Anda di halaman 1dari 47

MINI PROJECT

Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Bereng

Periode Januari – Desember 2018

Pembimbing :

dr. Angga Richardo

Disusun oleh :
dr. Wida Ratna Sari

PROGRAM DOKTER INTERNSHIP

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

2019
LEMBAR PENGESAHAN

MINI PROJECT

Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Bereng

Periode Januari – Desember 2018

Mengesahkan

Dokter Pembimbing

dr. Angga Richardo

i
Kata Pengantar

Segala puji dan syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang sehingga dapat terselesaikannya

laporan kasus ini. Mini project ini disusun untuk memenuhi tugas Internship di Puskesmas Bereng.

Selain itu, penyusunan mini project ini juga bertujuan agar penyusun lebih memahami mengenai

tentang penyakit karakteristik penderita tuberkulosis paru di Puskesmas Bereng.

Dalam penyusunan mini project ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada dr. Angga

Richardo selaku pembimbing atas arahan dan bimbingan dalam penyusunan mini project ini.

Akhir kata, penyusun menyadari bahwa mini project ini masih jauh dari sempurna, baik dari

pemikiran, pengetahuan, penyusunan bahasa, maupun sistematika. Oleh karena itu, kritik dan

saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang membaca mini project ini sangat

diharapkan guna menjadi pelajaran bagi penyusunan dalam menyusun penelitian di waktu yang

akan datang. Semoga mini projec ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya.

Bereng, Mei 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan ............................................................................................... i

Kata Pengantar .......................................................................................................... ii

Daftar Isi ................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................4

2.1.Definisi................................................................................................4
2.2.Epidemiologi.......................................................................................4
2.3.Klasifikasi............................................................................................5
2.4.Etiologi ................................................................................................7
2.5.Cara Penularan.....................................................................................8
2.6.Patogenesis...........................................................................................9
2.7.Gejala Klinis........................................................................................10
2.8.Diagnosis.............................................................................................12
2.9.Penatalaksanaan...................................................................................16
2.10. Evaluasi Hasil Pengobatan.................................................................20
2.11. Komplikasi.........................................................................................21
2.12. Prognosis............................................................................................22
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ................................................................23

BAB IV HASIL PENELITIAN .............................................................................. 31

BAB V PEMBAHASAN........................................................................................36

BAB VI PENUTUP..................................................................................................40

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................42

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis paru (TB) merupakan penyakit infeksi paru yang disebabkan oleh kuman

Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menjadi masalah kesehatan di seluruh dunia dan

menyebabkan angka kematian yang tinggi.1 Berdasarkan laporan World Health Organization

(WHO) pada tahun 2013 terdapat 9 juta penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB.2 Pada

tahun 2014 terdapat 9,6 juta kasus TB paru di dunia, dimana 58% kasus TB berada di Asia

Tenggara dan wilayah Pasifik Barat serta 28% kasus berada Afrika. Penduduk di dunia yang

meninggal karena TB mencapai 1,5 juta pada tahun 2014. Prevalensi kasus TB di Indonesia

pada tahun 2014 sebesar 647 per 100.000 penduduk.3

Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia merupakan negara pertama

diantara High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang mampu

mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006.

Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90%

dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian target global tersebut merupakan awal

pencapaian program pengendalian TB nasional yang utama (Kemenkes RI, 2011).4

Pada tahun 2016 di Provinsi Kalimantan Tengah ditemukan jumlah kasus baru tuberkulosis

sebanyak 1580 kasus, lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah penemuan kasus pada

tahun 2015 sebanyak 1.423 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di

Kabupaten Kotawaringin Timur sebanyak 309 kasus, diikuti oleh Kabupaten

Kotawaringin Barat sebanyak 253 kasus dan Kabupaten Kapuas dengan jumlah kasus

1
sebanyak 219 kasus. Sedangkan kabupaten yang paling sedikit jumlah kasus BTA +

yang ditemukan adalah di Kabupaten Pulang Pisau sebanyak 40 kasus, kemudian

Kabupaten Sukamara dan Gunung Mas dengan jumlah kasus masing-masing 41 kasus. 5

Tingginya kasus tuberkulosis paru ini dapat dipengaruhi oleh sistem imunitas tubuh,

seperti HIV, gizi buruk, kemiskinan dan kepadatan penduduk. Selain faktor-faktor tersebut,

beberapa penelitian menunjukkan bahwa diabetes melitus juga dapat meningkatkan risiko

tuberkulosis paru.6

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin melakukan penelitian untuk mengetahui

gambaran penderita tuberkulosis yang berobat di Puskesmas Bereng periode Januari 2018 –

Desember 2018.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian

ini adalah:

1. Bagaimanakah karakteristik penderita tuberkulosis paru yang berobat di Puskesmas

Bereng periode Januari 2018 – Desember 2018?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik penderita

tuberkulosis paru yang berobat di Puskesmas Bereng periode Januari 2018 – Desember

2018.

2
1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui data demografi (jenis kelamin, usia) pasien tuberkulosis paru di

Puskesmas Bereng periode Januari 2018 – Desember 2018.

2. Mengetahui tipe penderita tuberkulosis paru yang mendapat pengobatan, mengetahui

gambaran hasil pengobatan, angka kesembuhan pada penderita tuberkulosis paru

serta angka konversi BTA tahap intensif di Puskesmas Bereng periode Januari 2018

– Desember 2018.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Masyarakat

Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat,

khususnya penderita tuberkulosis paru, agar mempunyai pengetahuan baru tentang

tuberkulosis paru.

1.4.2 Bagi Institusi

1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi penelitian bagi peneliti yang

akan meneliti selanjutnya.

2. Dapat memberikan informasi mengenai karakteristik penderita tuberkulosis paru di

Puskesmas Bereng, Kalimantan Tengah.

