Anda di halaman 1dari 57

MINI PROJECT

PROFIL KEJADIAN TUBERKULOSIS DI PUSKESMAS BATURITI I


PERIODE JANUARI 2020 – MARET 2023

PEMBIMBING
dr. I Gusti Ayu Nila Kusumawati

OLEH
dr. Ni Made Dwi Dharmayanti

PROGRAM INTRENSIP ANGKATAN KE II


PUSKESMAS BATURITI I
KABUPATEN TABANAN, BALI
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat rahmat-Nya lah Mini Project ini dapat diselesaikan. Laporan ini disusun
sebagai salah satu syarat mengikuti Program Intrensip Dokter Indonesia Periode II
Tahun 2022.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu penyelesaian laporan kasus ini. Penulis mengucapkan
terimakasih kepada:
1. dr. I Gusti Ayu Nila Kusumawati, sebagai pembimbing kami
2. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan ini
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih jauh dari kata
sempurna, karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki.
Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari para
pembaca.

Tabanan, 1 April 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan 2
1.3 Manfaat 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4
2.1 Definisi Tuberkulosis 4
2.2 Etiologi Tuberkulosis 4
2.3 Klasifikasi Tuberkulosis 4
2.4 Faktor resiko Tuberkulosis 8
2.5 Epidemiologi Tuberkulosis 10
2.6 Patofisiologi Tuberkulosis 11
2.6 Diagnosis Tuberkulosis 13
2.6 Tatalaksana Tuberkulosis 21
BAB III METODE PENELITIAN 38
3.1 Jenis dan rancangan penelitian38
3.2 Waktu Dan Tempat Penelitian 38
3.3 Populasi Dan Sampel Penelitian 38
3.4 Variabel Penelitian 38
3.5 Defisini Operasional 38
3.6 Instrumen Penelitian 41
3.7 Alur Penelitian 42
3.8 Rencana Analisis Data 42
3.9 Etika Penelitian 42
BAB IV HASIL PPENELITIAN 44
BAB II KESIMPULAN DAN SARAN 47
DAFTAR PUSTAKA 49

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit infeksi tertua yang melekat
sepanjang sejarah peradaban manusia dan masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang penting di dunia hingga hari ini. Penyakit tuberkulosis (TB)
menduduki peringkat ke-13 dengan kasus kematian tertinggi di dunia. Lima negara
dengan insiden kasus tertinggi yaitu India, Indonesia, China, Philipina, dan Pakistan.
Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam kasus tuberkulosis di benua Asia
(WHO, 2020; PDPI, 2021).
Menurut Global Tuberculosis Report 2020 yang diterbitkan oleh WHO secara
global terdapat 10 juta kasus insiden tuberkulosis (8,9 juta – 12 juta) yang setara
dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Sebagian besar estimasi insiden
tuberkulosis pada tahun 2019 terjadi di Kawasan Asia Tenggara (44%) dimana
Indonesia merupakan salah satu di dalamnya dan 25% nya terjadi di kawasan Afrika,
serta 18 % terjadi di kawasan Pasifik Barat (World Health Organization, 2020;
Kemenkes RI, 2020). Menurut RISKESDAS (2018), insidensi TB Paru di Indonesia
tahun 2018 yaitu sebanyak 321 per 100.000 penduduk. Sedangkan Kementerian
Kesehatan RI (2020) memaparkan insidensi kejadian TB Paru di Indonesia sendiri
diperkirakan pada tahun 2019 terdapat 845.000 (770.000 – 923.000) kasus TB Paru,
sebanyak 19.000 kasus baru diantaranya merupakan TB- HIV positif (RISKESDAS,
2018; Kemenkes RI, 2020).
Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru tuberkulosis tahun 2019 pada laki-
laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan. Bahkan berdasarkan Survei
Prevalensi Tuberkulosis jumlah kasus pada laki-laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan
pada perempuan. Berdasarkan riset Kementrian Kesehatan Repubik Indonesia (2020),
menyebutkan bahwa jumlah prevalensi tuberkulosis paru klinis yang tersebar di
seluruh Indonesia yaitu 1,0%. Beberapa provinsi yang di antaranya mempunyai angka

1
prevalensi di atas angka nasional yaitu Provinsi Aceh, DKI Jakarta, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Sumatera barat, Kepulauan Riau, Nusa Tengara Barat, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah dan daerah timur Indonesia (Kemenkes RI, 2020; Pane et al, 2018).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor risiko yang menyebabkan infeksi
tuberkulosis yaitu bisa karena kepadatan penduduk atau hunian, status imunisasi
BCG, status sosial ekonomi, kepatuhan minum obat dan juga riwayat kontak
tuberkulosis disekitar. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Fitriani (2014) bahwa
faktor risiko kejadian tuberkulosis ada hubungannya dengan umur penderita, tingkat
pendapatan keluarga, kondisi rumah, perilaku dan riwayat kontak tuberkulosis
(Yustikarini et al, 2016; Fitriani, 2014; Febrian, 2015; Sunani & Ratifah, 2014).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yustikarini et al (2016) dijelaskan bahwa ada
beberapa faktor yang menyebabkan terinfeksi kuman Mycobacterium tuberculosis,
yaitu faktor kontak tuberkulosis, kepadatan hunian, riwayat imunisasi BCG, dan
status sosial ekonomi. Selain itu terdapat beberapa penelitian terkait dengan
kepatuhan minum obat pada pasien TB Paru diantaranya yaitu, berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Sitorus dan Barus (2018), menunjukan bahwa sebanyak 82%
responden patuh minum obat dan 18% tidak patuh minum obat. Sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Apriliyasari et al (2014) didapatkan 6,67% tidak patuh
dan selebihnya patuh dengan sebanyak 91,11% sembuh dan 8,89% tidak sembuh.
Berdasarkan data kejadian tuberkulosis yang masih tinggi, banyaknya faktor
risiko yang memungkinkan tertular tuberkulosis, serta pengobatan tuberkulosis yang
lama sehingga sering terjadi ketidakpatuhan dalam pengobatan tuberkulosis, maka
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai profil kejadian tuberkulosis di
Puskesmas Baturiti I periode Januari 2020 sampai Maret 2023.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui profil kejadian tuberkulosis di Puskesmas Baturiti I periode
Januari 2020 sampai Maret 2023.

2
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui profil sosiodemografi (usia, jenis kelamin) pada pasien TB di
Puskesmas Baturiti I periode Januari 2020 sampai Maret 2023.
2. Untuk mengetahui profil klasifikasi pasien TB (berdasarkan lokasi, status HIV,
status diabetes mellitus, hasil pemeriksaan laboratorium pada akhir bulan ke-2, dan
hasil akhir pengobatan) di Puskesmas Baturiti I periode Januari 2020 sampai
Maret 2023.

1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
1. Bagi Institusi Puskesmas Baturiti I, penelitian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai salah satu informasi ilmiah untuk mengetahui profil kejadian
tuberkulosis di Puskesmas Baturiti I
2. Menambah pustaka mengenai penelitian tentang profil kejadian tuberkulosis di
Puskesmas Baturiti I yang nantinya dapat dijadikan sebagai acuan penelitian
selanjutnya.
3. Bagi peneliti selanjutnya sebagai perbandingan atau sebagai acuan untuk
dilakukan penelitian sejenis atau penelitian lanjutan terkait dengan infeksi
tuberkulosis
1.3.2 Manfaat Praktis
1. Sebagai data tambahan untuk pengembangan program tuberkulosis di Puskesmas
Baturiti I.
2. Sebagai informasi tambahan bagi tenaga kesehatan dalam membantu diagnosis
dan menemukan kasus baru pasien tuberkulosis
3. Sebagai edukasi dalam pencegahan penyakit tuberkulosis
4. Menambah pengetahuan atau wawasan untuk masyarakat khususnya di wilayah
kerja Puskemas Baturiti I terkait dengan infeksi tuberkulosis di Puskesmas
Baturiti I.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis
2.1.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis dan bakteri ini biasanya menyerang paru-paru sebagai
infeksi primer, tetapi bakteri TB dapat menyerang bagian tubuh yang lain (TB ekstra
paru) seperti ginjal, tulang belakang, kulit, kelenjar limfe dan otak. Tuberkulosis
dapat ditularkan melalui percik renik dahak (droplet) dari penderitanya kepada
individu lain yang rentan (Kemenkes RI, 2018).
2.1.2 Etiologi
Basil Mycobacterium tuberculosis penyebab TB merupakan tipe humanus,
sejenis kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/mm dan tebal 0,3-
0,6/mm. Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak (lipid). Lipid inilah yang
menyebabkan kuman tahan asam, sehingga basil ini digolongkan menjadi Basil Tahan
Asam (BTA) maksudnya bila basil ini di warnai, maka warna ini tidak akan luntur
walaupun pada bahan kimia yang tahan asam. Kuman ini tahan hidup pada udara
kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es).
Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dorman. Dari sifat dorman ini kuman
dapat bangkit kembali dan menjadikan tuberkulosis aktif kembali. Sifat lain kuman
adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang
tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan bagian apikal paru-paru lebih
tinggi dari pada bagian lainnya, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat
predileksi penyakit tuberkulosis (Gannika, 2016).
2.1.3 Klasifikasi
Secara umum pasien Tuberkulosis (TB) dibagi menjadi dua klasifikasi utama
(PDPI, 2021), yaitu:

4
1. Pasien TB terkonfirmasi bakteriologis merupakan pasien TB yang ditemukan
bukti infeksi kuman MTB berdasarkan pemeriksaan bakteriologis. Termasuk
di dalamnya adalah:
a. Pasien TB paru BTA positif
b. Pasien TB paru hasil biakan MTB positif
c. Pasien TB paru hasil tes cepat MTB positif
d. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan
BTA, biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena
e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.
2. Pasien TB terdiagnosis secara klinis merupakan pasien TB yang tidak
memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis, namun berdasarkan bukti
lain yang kuat tetap didiagnosis dan ditata laksana sebagai TB oleh dokter
yang merawat. Termasuk di dalam klasifikasi ini adalah:
a. Pasien TB paru BTA negatif dengan hasil pemeriksaan foto toraks
mendukung TB.
b. Pasien TB paru BTA negatif dengan tidak ada perbaikan klinis setelah
diberikan antibiotika non-OAT, dan mempunyai faktor risiko TB.
c. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris
dan histopatologis tanpa konfirmasi bakteriologis.
d. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.
Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis jika dikemudian hari
terkonfirmasi secara bakteriologis harus diklasifikasi ulang menjadi pasien TB
terkonfirmasi bakteriologis.
Selain berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis, terdapat beberapa
klasifikasi lain yang dapat digunakan untuk mempermudah komunikasi antara
petugas kesehatan dan pencatatan data yaitu, sebagai berikut:
1. Klasifikasi pasien TB berdasarkan definisi kasus (PDPI, 2021):
a. Terduga TB

