Disusun Oleh :
dr. Devi Elora Gugun Siahaan
Supervisor :
dr. Sahat Ericson Tampubolon, M.Ked (PD), Sp.PD
Pembimbing:
dr. Luh Putu Suartini Kusumawati
HALAMAN PERSETUJUAN
LAPORAN KASUS
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II
dr. Sahat Ericson Tampubolon, M.PD, Sp.PD dr. Luh Putu Suartini Kusumawati
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan
karunia-Nya maka laporan kasus berjudul “Tuberkulosis Paru Terkonfirmasi
Bakteriologis, Kasus Baru, Tidak Resisten Obat, HIV Negatif” ini dapat selesai pada
waktunya.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Laporan kasus ini disusun untuk
memenuhi salah satu tugas Program Dokter Internsip Indonesia di Rumkit Tk. IV Singaraja.
Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada:
1. dr. Ni Nyoman Tri Premani, M.Biomed, Sp.S, selaku Kepala Rumah Sakit Tk. IV
Singaraja yang telah memberikan kesempatan untuk penulis melaksanakan internship
di rumah sakit ini
2. dr. Sahat Ericson Tampubolon, M.Ked(PD), Sp.PD, selaku pembimbing dan penguji
yang telah memberikan bimbingan, kritik, dan saran kepada penulis dalam pembuatan
laporan kasus ini
3. dr. Luh Putu Suartini Kusumawati, selaku pembimbing internship yang telah
memberikan bimbingan kepada penulis dalam pembuatan laporan kasus ini
4. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan laporan kasus ini
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN.................................................................................................i
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii
BAB I.........................................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................................
1.2. Tujuan Laporan.............................................................................................................
1.3. Manfaat Laporan...........................................................................................................
BAB II.......................................................................................................................................2
2.1 Definisi dan Etiologi Tuberkulosis.............................................................................2
2.2 Faktor Risiko Tuberkulosis.........................................................................................2
2.3 Patofisiologi dan Patogenesis Tuberkulosis...............................................................2
2.4 Diagnosis Tuberkulosis................................................................................................4
2.5 Diagnosis Banding........................................................................................................6
2.6 Klasifikasi Tuberkulosis..............................................................................................7
2.7 Tatalaksana Tuberkulosis...........................................................................................9
2.8 Komplikasi dan Prognosis Tuberkulosis.................................................................11
2.9 Prognosis.....................................................................................................................12
LAPORAN KASUS................................................................................................................13
FOLLOW UP PASIEN..........................................................................................................17
PEMBAHASAN.....................................................................................................................21
KESIMPULAN.......................................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................28
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Faktor risiko terjadinya TB adalah memiliki kontak erat dengan orang dengan
penyakit TB aktif yang infeksius, kelompok paling rentan yang tertular adalah
kelompok usia dewasa muda yang juga merupakan kelompok usia produktif. Selain
itu, menurut hasil survei prevalensi TB menunjukkan, laki-laki lebih banyak terkena
TB dibandingkan wanita. Faktor risiko lainnya terdiri dari orang dengan HIV positif
dan penyakit imunokompromais lain, orang yang mengonsumsi obat imunosupresan
dalam jangka waktu panjang, perokok, dan konsumsi alkohol tinggi. Faktor
lingkungan juga berperan dalam risiko penularan seperti lingkungan perumahan yang
padat dan kumuh, ruangan dengan sirkulasi udara yang kurang baik dan tanpa sinar
cahaya matahari. 3,4
2
Mycobacterium turunan virulen masuk ke dalam endosom makrofag, organisme
tersebut dapat menghambat respon mikrobisida normal melalui pencegahan fusi
lisosom dengan vakuol fagositik. Pencegahan dari formasi fagolisosom tersebut
mengakibatkan proliferasi Mycobacterium tanpa terdeteksi dan muncul fase paling
dini dari TB primer (3 minggu pertama) pada pasien yang belum tersensitisasi yang
ditandai dengan proliferasi basil dalam makrofag alveolus paru dan rongga udara.
