Anda di halaman 1dari 63

LAPORAN KASUS A. IDENTITAS PASIEN Nama : An.

Z Usia : 14 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Pelajar Alamat : Gangga, Lombok Utara Tanggal MRS : 7 November 2009 Tanggal Pemeriksaan : 7 November 2009 B. PRIMARY SURVEY 1. Jalan Napas (Airway) :Sumbatan jalan napas (-), secret pada mulut (-) 2. Pernapasan (Breathing) : Napas spontan, respirasi 20 x/menit 3. Sirkulasi (Circulation) : Tekanan darah 110/70 mmHg, Nadi 92 kali/menit 4. Deformitas (Deformity) : Vulnus laceratum pada regio brachii sinistra, terlihat tulang. Angulasi pada regio antebrachii sinistra 1/3 distal. 5. Keadaan Umum : sedang 6. Kesadaan : Compos Mentis 7. GCS : E4V5M6 C. SECONDARY SURVEY

Keluhan Utama : Nyeri pada tangan kiri Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien mengeluhkan nyeri pada tangan kiri setelah terjatuh dari pohon mangga 4 jam sebelum MRS. Pasien terjatuh dari ketinggian kurang lebih 4 meter dengan posisi tangan kiri sebagai tempat bertumpu. Tidak ada riwayat pingsan. Tidak ada riwayat mual muntah. Pasien ingat kejadian. Tidak ada nyeri kepala. Terdapat luka robek pada lengan atas kiri dan terlihat tulang. Terlihat juga bentuk pergelangan tangan kiri tidak normal. Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien belum pernah sakit seperti ini sebelumnya. Pasien tidak mempunyai alergi terhadap obatobatan. Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada keluarga yang sakit seperti ini Pemeriksaan Fisik Umum : Kepala Leher : bentuk dan ukuran normal, hematome (-), konjungtiva anemis (-), sklera ikterus (-), hematome pada leher (-), gerakan leher normal, nyeri saat leher digerakkan (-) Thorax Cardiovasculer : Inspeksi : thorax tampak simetris, hematome (-), gerakan napas simetris Palpasi : gerakan napas simetris, nyeri tekan (-) Perkusi : Cor : batas jantung : batas atas pada ICS II linea parasternal sinistra, batas bawah kiri pada ICS V

linea midclavicula sinistra, dan batas kanan bawah pada ICS IV linea parasternal kanan Pulmo : terdengar sonor pada semua lapang paru Auskultasi : Cor : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-) Pulmo : vesikuler +/+, ronchi -/-, wheezing -/Abdomen Pervic Inguinal : Inspeksi : abdomen datar, hematome (-) Auskultasi : bising usus (+) normal Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba. Perkusi : thympani pada keempat quadran abdomen Uro Genital : hematome pada regio CVA (-), nyeri tekan suprapubik (-), hematuria (-), genital tidak ada kelainan. Anal Perianal : tidak ada kelainan Extremitas atas Axilla : Pada extremitas kanan : Hematome (-), deformitas (-), gerakan normal, nyeri saat digerakkan (-). Pada extremitas kiri : vulnus laceratum (+) pada regio brachii 1/3 distal, terlihat tulang. Angulasi pada regio antebtachii 1/3 distal. Gerakan terbatas, nyeri saat digerakkan (+) Extremitas bawah : hematome (-), deformitas (-), gerakan normal, nyeri saat digerakkan (-) Pemeriksaan Fisik Lokal (Status Lokalis) : Vulnus laceratum pada regio brachii sinistra, 4 cm diatas siku, ukuran 4 cm x 2 cm dengan dasar

tulang. Terlihat tulang menonjol 1 cm dari permukaan luka. Tampak terjadi angulasi pada regio antebrachii sinistra 1/3 distal, terlihat seperti garpu, vulnus (-), hematome (-), krepitasi (-), gerakan terbatas, nyeri saat digerakkan (+). Pemeriksaan Penunjang : Laboratorium: Hb : 12,3 mg% Leukosit : 19.600/mm3 Trombosit : 353.000/mm3 Hematokrit : 37,7 % Rontgen: Rontgen Humerus : fraktur suprakondiler humeri sinistra Rontgen antebrachii sinistra : fraktur radius dan ulna 1/3 distal C. RESUME Primary Survey : Jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi : normal. Deformitas pada extremitas atas sinistra. Secondary Survey : 1. Anamnesis : Pasien laki-laki, usia 14 tahun mengeluhkan nyeri pada tangan kiri. Luka robek (+), terlihat tulang (+). Pergelangan tangan kiri bengkok.

2. Pemeriksaan Fisik : Status generalis normal. Vulnus laceratum pada regio brachii sinistra, terlihat tulang. Terdapat angulasi pada regio antebrachii sinistra 1/3 distal. Krepitasi (-). Gerakan terbatas. 3. Pemeriksaan Penunjang Hb : 12,3 mg% Rontgen Humerus : fraktur suprakondiler humeri sinistra Rontgen antebrachii sinistra : fraktur radius dan ulna 1/3 distal D. DIAGNOSIS : 1) Fraktur suprakondiler humeri sinistra terbuka derajat II 2) Fraktur radius dan ulna 1/3 distal tertutup E. DIFERENSIAL DIAGNOSIS : (-) F. USULAN PEMERIKSAAN UNTUK : Diagnosis : (-) Rencana Terapi : DL, BT, CT, Rontgen Thorax G. RENCANA TERAPI : Operatif : Reposisi terbuka dan fiksasi interna (open reduction and internal fixation) H. PROGNOSIS : Dubius ad Bonam TINJAUAN PUSTAKA

A. FRAKTUR1 1. Definisi Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan. 2. Klasifikasi Fraktur Fraktur dapat dibagi menjadi: a. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. b. Frakur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit. Fraktur terbuka terbagi atas tiga derajat (menurut R. Gustillo), yaitu: Derajat I: 1. Luka < 1cm 2. Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka remuk 3. Fraktur sederhana, tranversal, oblik, atau kominutif ringan 4. Kontaminasi minimal Derajat II: 1. Laserasi > 1 cm 2. Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulsi 3. Fraktur kominutif sedang 4. Kontaminasi sedang

Derajat III: 1. Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot, dan neurovaskular serta kontaminasi derajat tinggi. 3. Deskripsi Fraktur Untuk menjelaskan keadaan fraktur, hal-hal yang perlu dideskripsikan adalah: 1. Komplit/tidak komplit a. Fraktur komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto. b. Fraktur tidak komplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang, seperti: 1. Hairline fracture (patah retak rambut) 2. Buckle fracture atau torus fracture, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa dibawahnya, biasanya pada distal radius anak-anak 3. Greenstick fracture, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang anak 2. Bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma a. Garis patah melintang: trauma angulasi atau langsung b. Garis patah oblik: trauma angulasi c. Garis patah spiral, trauma rotasi d. Fraktur kompresi: trauma aksial-fleksi pada tulang spongiosa e. Fraktur avulsi: trauma tarikan/traksi otot pada insersinya di tulang, misalnya fraktur

patela 3. Jumlah garis patah a. Fraktur kominutif: garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan b. Fraktur segmental: garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan. Bila dua garis patah disebut pula fraktur bifokal c. Fraktur multipel: garis patah lebih dari satu tetapi pada tulang yang berlainan tempatnya, misalnya fraktur femur, fraktur kruris, dan fraktur tulang belakang 4. Bergeser/tidak bergeser a. Fraktur undisplaced (tidak bergeser), garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak bergeser, periosteumnya masih utuh b. Fraktur displaced (bergeser), terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi: 1. Dislokasi ad longitudinum cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping) 2. Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut) 3. Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauhi) 5. Terbuka-tertutup a. Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar b. Frakur terbuka (open/compound), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan di kulit. 6. Komplikasi-tanpa komplikasi, bila ada harus disebut. Komplikasi dapat berupa komplikasi dini

atau lambat, lokal atau sistemik, oleh trauma atau akibat pengobatan Dalam menegakkan diagnosis fraktur harus disebut jenis atau bagian tulang yang mempunyai nama sendiri, kiri atau kanan, bagian mana dari tulang (proksimal, tengah, atau distal), komplit atau tidak, bentuk garis patah, jumlah garis patah, bergeser atau tidak bergeser, terbuka atau tertutup dan komplikasi bila ada. 4. Diagnosis a. Anamnesis Bila tidak ada riwayat trauma, berarti fraktur patologis. Trauma harus diperinci kapan terjadinya, dimana terjadinya, jenisnya, berat-ringan trauma, arah trauma, dan posisi pasien atau ekstremitas yang bersangkutan (mekanisme trauma). Jangan lupa untuk meneliti kembali trauma di tempat lain secara sistematik dari kepala, muka, leher, dada, dan perut b. Pemeriksaan umum Dicari kemungkinan komplikasi umum seperti syok pada fraktur multipel, fraktur pelvis, fraktur terbuka; tanda-tanda sepsis pada fraktur terbuka yang mengalami infeksi c. pemeriksaan status lokalis Tanda-tanda klinis pada fraktur tulang panjang:

a. 1. Look, dicari apakah terdapat:


1) Deformitas, terdiri dari penonjolan yang abnormal(misalnya pada fraktur kondilus lateralis humerus), angulasi, rotasi, dan pemendekan) 2) Functio laesa (hilangnya fungsi), misalnya pada fraktur kruris tidak dapat berjalan 3) Lihat juga ukuran panjang tulang, bandingkan kiri dan kanan, misalnya pada tungkai bawah meliputi apparent length (jarak antara umbilikus dengan maleolus

medialis) dan true length (jarak antara SIAS dengan maleolus medialis)

a. 1. Feel, apakah terdapat nyeri tekan. Pemeriksaan nyeri sumbu tidak dilakukan lagi karena
akan menambah trauma.

