Anda di halaman 1dari 51

KARYA TULIS ILMIAH

PENGARUH MEROKOK TERHADAP KONVERSI SPUTUM


PADA PASIEN TB PARU
SYSTEMATIC REVIEW

NOVITA VIANI SINAGA


P07534018096

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MEDAN


JURUSAN ANALISIS KESEHATAN PRODI D-III
TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS
TAHUN 2021
KARYA TULIS ILMIAH

PENGARUH MEROKOK TERHADAP KONVERSI SPUTUM


PADA PASIEN TB PARU
SYSTEMATIC REVIEW

Sebagai Syarat Menyelesaikan Pendidikan Program Studi


Diploma III

NOVITA VIANI SINAGA


P07534018096

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MEDAN


JURUSAN ANALISIS KESEHATAN PRODI DIII
TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK
TAHUN 2021
LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

NAMA : NOVITA VIANI SINAGA

NIM : P07534018096

JURUSAN : ANALIS KESEHATAN

Menyatakan bahwa Karya Tulis Ilmiah saya yang berjudul “PENGARUH


MEROKOK TERHADAP KONVERSI SPUTUM PADA PASIEN TB PARU
(SISTEMATIK REVIEW)” ini benar-benar hasil karya saya sendiri dengan
melakukan penelusuran studi literatur. Selain itu, sumber informasi yang dikutip
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
Demikian pernyataan ini saya nyatakan secara benar dengan penuh tanggung jawab.

Medan, 07 Mei 2021


Yang Menyatakan

Novita Viani Sinaga


NIM P0753408096
POLYTECHNIC OF HEALTH, MEDAN KEMENKES
DEPARTMENT OF MEDICAL LABORATORY TECHNOLOGY
KTI, APRIL 2021
NOVITA VIANI SINAGA
EFFECT OF SMOKING ON SPUTUM CONVERSION IN PULMONARY
TUBERCULOSIS PATIENTS ( SYSTEMATIC REVIEW )
vi + 35 pages + 5 pictures + 8 tables

ABSTRACT
Pulmonary TB is the second leading cause of death from infectious diseases after
HIV. Pulmonary TB patients are patients diagnosed with pulmonary tuberculosis
by a Lung specialist who is seen in the patient's medical record. Smoking is a
behavior that disrupts the ability of lung macrophages and increases the resistance
of Mycobacterium tuberculosis to OAT and increases mortality due to pulmonary
tuberculosis. Sputum conversion is the change in the results of AFB positive at the
start of treatment and negative at the end of the intensive treatment phase. The
purpose of this study was to examine the effect of smoking on sputum conversion in
pulmonary tuberculosis patients. This type of research uses a descriptive systematic
review. The Systematic Review literature used is 3 literatures from 2010 to 2020
which are accessed through Google Scholar. The results of this study from Wardani
(2019), Riza (2017), Maqfirah (2020). Result of Journal I was smoking history,
type of cigarette, number of cigarettes / day, result of journal II was age at starting
to smoke, number of cigarettes / day, type of cigarette, duration of smoking history,
result of journal III was age at initiation of smoking, number of cigarettes / day,
type of cigarette, duration of smoking history. It is recommended to avoid or not do
smoking activities at a young age or at old age.

Keywords : smoking, sputum conversion, pulmonary tuberculosis.


Reading list : (2011-2021)

i
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MEDAN
JURUSAN TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS
KTI, MEI 2021
NOVITA VIANI SINAGA
PENGARUH MEROKOK TERHADAP KONVERSI SPUTUM PADA
PASIEN TB PARU ( SYSTEMATIC REVIEW )
vi + 35 halaman + 5 gambar + 8 tabel

ABSTRAK
TB paru menduduki peringkat kedua penyebab utama kematian akibat
penyakit menular setelah HIV. Pasien TB Paru adalah Pasien yang terdiagnosis
Tuberkulosis Paru oleh dokter spesialis Paru yang dilihat pada catatan rekam medis
pasien. Merokok merupakan perilaku yang menyebabkan gangguan kemampuan
makrofag paru-paru dan meningkatkan resistensi kuman Mycobacterium
tuberculosis terhadap OAT dan meningkatkan mortalitas akibat TB Paru. Konversi
Sputum merupakan Perubahan hasil BTA positif pada awal pengobatan dan negatif
pada akhir pengobatan fase intensif. Tujuan penelitian ini adalah untuk Mengkaji
pengaruh merokok terhadap konversi sputum pada pasien TB Paru. Jenis penelitian
ini menggunakan systematic review bersifat deskriptif. Literatur Systematic Review
yang digunakan berjumlah 3 literatur dari tahun 2010 sampai 2020 yang diakses
melalui Google Scholar. Hasil penelitian dari Wardani (2019), Riza (2017),
Maqfirah (2020). Hasil kajian I adalah lama Riwayat merokok, jenis rokok, jumlah
rokok / hari. Kajian II adalah usia mulai merokok, jumlah rokok / hari, jenis rokok,
lama Riwayat merokok. Kajian III adalah usia mulai merokok, jumlah rokok / hari,
jenis rokok, lama Riwayat merokok. Disarankan agar menghindari atau tidak
melakukan aktivitas merokok di usia muda ataupun di usia tua.

Kata kunci : Merokok, konversi sputum ,TB Paru.


Daftar bacaan : (2011-2021)

ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas segala
limpahan nikmat dan karunia yang telah diberikan kepada saya sehinga dapat
menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini dengan judul "PENGARUH MEROKOK
TERHADAP KONVERSI SPUTUM PADA PASIEN TB PARU (SISTEMATIK
REVIEW)”. Proposal ini disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk
menyelesaikan pendidikan Diploma III dan meraih gelar Ahli Madya pada
Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan Jurusan Teknologi Laboratorium Medis.
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak menerima bimbingan,
bantuan, pengarahan serta dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terimakasi yang sebesarnya kepada :
1. Ibu Endang Sofia A, S.Si, M.Si. Selaku ketua jurusan Teknologi
Laboratorium Medis yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
menjadi mahasiswa jurusan Teknologi Laboratorium Medis.
2. Ibu Dosen Pembimbing Nita Andriani Lubis, S.Si, M. Biomed yang telah
bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan masukan
kepada penulis atas Karya Tulis Ilmiah.

3. Bapak penguji Selamat Riadi, S. Si, M. Si dan Ibu Nin Suhari, S. Si, M. Si
yang telah memberikan masukan serta perbaikan untuk kesempurnaan
dalam menyusun Karya Tulis Ilmiah.

4. Seluruh staf pengajar dan pegawai Politeknik Kesehatan Jurusan Teknologi


Laboratorium Medis.

5. Terkhusus dan teristimewa kedua orang tua saya yang terkasih yang telah
memberikan dukungan dan dorongan serta doa kepada penulis baik secara
moril dan materil selama mengikuti pendidikan di Politeknik Kesehatan
Jurusan Teknologi Laboratorium Medis

iii
6. Kepada seluruh teman seperjuangan Angkatan 2018 Jurusan Teknologi
Laboratorium Medis yang telah memberikan semangat dan doa kepada
Penulis.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan


Karya Tulis Ilmiah ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari pembaca sebagai masukan dan penyempurnaan Karya
Tulis Ilmiah ini.
Penulis sangat berharap semoga Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat baik bagi
penulis maupun pembaca

Medan, 05 Mei 2021

Penulis

iv
DAFTAR ISI
ABSTRACT i
ABSTRAK ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL viivii

BAB I
PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Tujuan Penelitian 3
1.3.1 Tujuan Umum 3
1.3.2 Tujuan Khusus 3
1.4 Manfaat penelitian 3
BAB II
LANDASAN TEORI 5
2.1 TB 4
2.1.1 Etiologi dan transmisi TB 5
2.1.2 Faktor Risiko TB 7
2.1.3 Patogenesis TB 7
2.1.4 Gejala Klinis TB Paru 10
2.1.5 Diagnosa TB Paru 11
2.1.6 Pemeriksaan Mikroskopis TB 11
2.1.7 Pengobatan Tuberkulosis Paru 17
2.2 Merokok 18
2.2.1 Jenis Rokok 18
2.2.2 Kandungan Rokok 19
2.2.3 Hubungan Merokok dengan Paru 21
2.3 Kerangka Teori 21
2.4 Defenisi Operasional 22