Sebagian besar pasien pada fase dini bersifat asimptomatik atau hanya mengalami
gejala flu ringan.4
Perkembangan imunitas yang dimediasi sel yang terjadi dalam waktu 3
minggu pasca pajanan. Antigen Mycobacterium telah mencapai aliran kelenjar getah
bening dan dipresentasikan oleh sel dendritik dan makrofag ke sel T CD4+. Dalam
pengaruh IL-12 yang disekresi oleh makrofag, sel T CD4+ subset sel TH1 diproduksi
dan mensekresi IFN-gamma. IFN-gamma berperan dalam mengaktifkan makrofag
untuk melepaskan berbagai mediator dan meningkatkan regulasi gen dengan efek
downstream termasuk TNF yang bertanggung jawab untuk menarik monosit yang
kemudian menjadi aktif berdiferensiasi menjadi histiosit epiteloid yang menjadi ciri
dari reaksi granulomatosa. Efek downstream lainnya yaitu ekspresi inducible nitric
oxide synthase (iNOS) yang menyebabkan peningkatan kadar oksida nitrat pada
lokasi infeksi dengan mengaktivasi antibakteri, dan menghasilkan jenis oksigen
reaktif yang juga memiliki sifat sebagai antibakteri. Oksida nitrat merupakan zat
oksidator kuat yang mampu produksi nitrogen reaktif dan radikal bebas lain untuk
melakukan destruksi oksidatif beberapa komponen Mycobacterium termasuk dinding
sel hingga DNA bakteri. 4
3
Gambar 1. Patogenesis Tubelkulosis4
4
berat tergantung dari luas lesi. Batuk dapat muncul saat bronkus mengalami gangguan seperti
adanya iritasi pada bronkus untuk mengeluarkan dahak. Gejala tuberkulosis paru tergantung
dari organ terlibat seperti limfadenitis tuberkulosa yang dapat membesar secara perlahan dan
tidak adanya nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosis dapat timbul
gejala meningitis, pada pleuritis tuberkulosa dapat timbul gejala sesak napas dan nyeri dada.
Gejala sistemik berupa demam, malaise, penurunan berat badan, anoreksia, dan keringat
malam.5
1. Pemeriksaan Fisik
Pada awal perkembangan penyakit, sulit untuk melihat adanya kelainan yang muncul
umumnya. Pada pemerikaan fisik umumnya dapat ditemukan adanya suara napas
bronkial, suara napas melemah, amforik, ronki basah, tanda penarikan mediastinum,
paru, dan diafragma.5
2. Pemeriksaan Bakteriologi
3. Pemeriksaan Radiologi
Foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral menjadi pemeriksaan standar untuk TB.
pemeriksaan lain atas indikasi seperti foto apiko-lordotik, oblik, dan CT scan. Pasien
dengan tuberkulosis dapat ditemukan gambaran multiform pada foto toraks. Contoh
gambaran radiologik lesi TB aktif, yaitu pada segmen superior lobus bawah dan
segmen apikal dan lateral lobus atas paru, terdapat bayangan berawan/nodular, adanya
kaviti yang dikelilingi bayangan opak berawan, efusi pleura unilateral pada umumnya.
Pada gambaran radiologik yang diduga lesi TB inaktif, yaitu kalsifikasi atau fibrotik,
fibrotik pada segmen apikal, posterior lobus atas, kompleks ranke, fibrotoraks/fibrosis
parenkim paru, penebalan pleura. Luas lesi yang terlihat pada foto toraks untuk
kepentingan pengobatan dinyatakan sebagai lesi minimal dan lesi luas. Lesi minimal
yaitu yang mengenai satu atau dia paru dengan luas yang tak melebihi volume paru
dan tidak dijumpai kaviti. Lesi luas jika proses lebih luas dari lesi minimal.5
5
Gambar 3. Menunjukkan opasitas padat homogen di lobus kanan,
tengah, dan bawah TB Paru Primer.6
2.5 Diagnosis Banding
1. Pneumonia
Pneumonia merupakan peradangan pada parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis,
yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli serta menimbulkan konsolidasi jaringan
paru dan gangguan pertukaran gas setempat. Ada 2 kelompok pneumonia, yaitu pneumonia
nosokomial (PN) dan pneumonia komunitas (PK).13
Berbagai faktor predisposisi timbulnya mikosis paru antara lain tuberkulosis, PPOK, diabetes
melitus, keganasan, gagal ginjal kronik dan penggunaan obat seperti antibiotik,
kortikosteroid, dan sitostatika. Manifestasi klinisnya pun beragam mulai dari malaise,
demam, sesak, sakit dada, wheezing, dan dahak yang purulen. Dalam diagnosis mikosis paru,
pemeriksaan langsung dari dahak tidak banyak berpengaruh terhadap penegakan diagnosis.13
Karsinoma paru tidak umum terjadi pada usia di bawah 40 tahun, kejadiannya meningkat
hingga usia 80 tahun. Merokok meningkatkan risiko kanker paru sebanyak 10 kali. Kanker
paru juga jauh meningkat pada pasien yang terus menerus merokok dibanding yang sudah
berhenti merokok. Perokok pasif juga memiliki risiko kanker paru sebanyak 20 - 30% lebih
tinggi dibanding yang bukan perokok pasif. Selain rokok, kanker paru memiliki faktor risiko
lainnya seperti paparan okupasional berupa asbestos, arsenik, bischloromethyl ether,
6
hexavalent chromium, mustard gas, nickel, dan hidrokarbon aromatik polisiklik. Risiko
kanker paru meningkat pada riwayat paparan radiasi ion, riwayat penyakit paru lain seperti
bronkitis kronik, emfisema, dan tuberkulosis.13
Penyakit paru akibat kerja atau lingkungan cukup sulit dibedakan dengan penyakit paru
lainnya karena banyak penyakit paru yang dapat dipengaruhi oleh agen lingkungan karena
bersifat multifaktorial seperti merokok. Pentingnya mendiagnosis sebagai penyakit paru
akibat kerja adalah untuk rencana manajemen dan prognosis pasien. Contohnya, pada asma
okupasional atau hipersensitivitas pneumonitis okupasional kadang tidak dapat diatasi secara
maksimal jika tidak menghentikan paparan agen lingkungan yang ada di tempat kerja. Selain
itu, dapat mempengaruhi kompensasi yang dapat diberikan oleh tempatnya bekerja dan
mencegah teman kerja lainnya untuk mengalami penyakit yang sama. Prevalensi penyakit
paru akibat kerja dan faktor lingkungan penyebabnya tidak diketahui secara pasti, namun
banyak populasi yang berisiko. Diperkirakan 15 - 20% penderita asma dan PPOK dewasa
disebabkan oleh faktor pekerjaan.14
7
2. Kasus dengan riwayat pengobatan : pasien yang pernah mendapatkan OAT 1
bulan atau lebih (>28 dosis bila memakai obat program). Kasus ini diklasifikasikan
lebih lanjut berdasarkan hasil pengobatan terakhir sebagai berikut :
1. Kasus kambuh : pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap pada akhir pengobatan dan saat
ini ditegakkan diagnosis TB episode kembali (reaktivasi atau episode baru
yang disebabkan reinfeksi).
