 Intervensi 53
3.4. Implementasi 58
3.5. Evaluasi 58
BAB IV PEMBAHASAN 75
BAB V PENUTUP
5.2 Kesimpulan 78
5.2 Saran 78
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

6
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Manusia adalah makhluk yang “obligate aerob” atau makhluk yang
bergantung akan oksigen untuk hidup. Oksigen yang di dapat dari udara akan
dipakai untuk kebutuhan metabolise sel dan menghasilkan zat sisa/buangan
bernama karbon dioksida yang akan di buang kembali ke udara luar. Sistim
respirasi adalah suatu sistim yang bertanggung jawab untuk melaksanakan
fungsi-fungsi tersebut. Sistem respirasi merupakan proses pertukaran gas
dengan menghantarkan oksigen dari atmosfer ke paru-paru dan didifusikan
ke sirkulasi darah serta mengeluarkan karbondioksida dari darah ke paru-paru
yang dibuang saat ekspirasi (Joshua et all 2022).
Fungsi pertukaran gas paru-paru tergantung pada sistem saluran
udara terbuka, perluasan paru-paru, luas permukaan yang memadai untuk
difusi, dan aliran darah yang memadai melalui kapiler paru. Oleh karena itu
segala hal yang mengganggu sistem ini akan mengganggu proses masuknya
oksigen dari alam bebas ( udara ) ke dalam tubuh manusia dan merupakan
suatu kegawatan daruratan medis yang mengancam nyawa jika tidak segera
ditangani dengan benaryang (Joshua et all 2022). Kondisi dari
ketidakmampuan system respirasi menjalankan fungsinya, pada akhirnya
akan menyebabkan kondisi kegagalan pernafasan. Gagal napas merupakan
suatu kegawatan sistem pernapasan yang terjadi akibat kegagalan
menghantarkan oksigen untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh serta
mengeluarkan karbon dioksida (Modul PKKvTD 2023).
Gagal napas dapat digolongkan menjadi dua yaitu gagal napas tipe I,
dan gagal napas tipe II. Gagal napas tipe I ditandai dengan adanya hipoksia
jaringan yang secara klinik pada hasil analisa gas darah didapatkan PaO2 <60
mmHg dengan PaCO2 yang normal dan abnormal. Gagal nafas yang sering
terjadi akibat dari adanya gangguan sirkulasi jantung ataupun adanya
masalah pada paru-paru itu sendiri. Pada gagal nafas tipe II ditandai
hiperkapnia PaCO2 tinggi (PaCO2 >50 mmHg) yang diakibatkan kegagalan

1
ventilasi paru. Kondisi ini diakibatkan karena komplain paru yang tidak
adekuat (Modul PKKvTD 2020).
Beberapa penyebab gagal napas dapat berupa Penyakit Paru Obstruktif
Kronis (PPOK), Asma, Acute Lung Oedema (ALO), dan Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS) (Modul PKKvTD 2020).
Gagal nafas terjadi apabila pertukaran oksigen terhadap
karbondioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi
oksigen (O2) dan pembentukan karbon dioksida (CO2) dalam sel-sel tubuh .
Hal ini mengakibatkan tekanan oksigen arteri kurang dari 50 mmHg
(Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbon dioksida lebih besar dari 45
mmHg (Hiperkapnia). Walaupun kemajuan teknologi diagnosis dan therapy
intervensi telah berkembang dengan pesat, namun gagal nafas masih
menjadi penyebab angka kesakitan dan kematian yang tinggi di ruang
perawatan intensif (Hasrawi et al. 2019).
Kejadian kegagalan pernafasan akut masih merupakan 1 dari 20
penyakit utama penyebab kematian yang tinggi di instalasi perawatan
intensif secara global, dengan angka mortalitas sebesar 35%-46%
tergantung derajat keparahannya. Mortalitas akibat gagal nafas semakin
meningkat seiring bertambahnya usia, dengan angka mortalitas 24% pada
usia 15-19 tahun dan 60% pada usia diatas 80 tahun (Bellani et al.2018).
The American European Consensus on respiratory failure tahun
2018 menemukan bahwa insiden sebanyak 12,6-28,0 kasus/100.000
penduduk pertahun, dilaporkan sekitar 40% terdapat kasus gagal nafas
termasuk di dalamnya terdapat kasus kematian. Hasil studi di negara Jerman
dan Swedia melaporkan bahwa 77,6-88,6 kasus/100.000 penduduk/tahun
dan insidensi gagal nafas di Amerika Serikat terdapat 306 kasus per 100.000
populasi per tahun. Kasus di Taiwan semakin meningkat seiring
bertambahnya usia 75-84 tahun (Bellani et al.2018). Sedangkan prevalensi
gagal nafas di Indonesia tidak tercatat dengan jelas, namun kejadian gagal
nafas menempati peringkat sepuluh penyebab kematian di rumah sakit yaitu
sebesar 5,1 % pada tahun 2017 berdasarkan data peringkat sepuluh penyakit
tidak menular (PTM) pada tahun 2018 (Riskesdas 2018). B

2
Berdasarkan data dari RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita,
prevalensi gagal nafas pada tahun 5 tahun terakhir (2018-2022) didapatkan
data sebanyak 239 pasien yang terdiagnosis gagal dan di rawat di ruangan
intensive care.
Gagal nafas, terutama gagal nafas akut (ARF) merupakan salah satu
penyebab tertinggi pasien di rawat di ruangan intensive care (ICU), yang
pastinya akan membutuhkan cost dan sumber daya yang sangat besar dalam
proses perawatannya. Gagal nafas juga menjadi penyebab kematian sekitar
40% di rumah sakit (Fercy et all, 2011).
Pasien dengan gagal nafas dirawat di rumah sakit, memerlukan perawatan di
unit perawatan intensif (ICU) dan bantuan ventilator. Hal ini dapat
mempengaruhi kualitas hidup pasien dan meningkatkan biaya perawatan.
Salah satu studi yang dilakukan di Amerika Serikat menemukan bahwa
pasien dengan gagal nafas memerlukan biaya yang lebih tinggi
dibandingkan pasien tanpa gagal nafas. Rata-rata biaya perawatan pasien
dengan gagal nafas di rumah sakit sekitar $10.749, sedangkan biaya rata-
rata pasien tanpa gagal nafas hanya sekitar $6.269 (Wang et al., 2019).
Gagal nafas dapat menyebabkan berbagai komplikasi pada pasien, terutama
jika tidak segera ditangani dengan tepat. Beberapa komplikasi yang dapat
terjadi akibat gagal nafas antara lain:1). asidosis respiratorik dimana terjadi
peningkatan kadar asam dalam darah karena pengumpulan karbon dioksida
yang tidak terbuang dari paru-paru, 2). Infeksi saluran napas: Pasien dengan
gagal nafas dapat lebih rentan terkena infeksi saluran napas, terutama jika
mereka membutuhkan ventilasi mekanik atau perawatan di ICU,
3)..Pneumonia nosokomial: Infeksi paru-paru yang terjadi di rumah sakit
dan berkaitan dengan perawatan kesehatan, terutama pada pasien yang
menggunakan ventilator mekanik (Vincent, J.L. & Slutsky, A.S, 2010).
Berdasarkan data diatas, penulis tertarik untuk membuat makalah
dengan judul ”Asuhan Keperawatan pada Pasien Tn. AR dengan Gagal
Napas Tipe 2 (Hypercapnic) di Ruang Intensive Cardiovascular Care Unit
(ICVCU) Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita
Jakarta.”

3
1.2 TUJUAN STUDI KASUS

1.2.1 Tujuan Umum


Mampu melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan gagal
napas.
1.2.2 Tujuan Khusus
1.2.2.1 Mampu memahami konsep dasar anatomi fisiologi sistem
pernafasan
1.2.2.2 Mampu memahami gagal nafas dan management
penanganannya
1.2.2.3 Mampu memahami asuhan keperawatan tentang gagal nafas

1.3 MANFAAT

1.3.1 Manfaat bagi pelayanan keperawatan


Makalah ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi teman sejawat
untuk memberikan asuhan keperawatan bagi pasien gagal napas
1.3.2 Manfaat bagi Pendidikan keperawatan
Makalah ini diharapkan dapat menjadi bahan referensi untuk dijadikan
panduan pembuatan kurikulum asuhan keperawatan pasien dengan
gagal napas sehingga akan meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan peserta didik dalam memberikan asuhan keperawatan
dengan pasien gagal napas
1.3.3 Manfaat bagi perkembangan riset keperawatan
Makalah ini diharapkan dapat digunakan sebagai rujukan untuk
menemukan ide dan gagasan riset keperawatan yang berhubungan
dengan pasien gagal napas.
1.3.4 Manfaat bagi profesi keperawatan
Makalah ini diharapkan dapat digunakan untuk menambahkan bahan
informasi, referensi dan pengetahuan keperawatan dalam melakukan
asuhan keperawatan sehingga mampu mengoptimalkan pelayanan

4
asuhan keperawatan terutama dengan masalah gagal napas.

5
BAB 2
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Anatomi dan fisiologi sistem pernafasan


Sistem pernafasan menyediakan oksigen untuk kebutuhan metabolisme sel dan
menghilangkan karbondioksida (metabolisme CO. Gangguan dan penyakit
pernapasan biasa terjadi, mulai dari yang ringan sampai yang mengancam jiwa.
Gangguan yang mengganggu pernafasan, produk sisa dari sel ataupun
kemampuan memperoleh oksigen yang cukup, sangat mempengaruhi pernapasan
dan status kesehatan secara keseluruhan.

Gambar 1: Anatomi Sistem Pernafasan


Sistem pernapasan terdiri dari saluran napas atas dan saluran napas bawah. Saluran
napas atas terdiri dari rongga hidung, faring dan laring, sedangkan saluran napas
bawah terdiri dari trakea, bronkus dan bronkiolus (Black & Hawks, 2014).

6
a. Hidung
Hidung terdiri atas bagian internal dan eksternal. Bagian eksternal menonjol dari
wajah dan disanggah oleh tulang dan kartilago. Nares anterior (lubang hidung)
merupakan ostium sebelah luar dari rongga hidung kanan dan kiri oleh pembagi
vertikal yang sempit yang disebut septum. Rongga hidung dilapisi dengan membran
mukosa yang sangat banyak mengandung vaskular yang disebut mukosa hidung.
Lendir disekresi secara terus menerus oleh sel-sel goblet yang melapisi permukaan
mukosa hidung dan bergerak ke nasofaring oleh gerakan silia. Hidung berfungsi
sebagai saluran untuk udara mengalir ke dan dari paru-paru. Ketika udara masuk ke
rongga hidung, udara tersebut disaring oleh bulu-bulu hidung dan dilembabkan oleh
selaput mukosa lendir. Hidung bertanggung jawab terhadap olfaktori (penghidu)
karena reseptor olfaktori terletak dalam mukosa hidung.
b. Faring
Faring/tenggorokan adalah suatu struktur tuba yang menghubungkan hidung dan
rongga mulut ke laring. Merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan
dan jalan makanan, terdapat di bawah dasar tengkorak di belakang rongga hidung.
Faring berhubungan ke atas dengan rongga hidung dan ke depan dengan rongga
mulut. Faring terdiri dari nasofaring, orofaring dan laringofaring. Nasofaring terletak
di posterior hidung dan di atas palatum mole.
c. Laring
Laring adalah struktur epitel kartilago yang menghubungkan faring dan trakea. Fungsi
utama laring adalah memungkinkan terjadinya vokalisasi dan melindungi jalan napas
bagian bawah dari obstruksi benda asing. Laring sering disebut sebagai kotak suara
dan terletak di anterior esofagus atas (Black & Hawks, 2014).
d. Trakea
Trakea atau batang tenggorok adalah suatu jalan napas muskular dan fleksibel dengan
panjang 12 cm dengan cincin kartilago berbentuk huruf C (Black & Hawks, 2014).
Trakea dilapisi oleh selaput lendir yang terdiri atas epitelium bersilia, dengan
gerakan silia maka debu yang masuk ke saluran pernapasan dapat dikeluarkan.
Trakea memanjang dari laring sampai kira-kira ketinggian vertebra torakalis ke-7
dan di tempat ini bercabang menjadi dua bronkus. Tempat dimana trakea bercabang
menjadi bronkus utama kiri dan kanan disebut karina.
e. Bronkus dan bronkiolus
Bronkus terbentuk dari belahan trakea. Bronkus kanan lebih pendek dari bronkus kiri

7
dan lebih besar daripada yang kiri. Pada bronkiolus (bronkus yang bercabang lebih
kecil) tidak terdapat cincin dan pada ujung bronkiolus terdapat gelembung paru atau
alveoli. Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronkus
lobaris dan bronkus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi bronkus
yang ukurannya semakin kecil, yang menjadi bronkiolus terminalis yaitu saluran
udara terkecil yang tidak mengandung alveoli (kantung udara). Bronkiolus
terminalis disebut saluran penghantar udara ke tempat pertukaran gas paru-paru.
f. Paru dan alveoli
Paru terletak di dalam rongga toraks pada kedua sisi jantung, berbentuk kerucut
dengan apeks terletak di atas rusuk pertama dan basal paru terletak pada diafragma
(Black & Hawks, 2014). Paru-paru mempunyai permukaan luar yang menyentuh iga
(pleura visceral) dan permukaan yang menyentuh paru-paru (pleura parietal) antara
kedua pleura terdapat ruangan yang mengandung cairan berfungsi melicinkan
permukaan dan memungkinkan keduanya bergeser dengan bebas selama ventilasi.
Mediastinum adalah dinding yang membagi rongga toraks menjadi dua bagian. Paru
kanan dibagi menjadi 3 lobus yaitu lobus superior, medius dan inferior, dan paru kiri
menjadi 2 lobus yaitu superior dan inferior.Paru terbentuk oleh sekitar 300 juta
alveoli dan berfungsi sebagai tempat pertukaran O2 dan CO2. Terdapat tiga jenis sel-
sel alveolar:
● Sel-sel alveolar tipe I adalah sel epitel yang membentuk dinding alveolar.
● Sel-sel alveolar tipe II adalah sel-sel yang aktif secara metabolik, mensekresi
surfaktan, suatu fosfolipid yang melapisi permukaan dalam dan mencegah
alveolar agar tidak kolaps.
● Sel alveolus tipe III adalah makrofag yang merupakan sel-sel fagositosis yang
besar yang memakan benda asing (misalnya: lendir, bakteri) dan bekerja sebagai
mekanisme pertahanan yang penting.

Paru-paru mempunyai dua sumber suplai darah yaitu arteri bronkialis yang berasal
dari aorta thorakalis berjalan sepanjang dinding posterior bronkiolus dan arteri
pulmonalis dari ventrikel kanan ke paru-paru.
Tiga proses yang berhubungan dengan pernapasan:
● Ventilasi: adalah udara bergerak masuk dan keluar paru-paru. Karena ada selisih
antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik dari otot-otot.

8
● Difusi: adalah proses dimana terjadi pertukaran O2 dan CO2 pada tempat
pertemuan udara dan darah. Membran alveolar kapiler merupakan tempat yang
ideal untuk difusi karena membran ini mempunyai permukaan yang luas dan
tipis.
● Perfusi: pengisian kapiler pulmonal dengan darah, perfusi pulmonal adalah
aliran darah aktual melalui sirkulasi pulmonal. Darah dipompakan ke paru-paru
oleh ventrikel kanan melalui arteri pulmonal. Arteri pulmonal terbagi menjadi
cabang kanan dan kiri untuk mensuplai kedua paru normalnya sekitar 2%.

Mekanisme ventilasi perfusi adalah pemindahan gas secara efektif antara alveolus dan
kapiler paru-paru yang membutuhkan distribusi merata dari udara dalam paru-paru
dan perfusi (aliran darah) dalam kapiler. Mekanisme ventilasi disebut dengan istilah
volume paru dan kapasitas paru. Volume paru dibagi menjadi volume tidal (500 ml),
volume cadangan inspirasi (3000 ml), volume cadangan ekspirasi (1100 ml) dan
volume residu (1200 ml) dan ruang rugi pernapasan dimana tidak terjadi pertukaran
gas 150 ml (Black & Hawks, 2014).