BAB III
METODE PENELITIAN 23
3.1 Jenis dan Desain Penelitian : 23
3.2 Waktu Penelitian 23
3.3 Objek Penelitian 23
3.4 Jenis Dan Cara Pengumupulan Data 22

v
3.5 Metode penelitian 22
3.6 Prinsip Kerja 23
3.7 Prosedur Kerja 23
3.8 Analisa Data 23
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN 24
4.1 Hasil 24
4.2 Pembahasan 30

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN 32
5.1 Kesimpulan 32
5.2 Saran 32

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN

vi
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1.6 Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala 25


Tabel 2.1.7 Dosis rekomendasi OAT lini pertama untuk dewasa 27
Tabel 3.3 Objek Penelitian 32
Tabel 4.1.1 Ringkasan hasil sistematik review dalam sintesa grid 34
Tabel 4.1.2 Lama merokok dengan konversi sputum 38
Tabel 4.1.3 jumlah rokok dengan konversi sputum 39
Tabel 4.1.4 jenis rokok dengan konversi sputum 40
Tabel 4.1.5 usia mulai merokok dengan konversi sputum 40

vii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Ethical Clearance


Lampiran 2 : Kartu Bimbingan KTI
Lampiran 3 : Daftar Riwayat Hidup

viii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang infeksinya disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis dan sering ditemukan menyerang paruparu
namun dapat juga menyerang organ lainnya.Penyakit ini ditularkan dari percikan
ludah yang keluar penderita TBC, ketika berbicara, batuk, atau bersin. Infeksi
terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung percikan dahak
infeksius tersebut. Penyakit ini lebih rentan terkena pada seseorang yang kekebalan
tubuhnya rendah, misalnya penderita HIV.(Kemenkes RI, 2019)
Penyakit tuberkulosis paru (TB paru) masih menjadi permasalahan kesehatan
masyarakat secara global. TB paru menduduki peringkat kedua sebagai penyebab
utama kematian akibat penyakit menular setelah human immunodeficiency virus
(HIV). Indonesia merupakan peringkat ke-2 penyumbang penyakit TB di dunia.
(WHO 2018) Walaupun secara global Badan Kesehatan Dunia mencatat adanya
penurunan insiden TB pada tahun 2014-2015 sebesar 1,5% namun beban global
masih tetap besar. Hal ini karena perkiraan jumlah insiden TB mencapai 5,9 juta
jiwa dimana 1,4 juta diantaranya meninggal karena TB. Jumlah kasus tuberkulosis
pada tahun 2018 ditemukan sebanyak 566.623. Kasus meningkat bila dibandingkan
pada tahun 2017 yang sebesar 446.732 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang
dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa
Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kasus tuberkulosis di tiga provinsi tersebut
sebesar 44% dari jumlah seluruh kasus tuberkulosis di Indonesia (Profil Kesehatan
Indonesia 2018). Pada 2017 Jawa Barat dengan jumlah 78.698, Jawa Timur
sebanyak 48.323, Jawa Tengah 42.272, dan di sumatera utara sebanyak 20.429.
(Profil Kesehatan Indonesia 2018)
Indonesia pada tahun 2012 dan 2018 menunjukkan penurunan angka
keberhasilan pengobatan semua kasus tuberkulosis dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya. Pada tahun 2018 angka keberhasilan pengobatan semua kasus
tuberkulosis sebesar 84,6%. Angka kesembuhan yang harus dicapai minimal 85,0%
sedangkan angka keberhasilan pengobatan semua kasus minimal 90,0%. Dengan

1
demikian, Indonesia belum mencapai standar angka keberhasilan pengobatan TB
paru yang sudah ditetapkan. (Profil Kesehatan Indonesia 2018)
Indikator yang digunakan dalam mengevaluasi dan meningkatkan keberhasilan
pengobatan TB paru adalah angka konversi dan angka kesembuhan.Perubahan hasil
BTA positif pada awal pengobatan dan negative pada akhir pengobatan fase intensif
disebut konversi. Terdapat berbagai faktor yang berpengaruh secara langsung
terhadap kejadian konversi penderita TB salah satunya yaitu merokok. Indikator
yang digunakan dalam mengevaluasi dan meningkatkan keberhasilan pengobatan
TB paru adalah angka konversi dan angka kesembuhan positif pada awal
pengobatan dan negatif pada akhir pengobatan fase intensif disebut konversi.
Angka konversi yang masih rendah juga berpengaruh terhadap terjadinya resistensi
kuman terhadap obat anti-TB, sehingga dapat meningkatkan angka kesakitan dan
kematian pasien. (Maqfirah, Muhammad, dan Henni 2020).
Di Indonesia merokok seperti sudah menjadi seperti budaya. Kebiasaan
merokok dianggap wajar dikalangan masyarakat dapat dilihat dari kemudahan
mendapat rokok dimana saja, dan harga rokok masih bisa banyak dijangkau oleh
banyak orang serta rokok yang bisa dibeli perbatang. Kebiasaan merokok di
Indonesia berbanding lurus dengan jumlah perokok yang terus meningkat. Usia
pertama kali merokok tertinggi pada usia 15-19 tahun sebanyak 52,1% dan 10-14
tahun 23,1% artinya sejak usia SD dan SMP banyak remaja sudah merokok, dan di
usia 5-9 tahuan sebanyak 2,5%. (Sumarjati, 2020) Laporan SEATCA jumlah
perokok di Indonesia mencapai 65,19 juta orang yang menempatkan Indonesia
sebagai negara dengan jumlah perokok terbanyak di Asia Tenggara. Data tersebut
menunjukkan peningkatan prevalensi merokok menjadi 9,1% disbanding 7,2%
pada tahun 2013. (Tan, 2018)
Merokok juga menjadi masalah Kesehatan di Indonesia. Perilaku merokok
adalah aktivitas menghisap atau menghirup asap rokok dengan menggunakan pipa
atau rokok yang dilakukan secara menetap. Hanya dengan membakar dan
menghisap sebatang rokok saja, dapat diproduksi lebih dari 4000 jenis bahan kimia.
400 diantaranya beracun dan 40 diantaranya bisa berakumulasi dalam tubuh. (Checi
dan Muhammad, 2021) Merokok dapat mempengaruhi konversi karena merokok

2
dapat merusak makrofag dalam paru yang merupakan sel fagositosis, sehingga
kuman TB dapat menjadi resisten terhadap pengobatan Jika perilaku merokok
pasien terus berlanjut, maka dapat memperparah penyakit TB paru sehingga
mortalitas TB akibat merokok akan terus meningkat.(Diah, Minerva, dan Anindita,
2019)
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk dapat
melakukan penelitian pengaruh merokok terhadap konversi sputum pada pasien TB
Paru.