2. Kasus pengobatan setelah gagal : pasien yang sebelumnya pernah mendapat
OAT dan dinyatakan gagal pada pada akhir pengobatan.
3. Kasus setelah loss to follow up : pasien yang pernah menelan OAT 1 bulan
atau lebih dan tidak meneruskannya selama lebih dari 2 bulan berturut-turut
dan dinyatakan loss to follow up sebagai hasil pengobatan.
4. Kasus lain-lain : pasien sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan hasil
akhir pengobatannya tidak diketahui atau tidak didokumentasikan.
5. Kasus dengan riwayat pengobatan tidak diketahui : pasien yang tidak
diketahui riwayat pengobatan sebelumnya sehingga tidak dapat dimasukkan
dalam salah satu kategori di atas.
Identifikasi riwayat pengobatan sebelumnya penting untuk dilakukan karena terdapat
risiko resistensi obat. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan obat
sebelum dimulai pengobatan, menggunakan metode yang telah disetujui WHO (TCM
TC MTB/Rif atau LPA) untuk semua pasien dengan riwayat pemakaian OAT.
3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
a. Monoresisten : resistensi terhadap salah satu jenis OAT lini pertama
b. Poliresisten : resistensi terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain
isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.
c. Multidrug resistant (TB MDR) : minimal resistan terhadap isoniazid (H) dan
rifampisin (R) secara bersamaan.
d. Extensive drug resistant (TB XDR) : TB-MDR yang juga resistan terhadap salah
satu OAT golongan fluorokuinolon dan salah satu dari OAT lini kedua jenis
suntikan (kanamisin, kapreomisin, dan amikasin).
e. Rifampicin resistant (TB RR) : terbukti resistan terhadap rifampisin baik
menggunakan metode genotip (tes cepata) atau metode fenotip (konvensional)
dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi. Termasuk dalam
8
TB RR yaitu semua bentuk TB MR, TB PR, TB MDR, dan TB XDR yang terbukti
resistan terhadap rifampisin.
4. Klasifikasi berdasarkan status HIV
1. Kasus TB dengan HIV positif : kasus TB terkonfirmasi bakteriologis atau
terdiagnosis klinis pada pasien yang memiliki tes HIV-positif, baik yang dilakukan
pada saat penegakan diagnosis TB atau ada bukti bahwa pasien telah terdaftar di
register HIV (register pra ART atau register ART)
2. Kasus TB dengan HIV negatif : kasus TB terkonfirmasi bakteriologis atau
terdiagnosis klinis pada pasien yang memiliki hasil negatif untuk tes HIV yang
dilakukan pada saat ditegakkan diagnosis TB. Bila pasien ini diketahui HIV positif
di kemudian hari harus kembali disesuaikan klasifikasinya.
3. Kasus TB dengan status HIV tidak diketahui : kasus TB terkonfirmasi
bakteriologis atau terdiagnosis klinis yang tidak memiliki hasil tes HIV dan tidak
memiliki bukti dokumentasi telah terdaftar dalam register HIV. Bila pasien ini
diketahui HIV positif di kemudian hari harus kembali disesuaikan klasifikasinya.
