Pembimbing :
Disusun oleh :
dr. Wida Ratna Sari
2019
LEMBAR PENGESAHAN
MINI PROJECT
Mengesahkan
Dokter Pembimbing
i
Kata Pengantar
Segala puji dan syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang sehingga dapat terselesaikannya
laporan kasus ini. Mini project ini disusun untuk memenuhi tugas Internship di Puskesmas Bereng.
Selain itu, penyusunan mini project ini juga bertujuan agar penyusun lebih memahami mengenai
Dalam penyusunan mini project ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada dr. Angga
Richardo selaku pembimbing atas arahan dan bimbingan dalam penyusunan mini project ini.
Akhir kata, penyusun menyadari bahwa mini project ini masih jauh dari sempurna, baik dari
pemikiran, pengetahuan, penyusunan bahasa, maupun sistematika. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang membaca mini project ini sangat
diharapkan guna menjadi pelajaran bagi penyusunan dalam menyusun penelitian di waktu yang
akan datang. Semoga mini projec ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
2.1.Definisi................................................................................................4
2.2.Epidemiologi.......................................................................................4
2.3.Klasifikasi............................................................................................5
2.4.Etiologi ................................................................................................7
2.5.Cara Penularan.....................................................................................8
2.6.Patogenesis...........................................................................................9
2.7.Gejala Klinis........................................................................................10
2.8.Diagnosis.............................................................................................12
2.9.Penatalaksanaan...................................................................................16
2.10. Evaluasi Hasil Pengobatan.................................................................20
2.11. Komplikasi.........................................................................................21
2.12. Prognosis............................................................................................22
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ................................................................23
BAB V PEMBAHASAN........................................................................................36
BAB VI PENUTUP..................................................................................................40
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis paru (TB) merupakan penyakit infeksi paru yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia dan
menyebabkan angka kematian yang tinggi.1 Berdasarkan laporan World Health Organization
(WHO) pada tahun 2013 terdapat 9 juta penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB.2 Pada
tahun 2014 terdapat 9,6 juta kasus TB paru di dunia, dimana 58% kasus TB berada di Asia
Tenggara dan wilayah Pasifik Barat serta 28% kasus berada Afrika. Penduduk di dunia yang
meninggal karena TB mencapai 1,5 juta pada tahun 2014. Prevalensi kasus TB di Indonesia
Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia merupakan negara pertama
diantara High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang mampu
mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006.
Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90%
dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian target global tersebut merupakan awal
Pada tahun 2016 di Provinsi Kalimantan Tengah ditemukan jumlah kasus baru tuberkulosis
sebanyak 1580 kasus, lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah penemuan kasus pada
tahun 2015 sebanyak 1.423 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di
Kotawaringin Barat sebanyak 253 kasus dan Kabupaten Kapuas dengan jumlah kasus
1
sebanyak 219 kasus. Sedangkan kabupaten yang paling sedikit jumlah kasus BTA +
Kabupaten Sukamara dan Gunung Mas dengan jumlah kasus masing-masing 41 kasus. 5
Tingginya kasus tuberkulosis paru ini dapat dipengaruhi oleh sistem imunitas tubuh,
seperti HIV, gizi buruk, kemiskinan dan kepadatan penduduk. Selain faktor-faktor tersebut,
beberapa penelitian menunjukkan bahwa diabetes melitus juga dapat meningkatkan risiko
tuberkulosis paru.6
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin melakukan penelitian untuk mengetahui
gambaran penderita tuberkulosis yang berobat di Puskesmas Bereng periode Januari 2018 –
Desember 2018.
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian
ini adalah:
tuberkulosis paru yang berobat di Puskesmas Bereng periode Januari 2018 – Desember
2018.
2
1.3.2. Tujuan Khusus
serta angka konversi BTA tahap intensif di Puskesmas Bereng periode Januari 2018
– Desember 2018.
tuberkulosis paru.