Paru merupakan sepasang organ yang berada di dalam rongga toraks. Paru
memiliki area permukaan alveolar kurang lebih seluas 40 m2 untuk pertukaran udara
(Tortora & Derrickson, 2014). Tiap paru memiliki apeks yang mencapai ujung
sternal kosta pertama, permukaan costovertebral yang melapisi dinding dada, basis
yang terletak di atas diafragma dan permukaan mediastinal yang menempel dan
membentuk struktur mediastinal di sebelahnya. Paru kanan terbagi menjadi lobus
atas, tengah, dan bawah oleh fissura obliqus dan horizontal. Paru kiri hanya memiliki
fissura obliqus sehingga tidak ada lobus tengah.Setiap paru diselubungi oleh kantung
pleura berdinding ganda yang membrannya melapisi bagian dalam toraks dan
menyelubungi permukaan luar paru.
Bronkus dibagi menjadi beberapa divisi dalam setiap lobus paru-paru. Bronkus
terbagi menjadi bronkus lobaris, bronkus segmental dan bronkus subsegmental
(Tortora & Derrickson, 2014). Terdapat tiga bronkus lobaris pada paru-paru kanan
dan dua bronkus lobaris pada paru-paru kiri. Bronkus lobaris dibagi menjadi bronkus
segmental. Terdapat sepuluh bronkus segmental pada paru-paru kanan dan delapan

9
bronkus lobaris pada paru-paru kiri. Bronkus segmental dibagi menjadi bronkus
subsegmental. Bronkus segmental kemudian membentuk percabangan menjadi
bronkiolus.
Bronkiolus mengandung kelenjar submukosa, yang memproduksi lendir
berbentuk selimut tidak terputus untuk lapisan bagian dalam jalan napas. Bronkiolus
dilapisi oleh sel-sel yang permukaannya dilapisi oleh “rambut” pendek yang disebut
“silia” berfungsi mengeluarkan lendir dan benda asing menjauhi paru menuju laring
(Tortora & Derrickson, 2014). Bronkiolus bercabang menjadi bronkiolus terminalis,
yang tidak mempunyai kelenjar lendir dan silia. Bronkiolus terminalis menjadi
bronkiolus respiratory, yaitu saluran transisional antara jalan udara konduksi dan
jalan udara pertukaran gas. Bronkiolus respiratory kemudian mengarah pada duktus
alveolar dan sakus alveolar kemudian alveolus.

10
Gambar 2: Proses Aliran masuk Oksigen

Individu memiliki alveolus sekitar tiga puluh juta di dalam tubuhnya. Di dalam
alveolus terjadi pertukaran O2 dan CO2. Terdapat 2 jenis sel alveolar. Sel alveolar
tipe satu (pneumosit skuamosa) adalah sel epitel yang membentuk dinding alveolar.
Sel alveolar tipe dua (pneumosit kuboid) adalah sel-sel yang aktif secara metabolik
mensekresi surfaktan, yaitu zat yang diperlukan untuk menurunkan besarnya tenaga
permukaan cairan pada dinding alveolus, suatu fosfolipid yang melapisi permukaan
dalam dan mencegah alveolus agar tidak kolaps. Selain kedua sel alveolar, di dalam
alveolus juga terdapat makrofag, yang merupakan sel-sel fagositis yang berukuran
besar yang memakan benda asing dan bekerja sebagai mekanisme pertahanan yang
penting (Tortora & Derrickson, 2014).

ransport CO2 ke alveolus berhubungan langsung dengan kecepatan aliran masuk


udara (ventilasi) dan komposisi gas yang dihirup (tekanan parsial O 2 pada udara
inspirasi;FIO2). Pada umumnya, tekanan O2 alveolar (PAO2) meningkat dengan
peningkatan tekanan O2 inspirasi dan peningkatan ventilasi. Ekstraksi O2 dari
alveolus ditentukan oleh saturasi, kualitas dan kuantitas haemoglobin darah yang
memperfusi alveoli. Saturasi O2 pada haemoglobin dalam pembuluh darah kapiler
paru dipengaruhi oleh pasokan O2 ke jaringan (Cardiac output) dan ekstraksi O2
oleh jaringan (metabolism).

11
Gambar 3. Proses terjadinya pertukaran gas di alveoli

Udara atmosfer yang bertekanan 1 atm (760mmHg) mengandung oksigen


20,93%, sehingga fraksi oksigen udara inspirasi (FiO2) sebesar 20,93% x
760mmHg=159mmHg. Udara inspirasi tersebut akan mengalami humidifikasi
(dilembabkan) di dalam rongga hidung sehingga udara tersebut mengandung
uap air dengan tekanan parsial uap air sebesar 47mmHg, sehingga tekanan
parsial O2 di dalam paru menjadi (760-47)x20,93%=149mmHg. Tekanan parsial
O2 dalam alveolus jauh lebih rendah dari udara inspirasi, karena dalam
perjalanan udara inspirasi ke alveolus sebagian O2 diserap dan diganti oleh CO2,
sehingga ketika mencapai alveolus, tekanan parsial O 2 hilang sepertiganya dan
yang tersisa hanya 100mmHg.

Proses difusi paru adalah proses pasif, sehingga tidak membutuhkan energi
maupun oksigen. Tekanan parsial O2 alveolus (PaO2)=100mmHg, sedangkan
PO2 dalam kapiler paru adalah 40mmHg. Perbedaan tekanan sebanyak
60mmHg menyebabkan kecepatan difusi cukup tinggi untuk mendifusikan O2
melalui membran ke dalam darah yang mengalir cukup cepat pula, sehingga
PaO2 mencapai 97.

Kapasitas difusi O2 adalah jumlah O2 yang mampu menembus membran


alveoli permenit per mmHg yang merupakan selisih PO2 antara alveolus dan
darah kapiler paru. Kapasitas difusi normal pada saat istirahat kira-kira
20ml/menit/mmHg. Pada saat bekerja bias mencapai 65ml atau lebih.

Tekanan parsial CO2 ( PCO2) darah vena adalah 46 mmHg, sedangkan


PCO2 udara alveolus adalah 40mmHg. Jadi perbedaan tekanannya hanya
6mmHg saja, namun demikian CO2 bisa berdifusi dengan mudah karena
kapasitas difusi CO2 jauh lebih besar dari O2.

Sirkulasi paru dimulai dari pembuluh trunkus pulmonalis yang menerima


darah vena dari ventrikuler kanan, kemudian bercabang secara dikotom sesuai
dengan cabang-cabang saluran nafas sampai bronkiolus terminalis dan mulai
bercabang banyak seperti jaringan meliputi dinding alveolus dengan susunan
yang sangat tepat untuk pertukaran gas.

12
Darah yang sudah teroksigenasi disalurkan oleh vena pulmonalis yang
berjalan diantara lobulus-lobulus dan bergabung menjadi vena pulmonalis ke
atrium kiri jantung. Secara absolut jumlah darah yang beredar di dalam paru
pada orang dewasa sebanyak lebih kurang 900ml. aliran darah nutrisi untuk
jaringan paru berasal dari arteria bronkialis, kemudian darah vena kembali ke
jantung melalui dua lintasan yaitu mengikuti aliran darah pulmonalis ke jantung
kiri dan aliran vena azygos ke vena kava inferior selanjutnya ke jantung kanan

2.2 Konsep dasar gagal nafas


a. Pengertian
Gagal napas adalah kondisi klinis yang terjadi ketika sistem pernapasan gagal
mempertahankan fungsi utamanya, yaitu pertukaran gas, di mana PaO2 lebih
rendah dari 60 mmHg dan/atau PaCO2 lebih tinggi dari 50 mmHg. (Shebl, Eman
& Burns, Bracken 2021)
Gagal napas juga bisa diartikan sebagai sindrom kegagalan pertukaran gas karena
tidak berfungsinya salah satu atau beberapa komponen pernapasan meliputi
dinding dada, kepatenan jalan napas, alveolar, sirkulasi pulmonal, dan sistem
neurologi. (Modul PKKvTD 2023).
Gagal nafas adalah suatu kegawatan ketidakmampuan system pernafasan
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh serta mengeluarkan
karbondioksida. (Modul PKKvTD 2023).
Berdasarkan deskripsi definisi mengenai gagal napas tersebut, dapat
disimpulkan bahwa gagal napas adalah kondisi kritis akibat kegagalan sistem
respirasi dalam melakukan fungsi pertukaran gas, memasukkan oksigen dan
mengeluarkan karbondioksida, yang ditandai nilai PaO2 < 60 mmHg dan atau
nilai PaCO2 > 50 mmHg.

b. Etiologi
Etiologi Gagal napas diakibatkan dari paru atau ekstra paru, menurut Shebl, Eman
& Burns, Bracken (2021), yang meliputi :
1. Disfungsi sistem saraf pusat:
a. Overdosis narkoba atau obat penenang
Pada beberapa kasus, gagal napas terjadi karena pemakaian secara berlebih

13
alias overdosis obat-obatan dan minuman beralkohol. Hal ini bisa
memengaruhi area otak yang bertugas mengontrol pernapasan. otak tidak
dapat mendeteksi tingginya kadar karbon dioksida dalam darah sehingga
karbon dioksida akan terus meninggi dan memicu gagal napas
b. Lesi batang otak
Lesi Batang Otak mempengaruhi kinerja medulla oblongata yang mengatur
pernapasan.
2. Disfungsi sistem saraf tepi:
a. Myasthenia gravis
Myasthenia gravis (MG) merupakan penyakit autoimun kronis yang
dimediasi oleh antibodi terhadap acetylcholin receptor (AChR) pada
membran postsynaptic dari otot saraf. Hilangnya AChR menyebabkan
transmisi berkurang dari impuls saraf dan penurunan depolarisasi otot
(McCance & Huether, 2019). Penurunan jumlah AChR pada MG
mengakibatkan kelemahan pada otot rangka yang berhubungan dengan
pernapasan sehingga kelemahan otot pernapasan akan mengakibatkan gagal
napas. (Listia dkk, 2020)
b. Guillain-Barre Syndrome (GBS)
Pada pasien GBS ditemukan adanya gambaran efusi pleura. Efusi pleura
terjadi karena meningkatnya produksi atau berkurangnya absorpsi cairan
pleura. Efusi pleura merupakan manifestasi dari banyak penyakit. Ada dua
tipe penyebab utama dari efusi pleura yaitu efusi pleuara transudatif dan
eksudatif. Efusi pleura transudatif disebabkan peningkatan tekanan
hidrostatik atau berkurangnya tekanan onkotik kapiler sedangkan efusi
pleura eksudatif disebabkan oleh proses lokal yang menyebabkan
perubahan pada pembentukan dan penyerapan cairan. Hipoalbuminemia
merupakan salah satu penyebab terjadinya efusi pleura transudatif. Albumin
diketahui memiliki banyak fungsi salah satunya menjaga tekanan onkotik,
sehingga bila terjadi hipoalbuminemia akan menyebabkan penurunan
tekanan onkotik.
Hipoalbuminemia bisa menunjukkan adanya peningkatan status inflamasi
pada pasien, terutama pada pasien dengan penggunaan ventilasi mekanik
jangka panjang. Hipoalbuminemia pada pasien GBS disebabkan karena
adanya infeksi, sehingga dapat mengakibatkan efusi pleura. Adanya efusi

14
pleura semakin memperberat kondisi pasien GBS sehingga dapat
mengakibatkan terjadinya gagal napas. (Jodjana & Adja, 2021)

3. Disfungsi saluran napas:


a. Saluran napas bagian atas seperti epiglotis akut, tumor pada trakea
b. Saluran napas bagian bawah seperti asma, COPD dan cystic fibrosis
4. Disfungsi alveolar:
a. Edema paru
Jantung memompa darah ke seluruh tubuh dari ventrikel kiri, darah yang
dipompa merupakan darah yang mengandung banyak oksigen. Oedema paru
akibat gangguan jantung umumnya terjadi karena ventrikel kiri tidak mampu
memompa darah keluar jantung secara maksimal, akibatnya darah tertinggal
di ventrikel kiri dan terjadi peningkatan tekanan. Sehingga membuat darah
dari paru-paru sulit masuk ke jantung, akibatnya darah menyumbat pada
pembuluh darah paru yang mengakibatkan sebagian cairan dari pembuluh
darah akan terdorong keluar dan masuk ke dalam alveolus.
b. Pneumonia
Mikroorganisme pada pneumonia mengeluarkan toksin dan memicu reaksi
inflamasi dan mensekresikan mucus. Mucus membuat area permukaan
alveolar yang kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinue menurun,
membuat terganggunya difusi O2 dan eliminasi CO2
c. Perdarahan paru
Perdarahan paru adalah kondisi ketika terdapat akumulasi atau penumpukan
darah pada pleura cavity. Kondisi ini terjadi ketika seseorang mengalami
cedera dada seperti robeknya tulang rusuk atau terbentur benda keras akibat
kecelakaan. Penumpukan darah di rongga pleura mengakibatkan terjadinya
peningkatan tekanan pada paru-paru sehingga kerja paru terhambat dan
menunjukkan gejala gangguan pernapasan yang bervariasi.
5. Disfungsi sirkulasi paru :
a. Emboli paru akut
Emboli paru terjadi ketika satu atau lebih gelembung udara masuk ke vena
atau arteri, sehingga mengakibatkan penyumbatan. Emboli paru ini dapat
menyebar ke otak, jantung, atau paru-paru dan menyebabkan serangan
jantung, stroke, atau gagal napas.

15
b. Hipertensi pulmonal
Hipertensi pulmonal adalah tekanan darah tinggi yang secara spesifik terjadi
pada pembuluh darah arteri di paru-paru. Hipertensi pulmonal seringkali
terjadi pada orang yang menderita gangguan di jantung atau paru-paru.
Kondisi ini dapat terjadi dengan sendirinya atau dikarenakan penyebab lain.
Hipertensi pulmonal umumnya ditandai dengan napas pendek selama
beraktifitas, mudah lelah, dan hilang nafsu makan. Hipertensi pulmonal
terjadi ketika arteri di paru-paru dan pembuluh kapiler paru menyempit,
tersumbat atau rusak. Akibatnya tekanan pada paru meningkat dan otot
jantung melemah yang memicu berbagai komplikasi seperti gagal jantung,
aritmia, atau perdarahan pada paru-paru yang mengakibatkan gagal napas.

c. Klasifikasi Gagal Napas


Klasifikasi gagal napas berdasarkan pemeriksaan hasil AGD dibagi 3 tipe:
1. Gagal napas tipe 1 (Hipoksemia)
Gagal napas tipe 1 (hipoksemik) memiliki PaO2 < 60 mmHg dengan PaCO2
normal atau subnormal. Pada tipe ini, pertukaran gas terganggu pada tingkat
membran kapiler-aveolar. Contoh kegagalan pernapasan tipe I adalah edema
paru karsinogenik atau non-kardiogenik dan pneumonia berat. (Shebl, Eman &
Burns, Bracken (2021))
2. Gagal napas tipe 2 (Hiperkapneu)
Gagal napas tipe 2 (hiperkapnia) memiliki PaCO2 > 50 mmHg. Hipoksemia
sering terjadi, dan ini disebabkan oleh kegagalan pompa pernapasan. (Shebl,
Eman & Burns, Bracken (2021))

Klasifikasi gagal napas berdasarkan lama terjadinya :


1. Gagal napas akut
Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul pada pasien yang memiliki
structural dan fungsional paru yang normal sebelum awitan penyakit muncul.
Gagal napas akut terjadi dalam hitungan menit hingga jam, yang ditandai
dengan perubahan hasil analisa gas darah yang mengancam jiwa. Terjadi
peningkatan kadar PaCO2.
2. Gagal napas kronik
Gagal napas kronik terjadi dalam beberapa hari. Biasanya terjadi pada pasien

16
dengan penyakit paru kronik, seperti bronkhitis kronik dan emfisema. Pasien
akan mengalami toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk
secara bertahap (Shebl, Eman & Burns, Bracken (2021)).

d. Patofisiologi
Gagal nafas pada umumnya disebabkan oleh kegagalan ventilasi yang ditandai
dengan retensi CO2, disertai dengan penurunan pH yang abnormal, penurunan
PaO2, dengan nilai perbedaan tekanan O2 di alveoli-arteri meningkat atau normal.