2. Move, untuk mencari:


1) Krepitasi, terasa bila fraktur digerakkan. Tetapi pada tulang spongiosa atau tulang rawan epifisis tidak terasa krepitasi. Pemeriksaan ini sebaiknya tidak dilakukan karena menambah trauma 2) Nyeri bila digerakkan, baik pada gerakan aktif maupun pasif 3) Seberapa jauh gangguan-gangguan fungsi, gerakan-gerakan yang tidak mampu dilakukan, range of motion (derajat dari ruang lingkup gerakan sendi), dan kekuatan 5. Penatalaksanaan Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk melakukan pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernapasan (breathing), dan sirkulasi (circulation), apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi, baru dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara terperinci. Waktu terjadinya kecelakaan penting ditanyakan untuk mengetahui berapa lama sampai di RS, mengingat golden period 1-6 jam. Bila lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin besar. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara cepat, singkat dan lengkap. Kemudian, lakukan foto radiologis. Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih berat pada jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan foto. Pengobatan fraktur bisa konservatif atau operatif. Terapi konservatif, terdiri dari: 1. Proteksi saja, misalnya mitela untuk fraktur collum chirurgicum humeri dengan kedudukan

baik 2. Imobilisasi saja tanpa reposisi, misalnya pemasangan gips pada fraktur inkomplit dan fraktur dengan kedudukan baik 3. Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips, misalnya pada fraktur suprakondilus, fraktur colles, fraktur Smith. Reposisi dapat dalam anestesi umum atau lokal 4. Traksi, untuk reposisi secara perlahan. Pada anak-anak dipakai traksi kulit (traksi Hamilton Russel, traksi Bryant). Traksi kulit terbatas untuk 4 minggu dan beban < 5 kg. Untuk traksi dewasa/traksi definitif harus traksi skeletal berupa balanced traction. Terapi operatif, terdiri dari: 1. Reposisi terbuka, fiksasi interna. 2. Reposisi tertutup dengan kontrol radiologis diikuti fiksasi eksterna Terapi operatif dengan reposisi anatomis diikuti dengan fiksasi interna (open reduction and internal fixation), artroplasti eksisional, ekssisi fragmen, dan pemasangan endoprostesis Tindakan pada fraktur terbuka harus dilakukan secepat mungkin. Penundaan waktu dapat mengakibatkan komplikasi infeksi. Waktu yang optimal untuk bertindak sebelum 6-7 jam (golden period). Berikan toksoid, antitetanus serum (ATS), atau tetanus human globulin. Berikan antibiotik untuk kuman Gram positif dan negatif dengan dosis tinggi. Lakukan pemeriksaan kultur dan resistensi kuman dari dasar luka fraktur terbuka. 6. Komplikasi2 Komplikasi fraktur yang penting adalah : a. Komplikasi dini 1. Lokal

1) Vaskuler : compartment syndrome (Volkmann iskemia), trauma vaskuler. 2) Neurologis : lesi medula spinalis atau saraf perifer 2. Sistemik : emboli lemak b. Komplikasi lanjut 1. Lokal : 1) Kekakuan sendi/kontraktur 2) Disuse atropi otot-otot 3) Malunion 4) Nonunion/infected nonunion 5) Gangguan pertumbuhan (fraktur epifisis) 6) Osteoporosis post trauma B. FRAKTUR SUPRAKONDILER HUMERI2 1. Pendahuluan Fraktur pada ujung distal humerus bisa diklasifikasikan menjadi : (1) Fraktur Suprakondiler, (2) Fraktur Transkondiler, (3) Fraktur Interkondiler, (4) Fraktur Kondiler (lateral dan medial), (5) Fraktur permukaan sendi (trochlea dan kapitelum), dan (6) Fraktur Epikondilus3. Bentuk tulang pada humerus 1/3 distal, terutama pada suprakondiler humerus berlainan anatominya. Di daerah ini terdapat titik lemah, dimana tulang humerus menjadi pipih disebabkan adanya fossa olecranon di bagian posterior dan fossa koronoid di bagian anterior. Maka mudah dimengerti di daerah ini merupakan titik lemah kalau ada trauma di daerah siku. Lebih-lebih pada anak-anak sering dijumpai adanya patah di daerah ini.

2. Mekanisme Trauma Ada dua macam mekanisme terjadinya patah yang menyebabkan dua macam tipe patah suprakondiler yang terjadi: a. Tipe ekstensi. Trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi, lengan bawah dalam posisi supinasi. Hal ini akan menyebabkan patah pada suprakondiler dimana fragmen distal akan mengalami dislokasi ke anterior dari fragmen proksimal humerus b. Tipe fleksi. Trauma terjadi ketika posisi siku dalam fleksi (40), sedang lengan bawah dalam posisi pronasi. Hal ini menyebabkan fragmen distal humeri mengalami dislokasi ke posterior dari fragmen proksimal humeri. Paling sering dijumpai adalah tipe fleksi. Karena ujung fragmen proksimal humeri menonjol ke anterior pada tipe fleksi, bisa terjadi kerusakan pada jaringan lunak yang berada di bagian anterior siku, yakni tertekannya atau terobeknya arteri brakhialis dan nervus medianus, atau sampai menembus subkutis dan kutis menyebabkan luka menjadi fraktur terbuka. Apabila terjadi arteri Brakhialis tertekan, dapat terjadi komplikasi yang disebut dengan Volkmanns iskemia. Tanda-tanda klinis adanya Volkmanns iskemia ditemukan adanya: 1. Sakit (pain) 2. Denyut nadi arteri Radialis yang berkurang (pulse lessness) 3. Pucat (pallor) 4. Rasa kesemutan (parestesia, baal) 5. Kelumpuhan (paralisis) 3. Gejala Klinis Pada tipe ekstensi posisi siku dalam posisi ekstensi. Daerah siku tampak pembengkakan kadang pembengkakan hebat sekali, kalau pembengkakan tidak hebat dapat teraba tonjolan

fragmen distal di bawah subkutis. Pada tipe fleksi posisi siku dalam posisi fleksi (semi fleksi), kalau pembengkakan tidak hebat dapat teraba ujung fragmen humerus bagian proksimal, ditambah nyeri gerak, nyeri tekan. Pemeriksaan penunjang dengan radiologi proyeksi AP/LAT, jelas dapat dilihat tipe ekstensi atau fleksi. 4. Penatalaksanaan Kalau pembengkakan tidak hebat dapat dicoba dilakukan reposisi dalam narkosa umum. Penderita tidur terlentang, siku dalam posisi ekstensi, penolong menekuk bagian distal, sedang asisten menahan bagian proksimal. Setelah tereposisi, posisi siku dibuat fleksi secara perlahan-lahan. Gerakan fleksi diteruskan sampai arteri radialis mulai tak teraba. Kemudian diekstensi siku sedikit untuk memastikan arteri radialis teraba lagi. Dalam posisi fleksi maksimal ini dilakukan imobilisasi dengan gips spal. Posisi fleksi maksimal dipindahkan karena penting untuk menegangkan otot trisep yang berfungsi sebagai internal splint. Kalau dalam pengontrolan dengan radiologi hasilnya sangat baik gips dapat dipertahankan dalam 3-6 minggu. Dalam pengontrolan pasca reposisi harus diikuti suara denyut arteri Radialis untuk menghindarkan terjadi komplikasi Volkmanns iskemia. Kalau dalam pengontrolan ditemukan tanda-tanda Volkmanns iskemia secepatnya posisi siku diletakkan dalam ekstensi, untuk imobilisasinya diganti dengan skin traksi dengan sistem Dunlop. Pada penderita dewasa kebanyakan patah didaerah suprakondiler garis patahnya berbentuk T atau Y, yang membelah sendi untuk menanggulangi hal ini lebih baik dilakukan tindakan operasi dengan pemasangan internal fiksasi Fraktur suprakondiler pada orang dewasa biasanya diterapi mirip dengan pada fraktur

batang humerus dengan gantungan lengan atau dengan bidai. Reduksi terbuka dan fiksasi internal (open reduction and internal fixation) dilakukan hanya pada adanya kerusakan neurovaskuler atau jika posisi yang memuaskan dari fraktur tersebut tidak bisa didapatkan dari metode tertutup3. Pemeriksaan neurovaskuler yang seksama pada lengan merupakan pemeriksaan dasar, terutama pada fraktur suprakondiler tipe ekstensi (angulasi apek ke enterior). Arteri brachialis bisa robek oleh fragmen fraktur proksimal, baik pada saat kecelakaan atau selama reduksi, dan sindrom kompartemen bisa muncul. Ketiga saraf utama yang menyilang siku bisa terluka, tetapi saraf median dan radius merupakan saraf yang paling banyak terkena3. Sekrup menyilang atau paku menyilang bisa digunakan dengan hasil yang baik. Sekrup atau paku harus ditempatkan pada bagian pilar medial dan lateral dan bisa mengikat korteks posterior tulang. Kami memilih menggunakan sekrup dengan mengebor fragmen distal sehingga terjadi penekanan saat sekrup tersebut ditautkan. Jika salah satu atau kedua colum mengalami fraktur kominutif, plat yang bisa dibentuk bisa digunakan untuk merekontruksi pilar humerus. Plat DuPont bisa digunakan pada colum lateral saja jika colum medial tidak mengalami fraktur kominutif, seperti yang dijelaskan oleh Waddell et all. Fiksasi internal yang kaku diperlukan jika menginginkan bisa menggerakkan siku dengan cepat. Jika dilakukan reduksi terbuka,tujuannya harus mantap yaitu dengan menggunakan fiksasi internal yang kaku.jika tidak, perlu direncanakan terapi nonoperatif3. Jika terdapat kontraindikasi operasi karena pembengkakan yang berat, terjadi trauma, kulit yang memar atau karena kondisi pasien sendiri, fraktur suprakondiler yang bergeser tersebut bisa diterapi dengan hasil yang memuaskan menggunakan traksi paku pada lengan atau pada bagian atas kepala olecranon sampai terapi operatif dapat dilakukan. Perawatan rumah sakit yang lama dibutuhkan jika traksi merupakan terapi definitive3. 5. Komplikasi Volkmanns iskemia, terjepitnya arteri Brachialis yang akan menyebabkan nekrosis otototot dan saraf. Nekrosis akan terjadi mulai 6 jam terjadinya iskemik. Maka penaggulangan

Volkmanns iskemia sangat penting sebelum 6 jam arteri harus sudah bebas. Kalau dilakukan perubahan posisi ekstensi denyut arteri radialis masih belum teraba perlu dilakukan arteriografi dulu, untuk menentukan lokasi sumbatannya, kemudian dilakukan operasi eksplorasi arteri Brachialis, dicari penyebabnya. Operasi dapat berupa repair arteri yang robek, atau kalau perlu reseksi arteri dan dilakukan vena graft. Kalau Volkmanns iskemia tidak ditolong segera akan menyebabkan Volkmanns kontraktur, dimana terjadi otot-otot fleksor lengan bawah menjadi nekrosis dan akhirnya fibrosis, sehingga tangan tidak dapat berfungsi lagi. Mal union cubiti varus (carrying angle berubah) dimana siku berbentuk O, secara fungsi baik, tetapi kosmetik kurang baik. Perlu dilakukan koreksi dengan operasi meluruskan siku dengan teknik French osteotomy. C. FRAKTUR RADIUS ULNA2 1. Pendahuluan Pada ulna dan radius sangat penting gerakan-gerakan pronasi dan supinasi. Untuk mengatur gerakan ini diperlukan otot-otot supinator, pronator teres, dan pronator kuadratus. Yang bergerak supinasi-pronasi (rotasi) adalah radius. 2. Mekanisme Trauma Umumnya trauma yang terjadi pada antebrachii adalah trauma langsung, dimana radius dan ulna patah satu level yaitu biasanya pada 1/3 tengah dan biasanya garis patahnya tranversal. Tetapi bisa pula terjadi trauma tak langsung yang akan menyebabkan level garis patah pada radius dan ulna tak sama dan bentuk garis patahnya juga dapat berupa oblique atau spinal. 3. Diagnosis Patah radius ulna mudah dilihat, adanya deformitas di daerah yang patah, bengkak,