1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi penelitian bagi peneliti yang
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, 85% dari seluruh kasus TB
adalah TB paru.7
Pada tahun 2013, diperkirakan 9 juta penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB,
setara dengan 126 kasus per 100.000 populasi. Indonesia berada pada urutan kelima
tahun 2014 terdapat 9,6 juta kasus TB paru di dunia, dengan 5,4 juta kasus terjadi pada
pria, 3,2 juta kasus pada wanita dan 1 juta kasus pada anak-anak, dimana 58% kasus TB
berada di Asia Tenggara dan wilayah Pasifik Barat serta 28% kasus berada Afrika.
Penduduk di dunia yang meninggal karena TB mencapai 1,5 juta pada tahun 2014.
Prevalensi kasus TB di Indonesia pada tahun 2014 sebesar 647 per 100.000 penduduk.3
Estimasi kasus TB pada tahun 2015 di dunia mencapai 10,4 juta jiwa dengan 5,9
juta kasus terjadi pada pria, 3,5 juta kasus pada wanita dan 1 juta kasus pada anak-anak.
Angka kematian akibat TB mencapai 1,4 juta jiwa. Pada tahun 2015 ditemukan jumlah
dengan kasus tuberkulosis yang ditemukan pada tahun 2014, yaitu sebesar 324.539 kasus.
Jumlah kasus tertinggi dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang
4
besar, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Kasus tuberkulosis di tiga provinsi
Pada tahun 2016 di Provinsi Kalimantan Tengah ditemukan jumlah kasus baru
tuberkulosis sebanyak 1580 kasus, lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah
penemuan kasus pada tahun 2015 sebanyak 1.423 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang
dilaporkan terdapat di Kabupaten Kotawaringin Timur sebanyak 309 kasus, diikuti oleh
Kabupaten Kotawaringin Barat sebanyak 253 kasus dan Kabupaten Kapuas dengan
jumlah kasus sebanyak 219 kasus. Sedangkan kabupaten yang paling sedikit jumlah kasus
BTA + yang ditemukan adalah di Kabupaten Pulang Pisau sebanyak 40 kasus, kemudian
Kabupaten Sukamara dan Gunung Mas dengan jumlah kasus masing-masing 41 kasus.5
Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus TB pada tahun 2015 pada laki-laki lebih
tinggi daripada perempuan, yaitu 1,5 kali dibandingkan dengan perempuan. Menurut
kelompok usia, kasus TB paling banyak ditemukan pada kelompok usia 25-34 tahun, yaitu
sebesar 18,65% diikuti kelompok usia 45-54 tahun sebesar 17,33% dan pada kelompok
b. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan
5
c. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan
positif.
a. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan
1) Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa positif atau
negatif.
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif.
6
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
pengobatannya.
4) Kasus lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti yang
merupakan bakteri berbentuk batang aerob yang tidak membentuk spora. Bakteri ini
berbentuk batang lurus dan tipis berukuran sekitar 0,4 x 3 µm pada sediaan apus sputum
atau potongan jaringan yang terinfeksi M. tuberculosis. Bakteri ini mempunyai ciri khas
yaitu mampu menahan warnanya walaupun telah diberikan asam atau alkohol pewarnaan
sehingga disebut basil tahan asam. Sifat pertumbuhan M. tuberculosis adalah aerob
obligat.10
Sifat tahan asam ini dipengaruhi adanya suatu integritas selubung yang terbuat
dari lilin. Bakteri ini mempunyai beberapa unsur-unsur pokok seperti lipid, protein,
polisakarida yang terutama ditemukan di dinding sel. Unsur-unsur pokok tersebut dapat
memicu suatu reaksi hipersensitivitas tipe lambat karena permukaan sel tersebut mampu
7
berintaraksi dengan Toll Like Receptor (TLR) dan reseptor lainnya. Walaupun M.