Kegagalan ventilasi dapat disebabkan oleh hipoventilasi karena kelainan


ektrapulmoner dan ketidakseimbangan V/Q yang berat pada kelainan
intrapulmoner atau terjadi kedua-duanya secara bersamaan. Hiperkapnia yang
terjadi karena kelainan ektrapulmoner disebabkan karena terjadinya penurunan
aliran udara antara atmosfer dengan paru tanpa kelainan pertukaran gas di
parenkim paru. Dengan demikian akan didapatkan peningkatan PaCO 2,
penurunan PaO2, dan nilai (A-a) DO2 normal. Kegagalan ventilasi pada penderita
penyakit paru terjadi sebagai berikut : sebagian alveoli mengalami penurunan
ventilasi relatif terhadap perfusi, sedangkan sebagian lagi terjadi peningkatan
ventilasi relative terhadap perfusi. Awalnya daerah dengan ventilasi rendah dapat
dikompesasi dengan daerah terventilai tinggi sehingga tidak terjadi peningkatan
PaCO2. Tetapi apabila ketidakseimbangan ventilasi ini sudah semakin beratnya
maka mekanisme kompensasi tersebut gagal sehingga terjadi kegagalan ventilasi
yang ditandai oleh peningkatan PaCO2, penurunan PaO2, dengan peningkatan (A-
a) DO2 yang bermakna.

Pada gagal nafas tipe hipoksemia, PaCO2 adalah normal atau menurun, PaO2
adalah menurun dan peningkatan (A-a) DO2. Gagal nafas tipe ini terjadi pada
kelainan pulmoner dan ektrapulmoner. Mekanisme terjadinya hipoksemia terjadi
akibat ketidakseimbangan ventilasi-perfusi dan pintasan darah kanan-kiri,
sedangkan gangguan difusi dapat merupakan gangguan penyerta.
Gagal napas tipe I ditandai dengan adanya hipoksia jaringan yang secara klinik hasil
analisa gas darah didapatkan PaO2 <60 mmHg disertai dengan PaCO2 yang
normal ataupun tidak normal. Gagal napas tipe I merupakan gagal napas yang
sering terjadi akibat adanya gangguan sirkulasi jantung ataupun adanya masalah
diparu itu sendiri. Misalnya pada kasus Acute Lung Oedema (ALO), kelainan
jantung bawaan serta beberapa penyakit paru akut seperti pneumonia dan ARDS.

17
Gagal napas tipe 2 didapatkan klinis adanya hiperkapnik PaCO2 tinggi
(PaCO2 >50mmHg) yang diakibatkan kegagalan ventilasi paru yang diakibatkan
complain paru yang tidak adekuat karena otot-otot pernapasan lemah, daya
complain paru menurun serta adanya gangguan di pusat pernapasan dan sistem
neurologi pernapasan. Contoh gagal napas tipe II ditemukan pada pasien PPOK,
myasthenia grafis, serta beberapa pasien yang mengalami gangguan neurologi
seperti stroke, trauma kepala berat serta pada pasien dengan obat-obatan anti
depresan.
Mekanisme terjadinya gagal napas (Modul PKKvTD, 2020) dibedakan
menjadi 4 yaitu :
1. Shunting ( Perfusi tanpa ventilasi )
Ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi dimana tidak terjadi ventilasi di
alveoli disebabkan adanya cairan atau pus atau kolapsnya alveoli karena
infeksi paru sehingga darah yang melewati alveoli tidak teroksigenisasi dan
berakibat hipoksemia pada saat dilakukan pemeriksaan analisa gas darah.
Penyebab shunting antara lain elsemenger syndrome, pneumonia, ALO, kolaps
paru, kontusio paru.
2. Dead Space Ventilation ( ventilasi tanpa perfusi )
Kondisi dimana terjadinya ventilasi tetapi tidak diikuti oleh perfusi yang baik
sehingga pertukaran oksigen di alveoli dan kapiler paru tidak terjadi secara
normal, yang berakibat hipoksemia pada saat dilakukan pemeriksaan analisa
gas darah. Hal ini terjadi karena penurunan kardiak output yang disebabkan
masalah jantung ataupun vasodilatasi pembuluh darah.
3. Difusi Abnormal
Disebabkan adanya ketidaknormalan membran alveolar atau pengurangan
jumlah alveoli yang menyebabkan pengurangan surface area, sehingga terjadi
penurunan komplain paru dan pertukaran gas di alveoli dan kapiler paru.
4. Hipoventilasi Alveolar
Terjadi akibat penurunan pressure gradient antara gas di alveoli dan tekanan
gas di kapiler darah sehingga akan menurunkan pertukaran gas baik O2
maupun CO2. Yang ditandai dengan peningkatan PaCO2 dan penurunan
PaO2 dalam darah.

18
e. Manifestasi Klinik
Gagal napas pada banyak kasus sering disertai dengan demam, batuk,
mengeluarkan dahak dan sesak napas (Rohmah, 2020). Manifestasi klinik gagal
nafas menurut (Shebl, Eman & Burns, Bracken 2021) diantaranya:
1. Dyspnea
Pada awal tahapan gagal napas, gejala yang dominan terlihat adalah sesak napas.
Sesak napas ini terjadi akibat rendahnya kadar oksigen
2. Perubahan status mental; bingung, cemas, mudah mengantuk
3. Sianosis
Sianosis dapat ditemukan pada kulit dan membran mukosa.
4. Takikardia
Kompensasi tubuh untuk mengambil dan mengalirkan oksigen dalam tubuh.
5. Aritmia
Gagal napas dapat memicu kelainan irama detak jantung (aritmia) akibat
kekurangan oksigen pada jantung
6. Penurunan kesadaran
Hiperkapnia memiliki efek utama pada sistem saraf pusat. PaCO2 meningkat,
pasien mengalami tahapan lesu, pingsan dan akhirnya koma (CO2 narkosis).
7. Sakit Kepala
Peningkatan CO2 dalam sel otak menyebabkan peningkatan tekanan intracranial
sehingga menyebabkan sakit kepala

f. Komplikasi
Komplikasi dari kegagalan pernapasan dapat diakibatkan dari gangguan gas darah
atau dari terapeutik itu sendiri, adapun komplikasi gagal napas pada :
1. Paru-paru: emboli paru, jaringan parut irreversibel pada paru-paru,
pneumotoraks, dan ketergantungan pada ventilator.
2. Jantung: gagal jantung aritmia, henti jantung, dan infark miokard akut.
3. Neurologis: periode hipoksia otak yang berkepanjangan dapat menyebabkan
kerusakan otak yang ireversibel dan kematian otak.
4. Ginjal: gagal ginjal akut dapat terjadi karena hipoperfusi dan/atau obat

19
nefrotoksik.
5. Gastro-intestinal: stress ulcer, ileus, dan perdarahan.
6. Nutrisi : malnutrisi, diare hipoglikemia, gangguan elektrolit.
7. Infeksi: sepsis adalah penyebab kematian paling umum pada pasien dengan
gagal napas.
8. Kematian sering disebabkan oleh kegagalan multi organ (Shebl, Eman & Burns,
Bracken (2021).

g. Pemeriksaan Diagnostik Gagal Nafas

1. Laboratorium
Pemeriksaan Analisa Gas Darah harus dilakukan untuk memastikan diagnosis.
Interpretasi hasil analisa gas darah meliputi 2 bagian, yaitu gangguan
keseimbangan asam-basa dan perubahan oksigenasi jaringan. Pemeriksaan
Complete Blood Count, Enzim jantung, Kultur darah dan sputum untuk
memastikan adanya infeksi pada paru-paru. Pemeriksaan kadar kreatinin serum
dan troponin 1 dapat membedakan infark miokard dengan gagal napas, kadar
kreatinin serum yang meningkat dengan kadar troponin 1 yang yang normal
menunjukkan terjadinya miositosis yang dapat menyebabkan gagal napas
(Syarani, Fajrinur, 2017)
2. X-Ray
Foto thorak dilakukan untuk menilai adanya gambaran abnormal paru berupa
gambaran edema paru, pneumonia, ARDS dan penyakit lain. Penting dilakukan
untuk membedakan penyebab terjadinya gagal napas. (Modul Diklat PPkvTD
2023).
3. Elektrokardiografi
Elektrokardiografi dilakukan untuk menilai ada tidak Acute Coronary Syndrom
serta untuk menilai adanya aritmia jantung yang berpengaruh terhadap pompa
jantung yang pada akhirnya menurunkan perfusi oksigen ke jaringan (Modul
Diklat PPkvTD 2023)
4. Echokardiografi
Ekokardiografi menilai fungsi ventrikel kanan, ventrikel kiri, dan tekanan arteri
pulmoner dengan tepat untuk pasien dengan gagal napas hiperkapnik kronik
(Modul Diklat PPkvTD 2023)
5. Bronchoscopy

20
Bronchoscopy untuk mendapatkan gambaran masalah di paru-paru. (Modul
Diklat PPkvTD 2023)

h. Penatalaksanaan Gagal Napas


Penanganan pada gagal napas secara umum adalah menjaga kepatenan jalan napas,
memberikan oksigenasi yang cukup serta menjaga sirkulasi yang cukup. Hal ini
untuk menjamin masuknya oksigen dan mampu terjadinya pertukaran gas di alveoli
dan membuang karbondioksida pada saat ekspirasi.
Penanganan gagal nafas secara spesifik adalah menangani penyebab masalah
pernafasan yang menjadi dasar utama terjadinya gagal napas itu yaitu :
1. Infeksi
Pemberian antibiotic baik secara empiric maupun defenitif mutlak diperlukan
untuk mengatasi infeksi, pemberian therapy untuk membebaskan jalan nafas
seperti bronkodilator dan obat anti inflamasi
2. Meningkatkan fungsi kardiovaskular
Sebagian besar gagal nafas diakibatkan karena fungsi kardiovaskuler yang tidak
adekuat sehingga meyakinkan fungsi sirkulasi yang adekuat harus dilakukan
dengan beberapa cara yaitu pemberian diuretic, vasodilator, inotropik, morphin,
serta pemberian support tekanan positif untuk pernafasan. Sebagai contoh
pasien dengan ACS yang terjadi komplikasi menjadi acut lung edema maka
pasien harus dilakukan revaskularisasu dan support sirkulasi sehingga masalh
utama terjadi gagal nafas dapat teratasi dengan baik.
3. Ventilasi mekanik
Alat bantu nafas baik non invasif atau invasif ventilator dibutuhkan untuk
mensupport fungsi pernapasan dengan tujuan untuk memberikan oksigen yang
cukup yang disertai penggunaan PEEP yang sesuai kebutuhan sehingga dapat
mengatasi hipoksemia pada pasien. Pemberian bantuan respirasi serta tidal
volume yang sesuai dengan berat badan pasien sehingga didapatkan volume
semenit yang cukup diberikan untuk mengoreksi gangguan ventilasi sehingga
pasien yang mengalami hiperkapnik dapat teratasi. Memberikan terapi
menurunkan kerja jantung dan meningkatkan kerja jantung harus dilakukan
dengan meyakinkan penurunan preload, afterload, dan menurunkan kebutuhab
metabolic sehingga optimalisasi fungsi jantung dapat tercapai.

21
Prinsip penatalaksanaan gagal napas adalah:
1. Memberikan oksigenasi untuk mengatasi hipoksemia dengan terapi oksigen
baik dengan invasive atau non-invasive ventilator.
2. Mengontrol karbondioksida (PCO2) untuk mengatasi asidosis respiratorik
3. Memberikan support sirkulasi yang optimal
4. Penanganan terhadap penyebab dasar gagal napas.
Adapun dukungan integratif dan pengelolaan gagal napas akut sebagai berikut:

Bagan SEQ Bagan \* ARABIC 2 –


Dukungan integratif dan pengelolaan gagal napas akut
(Scala & Heunks, 2018)
4. Terapi Oksigen Hidung Aliran Tinggi
a. Tingkatkan terapi oksigen dengan menggunakan alat HFNC (High Flow Nasal
Cannula) jika tidak terjadi perbaikan klinis dalam 1 jam atau terjadi
perburukan klinis.
b. Inisiasi terapi oksigen dengan alat HFNC; flow 30 L/menit, FiO2 40% sesuai
dengan kenyamanan pasien dan dapat mempertahankan target SpO2 92 -96%
c. Titrasi flow secara bertahap 5 – 10 L/menit, diikuti peningkatan fraksi oksigen,
jika: frekuensi nafas masih tinggi (>35x/menit),target SpO2 belum tercapai (92
– 96%) Work of breathing yang masih meningkat (dyspnea, otot bantu napas
aktif)
d. Kombinasi Awake Prone Position + HFNC selama 2 jam 2 kali sehari dapat

22
memperbaiki oksigenasi dan mengurangi kebutuhan akan intubasi pada ARDS
ringan hingga sedang.
e. Evaluasi pemberian HFNC setiap 1 - 2 jam dengan menggunakan indeks ROX.
f. Jika pasien mengalami perbaikan dan mencapai kriteria ventilasi aman (indeks
ROX >4.88) pada jam ke-2, 6, dan 12 menandakan bahwa pasien tidak
membutuhkan ventilasi invasif, sementara ROX <3.85 menandakan risiko
tinggi untuk kebutuhan intubasi.
g. Jika pada evaluasi (1–2 jam pertama), parameter keberhasilan terapi oksigen
dengan HFNC tidak tercapai atau terjadi perburukan klinis pada pasien,
pertimbangkan untuk menggunakan metode ventilasi invasif atau trial NIV.
h. De-eskalasi bertahap pada penyapihan dengan perangkat HFNC, dimulai
dengan menurunkan FiO2 5- 10%/1-2 jam hingga mencapai fraksi 30%,
selanjutnya flow secara bertahap 5-10 L/1-2 jam) hingga mencapai 25 L.
Pertimbangkan untuk menggunakan terapi oksigen konvensional ketika flow
25 L/menit dan FiO2 < 30%.

Indeks ROX = (SpO2 / FiO2) / laju


napas

4.Ventilasi Non-Invasif
Alat bantu napas baik Non-invasif atau invasive ventilator dibutuhkan untuk
mendukung fungsi pernapasan dengan tujuan untuk memberikan oksigen yang
cukup disertai penggunaan PEEP (Positive End Expiratory Pressure) yang sesuai
kebutuhan sehingga dapat mengatasi hipoksemia pada pasien. Pemberian bantuan
respirasi serta tidal volume yang sesuai dengan berat badan pasien sehingga
didapatkan volume semenit yang cukup diberikan untuk mengoreksi gangguan
ventilasi sehingga pasien yang mengalami hiperkapnik dapat teratasi.
Memberikan terapi untuk menurunkan kerja jantung dan meningkatkan kerja
jantung harus dilakukan dengan meyakinkan penurunan preload, afterload, dan
menurunkan kebutuhan metabolik sehingga optimalisasi fungsi jantung dapat
tercapai.
a. Trial NIV (Non-Invasif Ventilation) selama 1-2 jam
sebagai bagian dari transisi terapi oksigen
b. Inisiasi terapi oksigen dengan menggunakan NIV:
mode NIV + PSV, tekanan inspirasi 12-14 cmH2O,

23
PEEP 6-12 cmH2O, FiO2 40-60%.
c. Titrasi tekanan inspirasi untuk mencapai target volume tidal 6-8 ml/Kg; jika
pada inisiasi penggunaan NIV, dibutuhkan total tekanan inspirasi >20 cmH2O
untuk mencapai tidal volume yg ditargetkan.
d. Titrasi PEEP dan FiO2 untuk mempertahankan target SpO2 92-96%.
e. Evaluasi penggunaan NIV dalam 1-2 jam dengan target parameter;
● Subjektif: keluhan dyspnea mengalami perbaikan, pasien tidak gelisah
● Fisiologis: laju pernapasan <30x/menit. Work of breathing menurun,
stabilitas hemodniamik
● Objektif: SpO2 92-96%, pH >7,25, PaCO2; 30 – 55mmHg, PaO2 >60
mmHg, rasio PF > 200, TV 6-8 ml/kgBB.
● Pada kasus ARDS berat, gagal organ ganda dan syok disarankan untuk
segera melakukan ventilasi invasif.
● Jika pada evaluasi (1–2 jam pertama), parameter keberhasilan dengan NIV
tidak tercapai atau terjadi perburukan klinis pada pasien, lakukan metode
ventilasi invasif.
● Kombinasi Awake Prone Position + NIV 2 jam 2 kali sehari dapat
memperbaiki oksigenasi dan mengurangi kebutuhan akan intubasi pada
ARDS ringan hingga sedang.