angulasi, rotasi (pronasi atau supinasi), perpendekan. Pada pemeriksaan rontgen antebrachii AP/LAT ditemukan garis patahnya dan level garis patahnya serta dislokasinya 4. Penatalaksanaan Dilakukan reposisi tertutup. Prinsipnya dengan melakukan traksi ke arah distal dan mengembalikan posisi tangan yang sudah berubah akibat rotasi. Untuk menempatkan posisi tangan dalam arah yang benar harus dilihat letak garis patahnya. Kalau garis patahnya 1/3 proksimal, posisi fragmen proksimal selalu dalam posisi supinasi karena kerja otot-otot supinator. Maka untuk mendapatkan kesegarisan yang baik fragmen distal diletakkan dalam posisi supinasi. Kalau letak garis patahnya di tengah-tengah (1/3 tengah), posisi radius dalam posisi netral akibat kerja otot-otot supinator dan otot pronator seimbang. Maka posisi bagian distal diletakkan dalam posisi netral. Kalau letak garis patahnya 1/3 distal, radius selalu dalam posisi pronasi karena kerja otototot pronator quadratus, posisi seluruh lengan harus dalam posisi pronasi. Setelah ditentukan kedudukannya baru dilakukan immobilisasi dengan gips sirkular di atas siku. Gips dipertahankan 6 minggu. Kalau hasil reposisi tertutup tidak baik, dilakukan tindakan operasi (open reposisi) dengan pemasangan internal fiksasi dengan plate-screw (AO) 5. Komplikasi Dapat terjadi delayed union, non union, mal union PEMBAHASAN Pada kasus ini pasien datang dengan keluhan nyeri pada tangan kiri setelah terjatuh dari pohon. Pada primary survey tidak didapatkan gangguan pada jalan napas, gangguan pernapasan, maupun

gangguan sirkulasi. Namun didapatkan deformitas pada extremitas atas kiri. Pada kasus ini terdapat dua jenis fraktur yang diderita oleh pasien yaitu fraktur terbuka pada humerus sinistra dan fraktur tertutup pada radius dan ulna. Berdasarkan derajat fraktur terbuka, pada kasus ini didapatkan derajat fraktur pada humerus yaitu fraktur terbuka derajat II. Ini berdasarkan luas luka > 1 cm, terdapat kerusakan jaringan, dan adanya kontaminasi sedang. Terapi pada pasien ini yaitu tindakan operatif dengan teknik reposisi terbuka dan fiksasi interna. Terapi ini dipilih karena adanya fraktur terbuka derajat II pada humerus sinistra. Prognosis pada kasus ini yaitu dubius ad bonam karena pasien datang masih dalam golden period, sehingga resiko terjadinya infeksi minimal. DAFTAR PUSTAKA 1. Mansjoer, A (ed), 2001, Kapita Selekta Kedokteran edisi ketiga, Media Aesculapius FKUI, Jakarta 2. Reksoprodjo, S (ed), 1999, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSCM. Binarupa Aksara, Tanggerang Canale, S.T (ed), 2003, Campbells Operative Orthopaedics volume three tenth edition, Mosby, Philadelphia

LAPORAN KASUS A. IDENTITAS PASIEN Nama : DK Usia : 20 tahun Jenis kelamin : Perempuan Alamat : Narmada Tanggal MRS : 14 Juli 2010 Tanggal pemeriksaan : 20 Juli 2010 B. ANAMNESA Keluhan Utama : Tidak bisa mengangkat tangan kanan Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien mengeluh tidak bisa mengangkat tangan kanan sejak jatuh 4 bulan yang lalu. Pasien jatuh dengan posisi lengan kanan lurus menapak pada tanah dengan posisi setengah tengkurap. Riwayat kepala terbentur (-), riwayat pingsan (-), mual (-), muntah (-). Setelah jatuh terjadi bengkak pada lengan (+), jari-jari masih dapat digerakkan namun os tidak dapat menekuk lengan kanannya. Kemudian pasien dibawa ke puskesmas dan di puskesmas pasien dinyatakan terdapat patah pada lengan. Petugas puskesmas memberikan dua saran yaitu bias berobat ke dukun pijat dan ke rumah sakit, namun keluarga pasien memilih untuk pergi ke dukun pijat. 2 minggu setelah ke dukun pijat pasien tidak ada merasakan perubahan pada tangannya dan tangannya semakin membengkak. Pasien tidak dapat meluruskan tangannya dan tidak dapat menekuk tangannya. Kemudian pasien baru di bawa ke rumah sakit pada tanggal 14 Juli 2010

Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya, riwayat perdarahan yang lama berhenti disangkal pasien. Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada keluarga yang mengalami penyakit seperti pasien. C. PEMERIKSAAN FISIK a. Kepala-leher Kepala : bentuk simetris, deformitas (-) Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera ikterus -/Leher : hematom (-), gerakan leher normal (+), pembesaran KGB (-), nyeri saat digerakkan (-) THT : Dalam batas normal b. Thorax- cardiovascular Paru Inspeksi : pergerakan dinding thorax simetris, retraksi (-), tampak massa (-) Palpasi : Pergerakan dinding dada simetris, teraba massa (-) Perkusi : Sonor +/+ Auskultasi : Vesikuler +/+, Wheezing -/-, ronkhi -/Jantung Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis teraba Perkusi : pekak, batas atas parasternal line kiri pada ICS 2, batas bawah ICS 5 kiri, batas kanan parasternal line kanan, batas kiri midclavicula kiri pada ICS 5 Auskultasi : S1 S2 tunggal, mur-mur (-), gallop (-) c. Abdomen-Pelvic-Inguinal Inspeksi : Distensi (-), darm contur (-), darm steifung (-), massa pada suprapubik (-), massa pada inguinal (-) Auskultasi : BUN (+) Palpasi : Supel (+), nyeri tekan (-), massa (-), hepar-lien tidak teraba, ginjal kiri dan kanan tidak teraba. Pada pelvic tidak teraba massa, nyeri tekan suprapubik (-), buli-buli tidak teraba. Pada inguinal tidak teraba massa, nyeri tekan (-), pembesaran KGB inguinal (-). Perkusi : Timpani di seluruh kuadran abdomen. d. Uro-genital Inspeksi : Tnada-tanda radang pada region CVA (-), tanda radang pada genital (-) Palpasi : Nyeri tekan pada CVA (-), teraba massa pada CVA dan genitalia (-) e. Anal-perianal Inspeksi : Tanda-tanda radang (-), tampak massa (-) Palpasi : Nyeri tekan (-), teraba massa (-) f. Ekstrimitas atas dan aksila Inspeksi : Pada lengan kanan tampak udem (+), lengan atas tergulung elastic bandage, lengan kiri dalam batas normal, pembesaran KGB aksila (-), edema (-/-)

Palpasi : Pada lengan kanan nyeri tekan (+), movement lengan kanan tidak dapat fleksi dan ekstensi, jari-jari tangan dapat digerakkan semua, rotasi medial dan lateral (+), pulsasi arteri radialis lengan kanan (+). lengan kiri dan jari-jari tangan kiri dalam batas normal. g. Ekstrimitas bawah Deformitas -/-, edema -/-, akral hangat (+), pergerakan aktif (+) STATUS LOKALIS Inspeksi : Tampak lengan kanan terbalut elastic bandage dan terpasang drain. Palpasi : Nyeri tekan (+) pada lengan kanan, sensibilitas rasa raba pada ujung jari I, II, III, IV dan V (+), sensibilitas rasa raba pada bagian dorsal kelima jari (+), pulsasi arteri radialis (+) Pergerakan : Pronasi (+), supinasi (+), ekstensi (-), fleksi sangat minimal 0o- 20o, rotasi medial (+), rotasi lateral (+), gerakan jari dalam batas normal. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium Hb : 12,4 g/dl WBC : 12,8 k/ul PLT : 295 k/ul HCT : 38,3% LED : 20 BT : 200 CT : 720

Radiologi pre op Radiologi post op

D. RESUME Anamnesis Perempuan berusia 20 tahun mengeluh tidak dapat mengangkat lengan kanannya sejak 4 bulan yang lalu setelah jatuh dari sepeda motor. Pasien tidak dapat menekuk lengan kanannya dan lengan kanannya bengkak serta nyeri. Sebelum di operasi di rumah sakit pasien pernah berobat dan dipijat oleh dukun. Pemeriksaan Fisik Status generalis normal, tampak lengan kanan dibalut bandage serta terpasang drain. Pergerakan pronasi (+), supinasi (+), rotasi medial (+), rotasi lateral (+),fleksi (-), ekstensi () pergerakan jari-jari dalam batas normal. Pulsasi arteri radialis teraba (+), nyeri tekan (-) E. DIAGNOSIS Neglected fraktur suprakondilus dextra F. DIAGNOSIS BANDING Tidak ada G. USULAN PEMERIKSAAN Kontrol foto humerus ap/lat, LED H. TERAPI Terapinya adalah terapi operatif yaitu osteotomi fraktur lama serta reduksi fraktur dan stabilisasi dengan K-wire. I. PROGNOSIS Dubius ad bonam

TINJAUAN PUSTAKA FRAKTUR SUPRACODILUS I. DEFINISI Fraktur suprakondilus merupakan salah satu jenis fraktur yang mengenai daerah elbow, dan sering ditemukan pada anak-anak. Fraktur suprakondilus adalah fraktur yang mengenai humerus bagian distal di atas kedua kondilus. Pada fraktur jenis ini dapat dibedakan menjadi fraktur supracondilus extension type (pergeseran posterior) dan flexion type (pergeseran anterior) berdasar pada bergesernya fragmen distal dari humerus. Jenis fleksi adalah jenis yang jarang terjadi. Jenis ekstensi terjadi karena trauma langsung pada humerus distal melalui benturan pada siku dan lengan bawah dalam posisi supinasi dan dengan siku dalam posisi ekstensi dengan tangan yang terfiksasi. Fragmen distal humerus akan terdislokasi ke arah posterior terhadap humerus.(1,2) Fraktur humerus suprakondiler jenis fleksi pada anak biasanya terjadi akibat jatuh pada telapak tangan dan lengan bawah dalam posisi pronasi dan siku dalam posisi sedikit fleksi. Pada pemeriksaan klinis didapati siku yang bengkak dengan sudut jinjing yang berubah. Didapati tanda fraktur dan pada foto Rontgen didapati fraktur humerus suprakondiler dengan fragmen distal yang terdislokasi ke posterior.(2) II. KLASIFIKASI Association for the Study of Internal Fixation (AO-ASIF) mendeskripsikan klasifikasi berdasarkan pada pola fraktur dan derajat kominusi.(3) 1. Type A - Extraarticular fractures
1) A1 - Epicondylar

avulsions fractures fractures with comminution

2) A2 - Supracondylar 3) A3 - Supracondylar

1. Type B - Unicondylar fractures


1) B1 2) B2 3) B3

- Fracture of the lateral condyle - Fracture of the medial condyle - Tangental fracture of the condyle

1. Type C - Bicondylar fractures


1) C1 2) C2 3) C3

- T-shaped or Y-shaped fracture - T-shaped or Y-shaped fractures with comminution of 1 or 2 pillars - Extensive comminution of the condyles and pillars