1.2 Rumusan Masalah


Apa saja faktor merokok yang mempengaruhi konversi sputum pada pasien TB
Paru yang dikaji secara sistematik review?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum


Melakukan sistematk review untuk Mengkaji pengaruh merokok terhadap
konversi sputum pada pasien TB Paru

1.3.2 Tujuan Khusus


Melihat apa saja faktor-faktor merokok yang menyebabkan konversi
sputum

1.4 Manfaat penelitian


1. memberikan informasi pada masyarakat dampak dan pengaruh merokok
terhadap keberhasilan pengobatan TB Paru
2. sebagai sumber referensi kepada peneliti selanjutnya
3. memberikan informasi kepada masyarakat faktor2 apa saja mempengaruhi
konversi sputum pada pasien TB Paru

3
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 TB
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis (Kemenkes RI, 2016). Bakteri ini berbentuk batang dan bersifat tahan
asam sehingga sering dikenal dengan Basil Tahan Asam (BTA). Sebagian besar
kuman TB sering ditemukan menginfeksi parenkim paru dan menyebabkan TB
paru, namun bakteri ini juga memiliki kemampuan menginfeksi organ tubuh
lainnya (TB ekstra paru) seperti pleura, kelenjar limfe, tulang, dan organ ekstra paru
lainnya. ( Keputusan Kemenkes RI, 2019)
Kuman batang aerobik dan tahan asam ini, dapat merupakan organisme patogen
maupun saprofit. Basil tuberkel ini berukuran 0,3x2 sampai 4mm, ukuran ini lebih
kecil daripada sel darah merah. (Price dan Wilson, 2006)

2.1.1 Etiologi dan transmisi TB


Terdapat 5 bakteri yang berkaitan erat dengan infeksi TB: Mycobacterium
tuberculosis, Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum, Mycobacterium
microti and Mycobacterium cannettii. M.tuberculosis (M.TB), hingga saat ini
merupakan bakteri yang paling sering ditemukan, dan menular antar manusia
melalui rute udara. ( Keputusan Kemenkes RI, 2019)
Tuberkulosis biasanya menular dari manusia ke manusia lain lewat udara
melalui percik renik atau droplet nucleus (<5 microns) yang keluar ketika seorang
yang terinfeksi TB paru atau batuk, bersin, atau bicara. Percik renik juga dapat
dikeluarkan saat pasien TB paru melalui prosedur pemeriksaan yang menghasilkan
produk aerosol seperti saat dilakukannya induksi sputum, bronkoskopi dan juga saat
dilakukannya manipulasi terhadap lesi atau pengolahan jaringan di laboratorium.
Percik renik, yang merupakan partikel kecil berdiameter 1 sampai 5 μm dapat
menampung 1-5 basilli, dan bersifat sangat infeksius, dan dapat bertahan di dalam
udara sampai 4 jam. Karena ukurannya yang sangat kecil, percik renik ini memiliki
kemampuan mencapai ruang alveolar dalam paru, dimana bakteri kemudian
melakukan replikasi. ( Keputusan Kemenkes RI, 2019)

4
Ada 3 faktor yang menentukan transmisi M.TB :
a. Jumlah organisme yang keluar ke udara.
b. Konsentrasi organisme dalam udara, ditentukan oleh volume ruang dan
ventilasi.
c. Lama seseorang menghirup udara terkontaminasi.
Satu batuk dapat memproduksi hingga 3,000 percik renik dan satu kali bersin
dapat memproduksi hingga 1 juta percik renik. Sedangkan, dosis yang diperlukan
terjadinya suatu infeksi TB adalah 1 sampai 10 basil. Kasus yang paling infeksius
adalah penularan dari pasien dengan hasil pemeriksaan sputum positif, dengan hasil
3+ merupakan kasus paling infeksius. Pasien dengan hasil pemeriksaan sputum
negative bersifat tidak terlalu infeksius. Kasus TB ekstra paru hampir selalu tidak
infeksius, kecuali bila penderita juga memiliki TB paru. Individu dengan TB laten
tidak bersifat infeksius, karena bakteri yang menginfeksi mereka tidak bereplikasi
dan tidak dapat melalukan transmisi ke organisme lain. ( Keputusan Kemenkes RI,
2019)
Penularan TB biasanya terjadi di dalam ruangan yang gelap, dengan minim
ventilasi di mana percik renik dapat bertahan di udara dalam waktu yang lebih lama.
Cahaya matahari langsung dapat membunuh tuberkel basili dengan cepat, namun
bakteri ini akan bertahan lebih lama di dalam keadaan yang gelap. Kontak dekat
dalam waktu yang lama dengan orang terinfeksi meningkatkan risiko penularan.
Apabila terinfeksi, proses sehingga paparan tersebut berkembang menjadi penyakit
TB aktif bergantung pada kondisi imun individu. Pada individu dengan sistem imun
yang normal, 90% tidak akan berkembang menjadi penyakit TB dan hanya 10%
dari kasus akan menjadi penyakit TB aktif (setengah kasus terjadi segera setelah
terinfeksi dan setengahnya terjadi di kemudian hari). Risiko paling tinggi terdapat
pada dua tahun pertama pasca-terinfeksi, dimana setengah dari kasus terjadi.
Kelompok dengan risiko tertinggi terinfeksi adalah anak-anak dibawah usia 5 tahun
dan lanjut usia. Orang dengan kondisi imun buruk lebih rentan mengalami penyakit
TB aktif dibanding orang dengan kondisi sistem imun yang normal. 50- 60% orang
dengan HIV-positif yang terinfeksi TB akan mengalami penyakit TB yang aktif.
Hal ini juga dapat terjadi pada kondisi medis lain di mana sistem imun mengalami

5
penekanan seperti pada kasus silikosis, diabetes melitus, dan penggunaan
kortikosteroid atau obat-obat imunosupresan lain dalam jangka panjang.
( Keputusan Kemenkes RI, 2019)
2.1.2 Faktor Risiko TB
Terdapat beberapa kelompok orang yang memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami penyakit TB, kelompok tersebut adalah :
a. Orang dengan HIV positif dan penyakit imunokompromais lain.
b. Orang yang mengonsumsi obat imunosupresan dalam jangka waktu panjang.
c. Perokok
d. Konsumsi alkohol tinggi
e. Anak usia <5 tahun dan lansia
f. Memiliki kontak erat dengan orang dengan penyakit TB aktif yang infeksius.
g. Berada di tempat dengan risiko tinggi terinfeksi tuberculosis (contoh: lembaga
permasyarakatan, fasilitas perawatan jangka panjang)
h. Petugas Kesehatan
(Keputusan Kemenkes RI, 2019)
2.1.3 Patogenesis TB
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh
mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman
TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi,
pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan
kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi
pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.
(Werdhani, 2009)
Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus
primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer

6
terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah
kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang
akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan
antara focus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan
saluran limfe yang meradang (limfangitis). (Werdhani, 2009)
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda
dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu
antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga
mencapai jumlah 103 -104 , yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas seluler. (Werdhani, 2009)
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik
kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap
tuberculin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya
kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut
ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu
timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin. Selama masa inkubasi, uji
tuberculin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer
tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system
imun yang berfungsi baik, begitu system imun seluler berkembang, proliferasi
kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam
granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke
dalam alveoli akan segera dimusnahkan. (Werdhani, 2009)
Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini. (Werdhani, 2009)

7
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi
dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di
paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika
terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar
melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar
limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan
membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu.
Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan
ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat
merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB
endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi
komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan
ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
(Werdhani, 2009)
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar
ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada
penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar
ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB
disebut sebagai penyakit sistemik. (Werdhani, 2009)
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di
seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai
vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks
paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi
dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan
membatasi pertumbuhannya. (Werdhani, 2009)
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya
oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini

8
umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk
menjadi focus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus
SIMON. Bertahuntahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, focus
TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait,
misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain. (Werdhani, 2009)

2.1.4 Gejala Klinis TB Paru


Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus
yangtimbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu
khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa
secara klinik (Werdhani, 2009)
Gejala sistemik atau umum:
a. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)Batuk
berdahak dapat bercampur darah
b. Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam
hari disertai keringat malam. Terkadang serangan demam seperti influenza dan
bersifat hilang timbulSesak napas
c. Penurunan nafsu makan dan berat badan
d. Perasaan tidak enak (malaise), lemah
Gejala khusus :
a. bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru)
akibat penekanankelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan
suara “mengi”,suara nafas melemah yang disertai sesak.Menurunnya nafsu
makan
b. Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat
disertaidengan keluhan sakit dada.Demam
(Werdhani, 2009)
2.1.5 Diagnosa TB Paru
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan

9
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,demam meriang
lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada
penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru,
dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi,
maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap
sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan
dahak secara mikroskopis langsung pada pasien remaja dan dewasa, serta skoring
pada pasien anak. (Werdhani, 2009)
Faktor risiko TB yang dimaksud antara lain:
a. Terbukti ada kontak dengan pasien TB
b. Ada penyakit komorbid: HIV, DM
c. Tinggal di wilayah berisiko TB: Lapas/Rutan, tempat penampungan pengungsi,
daerah kumuh, dll.
(Werdhani, 2009)
2.1.6 Pemeriksaan Mikroskopis TB
1. Waktu Pengumpulan Dahak
Untuk menegakkan diagnosis TB secara mikroskopis dibutuhkan tiga contoh
uji dahak. Pengumpulan spesimen dahak dilakukan dalam waktu 2 hari yaitu
Sewaktu – Pagi – Sewaktu (SPS)
a. Dahak Sewaktu hari -1
Dahak pertama diambil SEWAKTU pada saat pasien berkunjung ke
fasyankes
Beri pot dahak pada saat pasien pulang untuk keperluan pengumpulan dahak
pagi hari berikutnya.
b. Dahak Pagi
Pasien mengeluarkan dahak kedua pada PAGI hari setelah bangun tidur dan
membawa contoh uji dahak ke laboratorium.
c. Dahak Sewaktu hari -2
Kumpulkan dahak ketiga (dahak SEWAKTU) di laboratorium pada saat pasien
kembali ke laboratorium pada hari kedua saat membawa dahak pagi (B).
2. Tempat Pengumpulan Dahak

10
Dahak adalah bahan yang infeksius, pada saat berdahak aerosol/percikan dapat
menulari orang yang ada disekitarnya, karena itu tempat berdahak harus berada
ditempat yang jauh dari kerumunan orang, misalnya didepan ruang
pendaftaran,ruang pemeriksaan ,ruang obat dll. Harus diperhatikan pula arah angin
pada saat berdahak, agar droplet/ percikan dahak tidak mengenai petugas.
3. Cara Pengumpulan Dahak
Persiapan Pengumpulan contoh uji dahak
a. Persiapan pasien
Pasien diberitahu bahwa contoh uji dahak sangat bernilai untuk menentukan
status penyakitnya, karena itu anjuran pemeriksaan SPS untuk pasien baru dan
SP untuk pasien dalam pemantauan pengobatan harus dipenuhi.
 Dahak yang baik adalah yang berasal dari saluran nafas bagian bawah,
berupa lendir yang berwarna kuning kehijauan (mukopurulen). Pasien
berdahak dalam keadaan perut kosong, sebelum makan/minum dan
membersihkan rongga mulut terlebih dahulu dengan berkumur air bersih.
 Bila ada kesulitan berdahak pasien harus diberi obat ekspektoran yang dapat
merangsang pengeluaran dahak dan diminum pada malam sebelum
mengeluarkan dahak. Olahraga ringan sebelum berdahak juga dapat
merangsang dahak keluar.
 Dahak adalah bahan infeksius sehingga pasien harus berhati-hati saat
berdahak dan mencucu tangan.
 Pasien dianjurkan membaca prosedur tetap pengumpulan dahak
yangtersedia di tempat/lokasi berdahak.
b. Penyimpanan sediaan
Dilakukan pengecekan ulang apakah penyimpanan sediaan sudah sesuai dengan
prosedur
c. Tahap Pasca Analisis
Menjamin bahwa pelaksanaan tahap pasca analisis sesuai protap yaitu pelaksanaan
dekontaminasi alat dan bahan infeksius; pengelolaan limbah infeksius dan non
infeksius; dan pemeliharaan mikroskop.

11
Periksa kembali pencatatan dan pelaporan sesuai dengan standar. Petugas tidak
diperkenankan menuliskan laporan dengan tanda atau simbol yang tidak sesuai
skala IUATLD. Contoh tidak ditemukan BTA dituliskan sebagai ”–”,
seharusnya : ”neg”; ditemukan 1-9 BTA/ 100 LPB dituliskan ”BTA jarang”
atau ”±” seharusnya ”dituliskan jumlah BTA yang ditemukan”. Apabila
ditemukan
BTA harus dilaporkan dengan simbol 1+, 2+ atau 3+ sesuai dengan skala
IUATLD. Tidak diperbolehkan menuliskan hasil pemeriksaan diatas kaca
sediaan. Penulisan hasil positif dituliskan dengan tinta merah.

Gambar 2.1.6 (a) pewarnaan yang baik

Gambar 2.1.6 (b) terlalu tebal Gambar 2.1.6 (c) terlalu tipis

Gambar 2.1.6 (d) Kurang di tengah, Gambar 2.1.6 (e) Pewarnaan tidak,
terlalu tipis dan kurang dekolorisasi ukuran terlalu besar

https://images.app.goo.gl/obj2J7VB5gnoqd5N7

12
Pembacaan mikroskopis
Pembacaan dilakukan sesuai prosedur tetap. Bila di fasyankes terdapat 2 atau
lebih petugas mikroskopis, maka dilakukan inter-observer blinded yaitu
pembacaan sediaan dilakukan oleh 2 orang secara blinded dan dicatat.
4. Persiapan Alat
a. Pot dahak bersih dan kering, diameter mulut pot 4-5 cm, transparan,
bening, bertutup ulir. Pot tidak boleh bocor. Sebelum diserahkan kepada
pasien, pot dahak harus sudah diberi identitas sesuai identitas/nomor
register pada form TB 05.
b. Formulir Permohonan Pemeriksaan Laboratorium (TB 05)
c. Label, pensil, spidol
5. Cara Berdahak
Beri petunjuk pada pasien untuk:
a. Kumur dengan air sebelum mengeluarkan dahak
b. Bila memakai gigi palsu, lepaskan sebelum berkumur
c. Tarik nafas dalam 2 – 3 kali dan setiap kali hembuskan nafas dengan kuat
d. Buka tutup pot, dekatkan ke mulut, berdahak dengan kuat dan masukan ke
dalam pot dahak
e. Tutup pot dengan rapat dengan cara memutar tutupnya
f. Pasien harus mencuci tangan dengan air dan sabun
g. Bila perlu hal di atas dapat diulang sampai mendapatkan dahak yang
berkualitas baik dan volume yang cukup (3-5 ml)
Bila dahak sulit dikeluarkan, dapat dilakukan hal sebagai berikut:
 Lakukan olah raga ringan kemudian menarik nafas dalam beberapa kali.
Bila terasa akan batuk, nafas ditahan selama mungkin lalu disuruh
batuk.
 Malam hari sebelum tidur, banyak minum air atau menelan 1 tablet
gliseril guayakolat 200 mg.
Pot berisi dahak diserahkan kepada petugas laboratorium, dengan menempatkan pot
dahak di tempat yang telah disediakan. (Kemenkes RI, 2012)

13
Pewarnaan Ziehl-Nielsen
1. Apuskan dahak di atas kaca sediaan pada permukaan
2. Apusan bentuk oval 2x3 cm kemudian
3. ratakan dengan gerakan spiral kecil-kecil (Jangan membuat gerakan spiral bila
sediaan dahak sudah kering) karena akan menyebabkan aerosol.
4. Keringkan di dalam suhu kamar
5. Letakkan sediaan dengan bagian apusan menghadap ke atas pada rak yang
ditempatkan di atas bak cuci atau baskom, antara satu sediaan dengan sediaan
lainnya masingmasingberjarak kurang lebih 1 jari.
6. Genangi seluruh permukaan sediaan dengan carbol fuchsin. Saring zat warna
setiap kali akan melakukan pewarnaan sediaan. Panasi dari bawah dengan
7. menggunakan sulut api setiap sediaan sampai keluar uap, jangan sampai
mendidih
8. Dinginkan selama minimal 5 menit.
9. Bilas sediaan dengan air mengalir secara hati-hati dari ujung kaca sediaan
10. Miringkan sediaan menggunakan penjepit kayu atau pinset untuk membuang
air
11. Genangi dengan asam alcohol sampai tidak tampak warna merah carbol fuchsin.
Jangan sampai ada percikan ke sediaan lain.
12. Genangi permukaan sediaan dengan methylene blue selama 20-30 detik
13. Bilas sediaan dengan air mengalir (Jangan ada percikan ke sediaan lain)
14. Miringkan sediaan untuk mengalirkan sisa methylene blue
15. Keringkan sediaan pada rak pengering (Jangan keringkan dengan kertas tissue)
16. Letakkan sediaan di atas meja mikroskop, permukaan sediaan menghadap ke
atas. Gunakan lensa objektif 10 x untuk menetapkan fokus dan menemukan
lapang pandang. Periksa sediaan untuk menentukan kualitas sediaan. Pada
sediaan dahak umumnya ditemukan lebih banyak sel lekosit atau sel radang
17. Teteskan satu tetes minyak emersi, aplikator minyak emersi tidak boleh
menyentuh kaca objek. Tetesan harus jatuh bebas ke permukaan sediaan apus
agar aplikator minyak emersi tidak terkontaminasi dengan sediaan