5. Ventilasi Invasif
a. Menetapkan target volume tidal yang rendah (4-8 ml/kgBB), plateau pressure
<30 cmH2O dan driving pressure <15 cmH2O. RR: 18 – 25 x/menit,
b. Pada ARDS sedang – berat diterapkan protokol Higher PEEP, dengan
pemantauan terjadinya barotrauma pada penggunaan PEEP >10 cmH2O.
c. Pada ARDS sedang – berat yang mengalami hipoksemia refrakter (meski
parameter ventilasi optimal), dilakukan ventilasi pada posisi prone selama
12-16 jam per hari
d. Pada ARDS sedang – berat yang mengalami kondisi; dis- sinkroni antar
pasien dan ventilator yang persisten, plateau pressure yang tinggi secara
persisten dan ventilasi pada posisi prone yang membutuhkan sedasi yang
dalam, pemberian pelumpuh otot secara kontinyu selama 48 jam dapat
dipertimbangkan.
e. Penerapan strategi terapi cairan konservatif pada kondisi ARDS

24
f. Penggunaan mode Airway Pressure Release Ventilation dapat
dipertimbangkan pada pemakaian ventilator. Khusus penggunaan mode
APRV ini harus di bawah pengawasan intensivis atau dokter spesialis
anestesi.

6. ECMO (Extra Corporeal Membrane Oxygenation)


Indikasi ECMO :
❖ PaO2/FiO2 <60mmHg selama >6 jam
❖ PaO2/FiO2 <50mmHg selama >3 jam
❖ pH <7,20 + Pa CO2 >80mmHg selama >6 jam
Kontraindikasi relatif :
❖ Usia ≥ 65 tahun
❖ Obesitas BMI ≥ 40
❖ Status imunokompromis
❖ Tidak ada ijin informed consent yang sah.
❖ Penyakit gagal jantung sistolik kronik
❖ Terdapat penyebab yang berpotensi reversibel (edema paru, sumbatan mucus
bronkus, abdominal compartment syndrome)
Kontraindikasi absolut :
❖ Clinical Frailty Scale Kategori ≥ 3
❖ Ventilasi mekanik > 10 hari
❖ Adanya penyakit komorbid yang bermakna :
⮚ Gagal ginjal kronik stage III
⮚ Sirosis hepatis
⮚ Demensia
⮚ Penyakit neurologis kronis yang tidak memungkinkan rehabilitasi.
⮚ Keganasan metastase
⮚ Penyakit paru tahap akhir
⮚ Diabetes tidak terkontrol dengan disfungsi organ kronik
⮚ Penyakit vaskular perifer berat
❖ Gagal organ multipel berat
❖ Injuri neurologik akut berat.
❖ Perdarahan tidak terkontrol.

25
❖ Kontraindikasi pemakaian antikoagulan.
❖ Dalam proses Resusitasi Jantung Paru.
❖ Komplikasi berat sering terjadi pada terapi ECMO, seperti perdarahan,
stroke, pneumonia, septikemi gangguan metabolik hingga mati otak.

(Scala & Heunks, 2018; PJNHK, 2019; Kemenkes, 2021

Sesak Hipoksemia, SpO2 <93%, (FiO2 21%), PaO2/FiO2 <300


napas mmHg
1. Apakah kondisi sedang memburuk
progresif?2. Apakah diyakini akan O2 Nasal Kanul s/d
memburuk? TIDAK NRM.Target SpO2 92-
YA SpO2
96%Titrasi dan Evaluasi
<92% per 1 jam
1. Compos Mentis, komunikasi lancar
dan2. RR <30/menit, dan3. HFNC 30-60 LPM atau
SpO2>90%, dan4. Tidak syok NIVFiO2 40-100%dan Posisi
YA
telungkupTitrasi dan Evaluasi
dalam 1 jam

Lanjutkah EVALUASI, apakah:1. Penurunan


TIDAK HFNC/NIVevaluasi kesadaran, atau2. RR> 30/menit,
per 2jam atau3. SpO2 <92%( <95% bila
komorbid),4. Peningkatan kerja otot
TIDAK bantu nafas, atau5. Nadi >120/
menit, atau6. ROX indeks <3,85
(pada HFNC)

YA

INTUBASI → VENTILATOR
PaO2/FiO2 <60 mmHg
selama>6jamPaO2/FiO2 <50 mmHg Pertimbangkan ECMO bila tidak
selama>3jampH<7,2 dan PaCO2 adan kontraindikasi dan faskes
>80 mmHg >6 jam memadai

* Keterangan : Bila HFNC tidak tersedia saat diindikasikan, maka pasien langsung diintubasi
dan mendapatkan ventilasi mekanik invasif

26
Bagan SEQ Bagan \* ARABIC 3
Alur penentuan alat bantu napas mekanik (Kemenkes, 2021)

Hiperkapnia
PaCO2 >50 mmHg

Moderat Severe
SpO2: 88-92% Tanda klinis:
pH: 7.25-7.35 Hipotensi atau Shock
Coma
pH <7.25

HFNC NIV:
FiO2 for SpO2 88-92% Non Invasif Invasif Mecanic
Flow: 50L/min Ventilation Ventilation

Improvement: Failure:
progressive withdrawal of HFNC Increasing dyspnea and breathing effort
conventional oxigen therapi any of the severity criteria

NIV: Invasif Mecanic


Non Invasif Ventilation Ventilation

Bagan SEQ Bagan \* ARABIC 4 - Protokol Gagal Napas Hiperkapnia (Yuste et al, 2019)

27
2.3. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
A. Riwayat
1) Persepsi terhadap kesehatan
a) Demografi
b) Kaji usia dan jenis kelamin
2) Riwayat kesehatan
a) Keluhan utama
b) Riwayat kesehatan dahulu: riwayat infeksi bakteri/ virus pada paru,
keganasan, penyakit jantung, ginjal, dan hati
c) Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat keganasan
3) Data fokus (Doenges, Moorhouse, & Geissler, 2010; Smeltzer et al., 2010)
• Aktivitas/istirahat
Gejala: kelemahan/ kelelahan
Tanda: penurunan toleransi terhadap aktivitas
• Sirkulasi
Gejala: riwayat adanya penyakit jantung
Tanda: takikardi, hipertensi/ hipotensi
•Integritas ego
Tanda: banyak stresor, ketakutan
•Makanan/ cairan
Gejala: riwayat penurunan BB
Tanda: adanya pemasangan IV vena sentral/ infus
•Nyeri/kenyamanan
Gejala tergantung ukuran/area terlibat: nyeri yang diperberat saat inspirasi
dalam
Tanda: berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi

28
• Pernapasan
Gejala: kesulitan bernapas, batuk, riwayat bedah dada/trauma, riwayat infeksi
bakteri/ virus sistem pernapasan.
Tanda: terdapat sputum, pucat/sianosis, takipnea, penggunaan otot aksesori
pernapasan pada dada, retraksi interkostal, bunyi napas menurun dan fremitus
menurun (pada sisi terlibat), bunyi pekak di area terisi cairan saat perkusi,
gerakan dada tidak sama (paradoksik) bila trauma, serta penurunan
pengembangan
• Eliminasi
Gejala: riwayat penyakit ginjal atau hati
Tanda: asites, edema, perubahan pola berkemih
• Keamanan
Gejala: riwayat gangguan imun, penggunaan obat (kemoterapi, steroid),
demam, diaforesis, menggigil.
B. Pemeriksaan fisik (Lewis et al., 2014; Nurarif & Kusuma, 2015)
1) Inspeksi: perubahan pola napas (takipnea) dan penggunaan otot bantu
aksesori
2) Palpasi: ekspansi dada tidak simetris dan perubahan taktil fremitus
(getaran yang ditransmisikan berkurang atau tidak teraba dari
bronkopulmonalis ke dinding dada)
3) Perkusi: 87bunyi dullness (pekak) jika ada karsinoma paru maupun
penebalan pleura atau stony-dull (redup) jika terdapat akumulasi cairan di
rongga pleura
4) Auskultasi: perubahan suara napas (suara napas pokok dapat berkurang
atau bahkan absen maupun egofoni) disertai suara napas tambahan berupa
crackles/ ronki basah.

2. Diagnosa keperawatan (SDKI,SIKI, & SLKI)


Diagnosa yang dapat muncul pada pasien dengan gagal napas, diantaranya
adalah:
● Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan spasme
jalan napas, hipersekresi jalan napas, disfungsi neuromuskular,
benda asing dalam jalan napas, adanya jalan napas buatan, sekresi
yang tertahan, hiperplasia dinding jalan napas, proses infeksi,
respon alergi, efek agen farmakologis (mis. Anastesi)

29
● Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi, perubahan membran alveolus-kapiler.
● Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan irama
jantung, perubahan frekuensi jantung, perubahan kontraktilitas,
perubahan preload, perubahan afterload.
● Pola napas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat
perrnapasan, hambatan upaya napas, deformitas dinding dada ,
deformitas tulang dada, gangguan neuro muskular, gangguan
neurologis, imaturitas neurologis, penurunan energi, obesitas, posisi
tubuh yang menghambat ekspansi paru, sindrom hipoventilasi,
kerusakan inervasi diafragma (kerusakan C5 keatas), efek agen
farmakologis, kecemasan.
● Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen, tirah baring, kelemahan, imobilitas,
gaya hidup monoton.
● Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan hiperglikemia,
penurunan konsentrasi hemoglobin, peningkatan tekanan darah,
kekurangan volume cairan, penurunan aliran arteri dan/atau vena,
kurang terpapar informasi tentang faktor pemberat (mis.
merokok, gaya hidup monoton, trauma, obesitas, asupan garam,
imobilitas), kurang terpapar informasi tentang proses penyakit (mis.
Diabetes Mellitus, Hiperlipidemia), kurang aktivitas fisik

3. Rencana keperawatan

NO. DIAGNOSA LUARAN INTERVENSI


(SDKI) (SLKI) (SIKI)
1. Bersihan jalan Bersihan jalan napas Manajemen jalan
napas tidak efektif (L.01001) Ekspektasi : napas (I.01011)
(D.0001) meningkat Kriteria hasil : Observasi :
berhubungan 1. Batuk efektif 1 1. Monitor pola napas
dengan (menurun) s/d 5 (frekuesi,
1. spasme jalan napas (meningkat) kedalaman, dan
2. hipersekresi jalan 2. Produksi sputum 1 usah napas)
napas (meningkat) s/d 5 2. Monitor bunyi napas

30
3. disfungsi (menurun) tambahan
neuromuscular 3. Wheezing 1 (meningkat) 3. Monitor sputum
4. benda asing s/d 5 (menurun) (jumlah, warna,
dalam jalan napas 4. Dispsneu 1 (memburuk) aroma)
5. adanya jalan napas s/d 5 (membaik) Terapeutik :
buatan 5. Sianosis 1 (memburuk) 4. Pertahankan kepatenan
6. sekresi yang s/d 5 (membaik) jalan napas dengan
tertahan 6. Gelisah 1 (memburuk) head-tilt dan chin lift
7. hiperplasia s/d 5 (membaik) (jaw- trust jika curiga
dinding jalan 7. Frekuensi napas 1 trauma servikal)
napas (memburuk) s/d 5 5. Posisikan semi fowler
8. proses infeksi (membaik) atau fowler
9. respon alergi 8. Polan napas 1 6. Berikan minum hangat
10. efek agen (memburuk) s/d 5 7. Lakukan fisiotherapi
farmakologis (mis. (membaik) dada, jika perlu
Anastesi) 8. Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15
detik
9. Lakukan
hiperoksigenisasi
sebelum penghisapan
endotrakheal
10. Keluarkan penghisapan
benda padat dengan
forcep McGill
11. Berikan oksigen bila
perlu
Edukasi :
12. Anjurkan asupan cairan
2000 ml/hari jika tidak
ada kontraindikasi atau
sesuai kebutuhan
(5ml/kgBB/jam)
13. Ajarkan teknik batuk

31
efektif
Kolaborasi :
Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik jika perlu
Pemantauan respirasi
(I.01014) Observasi :
14. Monitor frekuensi, irama,
kedalaman dan upaya
napas
15. Monitor pola napas
(seperti bradipneu,
takipnea, hiperventilasi,
kussmaul, cheyne-
stokes, biot, ataksik)
16. Monitor kemampuan
batuk efektif
17. Monitor adanya produksi
sputum
18. Monitor adanya
sumbatan jalan napas
19. Auskultasi bunyi
napas
20. Monitor saturasi oksigen
21. Monitor nilai AGD
22. Monitor hasil X-ray
toraks
Terapeutik :
23. Atur interval
pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
24. Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi :

32
25. Jelaskan tujuan
dan prosedur
pemantauan
26. Informasikan hasil
pemantauan jika perlu
Latihan batuk efektif
(I.01006) Observasi :
27. Identifikasi kemampuan
batuk
28. Monitor adanya sputum
29. Monitor tanda dan
gejala infeksi saluran
napas
30. Monitor input dan
output cairan (mis.
Jumlah dan
karaketristik)
Terpeutik :
31. Atur posisi semi fowler
atau fowler
32. Pasang perlak dan
bengkok di
pangkuan pasien
33. Buang sekret pada pot
sputum
Edukasi :
34. Jelaskan tujuan dan
prosedur batuk efektif
35. Anjurkan tarik napas
dalam melalui hidung
selama 4 detik, ditahan
selama 2 detik kemudian
keluarkan dari mulut
dengan bibir mencucu

33
( dibulatkan) selama 8
detik
36. Anjurkan mengulangi
tarik napas dalam hingga
3 kali
37. Anjurkan batuk dengan
kuat langsung setelah
tarik napas yang ke- 3
Kolaboorasi :
38. Kolaborasi pemberian
mukolitik atau
ekspektoran, jika perlu
2. Gangguan Pertukaran gas Pemantauan respirasi
pertukaran gas (L.01003) Ekspektasi (I.01014) Observasi :
(D.0003) : Meningkat Kriteria 1. Monitor frekuensi, irama,
berhubungan dengan : hasil : kedalaman dan upaya
1. Ketidak 1. Tingkat kesadaran 1 napas
seimbangan (menurun) s/d 5 2. Monitor pola napas
ventilasi-perfusi (meningkat) (seperti bradipneu,
2. Perubahan 2. Dispnea 1 (meningkat) takipnea, hiperventilasi,
membran s/d 5 (menurun) kussmaul, cheyne-stokes,
alveolus-kapiler. 3. Bunyi napas tambahan biot, ataksik)
1 (meningkat) s/d 5 3. Monitor kemampuan
(menurun) batuk efektif
4. Pusing 1 (meningkat) 4. Monitor adanya produksi
s/d 5 (menurun) sputum
5. Penglihatan kabur 1 5. Monitor adanya sumbatan
(meningkat) s/d 5 jalan napas
(menurun) 6. Palpasi kesimetrisan
6. Diaforesis1 (meningkat) ekspansi paru
s/d 5 (menurun) 7. Auskultasi bunyi napas
7. Gelisah 1 (meningkat) 8. Monitor saturasi oksigen
s/d 5 (menurun) 9. Monitor nilai AGD
8. Napas cuping hidung 1 10. Monitor hasil X-ray