tuberculosis cenderung resisten terhadap bahan kimia tetapi dapat mati dengan sinar
ultraviolet matahari.10
Penularan TB paru umumnya dapat menyebar melalui droplet nuclei di udara, yang
dikeluarkan dengan cara batuk, bersin, atau percikan ludah orang yang terinfeksi TB
paru. Droplet nuclei merupakan partikel yang sangat kecil dengan diameter 1-5 mikron
mengandung 1-5 kuman basil yang sangat infeksius. Droplet tersebut dapat terinhalasi
dan masuk ke dalam saluran pernapasan. Sekali penderita yang terinfeksi TB paru batuk
dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak, sedangkan jika penderita TB paru
bersin dapat menghasilkan jutaan percikan dahak. Setelah kuman ini masuk melalui
Penyebaran tersebut dapat melalui beberapa cara yaitu melalui pembuluh darah,
pembuluh limfe, atau dapat menyebar secara langsung pada organ tersebut.11
8
2. 6 Patogenesis Tuberkulosis Paru
Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang
mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi. TB
paru adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas diperantarai sel. Sel efektor
adalah makrofag, dan limfosit (biasanya sel T) adalah sel imunosupresif. Tipe imunitas
seperti ini biasanya lokal, melibatkan makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh
limfosit dan limfokinnya. Respon ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas selular
(lambat). Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai
suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil. Setelah berada di ruang alveolus,
biasanya di bagian bawah lobus atas paru atau di bagian atas lobus bawah, basil ini
tersebut namun tidak membunuh kuman tersebut. Sesudah hari-hari pertama, leukosit
diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi, dan timbul
pneumonia akut. Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak
ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat berjalan terus, dan bakteri terus difagosit atau
berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke
kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan inflitrasi menjadi lebih
panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang
dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari.7
Replikasi kuman yang tidak terkontrol akan membesar, kemudian pecah dan
memasuki pembuluh limfe. Membentuk suatu lesi primer paru yang disebut fokus primer
Ghon.7 Kuman Mycobacterium tuberkulosis terus berproliferasi sampai respon sel yang
9
mampu menyerang mikroba patogen (imunitas diperantarai sel) berkembang, biasanya
dua sampai enam minggu setelah infeksi. Kegagalan pejamu merespon dan memperbaiki
jaringan akan mendestruksi paru secara progresif. Beberapa sitokin seperti TNF – α dan
sel sitotoksik (granzimes dan perforin) berperan dalam pembentukan nekrosis kaseosa.
Nekrosis ini terdapat di bagian sentral lesi yang memberikan gambaran yang relatif padat
dan seperti keju. Kuman ini dapat bersifat dorman dalam tubuh. Kuman dapat teraktivasi
Gejala klinis TB paru dapat digolongkan menjadi gejala respiratori dan gejala
sistemik.9
1. Gejala respiratori
Gejala respiratori sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala cukup
a. Batuk ≥ 2 minggu
Batuk terjadi karena bronkus yang teritasi, selain itu batuk dibutuhkan untuk
mengeluarkan produk-produk asing atau radang. Sifat batuk yang timbul dimulai
dari batuk kering (batuk non-produktif) kemudian menjadi batuk berdahak (batuk
produktif).
b. Batuk berdarah
Pada keadaan lanjut iritasi pada mukosa bronkus semakin dalam dan luas sehingga
timbul gejala batuk berdarah. Selain itu juga proses inflamasi yang terjadi
10
membuat pembuluh darah menjadi rapuh sehingga mudah pecah dan timbul batuk
berdarah.
c. Sesak napas
Seiring dengan berkembangnya lesi pada penyakit lanjut akan mengurangi daya
kembang paru sehingga penderita merasa sesak napas. Namun biasanya pada awal
d. Nyeri dada
Nyeri dada dapat timbul ketika infiltrasi sudah meluas sampai ke pleura. Pada saat
mengembang dan mengempiskan paru saat bernapas terjadi gesekan antara pleura
pars visceral dan pleura pars parietal sehingga timbul nyeri dada.
a. Demam
Sifat demam yang timbul adalah demam subfebris namun terkadang dapat timbul
demam febris sampai dengan 40ºC. Demam bersifat hilang timbul bergantung
b. Malaise
Malaise yang sering ditemukan berupa anoreksia dan penurunan berat badan
c. Mialgia
Nyeri otot dapat timbul yang merupakan suatu gejala tidak khas akibat suatu
infeksi.
d. Keringat Malam
11
2. 8 Diagnosis Tuberkulosis Paru
pemeriksaan fisik, kelainan yang dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada TB
paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Kelainan paru pada
umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior,
serta daerah apeks lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan suara napas
bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru,
sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Pemeriksaan sputum atau dahak merupakan
gold diagnosis dari TB pada orang dewasa yakni ditemukannya kuman BTA. Bahan yang
diperlukan untuk pemeriksaan ini selain sputum adalah cairan pleura, Liquor
Cerebrospinal Fluid (LCS), bilasan bronkus, bilasan lambung, cairan sendi, urin, feses
dan biopsi jaringan yang diperkirakan terinfeksi. Cara pengambilan spesimen yang
Skala IUATLD:
b. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan.