9
o Isoniazid, dengan efek samping neuropati perifer, gangguan fungsi hati,
psikosis toksik, dan kejang.
o Rifampisin, dengan efek samping urin warna merah, ruam kulit, gangguan
pencernaan, sesak nafas, sindrom flu berat, trombositopenia, anemia hemolitik,
serta gangguan fungsi hati.
o Pirazinamid, dengan efek samping gangguan fungsi hati, gangguan
pencernaan, dan gout arthritis.
o Etambutol, dengan efek samping neuritis perifer, buta warna, dan gangguan
penglihatan.
o Streptomisin, dengan efek samping gangguan keseimbangan dan pendengaran,
reaksi anafilaktik, pansitopenia, dan nyeri di tempat suntikan
o Paduan OAT di Indonesia
o Kategori I: 2(HRZE)/4(HR)3 atau 2(HRZE)/4(HR)
o TB-RO: OAT lini ke-2
o 2016: OAT kategori-1 dan 2 disediakan dalam bentuk obat kombinasi dosis
tetap (KDT). Terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet, yang
dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien.
o Pada akhir fase intensif, apabila hasil apusan dahak tetap positif, akan
dievaluasi untuk uji kepekaan TB-RO, dan pengobatan diteruskan sebagai fase
lanjutan.
o Keuntungan bentuk KDT diantaranya adalah mencegah penggunaan obat
tunggal, menurunkan risiko resistensi obat, mengurangi kesalahan penulisan
resep, mengurangi jumlah obat yang harus dikonsumsi pasien sehingga
meningkatkan kepatuhan pasien, dan penyesuaian dengan berat badan pasien
dapat mengurangi efek samping dan menjamin efektivitas obat.
o Paduan program OAT untuk pasien yang tidak bisa menggunakan OAT KDT
adalah paket Kombipak atau obat lepas yang terdiri atas Isoniazid, Rifampisin,
Pirazinamid, dan Etambutol.
5. Evaluasi Pengobatan
o Pemantauan hasil pengobatan dilakukan dengan pemeriksaan ulang dahak secara
mikroskopis atau BTA, dengan spesimen uji dahak sewaktu dan pagi.
10
o Pemeriksaan BTA dilakukan di akhir 2 bulan pengobatan tahap awal, dan bulan
ke-3 pengobatan. Apabila BTA tetap positif di akhir tahap awal atau bulan ke-3
pengobatan, maka pasien dapat menjadi terduga TB-RO.
o Pada pasien TB BTA positif, dilakukan pemeriksaan dahak di akhir bulan ke-5
pengobatan. Apabila negatif, lanjutkan pengobatan hingga selesai dan periksa
dahak kembali di akhir pengobatan. Apabila positif, pasien dianggap gagal
pengobatan dan terduga TB-RO.
6. Hasil Pengobatan
o Pemantauan hasil pengobatan dilakukan dengan pemeriksaan ulang dahak secara
mikroskopis atau BTA, dengan spesimen uji dahak sewaktu dan pagi.
o Pemeriksaan BTA dilakukan di akhir 2 bulan pengobatan tahap awal, dan bulan
ke-3 pengobatan. Apabila BTA tetap positif di akhir tahap awal atau bulan ke-3
pengobatan, maka pasien dapat menjadi terduga TB-RO.
o Pada pasien TB BTA positif, dilakukan pemeriksaan dahak di akhir bulan ke-5
pengobatan. Apabila negatif, lanjutkan pengobatan hingga selesai dan periksa
dahak kembali di akhir pengobatan. Apabila positif, pasien dianggap gagal
pengobatan dan terduga TB-RO.
11
b. Amiloidosis
Disebabkan oleh adanya deposisi protein fibriler yang tidak larut pada berbagai
jaringan yang menyebabkan disfungsi dan gagal organ. Amiloidosis umumnya
melibatkan ginjal. Mediator sitokin proinflammatory seperti interleukin-1, tumor
necrosis factor alpha, dan interleukin 6 menstimulasi sintesis serum amyloid A di hati
yang kemudian terakumulasi di ginjal. Pada pasien dengan tuberkulosis, adanya
proteinuria dan abnormalitas ginjal yang tampak pada ultrasonografi harus dievaluasi
melalui biopsi renal untuk menegakkan amyloidosis.13
c. Kegagalan pernapasan kronis
Keterlambatan diagnosis dan tatalaksana tuberkulosis dapat menyebabkan sequela
pulmoner yang ditandai dengan kerusakan bronkial dan struktur parenkimal. Perubahan
struktur yang ada meliputi distorsi bronkovaskular, bronkiektasis, emfisema, dan
fibrosis. Hal ini menyebabkan mismatch perfusi yang semakin besar. Kegagalan
respiratori akut juga dapat terjadi bersamaan dengan kegagalan respiratori kronik akibat
infeksi sistem pernapasan oleh organisme piogenik.15
2.9 Prognosis
Resolusi penuh diharapkan dapat terjadi dengan sedikit komplikasi pada kasus TB non-
MDR dan non-XDR, ketika regimen pengobatan telah selesai. Beberapa penelitian
menyebutkan tingkat kekambuhan TB sebesar 0-14%. Di negara-negara dengan tingkat
TB yang rendah, relaps bisa terjadi 12 bulan setelah pengobatan selesai. Di negara dengan
tingkat TB tinggi, sebagian besar kekambuhan lebih disebabkan karena reinfeksi
dibandingkan relaps. Penanda prognostik yang buruk meliputi keterlibatan
ekstrapulmonal, keadaan immunocompromised, usia tua, dan riwayat pengobatan
sebelumnya.14Beberapa hal yang dapat mempengaruhi prognosis TBC diantaranya adalah
kecepatan dan ketepatan penanganan serta kepatuhan konsumsi pengobatan TB. pada
penyakit TBC aktif, apabila penanganan tidak adekuat dapat menyebabkan peningkatan
mortalitas sebesar 50%. Efektifitas pengobatan TBC sebesar 95% apabila pasien rutin dan
patuh dalam meminum obat.17,18
12
BAB III
LAPORAN KASUS
STATUS PASIEN
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn GMD
Tanggal lahir : 19 Juli 1997
Usia : 25 tahun
Alamat : Jl. Gama gang swastika, Singaraja
Tanggal MRS : 5 Maret 2023
2. ANAMNESIS
a. KELUHAN UTAMA
Batuk berdahak sejak kurang lebih 6 bulan yang lalu.