34
(meningkat) s/d 5 toraks
(menurun) Terapeutik :
9. PCO2 1 (memburuk) 11. Atur interval pemantauan
s/d 5 (membaik) respirasi sesuai kondisi
10. PO2 1 (memburuk) s/d pasien
5 (membaik) 12. Dokumentasikan hasil
11. Takikardi 1 (memburuk) pemantauan
s/d 5 (membaik) Edukasi :
12. pH arteri 1 (memburuk) 13. Jelaskan tujuan dan
s/d 5 (membaik) prosedur pemantauan
13. Sianosis 1 (memburuk) 14. Informasikan hasil
s/d 5 (membaik) pemantauan jika Perlu
14. Pola napas 1
(memburuk) s/d 5
(membaik)
15. Warna kulit 1
(memburuk) s/d 5
(membaik)
3. Resiko Curah jantung perawatan
Penurunan (L.02008) Ekspektasi jantung akut
curah jantung : meningkat kriteria (I.02076)
(D.0008) hasil : Observasi :
berhubungan 1. Kekuatan nadi perifer 1 1. Identifikasi karakteristik
dengan : (menurun) s/d 5 nyeri dada
1. Perubahan (meningkat) 2. Monitor EKG 12 lead
irama jantung 2. Ejection Fraction (EF) 3. Monitor aritmia
2. Perubahan (menurun) s/d 5 4. Monitor elektrolit
frekuensi (meningkat) 5. Monitor enzim jantung
jantung 3. Palpitasi 1 (meningkat) 6. Monitor saturasi O2
3. Perubahan s/d 5 (menurun) 7. Identifikasi stratafikasi
kontraktilit 4. Bradikardia 1 pada skor TIMI,kilip,
as (meningkat) s/d 5 crusade
4. Perubahan preload (menurun) Terapeutik :
5. Perubahan afterload 5. Tachikardia 1 8. Pertahankan tirah baring

35
(meningkat) s/d 5 minimal 12 jam
(menurun) 9. Berikan terapi relaksasi
6. Gambaran EKG aritmia untuk mengurangi stress
1 (meningkat) s/d 5 10. Sediakan lingkungan
(menurun) yang kondusif untuk
7. Lelah 1 (meningkat) s/d 5 istirahat dan pemulihan
Edukasi :
11. Anjurkan segera
melaporkan nyeri dada
12. Anjurkan menghindari
maneuver valsava
(mengedan saat BAB atau
batuk)
13. Ajarkan tehnik
menurunkan kecemasan
dan ketakutan
14. Jelaskan tindakan yang
dijalani pasien
Kolaborasi :
15. Kolaborasi pemberian
antiangina
16. Kolaborasi pemberian
inotropik, jika perlu
17. Kolaborasi pemberian
antiplatelet, jika perlu
18. Kolaborasi pemberian
morfin, jika perlu
19. Kolaborasi pemberian
antikoagulan jika perlu
Pemantauan tanda vital
(I.02060) Observasi :
20. Monitor tekanan darah
21. Monitor nadi (frekuensi,
kekuatan, irama)

36
22. Monitor pernafasan
(frekuensi, kedalaman)
23. Monitor suhu tubuh
24. Monitor oksimetri nadi
25. Monitor tekanan nadi
(selisih TDS
dan TDD)
Terapeutik :
26. Atur interval pemantauan
sesuai kondisi pasien
27. Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi :
28. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
29. Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu
perawatan jantung
(I.02075)
Observasi :
29. Identifikasi tanda/gejala
primer penurunan curah
jantung (dispnea,
kelelahan,
edema,ortopnea,
paroxysmal nocturnal
dyspnea, peningkatan
CVP)
30. Identifikasitanda/
gejalasekunder penurunan
curah jantung
(peningkatan berat badan,
hepatomegali, distensi
vena jugularis,palpitasi,

37
ronchi basah,oliguri,
batuk, kulit pucat)
31. Monitor intake-output
Terapeutik :
30. Posisikan pasien
semifowler
31. Berikan diet jantung yang
sesuai
32. Berikan terapi relaksasi
untuk mengurangi stress
33. Berikan dukungan
emosional dan spiritual
34. Berikan oksigen untuk
mempertahankan saturasi
oksigen > 94%
Edukasi :
35. Anjurkan beraktifitas
fisik sesuai toleransi
36. Anjurkan beraktifitas
secara bertahap
Kolaborasi :
37. Kolaborasi pemberian
antiaritmia

4. Pola napas tidak Pola napas Manajemen jalan napas


efektif (D.0005) (L.01004) (I.01011)
berhubungan Ekspektasi : Observasi :
dengan: membaik 1. Monitor pola
1. Depresi Kriteria hasil : napas (frekuesi,
pusat 1. Ventilasi semenit 1 kedalaman, dan
perrnapa (menurun) s/d 5 usah napas)
san (meningkat) 2. Monitor bunyi napas
2. Hambatan upaya 2. Kapassitas vital 1 tambahan

38
napas, deformitas (menurun) s/d 5 3. Monitor sputum
dinding dada (meningkat) (jumlah, warna,
3. Deformitas 3. Diameter thoraks aroma)
tulang dada, anterior- posterior 1 Terapeutik :
gangguan neuro (menurun) s/d 5 4. Pertahankan
muskular (meningkat) kepatenan jalan napas
4. Gangguan 4. Tekanan ekspirasi 1 dengan head-tilt dan
neurologis (menurun) s/d 5 chin lift (jaw- trust
5. imaturitas (meningkat) jika curiga trauma
neurologis 5. Tekanan inspirasi 1 servikal)
6. Penurunan energi (menurun) s/d 5 5. Posisikan semi fowler
7. Obesitas, posisi (meningkat) atau fowler
tubuh yang 6. Dispnea 1 6. Berikan minum hangat
menghambat (meningkat) s/d 5 7. Lakukan
ekspansi paru (menurun) fisiotherapi dada,
8. Sindrom 7. Pengguanaan otot jika perlu
hipoventilasi, bantu napas 1 8. Lakukan penghisapan
kerusakan (meningkat) s/d 5 lendir kurang dari 15
inervasi (menurun) detik
diafragma 8. Pemanjangan fase1 9. Lakukan
(kerusakan C5 (meningkat) s/d 5 hiperoksigenisasi
keatas) (menurun) ekspirasi sebelum penghisapan
9. Efek agen 9. Orthopneu1 endotrakheal
farmakologis (meningkat) s/d 5 10. Keluarkan
10. Kecemasan. (menurun) penghisapan benda
10. Pernapasan pursed- padat dengan forcep
tip 1 (meningkat) s/d McGill
5 (menurun) 11. Berikan oksigen bila
11. Pernapasan cuping perlu
hidung 1 (meningkat) Edukasi :
s/d 5 (menurun) 12. Anjurkan asupan
12. Frekuensi napas 1 cairan 2000
(memburuk) s/d 5 ml/hari
(membaik) 13. Ajarkan teknik batuk

39
efektif
Kolaborasi :
14. Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik
jika perlu

40
Patoflow Gagal Napas

BAB 3
LAPORAN KASUS

Pengkajian
a. Identitas pasien :
b. Nama : Tn. AR
Usia : 44 tahun
BB / TB : 55 Kg / I65 cm
IMT : 20,2 kg/M2
Tanggal Lahir : 07-12-1979
Suku Bangsa :-
Tanggal Masuk : Emergency & Ambulance (17-04-2023)
ICVCU (23-04-2023 Jam 11:50)
Tanggal Pengkajian : 2-05-2023
Diagnosis Medis : Gagal Nafas tipe II, PPOK, RHF pada PDA-PH, Sepsis ec HAP
AF RVR CHADSVASc 2, TR Severe, PR Moderate-Severe
MR Mild, AR Mid-moderate.

Riwayat penyakit sekarang:


❖ Keluhan utama : pasien masih terintubasi dengan mode Ventilator SIMV 10 + PS 12
Pasien masuk IGD Rumah Sakit Jantung Harapan Kita pada tanggal 17-04-2023
dengan keluhan sesak nafas memberat sejak 3 hari SMRS, tidur dalam kondisi duduk,
pasien sudah 1 bulan ini tidak mengkonsumsi obat-obatan.
❖ Saat di IGD kesadaran CM , TTV : TD 125/80 mmhg, HR: 120x/menit, RR :
24x/Menit, WOB (+), spo2 88% room air.
❖ Diagnosis utama saat di IGD adalah ADHF w/w PDA-PH dan diagnosis sekunder

41
TR mild, selanjutnya pasien dirawat di ruangan IWM 2pada tanggal 18-04-23
dikarenakan kondisi hemodinamik masih stabil dan memerlukan perawatan lanjutan.
❖ Pada tanggal 24-04-2023 pasien di pindahkan ke ruangan ICVCU dengan diagnosis
medis utama Asidosis respiratorik (C02 trapping) dan dengan alasan pasien
mengeluh sesak nafas dan cenderung mengantuk. TTV : TD : 100/80 mmHg, HR:
109-130x/menit, sp02 93 % NK 3 lpm>>>95% NRM 10 lpm. h
❖ Hsil AGDA: PH: 7,33, Pc02: 77, P02 96, HC03: 41,5, as.laktat 1,2.
❖ Riwayat penyakit sebelumnya :
Pasien memiliki riwayat kebiasaan merokok sejak berusia 15 tahun dan pasien sudah
mengetahui penyakit jantung bawaannya sejak kecil, namun tidak rutin melakukan
pengobatan dikarenakan keterbatasan biaya.
Pada tahun 2019 pasien sudah terdiagnosis penyakit : CHF fc II-ec TR severe ec PDA
thrombus di Vena saphena junction bilateral ,PPOK, V.popliteal kiri, AF NVR,
pasien rutin kontrol ke poliklinik dan mendapatkan pengobatan per oral.
sepanjang mulai tahun 2023 pasien terdiagnosis penyakit: PDA TR Mild, PH, AF
NVR. Riwayat Keluarga
Pasien merupakan anak ke-6 dari 7 bersaudara dan tidak ada anggota keluarga lainya
yang menderita penyakit yang sama dengan pasien. Pasien memiliki 3 oarang anak
dan tidak memiliki riwayat keluhan yang sama dengan pasien.
❖ Riwayat pengobatan
Notisil tab 2 mg
Ramipril tab 5 mg
spironolactone tab 100 mg
furosemide tab 40 mg
sildenafil 50 mg

c. Terapi
1. Fentanyl drip 500 micro dalam 50 Nacl 0,9% ;25 micro/jam >> jalan 2,5 cc /jam
2. Aminophylin 240 mg dalam 50 ml; 0,3 mg/kgbb/jam (jalan 3,4 cc/jam)
3. Pantoprazole 80 mg / 50 ml ; 8 mg/jam
4. Insulin drip 50 iu/50 ml nacl 0.9% stby off
5. Paracetamol 100 mg
6. Captopril 37,5 mg / 8 jam
7. combivent Inhalasi 1 tube / 6 jam

42
8. digoxine 0,25 mg / 24 jam
9. fluconazole 400 mg/24 jam
10. fluimucil inhalasi 1 tube / 8 jam
11. furosemide 20 mg/ 8 jam
12. levofoxacine 750 mg / 24 jam
13. meropenem 1 gr / 12 jam
14. methyprednisolone 40 mg/ 8 jam
15. metoclopramide 10 mg / 8 jam
16. NAC 200 mg/8 jam
17. Notisil 1 mg / 24 jam
18. pantoprazole 40 mg drip / 8 jam
19. paracetamol 1 gr/ 8 jam
20. revatio 37,5 mg/8 jam
21. spironolactone 25 mg/24 jam
22. sucralfat syr / 6 jam
23. budesma inhaler / 12 jam

d. Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum : sakit sedang
b) Kesadaran : CM
c) GCS :(E4M6VX)
d) Berat Badan : 55 kg
e) Tinggi Badan : 165cm
f) Tanda-tanda Vital
TD : 140/82 mmHg (MAP: 92)
HR : 112 x/menit
RR : 34 x/menit
SpO2 : 92%
Suhu : 36, 5ºC

g) Kepala dan Leher


Kepala
Inspeksi: normochepal, tidak ada lesi, tidak ada eodem, kebersihan rambut dan kulit
kepala baik.

43
Palpasi: tidak ada benjolan, kulit kering
Wajah
Inspeksi: Wajah simetris
Palpasi: kulit kering

Mata
Inspeksi: kedua mata simetris kiri dan kanan tidak tampak massa dan lesi, konjungtiva
anemis, sklera tidak ikterik, Bola mata dapat bergerak mengikuti pergerakan tangan,
tidak menggunakan alat bantu penglihatan.

Mulut
Inspeksi: bibir simetris kanan dan kiri, sianosis tidak ada, pucat, mukosa bibir kering.

Hidung

Inspeksi: hidung tepat ditengah, kondisi kedua lubang hidung simetris antara kanan dan
kiri, tampak bersih, terdapat cuping hidung dan terpasang NGT

Palpasi: Tidak ada nyeri tekan pada sinus, tidak ada dislokasi tulang hidung

Leher
Inspeksi: Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada peningkatan distensi vena
jugularis
Palpasi: tidak ada nyeri tekan
Integumen

Inspeksi: kulit tampak bersih, kulit berwarna sawo matang

Palpasi: Kulit kering, turgor kulit sedang dan akral teraba hangat.

(h) Thorax
Jantung
Inspeksi
Bentuk dada normal, simetris kanan kiri, tampak ictus cordis

Palpasi
Ictus cordis teraba di ICS 5 Midclavicula sinistra
Perkusi Suara jantung terdengar pekak.

44
Auskultasi

bunyi jantung S1 dan S2 terdapat bunyi jantung tambahan gallop dan mur-mur
Pernapasan
Inspeksi
Pola napas pasien cepat, pergerakan dada tampak meningkat, bentuk dada
normochest, penggunaan otot bantu napas, pasien terpasang ventilator mode
SIMV, RR 34x/menit, batuk tidak adekuat, adanya sputum yang kental dan
berwarna kekuningan
Palpasi
Tidak ada krepitasi

Perkusi
Paru terdengar sonor Auskultasi

Terdengar ronchi dibasal paru+/+, Wheezing tidak ada

o) Abdomen

Inspeksi
Asites (-), Distensi abdomen (-), tidak terdapat luka operasi
Auskultasi
bising usus 10 kali/menit
Palpasi
Nyeri tekan tidak ada, tidak teraba massa
Perkus
timpani

p) Ekstremitas

Terpasang akses vena dalam pada vena femoralis kiri dengan


cairan infus NaCl 0,9% 30 ml/jam. Akral dingin, turgor kulit
baik, edema di kedua ekstremitas bawah, pulsasi arteri perifer
+/+ teraba kuat, CRT ≤2 detik.

q) Genitalia
Genitalia tampak bersih dan tidak ada kelainan, pasien terpasang

45
kateter silicon No.16 fr

e. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium tgl 2/05/2023
Nama Pemeriksaan Hasil Referensi

Hemoglobin 12,6 g/dL 13,0–16,6gr/dl


Hematokrit 40,8 % 41,3 – 52,1 %
Eritrosit 4.50 juta/L 4,29- 5,70 juta/ul
Leukosit 12.970 uL 3.500 – 8150 uL
Trombosit 241 rb/uL 152 – 359 rb/uL
Albumin 3,65
Bil direct 1,9
Bil Indirect 1,7
As. Laktat 1,1

HASIL AGDA
PH 7,4
P02 83
PC02 57,8
HC03 36
BE 10
SP02 96%
HEMOSTASIS
INR 2,65 0.90 – 1.36
FUNGSI GINJAL
Ureum 53 mg/dL 17,40-49,20 mg/dL

46
Kreatinin 0,64 mg/dL 0.67 – 1.17 mg/dL
eGFR 120 > 60
ELEKTROLIT
Natrium 133 mmol/L 136-145 mmol/L
Kalium 3.9 mmol/L 3,5 -5,1mmol/L
Klorida 93 mmol/L 98-107 mmol/L

INFEKSI/
INFLAMASI
Swab Nasofaring Negatif Negatif
HBsAg Non Reaktif Non Reaktif
Anti HCV Non Reaktif Non Reaktif
CRP
PCT
Kultur
sputum(23/04/23) Isolate 3:
streptococcus,
pseudoporcinus
Sensitif
levofloxacine,
vancomycin,
tygecil
KOH Jamur sputum Ditemukan hifa
Kultur darah negatif