Klasifikasi yang lain adalah klasifikasi Mehne dan Matta yang mendeskripsikan karakteristik spesifik frkatur bikolum dan agar dapat merencanakan operatif lebih baik sebelumnya.(3) 1. High T fracture 2. Low T fracture 3. Y fracture 4. H fracture 5. Medial Lambda fracture 6. Lateral Lambda fracture Klasifikasi berdasarkan ada tidaknya pergeseran fragmen (fraktur pada anak)(4) Tipe I : Terdapat fraktur tanpa adanya pergeseran dan hanya berupa retak yang berupa garis Tipe II : Tidak ada pergeseran fragmen, hanya terjadi perubahan sudut antara humerus dan kondilus lateralis (normal 40o)

Tipe III : Terdapat pergeseran fragmen tetapi korteks posterior masih utuh serta masih ada kontak antara kedua fragmen. Tipe IV : Pergeseran kedua fragmen dan tidak ada kontak sama sekali. Gambar 2.1. Klasifikasi fraktur humeri pada anak III. ANATOMI Secara fungsional, persendian siku itu seperti engsel yang terdesak. Olecranon dari persendian ulna mengelilingi trochlea dari humerus. Trochlea normalnya memiliki kemiringan 4 dari valgus pada pria dan 8 dari valgus pada wanita, hal inilah yang membuat sudut pada siku. Trochlea berotasi 3-8 keluar dari garis lurus yang menghubungkan medial dan lateral epikondilus, hal ini menyebabkan rotasi eksternal dari lengan ketika siku fleksi 90. (3) Gambar 1.1. Sudut trochea Gambar 3.1. Anatomi trochlear Untuk menstabilakan gerakan siku, trochlea harus diperbaiki ke posisi normal, sebagai simpul antara kolum medial dan lateral humerus distal. Ini membentuk segitiga humerus distal, yang secara krusial untuk menstabilkan fungsi humerus (lihat gambar di bawah). Kedua kolum harus mencapai atau menempel pada trochlea. (3) Gambar 3.2. Kolum medial dan lateral dihubungkan dengan trochlea membentuk segitiga humerus distal Fossa olecranon merupakan tulang yang sangat tipis, tidak memerlukan restorasi jika terjadi patah comminuted. Jika kolum medial dan lateral dapat di fiksasi dengan baik pada trochlea, maka dapat di toleransi untuk gerakan dini. Kolum medial menyimpang kira-kira 45 dari batang humerus, berlanjut dan berakhir di epikondilus medial. Sebagai persendian dengan epicondilus anteromedialis, seluruh permukaannya dapat untuk alat fiksasi internal. Hatihati untuk melindungi dan memindahkan nervus ulna ke anterior.(3)

Kolum lateral menyimpang dari batang humerus kira-kira 20 dan merupakan tulang korteks yang besar dengan permukaan posterior yang datar dan lebar, membuatnya ideal untuk penempatan plate. Pada capitellum posterior, screw harus digunakan untuk menghindari gangguan dari capitellar tulang rawan. Studi biomekanik telah mendemonstrasikan konstruksi yang kuat untuk fiksasi fraktur bicondylar yaitu dengan dipasang srew pada medial plate dan posterolateral plate pada sudut 90. Ini membuat rotasi valgus dan varus menjadi stabil untuk bergerak.(3) IV. MEKANISME CEDERA Fraktur Suprakondi'us Extension Type (Pergeseran kearah Posterior) Menunjukkan cedera yang luas, dan biasanya akibat jatuh pada tangan yang terekstensi. Humerus patah tepat di atas condilus. Fragmen distal terdesak ke belakang lengan bawah (biasanya dalam posisi pronasi) terpuntir ke dalam. Ujung fragmen proksimal yang bergerigi mengenai jaringan lunak bagian anterior, kadang mengenai artmi brachialis atau n. medianus. Periosteum posterior utuh,sedangkan periosteum anterior ruptur; terjadi hematom fossa cubiti dalam jumlah yang signifikan. (2) Fraktur suprakondilus flexion type Tipe fleksi terjadi bila penderita jatuh dan terjadi trauma langsung pada sendi siku pada distal humeri.(4) V. GAMBARAN KLINIS Setelah jatuh anak merasa nyeri dan siku mengalami pembengkakan; deformitas pada siku biasanya jelas serta kontur tulang abnormal. Nadi perlu diraba dan sirkulasi perlu diperiksa, serta tangan harus diperiksa untuk mencari ada tidaknya bukti cedera saraf dan gangguan vascularisasi, sehingga bila tidak diterapi secara cepat dapat terjadi:"acute volksman ischaemic" dengan tanda-tanda: pulseless; pale; pain; paresa; paralysis. (2) Pada lesi saraf radialis didapati ketidakmampuan untuk ekstensi ibu jari dan ekstensi jari lain pada sendi metacarpofalangeal. Juga didapati gangguan sensorik pada bagian dorsal

serta metacarpal I. Pada lesi saraf ulnaris didapati ketidakmampuan untuk melakukan gerakan abduksi dan aduksi jari. Gangguan sensorik didapati pada bagian volar jari V. Pada lesi saraf medianus didapati ketidakmampuan untuk gerakan oposisi ibu jari dengan jari lain. Sering didapati lesi pada sebagian saraf medianus, yaitu lesi pada cabangnya yang disebut saraf interoseus anterior. Di sini didapati ketidakmampuan jari I dan II untuk melakukan fleksi.(1) VI. GAMBARAN RADIOLOGIS Fraktur terlihat jelas dalam posisi foto lateral, di mana pada fraktur jenis ekstension ini didapatkan garis fraktur berjalan oblique ke bawah dan ke depan serta fragmen distal bergeser ke belakang, ataupun miring ke belakang. Dalam posisi antero posterior foto seringkali susah didapatkan dengan baik akibat nyeri yang dirasakan oleh anak dan mungkin dapat ditunda hingga telah dilakukan anaesthesi.(2) Gambar 6.1. fraktur ekstensi suprakondilus Gambar 6.2. Fraktur fleksi suprakondilus Catatan bahwa foto tersebut (tipe fleksi) dalam posisi foto lateral tampak fragmen distal telah bergeser volar dibandingkan dengan bagian proksimal.(5) VII. KOMPLIKASI FRAKTUR SUPRAKONDILUS HUMERUS 1. Pembentukan lepuh kulit Pembengkakan sendi siku terjadi karena gangguan drainase atau mungkin juga karena perban yang terlalu ketat. 2. Maserasi kulit pada daerah antekubiti Komplikasi ini terjadi karena setelah reposisi , dilakukan fleksi akut pada sendi siku yang menyebabkan tekanan pada kulit. 3. Iskemik Volkmann

Iskemik Volkmann terutama terjadi pada fraktur suprakondiler humeri tipe ekstensi, fraktur antebraki (fraktur ulna dan radius) dan dislokasi sendi siku. Iskemik terjadi karena adanya obstruksi sirkulasi vena karena verban yang terlalu ketat, penekanan gips atau fleksi akut sendi siku. Di samping itu terjadi pula obstruksi pembuluh darah arteri yang menyebabkan iskemik otot dan saraf lengan bawah. Iskemik Volkmann ditandai dengan 5P (pain, pallor, pulselessness, parasthesia dan paralysis). 4. Trauma saraf perifer Trauma saraf perifer sering mengenai nervus medianus yaitu interosseus anterior nerve daripada nervus ulnaris. Ditandai dengan gejala penderita tidak dapat memfleksikan ibu jari dan jari telunjuk. Kelainan ini biasanya berdifat sementara dan prognosisnya baik. Gambar 7.1. Lesi pada nervus medianus Gambar 7.2. Persarafan pada lengan 5. Mallunion Komplikasi mallunion dapat berupa kubitus varus atau perubahan letak posisi distal humerus ke posterior (carrying angle). Kubitus varus merupakan komplikasi paling sering ditemukan. Kelainan ini sulit dihindarkan kecuali dengan melakukan reposisi yang akurat. Kelainan dekubitus varus akan memberikan gejala sisa dan secara psikologis anak merasa rendah diri sehingga perlu dilakukan koreksi osteotomi. Perubahan posisi humerus distal akan memberikan gangguan pergerakan fleksi,sehingga terjadi hiperekstensi. Pada keadaan ini perlu dilakukan koreksi osteotomi. Gambar 7.3. Carrying angle Gambar 7.4. Kubitus varus. 6. Miositis osifikans Merupakan komplikasi lanjut fraktur suprakondiler humeri yang akan memberikan gangguan pergerakan pada sendi siku di kemudian hari.(4) VIII. TERAPI

Terapi fraktur supracondylus extension type Berbeda dengan fraktur pada anak, fraktur humerus suprakondiler pada orang dewasa sering kali menghasilkan fragmen distal yang kominutif dengan garis fraktur berbentuk Y atau T. Mekanisme trauma dan tanda klinis tidak berbeda dengan fraktur pada anak. Penanggulangan fraktur ini pada orang dewasa lebih banyak bersifat operatif, yaitu reposisi terbuka dan fiksasi fragmen fraktur dengan fiksasi yang kokoh, yang memungkinkan gerakan dini sendi siku. Hal ini dikerjakan agar tidak terjadi komplikasi berupa sendi kejur siku akibat perlengketan sendi.(2) Pada anak apabila tidak disertai dengan pergeseran, maka tidak perlu dilakukan reduksi; anak hanya memakai kain gendongan selama 2-3 minggu. Sedangkan fraktur yang disertai dengan pergeseran hams dilakukan reduksi secepat mungkin, dengan menggunakan anaesthesi umum (general anaesthesi). Reduksi dilakukan dengan manuver secara metodik dan berhatihati(2) 1) Traksi selama 2-3 menit di sepanjang lengan dengan traksi lawan di atas siku, 2) Koreksi terhadap kemiringan, pergeseran atau pemuntiran (rotasi) ke samping dibandingkan dengan lengan sebelah, 3) Siku difleksikan perlahan-lahan sementara traksi tetap dipertahankan, 4) Tekanan jari di belakang fragmen distal untuk mengoreksi kemiringan posterior, kemudian dilakukan perabaan nadi: di mana bila nadi tak teraba, segera kendurkan fleksi siku hingga nadi muncul kembali. Sinar-x diambil untuk memastikan reduksi, sambil memeriksa dengan cermat untuk memastikan bahwa tidak terjadi angulasi varus maupun valgus dan tidak ada deformitas rotasional. Setelah reduksi, lengan dipertahankan dalam suatu collar dan manset, terus-menerus, selama 3 minggu. Setelah itu, diperbolehkan melakukan fleksi siku aktif tetapi lengan disangga alam kain gendongan dan ekstensi dihindari selama 3 minggu kemudian. Terapi juga dapat dilakukan berdasarkan tipe fraktur Tipe I : Cukup dengan pemasangan mitela dan sembuh dalam 10 hari sampai 2 minggu.