12
c. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang, disebut + (+2).
infeksinya. Hal tersebut dapat terjadi karena pada saat penderita batuk atau bersin mereka
berwarna krem atau kekuningan, seperti kutil dan bentuknya seperti kembang kol.7,9
Pemeriksaan darah rutin dapat menunjukan hasil peningakatan LED dan leukosit.
Pemeriksaan lain seperti uji tuberkulin, hasil yang positif dapat menunjukkan ada infeksi
sebagai alat bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan
mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositivan dari uji yang
didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan
hasil negatif.9
mendiagnosis TB adalah foto toraks. Kelainan foto toraks biasanya baru terlihat setelah
10 minggu terinfeksi kuman TB. Lesi di paru sudah tampak pada foto toraks, bila
penderita sudah terinfeksi kuman TB sebanyak 10 mg kuman. Pada pasien dengan sputum
13
BTA (+), foto toraks berperan dalam menilai luas lesi serta komplikasi. TB paru BTA
(-) ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan temuan foto toraks yang sesuai dengan TB.
1. Bayangan berawan atau nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau
nodular.
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan (terutama
1. Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas
tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrosternal junction dari iga
kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra
14
Gambar 2.2 Skema alur diagnosis TB paru pada orang dewasa9
pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis, baik overdiagnosis maupun
underdiagnosis. Pada anak, batuk bukan merupakan gejala utama. Diagnosis pasti TB
bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura, atau pada biopsi jaringan.
15
Kesulitan menegakkan diagnosis pasti pada anak disebabkan oleh 2 hal, yaitu
16
4. Mengurangi penularan TB
bentuk kombinasi dari beberapa obat sesuai dengan kategori pengobatan. Pemberian obat
OAT secara tunggal tidak diperbolehkan. Pemberian OAT diberikan dalam 2 tahap yaitu
tahap intensif yang berlangsung selama 2 – 3 bulan dan dilanjutkan dengan tahap lanjutan
selama 4 – 6 bulan.9,14
Adalah Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z), Ethambutol (E) dan
Streptomisin (S).
OAT lini kedua hanya digunakan untuk kasus resisten obat, terutama TB
Tabel 2.1 Jenis, Sifat dan Dosis OAT Lini Pertama Bagi Pasien Dewasa
direkomendasikan (mg/kg)
17
Streptomisin (S) Bakterisid 15 (12-18)
Panduan OAT lini pertama yang digunakan di Indonesia adalah sebagai berikut.9
1. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)
2. Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal
18
trombositopenia, demam, skin rash, sesak
trombositopeni
perifer
Selain pengobatan pada pasien, salah satu komponen DOTS adalah pengobatan
paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan
- Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan
maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
dengan pasien
19
3. Kategori Anak (2RHZ/4RH)9
Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam
waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun
tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.
- Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatan nya secara lengkap dan pemeriksaan apusan
ulang dahak (Follow –Up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan follow-
up sebelumnya.
- Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak
- Meninggal
Adalah penderita yang dalam masa pengobatan diketahui meninggal karena sebab
apapun.
- Pindah
20
Adalah pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan pelaporan (register) lain dan hasil
Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum
- Gagal
Pasien BTA positif yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
a. Paru
- Pneumothoraks
- Bronkiektasis
- Abses paru
- TB kulit
- Meningitis TB
- Spondilitis
- TB ginjal
- Peritonitis TB
- Linfadenitis TB
21
2. 12 Prognosis Tuberkulosis Paru15
kekambuhan setelah pengobatan yang tepat mungkin disebabkan oleh infeksi ulang dan
bukan kambuh.
immunocompromised, usia yang lebih tua, dan riwayat pengobatan sebelumnya. Dalam
22
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Bereng dengan mengambil data rekam medik
pasien tuberkulosis paru yang berobat pada periode Januari 2018 – Desember 2018.