14
18. Putarlah lensa objektif 100x dengan hatihati ke atas sediaan apus. Jangan sekali-
kali lensa menyentuh kaca sediaan
19. Sesuaikan fokus dengan hati-hati sampai sel terlihat jelas
(Kemenkes RI, 2012)
Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
a. kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif → BTA positif
b. 1 kali positif, 2 kali negatif→ ulang BTA 3 kali, kemudian Bila 1 kali positif, 2
kali negatif → BTA positif Bila 3 kali negatif → BTA negative
(Kemenkes RI, 2012)
Tabel 2.1.6 Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala
International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD)
Apa yang terlihat Hasil Apa yang
dituliskan
Tidak ditemukan Negatif Negatif
BTA dalam 100
lapang pandang
Ditemukan 1-9 Scanty Tulis jumlah
BTA dalam 100 BTA
lapang pandang
(tuliskan jumlah
BTA yang
ditemukan)
Ditemukan 10-99 1+ 1+
BTA dalam 100
lapang pandang
Ditemukan 1-10 2+ 2+
BTA setiap 1
lapang pandang
(periksa minimal
50 lapang
pandang)
Ditemukan ≥ 10 3+ 3+
BTA dalam 1
lapang pandang
(periksa minimal
20 lapang
pandang)

(Kemenkes RI, 2012)

15
2.1.7 Pengobatan Tuberkulosis Paru
Tujuan pengobatan TB adalah :
a. Menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan produktivitas pasien
b. Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan
c. Mencegah kekambuhan TB
d. Mengurangi penularan TB kepada orang lain
e. Mencegah perkembangan dan penularan resistan obat

Prinsip Pengobatan TB :
Obat anti-tuberkulosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam
pengobatan TB. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk
mencegah penyebaran lebih lanjut dari bakteri penyebab TB.
Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip:
a. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung
minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi
b. Diberikan dalam dosis yang tepat
c. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (pengawas
menelan obat) sampai selesai masa pengobatan.
d. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal
serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.
Tahapan pengobatan TB terdiri dari 2 tahap, yaitu :
a. Tahap awal
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini adalah
dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam
tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin
sudah resistan sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap
awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya
dengan
pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat
menurun setelah pengobatan selama 2 minggu pertama.
b. Tahap lanjutan

16
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada
dalam tubuh, khususnya kuman persisten sehingga pasien dapat sembuh dan
mencegah terjadinya kekambuhan. Durasi tahap lanjutan selama 4 bulan. Pada fase
lanjutan seharusnya obat diberikan setiap hari.
(Kemenkes RI, 2012)
Tabel 2.1.7 Dosis rekomendasi OAT lini pertama untuk dewasa
Dosis Rekomendasi 3 kali perminggu
Harian
Dosis Maksimum Dosis Maksimum
(mg/kgBB) (mg) (mg/kgBB) (mg)
Isoniazid 5 (4-6) 300 10 (8-12) 900
Rifampisin 10 (8-12) 600 10 (8-12) 600
Pirazinamid 25 (20-30) - 35 (30-40) -
Etambutol 15 (15-20) - 30 (25-35) -
Streptomisin* 15 (12-18) - 15 (12-18) -

Pasien berusia diatas 60 tahun tidak dapat mentoleransi lebih dari 500-700 mg
perhari, beberapa pedoman merekomendasikan dosis 10 mg/kg BB pada pasien
kelompok usia ini. Pasien dengan berat badan di bawah 50 kg tidak dapat
mentoleransi dosis lebih dari 500-750 mg perhari.

2.2 Merokok
Merokok merupakan suatu kegiatan menghisap rokok.Sedangkan, rokok adalah
silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm (bervariasi
tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau
yang telah dicincang halus.

2.2.1 Jenis Rokok


Di Indonesia rokok diklasifikasikan menjadi beberapa jenis yaitu, berdasarkan
bahan pembungkus rokok, bahan baku atau isi rokok, proses pembuatan rokok, dan
penggunaan filter pada rokok.
1. Jenis rokok berdasarkan bahan pembungkus rokok :
a. Klobot: rokok yang bahan pembungkusnya berupa daun jagung

17
b. Kawung: rokok yang bahan pembungkusnya berupa daun aren
c. Sigaret: rokok yang bahan pembungkusnya berupa kertas
d. Cerutu: rokok yang bahan pembungkusnya berupa daun tembakau
2. Jenis rokok berdasarkan bahan baku atau isi rokok :
e. Rokok Putih : rokok yang bahan baku atau isinya hanya daun tembakau
yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa atau aroma tertentu
f. Rokok Kretek: rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun tembakau
dan cengkeh yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma
tertentu
g. Rokok Klembak: rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun tembakau,
cengkeh, dan kemenyan yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan
aroma tertentu
3. Jenis rokok berdasarkan proses pembuatan rokok:
a. Sigaret Kretek Tangan (SKT): rokok yang proses pembuatannya dengan
cara digiling atau dilinting dengan menggunakan tangan dan atau alat bantu
sederhana
b. Sigaret Kretek Mesin (SKM): rokok yang proses pembuatannya
menggunakan mesin
4. Jenis rokok berdasarkan penggunaan filter pada rokok :
a. Rokok Filter (RF): rokok yang pada bagian pangkalnya terdapat gabus
b. Rokok Non Filter (RNF): rokok yang pada bagian pangkalnya tidak terdapat
gabus

2.2.2 Kandungan Rokok


Dalam satu batang rokok terkandung sekitar 4.000 zat kimia dan 43 zat
karsinogenik.Zat kimia yang dihasilkan terdiri dari komponen gas (85%) dan
partikel. Komponen gas asap rokok adalah karbon monoksida, amoniak, asam
hidrosianat, nitrogen oksida dan formaldehid. Partikelnya berupa tar, indol, nikotin,
karbarzol dan kresol. Adapun zat karsinogenik yang terkandung dalam sebatang
rokok di antaranya : aceton (bahan pembuat cat), naftalene (bahan kapur barus),
arsenik (pembasmi kuman), metanol (bahan bakar roket), vinyl chloride (bahan

18
plastic PVC), fenol butane (bahan bakar korek api), potassium nitrat (bahan baku
pembuatan bom dan pupuk), polonium-210 (bahan radioaktif), amonia (bahan
untuk pencuci lantai), DDT (untuk racun serangga), hydrogen sianida, dan
cadmium (untuk aki mobil). Zat-zat ini dapat merugikan bagi tubuh, menimbulkan
gangguan pernafasan, kardiovaskuler, ketergantungan, dan keganasan. (Tirtosastro,
2010)
Tar, nikotin, dan karbon monoksida merupakan tiga macam bahan kimia yang
paling berbahaya pada rokok
1. Tar
Adalah senyawa polinuklir hidrokarbon aromatika yang bersifat
karsinogenik.17 Tar terbentuk selama pemanasan tembakau dan kadar tar yang
terdapat asap rokok inilah yang menyebabkan adanya risiko kanker.18
2. Nikotin
Nikotin adalah zat, atau bahan senyawa pirolidin yang terdapat dalam Nicotiana
Tobacum, Nicotiana Rustica dan spesies lainnya atau sistesisnya yang bersifat
adiktif dapat mengakibatkan ketergantungan.17 Formula kimia dari nikotin adalah
C10H14N2 yaitu cairan berminyak yang beracun dan tidak berwarna atau
terkadang berwarna kuning. Nikotin merupakan obat perangsang yang memiliki
efek berlawanan yaitu memberikan rangsangan sekaligus menenangkan. Nikotin
menyebabkan ketagihan
karena dapat memicu dopamine yaitu unsur kimia di dalam otak yang
berhubungan dengan perasaan senang.
3. Karbon Monoksida
Merupakan gas beracun yang tidak berwarna dan terdapat pada rokok dengan
kandungan 2% - 6%. Karbon monoksida pada paru-paru mempunyai daya pengikat
(afinitas) dengan hemoglobin (Hb) sekitar 200 kali lebih kuat dibandingkan dengan
daya ikat oksigen (O2) dengan Hb.
(Tirtosastro, 2010)