Tipe II : Perlu dilakukan reposisi tertutup untuk mengembalikan posisi humerus distal karena akan terdapat gangguan dalam pergerakan ekstensi dan fleksi sendi siku di kemudian hari. Tipe III dan IV : Reposisi tertutup sebaiknya dengan menggunakan image intensifier dan dapat difiksasi dengan K-wire perkutaneus atau fiksasi dan dipasang gips. Apabila tidak berhasil, maka dianjurkan tindakan operasi terbuka dengan pemasangan K-wire, juga pada penderita yang datang setelah beberapa hari terjadinya fraktur.(4) PEMBAHASAN Pada kasus ini pasien datang dengan keluhan nyeri, bengkak pada lengan kanan serta pasien tidak dapat mengangkat tangannya sejak 4 bulan yang lalu setelah jatuh dari motor. Pasien baru dibawa berobat ke rumah sakit karena pengobatan di dukun pijat tidak merubah kondisi pasien. Hal ini menunjukkan bahwa curiga terdapat adanya fraktur pada lengan kanan dan fraktur tersebut terbengkalai. Kemudian komplikasi yang paling sering pada kasus fraktur lengan atas adalah sindroma kompartemen. Pasien mengaku sebelum dioperasi lengannya bengkak dan pasien tidak dapat menggerakkan lengannya, hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan pada saat itu pasien menuju pada sindroma kompartemen yang ditandai oleh 5P (pain, pallor, pulselessness, paralysis and paresa). Sindroma kompartemen sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup jaringan di distal trauma karena dapat mengakibatkan iskemia dan akhirnya menjadi nekrosis. Jika telah terjadi gejala sindroma kompartemen maka penanganan harus secepat mungkin dan mengenali hal penyebab terjadinya sindroma kompartemen tersebut. Pada pasien ini, setelah pasien dioperasi, bengkak pada lengan kanan masih ada, pulsasi arteri radialis teraba baik dan pasien dapat menggerakkan jari-jarinya, hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi sindroma kompartemen dan tidak mengenai saraf perifer. Pada foto Roentgen humerus AP Lateral sebelum dioperasi, tampak fraktur pada distal humerus dengan fragmen distal bergeser ke belakang, fraktur suprakondiler ini tampak seperti huruf Y yang mengenai 2 epikondilus serta mematahkan sebagian distal humerus. Berdasarkan jenisnya, fraktur pasien ini merupakan fraktur suprakondilus ekstensi dimana fragmen distal terdorong lebih posterior dari fragmen proksimal. Pada anamnesis, pasien terjatuh dengan posisi hiperekstensi lengan yang menguatkan bahwa jenis frakturnya adalah fraktur suprakondilus

humerus tipe ekstensi. Fraktur suprakondilus humerus lebih banyak terdapat pada anak karena pada anak terjadi perubahan tulang panjang (femur, humerus) dari tubuler menjadi pipih, hal ini juga dipengaruhi oleh adanya growth hormone yang berlebih pada anak berusia 5-7 tahun. Selain itu juga, komposisi tulang di atas epikondilus sangat tipis pada anak sehingga jika anak mengalami trauma siku, mudah sekali terjadi fraktur. Penatalaksanaan atau terapi pada pasien dengan fraktur suprakondilus tipe ekstensi sebenarnya dapat dilakukan secara konservatif yaitu memposisikan lengan berlawanan dari jenis frakturnya yang kemudian difiksasi dengan menggunakan kain gendongan (biasanya pada anak). Fraktur pada orang dewasa biasanya bersifat coomminutif, dan pada pasien ini bentuk frakturnya adalah Y sehingga dilakukan fiksasi internal dengan K-wire agar patahan tidak bergerak dan meminimalisir terjadinya komplikasi kubitus varus. Dikatakan neglected karena tampak tandatanda fraktur lama yaitu telah terbentuk kalus pada humerus distal. Pada operasi dilakukan osteotomi pada fraktur lama agar bentuk frakturnya lebih baik. Pemeriksaan fisik pasien setelah operasi antara lain pasien belum dapat mengangkat atau memfleksikan lengannya, namun pergerakan jari-jari pasien normal. Pasien dapat memfleksikan dan ekstensi pergelangan tangan serta menggerakkan jari-jari tangannya (fleksi). Nervus medianus merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada fraktur suprakondilus humerus, tanda-tandanya adalah penderita tidak dapat memfleksikan ibu jari dan jari telunjuknya. Namun, pada pasien ini tidak tampak gejala seperti itu, hal ini berarti tidak terjadi komplikasi pada nervus medianus atau nervus radialis. Prognosis fraktur suprakondilus humerus adalah baik jika ditangani dengan baik dan cepat. DAFTAR PUSTAKA (1) De Jong, Wim. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : EGC (2) Mark A Noffsinger. 2009. Supracondilus Humerus Fractures. Available from e-medicine : http://emedicine.medscape.com/article/1269576-overviewion

(3) Anonim, 2009. Fraktur Suprakondiler Humerus. Diperoleh dari :http://asic.lib.unair.ac.id/journals/abstrak/Folia%20Chirurgica%20XV%201%202002%20 %3B%20Dino%20%3B%20Fraktur%202.pdf (4) Rasjad, Chairuddin. 2003. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makassar : Bintang Lamumpatue. (5) Singh, Arul Pang. 2009. Xray of Flexion Type of Supracondyle Fracture. Available from :http://boneandspine.com/muculoskeletal-radiology/xray-of-flexion-type-supracondylarfracture/

I. IDENTITAS PASIEN Nama : R Umur : 11 tahun Jenis kelamin : laki-laki Alamat : Sokong, Lombok Utara Tanggal MRS : 1 Juni 2009 Tanggal pemeriksaan : 7 Juni 2009 II. ANAMNESA a. Keluhan utama Nyeri dan bengkak pada lutut kiri b. Riwayat penyakit sekarang Os mengeluh nyeri dan bengkak pada lutut kiri karena terjatuh sewaktu bermain bola sekitar 5 bulan yang lalu. Keluhan ini tidak mengganggu aktifitasnya dan os masih dapat berjalan normal. Pusing, mual, muntah dan demam disangkal oleh pasien. Batuk terkadang menjadi keluhan juga, tetapi os tidak dapat mengingat sejak kapan ia mulai batuk. Batuk yang dirasakan berupa batuk kering, tanpa disertai dahak. Untuk mengatasi keluhan nyeri dan bengkak di lutut tersebut orang tua os dibawanya ke beberapa tukang urut untuk menjalani pemijatan, namun semuanya tidak dapat memperbaiki kondisis pasien. Sekitar 2-3 bulan kemudian muncul bisul pada lutut yang bengkak. Bisul tersebut terasa gatal sehingga sering digaruk oleh pasien. Tak lama kemudian dari bisul tersebut keluar nanah berwarna putih. Nanah tersebut keluar terus menerus dan terkadang dipaksa keluar dengan cara dipencet, meskipun demikian nanah terus tetap ada. Sebulan kemudian rasa sakit pada lutut yang bengkak tersebut semakin meningkat hingga os tidak dapat melakukan aktifitas sehari-hari dengan normal dan os tidak dapat bersekolah seperti biasa. Selama beberapa bulan terakhir ini juga orang tua os mengeluhkan nafsu makan os yang menurun sehingga badan os terlihat semakin kurus.

c. Riwayat penyakit dahulu Os tidak pernah mengeluhkan hal serupa sebelumnya, riwayat asma atau kelainan bawaan disangkal oleh os. d. Riwayat penyakit keluarga Tidak ada anggota keluarga lain yang menderita sakit serupa, riwayat asma,batuk-batuk lama atau konsumsi obat paket atau kelainan bawaan dalam keluarga disangkal oleh os. e. Riwayat penyakit lingkungan Os tidak mengetahui keberadaan orang-orang di lingkungannya yang mengeluhkan batuk-batuk lama dengan penurunan berat badan atau minum obat paket selama 6-9 bulan. f. Riwayat alergi Os menyangkal adanya alergi makanan atau obat. III. PEMERIKSAAN FISIK Keadaan umum : sedang Kesadaran : compos mentis a. Vital sign Tekanan darah : 90/60 Nadi : 90 x/menit Napas : 25 x/menit Suhu : 37,1 C b. Kepala leher Kepala : bentuk simetris, deformitas (-) Mata : anamis-/-, ikterik -/-, udema palpebra -/THT : dalam batas normal

Leher : massa (+) berupa sklofuloderma di leher bagian kiri, pembesaran KGB (-). c. Thoraks Inspeksi : gerakan dinding dada simetris, retraksi (-) Palpasi : ictus kordis teraba pada intercostals space V, pada miclavicular line sinistra. Perkusi : batas atas ICS II, Batas jantubg ICS IV, batas medial jantung parasternal line dekstra, batas lateral jantung nidclaviular line sinistra. Auskultasi : jantung s1s2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-) Paru : vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/d. Abdomen Inspeksi : distensi (-), massa (-) Auskultasi : bising usus normal Perkusi : timpani Palpasi : supel, nyeri tekan abdomen (-), tidak teraba massa e. Urogenital Dalam batas normal f. Anal-perianal Dalam batas normal g. Ekstremitas atas Deformitas (-), edema (-), vulnus (-), teraba hangat (-) h. Ekstremitas bawah Kanan: Deformitas (-), edema (-), vulnus (-), teraba hangat (-) Kiri

Look: Penonjolan abnormal (+), pus (+), eritema (+), darah (+) Feel : Nyeri tekan (+), krepitasi (-), kelembaban kulit sekitar (+) Move : Nyeri bila digerakkan, ROM sangat terbatas IV. RESUME Os mengeluh nyeri dan bengkak pada lutut kiri karena terjatuh sewaktu bermain bola sekitar 5 bulan yang lalu. Os masih dapat berjalan normal, pusing, mual, muntah dan demam disangkal oleh pasien. Batuk kering terkadang menjadi keluhan juga. Untuk mengatasi keluhan nyeri dan bengkak di lutut tersebut orang tua os dibawanya ke beberapa tukang urut untuk menjalani pemijatan, tapi keadaan tidak membaik. Sekitar 2-3 bulan kemudian muncul bisul pada lutut yang bengkak dan terasa gatal sehingga sering digaruk oleh pasien. Tak lama kemudian dari bisul tersebut keluar nanah berwarna putih. Nanah tersebut keluar terus menerus dari lokasi bengkak tersebut. Sebulan kemudian rasa sakit pada lutut yang bengkak tersebut semakin meningkat hingga os tidak dapat melakukan aktifitas sehari-hari dengan normal. Selama beberapa bulan terakhir, orang tua os mengeluhkan nafsu makan os yang menurun sehingga badan os terlihat semakin kurus. V. PEMERIKSAAN PENUNJANG a. Mantoux test b. Foto Rontgen c. Kultur pus dan biopsy jaringan VI. DIAGNOSA Gonitis TB VII. DIAGNOSA BANDING 1. Osteoarthritis 2. Arthritis rheumatoid 3. Osteomielitis VIII. RENCANA TERAPI

a. Antituberkulosa, berupa: 1. Rifampisin + INH + Etambutol atau Pirazinamid, selama 8 minggu secara bersamasama. Etambutol bersifat toksis sehingga tidak dapat dipergunakan untuk jangka waktu lama 2. Rifampisin + INH selama 6-12 bulan b. Lutut diistirahatkan IX. PROGNOSIS Dubia ad bonam TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan

Gonitis tuberkulosis merupakan peradangan pada sendi lutut yang ditandai penebalan kapsul secara difus7. Peradangan yang terjadi pada sendi lutut tersebut bisa disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa, tetapi dapat juga disebabkan oleh Mycobacterium bovin bahkan ada anggapan bahwa basil ini merupakan basil penyebab yang lebih banyak daripada Mycobacterium tuberculosa. Fokus primer dari Mycobacterium bovin berasal dari usus pengkonsumsi produk sapi yang mengandung basil tersebut, misalnya susu sapi ataupun daging sapi tersebut sedangkan Mycobacterium tuberculosa fokus primernya terletak di paru-paru.