47
Chest X Ray tgl 2/05/2023

Kesan:
● CTR 80%, all chamber dilatation, PA Prominent, cardiac waist (-), Inverted comma
sign susah di evaluasi
● Mediastinum tidak melebar
● Trachea berada di tengah,
● Hilus normal
● Corakan bronkovaskuler meningkat
● Tampak infiltrate, kesan infiltrat di lobus kiri paru
● Diafragma kiri tidak bisa di evaluasi
● Tulang-tulang normal

Kesan : cardiomegaly dengan tanda2 PH

ECHO

48
MAP 79
HR 126
IVC 25/20 eRAP 15 LVOT VT 17
SV 50 CO 6.3 SVR 812
EF 60% TAPSE 13-14 mm
PCWP 16
mPAP 35
PDA 0.9 cm L-R shunt
Efusi perikard superior RA 1,28-1,7 cm Apikal LV minimal, Lateral LV 1,8-2 cm
inferior LV 2,3-3,2 tanpa tanda tamponade
MR mid AR mid-moderate, PR mod-severe, TR severe
LV SEC (+)
LUS : Bines ++ / ++, efusi pleura 1,4 cm

EKG

Kesan EKG :

49
Irama ireguler dengan hr120,qrs sempit, p tidak jelas pada semua lead,terdapat q patologis
pada v1,v2.
Kesan : AF RVR disertai dengan q patologis pada v1 dan v2

f. Analisa data

N Tgl / Jam Data Etiologi Masalah


o keperawatan
2/05/2023 DS : Pasien terintubasi (re-intubasi
1 hari ke-4) PDA Gangguan
Pkl 15.30 DO : pertukaran gas
1. Kes : CM, GCS E4VettM6 cuff Vena pulmonalis

25 mmHg batas 22 cm pressure ↑

Mode venti SIMV 10 + PS 12


Fi02/RR : 40 % / 17 Tekanan hidrostatik
Kapiler paru ↑
PEEP : 5
2. TTV:
TD: 128/ 61 mmhg Tekanan onkotik ↑
N: 88 x/menit
RR : 17x/menit
T: 36,5 C Transudasi cairan

3. Hasil AGDA
PH : 7,4 Edema paru
P02 : 83
PC02: 57,8
HC03 36 Perubahan membrane

BE 10 alveolus-

Spo2 96% kapiler

4. Hasil X-Ray : cardiomegaly


dengan tanda2 PH Mengganggu proses
pertukaran gas CO2

50
dan O2

2 02/05/2023 DS : Pasien terintubasi Gangguan pertukaran Bersihan Jalan


DO : gas Nafas tidak
Pkl 15.30 1. Kes : CM, GCS E4VettM6 efektif
Mode ventiSIMV 10 + PS 12
2. Produksi sputum encer CO2 trapping
3. Warna sputum merah dengan
jumlah sedang dan kental
kekuningan Hiperkapnea
4. RR 17 x/mnt
5. SPO2 96 %
7. Laringospasme post ekstubasi Gagal nafas tipe II

Ventilasi mekanik

Infeksi

VAP

Respon
imun/inflamasi

Hipersekresi secret

51
DS : Pasien terintubasi Riwayat PPOK
3 02/05/202 DO : Gangguan
3 1. Kes : CM, GCS Ventilasi
E4VettM6 CO2 trapping spontan
Mode ventiSIMV 10
+ PS 12
3. Warna sputum merah PCO2 ↑>50
dengan jumlah sedang dan kental
kekuningan
4. RR 17 x/mnt Gagal nafas tipe II
5. SPO2 96 %
7. Laringospasme post
ekstubasi
8. AGDA
PH : 7,4
P02 : 83
PC02: 57,8
HC03 36
BE 10
Spo2 96%

52
DS : Pasien terintubasi Gagal nafas tipe II Resiko infeksi
4 DO :
1. Kes : CM, GCS
E4VettM6 Ventilasi mekanik
Mode ventiSIMV 10
+ PS 12
On venti hari ke-4 Pemantauan ruangan
2. Warna sputum merah dengan intensif
jumlah sedang dan kental
kekuningan.
3. Terpasang Vena central di Terpasang alat-alat
femoralis, DC Cath (+) invasive
4. Medikasi meropenem 2 x1 gram
5. Leukosit 12.970 uL
6. Methyprednisolone 40 mg/ 8 jam tirah baring lama

Resiko infeksi

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan Ventilasi spontan berhubungan dengan retensi CO2 (D.00004)
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan Perubahan membrane alveolus-
kapiler (D.0003)
3. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan Hipersekresi jalan napas dan
spasme jalan nafas
(D. 0001)

53
4. Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasive (D.0142)

g. Rencana Asuhan Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Perencanaan


Keperawatan Kriteria hasil

1. Gangguan Ventilasi Setelah dilakukan Dukungan Ventilasi (I.01002)


spontan berhubungan intervensi selama 3 x Observasi
dengan Perubahan 24 jam maka ● Identifikasi adanya kelelahan
membrane alveolus- Ventilasi Spontan otot bantu napas
kapiler (D.00004) (L.01007) ● Identifikasi efek perubahan
diibuktikan dengan: meningkat, dengan posisi terhadap status
● Dispnea kriteria hasil: pernapasan
● Penggunaan otot ● Dispnea ● Monitor status respirasi dan
bantu napas menurun oksigenasi (mis. Frekuensi dan
● PCO2 57,8 ● Penggunaan kedalaman napas, penggunaan
● PO2 83 otot bantu otot bantu napas, bunyi napas
napas menurun tambahan, saturasi oksigen)
● PCO2 membaik Terapeutik
● PO2 membaik ● Pertahankan kepatenan jalan
● Takikardia napas
membaik ● Berikan posisi semi fowler atau
fowler
● Fasilitasi mengubah posisi
senyaman mungkin

54
● Berikan oksigenasi dengn
ventilasi mekanik
● Edukasi
● Ajarkan melakukan teknik
relaksasi napas dalam
Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
● Kolaborasi pemberian
bronchodilator, jika perlu

Gangguan pertukaran Pemantauan Respirasi (I.01014)


Pertukaran Gas Observasi
gas berhubungan
2 1. Monitor frekuensi, kedalaman,
(L.01003)
dengan Perubahan
usaha napas
Setelah dilakukan
membrane alveolus-
2. Monitor pola napas (bradipnea,
intervensi
kapiler
takipnea, hiperventilasi,
keperawatan dan
(D.0003)
3. kussmaul, chyne stoke, byote,
kolaboratif selama 3
Dibuktikan dengan:
ataksik)
x 24 jam pertukaran
● Dispnea
4. Monitor kemampuan batuk
gas meningkat
● PCO2 meningkat
efektif
dengan kriteria
● PO2 menurun
5. Monitor adanya produksi
hasil :
● Takikardia
sputum
1. PH membaik
● pH arteri menurun
6. Monitor adanya sumbatan
2. PCO2 membaik
7. jalan napas
3. P02 membaik
8. Monitor saturasi oksigen
4. Dispnea menurun
9. Monitor AGD
5. Napas cuping
10. Monitor hasil x-ray thoraks
hidung menurun

Terapi Oksigen (I.01026)


Observasi
1. Monitor kecepatan aliran
oksigen
2. Monitor tanda dan gejala
toksikasi oksigen dan

55
atelektasis
3. Monitor mukosa hidung akibat
pemasangan oksigen
Terapeutik
4. Kolaborasi pemberian oksigen
on ventilator.

Manajemen Asam-Basa (I.02036)


Observasi
1. Identifikasi penyebab
ketidakseimbangan asam-basa
2. Monitor frekuensi dan
kedalaman napas
3. Monitor status neurologis (mis.
tingkat kesadaran, status
4. mental)
5. Monitor irama dan frekuensi
jantung
6. Monitor perubahan pH, PaCO2
dan HCO3

Terapeutik
1. Pertahankan posisi untuk
ventilasi adekuat
2. Ambil sampel darah untuk
pemeriksaan AGD

3 Bersihan jalan napas Setelah dilakukan Manajemen Jalan Napas


tidak efektif intervensi selama 3 x (I.01011)

56
berhubungan dengan 24 jam maka Observasi
Spasme jalan napas Bersihan Jalan Napas 1. Monitor pola napas (frekuensi,
dan Hipersekresi (L.01001) kedalaman, usaha napas)
jalan napas meningkat, dengan 2. Monitor bunyi napas tambahan
(D. 0001) kriteria hasil: (mis. gurgling, mengi,
Dibuktikan dengan: 1. Produksi sputum wheezing, ronkhi kering)
● Tidak mampu menurun* 3. Monitor sputum (jumlah,
batuk 2. Ronkhi menurun warna, aroma)
● Sputum 3. Dispnea Terapeutik
berlebih* menurun 1. Pertahankan kepatenan jalan
● Ronkhi napas
● Dispnea 2. Berikan minum hangat
3. Lakukan fisioterapi dada
4. Lakukan penghisapan lendir
kurang dari 15 detik
Kolaborasi
pemberian bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik:

4 Resiko infeksi Setelah dilakukan Pencegahan Infeksi (I.14539)


berhubungan dengan intervensi selama 3 - Monitor tanda dan gejala infeksi
efek prosedur x 24 maka Tingkat local dan sistemik Terapeutik
invasive (D.0142) Infeksi (L.0076) - Batasi jumlah pengunjung
menurun, dengan - Berikan perawatan kulit pada
kriteria hasil: area edema
● Hasil sel darah - Cuci tangan sebelum dan
putih membaik sesudah kontak dengan pasien
● Sputum dan lingkungan pasien
berwarna hijau - Pertahankan teknik aseptik pada
menurun pasien
● Kultur darah
membaik - Lakukan SOP VAP Bundle
● Kultur sputum ❖ Elevasi kepala 30 sampai 45

57
membaik derajat
❖ Oral hygiene dengan
chlorexidine
❖ Minimal sedasi
❖ Propilaxis ulkus peptikum
❖ Propilaxis DVT
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian antibiotik

CATATAN PERKEMBANGAN
Catatan perkembangan dibuat per diagnosis setiap hari. Evaluasi menggunakan SOAP

Gangguan Ventilasi spontan berhubungan dengan Perubahan metabolisme (D.00004)


Tanggal Jam Implementasi Evaluasi

58
02/05/2023 16.00 ● Mengidentifikasi adanya S : Pasien terintubasi
kelelahan otot bantu napas
O:
● Memonitor status respirasi - Terpasang ventilator
dan oksigenasi (mis. Mode SIMV 10 + PS 12
Frekuensi dan kedalaman Peep 5
napas, penggunaan otot - TTD: 128/ 61 mmhg
bantu napas, bunyi napas - N: 88 x/menit
tambahan, saturasi oksigen) - RR : 17x/menit
● Memertahankan kepatenan - WOB (+)
jalan napas - Posisi semifowler (+)
● Memberikan posisi semi - Ronkhi (+)
fowler atau fowler - Hasil AGDA
● Memberikan oksigenasi PH : 7,4
dengn ventilasi mekanik P02 : 83
● Memberikan obat-obatan PC02: 57,8
bronkhodilator: Aminophilin HC03 36
BE 10
- Diagnosa medis: Gagal nafas tipe II
- Post reintubasi hari ke-4
- Aminophylin 240 mg dalam 50 ml;
0,3 mg/kgbb/jam (jalan 3,4 cc/jam)

A : Gangguan ventilasi spontan

P:
- Identifikasi adanya kelelahan otot
bantu napas
- Monitor status respirasi dan
oksigenasi (mis. Frekuensi dan
kedalaman napas, penggunaan otot
bantu napas, bunyi napas tambahan,
saturasi oksigen)
- Pertahankan kepatenan jalan napas
- Berikan posisi semi fowler atau
fowler

59
- Monitor nilai AGD/24 jam
03/05/2023 18.00 ● Mengidentifikasi adanya S:
kelelahan otot bantu napas O:
● Memonitor status respirasi
- TTD: 111/ 66 mmhg
dan oksigenasi (mis.
- N: 97 x/menit
Frekuensi dan kedalaman
- RR : 16 x/menit
napas, penggunaan otot
- T: 36,5 C
bantu napas, bunyi napas
- Terpasang ventilator
tambahan, saturasi oksigen)
Mode SIMV 10 + PS 12>>>weaning
● Memertahankan kepatenan
ke PS 10 Fi02 40%, PEEP 5 jam
jalan napas
15.00
● Memberikan posisi semi
- Hasil AGDA
fowler atau fowler
PH : 7,45
● Memberikan oksigenasi
P02 : 105
dengn ventilasi mekanik
PC02: 48
● Memberikan obat-obatan
HC03 34
bronkhodilator: Aminophilin
Spo2 97%
BE 9,4
- Diagnosa medis: Gagal nafas tipe II
- Aminophylin 240 mg dalam 50 ml;
0,3 mg/kgbb/jam (jalan 3,4 cc/jam)

A : Gangguan ventilasi spontan

P:
- Monitor Frekuensi,irama,kedalaman
dan upaya nafas
- Monitor pola nafas (seperti
bradipnoe, takipnoe, hiperventilasi,
kussmaul, cheynstokees, biot dan
ataksik)
- Auskultasi bunyi nafas
- Monitor saturasi oksigen
- Monitor nilai AGD/24 jam

60
04/05/2023 08.00 ● Mengidentifikasi adanya S:
kelelahan otot bantu napas O:
● Memonitor status respirasi
- TD: 125/ 61 mmhg
dan oksigenasi (mis.
- N: 89-105 x/menit
Frekuensi dan kedalaman
- RR : 17x/menit
napas, penggunaan otot
- T: 36,5 C
bantu napas, bunyi napas
- SPo2 : 97%
tambahan, saturasi oksigen)
- WOB berkurang
● Memertahankan kepatenan
- Terpasang ventilator
jalan napas
Mode PS 10 PEEP 5 Fio2 40%
● Memberikan posisi semi
- Hasil AGDA tgl 4/05/2023
fowler atau fowler
PH : 7,47
● Memberikan oksigenasi
P02 : 107
dengn ventilasi mekanik
PC02: 43,7
● Memberikan obat-obatan
HC03 31
bronkhodilator: Aminophilin
- Diagnosa medis: Gagal nafas tipe II
- Aminophylin 240 mg dalam 50 ml;
0,3 mg/kgbb/jam (jalan 3,4 cc/jam)

A : Gangguan ventilasi spontan

P:
-Monitor Frekuensi,irama, kedalaman dan
upaya nafas
-Monitor pola nafas (seperti bradipnoe,
takipnoe, hiperventilasi, kussmaul,
cheynstokees, biot dan ataksik)
-Monitor saturasi oksigen
-Monitor nilai AGD
-Weaning venti>>SBT hari ini

61
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan Perubahan membrane alveolus-kapiler
Tanggal Jam Implementasi Evaluasi
02/05/2023 16.00 - Memonitor S : Pasien terintubasi
Frekuensi,irama,kedalaman
O:
dan upaya nafas - Terpasang ventilator
- Memonitor pola nafas (seperti Mode SIMV 10 + PS 12
bradipnoe, takipnoe, Peep 5
hiperventilasi, kussmaul, - TTD: 128/ 61 mmhg
cheynstokees, biot dan - N: 88 x/menit
ataksik) - RR : 17x/menit
- Auskultasi bunyi nafas - WOB (+)
- Memonitor saturasi oksigen - Posisi semifowler (+)
- Memberikan oksigenasi dengn - Ronkhi (+)
ventilasi mekanik - Hasil AGDA
- Mengambil sample AGD dan PH : 7,4
follow up hasilnya P02 : 83
PC02: 57,8
HC03 36
BE 10
- Diagnosa medis: Gagal nafas tipe II,
PPOK, Efusi plura kiri
- Post reintubasi hari ke-4

A : Gangguan pertukaran gas

P:
-Monitor Frekuensi,irama,kedalaman dan
upaya nafas
-Monitor pola nafas (seperti bradipnoe,
takipnoe, hiperventilasi, kussmaul,
cheynstokees, biot dan ataksik)
-Auskultasi bunyi nafas
-Monitor saturasi oksigen

