Anda di halaman 1dari 58

PREVALENSI KASUS MENINGOENCHEPALOCELE di RSUP DR

KARIADI SEMARANG PADA PERIODE WAKTU JANUARI 2018-


DESEMBER 2019

KARYA ILMIAH PARIPURNA

Oleh:
dr.

Pembimbing:
dr.

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS 1


ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
RSUP Dr KARIADI
SEMARANG
2021

PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa penelitian ini

adalah hasil pekerjaan saya sendiri dan di dalamnya tidak terdapat karya yang pernah

i
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi atau lembaga

pendidikan lainya, serta tidak terdapat unsur – unsur yang tergolong plagiarism

sebagaimana dimaksud dalam permendiknas No.17 tahun 2010. Pengetahuan yang

diperoleh dari hasil penerbitan maupun yang belum atau tidak diterbitkan, sumbernya

dijelaskan di dalam tulisan dan daftar pustaka.

Semarang 17 Mei 2021


Peneliti,

Dr

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa yang telah

memberikan rahmat dan berkah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tesis yang

ii
berjudul “Prevalensi Kasus Meningoencephalocele Di RSUP Dr. Kariadi Pada

Periode Waktu Januari 2018-Desember 2019.”

Penelitian ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan

memperoleh gelar Spesialis Bedah dalam Program Studi Dokter Spesialis Bedah di

Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

Karya Ilmiah Paripurna ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap

perkembangan ilmu di bidang bedah terutama bidang Bedah Plastik.

Pada kesempatan yang baik ini, ingin kami menyampaikan ucapan terimakasih

dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. dr. Dwi Pudjonarko, M.Kes, Sp.S(K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Diponegoro Semarang.

2. dr. Agung Aji Prasetyo, M.Si.Med, Sp.BA selaku Ketua Program Studi

Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran

Universitas Diponegoro Semarang.

3. dr. x guru sekaligus pembimbing dalam peneulisan ini, atas segala waktu,

tenaga dan bimbingan yang diberikan sehingga karya ilmiah paripurna ini

dapat selesai.

4. Semua rekan mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Bedah

Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, karyawan dan karyawati

Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran

Universitas Diponegoro serta staf yang telah membantu kami selama dalam

pendidikan, penelitian hingga penyusunan karya ilmiah paripurna.

iii
5. Pimpinan dan staf Lembaga Penelitian dan Pengujian Terpadu (LPPT)

Universitas Diponegoro Semarang atas bantuan dan kerjasamanya dalam

melaksanakan penelitian untuk menyelesaikan karya ilmiah paripurna ini.

6. Orang tua kami Bapak x dan Ibu x serta kakak kami x dan x SE, atas

dukungannya dalam menyelesaikan karya ilmiah paripurna ini.

7. Yang tercinta istri x, anak kami; x atas kesabaran, dukungan moral dan

semangat bagi kami untuk menyusun dan menyelesaikan karya ilmiah

paripurna ini.

Kami menyadari bahwa karya ilmiah paripurna ini masih jauh dari sempurna.

Akhir kata, kami mohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan yang kami

lakukan selama kami menyelesaikan tesis ini.

Semarang, 17 Mei 2021

Dr x

iv
DAFTAR ISI
LEMBAR SAMPUL i
PERNYATAAN KEASLIAN iii
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penelitian 2
1.4 Manfaat Penelitian 2
1.5 Orisinalitas Penelitian 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1 Sistem saraf pusat 4
2.2 Disrafia Kranial 15
2.3 Meningocele 17
2.4 Etiologi 19
2.5 Klasifikasi 20
2.6 Gejala Klinis 22
2.7 Patofisiologi 24
2.8 Diagnosis 25
2.9 Komplikasi 27
2.10 Tatalaksana………………………………………………………………….....27
BAB III Kerangka Konsep 30
BAB IV Metode Penelitian 31
3.1 Tahapan 32
3.2 Tempat 32
3.3 Sample 33
3.4 Variabel 34

v
BAB V Hasil Penelitian 35
5.1 Analisis Subjek 35
5.2 Demografi 36
BAB VI Pembahasan 41
BAB VII Kesimpulan dan Saran 23
3.4.5 Besar Sampel 23
3.5 Variabel Penelitian 24
3.5.1 Variabel Bebas 24
3.5.2 Variabel Terikat 24
3.5.3 Variabel Perancu.............................................................................................24
3.6 Definisi Operasional 25
3.7 Cara Pengumpulan Data 25
3.7.1 Alat dan Bahan25
3.7.2 Jenis Data 26
3.7.3 Cara Kerja 26
3.7.3.1 Mengurus Ethical Clearance 26
3.7.3.2 Pengambilan Data Rekam Medis Pasien Bedah Epilepsi 26
3.7.3.3 Pengelompokan Jenis Epilepsi Pasien 26

3.7.3.4 Melakukan Eksklusi Rekam Medis 27


3.7.3.5 Pencatatan Hasil Tes IQ Pasien 27
3.7.3.6 Menganalisis data yang ada dan membuat kesimpulan 27

3.8 Alur penelitian 28


3.9 Analisis Data 28
3.10 Etika Penelitian 29
3.11 Jadwal Penelitian 29
BAB IV HASIL PENELITIAN.....................................................................……….30
BAB V PEMBAHASAN...............................................................................……….35
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN.............................................................……….44
DAFTAR PUSTAKA 46

vi
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1 Embriologi Tuba Neuralis............................................... 14
Gambar 2 Meningoensefalocele oksipital........................................ 18
Gambar 3 Meningoensefalocele

oksipital ......................................................................... 18
Gambar 4 Diagram lingkaran demografi jenis

kelamin .......................................................................... 35
Gambar 5 Diagram lingkaran usia................................................... 36
Gambar 6 Diagram lingkaran jenis kelamin....... ............................ 36
Gambar 7 Diagram luaran................................................................ 37
Gambar 8 Diagram Tindakan........................................................... 37

vii
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1 Defek Perkembangan...................................................... 7
Tabel 2 Prevalensi Kelainan Kongenital di India pada Bayi

yang Lahir.................................................................... 13
Tabel 3 Demografi Pasien......................................................... 52
Tabel 4 Hasil Tindakan................................................................ 53

viii
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Meningoncephalocele adalah kelainan kongenital akibat defek tuba neuralis.

Insiden cacat lahir ini banyak ditemukan dikawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Menurut definisi dari International Society for Pediatric Neurosurgery (ISPN),

meningoensefalokel adalah penyakit akibat kerusakan tabung saraf yang ditandai dengan

penonjolan dari kantong selaput otak berikut jaringan melalui celah atau lubang abnormal

dari tulang tengkorak. Kerusakan tabung saraf itu terjadi pada masa embrio.3

Insiden meningoencephalocele 1-3 per 10000 bayi lahir hidup; paling kecil dari

seluruh penyakit defek tuba neuralis (8% - 19%). Di Eropa dan Amerika hampir 80%-

90% meningoencephalocele terdapat di regio oksipital; meningoencephalocele di daerah

anterior (frontal, nasofrontal, nasopharyngeal) lebih sering di Asia Tenggara. Dalam

semua survei yang dilakukan di Inggris, insidensi neural-tube defects (anensefali,

ensefalokel, spina bifida) secara konsisten lebih besar pada ibu-ibu dari tingkat sosial

ekonomi rendah daripada mereka yang dari tingkat sosial ekonomi tinggi. Hal ini

berhubungan dengan diet yang dijalani bahwa pada ibu-ibu dari tingkat sosial ekonomi

yang tinggi memiliki diet yang lebih baik dibanding dengan biu-ibu dari tingkat sosial

ekonomi yang rendah. Penelitian Laurence dkk. menunjukkan bahwa wanita yang

mendapat diet adekuat mempunyai insidensi yang lebih rendah untuk neural tube defect

pada anaknya. Namun yang lebih penting adalah edukasi mengenai nutrisi pada ibu-ibu

hamil.1

Diagnosa meningoensefalokel secara fisik lebih mudah dikenal yakni adanya

benjolan diwajah depan tepatnya di daerah hidung dan mata yang timbul sejak lahir.
Benjolan terletak digaris tengah wajah atau kadang disisi kanan–kiri mata. Lokasi

benjolan, terbanyak di daerah wajah depan yang dikenal sebagai daerah ‘fronto

ethmoidal’. Lokasi lain ensefalokel terdapat didaerah atap (vertex), dasar (basis) dan

belakang kepala (occipital).1,2

1.1 Rumusan masalah penelitian

Umum

Bagaimana gambaran prevalensi kasus meningoencephalocele di RSUP Dr. Kariadi

periode waktu Januari 2018-Desember 2019?