5
Terduga TB adalah seseorang dengan gejala atau tanda TB. Gejala utama
pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Batuk
dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam
meriang lebih dari satu bulan. Pada pasien dengan HIV positif, batuk
sering
kali bukan merupakan gejala TB yang khas, sehingga gejala batuk tidak
harus selalu selama 2 minggu atau lebih.
b. Kasus TB
 Kasus TB definitif yaitu pasien TB dengan ditemukan Mycobacterium
tuberculosis kompleks yang diidentifikasi dari spesimen klinik
(jaringan, cairan tubuh, usap tenggorok dll) dan kultur. Pada negara
dengan keterbatasan kapasitas laboratorium dalam mengidentifikasi
M.tuberculosis maka kasus TB paru dapat ditegakkan apabila
ditemukan satu atau lebih dahak BTA positif.
ATAU
 Seorang pasien yang setelah dilakukan pemeriksaan penunjang untuk
TB sehingga didiagnosis TB oleh dokter maupun petugas kesehatan
dan diobati dengan paduan dan lama pengobatan yang lengkap.
2. Klasifikasi pasien TB berdasarkan lokasi anatomi infeksi (PDPI, 2021):
a. Tuberkulosis paru: yaitu TB yang berlokasi di parenkim paru. TB milier
dianggap sebagai TB paru karena adanya keterlibatan lesi pada jaringan
paru. Pasien TB yang menderita TB paru dan ekstraparu bersamaan
diklasifikasikan sebagai TB paru.
b. Tuberkulosis ekstra paru: TB yang terjadi pada organ selain paru, dapat
melibatkan organ pleura, kelenjar limfatik, abdomen, saluran kencing,
saluran cerna, kulit, meninges, dan tulang. Jika terdapat beberapa TB

6
ekstraparu di organ yang berbeda, pengklasikasian dilakukan dengan
menyebutkan organ yang terdampak TB terberat.
3. Klasifikasi pasien TB berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
(Kemenkes RI, 2019):
a. Kasus Baru TB: kasus yang belum pernah mendapatkan obat anti
tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT dengan total dosis
kurang dari 28 hari.
b. Kasus yang pernah diobati TB:
 Kasus kambuh: kasus yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis kembali dengan TB.
 Kasus pengobatan gagal: kasus yang pernah diobati dengan OAT dan
dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
 Kasus putus obat: kasus yang terputus pengobatannya selama minimal
2 bulan berturut-turut.
 Lain-lain: kasus yang pernah diobati dengan OAT namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
4. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat (PDPI, 2021):
a. TB Sensitif Obat (TB-SO)
b. TB Resistan Obat (TB-RO)
 Monoresistan: bakteri resisten terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama
 Resistan Rifampisin (TB RR): Mycobacterium tuberculosis resisten
terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT
lain.
 Poliresistan: bakteri resisten terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama, namun tidak Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) bersamaan.

7
 Multi drug resistant (TB-MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan, dengan atau tanpa diikuti
resistensi terhadap OAT lini pertama lainnya.
 Pre extensively drug resistant (TB Pre-XDR): memenuhi kriteria
TB MDR dan resistan terhadap minimal satu florokuinolon
 Extensively drug resistant (TB XDR): adalah TB MDR yang
sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT golongan
fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT grup A
(levofloksasin, moksifloksasin, bedakuilin, atau linezolid)
5. Klasifikasi berdasarkan status HIV (PDPI, 2021):
a. TB dengan HIV positif
b. TB dengan HIV negatif
c. TB dengan status HIV tidak diketahui

2.1.4 Faktor Risiko


Terdapat beberapa faktor risiko yang menyebabkan Tuberkulosis antara lain
sebagi berikut:
1. Riwayat Kontak dengan Penderita Tuberkulosis
Di lingkungan keluarga, tingkat penularan TB cukup tinggi. Seorang
penderita TB rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang yang berada di
dalam rumahnya. Besar risiko penularan akan meningkat apabila penderita TB
lebih dari satu orang yang berada di dalam rumah. Jika semakin banyak
penderita TB dalam satu rumah maka akan meningkatkan frekuensi dan durasi
kontak dengan kuman tuberkulosis (Pralambang, 2021; Shafira et al, 2018)
Pasien TB dengan BTA positif lebih besar berisiko menimbulkan
penularan dibandingkan dengan BTA negatif. Makin tinggi jumlah kuman
dalam percikan dahak, makin besar risiko terjadi penularan. Makin lama dan
sering terpapar kuman, makin besar risiko terjadi penularan (Lestari, 2020).

8
Menurut Karim et al (2012) terdapat dua jenis riwayat kontak, yaitu
kontak bersama anggota keluarga dan kontak bersama orang lain yang
terinfeksi TB. Jika terdapat riwayat kontak dengan penderita TB positif dalam
waktu yang intensif akan mengakibatkan bakteri Mycobacterium tuberculosis
masuk dalam tubuh seseorang dengan cepat.
2. Faktor individu yang bersangkutan
Beberapa faktor individu yang meningkatkan risiko TB yaitu:
a. Faktor usia
Kelompok paling rentan tertular TB adalah kelompok usia dewasa
muda yang juga merupakan kelompok usia produktif. Namun, menurut
Prambalang (2021) bahwa usia yang paling rentan terkena penyakit
tuberkulosis adalah mereka yang berumur 15-65 tahun, akan tetapi usia
lebih dari 55 tahun banyak ditemui. Hal ini berkaitan dengan sistem
kekebalan tubuh seseorang pada usia tersebut yang cenderung menurun
sehingga rentan terhadap suatu penyakit terutama Tuberkulosis.
b. Jenis Kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru untuk TB paru pada
laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan. Hal ini
dikarenakan laki-laki lebih terpapar pada faktor risiko TB paru misalnya
merokok dan kurangnya kepatuhan minum obat.
c. Daya Tahan Tubuh
Apabila daya tahan tubuh seseorang menurun oleh karena sebab
apapun, misalnya usia lanjut, ibu hamil, koinfeksi dengan HIV,
penyandang diabetes mellitus, gizi buruk, keadaan immune-suppressive,
bilamana terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis akan lebih
mudah jatuh sakit.
d. Perilaku

9
 Batuk dan cara membuang dahakk pasien TB yang tidak sesuai
etika akan meningkatkan paparan kuman dan risiko penularan.
 Merokok meningkatkan risiko terkena TB paru sebanyak 2,2 kali.
 Sikap dan perilaku pasien TB tentang penularan, bahaya, dan cara
pengobatan.
e. Status sosial ekonomi
TB banyak menyerang kelompok sosial ekonomi rendah. Halim et
al (2015) mengemukakan bahwa status ekonomi merupakan salah satu
faktor yang berpengaruh terhadap kemampuan keluarga untuk
menyediakan kebutuhan gizi dan fasilitas perumahan yang layak huni
karena tempat tinggal yang buruk atau kumuh dapat mendukung
terjadinya penularan penyakit dan gangguan kesehatan. sementara itu
buruknya sanitasi lingkungan akan membuat bakteri Mycobacterium
tuberculosis akan dapat lebih mudah untuk hidup. Hal ini membuat
kondisi status ekonomi keluarga yang rendah akan menjadi penyebab
langsung maupun tidak langsung terjadinya tuberkulosis (Apriadisiregar
et al, 2018; Halim et al, 2015; Shafira et al, 2018).
3. Faktor Lingkungan
a. Lingkungan perumahan padat dan kumuh akan memudahkan penularan
TB. Masyarakat daerah kumuh yang tinggal di rumah dengan kepadatan
hunian <8 m/orang berpeluang 6,4 kali terkena Tuberkulosis. Tingkat
penularan tuberkulosis di lingkungan keluarga penderita cukup tinggi,
dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan 2-3 orang didalam
rumahnya. Rumah dengan tingkat kepadatan hunian yang tinggi selain
tidak sehat dapat menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, bila salah
satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi maka, akan lebih mudah
menular kepada anggota keluarga yang lain (Lestari, 2020).

10
b. Ruangan dengan sirkulasi udara yang kurang baik dan tanpa cahaya
matahari akan meningkatkan risiko penularan. Penempatan ventilasi yang
tidak memenuhi syarat akan mengakibatkan terhalangnya sinar matahari
masuk ke dalam rumah, padahal sinar matahari mengandung ultraviolet
yang dapat membunuh bakteri secara alamiah.
2.1.5 Epidemiologi
Tuberkulosis merupakan salah satu dari 10 penyakit yang menyebabkan
kematian terbesar di dunia. Menurut Global Tuberculosis Report 2020 yang
diterbitkan oleh WHO secara global terdapat 10 juta kasus insiden tuberkulosis (8,9
juta-12 juta) yang setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Sebagian besar
estimasi insiden tuberkulosis pada tahun 2019 terjadi di Kawasan Asia Tenggara
(44%) dimana Indonesia merupakan salah satu di dalamnya dan 25% nya terjadi di
kawasan Afrika, serta 18% terjadi di kawasan Pasifik Barat.
Pada tahun 2020, 30 negara dengan beban TB yang tinggi menyumbangkan
86% kasus TB baru. Dua pertiga jumlah ini berasal dari delapan negara, dengan India
sebagai penyumbang terbesar, diikuti Tiongkok, Indonesia, Filipina, Pakistan,
Nigeria, Bangladesh, dan Afrika Selatan. Hingga 1,5 juta orang meninggal akibat
Tuberkulosis (TB) termasuk 214.000 orang dengan HIV. TB merupakan penyakit
penyebab kematian terbesar ke-13 di dunia dan penyakit menular penyebab kematian
kedua setelah COVID-19 (di atas HIV/AIDS). Namun, TB dapat disembuhkan dan
dapat dicegah (World Health Organization, 2020)
Kebanyakan kasus tuberkulosis ditemukan di negara yang berpenghasilan
rendah dan menengah. Setengah dari populasi kesakitan tuberkulosis disumbangkan
dari 8 negara, yaitu: Bangladesh, China, India, Indonesia, Nigeria, Pakistan, Filipina,
dan Afrika Selatan. Indonesia menyumbang angka kesakitan tuberkulosis sebesar
8,5% dari jumlah angka kesakitan secara global yaitu 10 juta orang. Angka kesakitan
tuberkulosis sebesar 850.000 orang menempatkan Indonesia menjadi peringkat ke-3
penderita TB setelah India (World Health Organization, 2020)
2.1.6 Patofisiologi