Pengambilan data rekam medik dilakukan mulai bulan April 2019 sampai dengan bulan
Mei 2019.
Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah
semua pasien yang didiagnosis penyakit tuberkulosis paru di Puskesmas Bereng periode
Sampel adalah bagian dari populasi yang akan diambil. Sampel dalam penelitian ini
adalah semua pasien yang didiagnosis penyakit tuberkulosis paru di Puskesmas Bereng
periode Januari 2018 – Desember 2018. Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan
23
sampel consecutive sampling, yaitu semua subyek yang sesuai dengan kriteria inklusi dan
Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan data sekunder, yaitu data
rekam medik pasien yang menderita tuberkulosis paru di Puskesmas Bereng periode
1. Perumusan masalah
24
5. Mengumpulkan data rekam medik pasien di Puskesmas Bereng
1. Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis.
2. Jenis kelamin adalah jenis yang membedakan pasien atas laki-laki dan perempuan.
3. Usia adalah masa hidup pasien yang dihitung sejak ia lahir sampai ia terdaftar sebagai
pasien di Puskesmas Bereng periode Januari 2018 – Desember 2018. Rentang usia pasien
25
4. Hasil pemeriksaan BTA sputum adalah pemeriksaan terhadap sputum pada penderita
tuberkulosis paru dengan menggunakan teknik Ziehl Neelsen, yang dibagi menjadi :
a. Positif
b. Negatif
5. Tipe penderita
a. Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah mendapatkan pengobatan dengan OAT atau
pengobatannya.
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau
26
e. Kasus gagal
pengobatan.
6. Kategori Pengobatan
- Kategori I : adalah pengobatan yang diberikan bagi penderita baru tuberculosis paru
BTA (+, BTA (-)/ rontgen (+) yang sakit berat dan extra paru berat.
- Kategori II: adalah pengobatan yang diberikan bagi penderita kambuh, gagal dan
- Kategori Anak
7. Hasil Pengobatan
- Sembuh
Pasien telah menyelesaikan pengobatan nya secara lengkap dan pemeriksaan apusan
ulang dahak (Follow –Up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan follow-
up sebelumnya
- Pengobatan Lengkap
Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak
27
- Meninggal
Adalah penderita yang dalam masa pengobatan diketahui meninggal karena sebab
apapun.
- Pindah
Adalah pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan pelaporan (register) lain dan hasil
Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum
- Gagal
Pasien BTA positif yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
penderita tuberkulosis paru dari BTA(+) menjadi (-) 1 minggu sebelum selesai tahap
1. Ada konversi
2. Tidak konversi
penelitian. Instrumen dalam penelitian ini adalah data rekam medik pasien yang menderita
28
tuberkulosis paru di Puskesmas Bereng periode Januari 2018 – Desember 2018.
1. Editing
2. Coding
data.
29
3. Entry
untuk diolah.
4. Cleaning
Data diolah dan disajikan dalam bentuk tabel dan uraian secara deskriptif.
30
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1. Hasil
4.1.1 Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Jenis Kelamin di Puskesmas Bereng Periode
periode Januari 2018 – Desember 2018 paling banyak memiliki jenis kelamin laki-
laki daripada perempuan. Jumlah pasien laki-laki 10 orang (91%) dan jumlah pasien
31
Tabel 4.2 memperlihatkan bahwa pasien TB paru di Puskesmas Bereng periode
Januari 2018 – Desember 2018 paling banyak ditemukan pada kelompok usia 26 – 45
sebanyak 3 orang (27,3%), kelompok usia 0-5 tahun sebanyak 1 orang (9,1 %),
kelompok 5 – 11 tahun sebanyak 1 orang (9,1 %), kelompok usia 12-25 tahun sebanyak
4.1.3 Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Hasil BTA di Puskesmas Bereng Periode
periode Januari 2018 – Desember 2018 yang diperiksa BTA, paling banyak pada
kelompok BTA Positif (+) sebanyak 5 orang (55,5 %) dan kelompok BTA Negatif
sebanyak 4 orang (44,5%). Jumlah pasien TB paru yang diperiksa sebanyak 9 orang
dari total 11 pasien TB Paru, dikarenakan dua orang pasien TB paru yang tidak
32
4.1.4 Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Tipe Penderita di Puskesmas Bereng Periode
periode Januari 2018 – Desember 2018, paling banyak pada kelompok tipe baru
sebanyak 10 orang (91%) dan paling sedikit pada kelompok penderita tipe kambuh
yaitu sebanyak 1 orang (9,1%). Pada periode Januari 2018 – Desember 2018 di
Puskesmas Bereng tidak ditemukan tipe penderita Putus berobat, gagal dan pindah.