Khusus

1. Bagaimana prevalensi kasus meningoencephalocele di RSUP Dr Kariadi pada

periode waktu Januari 2018 – Desember 2019

2. Bagaimana persebaran usia pada pasien kasus meningoencephalocele di RSUP Dr

Kariadi pada periode waktu Januari 2018 – Desember 2019

3. Bagaimana persebaran jenis kelamin pada pasien kasus meningoencephalocele di

RSUP Dr Kariadi pada periode waktu Januari 2018 – Desember 2019

1.2 Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kejadian kasus

meningoencephalocele di RSUP Dr. Kariadi periode waktu Januari 2018-Desember 2019

1.3 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain:

1. Mengetahui jumlah kasus meningoencephalocele di RSUP Dr. Kariadi periode

waktu Januari 2018-Desember 2019


2. Mengetahui persebaran usia pasien pada kasus meningoencephalocele di RSUP

Dr. Kariadi periode waktu Januari 2018-Desember 2019.

3. Mengetahui persebaran jenis kelamin pada kasus meningoencephalocele di

RSUP Dr. Kariadi periode waktu Januari 2018 – Desember 2019.

1.4 Originalitas penelitian

Belum ada penelitian yang meneliti tentang kasus meningoencephalocele di

RSUP Dr. Kariadi periode Januari 2018-Desember 2019


BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Sistem Saraf Pusat

Sistem saraf adalah sistem koordinasi (pengaturan tubuh) berupa

penghantaran impuls saraf ke susunan saraf pusat, pemrosesan impul saraf dan

perintah untuk memberi tanggapan rangsangan. Unit terkecil pelaksanaan kerja

10
sistem saraf adalah sel saraf atau neuron Sistem persarafan dibagi 2, yaitu

sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer. Sistem saraf pusat meliputi otak dan

sumsum tulang belakang. Keduanya merupakan organ yang sangat lunak,

dengan fungsi yang sangat penting maka perlu perlindungan. Selain tengkorak

10
dan ruas-ruas tulang belakang, otak juga dilindungi 3 lapisan selaput meninges ,

yaitu:

1) Piamater, lapisan terdalam yang mempunyai bentuk disesuaikan dengan

lipatan-lipatan permukaan otak.

2) Arachnoidea mater, disebut demikian karena bentuknya seperti sarang laba-

laba. Di dalamnya terdapat cairan yang disebut liquor cerebrospinalis (LCS);

yang mengisi sela-sela membran araknoid. Fungsi selaput arachnoidea

adalah sebagai bantalan untuk melindungi otak dari bahaya kerusakan

mekanik.

3) Durameter, terdiri dari dua lapisan, yang terluar bersatu dengan tengkorak

sebagai endostium, dan lapisan lain sebagai duramater yang mudah

dilepaskan dari tulang kepala. Di antara tulang kepala dengan duramater

terdapat rongga epidural.

Kedua hemisfer otak terletak di atas struktur otak lainnya. Di bawah otak
terletak batang otak, yang terdiri dari mesenchepalon, pons dan medulla

oblongata. Di bawah otak dan di belakang batang otak, terdapat serebellum atau

otak kecil. Korteks serebri tersusun simetris dengan belahan otak kiri dan kanan.

Anatomi konvensional membagi korteks serebri menjadi empat, yaitu: lobus

11
frontal, lobus parietal, lobus temporal dan lobus oksipital.

Korteks serebri pada dasarnya adalah lembaran jaringan saraf, dilipat dengan

cara yang memungkinkan area permukaan besar agar sesuai dalam batas-batas

tengkorak. Setiap belahan otak memiliki luas permukaan sekitar 1,3 meter

12
persegi. Sumsum tulang belakang merupakan lanjutan ke bawah dari

medulla oblongata, yang berfungsi untuk menghantarkan informasi dari dan ke

otak. Sumsum tulang belakang ini terletak memanjang dari ruas tulang leher

sampai dengan coccygea. Fungsi sumsum tulang belakang adalah

menghubungkan sistem saraf tepi ke otak. Informasi melalui neuron sensori

ditransmisikan dengan bantuan interneuron. Selain itu juga berperan sebagai pusat

dari gerak refleks, misalnya refleks menarik diri. Irisan melintang

menunjukkan bagian luar berwarna putih (substansia alba) yang banyak

mengandung dendrit dam akson, sedangkan bagian dalam berwana abu-abu

(substansia grisea). Pada substansia grisea juga terdapat LCS yang

berhubungan dengan ventrikel. Bagian ini


mengandung badan saraf motorik yang mempunyai akson menuju ke efektor dan

10
juga mengandung saraf sensorik.

Di dalam sumsum tulang belakang terdapat badan putih yang mengandung

serabut-serabut myelin (akson) yang menghantarkan informasi asenden dan

desenden. Badan kelabu yang terisi badan sel berperan dalam integrasi stimulus

yang masuk ke sumsum tulang belakang. Respon dapat terjadi secara transmisi

asenden. Semua kegiatan motorik disalurkan melalui sumsum tulang belakang dan
10
akson perifer.

Embriologi Sistem Saraf Pusat

Perkembangan normal diklasifikasikan kedalam empat tingkat:

1) Proses Induktif Primer (Tahap Pertama) pada minggu ke-2 sampai ke-6.

2) Perkembangan Ventrikulosisternal (Tahap Kedua) pada minggu ke-7 dan 8

3) Proliferasi Sel (Tahap Ketiga)

4) Migrasi Neuronal (Tahap Keempat) pada minggu ke-7 sampai ke-36

malformasi pada embriologi sistem saraf pusat mungkin terjadi pada setiap tahap,

seperti yang tampak pada tabel 2.


7,13
Tabel 1 Perkembangan dan Anomali Sistem Saraf Pusat.

Minggu Normal Anomali


Proses Induktif Primer

3 Tuba neuralis Disrafia, ensefalokel,

Arnold-Chiari
4 3 gelembung sefalik Prosensefali, metensefali,

5 5 gelembung sefalik: prosensefalon, rombensefali


anomali fasial, holoprosensefali

telensefalon, diensefalon

6 Pelat komisural Agenesis korpus kallosum,

Perkembangan

Ventrikulosisternal

7-8 Pleksus khoroideus, ventrikel Kista arachnoid, hidrosefalus

keempat, rongga subarachnoid komunikans, hidrosefalus

akibat stenosis akuaduktus,

hidrosefalus pada malformasi

Arnold-Chiari

Proliferasi Sel

3-6 Proliferasi sel yang tidak Hipoplasia serebeler atau kista


berdeferensi asi pada zona Dandy-Walker, fakomatosis

ependimal primitif, ganglia

Neuroblas basal); migrasi

Migrasi Neural sekunder

6-7 Zona mantel (bentuk primitif neuroblas, pelat


kortikal (bentuk primitif substansia

abu-abu)

Hidranensefali skhizensefali

porensefali heterotopia

substansia grisea
20 Sulkus primer Lissensefali, mikrogiria,

makrogiria

Kelainan Kongenital Sistem Saraf Pusat

Kelainan kongenital menggambarkan defek morfogonesis pada organ maupun

sistem organ pada kehidupan awal fetus. Istilah kelainan kongenital seharusnya

mengikat pada defek struktural saat bayi dilahirkan. Kelainan kongenital dapat

terjadi sejak awal pertumbuhan primordial (dipengaruhi oleh faktor-

faktorintrinsik) atau terjadi kemudian selama pertumbuhan (dipengaruhi oleh

14
faktor- faktor ekstrinsik).