Mycobacteria berbentuk basil, merupakan bakteri berbentuk anaerobik yang tidak membentuk spora. Meskipun tidak dapat terwarnai dengan baik segera setelah terwarnai Mycobacteria dapat mempertahankan dekolorisasi oleh asam ataupun alkohol, olek karena itu basil disebut sebagai bakteri tahan asam9. Ktiadaan berspora menyebabkan basil ini tidak tahan panas, akan mati pada 6C selama 15-20 menit. Biakan dapat mati jika terkena sinar matahari

langsung selama 2 jam. Dalam dahak dapat bertahan 20-30 jam. Basil yang berada dalam percikan bahan dapat bertahan hidup 8-10 hari. Biakan basil ini dalam suhu kamar dapat hidup 68 bulan dan dapat disimpan dalam lemari dengan suhu 20C selama 2 tahun. Mycobacterium tahan terhadap berbagai khemikalia dan disinfektan antara lain phenol 5%, asam sulfat 15%, asam sitrat 3% dan NaOH 4%. Basil ini dihancurkan oleh jodium tinctur dalam 5 menit, dengan alkohol 80 % akan hancur dalam 2-10 menit.

Basil ini dapat diwarnai dengan teknik pewarnaan khusus, yaitu teknik pewarnaan Ziehl Neelsen (ZN). Teknik pewarnaan ini tidak dapat dibersihkan dari fuchsin dengan cairan asam sehingga biasanya disebut Basil Tahan Asam (BTA).4Bakteri tahan asam, adalah bakteri yang pada pengecatan ZN tetap mengikat warna pertama, tidak luntur oleh asam dan alkohol, sehingga tidak mampu mengikat warna kedua. Dibawah mikroskop tampak bakteri berwarna merah dengan warna dasar biru muda8.

Tuberkulosis tulang dan sendi adalah suatu proses peradangan kronik dan destruktif yang disebabkan basil tuberkulosa yang menyebar secara hematogen dari fokus primer. Penyebaran basil ini dapat terjadi pada waktu infeksi primer atau pasca primer. Penyakit ini sering terjadi pada anak-anak yang berusia antara 5 sampai 10 tahun dengan persentase sebesar 70% 2.

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman Mycobacteria menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman Mycobacteria kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi yang baik, misalnya otak, tulang, ginjal dan paru, terutama apeks paru. Di

berbagai lokasi tersebut, kuman Mycobacteria bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya.

Basil Tuberkulosis biasanya menyangkut dalam spongiosa tulang. Pada tempat infeksi timbul osteitis, kaseasi dan likuifaksi dengan pembentukan pus yang kemudian dapat mengalami kalsifikasi. Berbeda dengan osteomielitis piogenik, maka pembentukan tulang baru pada tuberculosis tulang sangat sedikit atau tidak ada sama sekali. Disamping itu periostitis dan sekuester hampir tidak ada. Pada tuberculosis tulang ada kecenderungan terjadi perusakan tulang rawan sendi.4

Patogenesa

Mycobacterium bovis memiliki port dentre di usus, ditempat tersebut basil tersebut berkembangbiak. Tempat basil berkembangbiak tersebut dikenal dengan istilah fokus primer. Dari fokus primer, kuman Mycobacterium menyebar melalui saluran limfe menuju ke kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer, limfadenitis dan limfangitis.

Secara umum dalam tubuh basil ini dapat menyebar secara hematogen dan limfogen ke beberapa organ tubuh antara lain ke paru, ginjal, tulang dan sendi, otak dan meningen, perikardium dan lain-lain. Terdapat tiga fase stadium penyebarab basil tersebut secara umum, yaitu:

a. Kompleks primer

Lesi primer biasanya pada paru-paru atau usus dan kemudian melalui saluran limfe menyebar ke limfe nodus regional dan disebut sebagai primer kompleks.

b. Penyebaran sekunder

Bila daya tahan tubuh penderita menurun, maka terjadi menyebaran melalui sirkulasi darah. Kaeadaan ini dapat terjadi setelah beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian dan bakteri akan dideposit pada jaringan ekstrapulmoner.

c. Lesi tersier

Tulang dan sendi merupakan tempat lesi tersier dan sebanyak 5% dari tuberkulosis paru akan menyebar dan akan berakhir sebagai tuberkulosis sendi dan tulang. Pada saat ini kasus tuberkulosis paru masih tinggi dan kasus tuberkulosis tulang dan sendi juga masih tinggi. Predileksi tuberkulosis tulang dan sendi terutama mengenai tulang belakang (50-70%) dan sisanya pada sendi-sendi besar seperti panggul, lutut, pergelangan tangan, sendi bahu dan persendian kecil.3

Menurut Rasjad (2003) penyebaran basil ini dari kompleks primernya terjadi melalui 2 cara, yaitu penyebaran umum dan lokal. Penyebaran umum dapat terjadi melalui sirkulasi darah berupa bakterimia dan melalui embolus infeksi yang menyebabkan infeksi multifokal pada daerah lain. Penyebaran lokal dapat terjadi:

a. Subperiosteal abses akibat penerobosan abses melalui periost

b. Selulitis akibat abses subperiosteal menembus sampai ke kulit

c. Penyebaran ke dalam sendi sehingga terjadi artritis septik

d. Penyebaran ke medula tulang sekitarnya sehingga sistem sirkulasi dalam tulang terganggu. Hal ini menyebabkan tulang lokal dengan terbentuknya tulang mati yang disebut sekuester.

Teori terjadinya infeksi pada daerah metafisis yaitu:

a. Teori vaskuler

Pembuluh darah pada daerah metafisis berkelok-kelok dan membentuk sinus-sinus sehingga menyebabkan aliran darah menjadi lebih lambat. Aliran adarah pada daerah yang lambat ini memudahkan bakteri berkembangbiak.

b. Teori fagositosis

Daerah metafisis merupakan daerah pembentukan sistem retikuloendotelial. Bila terjadi infeksi, bakteri akan difagosit oleh sel-sel fagosit matur di temapt itu. Meskipun demikian, di daerah ini juga terdapat sel-sel fagosit imatur yang tidak dapat memfagosit bakteri sehingga bebepara bakteri tidak difagosit dan berkembang biak di daerah ini.

c. Teori trauma

Bila trauma artifisial dilakukan pada binatang percobaan maka akan terjadi hematoma pada daerah lempeng epifisis. Dengan penyuntikan bakteri secara intravena, akan terjadi infeksi pada daerah hematoma tersebut.

Tuberkulosis sendi merupakan manifestasi lokal penyakit tuberkulosis dari fokus di tempat lain. Kelainan ini bersifat monoartikuler (80%) dan hanya 20% yang bersifat poliartikuler. Sendi yang terserang terutama sendi panggul, lutut, pergelangan kaki, kadangkala sendi bahu. Apley membagi tuberkulosis sendi menjadi tiga stadium, yaitu:

a. Stadium aktif

Pada stadium ini ditemukan peradangan lokal berupa kemerahan dan pembengkakan sendi serta atrofi otot. Pada foto rontgen ditemukan adanya rarefaksi tulang. Pada stadium dini terjadi peradangan sinovium (sinovitis), pembengkakan sinovium dan belum terdapat terdapat kerusakan tulang rawan. Fokus pada metafisis selanjutnya menyebar ke permukaan sendi sehingga terjadi panus (jaringan granulasi) pada permukaan sendi, membran sinovia membengkak, edema, menebal dan berwarna abu-abu. Basil kemudian dapat menembus tulang rawan sendi serta tulang subkondral dan selanjutnya terjadi erosi yang hebat pada sendi. Apabila tuberkulosis berlanjut, pada terjadi kaseosa pada sendi yang dapat menyebar ke jaringan lunak sekitar atau melalui sinus menembus ke permukaan kulit.

b. Stadium penyembuhan

Pada stadium ini terjadi penyembuhan berangsur-angsur. Gejala klinis seperti panas dan nyeri menghilang serta terjadi kalsifikasi pada tulang.

c. Stadium residual

Bila penyembuhan terjadi sebelum ada kerusakan pada sendi, maka akan terjadi penyembuhan sempurna, tetapi bila sudah terjadi kerusakan pada tulang rawan sendi maka terdapat gejala sisa/sekuele yang bersifat permanen berupa fibrosis dan deformitas pada sendi.3

Tuberkulosis sendi lutut (Gonitis tuberkulosis) menempati urutan kedua setelah tuberkulosis sendi panggul. Pada tingkat awal ditemukan efusi/cairan abses dalam sendi dan pada tingkat lanjut mungkin ditemukan fistel pada kulit. Tuberkulosis jenis ini dapat muncul pada usia berapapun tetapi lebih sering pada anak-anak daripada orang dewasa.

Gejala Klinis

Gejala klinis tuberkulosis sendi lutut (Gonitis TB) berupa pembengkakan dan nyeri sendi lutut, gerakan sendi menjadi terbatas serta atrofi otot. Lutut terasa hangat dan terdapat penebalan sinovial. Gerakan menjadi terbatas dan sering nyeri. Uji mantoux dapat memberikan hasil positif dan laju endap darah dapat meningkat. Pemeriksaan foto rontgen pada tingkat awal menunjukkan rarefaksi pada seluruh daerah persendian dan pada tingkat lanjut ditemukan penyempitan ruang sendi serta gambaran osteolitik akibat erosi pada tulang subkondral.5

Diagnosis

Diagnosis sendi lutut didasarkan pada:

1. Anamnesis dan Pemeriksaan klinik

Gejala klinis yang ditampakkan oleh gonitis TB berupa pembengkakan sendi dan nyeri sendi lutut, gerakan sendi menjadi terbatas serta atrofi otot. Lutut dapat terasa hangat dan dan terdapat penebalan sinovial. Gerakan menjadi terbatas dan sering nyeri, terkadang penderita Gonitis TB sulit untuk berjalan.

2. Pemeriksaan penunjang

I. Laboratorium

a. Peningkatan LED dan mungkin disertai leukositosis.

b. Uji mantoux positif

c. Pada pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mycobaktera

d. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional

e. Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel.