11
1. Tuberkulosis Primer
TB primer merupakan infeksi TB awal yang ditularkan oleh orang-orang
yang terinfeksi TB. TB primer biasanya terjadi pada anak-anak atau orang
dewasa dengan kondisi immunocompromised. Infeksi kuman TB biasanya
melalui inhalasi debu atau droplet yang mengandung kuman TB dan masuk ke
jalan napas lalu mengendap di alveolus paru bagian perifer (Parija, 2012; Utji,
& Harun, 2010; Rosenthal & Tan, 2011).
Kuman TB yang mencapai paru-paru, bertahan hidup di dalam makrofag
alveolar setelah berhasil melawan mekanisme imun nonspesifik dan
menghambat proses asidifikasi oleh fagosom serta mencegah terjadinya fusi
antara fagosom dan lisosom. Kuman TB yang masih bertahan, bermultiplikasi
di dalam makrofag alveolar dan menimbulkan respon kemotaktik yang
membawa sejumlah makrofag dan sel-sel pertahanan lainnya ke area
multiplikasi kuman tersebut. Makrofag tersebut menghasilkan sitokin dan
kemokin yang menarik sel fagosit lainnya, termasuk monosit, makrofag
alveolar, dan neutrofil lainnya, yang akhirnya membentuk struktur nodular
granulomatosa yang disebut sebagai tuberkel. Jika multiplikasi kuman TB
tidak teratasi, tuberkel akan membesar dan pecah sehingga kuman TB dapat
masuk ke aliran limfe dan menyebabkan limfedenopati. Lesi yang diakibatkan
oleh pembesaran tuberkel pada parenkim paru dan adanya keterlibatan
kelenjar getah bening disebut sebagai Ghon complex (Parija, 2012; Tortora et
al, 2015; Serafino, 2013).
Setelah tiga minggu, tubuh hanya membatasi fokus infeksi primer
melalui mekanisme peradangan, tetapi kemudian tubuh juga mengupayakan
pertahanan imunitas selular (delayed hypersensitivity) yang akan terbentuk
sempurna setelah 10 minggu Respon ini berguna untuk menyerang kuman TB
yang tertinggal dan lama kelamaan dapat membentuk granuloma yang
awalnya merupakan massa amorf dari makrofag, monosit dan neutrofil.
Namun, makrofag yang dimaksud berdiferensiasi menjadi beberapa jenis sel

12
khusus yaitu multinucleated giant cell, foamy macrophages, epithelioid
macrophages. Kuman TB tersebut semakin banyak dikelilingi oleh limfosit
sehingga foamy macrophages yang terbentuk semakin besar dan menghambat
vaskularisasi di daerah infeksi dan menyebabkan lisis makrofag. Pada TB
primer, Ghon complex atau kompleks primer yang terbentuk akan mengalami
salah satu nasib sebagai berikut: sembuh dengan tidak meninggalkan cacat
sama sekali, sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang
Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus) atau dapat menyebar dengan
cara perkontinuitatum, menyebar secara bronkogen, hematogen dan limfogen
(Russel, 2010; Kemenkes RI, 2019; PDPI, 2021).
2. Tuberkulosis Postprimer
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah
tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. TB postprimer
inilah yang terutama menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena dapat
menjadi sumber penularan. TB sekunder dapat diakibatkan oleh kuman TB
yang dorman atau reinfeksi kuman TB (PDPI, 2016; Rosenthal & Tan, 2011).
TB postprimer dapat sembuh tanpa meninggalkan cacat, dapat sembuh
dengan pembentukan jaringan fibrosis yang akhirnya dapat terjadi pengapuran
dan dapat aktif kembali dalam bentuk jaringan kaseosa. Jaringan kaseosa
dapat membentuk kaviti sklerotik dan dapat meluas pada parenkim paru.
Kaviti sklerotik tersebut dapat pula memadat dan memungkus diri
(enkapsulasi) dan disebut sebagai tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengaput
dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali membentuk kaviti
kembali dan kaviti yang terbentuk kembali tersebut dapat berakhir sebagai
kaviti yang terbungkus dan menciut seperti bintang (stella shaped) (PDPI,
2021).
2.1.7 Diagnosis

13
Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisis, pemeriksaan bakteriologis, radiologis, dan pemeriksaan penunjang lainnya
(PDPI, 2021).
1. Gejala Klinis
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
utama dan gejala tambahan (PDPI, 2021).
a. Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur
darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat
badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,
demam meriang lebih dari satu bulan. Pada pasien dengan HIV positif,
batuk sering kali bukan merupakan gejala TB yang khas, sehingga gejala
batuk tidak selalu selama 2 minggu atau lebih (Lestari, 2020)
b. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain
TB, seperti bronkiektasis, bronchitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-
lain. Mengingat pravelensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka
setiap orang yang dating ke fasyankes dengan gejala tersebut di atas,
dianggap sebagai seorang terduga pasien TB, dan perlu dilakukan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Lestari, 2020).
c. Selain gejala tersebut, perlu dipertimbangkan pemeriksaan pada orang
dengan risiko, seperti: kontak erat dengan pasien TB, tinggal di daerah
padat penduduk, wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan orang yang
bekerja dengan bahan kimia yang berisiko menimbulkan paparan infeksi
paru (Prambalang, 2021; Lestari, 2020).
d. Gejala tuberkulosis ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat,
misalnya pada limfadenitis tuberkulosis akan terjadi pembesaran yang
lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis
tuberkulosis akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis

14
tuberkulosa terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi
yang rongga pleuranya terdapat cairan (PDPI, 2021).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis kelainan yang akan dijumpai tergantung dari
organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung
luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit
umumnya

tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada


umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen
posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan
fisis dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas
melemah, ronki basah kasar/halus, dan/atau tanda-tanda penarikan paru,
diafragma, dan mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan redup atau pekak,
pada auskultasi ditemukan suara napas yang melemah sampai tidak terdengar
pada sisi yang terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-
kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold
abscess”.

15
Gambar 2.1 Paru: apeks lobus superior dan apeks lobus inferior (PDPI,
2021)
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung.
 Mikroskopis biasa: pewarnaan Ziehl-Nielsen
 Mikroskopis fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin
Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD
(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease) adalah sebagai berikut:
 Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut
negatif.
 Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah
basil yang ditemukan.
 Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +
(1+).
 Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
 Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).

16
Pemeriksaan dahak selain berfungsi untuk menegakkan diagnosis,
juga untuk menentukan potensi penularan dan menilai keberhasilan
pengobatan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan
dengan mengumpulkan 2 contoh uji dahak yang dikumpulkan berupa
dahak Sewaktu-Pagi (SP):
 S (Sewaktu): dahak ditampung di fasilitas pelayanan kesehatan.
 P (Pagi): dahak ditampung pada pagi segera setelah bangun tidur.
Dapat dilakukan di rumah pasien atau di bangsal rawat inap
bilamana pasien menjalani rawat inap.
b. Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB
Uji tes cepat molekular (TCM) dapat mengidentifikasi MTB dan
secara bersamaan melakukan uji kepekaan obat dengan mendeteksi materi
genetik yang mewakili resistensi tersebut. Uji TCM yang umum digunakan
adalah GeneXpert MTB/RIF (uji kepekaan untuk Rifampisin). Saat ini
mulai umum dikenal uji TCM lain meskipun belum dikenal secara luas
(PDPI, 2021)

c. Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan bakteri merupakan baku emas (gold standard)
dalam mengidentifikasi Mycobacterium tuberculosis. Biakan bakteri untuk
kepentingaan klinis umum dilakukan menggunakan dua jenis medium
biakan yaitu dengan media padat (Lowenstein-Jensen) dan media cair
(Mycobacteria Growth Indicator Tube) untuk identifikasi Mycobacterium
tuberculosis (M.TB). Pemeriksaan tersebut di atas dilakukan disarana
laboratorium yang terpantau mutunya. Dalam menjamin hasil pemeriksaan
laboratorium, diperlukan contoh uji dahak yang berkualitas. Pada daskes
yang tidak memiliki akses langsung terhadap pemeriksaan TCM, biakan,
dan uji kepekaan, diperlukan system transportasi contoh uji. Hal ini

17
bertujuan untuk menjangkau pasien yang membutuhkan akses terhadap
pemeriksaan tersebut serta mengurangi risiko penularan jika pasien
bepergian langsung ke laboratorium (PDPI, 2021; Lestari, 2020).
d. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi standar pada TB paru adalah foto toraks
dengan proyeksi postero anterior (PA). Pemeriksaan lain atas indikasi klinis
misalnya foto toraks proyeksi lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada
pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat menghasilkan gambaran
bermacam-macam bentuk (multiform) (PDPI, 2021).
 Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif adalah:
 Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus
atas paru dan segmen superior lobus bawah.
 Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular.
 Bayangan bercak milier.
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
 Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif:
 Fibrotik
 Kalsifikasi
 Schwarte atau penebalan pleura
 Luluh paru (destroyed lung):
 Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru
yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru. Gambaran
radiologi luluh paru terdiri dari atelektasis, multikavitas, dan
fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau
penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologi tersebut.
 Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan
aktivitas proses penyakit.

18
Gambar 2.2 Gambaran TB Paru Aktif (tampak infiltrate dengan
kavitas pada lobus superior paru bilateral) (Syaftril, 2016)

Gambar 2.3 Gambaran TB Paru Inaktif (tampak fibrosis lobus


superior bilateral) (Syaftril, 2016)
e. Pemeriksaan penunjang lain
 Analisis Cairan Pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura
perlu dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan
diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis
tuberkulosis adalah uji Rivalta positif, kesan cairan eksudat, terdapat
sel limfosit dominan, dan jumlah glukosa rendah. Pemeriksaan
adenosine deaminase (ADA) dapat digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis efusi pleura TB (PDPI, 2021; Bakthiar, 2016).
 Pemeriksaan Histopatologi Jaringan

19
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan adalah
pemeriksaan histopatologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui
biopsi atau otopsi, yaitu:
 Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening
(KGB).
 Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope
dan Veen Silverman).
 Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan
bronkoskopi, trans thoracal needle aspiration/TTNA, biopsi paru
terbuka).
 Biopsi atau aspirasi pada lesi organ di luar paru yang dicurigai TB.
 Otopsi
Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu
sediaan dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke
laboratorium mikrobiologi untuk dikultur, sediaan yang kedua difiksasi
untuk pemeriksaan histologi (PDPI, 2021; Bakthiar, 2016).