Kelainan struktural yang berasal dari gangguan pada fase prenatal dapat

diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok:

1) Malformasi, yaitu kelainan struktur yang timbul karena abnormalitas

kromosom sejak periode embrional sebagai gangguan organogenesis, biasanya

terjadi pada awal kehamilan hingga usia kehamilan 8 minggu. Kelainan-kelainan

ini seringkali tidak akan terdiagnosis secara ultrasonografi (USG) pada awal-awal

kehamilan.

2) Deformitas, yaitu kelainan posisi, ukuran, bentuk tubuh yang timbul pada

fetus yang semula tumbuh normal akibat faktor-faktor mekanis. Kelainan ini

terjadi bila janin yang normal secara genetik mengalami perubahan struktural

karena lingkungan intrauteri yang abnormal. Misal: oligohidramnion.

3) Disrupsi, yaitu janin yang normal secara genetis, kemudian mengalami

kelainan akibat gangguan perkembangan. Misal: ketuban pecah dini, Amniotic

Band Syndrome.

Pembagian lain kelainan kongenital adalah: kelainan kongenital mayor

didefinisikan sebagai cacat struktural pada organ yang mempunyai risiko

kesakitan dan kematian tinggi dan memerlukan intervensi medis, dan kelainan
kongenital minor merupakan gangguan perkembangan yang kurang memberikan

dampak medis operarif maupun kosmetik dan biasanya kurang mempengaruhi

14
kelangsungan hidup penderita.

Kelainan kongenital sistem saraf pusat mencakup seluruh bentuk kelainan

struktural yang terjadi pada janin baik oleh faktor genetik maupun lingkungan,

15
yang terjadi pada suatu bagian pada otak dan/atau sumsum tulang belakang.

Epidemiologi Kelainan Kongenital Sistem Saraf Pusat

Kelainan kongenital mayor terjadi pada 3 – 4% kelahiran hidup dan 70% dari

kelainan tersebut tidak diketahui penyebabnya. Terdapat perkiraan bahwa 2 – 3%

kelainan kongenital mayor disebabkan oleh obat dan 1% disebabkan oleh polusi

3
lingkungan.

Sebuah studi di Iran dengan subjek bayi baru lahir hingga anak berusia 8

t
ahun melaporkan prevalensi kelainan kongenital 29,4 tiap 1000 kelahiran hidup,

yang meliputi kelainan fungsi dengan atau tanpa defek struktural. Kelainan

kongenital sistem saraf pusat tercatat sebanyak 26 dari 220 bayi lahir hidup,

dengan hidrosefalus 4,09%, meningomyelokel 3,18%, anensefalus 2,72%, dan

16
microsefalus 1,8%. Sedangkan di Brazil, tercatat sejak Juli 1999 hingga

Maret 2001 angka kelainan kongenital sekitar 1,7% dari seluruh kelahiran hidup,

dengan malformasi minor sebanyak 66% dari seluruh kelainan kongenital. Defek

tuba neuralis paling sering terjadi, dengan 7 kasus spina bifida, 5 kasus

hidrosefalus, 3 kasus ensefalokel, dan masing-masing 1 kasus untuk anensefalus

17
dan mikrosefalus dari total 55 kasus.

Tabel 2: Prevalensi Kelainan Kongenital di India pada Bayi yang Lahir antara 1 Januari

8
2005 hingga 31 Juli 2007.
Sistem Saraf Pusat per 1000 kelahiran Persentase
Mikrosefalus 3 0.32%

Dandy Walker 3 0.32%

Malformation
Hidrosefalus 2

0.21% Meningoensefalokel 1

0.1% Meningomyelokel 2

0.21% Spina Bifida 2

0.21% Ensefalokel 1

0.1%

Meningokel 1 0.1%

Klasifikasi Kelainan Kongenital Sistem Saraf Pusat

Menurut European Registration of Congenital Anomalies (2010),

kelainan bawaan sistem saraf mayor didefinisikan sebagai berikut: a. Neural

Tube Defects (NTD) Pada stadium dini pembentukan lempeng neural terbentuk

celah neural yang kemudian membentuk tuba neuralis. Tuba neuralis

inilah yang kemudian menjadi jaringan otak dan medula spinalis. Proses

penutupan tuba neuralis ini berlangsung selama minggu ketiga hingga keempat

18
kehidupan embrio dan biasanya sebelum wanita mengetahui kehamilannya .

Proses neuralisasi mulai pada garis tengah dorsal dan berlanjut ke arah sefal dan

kaudal. Penutupan yang paling akhir terjadi pada ujung posterior yaitu pada hari

11,19
ke-28.

Tepi lateral pelat neural membentuk lipatan neural yang bersatu

kearah dorsal membentuk tuba neuralis, seperti tampak pada gambar 1.

Kegagalan lipatan neural bersatu kearah dorsal berakibat disrafisme dan

menyebabkan anensefalus, ensefalomeningokel dan meningokel, malformasi

Arnold-Chiari dengan rakhiskhisis spinal, serta keadaan lain.


Gambar 1: A. Tampak belakang dari embrio manusia pada hari ke-22. Seven distinct

somites tampak jelas pada masing-masing sisi tuba neuralis. B. Tampak belakang dari

11
embrio manusia pada hari ke-23.

NTD terjadi karena kesalahan induksi oleh korda spinalis yang terletak

dibawahnya atau karena pengaruh faktor-faktor lingkungan yang bersifat

teratogen bagi sel-sel neuroepitel. Hipertermia, asam valproat, dan

hipervitaminosis vitamin A juga merupakan faktor predisposisi terjadinya

NTD. Sekitar 80% bayi yang lahir dengan bentuk defek ini masih dapat hidup

selama periode baru dilahirkan, tetapi mayoritas terbesar (85%) dari bayi-bayi

yang berhasil hidup akan memiliki kecacatan yang sedang atau berat seumur

12,20
hidup mereka.

1) Anensefalus

Bayi yang lahir dengan anensefalus ditandai dengan tidak terbentuknya

kubah tengkorak, sehingga otak yang mengalami malformasi menjadi

terpapar. Kemudian, jaringan ini mengalami degenerasi dan meninggalkan


m
assa jaringan nekrotik. Namun batang otak pada bayi dengan

anensefalus tetap utuh. Keadaan ini terjadi akibat gagalnya penutupan

bagian sefalik dari tuba neuralis. Anensefalus merupakan cacat lethal

yang menimbulkan kematian janin di dalam rahim atau

11,21
kematian segera sesudah bayi dilahirkan.

2.2 Disrafisme Kranial (Kranium Bifidum)

Kranium bifidum atau kranioskizis, seperti spina bifida, adalah defek

tabung neural disrafik. Anomali ini lebih jarang dari spina bifida. Biasanya dapat

ditindak dan karenanya menjadi malformasi yang penting dibidang bedah saraf.

Herniasi dura dan jaringan otak melalui defek tulang digaris tengah (sefalokel)

dijumpai pada banyak kasus. Karanium bifidum terkadang bersamaan dengan

spina bifida.3,4

Insidens kranium bifidum seperlimabelas hingga seper sepuluh spina

bifida: satu per 3.000 hingga 10.000 kelahiran. Sefalokel regio oksipital umum di

Eropa dan Amerika, sedang sefalokel frontal lebih sering dari sefalokel

oksipital di Asia Tenggara. Dibeberapa daerah di Asia Tenggara

meningoensefalokel lebih sering dari mielomeningokel. Jadi predisposisi

geografis mungkin berperan pada kranium bifidum. Oksipital

14
meningoensefalokel lebih sering pada wanita, sedang pria lebih sering pada

yang lainnya. 4,5

Kranium bifidum diklasifikasikan kedalam dua jenis: kranium bifidum

okultum dan kranium bifidum sistikum. Kranium bifidum okultum tidak

berkaitan dengan herniasi dura, karenanya tak terdeteksi hingga dewasa bila tak

bergejala. 5

Sinus dermal intrakranial adalah disrafisme kranial okulta berupa jaringan

yang berasal dari kulit yang persisten terdapat diruang intrakranial, yang

berhubungan dengan kulit. Defek tulang kecil sering tampak dibawah

protuberansia oksipital eksterna, dan beberapa rambut sering tumbuh dari sinus.