Bereng periode Januari 2018 – Desember 2018 paling banyak pada kelompok
33
pengobatan Kategori I sebanyak 8 orang (73%) kemudian pada pengobatan Kategori
Puskesmas Bereng periode Januari 2018 – Desember 2018 paling banyak pada
kelompok hasil pengobatan lengkap sebanyak 5 orang (45,4%), lalu diikuti kelompok
hasil pengobatan sembuh sebanyak 4 orang (36,4%), dan paling sedikit pada kelompok
34
4.1.7 Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Konversi Sputum Tahap Intensif di
Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi TB Paru Berdasarkan Konversi Sputum Tahap Intensif
Januari 2018 – Desember 2018 yang diperiksa BTA Positif (+) sebelum pengobatan,
semuanya mengalami konversi menjadi BTA Negatif (-) pada akhir pengobatan tahap
orang, namun yang memiliki hasil BTA Positif (+) sebelum pengobatan adalah
sebanyak 6 orang.
35
BAB V
PEMBAHASAN
Pada penelitian gambaran penderita TB paru ini dilakukan terhadap 11 pasien yang
didiagnosis TB Paru di Puskesmas Bereng pada periode Januari 2018 – Desember 2018 yang
memenuhi kriteria inklusi penelitian. Jumlah keseluruhan jumlah pasien TB paru yang
sebenarnya adalah berjumlah 12 orang, namun 1 orang tidak memenuhi kriteria inklusi
Berdasarkan data demografi menurut jenis kelamin dari 11 pasien yang menderita
TB paru, ditemukan jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki sebanyak 10 orang (91%) dan
paling sedikit pada kelompok jenis kelamin perempuan sebanyak 1 orang (9%). Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan Ketut (2013) di NTB dimana proporsi penderita TB
paling tinggi pada jenis kelamin laki-laki sebanyak 136 orang (74,8%) dari total 182
penderita. 13 Penelitian oleh Brogdroff di 14 negara juga menemukan hal yang sama dimana
Penelitian yang dilakukan oleh Jamayanti (2014) di Banda Aceh menemukan bahwa jenis
kelamin laki-laki menjadi kelompok paling banyak dibanding perempuan yaitu sebesar
68%. Kemungkinan mengapa laki-laki lebih banyak disbanding perempuan adalah karena
perilaku kebiasaan merokok pada laki-laki. Merokok dapat menyebabkan peningkatan risiko
Berdasarkan hasil penelitian ini, umur pasien yang paling banyak terkena TB
berada pada rentang usia Dewasa yaitu 26 - 45 tahun sebanyak 5 orang (45,4 %) dan
terbanyak kedua pada rentang umur 46 - 65 tahun sebanyak 3 orang (27,3%). Hal ini sesuai
36
dengan penelitian yang dilakukan oleh Laily (2015) di Manado, dimana didapatkan pasien
TB terbanyak pada kategori umur 26-45 tahun sebanyak 39,8% dan urutan kedua pada
kategori umur 46 - 65 tahun yaitu sebanyak 37,2%.16 Hal ini juga sesuai dengan penelitian
Panjaitan (2012) di Pontianak dimana kelompok tersering pasien TB adalah usia produktif
18-29 tahun. TB banyak terjadi pada usia dewasa dimungkinkan oleh dua penyebab. Pertama
orang dewasa tersebut pernah terinfeksi TB primer dilingkungannya pada waktu kecil akan
tetapi tidak dilakukan preventif dengan baik sehingga muncul pada saat dewasa.