 Uji Tuberkulin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan terdapat infeksi
tuberkulosis. Di Indonesia dengan prevalens tuberkulosis yang tinggi,
uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit kurang berarti
pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan
konversi, bula, atau ukuran indurasi yang besar. Ambang batas hasil
positif berbeda tergantung dari riwayat medis pasien (PDPI, 2021;
Bakthiar, 2016).

20
Indurasi ≥5 mm dianggap positif pada pasien dengan HIV,
riwayat kontak erat dengan pasien terkonfirmasi TB aktif, pasien
dengan gambaran khas TB pada foto toraks, pasien dengan
imunosupresi, pasien dengan terapi kortikosteroid jangka panjang,
pasien dengan gagal ginjal stadium akhir. Indurasi ≥10 mm dianggap
positif pada pasien yang tinggal di atau datang dari (kurang dari 5
tahun) negara dengan prevalensi TB tinggi, pengguna obat suntik,
pasien yang tinggal di tempat dengan kepadatan yang tinggi (misal
penjara), staf laboratorium mikrobiologi, pasien dengan risiko tinggi
(misalnya diabetes, gagal ginjal, sindrom malabsorpsi kronik), dan
balita (PDPI, 2021; Bakthiar, 2016).
Indurasi ≥15 mm dianggap positif pada semua pasien. Pada
pasien dengan malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat
memberikan hasil negatif palsu (PDPI, 2021; Bakthiar, 2016).

21
Bagan 2.1 Alur Diagnosis TB pada Orang Dewasa (Kemenkes, 2019)
2.1.8 Tatalaksana
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2021), tujuan dilakukannya
tatalaksana pada penderita TB adalah sebagai berikut:
1. Tujuan pengobatan TB adalah:
a. Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta kualitas
hidup.
b. Mencegah kematian dan/atau kecacatan karena penyakit TB atau efek
lanjutannya.

22
c. Mencegah kekambuhan.
d. Menurunkan risiko penularan TB
e. Mencegah terjadinya resistensi terhadap obat anti tuberkulosis (OAT)
serta penularannya (PDPI, 2021).
2. Pemberian OAT adalah komponen terpenting dalam penanganan tuberkulosis
dan merupakan cara yang paling efisien dalam mencegah transmisi. Prinsip
pengobatan TB yang adekuat:
a. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan obat yang meliputi minimal
empat macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi terhadap OAT.
b. OAT diberikan dalam dosis yang tepat.
c. OAT ditelan secara teratur dan diawasi oleh pengawas menelan obat
(PMO) hingga masa pengobatan selesai.
d. OAT harus diberikan dalam jangka waktu yang cukup, meliputi tahap
awal/ fase intensif dan tahap lanjutan. Pada umumnya lama pengobatan
TB paru tanpa komplikasi dan komorbid adalah 6 bulan. Pada TB
ekstraparu dan TB dengan komorbid, pengobatan dapat membutuhkan
waktu lebih dari 6 bulan (PDPI, 2021).
Pada tahap awal/fase intensif, OAT diberikan setiap hari. Pemberian OAT
pada tahap awal bertujuan untuk menurunkan secara cepat jumlah kuman
TB yang terdapat dalam tubuh pasien dan meminimalisasi risiko
penularan. Jika pada tahap awal OAT ditelan secara teratur dengan dosis
yang tepat, risiko penularan umumnya sudah berkurang setelah dua
minggu pertama tahap awal pengobatan. Tahap awal juga bertujuan untuk
memperkecil pengaruh sebagian kecil kuman TB yang mungkin sudah
resisten terhadap OAT sejak sebelum dimulai pengobatan. Durasi
pengobatan tahap awal pada pasien TB sensitif obat (TB-SO) adalah dua
bulan (PDPI, 2021; Manurung, 2020).
Pengobatan dilanjutkan dengan tahap lanjutan. Pengobatan tahap lanjutan
bertujuan untuk membunuh sisa kuman TB yang tidak mati pada tahap

23
awal sehingga dapat mencegah kekambuhan. Durasi tahap lanjutan
berkisar antara 4-6 bulan (PDPI, 2021; Manurung, 2020).
1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Regimen pengobatan TB-SO
Paduan OAT untuk pengobatan TB-SO di Indonesia adalah

Pada fase intensif pasien diberikan kombinasi 4 obat berupa Rifampisin


(R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z), dan Etambutol (E) selama 2 bulan
dilanjutkan dengan pemberian Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) selama 4
bulan pada fase lanjutan. Pemberian obat fase lanjutan diberikan sebagai dosis
harian (RH) sesuai dengan rekomendasi WHO (PDPI, 2021; Manurung, 2020;
Rumende, 2017).
Pasien dengan TB-SO diobati menggunakan OAT lini pertama. Dosis
OAT lini pertama yang digunakan dapat dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1 Dosis OAT lepasan lini pertama untuk pengobatan TB-SO
Dosis harian
Nama Obat Dosis (mg/kgBB) Dosis maksimum (mg)
Rifampicin (R) 10 (8-12) 600
Isoniazid (H) 5 (4-6) 300
Pirazinamid (Z) 25 (20-30)
Etambutol (E) 15 (15-20)
Streptomisin 15 (12-18)
Sumber: PDPI, 2021

Untuk menunjang kepatuhan berobat, paduan OAT lini pertama telah


dikombinasikan dalam obat Kombinasi Dosis Tetap (KDT). Satu tablet KDT
RHZE untuk fase intensif berisi Rifampisin 150 mg, Isoniazid 75 mg,
Pirazinamid 400 mg, dan Etambutol 275 mg. Sedangkan untuk fase lanjutan
yaitu KDT RH yang berisi Rifampisin 150 mg + Isoniazid 75 mg diberikan

24
setiap hari. Jumlah tablet KDT yang diberikan dapat disesuaikan dengan berat
badan pasien. Secara ringkas perhitungan dosis pengobatan TB menggunakan
OAT KDT dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Dosis OAT untuk pengobatan TB-SO menggunakan tablet
kombinasi dosis tetap (KDT)
Berat Badan Fase intensif setiap hari Fase lanjutan setiap hari
(KG) dengan KDT RHZE dengan KDT RH (150/75)
(150/75/400/275)
Selama 8 minggu Selama 16 minggu
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet
≥ 55 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet
Sumber: PDPI, 2021
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang
penting untuk menyembuhkan pasien dan mencegah terjadi TB-RO.
Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi TB merupakan
prioritas utama WHO. International Union Against Tuberculosis and Lung
Disease (IUALTD) dan WHO menyarankan untuk menggantikan paduan obat
tunggal/lepasan dengan Kombinasi Dosis Tetap dalam pengobatan TB primer
sejak tahun 1998 (PDPI, 2021; Manurung, 2020; Rumende, 2017).
Keuntungan Kombinasi Dosis Tetap antara lain:
a. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal.
b. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan
kesalahan pengobatan yang tidak disengaja.
c. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang
benar dan standar.
d. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.

25
e. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan terjadinya
resistensi obat akibat penurunan penggunaan monoterapi.
Penentuan dosis terapi Kombinasi Dosis Tetap 4 obat berdasarkan rentang
dosis yang telah ditentukan oleh WHO, merupakan dosis yang efektif atau
masih termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik (PDPI, 2021).
Pada pasien yang mendapat OAT KDT harus dirujuk ke rumah sakit/
dokter spesialis paru/fasilitas yang mampu menangani jika mengalami efek
samping yang serius (PDPI, 2021).
2. Panduan Obat Anti Tuberkulosis
Pengobatan tuberkulosis standar dibagi menjadi:
a. Pasien baru. Paduan obat yang dianjurkan 2HRZE/4HR dengan
pemberian dosis setiap hari.
b. Pada pasien dengan riwayat pengobatan TB lini pertama. Pengobatan
sebaiknya berdasarkan hasil uji kepekaan secara individual. Fasilitas
kesehatan perlu melakukan uji kepekaan obat, pasien dapat diberikan
OAT kategori 1 selama menunggu hasil uji kepekaan. Pengobatan
selanjutnya disesuaikan dengan hasil uji kepekaan.
c. Pengobatan pasien TB resisten obat (TB-RO) (PDPI, 2021).
Catatan: Tuberkulosis paru kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter
spesialis paru sedangkan kasus TB-RO dirujuk ke pusat rujukan TB-RO.
Tuberkulosis paru dan ekstraparu diobati dengan regimen pengobatan yang
sama dan lama pengobatan berbeda yaitu:
a. Meningitis TB, lama pengobatan 9 – 12 bulan karena berisiko kecacatan
dan mortalitas. Etambutol sebaiknya digantikan dengan Streptomisin.
b. TB tulang belakang, lama pengobatan 9 – 12 bulan.
c. Kortikosteroid diberikan pada meningitis TB, TB milier berat, dan
perikarditis TB.
d. Limfadenitis TB lama pengobatan 6 bulan dan dapat diperpanjang hingga
12 bulan. Perubahan ukuran kelenjar (membesar atau mengecil) tidak

26
dapat menjadi acuan dalam menentukan durasi pengobatan (PDPI, 2021;
Rumende, 2017).
3. Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping sehingga
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan (PDPI, 2021).
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat. Jika efek samping
ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatis, maka pemberian OAT dapat
dilanjutkan (PDPI, 2021).
a. Isoniazid
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda gangguan pada
syaraf tepi berupa kesemutan, rasa terbakar di kakitangan, dan nyeri otot.
Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100
mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut
pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain yang dapat terjadi adalah
gejala defisiensi piridoksin (sindrom pellagra). Efek samping berat dapat
berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada kurang lebih 0,5%
pasien (PDPI, 2021; Nuriyanto, 2018).
b. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan
pengobatan simptomatis adalah:
• Sindrom flu berupa demam, menggigil, dan nyeri tulang. Sindrom
dispepsia berupa sakit perut, mual, penurunan nafsu makan,
muntah, diare (PDPI, 2021; Nuriyanto, 2018). Efek samping yang
berat tetapi jarang terjadi adalah:
• Hepatitis imbas obat dan ikterik, bila terjadi maka OAT harus
diberhentikan sementara.