13
3. ANAMNESIS
a. TANDA VITAL DAN ANTROPOMETRI
Keadaan umum : cukup
Kesadaran : CM, E4V5M6
TD : 97/71 mmHg
FN : 140x/ menit
RR : 21x/ menit
Tax : 36.9’C
SpO2 : 97% room air
BB : 48 kg
TB : 168 cm
IMT : 17,00 kg/m2
b. STATUS GENERALIS
Mata Konjungtiva palpebra inferior pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil
bulat isokor, refleks cahaya langsung dan tidak langsung (+/+)
14
● Auskultasi: Bising Usus (+) Normal
Ekstremitas CRT < 2 detik, akral hangat (+/+/+/+), pitting edema (-/-/-/-),
kelemahan tubuh (-/-/-/-)
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (5 Maret 2023)
Hematologi
Lymphosit 15 % 15 - 50
Glukosa
Elektrolit
15
Kalsium 1.18 Mg/dL 1.17-1.29
6. DIAGNOSIS KERJA
Susp. TB Paru dd/ Pneumonia + Hipokalemia
16
BAB IV
FOLLOW UP PASIEN
S Batuk (+) berdahak, Demam (-). Lemas (+) masih dirasakan. Sesak (-)
disangkal. Keringat di malam hari (+), nafsu makan baik (+), BAB dan BAK
normal, tidak ada keluhan.
17
Interpretasi :
Kelayakan Foto:
- Identitas ada
- Technical quality:
Area of examination: adekuat (terlihat dari apeks hingga CVA)
Orientasi: terdapat penanda R
Proyeksi dan posisi: PA erect
Eksposure: adekuat (vertebrae T8 terlihat)
Rotasi: tidak ada rotasi
Angulasi: tidak ada ekstensi
Inspirasi: adekuat (ada 8 iga posterior)
- Kesan: layak baca
Interpretasi Foto
o Jantung: CTR<50%, tidak kardiomegali.
o Aorta: Tidak terdapat elongasi aorta
o Mediastinum superior: tidak ada pelebaran atau massa
mediastinum
o Trakeobronkial: tidak ada deviasi trakea. Bronkus terlihat
kalibernya
o Hillus: Tidak terdapat pelebaran hilus bilateral
o Paru: Tampak konsolidasi inhomogen di paru kanan
atas, Tampak infiltrat di seluruh lapang paru kiri dan
kanan. Tampak multipel lusen berdinding tebal di
lapangan atas paru kiri. Tampak multipel fokus
kalsifikasi di lapangan paru kiri dan lapangan paru
kanan atas.
o Diafragma: kanan normal (seperti kubah), kiri sulit dinilai
o Sinus costophrenicus: kanan lancip, kiri sulit dinilai
o Tulang dan jar. lunak: dalam batas normal
- Kesan: TB Paru
18
R Cek Tes Cepat molekular TB
S Batuk (+) berdahak, Lemas (+) masih dirasakan. Keringat di malam hari (+),
nafsu makan baik (+), BAB dan BAK normal, tidak ada keluhan.
19
TANGGAL 8/03/2023 ; Pukul 08.00 WITA
S Batuk (+) berdahak kadang-kadnag namun sudah jauh membaik, Lemas (-)
sudah tidak dirasakan. Keringat di malam hari sudah tidak ada, nafsu makan
baik (+), BAB dan BAK normal, tidak ada keluhan.