Kemungkinan yang kedua, adanya aktifitas dan lingkungan pekerjaan pada kelompok orang
dewasa yang berinteraksi dengan penderita TB atau lingkungan yang memudahkan tertular
TB.17
Berdasarkan pada hasil pemeriksaan BTA sputum, dari total 11 penderita, ada 2
orang yang tidak diperiksakan BTA dikarenakan pasien adalah pasien anak dan balita,
sehingga dari 11 pasien ada total 9 pasien yang diperiksakan BTA. Dari hasil penelitian ini
didapatkan penderita dengan BTA sputum (+) lebih banyak dibanding BTA sputum (-).
Dimana BTA sputum (+) ada 5 penderita (55,5%) sedangkan BTA (-) sebanyak 4 penderita
(44,5 %). Meskipun berbeda, namun jumlah kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan
yang terlalu jauh. Jumlah presentase ini lebih rendah dibandingkan penelitian yang dilakukan
oleh Sihotang (2012) di Manado, dimana didapatkan pendrita dengan BTA (+) sebanyak 54
Januari – Desember 2018 kebanyakan merupakan kasus baru yaitu sebanyak 10 penderita
(91%), sedangkan kasus kambuh sebanyak 1 penderita (9%). Hasil penelitian ini serupa
dengan yang ditemukan oleh Nofriyanda di Padang tahun 2008 dimana penderita
37
Tuberkulosis Paru yang berobat ke tempat tersebut paling banyak adalah kasus baru sebesar
93,80%. 19
Periode Januari – Desember 2018 paling banyak adalah kasus baru, maka untuk kategori
pengobatan yang paling banyak diberikan pada penderita adalah Kategori I yaitu sebanyak
8 orang (73%), dimana kategori I merupakan kategori pengobatan untuk pasien baru.
Sementara kategori pengobatan lain yang diberikan adalah kategori anak yaitu sebanyak 2
orang (18%) dan kategori II sebanyak 1 orang (9%). Kategori II merupakan pilihan
pengobatan pada pasien yang kambuh, gagal dan putus obat. Dalam penelitian ini, ditemukan
pasien kambuh sebanyak 1 orang (9%) sehingga mendapatkan pengobatan kategori II.
Puskesmas bereng adalah lengkap sebanyak 5 orang (45,4%), kemudian terbanyak kedua
adalah sembuh sebanyak 4 orang (36,4%). Untuk penderita dengan hasil pemeriksaan BTA
negatif pada akhir pengobatannya dinyatakan sembuh. Pada penelitian ini hanya didapatkan
6 orang yang memiliki BTA (+) sebelum pengobatan, dimana 5 orang dinyatakan sembuh
dan 1 meninggal. Untuk pengobatan lengkap adalah penderita yang dari awal pengobatan
memiliki BTA (-) namun selalu teratur minum obat hingga akhir pengobatan, sehingga tidak
ada indikator sembuh dikarenakan dari awal memiliki BTA (-).Tingginya hasil pengobatan
yang lengkap dan sembuh menunjukkan besarnya kesadaran dan keinginan penderita di
Puskesmas Bereng untuk sembuh, selain itu didukung juga oleh kepatuhan penderita
tuberkulosis dalam menjalani pengobatan dan peran serta dari pengawas minum obat (PMO).
Selain itu terdapat 2 orang yang meninggal pada masa pengobatan dikarenakan keduanya
38
Berdasarkan hasil penelitian ini, didapatkan data angka konversi BTA tahap
intensif sebanyak 6 orang (100%). Tingginya konversi sputum ini berhubungan erat dengan
kepatuhan penderita menelan obat secara teratur. Hal ini menunjukkan bahwa angka
konversi BTA di Puskesmas Bereng periode Januari – Desember 2018 sudah memenuhi
39
BAB VI
PENUTUP
5.1.Kesimpulan
Bereng periode Januari 2018 – Desember 2018, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
didominasi oleh jenis kelamin laki-laki sebesar 91%, paling banyak pada kelompok
2. Penderita TB Paru dengan BTA Sputum (+) lebih banyak dibandingkan dengan
3. Proporsi penderita berdasarkan tipe penderita terbanyak adalah kasus baru, begitu juga
4. Secara umum hasil pengobatan penderita TB paru adalah lengkap, lalu diikuti oleh
sembuh.