27
• Purpura, anemia hemolitik akut, syok, dan gagal ginjal. Bila salah
satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan
jangan diberikan lagi meskipun gejala telah menghilang.
• Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas. Rifampisin
dapat menyebabkan warna kemerahan pada air seni, keringat, air
mata, dan air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses
metabolisme obat dan tidak berbahaya
c. Pirazinamid
Efek samping berat yang dapat terjadi adalah hepatitis imbas obat
(penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi
juga dapat terjadi dan dapat diatasi dengan pemberian antinyeri, misalnya
aspirin. Terkadang dapat terjadi serangan artritis Gout, hal ini
kemungkinan disebabkan penurunan ekskresi dan penimbunan asam urat.
Terkadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan, dan reaksi kulit yang
lain (PDPI, 2021; Nuriyanto, 2018)
d. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa
penurunan ketajaman penglihatan dan buta warna merah dan hijau.
Namun gangguan penglihatan tersebut tergantung pada dosis yang
dipakai, sangat jarang terjadi pada penggunaan dosis 15-25 mg/kg BB
perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan
penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat
dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko
kerusakan saraf okuler sulit untuk dideteksi, terutama pada anak yang
kurang kooperatif (PDPI, 2021; Nuriyanto, 2018).
e. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang
berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping
tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang

28
digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien
dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang dapat
dirasakan adalah telinga berdenging (tinitus), pusing, dan kehilangan
keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan
atau dosisnya dikurangi. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan
dapat berlanjut dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli) (PDPI,
2021; Nuriyanto, 2018).
Reaksi hipersensitivitas kadang terjadi berupa demam yang timbul
tiba- tiba disertai sakit kepala, muntah, dan eritema pada kulit. Efek
samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar
mulut dan telinga berdenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila
reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gram.
Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh
diberikan pada perempuan hamil karena dapat merusak fungsi
pendengaran janin (PDPI, 2021; Nuriyanto, 2018; Baharuddin, 2018).
Pendekatan berdasarkan gejala digunakan untuk penatalaksanaan
efek samping umum, yaitu efek samping mayor dan minor. Pada
umumnya, pasien yang mengalami efek samping minor sebaiknya tetap
melanjutkan pengobatan TB dan diberikan pengobatan simptomatis.
Apabila pasien mengalami efek samping berat (mayor), OAT penyebab
dapat dihentikan dan pasien segera dirujuk ke pusat kesehatan yang lebih
besar atau dokter paru untuk mendapatkan tatalaksana selanjutnya
(Nuriyanto, 2018; Baharuddin, 2018).

29
Tabel 2.3 Pendekatan berdasarkan masalah untuk penatalaksanaan OAT
Efek Samping Tatalaksana Hentikan obat
(Mayor) Obat penyebab dan rujuk
secepatnya
Kemerahan kulit Streptomisin, isoniazid, Hentikan OAT
dengan atau tanpa Rifampisin, Pirazinamid
gatal
Tuli (bukan Streptomisin Hentikan streptomisin
disebabkan oleh
kotoran)
Pusing (vertigo dan Streptomisin Hentikan streptomisin
nistagmus)
Kuning (setelah Isoniazid, pirazinamid, Hentikan pengobatan TB
penyebab lain Rifampisin
disingkirkan), hepatitis
Bingung (diduga Sebagian besar OAT Hentikan pengobatan TB
gangguan hepar berat
bila bersamaan dengan
kuning)
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan etambutol
(setelah gangguan lain
disingkirkan)
Syok, purpura, gagal Rifampisin Hentikan Rifampisin
ginjal akut
Penurunan jumlah urin Streptomisin Hentikan streptomisin
Minor Teruskan pengobatan,
evaluasi dosis obat
Tidak nafsu makan, Pirazinamid, Berikan obat bersamaan
mual dan nyeri perut Rifampisin, Isoniazid dengan makanan ringan atau
sebelum tidur dan anjurkan
pasien untuk minum obat
dengan air sedikit demi sedikit.
Apabila terjadi muntah yang
terus menerus, atau ada tanda

perdarahan segera pikirkan


sebagai efek samping mayor
dan segera rujuk

30
Nyeri sendi Pirazinamid Aspirin atau NSAID atau
parasetamol

Rasa terbakar, Isoniazid Piridoksin dosis 100- 200


kebas atau mg/hari selama 3 minggu.
kesemutan pada Sebagai profilaksis 25-100
tangan atau kaki mg/hari

Mengantuk Isoniazid Yakinkan kembali, berikan


obat sebelum tidur

Urin berwarna Rifampisin Yakinkan pasien dan


kemerahan atau sebaiknya pasien diberi tahu
oranye sebelum mulai pengobatan

Sindrom flu Dosis Rifampisin Ubah pemberian dari


(demam, menggigil, intermiten intermiten ke pemberian harian
malaise, sakit
kepala, nyeri
tulang)

4. Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek
samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.
a. Evaluasi Klinis
 Pasien dievaluasi secara periodik minimal setiap bulan
 Evaluasi terhadap respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping
obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit
 Evaluasi klinis meliputi keluhan, peningkatan/penurunan berat badan,
pemeriksaan fisis (PDPI, 2021).
b. Evaluasi Bakteriologis (0 - 2 - 3* - 6 /8 bulan pengobatan)
o Bertujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
o Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopis
 Sebelum pengobatan dimulai
 Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)

31
 Pada bulan ke-3 jika hasil mikroskopis bulan ke-2 masih positif
 Pada akhir pengobatan (PDPI, 2021).
 Bila ada fasilitas biakan, dilakukan pemeriksaan biakan dan uji
kepekaan
c. Evaluasi Radiologis (0 - 2 – 6/8 bulan pengobatan) Pemeriksaan dan
evaluasi foto toraks dilakukan pada:
 Sebelum pengobatan.
 Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan
kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan).
 Pada akhir pengobatan (PDPI, 2021).
d. Evaluasi pasien yang telah sembuh
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi pada
bulan ke-3, ke-6, dan ke-12 setelah pengobatan selesai, hal ini
dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi adalah
kondisi klinis, mikroskopis BTA dahak dan foto toraks (sesuai
indikasi/bila ada gejala TB) (PDPI, 2021).
Tabel 2.4 Definisi hasil pengobatan OAT
Hasil pengobatan Definisi
Sembuh Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis
positif pada awal pengobatan yang hasil pemeriksaan
bakteriologis pada akhir pengobatan menjadi negatif dan
pada salah satu pemeriksaan sebelumnya.
Pengobatan lengkap Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan secara
lengkap dimana pada salah satu pemeriksaan sebelum
akhir pengobatan hasilnya negatif namun tanpa ada bukti
hasil pemeriksaan bakteriologis pada akhir pengobatan.
Gagal Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif
atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau
lebih selama masa pengobatan; atau kapan saja dalam
masa pengobatan diperoleh hasil laboratorium yang
menunjukkan adanya resistensi OAT.
Meninggal Pasien TB yang meninggal oleh sebab apapun sebelum
memulai atau sedang dalam pengobatan.

32
Putus berobat Pasien TB yang tidak memulai pengobatannya atau yang
pengobatannya terputus terus menerus selama 2 bulan
atau lebih.
Tidak dievaluasi Pasien TB yang tidak diketahui hasil akhir
pengobatannya. Termasuk dalam kriteria ini adalah
“pasien pindah (transfer out)” ke kabupaten/kota lain
dimana hasil akhir pengobatannya tidak diketahui oleh
kabupaten/kota yang ditinggalkan.
5. Pengobatan Tuberkulosis pada Keadaan Klinis
a. TB Paru dengan Diabetes Mellitus
Paduan OAT dan durasi pengobatan pada prinsipnya sama dengan
TB tanpa DM, dengan syarat kadar gula darah terkontrol. Perlu
pengobatan DM secara agresif untuk mencapai kadar gula yang optimal.
Apabila kadar gula darah belum optimal/tidak terkontrol, maka lama
pengobatan dapat diperpanjang sampai 9 bulan. Perlu diperhatikan
penggunaan rifampisin karena akan mengurangi efektivitas obat oral
antidiabetes (sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu ditingkatkan. Hati-
hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping etambutol pada
mata; sedangkan pasien DM sering mengalami komplikasi kelainan
pada mata (PDPI, 2021; Manggasa 2022).
Penggunaan INH pada pasien TB dengan DM harus lebih ketat
dipantau efek neuropati perifer karena risikonya lebih tinggi. Pasien
dengan riwayat DM lama berisiko terjadi gangguan ginjal. Keadaan
yang sering ditemukan pada pasien DM adalah neuropati, penurunan
motilitas lambung sehingga dapat meningkatkan keadaan mual dan
muntah. Kegagalan pengobatan pasien TB-DM berhubungan dengan
beberapa hal: terjadinya resistensi OAT, kepatuhan pengobatan, adanya
lesi paru luas, adanya gangguan imunitas tubuh dan penurunan
konsentrasi obat (khususnya Rifampisin) (PDPI, 2021; Manggasa 2022).

33
b. TB Paru dengan HIV
Gejala klinis tuberkulosis pada AIDS tidak spesifik, berbeda
dengan tuberkulosis tanpa AIDS. Terdapat gejala konstitusional
(demam, keringat malam, lemah, nafsu makan, dan berat badan
menurun) keadaan umum yang cepat memburuk, dan cepat berubah
menjadi bentuk milier. Selain itu juga terdapat batuk, ekspektorasi,
batuk darah, nyeri dada, atau sesak napas. Pada perjalanan awal HIV
dengan jumlah sel CD4 > 200 sel/ mm3 tampak gambaran khas yang
prodominan pada lobus atas paru, kaviti, serta uji tuberkulin positif
(Yasmin 2022; Meylinda 2021; PDPI 2021).
Tuberkulosis ekstrapulmonal sering dijumpai pada penderita
HIV/AIDS dengan jumlah CD4 rendah (< 200 sel/ mm3) dan secara
klinis tampak jelas penurunan imuniti. TB ekstra pulmonal yang sering
terjadi adalah efusi pleura, limfadenitis TB, peikarditis TB, TB milier
dan meningitis TB. Gejala TB ekstra pulmonal tergantung organ yang
terkena misalnya limfadenopati, hepatospenomegali, atau sistem saraf
pusat (Yasmin 2022; Meylinda 2021; PDPI 2021).
Pemeriksaan bakteriologis pada ODHA sering memberikan hasil
negatif pada pemeriksaan mikroskopis dahak, maka penegakan
diagnosis TB diutamakan menggunakan Tes Cepat Molekular (TCM)
yang dilakukan dalam waktu yang bersamaan dengan pemeriksaan
sediaan dahak mikrobiologis di fasyankes yang mempunyai fasilitas
TCM (Yasmin 2022; Meylinda 2021; PDPI 2021).