Lainnya, lokasi yang kurang sering adalah nasion. Sista dermoid mungkin

terdapat pada satu atau kedua ujung dari sinus dermal. 5

Sinus dermal diregio oksipital sering turun ke sambungan servikomedulari

dan berakhir sebagai dermoid disisterna magna, ventrikel keempat dan hemisfer

serebeler. Tumor dermoid pada ujung sinus dermal mungkin menimbulkan gejala

massa intrakranial. Sinus dermal mungkin tanpa gejala. Banyak kasus berakibat

meningitis rekuren, dan reseksi tak lengkap sinus dermal juga bisa menimbulkan

meningitis. 5

Kranium bifidum sistikum dapat dibagi menjadi lima subkelompok, sesuai

isi dari sefalokel:

1. Meningokel: hanya berisi CSS didalam sefalokel.

2. Ensefalomeningokel atau meningoensefalokel: berisi baik CSS maupun

jaringan otak didalam sefalokel.

15
3. Ensefalokel: berisi hanya jaringan otak didalam sefalokel.

4. Ensefalosistokel: penonjolan jaringan otak mengisi ruang yang berhubungan

dengan ventrikel.

5. Meningoensefalosistokel, atau ensefalosistomeningokel: berisi 'ventrikel' dan

jaringan otak plus dilatasi ruang CSS disefalokel. 5

Eksensefali adalah protrusi otak yang tidak ditutupi kulit. Sefalokel dapat

diklasifikasikan menurut lokasinya. Meningoensefalokel dapat diklasifikasikan

kedalam dua kelompok: meningoensefalokel posterior atau oksipital dan

meningoensefalokel anterior atau frontal, yang menonjol pada sambungan tulang

frontal dan tulang nasal atau kartilago nasal. 5

2.3 Meningoensefalokel

Meningoensefalokel (meningoencephalocele) atau disebut juga ensefalokel

(encephalocele) adalah kelainan kongenital akibat defek tuba neuralis. Defek tuba

neuralis ini di daerah kaudal akan menyebabkan spina bifida dan di daerah kranial

akan menyebabkan defek tulang kranium disebut kranium bifidum. Hal ini

dimulai pada masa embrio pada minggu ke III sampai dengan minggu ke IV; tidak

menutupnya tuba neuralis pada ujung kranial dapat menimbulkan herniasi

jaringan saraf pusat. Meningoensefalokel dapat terjadi di seluruh bagian

tengkorak, tetapi yang paling sering terjadi di regio occipital, kecuali pada orang

Asia, yang lebih sering terjadi pada regio frontal. 5,6,7,8,13,14

Herniasi atau benjolan ini dapat berisi meningen dan cairan serebrospinal

saja disebut Meningokel Kranial, dapat juga berisi meningen, cairan serebrospinal

16
dan jaringan/parenkhim otak disebut Meningoensefalokel. Secara umum herniasi

melalui defek kranium disebut meningoensefalokel, walaupun sebenarnya berbeda

patologi, pengobatan dan prognosisnya. Kira-kira 75% meningoensefalokel

didapatkan di regio oksipital, dapat terlihat sebagai kantong kecil bertangkai atau

struktur seperti kista besar, dapat lebih besar daripada kranium; tertutup oleh kulit

seluruhnya; kadang-kadang di tempat-tempat tertentu hanya dilapisi oleh

membran tipis seperti kertas perkamen. Sebanyak 15% dari ensefalokel terletak di
9,10
frantal.

Gambar 2. Meningoensefalokel pada regio occipital

17
Gambar 3. Meningoensefalokel pada regio frontonasal

Isi meningoensefalokel dapat diketahui dengan transiluminasi dan USG,

pada pemeriksaan mikroskopis, biasanya akan didapatkan jaringan otak

abnormal/displasia. Insiden meningoensefalokel 1-5 per 10000 bayi lahir hidup;

paling kecil dari seluruh penyakit defek tuba neuralis (8% - 19%). Di Eropa dan

Amerika hampir 80% - 90% meningoensefalokel terdapat di regio oksipital;

meningoensefalokel di daerah anterior (frontal, nasofrontal, nasofaringeal) lebih

sering di Asia Tenggara. 11

2.4 Etiologi

Meningoensefalokel disebabkan oleh kegagalan penutupan tabung saraf

selama perkembangan janin. Kegagalan penutupan tabung saraf ini disebabkan

oleh gangguan pembentukan tulang kranium saat dalam uterus seperti kurangnya

asupan asam folat selama kehamilan, adanya infeksi pada saat kehamilan terutama

infeksi TORCH, mutasi gen (terpapar bahan radiologi), obat – obatan yang

mengandung bahan yang terotegenik. Meningoensefalokel juga disebabkan oleh

defek tulang kepala, biasanya terjadi dibagian occipitalis, kadang – kadang juga

dibagian nasal, frontal, atau parietal.12

Walaupun penyebab pasti defek tuba neuralis masih belum diketahui,

beberapa faktor antara lain radiasi, obat-obatan, malnutrisi, bahan-bahan kimia

dan faktor genetik terbukti mempengaruhi perkembangan susunan saraf pusat

sejak konsepsi, Penulis lain berpendapat bahwa maternal hypertermia pada hamil

muda juga merupakan fakor penyebab meningoensefalokel. Data terakhir

18
menyebutkan bahwa suplementasi vitamin seperti folic acid saat sekitar konsepsi

akan mencegah defek tuba neuralis. 12

2.5 Klasifikasi

Berikut adalah klasifikasi meningoensefalokel menurut Suwanwel:

I. Ensefalomeningokel oksipital

II. Ensefalomeningokel lengkung tengkorak

A. Interfrontal

B. Fontanel anterior

C. Interparietal

D. Fontanel posterior

E. Temporal

III. Ensefalomeningokel fronto-ethmoidal

A. Nasofrontal

B. Naso-ethmoidal

C. Naso-orbital

IV. Ensefalomeningokel basal

A. Transethmoidal

B. Sfeno-ethmoidal

C. Transsfenoidal

D. Frontosfenoidal atau sfeno-orbital

V. Kranioskhisis

19
A. Kranial, fasial atas bercelah

B. Basal, fasial bawah bercelah

C. Oksipitoservikal bercelah

D. Akrania dan anensefali. 5,13,14

Meningoensefalokel oksipital merupakan 70 persen sefalokel (pada

geografis). Dibagi kedalam subkelompok sesuai hubungannya dengan

protuberansia oksipital eksterna (EOP): sefalokel oksipitalis superior, dimana

terletak diatas EOP, dan sefalokel oksipitalis inferior, yang terletak dibawah

EOP. Penonjolan lobus oksipital tampak disefalokel superior, dimana serebelum

menonjol dalam sefalokel inferior. Bila defek tulang meluas turun keforamen

magnum, keadaan ini disebut sefalokel oksipitalis magna. Hubungan sefalokel ini

dengan spina bifida servikalis disebut sefalokel oksipitoservikalis (iniensefali).5

Meningoensefalokel anterior jarang dibanding meningoensefalokel

posterior. Yang pertama biasanya dibagi kedalam dua kelompok:

meningoensefalokel sinsipital (tampak) dan meningoensefalokel basal (tak

tampak). Mungkin juga dibagi kedalam empat kelompok:

(1) meningoensefalokel frontal,

(2) meningoensefalokel frontonasal,

(3) meningoensefalokel fronto-ethmoid, dan

(4) meningoensefalokel nasofaringeal.