19
2.2.3 Hubungan Merokok dengan Paru
Epitel pernapasan merupakan pertahanan pertama melawan agen lingkungan
yang merugikan dan melindungi dengan cara menyapu partikel keluar dalam
lapisan mukus, memfagositosis serta merekrut sel imun lain. Merokok secara
langsung membahayakan integritas barier fisik, meningkatkan permeabilitas epitel
pernapasan dan mengganggu bersihan mukosilier. Pajanan asap rokok akut
mengakibatkan supresi epitel pernapasan dan secara kronik dapat mengakibatkan
inflamasi dan kerusakan sehingga menyebabkan perubahan bentuk sel epitel.
Di paru, asap rokok memiliki efek proinflamasi dan imunosupresif pada sistem
kekebalan tubuh. Makrofag mempunyai peran yang strategis di alveolar. Makrofag
alveolar mempunyai peran kunci dalam merusak dan mengeliminasi agen mikrobial
pada saat awal bila ada infeksi.Rokok meningkatkan jumlah makrofag alveolar juga
sel epitelial dan mengaktivasinya untuk menghasilkan mediator proinflamasi mikro
sirkulasi paru, Reactive Oxygen Species (ROS) dan enzim proteolitik dengan
demikian memberikan mekanisme seluler yang menghubungkan rokok dengan
inflamasi dan kerusakan jaringan.Serupa dengan ini merokok berpengaruh terhadap
kemampuan makrofag alveolar untuk memfagositosis bakteri dan sel apoptosis.
Pada saat yang sama, rokok juga mengganggu mekanisme pertahanan alamiah yang
dimediasi oleh makrofag, sel epitel, sel dendritik, dan sel natural killer (NK)
sehingga meningkatkan risiko, keparahan dan durasi infeksi. (Rahmayuli, 2018)
Kerangka Teori

Perilaku merokok
Usia mulai merokok
Kejadian gagal konversi
Lama riwayat merokok
pasien Tuberkulosis paru
Jumlah rokok yangdihisap
perhari
Jenis rokok

(Riza, 2015)

20
2.3 Defenisi Operasional
1. Merokok merupakan perilaku yang dapat menyebabkan gangguan kemampuan
makrofag paru-paru dan meningkatkan resistensi kuman Mycobacterium
tuberculosis terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan meningkatkan
mortalitas akibat TB Paru.
2. Konversi Sputum merupakan Perubahan hasil BTA positif pada awal
pengobatan dan negatif pada akhir pengobatan fase intensif.
3. Pasien TB Paru adalah Pasien yang terdiagnosis Tuberkulosis Paru oleh dokter
spesialis Paru yang dilihat pada catatan rekam medis pasien.

21
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Desain Penelitian :


Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistematik review, dengan
menggunakan jenis penelitian yaitu deskriptif yang bertujuan untuk mengatahui
pengaruh merokok terhadap konversi sputum pada pasien TB Paru.

3.2 Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai dengan April 2021 dengan
penelusuran sistematik review.

3.3 Objek Penelitian


Tabel 3.3 Objek Penelitian
Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi
Artikel penelitian yang terbit tahun Artikel penelitian yang terbit
2010 sampai 2020 sebelum tahun 2010
Artikel penelitian yang full text Artikel penelitian yang tidak full
text
Artikel Nasional atau Internasional Artikel penelitian yang hanya
terdiri dari abstrak
Artikel penelitian berkaitan dengan Artikel penelitian tidak ada
pengaruh merokok terhadap kaitan dengan pengaruh
konversi sputum pada pasien TB merokok terhadap konversi
Paru sputum pada pasien TB Paru

3.4 Jenis Dan Cara Pengumupulan Data


Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif yang digunakan untuk
meneliti pada kondisi objek yang dialami, maka penelitian ini menggunakan
kuesioner dan dokumentasi sebagai instrument.

3.5 Metode penelitian


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yang digunakan
dalam jurnal yaitu, penelitian observasional analitik dengan desain penelitian Cross

22
Sectional Study, yang berarti pengukuran variabel bebas dan variabel terikat
dilaksanakan pada satuwaktu.

3.6 Prinsip Kerja


Pada prinsipnya riset cross-sectional merupakan jenis metodologi penelitian
dengan dataset yang ekstensif untuk melihat banyak kasus dan hubungan antar
variabel dan dilaksanakan pada satu waktu.

3.7 Prosedur Kerja


1. Merumuskan pertanyaan penelitian dan hipotesis yang sesuai.
2. Mengidentifikasi variabel bebas dan tergantung.
3. Menetapkan subyek penelitian.
4. Melaksanakan pengukuran.
5. Melakukan analisis.
Instrumen adalah alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam
kegiatannya mengumpulkan data agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan
lebih mudah. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif yang
digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang dialami, maka penelitian ini
menggunakan kuesioner dan dokumentasi sebagai instrumen.

3.8 Analisa Data


Setelah literatur terkumpul, maka hasil dari 3 referensi tersebut dideskripsikan
secara detail kemudian dilakukan perbandingan antara 3 hasil referensi. Setelah itu
ditarik kesimpulan berdasarkan analisa data yang didapatkan dari studi literatur
sesuai dengan tujuan dari penelitian.

23
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Berdasarkan dari pengkajian artikel yang berkaitan dengan Pengaruh
Merokok Terhadap Konversi Sputum Pada Pasien TB Paru, dapat diidentifikasikan
beberapa hasil dari penelitian terkait, diantaranya adalah:

Tabel 4.1.1 Ringkasan hasil sistematik review dalam sintesa grid

Penulis, Judul Desain Alat Tujuan Hasil


Tahun Penelitian, ukur
analisis
data
Dyah Pengaruh kasus observasi Untuk - Lama
Wulan Merokok kontrol mengetahui Riwayat
SR Terhadap (case besar resiko merokok
Wardani, Kejadian control merokok >=10 tahun
Minerva Konversi study) terhadap memiliki
Nadia Sputum menggunak kejadian hubungan
Putri AT, Pada an konversi yang
Anindita, Penderita pendekatan pasien TB bermakna
2019 Tuberkul retrospectiv di wilayah dengan
osis Paru e kerja kejadian
di puskesmas tidak
Wilayah panjang konversi
Kerja sputum pada
Puskesm TB Paru
as - Merokok
Panjang >= 10 batang
perhari
memilki
hungan
bermakna
dengan
kejadian
tidak
konversi pada
pasien TB
Paru
- Jenis rokok
tidak
berpengaruh