II. Pemeriksaan radiologis

Gambaran radiologis tuberculosis sering dapat menegakkan diagnosis tuberculosis meskipun diagnosis pastinya adalah dari pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan foto rontgen pada tingkat awal menunjukkan rarefaksi pada seluruh daerah persendian dan pada tingkat lanjut ditemukan penyempitan ruang sendi serta gambaran osteolitik akibat erosi pada tulang subkondral.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan gonitis tuberkulosa dapat ditempuh dengan cara pemberian istirahat, diet tinggi kalori dan tinggi protein, pembidaian atau traksi untuk mengurangi spasme dari otot serta pemberian regimen kemoterapi. Jenis terapi ini dilakukan dengan memberikan antituberkulosa, berupa pemberian obat berdasarkan standar pengobatan di Indonesia berdasarkan program P2TB paru adalah:

a. Kategori 1: untuk penderita baru BTA (+) dan BTA (-)/rontgen (+)

3. Tahap I: Rifampisin + INH + Etambutol atau Pirazinamid, selama 8 minggu secara bersama-sama. Obat diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama (60kali). Etambutol bersifat toksis sehingga tidak dapat dipergunakan untuk jangka waktu lama 4. Tahap II: Rifampisin + INH. Obat ini diberikan tiga kali seminggu (intermiten) selama 4 bulan (54 kali). b. kategori 2: untuk penderita baru BTA (+) yang sudah pernah minum obat selama lebih sebulan, termasuk penderita dengan BTA (+) yang kambuh/gagal yang diberikan dalam dua tahap, yaitu:

1) Tahap 1: Steptomicin, INH, rifampisin, pirazinamid dan Etambutol. Obat diberikan setiap hari, Sterptomicin injeksi hanya diberikan 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lain selama 3 bulan (90 kali).

2) Tahap 2: INH, Rifampisin dan etambutol. Obat diberikan 3 kali seminggu (intermiten) selama 5 bulan (66 kali).

Selain itu pemberian istirahat dan makanan tinggi protein dipanadang perlu, disamping pengobatan seperti diatas6.Terapi operatif dapat dilakukan bila pusat radang tuberkulosis terdiri atas pengejuan yang dikelilingi jaringan fibrosa. Seperti halnya infeksi lain, adanya jaringan nekrosis akan menghambat penetrasi antibiotik ke daerah radang sehingga pembasmian kuman tidak efektif. Jadi tindak bedah merupakan sarat mutlak untuk mendapatkan hasil terbaik terapi medis. Selain itu juga tindak bedah juga diperlukan untuk mengatasi penyulit, misalnya osteitis atau artritis tuberkulosa yang dapat menimbulkan kecacatan.

Komplikasi

1. Artrodesis

2. Ankilosing

3. Skoliosis

Daftar Pustaka

1.

Armi,

2007.

TBC

Tulang.

http://medisdankomputer.co.cc/wpcontent//themes/ikarus/images/headers/headerku. (Diakses 12 Juni 2009).

2. Beattie, M. 2005. TB paru pada anak. http://mercywords.com/2008_08_01_archive.html. (Diakses 12 Juni 2009). 3. Rasjad, Chairuddin, 2003. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Penerbit Bintang LamumpatueFakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, Hal: 149-153 4. Sjamsuhidajat,R. Dan Wim de Jong, 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta 5. Apley, A. G. Dan Louis Solomon, 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Edisi Ketujuh. Penerbit Widya Medika, Jakarta 6. Reksoprojo, Soelarto, 2003. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Binarupa Aksara: Jakarta 1. Koesoemawati, Herni.dkk., Kamus Kedokteran Dorland. Penerbit buku kedokteran EGC: Jakarta. 2. Hiswani. 2007. Tuberkulosis Merupakan Penyakit Infeksi Yang Masih Menjadi Masalah Kesehatan Masyarakat. 3. Jawetz, dkk., 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Penerbit Salemba: Jakarta

A. IDENTITAS PASIEN Nama Usia Jenis kelamin Pekerjaan Alamat Tanggal MRS Tanggal Pemeriksaan B. PRIMARY SURVEY a. Jalan napas (Airway) : Sumbatan jalan napas (-), secret pada mulut (-) : Tn M : 32 tahun : Laki-laki : Swasta : Karang Taliwang, Cakranegara : 16 Mei 2010 : 16 Mei 2010

b. Pernapasan (Breathing) : Napas spontan (+), respirasi 24x/menit c. Sirkulasi ( Circulation) d. Deformitas (Deformity) e. Keadaan Umum f. Kesadaran g. GCS C. SECONDARY SURVEY Keluhan Utama: Luka robek pada lengan kanan : TD = 90 mmHg, Nadi 110 x/menit : Vulnus caesum pada lengan kanan, dengan perdarahan aktif : Lemah : CM : E4M6V5

Riwayat Penyakit sekarang: Pasien mengeluh terdapat luka robek pada lengan kanan setinggi siku dengan perdarahan yang terus mengucur dari dalam luka. Luka didapatkan setengah jam sebelum dibawa ke Unit Gawat Darurat RSU Mataram. Luka robek sepanjang lebar lengan dengan kedalaman luka sampai terlihat bagian otot yang terputus. Pasien mengaku tidak bisa mengangkat lengan bawah kedepan, namun masih bisa menggerakkan jari-jari tangan. Luka disebabkan oleh irisan pisau taji (pisau kecil untuk sabung ayam). Perdarahan yang terjadi sangat banyak sampai membasahi semua pakain yang digunakan oleh pasien. Pasien mengeluh sangat lemas, sampai tidak bisa bediri. Pasien mengeluh pusing, mual muntah (-), luka di bagian tubuh lain (-), BAB (-), Flatus (+), BAK (+) lancar melalui selang kencing, nyeri (-), darah (-). Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat perdarahan yang lama berhenti disangkal, riwayat mengalami gangguan darah seperti leukemia disangkal pasien. Riwayat Penyakit keluarga: (-) Pemeriksaan Fisik Umum

a. Kepala-leher : Kepala : bentuk simetris, deformitas (-), Mata : konjungtiva anemis -/-, Refleks Pupil +/+ isokor 3 mm Leher : Hematome (-), gerakan leher Normal, nyeri saat leher digerakkan (-). b. Thorax-Cardiovascular : Dinding thorax simetris, retraksi (-), sela iga dalam batas normal.
Perkusi : Batas kanan : parastrenal line kanan. : midclavicula line kiri, pada ICS 5.

Batas kiri

Batas atas Batas bawah

: parasternal line kiri, : ICS 5 kiri.

pada ICS 2.

Auskultasi

: Cor : S1S2 regular, tunggal, murmur (-). Pulmo : suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-.

c. Abdomen-Pelvic-Inguinal : Inspeksi Auskultasi Palpasi : Distensi (-). : BU (+) N. : Supel, nyeri tekan (-), massa (-), hepar dan lien tidak teraba,

ginjal kiri dan kanan tidak teraba. Perkusi Pelvic teraba. Inguinal : tidak tampak kelainan pada sisi kanan dan kiri, tidak ada : Timpani seluruh kuadran abdomen : tidak ada benjolan, nyeri tekan suprapubik (-), buli-buli tidak

benjolan, tidak teraba massa, pembesaran KGB (-), nyeri tekan (+). d. Uro-genital : 1. Hematome pada region CVA (-), Hematuria (-) 2. Genital : dalam batas normal. e. Anal-perianal : Perdarahan (-), pembengkakan (-), deformitas (-). DRE (dalam batas normal) f. Ekstremitas atas-axilla : Vulnus caesum lengan kanan bagian depan dengan ukuran 15x5 cm, Deformitas /-, edema -/-, akral dingin, g. Ekstremitas bawah : Deformitas -/-, edema -/-, akral dingin. Pergerakan aktif (+), True lenght (tde), Apparent lenght (tde).
A. Pemeriksan Fisik lokal (Status lokalis) :

Inspeksi: tampak luka robek (vulnus caesum) dengan ukuran 15x5 cm, dengan kedalaman 4 cm, tampak ruptur arteri radialis, ligamentum fleksor digitorum. 1. Palpasi: krepitasi (-), nyeri tekan lokalis (+), 2. Pergerakan: pronasi (-), supinasi (-) , rotasi medial (-), rotasi lateral (-) 3. Status distalis Sensibilitas rasa raba dan rasa nyeri dekstra = sinistra

Pulsasi A. radialis dekstra < sinistra, capillary refill dekstra < sinistra SPO2 dextra 96 : SPO2 sinistra 100
Pemeriksaan penunjang: Laboratorium : Hb : 8 g/dl

WBC :11.000 /mm3 Plt HCT D. RESUME : 150.000 /mm3 : 23 %

Primary Survey: Jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi : normal Deformitas pada lengan kanan region cubiti Secondary survey: 1. Anamnesis: Laki-laki 32 tahun mengeluh luka robek pada lengan kanan depan dengan perdarahan aktif 2. Pemeriksaan fisik: Status generalis normal, Vulnus caesum lengan kanan region cubiti ukuran 15 x 5 cm dengan kedalaman 4 cm. Terdapat rupture arteri radialis dengan perdarahan aktif. Pergerakan pronasi (-), supinasi (-) , rotasi medial (-), rotasi lateral (-). Gangguan vaskularisasi daerah distal luka pulsasi, kapilari refill dan SPO2 menurun dibandingkan bagian kontralateral. E. DIAGNOSIS Ruptur arteri radialis F. DIAGNOSIS BANDING: (-) G. USULAN PEMERIKSAAN Diagnosis: (-) H. RENCANA TERAPI 1. Resusitasi a. O2 3 L b. Infus RL tetesan cepat

c. Pro transfusi 2. Repair ruptur arteri brachialis I. PROGNOSIS : Dubius ad bonam TINJAUAN PUSTAKA
a. Latar

Belakang Pasien dengan trauma vaskular dapat kita temukan setiap hari di unit emergensi atau

trauma center di seluruh dunia. Cidera vaskular sudah dikenal sejak zaman Romawi dan Yunani pada para prajurit perang. Amputasi merupakan tindakan bedah yang sering dilakukan oleh para ahli bedah pada era perang dunia kedua. DeBakey dan Semeone mencatat lebih dari 40% amputasi dilakukan pada korban perang dunia kedua. Ruptur arteri merupakan suatu kasus kegawatdaruratan bedah sehingga membutuhkan penanganan segera untuk menghindari terjadinya tindakan amputasi yang biasa dilakukan pada era sebelumnya.1,2,4
b. Etiologi

Cedera vaskuler biasa disebabkan oleh luka penetrasi (luka tembak, luka akibat pisau), namun tidak banyak luka penetrasi terjadi secara alamiah. Banyak luka penetrasi dilaporkan terjadi akibat kecelakaan industri, atau merupakan komplikasi iatrogenic dari prosedur vaskuler atau masalah medis lainnya2,3. Luka yang dapat menyebabkan cidera vaskuler biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, terjatuh, atau luka hantaman. Fraktur tulang panjang atau dislokasi dari sendi meningkatkan semua resiko dari cedera vaskuler tetapi beberapa jenis cedera (seperti posterior dislokasi sendi siku) sering menyebabkan terjadinya cedera vaskuler dibandingkan dengan jenis cedera lain seperti fraktur colles jarang menyebabkan cedera pada arteri radius dan ulna2,3.
c. Patofisiologi

Seperti yang ditulis dalam literature medis cidera yang mengenai baik arteri maupun vena , memiliki perlindungan alami yang sangat terbatas terhadap adanya tarikan dan penekanan, dimana

sering terjadi cidera yang tersembunyi yang disebabkan oleh adanya trauma. Otot polos arteri (tunika media) melindungi pasien terhadap kedua jenis trauma dan luka kecil, dan dapat sembuh spontan pada sebagian besar kasus. Otot polos juga melindungi dari kematian sel yang disebakan oleh adanya perdarahan2. Pada saat pembuluh arteri terputus, terjadi spasme vascular bersama dengan penurunan tekanan darah secara sistemik mempromosikan terjadinya pembekuan darah pada bagian yang mengalami cedera untuk menjaga sirkulasi ke organ vital2.
d.