Sambungan tulang frontal dan kartilago nasal adalah tempat yang umum

dari sefalokel; hubungan ini menjadi titik lemah karena pertumbuhan yang

20
berbeda tulang frontal dan kartilago nasal. Suwanwela menyebut sefalokel

diregio ini sebagai meningoensefalokel fronto-ethmoid dan dikelompokkan

kedalam tiga subkelompok:

1. Jenis nasofrontal: menonjol pada sambungan tulang frontal dan tulang nasal.

2. Jenis nasoethmoid: menonjol pada tulang nasal atau kartilago nasal.

3. Jenis naso-orbital: menonjol dari bagian anterior tulang ethmoid dari bagian

anterior orbit. 5,13,14

Meningoensefalokel basal dapat dibagi kedalam lima kelompok:

1. Meningoensefalokel transethmoidal (intranasal): herniasi kedalam kavum

nasal melalui lamina kribrosa.

2. Meningoensefalokel sfeno-ethmoid (intranasal posterior): herniasi kebagian

posterior kavum nasal melalui tulang sfenoid.

3. Meningoensefalokel transsfenoid (sfenofaringeal): herniasi kenasofaring

melalui tulang sfenoid.

4. Meningoensefalokel sfeno-orbital: herniasi keruang orbit melalui fissura

orbital superior.

5. Meningoensefalokel sfenomaksillari: herniasi kerongga orbit melalui fissura

pterigoid, kemudian kefossa pterigoid melalui fissura intra orbital. 5,13,14

2.6 Gejala Klinis

Gejala klinis sangat bervariasi tergantung malformasi serebral yang

terjadi, termasuk hidrosefalus dan banyaknya jaringan otak yang mengalami

21
displasia dan masuk ke dalam kantung meningoensefalokel. Jika hanya

mengandung meningen saja, prognosisnya lebih baik dan dapat berkembang

normal. Gejala-gejala sehubungan dengan malformasi otak adalah mental

retardasi, ataxia spastik, kejang, buta dan gangguan gerakan bola mata.

Sebenarnya diagnosis perinatal dapat ditegakkan dengan pemeriksaan USG, alfa

feto protein cairan amnion dan serum ibu.6

Ukuran dari meningoensefalokel mempengaruhi ukuran dari tengkoran

dan otak tergantung dari besarnya protrusi pada tengkorak. Bila protrusi besar,

maka tengkorak akan tampak seperti mikrosefali, karena banyak jaringan otak

yang sudah keluar. Menigoensefalokel jarang berhubungan dengan malformasi

serebri saja dan biasanya berhubungan dengan abnormalitas dari hemisper

serebri, serebelli dan otak tengah.9

Meningoensefalokel anterior sering bersamaan dengan anomali muka,

seperti bibir dan langit-langit bercelah. Empat anomali yaitu meningoensefalokel

oksipital, hidrosefalus, deformitas Klippel-Feil, dan langit-langit bercelah sering

terjadi sebagai tetrad. Kelainan jantung kongenital dan ekstremitas yang

displastik adalah anomali yang berhubungan yang terletak dibagian lain dari

badan. 6

Hidrosefalus mungkin terjadi sebelum diperbaikinya sefalokel, atau

mungkin terbentuk setelah operasi. Insidens hidrosefalus yang menyertai pada

meningoensefalokel oksipital adalah 25 persen pada meningokel dan 66 persen

pada meningoensefalokel. Hidrosefalus yang bersamaan pada meningoensefalokel

anterior jarang. Seperti pada spina bifida, insidens hidrosefalus lebih tinggi pada

22
sefalokel yang mengandung jaringan otak. Insidens hidrosefalus yang

menyertai pada meningoensefalokel oksipital adalah hampir sama dengan pada

mielomeningokel. 6

2.7 Patofisiologi

Meningoensefalokel adalah suatu kelainan tabung saraf yang ditandai

dengan adanya penonjolan meningens (selaput otak) dan otak yang berbentuk

seperti kantung melalui suatu lubang pada tulang tengkorak. Meningoensefalokel

disebabkan oleh kegagalan penutupan tabung saraf selama perkembangan janin.1

Ada dua bentuk disrafisme utama yang mempengaruhi tulang kranial, dan

menghasilkan protrusi jaringan melalui defek linea mediana tulang yang disebut

cranium bifidum. Mielomeningokel cranium terdiri dari kantong meninges yang

terisi hanya cairan serebrospinal dan meningoensefalokel mengandung kantung

dan korteks serebri, serebelum, atau bagian batang otak. Defek kranium paling

lazim pada daerah oksipital pada atau di bawah sambungan, dan sebagian terjadi

frontal atau nasofrontal. Kelainan ini adalah adalah sepersepuluh dari defek

penutupan tuba neuralis yang melibatkan spina. Etiologi ini dianggap sama

dengan etiologi anensefali dan mielomeningokel. 6

Bayi dengan meningoensefalokel kranium beresiko untuk terjadinya

hirdosefalus karena stenosis akuaduktus, malformasi Chiari, atau sindrom Dandy-

Walker. Pemeriksaan dapat menunjukkan kantung kecil dengan batang bertangkai

atau struktur seperti kista besar yang dapat melebihi ukuran kranium. Lesi ini

23
dapat tertutup total dengan kulit, namun daerah yang tidak berkulit (denuded skin)

dapat terjadi dan memerlukan manajemen bedah segera. Transiluminasi kantung

dapat menampakkan adanya jaringan saraf. 1

2.8 Diagnosis

Pemeriksaan radiologis dilakukan untuk menilai struktur patologis

sefalokel: daerah defek tulang, ukuran serta isi sefalokel, ada atau tidaknya

anomali SSP, dan dinamika CSS.7

Lubang defek tulang pada meningoensefalokel oksipital mudah dikenal

pada foto polos tengkorak. Sebagai tambahan terhadap daerah defek tulang,

perluasan defek dan ada atau tidaknya kraniolakunia dapat diketahui. Ada atau

tidaknya otak yang vital dikantung dapat ditentukan dengan ventrikulografi dan

angiografi serebral, namun CT scan memperlihatkan tidak hanya isi kantung

namun semua kelainan intrakranial yang bersamaan. 10

Meningoensefalokel oksipital harus didiferensiasi dari kasus garis

tengah lainnya, seperti sinus perikranii, dan holoprosensefali. Sinus perikranii

sangat lebih kompresibel dibanding meningoensefalokel. CT scan

memperlihatkan displasia serebral sebagai tambahan atas kantung dorsal pada

holoprosensefali. Angiografi serebral mungkin perlu untuk membedakan

meningoensefalokel oksipital dari kantung dorsal holoprosensefali;

holoprosensefali didi- agnosis oleh adanya arteria serebral anterior azigos. 7,13

24
Untuk memeriksa lubang dari defek tulang pada meningoensefalokel

anterior, tomografi fossa anterior dan CT scan diperlukan. Meningoensefalokel

anterior harus didiferensiasi dari polip nasal, teratoma orbitofronal, glioma

ektopik (nasal), dan keadaan serupa. Teratoma orbitofrontal mungkin

menampakkan kalsifikasi pada foto polos dan meluas kedalam ruang intrakranial.

Tumor ini menjadi maligna dengan pertambahan usia. Glioma nasal adalah tumor

neurogenik kongenital yang jarang yaitu massa heterotopik nonneoplastik dari

jaringan neuroglial. Tapi mungkin tumbuh seperti neoplasma sejati,

menginfiltrasi jaringan sekitarnya, serta metastasis ke nodus limfe regional. 5,6,13,14

MRI kranial dapat memberi gambaran yang pasti dari kandungan dalam

meningiensefalokel. Meskipun terletak pada garis tengah, isi dari protrusi

biasanya dari salah satu hemisfer yang lebih kecil.9

2.9 Komplikasi

Meningoensefalokel sering disertai dengan kelainan kranium fasial atau

kelainan otak lainnya, seperti hidrochephalus atau kelainan kongenital lainnya

(Syndrome Meckel, syndrome dandy-walker). Kelainan kepala lainnya yang dapat

dideteksi dengan USG adalah kista otak, miensefalus (fusi tulang occiput

vertebrata sehingga janin dalam sikap hiperekstensi), huloprokensefalus (hanya

berbentuk sebuah rongga ventrikel yang berdilatasi), hindranensefalus (destruksi

total jaringan otak sehingga kepala hanya berisi cairan), kelainan bentuk kepala

(dulikochephaluskh, branchi chpalusk) dan sebagainya.10

Berikut adalah beberapa komplikasi dari meningoensefalokel, yaitu:

25
a. Kelumpuhan keempat anggota gerak (kuadri plegia spastik)

b. Gangguan perkembangan

c. Mikrosefalus

d. Hidrosefalus

e. Gangguan penglihatan

f. Keterbelakangan mental dan pertumbuhan

g. Ataksia

h. Kejang.12

2.10 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan meningoensefalokel tergantung dari isi dan luas dari

anomali. Pada meningokel oksipital, di mana kantung tidak mengandung jaringan

saraf, hasil dari pembedahan hampir selalu baik. Tetapi pada meningoensefalokel

yang berisi jaringan otak biasanya diakhiri dengan kematian dari anak.9

Hampir semua meningoensefalokel memerlukan intervensi bedah saraf,

kecuali massanya terlalu besar dan dijumpai mikrosefali yang jelas. Bila mungkin,

tindalan bedah sedini mungkin untuk menghindari infeksi, apalagi bila ditemui

kulit yang tidak utuh dan perlukaan di kepala. 6

Pada neonatus apabila dijumpai ulkus pada meningoensefalokel atau tidak

terjadi kebocoran cairan serebrospinal, operasi segera dilakukan. Pada

meningoensefalokel yang ditutupi kulit kepala yang baik, operasi dapat ditunda

sampai keadaan anak stabil. Tujuan operasi adalah menutup defek (watertight

dural closure), eksisi masa otak yang herniasi serta memelihara fungsi otak. 7

26
Defek tulang yang cukup besar dapat diperbaiki dengan wire mesh, plastik

atau tulang, tetapi jarang diperlukan. Hasil akhir operasi sukar dipastikan oleh

karena bervariasinya kasus. Pada tindakan bedah terhadap 40 penderita didapati

15 orang (38%) meninggal dan dari 25 orang yang hidup 14 orang (56%)

intelegensianya normal meskipun sering dijumpai gangguan motorik dan pada 11

orang (44%) dijumpai gangguan intelektual dan motorik. 9

1. Penanganan Pra Bedah

Segera setelah lahir daerah yang terpakai harus dikenakan kasa steril yang

direndam salin yang ditutupi plastik, atau lesi yang terpapar harus ditutupi kasa

steril yang tidak melekat untuk mencegah jaringan saraf yang terpaparmenjadi

kering. 9

Perawatan pra bedah neonatus rutin dengan penekanan khusus pada saat

mempertahan suhu tubuh yang dapat menurun dengan cepat. Pada beberapa pusat

tubuh bayi ditempatkan dalam kantong plastik untuk mencegah kehilangan panas

yang dapat terjadi akibat permukaan lesi yang basah. Lingkaran occipito frontalis

kepala diukur dan dibuat grafiknya. Diperlukan pemeriksaan X-Ray kepala

AP/LAT dan diambil photografi dari lesi. 10

2. Perawatan pasca bedah

Pemberian makan per oral dapat diberikan 4 jam setelah pembedahan.

Jika ada drain penyedotan luka maka harus diperiksa setiap jam untuk menjamin

tidak adanya belitan atau tekukan pada saluran dan terjaganya tekanan negatif dan

wadah. Lingkar kepala diukur dan dibuat grafik sekali atau dua kali seminggu.

Sering kali terdapat peningkatan awal dalam pengukuran setelah penutupan cacat

27
spinal dan jika peningkatan ini berlanjut dan terjadi perkembangan hidrochephalus

maka harus diberikan terapi yang sesuai.10

28
BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL

KERANGKA TEORI
Kelainan
Kongenital pada
otak

Gangguan
Gangguan Gangguan Pembentukan Gangguan
Neurolasi Regionalisasi Korteks Myelinisasi

Kekurangan Asam Defek Tuba


Folat Neuralis

Infeksi TORCH
Meningoenchepalo
cele

Meningoenchepalo Meningoenchepalo
cele Oksipital Meningoenchepalo cele Konceksitas Meningoenchepalo
cele Sincipital cele Basal

Frontoehmoid Interfrontal Craniofacial cleft

29
BAB IV

METODE PENELITIAN

3.1 Tahapan Penelitian

Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif observational pada pasien

dengan meningoencephalocele di RSUP Dr. Kariadi dalam periode Januari

2018-Desember 2019. Penelitian ini ditujukan untuk menggambarkan jumlah

kasus, distribusi kasus antara populasi laki laki – perempuan, dan distribusi

usia pada kasus meningoencephalocele di RSUP Dr. Kariadi dalam periode

Januari 2018-Desember 2019.

3.2 Tempat dan waktu penelitian

Pengambilan sampel dilaksanakan di instalasi rekam medik RSUP Dr.

Kariadi. Pelaksanaan penelitian dan penulisan laporan dilakukan pada bulan

April 2020.

3.3 Sample penelitian.

Penelitian secara deskriptif observasional menggunakan 31 sampel dari

instalasi rekam medik RSUP Dr. Kariadi secara konsekutif sampling. Data

yang dikumpulkan berupa data diri pasien, diagnosis pre operasi, laporan

operasi dan diagnosis post operasi.

30
3.4 Variabel penelitian

No Variabel Definisi Cara pengukuran Skala

operasional ukur
1. Distribusi usia pada Usia pasien Digolongkan Ordinal

kasus saat dioperasi <6 bulan

meningoencephalocele yang tercatat 6-12 bulan

dalam rekam >1 tahun

medis. Data

merupakan

data

sekunder.
2. Distribusi jenis Jenis kelamin Digolongkan Nominal

kelamin pada kasus pasien yang Laki-laki

meningoencephalocele tercatat dalam Perempuan

rekam medis.

Data

merupakan

data

sekunder.
3. Diagnosis Diagnosis Digolongkan Nominal

meningoencephalocele yang tercatat Meningoencephalocel

berdasarkan letak dalam rekam e frontoethmoid

medis. Data Meningoencephalocel

31
merupakan e posterior

data

sekunder.
4. Hasil pemeriksaan Hasil Digolongkan Nominal

patologi anatomi pemeriksaan Meningoencephalocel

patologi e

anatomi yang Bukan

tercatat dalam meningoencephalocele

rekam medis.

Data

merupakan

data

sekunder.

3.5 Analisa statistik

Data diolah menggunakan piranti lunak SPSS untuk mengetahui distribusi

kasus pada pasien laki laki – perempuan, distribusi usia pasien saat dioperasi,

jenis meningoencephalocele dan hasil pemeriksaan patologi anatomi pada

pasien dengan meningoencephalocele di RSUP Dr. Kariadi periode Januari

2018-Desember 2019.

BAB V

HASIL PENELITIAN

32
4.1 Analisis Subjek

Dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan 14 sampel catatan

medik pasien meningoencephalocele periode Januari 2018 - Desember

2019.

4.2 Demografi Subjek

Dalam 10 sampel catatan medik pasien meningoencephalocele.

Karakteristik sampel tercantum dalam tabel 1.

Tabel 3. Data demografi pasien

Parameter Jumlah

Jenis Kelamin

Laki-Laki 19 (53%)

Perempuan 17 (47%)

Usia

< 6 bulan 14 (39%)

6-12 bulan 9 (25%)

>1 tahun 13 (36%)

Patologi Anatomi

Meningoencephalocele 11 (31%)

Meningocele 22 (61%)

33
Meningomyelocele 3 (8%)

Encephalocele 0 (0%)

Tabel 4. Hasil Luaran, Tindakan dan Length of Stay Pasien Defek Tuba Neuralis

Hasil Luaran

Hidup 30 (84%)

Meninggal 6 (16%)

Tindakan

Cito 22 (61%)

Elektif 14 (39%)

Lengtht of Stay

Meningoencephalocele 4 hari

Meningocele 4 hari

Meningomyelocele 3 hari

Encephalocele 3 hari

Dari tabel 1 didapatkan informasi bahwa distribusi jenis kelamin

pada sampel penelitian terdistribusi rata sebesar 53% pada pasien laki laki

dan 47% perempuan, distribusi usia pasien saat dioperasi paling banyak

34
pada sampel penelitian yaitu pada usia <6 bulan sebesar 39%, diagnosis

paling banyak pada sampel penelitian yaitu meningocele sebesar 61%,

hasil luaran paling banyak pada sampel penelitian adalah hidup 92%,

sebagian besar pasien menjalani operasi cito 61%, length of stay rata rata

pasien paling lama pada meningoencephalocele (4 hari) dan meningocele

(4 hari).