62
-Monitor nilai AGD/24 jam
03/05/2023 18.00 - Memonitor S:
Frekuensi,irama,kedalaman O:
dan upaya nafas
- TTD: 111/ 66 mmhg
- Memonitor pola nafas (seperti
- N: 97 x/menit
bradipnoe, takipnoe,
- RR : 16 x/menit
hiperventilasi, kussmaul,
- T: 36,5 C
cheynstokees, biot dan
- Terpasang ventilator
ataksik)
Mode SIMV 10 + PS 12>>>weaning
- Auskultasi bunyi nafas
ke PS 10 Fi02 40%, PEEP 5 jam
- Memonitor saturasi oksigen
15.00
- Memberikan oksigenasi dengn
- Hasil AGDA
ventilasi mekanik
PH : 7,45
- Mengambil sample AGD dan
P02 : 105
follow up hasilnya
PC02: 48
HC03 34
Spo2 97%
BE 9,4
- Diagnosa medis: Gagal nafas tipe II,
PPOK, Efusi plura kiri

A : Gangguan pertukaran gas

P:
-Monitor Frekuensi,irama,kedalaman dan
upaya nafas
-Monitor pola nafas (seperti bradipnoe,
takipnoe, hiperventilasi, kussmaul,
cheynstokees, biot dan ataksik)
-Auskultasi bunyi nafas
-Monitor saturasi oksigen
- Monitor nilai AGD/24 jam
04/05/2023 19.00 - Memonitor S:
Frekuensi,irama,kedalaman O:

63
dan upaya nafas - TD: 125/ 61 mmhg
- Memonitor pola nafas (seperti - N: 89-105 x/menit
bradipnoe, takipnoe, - RR : 17x/menit
hiperventilasi, kussmaul, - T: 36,5 C
cheynstokees, biot dan - SPo2 : 97%
ataksik) - WOB berkurang
- Auskultasi bunyi nafas - Terpasang ventilator
- Memonitor saturasi oksigen Mode PS 10 PEEP 5 Fio2 40%
- Memberikan oksigenasi dengn - Hasil AGDA tgl 4/05/2023
ventilasi mekanik PH : 7,47
- Mengambil sample AGD dan P02 : 107
follow up hasilnya PC02: 43,7
HC03 31

A : Gangguan pertukaran gas

P:
-Monitor Frekuensi,irama,kedalaman dan
upaya nafas
-Monitor pola nafas (seperti bradipnoe,
takipnoe, hiperventilasi, kussmaul,
cheynstokees, biot dan ataksik)
-Auskultasi bunyi nafas
-Monitor saturasi oksigen
-Weaning venti>>SBT hari ini

CATATAN PERKEMBANGAN (Lanjutan)

Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan Hipersekresi jalan napas

64
Tanggal Jam Implementasi Evaluasi
02/05/2023 16.00 - Memonitor pola napas S : Pasien terintubasi
(frekuensi, kedalaman, usaha
O:
napas) - Terpasang ventilator
- Meonitor bunyi napas Mode SIMV 10 + PS 12
tambahan (mis. gurgling, Peep 5
mengi, wheezing, ronkhi - TTD: 128/ 61 mmhg
kering) - N: 88 x/menit
- Meonitor sputum (jumlah, - RR : 17x/menit
warna, aroma) - WOB (+)
- Mempertahankan kepatenan - Posisi semifowler (+)
jalan napas - Ronkhi (+)
- Melakukan penghisapan lendir - Sputum merah encer banyak
kurang dari 15 detik - Diagnosa medis: Gagal nafas tipe II
- Kolaborasi - Post reintubasi hari ke-4 dengan
pemberian bronkodilator, laringospasme
ekspektoran, mukolitik: - Aminophylin 240 mg dalam 50 ml;
0,3 mg/kgbb/jam (jalan 3,4 cc/jam)
- combivent Inhalasi 1 tube / 6 jam
- NAC 200 mg/8 jam

A : Bersihan jalan nafas tidak efektif

P:
- Monitor pola napas (frekuensi,
kedalaman, usaha napas)
- Monitor bunyi napas tambahan (mis.
gurgling, mengi, wheezing, ronkhi
kering)
- Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
- Pertahankan kepatenan jalan napas
- lakukan penghisapan lendir kurang dari
15 detik
- Kolaborasi

65
pemberian bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik:

03/05/2023 18.00 - Memonitor pola napas S:


(frekuensi, kedalaman, usaha O:
napas)
- TTD: 111/ 66 mmhg
- Memonitor bunyi napas
- N: 97 x/menit
tambahan (mis. gurgling,
- RR : 16 x/menit
mengi, wheezing, ronkhi
- T: 36,5 C
kering)
- Terpasang ventilator
- Memonitor sputum (jumlah,
- Sputum kekuningan banyak, kental
warna, aroma)
Mode SIMV 10 + PS 12>>>weaning
- Mempertahankan kepatenan
ke PS 10 Fi02 40%, PEEP 5 jam
jalan napas
15.00
- Melakukan penghisapan lendir
- Diagnosa medis: Gagal nafas tipe II,
kurang dari 15 detik
VAP Pneumonia
- Kolaborasi
- Aminophylin 240 mg dalam 50 ml;
pemberian bronkodilator,
0,3 mg/kgbb/jam (jalan 3,4 cc/jam)
ekspektoran, mukolitik:
- combivent Inhalasi 1 tube / 6 jam
- NAC 200 mg/8 jam

A : Bersihan Jalan nafas tidak efektif

P:
- Monitor pola napas (frekuensi,
kedalaman, usaha napas)
- Monitor bunyi napas tambahan (mis.
gurgling, mengi, wheezing, ronkhi
kering)
- Monitor sputum (jumlah, warna,

66
aroma)
- Pertahankan kepatenan jalan napas
- lakukan penghisapan lendir kurang
dari 15 detik
- Kolaborasi
pemberian bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik:
- Chest fisioterapi

CATATAN PERKEMBANGAN (Lanjutan)

Tanggal Jam Implementasi Evaluasi


04/05/2023 18.00 - Memonitor pola napas S:
(frekuensi, kedalaman, usaha O:
napas)
- TD: 125/ 61 mmhg
- Memonitor bunyi napas
- N: 89-105 x/menit
tambahan (mis. gurgling,
- RR : 17x/menit

67
mengi, wheezing, ronkhi - T: 36,5 C
kering) - SPo2 : 97%
- Memonitor sputum (jumlah, - WOB berkurang
warna, aroma) - Sputum kekuningan banyak , kental
- Mempertahankan kepatenan - Terpasang ventilator
jalan napas Mode PS 10 PEEP 5 Fio2 40%
- Melakukan penghisapan lendir - Diagnosa medis: Gagal nafas tipe II,
kurang dari 15 detik VAP Pneumonia
- Kolaborasi - Aminophylin 240 mg dalam 50 ml;
pemberian bronkodilator, 0,3 mg/kgbb/jam (jalan 3,4 cc/jam)
ekspektoran, mukolitik: - combivent Inhalasi 1 tube / 6 jam
- NAC 200 mg/8 jam
-
A : Bersihan jalan nafas tidak efektif
P:
- Monitor pola napas (frekuensi,
kedalaman, usaha napas)
- Monitor bunyi napas tambahan (mis.
gurgling, mengi, wheezing, ronkhi
kering)
- Monitor sputum (jumlah, warna,
aroma)
- Pertahankan kepatenan jalan napas
- lakukan penghisapan lendir kurang
dari 15 detik
- Kolaborasi
pemberian bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik:
- Chest fisioterapi

68
CATATAN PERKEMBANGAN (Lanjutan)

Resiko infeksi berhubungan dengan efek prosedur invasive (D.0142)

Tanggal Jam Implementasi Evaluasi


02/05/2023 - Memonitor tanda dan gejala infeksi S: -
local dan sistemik Terapeutik O:

- Membatasi jumlah pengunjung - Terpasang IV central di

- Berikan perawatan kulit pada area femoralis (23-04-2023)

edema - Terpasang DC Cath no. 16 Fr

- Mencuci tangan sebelum dan sesudah (23-04-23)

kontak dengan pasien dan lingkungan - Tidak terdapat tanda-tanda

pasien phlebitis dengan skor 0

- Mementau hasil lab : leukosit - Leukosit 12.970 uL

69
- Memfollow up hasil kultur - Diagnosis Medis : VAP, sepsis
- Memertahankan teknik aseptik pada - Hasil kultur sputum :Isolate 3:
pasien streptococcus, pseudoporcinus,
- Lakukan SOP VAP Bundle Sensitif levofloxacine,
❖ Elevasi kepala 30 sampai 45 derajat vancomycin, tygecil
❖ Oral hygiene dengan chlorexidine - KOH Jamur sputum: ditemukan
❖ Minimal sedasi hifa
❖ Propilaxis ulkus peptikum - Kultur darah :Negatif
❖ Propilaxis DVT ❖ Medikasi:
- Memberikan obat-obatan: antibiotik ❖ Pantoprazole 80 mg / 50 ml ;
8 mg/jam
❖ fluconazole 400 mg/24 jam
❖ levofoxacine 750 mg / 24 jam
❖ meropenem 1 gr / 12 jam
❖ sucralfat syr / 6 jam

A : Resiko Infeksi
P: Sesuai NCP
- Monitor tanda dan gejala infeksi
local dan sistemik Terapeutik
- Batasi jumlah pengunjung
- Berikan perawatan kulit pada
area edema
- Cuci tangan sebelum dan sesudah
kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien
- Mementau hasil lab : leukosit
- Memfollow up hasil kultur
- Memertahankan teknik aseptik
pada pasien
- Lakukan SOP VAP Bundle
❖ Elevasi kepala 30 sampai 45
derajat
❖ Oral hygiene dengan

70
chlorexidine
❖ Minimal sedasi
❖ Propilaxis ulkus peptikum
❖ Propilaxis DVT
- Memberikan obat-obatan:
antibiotik

03/05/2023 - Memonitor tanda dan gejala infeksi S: -


local dan sistemik Terapeutik O:

- Membatasi jumlah pengunjung - Terpasang IV central di

- Berikan perawatan kulit pada area femoralis (23-04-2023)

edema - Terpasang DC Cath no. 16 Fr

- Mencuci tangan sebelum dan sesudah (23-04-23)

kontak dengan pasien dan lingkungan - Tidak terdapat tanda-tanda

pasien phlebitis dengan skor 0

- Memertahankan teknik aseptik pada - Leukosit 11.400 uL

pasien - Diagnosis Medis : VAP, sepsis

- Mementau hasil lab : leukosit - Hasil kultur sputum :Isolate 3:


streptococcus, pseudoporcinus,
Sensitif levofloxacine,

- Lakukan SOP VAP Bundle vancomycin, tygecil

❖ Elevasi kepala 30 sampai 45 derajat - KOH Jamur sputum: ditemukan

❖ Oral hygiene dengan chlorexidine hifa

❖ Minimal sedasi - Kultur darah :Negatif

❖ Propilaxis ulkus peptikum ❖ Medikasi:

❖ Propilaxis DVT ❖ Pantoprazole 80 mg / 50 ml ;

- Memberikan obat-obatan: antibiotik 8 mg/jam


❖ fluconazole 400 mg/24 jam
❖ levofoxacine 750 mg / 24 jam
❖ meropenem 1 gr / 12 jam
❖ sucralfat syr / 6 jam

A : Resiko infeksi

71
P: Sesuai NCP
- Monitor tanda dan gejala infeksi
local dan sistemik Terapeutik
- Batasi jumlah pengunjung
- Berikan perawatan kulit pada
area edema
- Cuci tangan sebelum dan sesudah
kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien
- Mementau hasil lab : leukosit
- Memfollow up hasil kultur
- Memertahankan teknik aseptik
pada pasien
- Lakukan SOP VAP Bundle
❖ Elevasi kepala 30 sampai 45
derajat
❖ Oral hygiene dengan
chlorexidine
❖ Minimal sedasi
❖ Propilaxis ulkus peptikum
❖ Propilaxis DVT
- Memberikan obat-obatan:
antibiotik

04/05/2023 - Memonitor tanda dan gejala infeksi S:


local dan sistemik Terapeutik O:

- Membatasi jumlah pengunjung - Terpasang IV central di

- Berikan perawatan kulit pada area femoralis (23-04-2023)

edema - Terpasang DC Cath no. 16 Fr

- Mencuci tangan sebelum dan sesudah (23-04-23)

kontak dengan pasien dan lingkungan - Tidak terdapat tanda-tanda

pasien phlebitis dengan skor 0

- Memertahankan teknik aseptik pada - Leukosit 11.000 uL

pasien - Diagnosis Medis : VAP, sepsis

72
- Mementau hasil lab : leukosit - Hasil kultur sputum :Isolate 3:
- Lakukan SOP VAP Bundle streptococcus, pseudoporcinus,
❖ Elevasi kepala 30 sampai 45 derajat Sensitif levofloxacine,
❖ Oral hygiene dengan chlorexidine vancomycin, tygecil
❖ Minimal sedasi - KOH Jamur sputum: ditemukan
❖ Propilaxis ulkus peptikum hifa
❖ Propilaxis DVT - Kultur darah :Negatif
- Memberikan obat-obatan: antibiotik ❖ Medikasi:
❖ Pantoprazole 80 mg / 50 ml ;
8 mg/jam
❖ fluconazole 400 mg/24 jam
❖ levofoxacine 750 mg / 24 jam
❖ meropenem 1 gr / 12 jam
❖ sucralfat syr / 6 jam

A : Resiko Infeksi
P: Sesuai NCP
- Monitor tanda dan gejala infeksi
local dan sistemik Terapeutik
- Batasi jumlah pengunjung
- Berikan perawatan kulit pada
area edema
- Cuci tangan sebelum dan sesudah
kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien
- Mementau hasil lab : leukosit
- Memfollow up hasil kultur
- Memertahankan teknik aseptik
pada pasien
- Lakukan SOP VAP Bundle
❖ Elevasi kepala 30 sampai 45
derajat
❖ Oral hygiene dengan
chlorexidine

73
❖ Minimal sedasi
❖ Propilaxis ulkus peptikum
❖ Propilaxis DVT
- Memberikan obat-obatan:
antibiotik

BAB 4
PEMBAHASAN

Gagal nafas adalah kondisi klinis yang terjadi ketika sistem pernapasan gagal
mempertahankan fungsi utamanya, yaitu pertukaran gas, dimana PaO2 lebih rendah dari
60mmHg dan atau PaCO2 lebih tinggi dari 50 mmHg. (Shebl, Eman & Burns, Bracken
(2021)).
Jika dilihat dari klasifikasi gagal napas, maka pada kasus ini TN. AR mengalami gagal
napas tipe 2. Pada gagal napas tipe 2 didapatkan klinis adanya hiperkapnik PaCO2 tinggi
melebihi 50 mmHg yang diakibatkan kegagalan ventilasi paru yang disebabkan komplain
paru yang tidak adekuat karena otot-otot pernapasan lemah, daya komplain paru menurun
serta adanya gangguan di pusat pernapasan dan sistem neurologi pernapasan. Ini sesuai
dengan hasil AGD TN. AR menunjukan peningkatan PaCO2 hingga 57, 8 mmHg.
Gagal nafas atau kegagalan pernapasan terjadi ketika tubuh tidak dapat menyediakan
oksigen yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan dan organ tubuh. Kondisi ini dapat
disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk penyakit paru-paru, penyakit jantung, atau
kondisi medis lainnya. Status demografi, seperti usia, jenis kelamin, dan latar belakang etnis,
dapat memengaruhi risiko seseorang terkena gagal nafas.
Hubungan antara riwayat merokok dan kejadian gagal nafas tipe 2 telah terbukti secara
ilmiah. Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) (2022),
merokok merupakan faktor risiko utama untuk perkembangan dan progresi penyakit paru