R Boleh Pulang
20
BAB V
PEMBAHASAN
TEORI PASIEN
Gejala respiratorik dapat tidak bergejala pasangan seksual (-) disangkal. Riwayat
hingga gejala cukup berat tergantung penggunaan jarum suntik sembarangan (-)
dari luas lesi. Batuk dapat muncul saat disangkal.
bronkus mengalami gangguan seperti Pasien memiliki keluhan respiratorik dan
adanya iritasi pada bronkus untuk keluhan sistemik yang khas ke arah
mengeluarkan dahak. Tuberkulosis.Keluhan respiratorik pasien
Gejala sistemik berupa batuk lebih dari berupa batuk sejak kurang lebih 6 bulan
3 minggu, batuk darah, nyeri dada, yang lalu. Batuk yang dikeluhkan adalah
sesak napas. Gejala sistemik lainnya batuk berdahak (+), dan pernah batuk
dapat berupa demam, malaise, berdarah 2x. Gejala sistemik yang
21
penurunan berat badan, anoreksia, dan dirasakan pasien berupa lemas, keringat
keringat malam. malam hari, dan penurunan BB drastis
selama beberapa bulan terakhir. Gejala
respiratorik dan sistemik yang pasien alami
mengarah ke TB Paru.
22
berupa demam, malaise, penurunan batuk berdarah 2x. Selain itu, terdapat
berat badan, anoreksia, dan keringat juga keluhan sistemik yang dirasakan
malam pasien berupa lemas, keringat malam
Pada pemerikaan fisik umumnya hari, dan penurunan BB drastis selama
dapat ditemukan adanya suara napas beberapa bulan terakhir. Gejala
bronkial, suara napas melemah, respiratorik dan sistemik yang pasien
amforik, ronki basah, tanda penarikan alami mengarah ke TB Paru, walaupun
mediastinum, paru, dan diafragma. masih bisa dipikirkan penyebab lain,
Pemeriksaan penunjang yang dapat yaitu infeksi paru lainnya seperti
dilakukan mulai dari pemeriksaan pneumonia, infkesi jamur, penyakit paru
darah, untuk melihat apakah ada akibat kerja, dll.
peningkatan sel darah putih Dari pemeriksaan fisis, didapatkan
(mengarah ke infeksi bakteri) ataupun adanya hipotensi, takikardia,
kelainan darah lainnya konjungtiva anemis. Dari pemeriksaan
Standar baku diagnosis TB Paru paru terdengar adanya rhonki yang jelas
adalah dengan konfirmasi pada kedua lapang paru. Suara ronki
bakteriologis. Pemeriksaan ini mendukung keluhan respiratorik pasien
bertujuan untuk menemukan patogen ke arah TB paru, ditambah adanya
tuberculosis. Spesimen yang sering gejala sistemik khas, yaitu malaise dan
digunakan adalah dahak. Tes yang penurunan berat badan. Namun, suara
paling baik digunakan saat ini adalah rhonki juga dapat ditemukan pada
Tes Cepat Molekular/ TCM penyebab infeksi paru lain, ataupun
Selain itu, foto rontgen juga dapat penyakit paru kronik lainnya. Oleh
membantu menegakkan diagnosis TB. karena itu masih diperlukan
Foto toraks PA dengan atau tanpa foto pemeriksaan penunjang untuk
lateral menjadi pemeriksaan standar mengkonfirmasi diagnosis.
untuk TB. pemeriksaan lain atas Dari pemeriksaan lab, didapatkan
indikasi seperti foto apiko-lordotik, leukositosis yang menandakan adanya
oblik, dan CT scan. Pasien dengan infeksi bakteri. Didapatkan juga anemia
tuberkulosis dapat ditemukan yang mengarah pada anemia akibat
gambaran multiform pada foto toraks. penyakit kronik. Hasil ini dapat
Contoh gambaran radiologik lesi TB menjelaskan mengapa pasien merasakan
aktif, yaitu pada segmen superior lemas yang sudah sejak lama. Selain itu,
23
lobus bawah dan segmen apikal dan terdapat juga gangguan elektrolit berupa
lateral lobus atas paru, terdapat hipokalemia.
bayangan berawan/nodular, adanya Dari pemeriksaan rontgen thorax,
kaviti yang dikelilingi bayangan opak ditemukan adanya konsolidasi
berawan, efusi pleura unilateral pada inhomogen di paru kanan atas, Tampak
umumnya. Pada gambaran radiologik infiltrat di seluruh lapang paru kiri dan
yang diduga lesi TB inaktif, yaitu kanan. Tampak multipel lusen
kalsifikasi atau fibrotik, fibrotik pada berdinding tebal di lapangan atas paru
segmen apikal, posterior lobus atas, kiri. Tampak multipel fokus kalsifikasi
kompleks ranke, fibrotoraks/fibrosis di lapangan paru kiri dan lapangan paru
parenkim paru, penebalan pleura. kanan atas. Gambaran ini khas
Luas lesi yang terlihat pada foto mengarah pada infeksi tuberkulosis
toraks untuk kepentingan pengobatan paru. Oleh karena itu, dari hasil
dinyatakan sebagai lesi minimal dan radiologi, diagnosis Tuberkulosis Paru
lesi luas. Lesi minimal yaitu yang dapat ditegakkan.
mengenai satu atau dia paru dengan Setelah itu, dilakukan Tes Cepat
luas yang tak melebihi volume paru Molekular untuk memeriksa apakah
dan tidak dijumpai kaviti. Lesi luas benar ada kuman penyebab TB pada
jika proses lebih luas dari lesi minimal dahak pasien. Hasil tes TCM pasien
MTB terdeteksi tinggi, dengan tidak
adanya resistensi rifampisin. Oleh
karena itu, diagnosis TB Paru pada
pasien sudah terkonfirmasi secara
bakteriologis.