5. Semua penderita TB paru dengan BTA (+) mengalami konversi BTA tahap intensif
5.2. Saran
40
2. Bagi Dinas Kesehatan diaharapkan meningkatkan pengawasan pelaksanaan program
terus meningkat serta peningkatan ketelitian dalam mencatat setiap kunjungan dan
pemeriksaan pasien, mengingat masih ada data pengobatan penderita yang tidak
lengkap. Serta perlunya diadakan penyuluhan kepada penderita dan keluarga mengenai
penyakit dan pengobatan TB paru mengingat masih ada 2 penderita yang meninggal
4. Kepada masyarakat diharapkan untuk turut serta berperan aktif dalam upaya
tetap sehat dan segera berobat jika terdapat gejala penyakit TB paru.
41
Daftar Pustaka
1. Cahyadi A, Venty. Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Melitus. J Indon Med Assoc.
2011;61(4):173-8.
4. Kementerian Kesehatan R.I. 2011. Terobosan Menuju Akses Universal Strategi Nasional
Pengendalian TB 2010-2014, Jakarta.
5. Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah. 2017. Profil Kesehatan 2016 Kalimantan
Tengah. Palangkaraya.
6. Wulandari DR, Sugiri YJ. Diabetes Melitus dan Permasalahannya pada Infeksi Tuberkulosis. J
Respir Indo. 2013;33(2):126-32.
7. Price SA, Standridge MP. Tuberkulosis Paru. Dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed 6. Jakarta: EGC, 2014:852-4.
8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2015. 2015.
9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011.
10. Jawetz, Melnick, Adelberg. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 25. Adityaputri A, Salim C, Sandra
F, Iskandar M, Nalurita, Ayuningtyas P, et al, editor. Jakarta: EGC. 2014:302-4.
11. CDC. Transmission and Pathogenesis of Tuberculosis. Diakses dari
https://www.cdc.gov/tb/education/corecurr/pdf/chapter2.pdf 20 April 2019.
12. Wani RLS. Tuberculosis 2: Pathophysiology and microbiology pulmonary tuberculosis. South
Sudan Medical Journal. Diakses dari
http://www.southsudanmedicaljournal.com/archive/february-2013/tuberculosis -2-
pathophysiology-and-microbiology-of-pulmonary-tuberculosis.html 29 Oktober 2016.
13. Ketut, Ni Lisa S. 2013. Faktor Risiko Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru di Puskesmas
Karang Taliwang Kota Mataram Provinsi NTB tahun 2013. Tesis Program Pascasarjana
Universitas Udayana.
14. Borgdroff MW, Nagelkerke N, Dye C, Nunn P. Gender and Tuberculosis : A Comparison of
Prevalence Surveys with Notification data to Explore Sex Differences in Case detection. Int
Tuberc Lung Dis 2000; 4 (2): 123-32.
15. Jamayanti, Lia. 2014. Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru di Poliklinik Paru Rumah Sakit
Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Periode Januari 2014 – Mei 2014. Electronic
Theses and Disertations Unsyiah.
16. Laily, D. W, Rombot, D., Lampus, B. 2015. Karakteristik Pasien Tuberkulosis Paru di
Puskesmas Tuminting Manado, Jurnal Kedokteran Komunitas Tropis, 3 (1): 1-5.
17. Panjaitan, Fredy. 2012. Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru Dewasa Rawat Inap Di
Rumah Sakit Umum Dr. Soedarso Pontianak Periode September – November 2010. Naskah
Publikasi FKIK Universitas Tanjungpura.
42
18. Sihotang, RH, Lampus, B., Pandelaki, AJ. 2013. Gambaran Penderita Tuberkulosis Paru yang
Berobat Menggunakan DOTS di Puskesmas Bahu Malalayang I Periode Januari – Desember
2012. Jurnal Kedokteran Komunitas Tropis, 1 (1): 68-71.
19. Nofriyanda. 2010. Gambaran Hasil pengobatan Penderita TB Paru di Poliklinik Paru RS DR.M.
Djamil Padang Periode 1 Januari 2007 – 31 Desember 2008. UNAND.
20. Depkes RI. 2008. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis Nasional. Jakarta : Depkes.
43