24
terhadap
kejadian
konversi
sputum pada
pasien TB
Paru
Luluk Hubunga kasus Observas Hubungan - usia pertma
Listiarini n kontrol i perilaku merokok
Riza, Perilaku (case merokok tidak menjadi
Dyah Merokok control dengan faktor risiko
Mahendr dengan study) kejadian dari kejadian
asari Kejadian menggunak konversi konversi
Sukendra Konversi an pada pasien - Lama
, pada pendekatan Tuberculosi Riwayat
2017 Pasien retrospectiv s Paru merokok
Tuberkul e merupakan
osis Paru faktor risikok
Masyara dari kejadian
kat konversi
(BKPM) - jumlah
Wilayah rokok yang
Semaran dikonsumsi
g perhari
merupakan
fakor risiko
kejadian
gagal
konversi
- Jenis rokok
merupakan
faktor risiko
kejadian
gagal
konversi
Miftahul Pengaruh Cross Sectional Kui Pengaruh - Terdapat
Maqfirah Merokok Study sio merokok pengaruh
, Terhadap ner terhadap antara
Muham Kejadian dan kejadian merokok
mad Konversi dok konversi dengan
Sirih Sputum um sputum kejadian
Dangnga Pada ent pada konversi
, Henni Penderita asi penderita sputum
Kumalad Tuberkul tuberkulosis - Terdapat
ewi osis Paru paru pegaruh
Hengky, antara jenis

25
2020 di Kota rokok dengan
Parepare kejadian
konversi
sputum tapi
tidak
signifikan
- terdapat
pengaruh
merokok
antara jumlah
rokok yang
dikonsumsi
dihisap
perhari
dengan
kejadian
konversi
sputum
- terdapat
pengaruh
antara usia
mulai
merokok
dengan
kejadian
konversi
sputum tapi
tidak
signifikan

Tabel 4.1.2 Lama merokok dengan konversi sputum

Hasil Pemeriksaan p
OR
Lama sputum
95%
merokok Negatif Positif
N % n % n % 4,28
>10 tahun 7 31,8 15 68,2 22 100 6(1,
Artike <10 tahun 18 66,7 9 33,3 27 100 0,00 288-
l1 14,2
59)
>10 tahun 86,
Artike 6 9,2 50 76,9 56 0,03
2 -
l2 2
<10 tahun 7 10,8 2 3,1 9 13,8
Artike >10 tahun 6 12,0 18 36,0 - - 0,02 4,80
l3 <10 tahun 16 32,2 10 20,0 - - 1 0(1,

26
423-
16,1
89)

Tabel 4.1.3 jumlah rokok dengan konversi sputum

Hasil Pemeriksaan p
OR
Jumlah sputum
95%
rokok Negatif Positif
N % n % n %
6,66
>10
3 16,7 15 83,3 18 100 4(1,
batang 0,02
Artike 7 306-
<10
l1 8 57,1 6 42,9 14 100 34,2
batang
07)
>16 80,
3 4,6 49 75,4 52
batang 0 -
Artike
<16 0,00
l2 10 15,4 3 4,6 13 20,0
batang

>20 4,97
6 14,0 19 44,2 - -
batang 0,03 6(1,
Artike
<10 2 330-
l3 11 25,6 7 16,3 - -
batang 18,6
14)

Tabel 4.1.4 jenis rokok dengan konversi sputum

Hasil Pemeriksaan p
OR
Jenis sputum
95%
rokok Negatif Positif
N % n % n %
filter 10 37,0 17 63,0 27 100
Artike 0,63 -
Non filter 1 20,0 4 80,0 5 100
l1 7
filter 80,
8 12,3 49 75,4 57
Artike 0 -
0,01
l2 Non filter 5 7,7 3 4,6 8 20,0

filter 11 25,6 20 46,5 - - 0,55


Non filter 6 14,0 6 14,0 - - 0, 0(0,
Artike
59 143-
l3
9 2,12
1)

27
Tabel 4.1.5 usia mulai merokok dengan konversi sputum

Hasil Pemeriksaan p
Usia OR
sputum
mulai 95%
Negatif Positif
merokok
N % n % n %
- - - - - - -
Artike -
- - - - - - -
l1
<15 tahun 3 4,6 36 55,4 39 60,0
Artike
>15 tahun 10 15,4 16 24,6 26 40,0 0,02
l2 -
<10 tahun 9 18,0 10 20 - - 0,80
>10 tahun 13 26,0 18 36 - - 0, 2(0,
Artike
93 254-
l3
5 2,53
1)

Pembahasan
Ketiga artikel ini memiliki tujuan yang sama yaitu mengkaji pengaruh merokok
terhadap konversi sputum pada pasien TB Paru
Berdasarakan table 4.1.2
Pada artikel 1 dengan menggunakan metode kasus kontrol (case control study)
dengan pendekatan retrospective diperoleh nilai p= 0,032 (p < 0,05), hal ini
menunjukan bahwa terdapat hubungan antara lama riwayat merokok dengan
kejadian tidak konversi.
Pada artikel 2 : Analisa bivariat menunjukkan bahwa secara statistik ada hubungan
yang bermakna antara lama merokok (>10 tahun) dengan kejadian konversi
Pada artikel 3 : Dengan menggunakan desain penelitian dengan Cross Sectional
Study diporoleh ada hubungan antara lama riwayat merokok dengan kejadian gagal
konversi pasien tuberkulosis paru (p<∝ = 0,05).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wahyudi (2016) yang menyatakan
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara lama riwayat merokok dengan
kejadian gagal konversi penderita TB paru.19 Lama merokok berisiko terhadap
masuknya kuman Mycobacterium tuberculosis karena paparan kronis terhadap asap
rokok dapat merusak makrofag alveolar paru-paru sehingga mempengaruhi

28
kekebalan sel T (limfosit). Rusaknya makrofag alveolar paru akan menyebabkan
kuman Mycobacterium tuberculosis mengalami resistensi terhadap jenis obat
tuberkulosis. Karena kuman tersebuh masih terdapat di dalam tubuh pasien TB akan
menyebabkan hasil pemeriksaan BTA tetap positif setelah dilakukan pengobatan
selama fase intensif.
Berdasarkan table 4.1.3
Pada artikel 1 : Berdasarkan hasil uji statistik dengan Chi-Square antara variabel
jumlah rokok dan kejadian gagal konversi didapatkan nilai p=0,027 (p < 0,05), hal
ini menunjukan bahwa terdapat hubungan antara jumlah rokok yang dikonsumsi
dengan kejadian tidak konversi.
Pada artikel 2 : Hasil analisis data menggunakan Chi-Square menunjukan bahwa
terdapat pengaruh jumlah rokok yang dikonsumsi dengan kejadian konversi sputum
setelah menjalani pengobatan fase intensif dengan p value 0,00 karena nilai p = 0,00
lebih kecil dari 0,05. Hasil analisis menujukkan bahwa jumlah rokok yang dihisap
perhari lebih dominan terhadap kejadian konversi sputum pada penderita TB paru.
Pada artikel 3 : hasil uji chi-square diperoleh p-value=0,032. Nilai p<α (0,05)
sehingga ada hubungan antara jumlah rokok yang dihisap perhari dengan kejadian
gagal konversi pasien tuberkulosis paru.
Semakin banyak jumlah rokok yang dikonsumsi oleh pasien perhari maka semakin
banyak zat berbahaya yang pada akhirnya mempercepat kerusakan sistem
pertahanan paru yang dapat mengakibatkan kuman menjadi resisten terhadap obat
dan pada pemeriksaan sputum pada fase intensif, sputum penderita tersebut belum
mengalami konversi.
Brdasarkan table 4.1.4
Pada artikel 1 : Berdasarkan hasil uji statistik dengan Chi-Square antara variabel
jenis rokok dan kejadian gagal konversi didapatkan nilai p=0,637 (p > 0,05), hal ini
menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis rokok yang dikonsumsi
dengan kejadian tidak
konversi setelah menjalani pengobatan fase intensif.
Pada artikel 2 : Pada penelitian ini hasil analisis data menggunakan Chi-Square
menunjukan bahwa terdapat pengaruh antara perilaku merokok terhadap kejadian