Tes Rapid HIV direkomendasikan
untuk dilakukan pada setiap pasien yang
terkonfirmasi TB. Hasil Rapid HIV
pasien negative, sehingga tidak
diperlukan pengobatan ARV ataupun
pemantauan komplikasi keadaan
imunokompromais.
24
merupakan kasus baru, tidak terbukti IGD yang diberikan adalah sebagai berikut:
adanya resistensi obat, dan Status HIV
- Loading 1 kolf NaCl (IV)
negatif, maka OAT yang
- Injeksi ceftriaxone 2 gr/ 24 jam (IV)
direkomendasikan adalah OAT KDT Lini
- Acetilcysteine 3x200 mg (PO)
Pertama, yang terdiri dari 1)Isoniazid,
- Azitromicin 1x500 mg (PO)
dengan efek samping neuropati perifer,
- Vit B 2x1 tablet (PO)
gangguan fungsi hati, psikosis toksik, dan
- Asam folat 1X1 tablet (PO)
kejang. 2) Rifampisin, dengan efek
- KSR 1x600 mg (PO)
samping urin warna merah, ruam kulit,
gangguan pencernaan, sesak nafas,
Antibiotik spektrum luas pada awalnya
sindrom flu berat, trombositopenia, anemia
diberikan karena diagnosis TB belum
hemolitik, serta gangguan fungsi hati. 3)
terkonfirmasi dari pemeriksaan
Pirazinamid, dengan efek samping
laboratorium. Selain antibiotic spektrum
gangguan fungsi hati, gangguan
luas, diberikan juga obat-obatan lainnya
pencernaan, dan gout arthritis. 4)
untuk meringankan gejala yang pasien
Etambutol, dengan efek samping neuritis
alami.
perifer, buta warna, dan gangguan
penglihatan. 5) Streptomisin, dengan efek
Setelah diagnosis sudah tegak melalui
samping gangguan keseimbangan dan
pemeriksaan radiologis dan bakteriologis,
pendengaran, reaksi anafilaktik,
maka tata laksana yang dilakukan
pansitopenia, dan nyeri di tempat suntikan.
selanjutnya adalah:
Keuntungan bentuk KDT obat - Stop antibiotik azitromicin dan
antituberculosis diantaranya adalah ceftriaxone
mencegah penggunaan obat tunggal, - Lanjutkan obat TB Dinkes (OAT Lini 1)
menurunkan risiko resistensi obat, - Pantau keluhan pasien selama rawat inap
mengurangi kesalahan penulisan resep, di RS, terutama keluhan sistemiknya yaitu
mengurangi jumlah obat yang harus lemas dan nafsu makan menurun
dikonsumsi pasien sehingga meningkatkan
kepatuhan pasien, dan penyesuaian dengan Setalah pasien diperbolehkan pulang, tahap
berat badan pasien dapat mengurangi efek pengobatan selanjutnya yang penting
samping dan menjamin efektivitas obat. dilakukan adalah evaluasi respons obat.
Melakukan pemantauan respons
Pada tahap awal/ fase intensif pengobatan
pengobatan bisa dilakukan dengan cara:
25
TB, OAT diberikan setiap hari, untuk 1. Melaporkan gejala TB yang menetap
menurunkan jumlah kuman dan atau muncul kembali → batuk masih
meminimalisir kemungkinan kuman yang ada namun jauh berkurang dibanding
sudah resisten sejak sebelum pasien awal terapi
mendapat pengobatan. Durasi pengobatan 2. Mengedukasi gejala efek samping OAT
selama 2 bulan → mual pagi hari dan BAK merah
3. Memantau jika terjadinya terhentinya
Pada tahap Lanjutan, pengobatan TB pengobatan
diilakukan untuk membunuh sisa kuman 4. Berat badan pasien harus dipantau
yang ada dalam tubuh dan mencegah setiap bulan dan dosis OAT disesuaikan
kekambuhan. Durasi pengobatan selama 4 dengan perubahan berat badan
bulan. 5. Melakukan pemeriksaan dahak lagi di
akhir fase intensif -> Jika tetap positif,
pertimbangkan pengobatan TB-RO,
Jika sudah negatif, lanjutkan
pengobatan ke fase lanjutan
26
BAB VI
KESIMPULAN
Pasien laki-laki usia 25 tahun datang dengan keluhan batuk berdahak sejak 6 bulan
SMRS. Batuk berdarah disangkal. Nafsu makan baik namun pasien terus merasakan lemas
sejak 2 bulan SMRS. Terdapat penurunan BB sebanyak 10kg dalam 2 bulan. Demam
disangkal. Keluhan lain disangkal. Riwayat TB sebelumnya disangkal. Dari pemeriksaan
fisis
didapatkan adanya hipotensi, takikardia, saturasi oksigen yang masih baik (97%), tidak ada
sesak, terdapat konjungtiva anemis, dan terdengar rhonki yang jelas pada kedua lapang paru.