34
Rekomendasi:

Tes cepat molekular harus digunakan sebagai tes diagnostik awal pada
pasien yang dicurigai dengan HIV ko-infeksi TB atau TB-RO
dibandingkan mikroskop konvensional, kultur, dan uji tuberkulin
(sangat direkomendasikan, kualitas bukti tinggi)

Gambaran foto toraks pada ODHA umumnya tidak spesifik


terutama pada stadium lanjut. Pada pemeriksaan foto toraks infiltrat
umumnya terdapat di apeks, namun pada pasien TB-HIV infiltrat
seringkali ditemukan di basal, terutama pada HIV stadium lanjut.
Gambaran TB milier cukup sering ditemukan (PDPI, 2021).
Antibiotik perlu diberikan pada ODHA dengan infeksi
oportunistik (IO) yang mungkin disebabkan oleh infeksi bakteri lain
bersama atau tanpa M. tuberculosis. Pemberian antibiotik sebagai alat
bantu diagnosis pada ODHA sudah tidak direkomendasikan lagi karena
dapat menyebabkan keterlambatan diagnosis dan pengobatan TB
(Yasmin 2022; PDPI 2021).
Pengobatan OAT pada TB-HIV pada dasarnya pengobatannya
sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS. Prinsip pengobatan
adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah
cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat, umumnya dengan
regimen 2RHZE/4RH. Pada pasien TB yang terdiagnosis bersamaan
dengan HIV, terapi ARV perlu dimulai sesegera mungkin setelah terapi
TB dapat ditoleransi. Secepatnya 2 minggu dan tidak lebih dari 8
minggu, tidak tergantung dengan hitung jumlah sel CD4 (Yasmin 2022;
PDPI 2021).
Protokol PMO pada pasien TB-HIV perlu dilaksanakan dengan
lebih ketat mengingat banyaknya jumlah obat yang harus ditelan dan

35
meningkatnya risiko efek samping yang menyebabkan pasien enggan
berobat. Gunakan EFV sebagai pilihan NNRTI pada pasien yang
memulai terapi ARV selama dalam terapi TB. Rifampisin dapat
menurunkan kadar nelfinavir dan nevirapin. Obat yang dapat digunakan
AZT atau TDF + 3TC + EFV. Setelah OAT selesai, EFV dapat diganti
dengan NVP. Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat
berbahaya karena akan menyebabkan efek toksik berat pada kulit.
Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali
pakai yang steril. Desensitisasi obat (INH, rifampisin) tidak boleh
dilakukan karena mengakibatkan risiko toksisitas yang serius pada hepar
(PDPI, 2021).
Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respons
terhadap pengobatan, perlu dipikirkan terjadinya resistensi dan
malabsorpsi obat. Pada pasien HIV/AIDS terdapat korelasi antara
imunosupresi yang berat dengan derajat penyerapan, karenanya dosis
standar OAT yang diterima suboptimal sehingga konsentrasi obat rendah
dalam serum (Yasmin 2022; PDPI 2021).
Pada pasien dengan HIV, TB merupakan infeksi oportunistik dan
dapat menyebabkan kematian. WHO telah mengeluarkan strategi
(sebelum pemberian ART), strategi tersebut dinamakan Three I’s
strategy, yaitu:
a. Isoniazid preventif treatment (IPT), jika ada indikasi.
b. Intensified case finding (ICF) untuk menemukan kasus TB aktif.
c. Infection control (IC), untuk pencegahan dan pengendalian infeksi
TB di tempat pelayanan Kesehatan (PDPI, 2021).

36
Tabel 2.5 Rekomendasi pilihan ARV pada pasien TB paru
Paduan pengobatan
Obat ARV lini
ARV pada waktu Pilihan obat ARV
pertama/lini kedua
TB didiagnosis
Lini Pertama 2 NRTI + EFV Teruskan dengan 2 NRTI +
EFV
2 NRTI + NVP Ganti dengan 2 NRTI + EFV
atau ganti dengan 2 NRTI +
LPV/r
Lini Kedua 2 NRTI + PI Ganti ke atau teruskan (bila
sementara menggunakan)
paduan mengandung LPV/r
* Tersedia kombinasi dosis tetap (KDT) TDF+3TC+EFV
Sumber: PDPI, 2021

37
2.2 Kerangka Teori

38
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian


Jenis penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang dilakukan dengan
pengambilan data sekunder melalui rekam medis
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Baturiti I pada tanggal 28 -30 Maret 2023
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kasus baru tuberkulosis (TB) di
Puskesmas Baturiti I Periode Januari 2020-Maret 2023 sebanyak 83 orang.
3.3.2 Sampel Penelitian
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan total sampling
sehingga sampel penelitian yang digunakan sebanyak 83 orang.
3.4 Variabel Penelitian
Variabel-variabel yang akan diteliti pada penelitian ini adalah jumlah kasus
baru TB per tahun, umur, jenis kelamin, klasifikasi TB menurut lokasi infeksi,
klasifikasi TB menurut status HIV (TB-HIV), klasifikasi TB menurut status
diabetes mellitus/DM (TB-DM), klasifikasi TB menurut hasil pemeriksaan
laboratorium akhir bulan ke-2 pengobatan, dan klasifikasi TB menurut hasil akhir
pengobatan (Sembuh/ pengobatan lengkap/ putus obat/ gagal/ meninggal/ tidak
dievaluasi/ masih dalam pengobatan).
3.5 Defenisi Operasional
Alat Cara Skala
No. Variabel Definisi Hasil ukur
ukur ukur ukur

39
1. Kasus Baru Kasus yang belum pernah Data Pencatatan  Jumlah Rasio
TB mendapatkan obat anti rekam penderita
tuberkulosis (OAT) medik
2. Umur Lama waktu hidup yang dihitung Data Pencatatan  Balita (0 – 5) Ordinal
sejak dilahirkan sampai saat rekam  Kanak-kanak (6
menderita TB yang dihitung medik – 11)
menurut tahun  Remaja awal (12
– 16)
 Remaja akhir
(17 – 25)
 Dewasa awal
(26 – 35)
 Dewasa akhir
(36 – 45)
 Lansia awal (46
– 55)
 Lansia akhir (56
– 65)
 Manula (>65)
3. Jenis kelamin Pembeda laki-laki dan perempuan Data Pencatatan  Laki-laki Nominal
yang dilihat dari sudut biologi rekam  Perempuan
medik
4. Klasifikasi  TB Paru: TB yang berlokasi di Data Pencatatan  TB Paru Nominal
TB menurut parenkim paru rekam  TB Ekstraparu
lokasi infeksi  TB Ekstraparu: TB yang terjadi medik
(TB Paru, TB pada organ selain paru, dapat
Ekstraparu) melibatkan organ pleura,
kelenjar limfatik, abdomen,
saluran kencing, saluran cerna,
kulit,
meningens, dan tulang
5. Klasifikasi  Ya: Penderita TB yang memiliki Data Pencatatan  Ya Nominal
TB menurut riwayat HIV atau hasil tes rekam  Tidak
status HIV menunjukkan reaktif medik  Tidak diketahui
(TB-HIV)  Tidak: Penderita TB yang tidak
memiliki riwayat HIV atau hasil
tes menunjukkan non reaktif
 Tidak diketahui: Penderita TB
yang riwayat HIV tidak diketahui

40
6. Klasifikasi  Ya: Penderita TB yang memiliki Data Pencatatan  Ya Nominal
TB menurut riwayat atau didiagnosis DM rekam  Tidak
status DM  Tidak: Penderita TB yang tidak medik  Tidak
(TB-DM) memiliki riwayat DM diketahui
 Tidak diketahui: Penderita TB
yang riwayat DM tidak diketahui
atau tidak tercantum dalam
rekam
medis
7. Klasifikasi  Seseorang yang sedang dalam Data Pencatatan  Positif Nominal
menurut hasil pengobatan TB dengan OAT dan rekam  Negatif
pemeriksaan dilakukan medik  Tidak
laboratorium pemeriksaan laboratorium pada diketahui
akhir bulan akhir bulan ke-2 pengobatan
ke- 2 dengan hasil positif atau negatif
pengobatan  Tidak diketahui: pasien TB yang
tidak diketahui hasil
pemeriksaan laboratorium pada
akhir bulan ke-2 karena pindah,
putus obat, meninggal, masih
dalam pengobatan atau tidak
tercantum
dalam rekam medis
8. Klasifikasi  Sembuh: pasien TB paru dengan Data Pencatatan  Sembuh Nominal
menurut hasil hasil pemeriksaan bakteriologis rekam  Pengobatan
akhir positif di awal pengobatan yang medik lengkap
pengobatan hasil pemeriksaan bakteriologis  Putus obat
(Sembuh/ pada akhir pengobatan menjadi  Gagal
pengobatan negatif dan pada salah satu  Meninggal
lengkap/ pemeriksaan sebelumnya  Tidak
putus obat/  Pengobatan lengkap: pasien TB dievaluasi
yang telah menyelesaikan  Masih dalam
gagal/ pengobatan secara lengkap pengobatan
meninggal/ dimana pada salah satu
tidak pemeriksaan sebelum akhir
dievaluasi/ pengobatan hasilnya negatif
masih namun tanpa ada bukti hasil
pemeriksaan bakteriologis pada
dalam akhir pengobatan
pengobatan)

41
 Gagal: pasien yang hasil
pemeriksaan dahaknya tetap
positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau
lebih selama masa pengobatan;
atau kapan saja dalam masa
pengobatan diperoleh hasil
laboratorium yang menunjukkan
adanya resistensi OAT
 Meninggal: pasien TB yang
meninggal oleh sebab apapun
sebelum memulai atau sedang
dalam pengobatan
 Putus berobat: pasien TB yang
tidak memulai pengobatannya
atau yang pengobatannya
terputus terus menerus selama 2
bulan atau lebih
 Tidak dievaluasi: pasien TB
yang tidak diketahui hasil akhir
pengobatannya karena pindah
pengobatan ke kabupaten/kota
lain
 Masih dalam pengobatan: pasien
TB yang masih dalam
pengobatan sampai saat
penelitian ini dilakukan

3.6 Instrumen Penelitian


Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data rekam
medis (buku register dan lembar TB01), lembar pencatatan untuk mencatat
variabel-variabel yang diteliti, dan alat tulis kantor (ATK).