29
konversi sputum setelah menjalani pengobatan fase intensif. p = 0,00 karena nilai p
= 0,00 lebih kecil dari 0,05.
Pada artikel 3 : hasil uji chi-square diperoleh p-value=0,599. Nilai p >α (0,05)
sehingga tidak ada hubungan antara jenis rokok dengan kejadian gagal konversi
pasien tuberkulosis paru.
Merokok jenis filter tidak akan meningkatkan risiko untuk kejadian gagal konversi
sputum setelah menjalani pengobatan fase intensif. Hasil penelitian ini sejalan
dengan penelitian Wahyudi (2016) yang menyatakan bahwa jenis rokok tidak
memiliki hubungan yang signifikan terhadap tingkat kejadian konversi pasien TB
paru setelah menjalani pengobatan fase intensif. Menurut teori, jenis rokok yang
dikonsumsi yaitu berupa rokok filter atau rokok non filter akan berpengaruh
terhadap masuknya kadar nikotin dan tar ke dalam tubuh pasien. Semakin tinggi
kadar nikotin dan tar yang masuk ke dalam tubuh pasien, semakin mempengaruhi
kejadian konversi
pada pasien TB paru.12
Berdasarkan tabel 4.1.5
Pada artikel 1 : tidak meneliti usia mulai merokok
Pada artikel 2 : Hasil analisis data menggunakan Chi Square menunjukan bahwa
terdapat pengaruh antara usia mulai merokok dengan kejadian konversi sputum
setelah menjalani pengobatan fase intensif dengan p value 0, karena nilai p = 0,02
lebih kecil dari 0,05.
Pada artikel 3 : hasil uji chi-square diperoleh p-value=0. Nilai p >α (0,05) yang
berarti bahwa tidak ada hubungan antara usia mulai merokok dengan kejadian gagal
konversi pasien tuberkulosis paru.
Usia mulai merokok idak termasuk factor penyebab gagal konversi karena menurut
artikel luluk (2017) Usia pertama kali merokok tidak menjadi faktor risiko dari
kejadian gagal konversi, sebabsebagain besar respondendari kelompok kasus dan
kontrol pada usia muda menghisap rokok dengan jumlah rokok ≤ 10 batang
perharinya yang merupakan risiko rendah terhadap kejadian konversi, selain itu di
usia muda sebagian besar responden tidak selalu merokok setiap hari. Namun, usia
mulai merokok akan mempengaruhi lama merokok.Semakin muda usia seseorang

30
mulai merokok maka akan semakin lama memperparahkejadian TB Paru atau
memperlambat kejadian konversi pada pasien TB Paru

31
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian sistematik review sebanyak 3 artikel dapat
disimpulkan bahwa :
1. Pasien TB paru yang memiliki Riwayat merokok >= 10 tahun merupakan faktor
penyebab gagal konversi sputum setelah menjalani pengobatan fase intensif.
2. Pasien TB yang mengkonsumsi rokok >= 10 batang perhari merupakan faktor
penyebab gagal konversi sputum setelah menjalani pengobatan fase intensif.
3. Pasien TB Paru yang menghisap rokok filter maupun non filter ( jenis rokok )
bukan merupakan faktor penyebab gagal konversi sputum setelah menjalani
pengobatan fase intensif.
4. Pasien TB Paru yang mulai merokok pada usia <10 tahun bukan merupakan
faktor penyebab gagal konversi sputum setelah menjalani pengobatan fase
intensif.

5.2 Saran
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan disarankan :
1. Menghindari atau tidak melakukan aktivitas merokok di usia muda ataupun di
usia tua,
2. Hendaknya mengurangi jumlah rokok yang dikonsumsi, khususnya pada pasien
yang menjalani pengobatan dan telah menjalani masa pengobatan, merubah
kebiasaan cara menghisap rokok yang secara dalam.
3. Disarankan kepada petugas agar mengawasi pasiennya secara rutin agar tidak
menghisap rokok selama masa pengobatan dan
4. Mengingatkan pasien untuk tidak melanjutkan aktivitas merokok sehingga tidak
menimbulkan risiko terhadap infeksi tulang penyakit

32
DAFTAR PUSTAKA

Andriyani, Ratih. 2010. Bahaya Merokok. Rawamangun Jakarta Timur : PT.


Sarana Bangun Pustaka.

Arjoso, Sumarjati. 2020. Atlas Tembakau Indonesia 2020. Jakarta :


Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat
Indonesia (TCSC-IAKMI).

Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, Dan Keluarga. Jakarta: UI


Kemenkes RI. Tuberkulosis Temukan Obati Sampai Sembuh. Jakarta: Pusat
Data dan Informasi Kementrian RI. 2016.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun


2017. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI ; 2018

Kementerian Kesehatan RI. Standar Prosedur Operasional Pemeriksaan Mikros-


kopis TB. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2012.

Keputusan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional


Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis 2019. Jakarta : Menteri
Kesehatan Republik Indonesia ; 2019

Lian, Tan Yen., Ulysses Dorotheo. 2018. The Tobacco control Atlas ASEAN
Region. Bangkok : Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA).

Maqfirah, Miftahul., Muhammad Siri Dangnga., dan Henni Kumaladewi Hengky.


2020. Pengaruh Merokok Terhadap Kejadian Konversi Sputum Pada
Penderita Tuberkulosis Paru Di Kota Parepare. Jurnal Ilmiah Manusia dan
Kesehatan, 3(2), 1-8.

Price, A., dan Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Proses-Proses Penyakit, Edisi
IV. Jakarta: EGC

Rahmayuli, Putri. 2018. Hubungan Merokok Dengan Hasil Pemeriksaan


Bakteriologis Sputum Pada Pasien Tuberkulosis Paru Kategori I Di
Puskesmas Teladan Kota Medan Tahun 2017. Skripsi. Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan.

Riza, Luluk Listiarini. 2015. Hubungan Perilaku Merokok Dengan Kejadian Gagal
Konversi Pasien Tuberkulosis Paru Di Balai Kesehatan Paru Masyarakat
(Bkpm) Wilayah Semarang. Skripsi. Ilmu Keolahragaan, Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Universitas Negeri Semarang, Semarang.

33
Riza, Luluk Listiarini., dan Dyah Mahendrasari Sukendra. 2017. Hubungan
Perilaku Merokok dengan Kejadian Gagal Konversi Pasien Tuberkulosis
Paru di Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Wilayah Semarang.
Public Health Perspective Journal, 2 (1),1-7.

Septiani, Checi Arum., dan Muhammad Ali Sodik. 2021. Penyakit Yang Dapat
Ditimbulkan Oleh Rokok. Iik Strada Indonesia.

Tirtosastro, Samsuri., dan A. S. Murdiyati. 2009. Kandungan Kimia Tembakau dan


Rokok. Malang; Buletin Tanaman Tembakau, Serat & Minyak Industri.
2(1).

Wardani, Dyah Wulan SR., Minerva Nadia Putri AT., dan Anindita. 2019.
Pengaruh Merokok terhadap Kejadian Konversi Sputum pada Penderita
Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Panjang. J Agromedicine,
6(1), 1-8.

Werdhani, RA (2009). Patofisiologi, Diagnosis, dan Klasifikasi Tuberkulosis

Wardani, Dyah Wulan SR., Minerva Nadia Putri AT., dan Anindita. 2019.
Pengaruh Merokok terhadap Kejadian Konversi Sputum pada Penderita
Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Panjang. J Agromedicine,
6(1), 1-8.

WHO, 2020. Global Tuberculosis Report 2020.

34
LAMPIRAN 3

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DAFTAR PRIBADI

Nama : Novita Viani Sinaga

NIM : P07534018096

Tempat, Tanggal Lahir : Sihotang Pardomuan, 14 Desember 1999

Agama : Katolik

Jenis Kelamin : Perempuan

Status Dalam Keluarga : Anak ke 6

Alamat : Sihotang Pardomuan Dusun I, Desa pangguruan, Kec.


Sumbul, Kab. Dairi

No. Telepon/Hp : 082363265647

RIWAYAT PENDIDIKAN

Tahun 2006-2012 : SD Negeri 030346 Hutagugung

Tahun 2012- 2015 : SMP Negeri 1 Sumbul

Tahun 2015-2018 : SMA Negeri 1 Sumbul

Tahun 2018-2021 : Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan

Jurusan Analis Kesehatan/ Prodi D-III TLM

Anda mungkin juga menyukai