Dari pemeriksaan lab, didapatkan leukositosis, anemia dan hipokalemia. Dari
pemeriksaan rontgen thorax, ditemukan gambaran khas TB Paru. Oleh karena itu,
diagnosis Tuberkulosis Paru dapat ditegakkan secara radiologis Setelah itu, Hasil tes TCM
pasien menunjukkan MTB terdeteksi tinggi, dan tidak adanya resistensi rifampisin. Oleh
karena itu, diagnosis TB Paru pada pasien sudah terkonfirmasi secara bakteriologis. Pasien
dirawat inapkan di bangsal RS hingga keadaan umumnya membaik, terutama sampai keluhan
lemas (yang bisa terjadi akibat gejala sistemik TB, anemia penyakit kronik, ataupun
hipokalemianya) sudah membaik.
Setelah keadaan umum sudah membaik, pasien dipulangkan dan diedukasi untuk
mengikuti pengobatan TB selama 6 bulan, dimana fase intensif berlangsung selama 2 bulan
awal, dan 4 bulan berikutnya merupakan fase lanjutan. Pemeriksaan dahak ulang akan
dilakukan di akhir fase intensif. Jika masih positif MTB, maka pertimbangkan untuk
mengubah pengobatan ke TB-RO, Jika sudah negatif, lanjutkan pengobatan ke fase lanjutan
Dilakukan juga edukasi mengenai beberapa efek samping OAT yang diminum, seperti
kencing berwarna merah. Pasien diminta untuk melaporkan gejala TB yang menetap atau
muncul Kembali, contohnya jika batuk masih ada namun jauh berkurang dibanding awal
terapi. Berat badan pasien harus dipantau setiap bulan dan dosis OAT disesuaikan dengan
perubahan berat badan.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Kementerian Kesehatan RI. Infodatin Tuberkulosis [internet]. 2018 [cited Sep 2021].
Available from :
https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-
tuberkulosis-2018.pdf
2. TBC Indonesia. n.d. Situasi TBC di Indonesia - TBC Indonesia. [online] 2019 [cited
Sep 2021] Available from: https://tbindonesia.or.id/pustaka-tbc/informasi/tentang-
tbc/situasi-tbc-di-indonesia-2/
3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 67 Tahun 2016 Tentang
Penanggulangan Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan RI. 2016.
4. Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Robbins & cotran: pathologic basis of disease. 10th
ed. Philadelphia, PA: Elseviers/Saunders; 2020.p368-71
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta: PDPI. 2014.
6. Al Ubaidi BA. The Radiological Diagnosis of Pulmonary Tuberculosis (TB) in
Primary Care. J Fam Med Dis Prev 2018; 4:073. doi.org/10.23937/2469-
5793/1510073
7. Balachandran G. Interpretation of Chest X-ray: An Illustrated Companion. 1 st Ed. New
Delhi: Jaypee; 2014. P 12-20
8. Eisenberg L. Ronald. What Radiology Residents Need to Know: Chest Radiology. 1 st
Ed. Switzerland: Springer; 2020. P 55-61
9. Herring, W., 2016. Learning Radiology. 3rd ed. Philadelphia, Pa.: Elsevier, pp.18-22.
10. Bomanji, J., Gupta, N., Gulati, P. and Das, C., 2015. Imaging in Tuberculosis. Cold
Spring Harbor Perspectives in Medicine, 5(6), pp.a017814-a017814.
11. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tatalaksana Tuberkulosis. Jakarta; 2019.
12. American Thoracic Society. Diagnostic standards and classification of tuberculosis in
adults and children. Am J Respir Crit Care Med. 2000;161:1376-95.
13. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jakarta Pusat: InternaPublishing; 2014. p. 1705-09
14. Jameson JL, Kasper DL, Longo DL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrison’s
principles of internal medicine. 20th edition. US: McGraw-Hill Education; 2018.
15. Devi GHJ. Complications of Pulmonary Tuberculosis. Department of Respiratory
Medicine. 2013. Available from :
https://www.researchgate.net/publication/332750336_Complications_of_Pulmonary_
Tuberculosis
16. Herchline T. E. Tuberculosis [Internet]. America;2020. Available from :
https://emedicine.medscape.com/article/230802-overview#a7
17. Raina HA, et al. Pulmonary tuberculosis presenting with acute respiratory distress
syndrome (ards): a case report and literature review. Egyptian Journal of Chest
Diseases and Tuberculosis. 2013;62(4):655-9
28
18. Jilani TN, Avula A, Zafar Gondal A, et al. Active Tuberculosis. [Updated 2020 Aug
10]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513246/
29