74
obstruktif kronik (PPOK), yang dapat menyebabkan gagal nafas tipe 2. PPOK adalah
penyakit paru kronis yang ditandai oleh penyempitan saluran napas dan kerusakan permanen
pada paru-paru. Merokok secara langsung merusak paru-paru dan memicu peradangan serta
kerusakan jaringan paru-paru, yang akhirnya dapat mengganggu pertukaran oksigen dan
karbon dioksida di dalam tubuh.
Usia merupakan faktor risiko penting untuk gagal nafas. Studi menunjukkan bahwa kejadian
gagal nafas meningkat seiring bertambahnya usia. Hal ini disebabkan oleh penurunan fungsi
paru-paru dan sistem kardiovaskular pada orang yang lebih tua, serta peningkatan prevalensi
penyakit kronis pada kelompok usia ini. Menurut data dari American Lung Association,
gagal nafas adalah penyebab utama kematian pada orang yang lebih tua dari 65 tahun.
hubungan antara usia dan kejadian gagal nafas. Risiko terjadinya gagal nafas cenderung
meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan
hubungan ini antara lain perubahan fisiologis pada sistem pernapasan dan peningkatan
kerentanan terhadap penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan gagal nafas (Marik, P. E.,
& Varon, J. ,2017)
Jenis kelamin juga dapat mempengaruhi resiko seseorang terkena gagal nafas. Studi
menunjukkan bahwa laki-laki memiliki risiko lebih tinggi daripada perempuan untuk
mengalami gagal nafas. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan dalam ukuran paru-
paru dan anatomi saluran napas antara laki-laki dan perempuan. Hal ini dapat terkait dengan
faktor-faktor seperti perbedaan dalam kebiasaan merokok, paparan lingkungan, dan
perbedaan dalam struktur dan fungsi paru-paru antara pria dan wanita. Namun, perbedaan
ini dapat bervariasi tergantung pada populasi yang diteliti. (Wijnant, et all 2020)
Pada pembahasan ini kelompok melakukan studi kasus asuhan keperawatan pada Tn. AR
dengan gagal napas di unit ICVCU Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh darah Harapan Kita.
Asuhan keperawatan yang dilakukan antara lain pengkajian, Analisa data untuk menentukan
diagnosa keperawatan dan menyusun rencana keperawatan, implementasi keperawatan dan
evaluasi keperawatan.
Pengkajian keperawatan adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu
proses yang sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien. Pada saat pengkajian didapatkan
data data objektif kesadaran Compos mentis dengan GVS E4VettM6 , dengan hasil AGD
PH : 7,40, P02 83, PC02 57,8 dan HCO3 36.
Tekanan darah m: 128/ 61 mmHg, Nadi: 88 x/menit, RR : 17x/menit on venti dan T: 36,5
C, napas cuping hidung auskultasi bunyi napas ronchi SPO2 96% pasien on venti mode

75
SIMB 10+PS 12 produksi sputum encer, warna sputum kemerahan. Pasien memiliki
riwayat penyakit masalah pada katup jantung sejak tahun 2019. Data pengkajian tersebut
kemudian diklasifikasikan menjadi data mayor dan data minor. Data mayor dilihat dari data
objektif pasien, yang kemudian kita analisa menjadi diagnosa keperawatan.

Diagnosa Keperawatan yang muncul pada pasien Tn. AR ada 4 yaitu: gangguan ventilasi
spontan, gangguan pertukaran gas, bersihan jalan napas tidak efektif dan resiko infeksi.
Gangguan ventilasi spontan kami angkat sebagai diagnosa prioritas berdasarkan pada
objektif yang didapatkan dan bahwa hal tersebut yang dapat menimbulkan perburukan pada
kondisi pasien yang akhirnya bisa mengakibatkan kematian. Dari beberapa diagnosa yang
telah ditetapkan, kelompok menyusun rencana asuhan keperawatan berdasarkan pada
Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) sesuai dengan kebutuhan pasien.

Gangguan ventilasi spontan adalah kondisi di mana pasien mengalami kesulitan atau
kegagalan dalam melakukan pernapasan spontan atau mandiri. Pada pasien dengan gagal
nafas, gangguan ventilasi spontan sering terjadi karena adanya gangguan pada fungsi paru-
paru atau sistem pernapasan yang menghambat kemampuan pasien untuk bernapas dengan
normal. Rencana asuhan keperawatan untuk diagnosa gangguan ventilasi spontan:
Identifikasi adanya kelelahan otot bantu napas, identifikasi efek perubahan posisi terhadap
status pernapasan, monitor status respirasi dan oksigenasi (mis. Frekuensi dan kedalaman
napas, penggunaan otot bantu napas, bunyi napas tambahan, saturasi oksigen), berikan
oksigenasi dengn ventilasi mekanik.
Rencana asuhan keperawatan untuk diagnosa gangguan pertukaran gas antara lain: Monitor
frekuensi,irama, kedalaman dan upaya nafas, monitor pola nafas (seperti bradipnoe,
takipnoe, hiperventilasi, kussmaul, cheynstokees, biot dan ataksik) monitor kemampuan
batuk efektif, auskultasi bunyi nafas, monitor saturasi oksigen, monitor nilai AGD, monitor
hasil x-ray thorax, monitor kecepatan aliran oksigen, siapkan dan atur peralatan pemberian
oksigen, kolaborasi penentuan dosis oksigen, kolaborasi pemberian bronchodilator, jika
perlu.
Rencana keperawatan pada diagnosa bersihan jalan nafas tidak efektif, monitor pola napas
(frekuensi, kedalaman, dan usaha napas), monitor bunyi napas tambahan, monitor sputum
(jumlah, warna, aroma), pertahankan kepatenan jalan nafas, lakukan penghisapan lendir
kurang dari 15 detik, kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu.
Tahapan selanjutnya yaitu implementasi dari rencana keperawatan dan evaluasi hasil setelah

76
memberikan asuhan keperawatan.
Rencana keperawatan untuk diagnosa resiko infeksi: Monitor tanda dan gejala infeksi lokal
dan sistemik, Lakukan SOP VAP Bundle : 1). Elevasi kepala 30 sampai 45 derajat, 2). Oral
hygiene dengan chlorhexidine, 3)Minimal sedasi, 4). Propilaxis ulkus peptikum, 5).
Propilaxis DVT. 6). Kolaborasi, dan Kolaborasi pemberian antibiotik
Secara garis besar, implementasi telah dilakukan sesuai dengan rencana asuhan
keperawatan. Namun karena keterbatasan waktu kelompok hanya dapat melakukan studi
kasus asuhan keperawatan kepada Tn. AR selama tiga hari.

BAB 5
Kesimpulan

5.1. Kesimpulan
Gagal napas merupakan tahapan terakhir yang dialami seseorang dalam gangguan
masalah pernafasan. Sistem pernafasan mengalami kegagalan dalam menjalankan
fungsinya yaitu melakukan pertukaran gas antara O2 dan CO2. Gagal nafas tipe II
merupakan suatu kondisi yang serius dan mengancam nyawa. Pada gagal nafas tipe II
CO2 dalam tubuh mengalami hiperkapnik yaitu PaCO2 tinggi (PaCO2 >50 mmHg).
Pada pasien dengan gagal nafas tipe 2, manajemen penanganannya meliputi: 1). Ventilasi
mekanis: ventilasi mekanis dilakukan untuk membantu pasien bernapas dan
memperbaiki ventilasi alveolar. Ventilator dapat disesuaikan dengan kebutuhan pasien,
termasuk frekuensi napas, volume tidal, dan tekanan peep. 2). Terapi oksigen: terapi
oksigen diberikan untuk meningkatkan kadar oksigen dalam darah. Terapi oksigen
dapat diberikan melalui kanula nasal, masker oksigen.
Asuhan keperawatan: asuhan keperawatan pada pasien dengan gagal nafas tipe 2
meliputi pemantauan fungsi pernapasan, pemantauan kadar oksigen dalam darah,
pemantauan tanda-tanda vital, dan pemberian terapi oksigen sesuai dengan kebutuhan.
Manajemen yang tepat dan efektif sangat penting dalam penanganan gagal nafas tipe 2.
Sebagai perawat, kami juga memiliki peran yang penting dalam memberikan asuhan

77
keperawatan yang tepat, termasuk pemantauan tanda-tanda vital, pengaturan posisi
tidur, dan pemantauan respons pasien terhadap terapi.

5.2. Saran
Melalui makalah ini, penulis berharap studi mengenai gagal napas yang berhubungan
dengan kondisi penyakit dengan masalah jantung. Hal ini dilakukan dalam rangka
perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan keperawatan pada pasien gagal napas,
maka kelompok memberikan beberapa pemikiran dan saran sebagai berikut :
5.2.1 Bagi Perawat
Diharapkan perawat mampu meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan pada
pasien dengan gagal napas secara komprehensif mulai dari pengkajian, diagnosa
keperawatan, intervensi keperawatan serta evaluasi dengan baik. Asuhan
keperawatan dilakukan dengan teliti sehingga asuhan yang diberikan kepada pasien
gagal napas bisa optimal

5.2.2 Bagi Pasien dan keluarga


Keluarga pasien diharapkan lebih mengetahui tentang tanda dan gejala gagal napas
yang terjadi pada pasien dengan melakukan tindakan segera untuk mendapatkan
pertolongan medis.
5.2.3 Bagi Rumah Sakit
Diharapkan makalah ini bisa menjadi acuan untuk rumah sakit demi menunjang
kualitas pelayanan dengan melakukan penyuluhan kesehatan yang
berkesinambungan baik melalui diskusi maupun leaflet tentang kesehatan selama
pasien dirawat sehingga dapat mencegah morbiditas, rehospitalisasi bahkan
mortalitas dari gagal napas.

78
Referensi
American Lung Association. (2021). Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) Fact
Sheet. Diakses pada 6 Mei 2023 dari
https://www.lung.org/lung-health-diseases/lung-disease-lookup/copd/learn-about-
copd/copd-fact-sheet
(Bellani et al.2018 Epidemiology, Patterns of Care, and Mortality for Patients With Acute
Respiratory Distress Syndrome in Intensive Care Units in 50 Countries).AMA. 2018
Jul 19;316(3):350. doi: 10.1001/jama.2016.9558.

Diamond, M et al. 2021. Acute Respiratory Distress Syndrome. PMID: 33760485.


https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28613773/

Fercy et all. 2011. Critical Care: Emergency Medicine. Mc Graw Hill Medical: New York.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). (2022). Global Strategy
for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. Diakses pada 17 Mei 2023, dari
https://goldcopd.org/wp-content/uploads/2021/11/GOLD-REPORT-2022-v1.1-
25Nov21_WMV.pdf
Hasrawi et al Jurnal Keperawatan dan Fisioterapi (JKF), e-ISSN 2655-0830 Vol.
2No.1EdisiMei-Oktober2019 https://ejournal.medistra.ac.id/index.php.JFK

Hendrickson, Kathryn et al. 2021. The Epidemiology of Acute Respiratory Distress


Syndrome Before and After Coronavirus Disease 2019. Crit Care Clin 37 (2021)
703–716 https://doi.org/10.1016/j.ccc.2021.05.001

79
Iqbal, M Areeb & Gupta, M. 2021. Cardiogenic Pulmonary Edema. Akses di
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK544260/

Jodjana, Evita & Adja, Yuliana. 2021. Sindrom Guillain-Barre dengan Komplikasi ( Gagal
Napas, Henti Jantung dan Sepsis). Jurnal Aksona, Volume 1 Nomor 2, Juli 2021:
81-91

Joshua E. Brinkman; Fadi Toro; Sandeep Sharma.(2022) Physiology, Respiratory Drive -


StatPearls - NCBI Bookshelf

Kabore, L., Ouattara, S., & Sawadogo, F. (2020). Impact of 13-Valent Pneumococcal
Conjugate Vaccine on The Incidence of Hospitalizations For All-Cause Pneumonia
Among Children Aged Less Than 5 Years in Burkina Faso: An Interrupted time-
series analysis. International Journal of Infectious Diseases, 31.38.

Kahn, A. 2018. Healthline Cronic respiratory Failure.

Kassirian et al. 2020. Diagnosis and Management of Acute Respiratory Distress Syndrome
in a Time of COVID-19. Diagnostics 2020, 10, 1053;
doi:10.3390/diagnostics10121053

Kemenkes. 2021. Buku Saku Protokol Tata Laksana COVID-19 Edisi 2. Kementerian
Kesehatan: Jakarta

Ketcham, S.W., Sedhai, Y.R., Miller, H.C. et al. 2020. Causes and characteristics of death
in patients with acute hypoxemic respiratory failure and acute respiratory distress
syndrome: a retrospective cohort study. Crit Care 24, 391 (2020).
https://doi.org/10.1186/s13054-020-03108-w

Kurniadi, ricky. 2017. Skripsi Gambaran Pasien Gagal Napas Dengan Kelainan Paru Pada
Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik Medan Bulan Januari Sampai
Agustus Tahun 2017. Universitas Sumatera Utara: sumatera

Liao, K. M., Chen, C. Y., Liang, F. W., & Hwang, S. L. (2017). Sex Differences in Acute
Respiratory Failure Requiring Mechanical Ventilation. PloS one, 12(1), e0170216.

Listia, Mia dkk. 2020. Studi Kasus: Status Pernapasan Pada Pasien Myasthenia Gravis Di
Ruang Azalea RSUP DR. Hasan Sadikin Bandung. Jurnal Perawat Indonesia,
Volume 4 No 1, Hal 272-284.

Marik, P. E., & Varon, J. (2017). Acute respiratory failure in the elderly: etiology,
emergency diagnosis and prognosis. Critical Care and Resuscitation, 19(4), 331-334.
McCance, Kathryn L., Huether, Sue E. 2019. Buku Ajar Patofisiologi. 6th ed Volume 1 by
Djoko WahonoSoeatmadji, Retty Ratnawati, Hidayat Sujuti. SIngapore : Elsevier
Mosby. : ISBN Vol 2 978-981-4570- 86-2

Norris, Tommie L & Lalchandani, Rupa. 2018. Porth’s Pathophysiology: Concepts of


Altered Health States (10th Edition)- Ebook.

Pinson, R.D., & Tang, C.L. 2017. Quality improvement: Documenting respiratory failure.

80
Akses di https://medcom.uiowa.edu/theloop/announcements/quest-newsletter-
quality-improvement-documenting-respiratory-failure.

PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Edisi I. Jakarta: DPP PPNI

PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Edisi I Cetakan II. Jakarta: DPP
PPNI

PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Edisi I Cetakan II. Jakarta: DPP PPNI

Prasanty, Cindy A.E, 2020. Skripsi profil klinis pasien dengan gagal napas di Pediatric
intensive Care Unit (PICU) RSUD DR. Soetomo Surabaya. Akses di
https://repository.unair.ac.id/105377/

Rohmah, Dinda Nur. 2020. Management Kasus Gagal Napas Pada Penyakit Pneumonia :
A Literature Review. Jurnal Berita Ilmu Keperawatan Vol. 13 (1), 2020, 22-30 p-
ISSN: 1979-2697 e-ISSN: 2721-1797

Rull, G. 2017. Patient Info, Respiratory Failure.

Scala, Raffaele & Heunks, Leo. 2018. Highlights in acute respiratory failure. European
Respiratory Review 2018 27: 180008; DOI: 10.1183/16000617.0008-2018

Shebl, Eman and Burns, Bracken. 2021. Respiratory Failure. Akses di


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526127/#:~:text=Respiratory%20failure
%20is%20a%20clinical,type%201%20and%20type%202.

Syarani, Fajrinur. 2017. Gagal Napas, in Buku Ajar Respirasi. Medan: USU Press, pp. 551–
573.

Vincent, J.L., & Slutsky, A.S. (2010). Acute respiratory failure. In: Fauci AS, Braunwald E,
Kasper DL, et al., editors. Harrison's Principles of Internal Medicine, 17th ed.
McGraw-Hill; 2010.

Wang, X., Zhang, Y., & Xu, H. (2019). The economic burden of respiratory failure in the
United States: a retrospective analysis of the Nationwide Inpatient Sample. BMC
pulmonary medicine, 19(1), 1-9
Wijnant, S. R., Van Mourik, Y., Koopman, M., Gobbel, R., Lahousse, L., Loth, D. W., ... &
Brusselle, G. G. (2020). Sex differences in the association between smoking and
lung function in the general population. European Respiratory Journal, 56(3),
2000070. doi: 10.1183/13993003.00070-2020

81
Lampiran 1. WOC

82
83
84

Anda mungkin juga menyukai