Pelvic fractures are most commonly described using one of two classification systems. Gambaran Klinis Cedera vaskular dapat diklasifikasikan menjadi hard sign dan soft sign berdasarkan pada pemeriksaan fisik. Hard sign terdiri atas :

1. Terdapatnya perdarahan yang berpulasasi 2. Adanya thrill dengan pemeriksaan palpasi 3. Adanya bruit disekitar arteri dengan pemeriksaan auskultasi 4. Tanda iskemik pada bagian distal 5. Adanya hematom2
Tanda ini digunakan untuk idektifikasi pasien yang membutuhkan tindakan operasi. Ditemukannya tanda seperti rasa dingin, berkurangnya pulsasi yang menyebabkan berkurangnya tekanan darah, tetapi adanya pulsasi yang abnormal adanya variasi yang signifikan dari kualitas pulsasi dari satu bagian dengan bagian lain merupakan indikator yang kuat adanya cidera vaskular bagian proksimal. Ditemukannya defisit neurologis, penurunan pengisian kapiler, dan abnomalitas mengarah pada adanya cidera vaskular yang berat dan membutuhkan tidakan arteriografi segera atau eksplorasi bedah dan repair. Soft sign terdiri atas :

1. Ditemukannya tanda perdarahan atau riwayat perdarahan 2. Penurunan pulsasi dibandingkan dengan bagian kontralateral 3. Cidera pada tulang atau adanya luka penetrasi pada bagian proksimal 4. Gangguan neurologis2 dislokasi
e. Pemeriksaan

Anamnesis dimulai dari jenis pekerjaan, kejadian yang menyertai kelainan, jenis trauma, adanya penyakit terdahulu. Kemudian anamnesa ditujukan pada riwayat perjalanan penyakit sejak awal timbulnya keluhan, seperti kesemutan, kejat otot, nyeri ringan yang tidak spesifik, ada tidaknya nyeri saat bekerja, berjalan atau berolahraga, klaudikasio intermiten, nyeri saat beristirahat yang khusus berhubungan dengan penyakit arteri perifer pada ekstremitas3,4. Inspeksi terutama ditujukan pada perubahan warna kulit, perubahan tropic pada ujung ekstremitas3. Palpasi terutama dimaksudkan untuk memeriksa suhu kulit dan denyut nadi. Suhu kulit yang dingin pada ujung ekstremitas harus dicurigai, baik sebagai sumbatan akut, sub akut, maupun kronik pada arteri. Suhu kulit yang hangat disertai perubahan warna kulit menjadi kemerahan menunjukkan adanya infeksi, tromboplebitis dengan atau tanpa selulitis3. Perabaan denyut nadi harus dikerjakan dengan cermat dan dinilai besar dan kualitasnya.

Uji allen berupa palpasi pada a. radialis dan a. ulnaris adalah untuk mengetahui adanya gangguan aliran pembuluh tersebut di tangan 3.

Auskultasi dilakukan terutama ditempat yang menonjol atau ditempayt terabanya getaran sepanjang perjalaanan arteri yang bersangkutan, misalnya a. karotis, a. subklavia, a. brakhialis, a. femoralis, a. poplitea. Terdengarnya bising atau terabanya getaran merupakan tanda adanya stenosis arteri, keduanya merupakan manifestasi turbulensi aliran darah melalui daerah yang sempit3.

f. Penatalaksanaan

Seperti pada pembedahan di organ tubuh lain, pembedahan pada pembuluh darah pun membutuhkan persyaratan teknik asepsis dan antisepsis yang baik. Waktu dilakukan pembedahan pembuluh darah sangat tergantung pada waktu pembedahan untuk menghasilkan hasil yang baik. Rekonstruksi vascular yang dilakukan 3 jam atau kurang akan mendapatkan hasil yang lebih baik2,3. Beberapa system skoring dibuat dalam menilai kemungkinan dilakukannya amputasi dan hasil dari pengobatan. Beberapa system scoring tersebut adalah Mangled Extremity Syndrome Index (MESI), Mangled Extremity Severity Score (MESS),28 Predictive Salvage Index (PSI), and Limb Salvage Index (LSI). Yang paling banyak digunakan adalah system MEES, dengan penilaian antara lain2,5: Mangled Extremity Severity Score (MESS) Kelompok Kelompok Cedera Tulang dan jaringan lunak Keterangan Energi ringan Poin 1 2 3 4

(fraktur

tertutup, luka tembak diameter kecil) Energi sedang (fraktur terbuka dislokasi, sedang) Energi tinggi (luka tembak jarak dekat, luka tembak dengan tinggi) Luka hancur yang besar kecepatan luka multiple, hancur

Kelompok Syok

Normotensi

Transien hipotensi (TD tidak stabil, tetapi terhadap

1 2

berespon

pemberian cairan) Prolong hipotensi (sistolik < 90 mmHg dilapangan

dan resposif hanya pada pemberian cairan di

ruang emergensi)

Kelompok Iskemi

Pulsasi menurun namun perfusi jaringan normal

1 2

Pulsasi parestesia,

menurun, penurunan 3

waktu pengisisan kapiler Dingin, paralisis, mati rasa

Kelompok Usia

< 30 tahun 30 50 tahun >50 tahun

0 1 2

Jika didapatkan nilai MESS 0 6 maka jaringan dikatakan masih viable dan jika didapatkan nilai MESS > 6 maka sudah terjadi iskemi dan kemungkinan dilakukan amputasi2,5.

Teknik jahitan pembuluh darah didasarkan atas teknik kontinu yang dukemukakan oleh Carrell (1903). Teknik merupakan cara yang mudah dan sederhana. Dengan teknik tujuan penjahitan dinding pembuluh tercapai, yaitu mempertemukan kedua sisi tunika intima3. Teknik dasar jahitan pembuluh darah

A. Luka pembuluh darah ditutup dengan jahitan jelujur secara melintang. B. Penutupan luka secara sejajar sumbu akan mengakibatkan penyempitan C. Penjahitan jelujur secara melintang tidak menyebabkan penyempitan. D. Teknik dasar jahitan pembuluh darah 1 dan 2 pembuluh diklem dengan dua klem atraumatik supaya lapangan bedah bebas darah, luka difiksasi dengan dua jahitan kendali, jahitan jelujur kontinu, pemakaian jarum atraumatik dan benang halus monofil. Teknik rekonstruksi pembuluh darah

A. Tempelan berasal dari dinding vena atau bahan asing dijahitkan pada defek. B. Interposisi defek pembukuh dengan vena atau pipa prosthesis C. Bedah pintas untuk memintas sumbatan atau kelainan lain yang sukar dipulihkan, pada
bedah pintas dapat digunakan pembuluh vena atau prosthesis pembuluh
g. Komplikasi

Trombosis akibat penyambungan pembuluh darah merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada cerdera pembuluh darah. Penyempitan pembuluh darah akibat repair atau rekonstruksi, terutama setelah intervensi ortopedi dapat menyebabkan penurunan volume dan mungkin membutuhkan repair ulang. Ligasi pada pembuluh darah sebagai tindakan emergensi dalam menghentikan perdarahan dapat menyebabkan iskemi, sehingga sering dilakukan amputasi dibandingkan dengan repair pembuluh darah PEMBAHASAN Pada kasus ini pasien datang dengan keluhan luka sobek pada lengan kanan dengan perdarahan mengucur deras dari dalam luka. Pada primary survey ditemukan gangguan pada sirkulasi dengan tekanan darah 90 mmHg dengan denyut nadi > 100x per menit, menunjukkan adanya gangguan pada perfusi. Hal ini disebabkan oleh kehilangan darah yang cukup banyak akibat luka sobek yang mengenai pembuluh darah.

Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan dari pemeriksaan inspeksi telah dapat terlihat adanya rupture pada arteri dengan adanya perdarahan yang mengucur deras dan berdenyut. Pada palpasi dilakkukan pada inferior luka dan dibandingkan dengan bagian kontralateral. Didapatkan pulsasi yang lebih lemah pada bagian distal luka dibandingkan dengan daerah kontralateral. Pengisian kapiler bagian kapiler luka lebih lama dibandingkan dengan bagian kontralateral. SPO2 bagian distal luka lebih rendah dibandingkan dengan bagian kontralateral. Dari hasil pemeriksaan tersebut menunjukkan adanya gangguan vaskkuler yang berarti akibat adanya rupture pada arteri radialis. Penatalaksaan pasien pada pasien adalah dengan terlebih dahulu menstabilkan kondisi pasien dengan memperbaiki A B C( airway, breathing, circulation). Setelah didapatkan kondisi yang stabil dilakukan tindakan repair arteri radialis sesegera mungkin untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Teknik operasi yang digunakan adalah dengan teknik jahitan kontinu. Kemudian dilanjutkan dengan repair tendo yang terputus. Prognosis pada kasus ini dubia at bonam, hal ini didasarkan pada waktu dilakukan repair arteri dibawah 3 jam yang dimana akan didapatkan hasil yang lebih baik jika dibiarkan lebih lama. Perfusi jaringan distal masih baik meskipun didapatkan perfusi yang lebih rendah dibandingkan dengan daerah kontralateral.

KEPUSTAKAAN 1. Angate, Yaughni et. Al. (2007). Arterial trauma of the extremities. An Ivorian surgical experience(CtedIvoire). Nigerian Journal Of Surgical Research. Disitasi pada tanggal : 17 Mei 2010 dari : http://www.esprs.com/journal/301_5.PDF 2. Bjerke H. Scott. (2009). Extremity Vascular Trauma. E-medicine. Disitasi pada tanggal : 17 Mei 2010 dari : http://emedicine.medscape.com/article/462752-overview 3. De Jong, Wim dan Sjamsuhidajat R, (2005). Jantung, Pembuluh Darah dan limpe dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke 2. EGC Jakarta. 4. Jeyaretna, Deva. et. Al. (2006). A case of elbow hyperextension leading to complete brachial artery rupture. BioMed Central. Disitasi pada tanggal : 17 Mei 2010 dari :

http://www.biomedcentral.com/content/pdf/1749-7922-2-6.pdf 5. Wheeless, Clifford R. (2002). Mangled Extremity Severity Score (MESS). Wheeless' Textbook of Orthopaedics. Disitasi pada tanggal : 17 Mei 2010 dari :

http://www.wheelessonline.com/ortho/mangled_extremity_severity_score_mess

Anda mungkin juga menyukai