42
3.7 Alur penelitian

3.8 Rencana Analisis Data


Data yang terkumpul akan diolah dan dianalisis menggunakan Microsoft Excel.
Analisis data yang akan dilakukan adalah analisis univariat masing-masing
variabel yang diteliti, ditampilkan dalam bentuk jumlah (n) dan presentase (%).
3.9 Etika Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mempertimbangkan etika penelitian, meliputi:
1. Tanpa nama (Anonymity)
Peneliti tidak mencantumkan identitas responden dan hanya
menuliskan kode pada hasil penelitian yang akan disajikan untuk menjaga
kerahasiaan responden.
2. Menghormati kerahasiaan subjek penelitian (respect of confidentiality)
Peneliti menjaga kerahasiaan data dan informasi responden dan
hanya menyampaikan hal-hal yang sesuai dengan tujuan penelitian.
3. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing
harms and benefits)

43
Penelitian yang dilakukan sesuai dengan prosedur sehingga
diharapkan dapat memberikan manfaat dengan memperkecil kerugian
yang mungkin didapatkan dari penelitian ini.

44
BAB IV
HASIL PENELITIAN

4.1 Jumlah Kasus Baru TB Periode Januari 2020-Maret 2023


Berdasarkan tabel 4.10, jumlah Kasus Baru TB di tahun 2020 sebanyak 30
orang, tahun 2021 sebanyak 36 orang, tahun 2022 sebanyak 14 orang, dan bulan
Januari sampai Maret 2023 sebanyak 3 orang.

Tabel 4.1 Jumlah Kasus Baru TB Periode Januari 2020-Maret 2023


Tahun
TOTAL
2020 2021 2022 Jan-Maret
2023
Kasus Baru
30 36 14 3 83
TB
Sumber: Data sekunder

Gambar 4.1 Jumlah Kasus Baru TB periode Januari 2018-September 2022

90

80

60

50
36
40
30
30 14
3
20
2020 2021 2022 Jan-Mrt 2023

Penderita TB

4.2 Distribusi Kasus Baru TB Berdasarkan Umur


Berdasarkan tabel 4.11, angka distribusi Kasus Baru TB berdasarkan umur
di Puskesmas Baturiti I periode Januari 2020-Maret 2023 yang tertinggi yaitu

45
pada kelompok lansia awal (46-55 tahun) sebanyak 50 orang, diikuti dewasa
akhir (36-45 tahun) sebanyak 12 orang, dewasa awal (26-35 tahun) 21 orang.

4.3 Distribusi Kasus Baru TB Berdasarkan Jenis Kelamin


Berdasarkan data yang diperoleh pada tabel 4.12, angka distribusi Kasus
Baru TB berdasarkan jenis kelamin di Puskesmas Baturiti I periode Januari 2020-
Maret 2023 sebagian besar berjenis kelamin laki-laki sebanyak 48 orang (58%)
sedangkan perempuan sebanyak 35 orang (42 %). Dapat dilihat bahwa setiap
tahunnya, kasus baru TB didominasi oleh jenis kelamin laki-laki.
Tabel 4.2 Distribusi Kasus Baru TB Berdasarkan Jenis Kelamin

Tahun
Jenis Jumlah Presentase
Jan – Mrt
Kelamin 2020 2021 2022 (n) (%)
2023
Laki-laki 22 18 7 1 48 58
Perempuan 14 12 7 2 35 42
TOTAL 36 30 14 3 83 100
Sumber: Data sekunder

4.4 Distribusi Kasus Baru TB Berdasarkan Lokasi Infeksi


Distribusi Kasus Baru TB berdasarkan lokasi infeksi di Puskesmas Baturiti
I periode Januari 2020-Maret 2023 dapat dilihat pada tabel 4.13 yaitu sebagian
besar penderita terdiagnosis TB Paru sebanyak 62 (75%), sedangkan untuk TB
ekstraparu sebanyak 21 (25%). Dapat dilihat bahwa setiap tahunnya, lokasi
infeksi TB tersering yaitu pada paru dibandingkan ekstraparu
Tabel 4.13 Distribusi Kasus Baru TB Berdasarkan Lokasi Infeksi
Tahun
Lokasi Jumlah Presentase
Jan – Mrt
Infeksi 2020 2021 2022 (n) (%)
2023
Paru 25 25 12 2 62 75
Ekstraparu 4 5 11 1 21 25
TOTAL 29 30 23 3 83 100

46
4.5 Distribusi Kasus Baru TB Berdasarkan Status HIV (TB-HIV)
Distribusi penderita TB berdasarkan status HIV (TB-HIV) di Puskesmas
Baturiti I periode Januari 2020-Maret 2023. Pada tahun 2020 dan 2021 tidak
terdapat TB-HIV. Tahun 2012, dan 2023 terdapat masing-masing 1 TB-HIV.
4.6 Distribusi Kasus Baru TB Berdasarkan Status DM (TB-DM)
Distribusi Kasus Baru TB berdasarkan status DM (TB-DM) di Puskesmas
Baturiti I periode Januari 2020-Maret 2023. Hanya di temukan pada tahun 2022
dan 2023 masing- masing 1 pasien.
4.7 Distribusi Kasus Baru TB Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Akhir Bulan ke-2 Pengobatan
Distribusi Kasus Baru TB berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium
akhir bulan ke-2 pengobatan di Puskesmas Baturiti I periode Januari 2020-Maret
2023, yaitu yang terkonfirmasi positif sebanyak 15 orang (18%), terkonfirmasi
negatif 68 orang (82%).

BAB V

47
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian, dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Total Kasus Baru TB di Puskesmas Baturiti I tahun 2020 sebanyak 30 orang,
tahun 2021 sebanyak 36 orang, tahun 2022 sebanyak 14 orang, dan bulan
Januari sampai Maret 2023 sebanyak 3 orang.
2. Kasus Baru TB berdasarkan umur di Puskesmas Baturiti I periode Januari
2020-Maret 2023 yang tertinggi yaitu pada kelompok lansia awal (46-55
tahun) sebanyak 50 orang, diikuti dewasa akhir (36-45 tahun) sebanyak 12
orang, dewasa awal (26-35 tahun) 21 orang.
3. Kasus Baru TB berdasarkan jenis kelamin di Puskesmas Baturiti I periode
Januari 2020-Maret 2023 sebagian besar berjenis kelamin laki-laki sebanyak
48 orang (58%) sedangkan perempuan sebanyak 35 orang (42 %).
4. Kasus Baru TB berdasarkan lokasi infeksi di Puskesmas Baturiti I periode
Januari 2020-Maret 2023 yaitu sebagian besar penderita terdiagnosis TB
Paru sebanyak 62 (75%), sedangkan untuk TB ekstraparu sebanyak 21
(25%).
5. Ppenderita TB berdasarkan status HIV (TB-HIV) di Puskesmas Baturiti I
periode Januari 2020-Maret 2023. Pada tahun 2020 dan 2021 tidak terdapat
TB-HIV. Tahun 2012, dan 2023 terdapat masing-masing 1 TB-HIV.
6. Kasus Baru TB berdasarkan status DM (TB-DM) di Puskesmas Baturiti I
periode Januari 2020-Maret 2023. Hanya di temukan pada tahun 2022 dan
2023 masing- masing 1 pasien.
7. Kasus Baru TB berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium akhir bulan ke-2
pengobatan di Puskesmas Baturiti I periode Januari 2020-Maret 2023, yaitu
yang terkonfirmasi positif sebanyak 15 orang (18%), terkonfirmasi negatif
68 orang (82%).

48
5.2 Saran
1. Saran kepada Masyarakat
a. Diharapkan masyarakat selalu meningkatkan Kesehatan dengan
menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
b. Diharapkan masyarakat memeriksakan kondisi Kesehatan secara rutin
dan berkelanjutan di Puskesmas.
c. Diharapkan masyarakat dapat meningkatkan pengetahuan mengenai
penyakit tuberkulosis dengan mencari informasi yaitu dengan cara datang
ke fasilitas pelayanan Kesehatan, mencari informasi melalu media massa
dan ikut aktif dalam program pencegahan terhadap penyakit Tuberkulosis.
2. Saran kepada Institusi Pendidikan dan Kesehatan (Puskesmas)
Menjaga dan meningkatkan kerja sama dalam upaya memantau
kesehatan masyarakat dan memberikan edukasi atau penyuluhan berkala guna
meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai penyakit
menular khususnya upaya mencegah terjadinya Tuberkulosis.
3. Saran kepada Peneliti Selanjutnya
a. Perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan desain penelitian yang
berbeda, sehingga hasil penelitian dapat menunjukkan hubungan sebab
akibat antar variabel.
b. Disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan variabel yang
berbeda seperti riwayat kontak, riwayat penyakit kronis lain seperti
Hipertensi, faktor lingkungan (seperti kepadatan tempat tinggal, luas
ventilasi), dan ekonomi.