Jenis Kelamin (%)

47%
53%

Laki-laki Perempuan

Gambar 4. Diagram lingkaran demografi jenis kelamin

35
Usia (%)

36%
39%

25%

< 6 bulan 6-12 bulan >1 tahun

Gambar 5. Diagram lingkaran demografi usia

Diagnosis Patologi Anatomi (%)

8%

31%

61%

Meningoenchepalocele Meningocele
Meningomyelocele Enchepalocele

Gambar 6. Diagram lingkaran diagnosis

36
Hasil Luaran

0.86

14

Hidup Meninggal

Gambar 7. Hasil Luaran

Tindakan

39%

61%

Cito Elektif

Gambar 8. Tindakan

37
Length Of Stay
4.5
4
3.5
3
2.5
Hari

2
1.5
1
0.5
0
Meningoencephalocele Meningocele Meningomyelocele Encepalocele
Diagnosis

Length Of Stay

Gambar 6. Lengh Of Stay

BAB VI

38
PEMBAHASAN

5.1 Pembahasan

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Kariadi

semarang pada bulan April 2020. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif

observasional, tujuan dari penelitian ini adalah menggambarkan jumlah kasus,

distribusi kasus antara populasi laki laki – perempuan, dan distribusi usia pada

kasus meningoencephalocele di RSUP Dr. Kariadi. Sampel yang menjadi

penelitian ini adalah pasien dengan meningoenchepalocele yang datang berobat di

kariadi dari bulan Januari 2018 sampai Desember 2019. Sebanyak 14 pasien

dengan meningoenchepalocele yang berobat pada tahun 2019 menjadi sampel

pada penelitian ini. Meningoensefalokel (meningoencephalocele) atau disebut

juga ensefalokel (encephalocele) adalah kelainan kongenital akibat defek tuba

neuralis. Defek tuba neuralis ini di daerah kaudal akan menyebabkan spina bifida

dan di daerah kranial akan menyebabkan defek tulang kranium disebut kranium

bifidum. Hal ini dimulai pada masa embrio pada minggu ke III sampai dengan

minggu ke IV; tidak menutupnya tuba neuralis pada ujung kranial dapat

menimbulkan herniasi jaringan saraf pusat. Meningoensefalokel dapat terjadi di

seluruh bagian tengkorak, tetapi yang paling sering terjadi di regio occipital,
5,6,7,8,13,14
kecuali pada orang Asia, yang lebih sering terjadi pada regio frontal.

Meningoensefalokel disebabkan oleh kegagalan penutupan tabung saraf selama

perkembangan janin. Kegagalan penutupan tabung saraf ini disebabkan oleh

39
gangguan pembentukan tulang kranium saat dalam uterus seperti kurangnya

asupan asam folat selama kehamilan, adanya infeksi pada saat kehamilan terutama

infeksi TORCH, mutasi gen (terpapar bahan radiologi), obat – obatan yang

mengandung bahan yang terotegenik.12 Etiologi tersering dari kasus ini adalah

kekurangan asam folat pada ibu hamil. Menurut studi yang dilakukan di India

prevalensi meningoenchepalocele adalah 1 per 1000 kelahiran hidup.8 Menurut

studi yang dilakukan di Iran didapatkan bahwa terdapat 3,18 % dari seluruh

kelainan kongenital di sana adalah meningoenchepalocele. 16 Penelitian di brazil

yang dilakukan pada tahun 1999-2001 mendapatkan 3 anak dengan kelainan

kongenital meningoenchepalocele. 17

Pada penelitian ini, sebanyak 19 pasien berjenis kelamin laki-laki dan 17

pasien lainya berjenis kelamin perempuan datang ke RS Kariadi pada periode

Januari 2018 hingga Desember 2019. Berdasarkan data penelitian yang kami

dapat tidak terdapat perbedaan distribusi gender antara laki laki dan perempuan.

Hasil penelitian Li Xue pada tahun 2020 yang menyatakan bahwa ratio kajadian

pada laki-laki dan perempuan adalah 2,2:1.18 Penelitian yang dilakukan di Phnom

Penh antara tahun 2004-2009 menyatakan bahwa terdapat 108 subjek berjenis
10
kelamin laki-laki dan 92 pasien berjenis kelamin perempuan. Terdapat beberapa

penelitian yang menyatakan bahwa perempuan lebih dominan. 20-22 sedangkan

penelitian lain menyatakan tidak adanya perbedaan antara gender laki- laki dan

perempuan.23,24 Hasil penelitian terdahulu menunjukan data yang bervariasi dalam

hal gender.

40
Sebanyak 14 pasien berumur kurang dari 6 bulan sementara 9 pasien

berumur antara 6 bulan sampai 12 bulan, sedangkan 13 pasien berusia lebih dari

12 bulan. Pasien lebih banyak yang berumur kurang dari 6 bulan diakbatkan orang

tua pasien mengetahui anaknya mengalami kelainan sehingga orang tua pasien

langsung membawa anaknya ke fasilitas kesehatan untuk dilakukan pengobatan.

Keterlambatan membawa ke fasilitas kesehatan disebabkan oleh keterbatasan

akses dan kurangnya pengetahuan orang tua terhada kelainan ini.

Pada penelitian ini, lama rawat inap (Length of stay) rata rata pasien

meningoencephalocele 4 hari, sedangkan penelitian di Uganda menemukan

Length of stay pasien meningoencephalocele rata rata 20 hari, time to surgery

selama 10 hari dan 1-year mortality rate dilaporkan sebesar 34%.25 Sedangkan

penelitian Mahajan selama 10 tahun menemukan total 118 anak menjalani

perbaikan encephalocele dengan rata rata usia 1 tahun 6 bulan dan length of stay

rata rata 8.6±4.9 hari.26 Penelitian lain oleh Oncel dkk pada 30 neonatus dengan

meningomyelocele menemukan dengan length of stay 30±25.1 hari dan waktu

tindakan yang lebih awal menurunkan length of stay dan penggunaan antibiotik

secara signifikan.27

Kelemahan dari penelitian ini adalah terbatasnya jumlah pasien

mengioenchepalocele yang dijadikan sampel untuk penelitian ini. Dalam

penelitian epidemiologis semakin banyak sampel maka akan semakin baik hasil

penelitiannya. Untuk mengatasi kelemahan ini sebaiknya penelitian selanjutnya

bisa dilakukan multi center dengan durasi penelitian yang lebih lama.

41
42
BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil sehubungan dengan penelitian tentang

Prevalensi Meningoenchepalocele di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Kariadi

Semarang pada tahun 2019 adalah

1. Tidak ada perbedaan dalam distribusi jenis kelamin di Rumah Sakit

Umum Pusat Dr Kariadi Semarang pada tahun 2019.

2. Kelompok usia terbanyak pasien meningoenchepalocele di Rumah Sakit

Umum Pusat Dr Kariadi Semarang pada tahun 2019 adalah umur kurang

dari 6 bulan.