49
DAFTAR PUSTAKA

Amina, Handoko D & Darmayanti D, 2019, ‘Gambaran Epidemiologi Penyakit


Tuberkulosis Paru di Poliklinik Paru RSUD Dr. H. Chasan Boesoirie Ternate
Tahun 2018’, Kieraha Medical Journal, vol. 1, no. 1.
Apriadisiregar, PA, Gurning, FP, Eliska, E & Pratama, MY, 2018, ‘Analysis of
Factors Associated with Pulmonary Tuberculosis Incidence of Children in
Sibuhuan General Hospital’, Jurnal Berkala Epidemiologi, vol. 6, no. 3, hh.
268.
Apriliasari, R, Hestiningsih, R, Martini & Udiyono, A, 2018, ‘Faktor Yang
Berhubungan dengan Kejadian TB Paru Pada Anak (Studi Di Seluruh
Puskesmas Di Kabupaten Magelang)’, vol. 6, no. 1, hh. 298–307.
Astrid, N, 2017, Pengaruh Status Gizi terhadap Konversi Sputum BTA Pasien TB di
Puskesmas Panjang, Lampung: Universitas Lampung.
Baharuddin, M, 2018, ‘Perbandingan Panduan Nasional Tatalaksana Tuberkulosis
Tahun 2014 di Indonesia dan Panduan Terbaru Terapi untuk Terduga TB
menurut WHO tahun 2017’, JIMKI, vol 6, no. 1.
Bakhtiar, 2016, ‘Pendekatan diagnosis tuberkulosis pada anak di sarana pelayanan
kesehatan dengan fasilitas terbatas’, JKS, vol. 2, hh. 122–128.
Chandrasekaran P, Natarajan S & Srikanth T, 2019, ‘Malnutrition of Immune
Responses in Tuberculosis’, Frontiers in Immunology Journal, vol. 8, no. 1.
Dinkes NTB, 2022. Jumlah Penderita Tuberkulosis Provinsi NTB tahun
2021- 2022, Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun
2022. https://data.ntbprov.go.id/dataset/jumlah-penderita-tuberculosis.
Dinkes NTB, 2021, Profil Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2020,
Mataram: Dinas Kesehatan Nusa Tenggara Barat.
Febrian, MA, 2015, ‘Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru anak
di wilayah Puskesmas Garuda Kota Bandung’, Jurnal Ilmu Keperawatan
Unversitas BSI Bandung, vol. 3, no. 2, hh. 64–79.
Fitriani, E, 2014, ‘Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian Kusta’, Unnes
Journal of Public Health, vol. 3, no. 1, hh. 2–5.
Fraga, ADSS, Oktavia, N & Mulia, RA, 2021, ‘Evaluasi Penggunaan Obat Anti
Tuberkulosis Pasien Baru Tuberkulosis Paru di Puskesmas Oebobo Kupang
Tahun 2020’, Jurnal Farmagazine, vol. 8, no. 1, hh. 17-24.
Gannika, L, 2016, ‘Tingkat Pengetahuan Keteraturan Berobat dan Sikap Klien
Terhadap Terjadinya Penyakit TBC Paru Di Ruang Perawatan I Dan II RS
Islam Faisal Makassar’, Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada, vol. 4, no. 1,
hh. 55–62.

50
Halim, Naning, R. & Satrio, DB, 2015, ‘Faktor risiko kejadian TB paru pada anak
usia 1-5 tahun di Kabupaten Kebumen’, Jurnal Penelitian Universitas Jambi
Seri Sains, vol. 17, no. 2, hh. 26–39.
Kemenkes RI, 2020, Situasi TBC di Indonesia, Jakarta: Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.
Kemenkes RI, 2019, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.01.07/MENKES/755/2019 tentang Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Kemenkes RI, 2018, ‘Infodatin Tuberkulosis (TB)’, Tuberkulosis, vol. 1, no.
4. Kemenkes RI, 2018, ‘Info data dan informasi Tuberculosis 2018’
http://www.pusdatin.kemkes.go.id/folder/view/01/structure-publikasi- pusdatin-
info-datin.html
Kirenga BJ, Ssengooba W, Muwonge C, et al, 2015, ‘Tuberculosis risk factors
among tuberculosis patients in Kampala, Uganda: Implications for
tuberculosis control’, BMC Public Health. Vol. 15, no. 1, hh.1-7.
Lestari, Y, 2020, ‘Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Terapi dan
Pencegahan Penularan Tuberkulosis di Wilayah Sidoarjo’, Skripsi, Fakultas
Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya.
Mahendrani CRM, Subkhan M, Nurida A, Prahasanti K & Levani Y, 2020),
‘Analisis Faktor yang Berpengaruh terhadap Konversi Sputum Basil Tahan
Asam pada Penderita Tuberkulosis’, Jurnal Berkala Ilmiah Kedokteran, vol.
3, no. 1.
Manggasa, D & Suharto, D, 2022, ‘Riwayat Pengobatan dan Komorbid Diabetes
Mellitus Berhubungan dengan Kejadian Tuberkulosis Resisten Obat’, Jurnal
Ilmu Kesehatan Poltekkes Kemenkes Palu, vol. 15, no. 4.
Manurung, D, 2020, ‘Tatalaksana Tuberkulosis Paru pada Pelayanan Kesehatan
Primer di Indonesia (Studi Kasus di Puskesmas Kendal Kerep Malang)’,
Jurnal Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang.
Mar’iyah, K & Zulkarnain, 2021, ‘Patofisiologi Penyakit Tuberkulosis’, Prosiding
Biologi, hh: 88-92.
Mega J, Sari DK & Harahap J, 2019, ‘Korelasi Indeks Massa Tubuh dan Kadar
Albumin dengan Konversi Sputum Pasien Tuberkulosis’, Indonesian Journal
of Human Nutrition, vol. 6, no. 2, hh. 96-109.
Meylinda, M, 2021, ‘Evaluasi Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis dan
Antiretroviral pada Penderita Koinfeksi TB-HIV di Rumah Sakit Paru
Sidawangi Provinsi Jawa Barat’, Skripsi. Universitas Bhakti Kencana.

51
Muna N, Cahyanti W, 2019, ‘Determinan Kejadian Tuberkulosis pada Orang dengan
HIV/AIDS’, Higeia Journal of Public Health Research and Development,
vol. 3, no. 2.
Novita, E, Ismah, Z & Pariyana, 2018, ‘Angka Kejadian Diabetes Mellitus Pada
Pasien Tuberkulosis’, JKK, vol. 5, no. 1, hh. 20-25.
Novita E & Zata I, 2017, ‘Studi Karakteristik Pasien Tuberkulosis di Puskesmas
Seberang Ulu 1 Palembang’ Unnes Journal of Public Helath. Vol. 6, no. 4.
Nugi, N, 2020, ‘Analisis Faktor-Faktor Determinan Individu Terhadap Tuberculosis
Multidrug Resistance (TB MDR) di Provinsi Sumatra Selatan, Jurnal
Kesehatan Komunitas, vol. 6, no. 1, hh. 63-67.
Nuriyanto, A, 2018, ‘Manifestasi Klinis, Penunjang Diagnosis dan Tatalaksana
Tuberkulosis Paru’, Jurnal Kedokteran Naggroe Medika, vol. 1, no. 2.
Pane, DN, Fikri, MEL & Ritonga, HM, 2018, ‘Laporan Provinsi Nusa Tenggara
Barat Riskesdas 2018’, Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, vol. 53, no. 9.
Pangaribuan, L, Kristina, Perwitasari, D, Tejayanti, T & Lolong, D, 2020, ‘Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Tuberkulosis Pada Umur 15 Tahun ke
Atas di Indonesia (Analisis Data Survei Prevalensi Tuberkulosis (SPTB) di
Indonesia 2013-2014)’, Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, vol. 23, no. 1,
hh. 10-17.
Parija, SC, 2012, Textbook of microbiology and immunology (2nd ed.), Elsevier.
PDPI, 2021, Tuberculosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia:
2021, Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Prambalang, D & Setawan, S, 2021, ‘Faktor Risiko Kejadian Tuberculosis di
Indonesia’, Jurnal Bikfokes, vol 2, no. 1.
Refdanita & Kusumawaty D, 2019, ‘Profil Keberhasilan Terapi TB Paru BTA Positif
di Puskesmas Kelurahan Cilangkap Kota Depok Periode Januari 2013-
Desember 2014’, Sainstech Farma, vol. 12, no. 1.
Rosenthal, KS & Tan, M, 2011, Rapid review microbiology and immunology (3rd
ed.), Mosby Elsevier.
Rosyanti, I & Kusumaningtiar, DA, 2020, ‘Kejadian TB Paru di Kota
Depok’,
Health Publica, vol. 1, no. 1, hh. 13-24.
Rumende, M, 2017, Diagnosis dan Tatalaksana TB Paru dan Ekstraparu, Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Russel, DG, 2010, ‘Tuberculosis: what we don’t know can, and does, hurt us’,

52
Science, vol. 328, no. 852, hh. 852–853.
Safitri A, 2021, ‘Faktor-Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian
Tuberkulosis Resistan Obat di RSUD dr. Soekardjo Tasikmalaya Tahun
2020-2021’, Skripsi. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Siliwangi
Tasikmalaya.
Shafira, Z, Sudarwati, S & Alam, A, 2018), ‘Profil Pasien Tuberkulosis Anak dengan
Anti-tuberculosis Drug Induced Hepatotoxicity di Rumah Sakit Umum Pusat
Dr. Hasan Sadikin Bandung’, Sari Pediatri, vol. 19, no. 5, hh. 290.
Sikumbang, RH, Eyanoer, PC & Siregar, NP, 2022, ‘Faktor-Faktor yang
Berhubungan dengan Kejadian TB Paru Pada Usia Produktif di Wilayah
Kerja Puskesmas Tegal Sari Kecamatan Medan Denai Tahun 2018’, Ibnu
Sina, vol. 21, no. 1, hh. 32-43.
Serafino, RL, 2013, ‘Pathophysiologi and microbiology of pulmonary tuberculosis’,
South Sudan Medical Journal, vol. 6, no. 1, hh.10.
Sudoyo AW, Alwi I & Setiati S, 2015, Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi 6.
Jakarta: Interna Publishing.
Syafril, M, 2016, Tuberkulosis Paru dan Gambaran Tuberkulosis Paru, Pontianak:
Bagian Radiologi Universitas Tanjungpura
Tampubolon G, 2020, ‘Gamabaran Penderita TB-HIV di Puskesmas Mutiara
Kecamatan Kisaran Timur Kabupaten Asahan’, Karya Tulis Ilmiah.
Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan.
Tiara, R & Tri, A, 2021, ‘Hubungan Antara Diabetes Mellitus Tipe 2 dengan Risiko
Peningkatan Kejadian Tuberkulosis Paru’, Sensorik, hh. 94-100.
Tortora, GJ, Funke, BR & Case, CL, 2015, Microbiology an introduction (12th ed.),
Pearson.
Utji, R & Harun, H, 2010, Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran edisi Revisi. Bandung:
Binarupa Aksara Publisher.
WHO, 2020, Global Tuberculosis Report, Geneva: World Health Organization.
Yasmin, N, 2022, Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Keberhasilan
Pengobatan Pasien TB-HIV di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Tahun
2019-2021, Skripsi, Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman.
Yustikarini, K & Sidhartani, M, 2016, ‘Faktor Risiko Sakit Tuberkulosis pada Anak
yang Terinfeksi Mycobacterium Tuberculosis’, Sari Pediatri, vol. 17, no. 2,
hh. 136.

53
54

Anda mungkin juga menyukai