3. Meningoenchepalocele frotoethmoid adalah jenis meningoenchepalocele

yang paling sering ditemukan di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Kariadi

Semarang pada tahun 2019

5.2 Saran

Saran yang bisa diberikan sehubungan dengan penelitian tentang

Prevalensi Meningoechepalocele di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Kariadi

Semarang pada tahun 2019 adalah

1. Perlu dilakukan penelitian dalam jangka waktu yang lebih lama sehingga

jumlah sampel makin banyak

43
2. Perlu dilakukan penelitian multicenter sehingga hasilnya lebih

komprehensif

44
DAFTAR PUSTAKA
1. Nelson, B.; Arvin K.; Buku Ilmu Kesehatan Anak 15th edition; Penerbit Buku
Kedokteran EGC; Jakarta; 2000.
2. Meadow, R.; Simon N.; Lecture Notes: Pediatrika 7th edition; Erlangga; 2003.
3. Hull, D.; Derek I.J.; Dasar-Dasar Pediatri 3rd edition; Penerbit Buku
Kedokteran EGC; Jakarta; 2008.
4. Saanin, S.; Disrafisme Kranial; in Anomali Susunan Saraf Pusat; Ilmu Bedah
Saraf; Ka. SMF Bedah Saraf RSUP. Dr. M. Djamil/FK-UNAND Padang;
available at: http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Disrafisme.html;
2008.
5. Muscari, M.E.; Keperawatan Pediatrik 3rd edition; Penerbit Buku Kedokteran
EGC; Jakarta; 2005.
6. Dorland, W.A.N.; Kamus Kedokteran Dorland; Penerbit Buku Kedokteran
EGC; Jakarta; 2002.
7. Fenichel, G.M.; Clinical Pediatric Neurology 4th edition; Saunders Company;
Philadelphia; 2001.
8. Tsementzis, S.A.; Differential Diagnosis of Neurology and Neurosurgery;
Thieme Stuttgart; New York; 2000.
9. Sjamsuhidajat, R.; Wim d.J.; Buku Ajar Ilmu Bedah; Penerbit Buku
Kedokteran EGC; Jakarta; 2005.
10. Lubis, N.U.; Encephalocele; in CKD – Cermin Dunia Kedokteran Magazine;
Kalbe Farma; PT. Temprint; Jakarta; 2009.
11. Adeleye AO, Olowookere KG. Central nervous system
congenital anomalies: a prospective neurosurgical observational study
from Nigeria. Congenit Anom [internet]. 2009 [disitasi 2020 April 3]
49(4):258-61. Diunduh dari: www.ncbi.nlm.nih.gov
12. Lorenzo D, Cynthia A, Muin K, David E. Neural-tube defects. The New
England Journal of Medicine [internet]. 1999 [disitasi 2020 April 3]
341:1509-19. Diunduh dari: pedclerk.bsd.uchicago.edu

45
13. Ahmed A, Adnan K, Alaa N, Shomous N. Occipital Meningoencephalocele
case report and review of current literature [internet]. 2017 [disitasi 2020
April 3]. Diunduh dari: cnjounal.biomedcentral.com
14. Ngiep O, Frederic L, Jim G, Louisa D, Bruno J, Frank ER. Frontoenthmiodal
meningoencephalocele: apraisal of 200 operated cases [internet]. 2010
[disitasi 2020 April 3]. 6:541-49. Diunduh dari: thejns.org
15. Gump WC. Endoscopic Endonasal Repair Of Congenital Defect Of The
Anterior Skull Base: Developmental Consideration and Surgical Outcomes. J
Neurol Surg B Skull Base.2015;76(4):291-295.
16. Velho V, Naik H, Survashe P, et al. Management Strategies of Cranial
Enchepaloceles: A Neurosurgical Challenge. Asian J
Neurosurg.2019;14(3):718-724.
17. Rehman L, Farooq G, Bukhari I. Neurosurgical Intervention for Occipital
Enchephalocele. Asian J Neurosurg.2018;13(2):233-237
18. Li X, Dong G, Wu Y, Tao J. Nasal meningoenchepalocele: A Retrospective
Study of Clinicopathological Feature and Diagnosis Of 16 Patients.2020.49
19. Ziade G, Hamdan A, Homsi MT, et al. Spontaneus Transethmoidal
Mengioceles in Adults: Case Series With Emphasis on Surgical Management.
Scientific World Jornal.2016
20. Zoli M, Farneti P, Ghirelli M et al. Meningocele and Meningoenchepaloce of
the Lateral Wall of Sphenoidal Sinus: The Role of Endoscopic Endonasal
Surgery. J World Neurosurg. 2016;87:91-97
21. Abe T, Ludecke DK, Wada A. Transpenoidal Cephalocele In Adult: A Report
of Two Cases and Review Of The Literature.Acta Neurichir 2000;142(4)397-
400.
22. Abdel aziz M, El Borasty H, Qotb M, et al. Nasal Enchepalocele: Endoscopic
Exicion With Anastetic Consideration. Int J Pediatr Otorhinolaryngol
2010;74:869-873
23. Aghtong S, Wiwanitkit V. Enchepalomeningocele Cases Over 10 Years in
Thailand: A case series. BMC Neurol 2002;2:3

46
24. Jabre A, Tabaddor R, Samaraweera R. Transspenoidal Cephalocele in Adult
A. J Surg Neurol. 2000;54(2);183-188.
25. Xu LW, Vaca SD, He JQ, Nalwanga J, Muhumuza C, Kiryabwire J,
Ssenyonjo H, Mukasa J, Muhumuza M, Grant G. Neural tube defects in
Uganda: follow-up outcomes from a national referral hospital. Neurosurg
Focus. 2018 Oct;45(4):E9. doi: 10.3171/2018.7.FOCUS18280. PMID:
30269577.
26. Mahajan C, Rath GP, Dash HH, Bithal PK. Perioperative management of
children with encephalocele: an institutional experience. J Neurosurg
Anesthesiol. 2011 Oct;23(4):352-6. doi: 10.1097/ANA.0b013e31821f93dc.
PMID: 21633311.
27. Oncel, M. Y., Ozdemir, R., Kahilogulları, G., Yurttutan, S., Erdeve, O., &
Dilmen, U. (2012). The effect of surgery time on prognosis in newborns with
meningomyelocele. Journal of Korean Neurosurgical Society, 51(6), 359–
362. https://doi.org/10.3340/jkns.2012.51.6.359

47
LAMPIRAN
Frequency Table

JenisKelamin
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Laki-Laki 7 50.0 50.0 50.0
Perempuan 7 50.0 50.0 100.0
Total 14 100.0 100.0

Usia
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid <6 bulan 7 50.0 50.0 50.0
6-12 bulan 6 40.0 40.0 40.0
>1 tahun 1 10.0 10.0 100.0
Total 14 100.0 100.0

Diagnosis
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Meningoencephalocele 12 80.0 80.0 80.0
frontoethmoid
Meningoencephalocele 2 20.0 20.0 20.0
posterior
Total 14 100.0 100.0

PA
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Meningoencephalocele 14 100.0 100.0 100.0

48
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
JenisKelamin * Diagnosis 14 100.0% 0 0.0% 14 100.0%
Usia * Diagnosis 14 100.0% 0 0.0% 14 100.0%
PA * Diagnosis 14 100.0% 0 0.0% 14 100.0%

JenisKelamin * Diagnosis
Crosstab
Diagnosis
Meningoenceph
alocele Meningoenceph
frontoethmoid alocele posterior Total
JenisKelamin Laki-Laki Count 7 0 7
% within Diagnosis 50% 0.0% 50.0%
Perempuan Count 5 2 7
% within Diagnosis 30% 100.0% 50.0%
Total Count 12 2 14
% within Diagnosis 100.0% 100.0% 100.0%

Usia * Diagnosis
Crosstab
Diagnosis
Meningoenceph
alocele Meningoenceph
frontoethmoid alocele posterior Total
Usia <6 bulan Count 5 2 7
% within Diagnosis 30% 100.0% 50.0%
6-12 bulan Count 6 0 4
% within Diagnosis 40,0% 0.0% 40.0%
>1 tahun Count 1 0 1
% within Diagnosis 10% 0.0% 10.0%
Total Count 12 2 14
% within Diagnosis 100.0% 100.0% 100.0%

49
PA * Diagnosis
Crosstab
Diagnosis
Meningoenceph
alocele Meningoenceph
frontoethmoid alocele posterior Total
PA Meningoencephalocele Count 12 2 14
% within Diagnosis 100.0% 100.0% 100.0%
Total Count 12 2 14
% within Diagnosis 100.0% 100.0% 100.0%

50

Anda mungkin juga menyukai