1.4.3 Bagi peneliti

Menambah pengetahuan peneliti mengenai karakteristik penderita tuberkulosis paru.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Definisi Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, 85% dari seluruh kasus TB

adalah TB paru.7

2. 2 Epidemiologi Tuberkulosis Paru

Pada tahun 2013, diperkirakan 9 juta penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB,

setara dengan 126 kasus per 100.000 populasi. Indonesia berada pada urutan kelima

negara dengan beban TB tertinggi di dunia mencapai 410.000−520.000 kasus.2 Pada

tahun 2014 terdapat 9,6 juta kasus TB paru di dunia, dengan 5,4 juta kasus terjadi pada

pria, 3,2 juta kasus pada wanita dan 1 juta kasus pada anak-anak, dimana 58% kasus TB

berada di Asia Tenggara dan wilayah Pasifik Barat serta 28% kasus berada Afrika.

Penduduk di dunia yang meninggal karena TB mencapai 1,5 juta pada tahun 2014.

Prevalensi kasus TB di Indonesia pada tahun 2014 sebesar 647 per 100.000 penduduk.3

Estimasi kasus TB pada tahun 2015 di dunia mencapai 10,4 juta jiwa dengan 5,9

juta kasus terjadi pada pria, 3,5 juta kasus pada wanita dan 1 juta kasus pada anak-anak.

Angka kematian akibat TB mencapai 1,4 juta jiwa. Pada tahun 2015 ditemukan jumlah

kasus tuberkulosis di Indonesia sebanyak 330.910 kasus, meningkat bila dibandingkan

dengan kasus tuberkulosis yang ditemukan pada tahun 2014, yaitu sebesar 324.539 kasus.

Jumlah kasus tertinggi dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang

4
besar, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Kasus tuberkulosis di tiga provinsi

tersebut sebesar 38% dari jumlah seluruh kasus baru di Indonesia.8

Pada tahun 2016 di Provinsi Kalimantan Tengah ditemukan jumlah kasus baru

tuberkulosis sebanyak 1580 kasus, lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah

penemuan kasus pada tahun 2015 sebanyak 1.423 kasus. Jumlah kasus tertinggi yang

dilaporkan terdapat di Kabupaten Kotawaringin Timur sebanyak 309 kasus, diikuti oleh

Kabupaten Kotawaringin Barat sebanyak 253 kasus dan Kabupaten Kapuas dengan

jumlah kasus sebanyak 219 kasus. Sedangkan kabupaten yang paling sedikit jumlah kasus

BTA + yang ditemukan adalah di Kabupaten Pulang Pisau sebanyak 40 kasus, kemudian

Kabupaten Sukamara dan Gunung Mas dengan jumlah kasus masing-masing 41 kasus.5

Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus TB pada tahun 2015 pada laki-laki lebih

tinggi daripada perempuan, yaitu 1,5 kali dibandingkan dengan perempuan. Menurut

kelompok usia, kasus TB paling banyak ditemukan pada kelompok usia 25-34 tahun, yaitu

sebesar 18,65% diikuti kelompok usia 45-54 tahun sebesar 17,33% dan pada kelompok

usia 35-44 tahun sebesar 17,18%.8

2. 3 Klasifikasi Tuberkulosis Paru

Berdasarkan hasil pemeriksaan sputum, TB paru dapat dikategorikan menjadi 9 :

1. Tuberkulosis Paru BTA positif

a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan BTA positif.

b. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan

radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

5
c. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan

positif.

2. Tuberkulosis Paru BTA negatif

a. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan

kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif.

b. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan

menunjukkan tuberkulosis positif.

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa

tipe pasien, yaitu:

1) Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan

OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Pemeriksaan BTA bisa positif atau

negatif.

2) Kasus yang sebelumnya diobati

- Kasus kambuh (Relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan

tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis

kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

- Kasus setelah putus berobat (Default )

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan

BTA positif.

- Kasus setelah gagal (Failure)

6
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali

menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

3) Kasus Pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan keregister lain untuk melanjutkan

pengobatannya.

4) Kasus lain:

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti yang

• tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya,

• pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya,

• kembali diobati dengan BTA negative.

2. 4 Etiologi Tuberkulosis Paru

Etiologi tuberkulosis paru adalah Mycobacterium tuberculosis. Mikobakteri

merupakan bakteri berbentuk batang aerob yang tidak membentuk spora. Bakteri ini

berbentuk batang lurus dan tipis berukuran sekitar 0,4 x 3 µm pada sediaan apus sputum

atau potongan jaringan yang terinfeksi M. tuberculosis. Bakteri ini mempunyai ciri khas

yaitu mampu menahan warnanya walaupun telah diberikan asam atau alkohol pewarnaan

sehingga disebut basil tahan asam. Sifat pertumbuhan M. tuberculosis adalah aerob

obligat.10

Sifat tahan asam ini dipengaruhi adanya suatu integritas selubung yang terbuat

dari lilin. Bakteri ini mempunyai beberapa unsur-unsur pokok seperti lipid, protein,

polisakarida yang terutama ditemukan di dinding sel. Unsur-unsur pokok tersebut dapat

memicu suatu reaksi hipersensitivitas tipe lambat karena permukaan sel tersebut mampu

7
berintaraksi dengan Toll Like Receptor (TLR) dan reseptor lainnya. Walaupun M.

tuberculosis cenderung resisten terhadap bahan kimia tetapi dapat mati dengan sinar

ultraviolet matahari.10

2. 5 Cara Penularan Tuberkulosis Paru

Penularan TB paru umumnya dapat menyebar melalui droplet nuclei di udara, yang

dikeluarkan dengan cara batuk, bersin, atau percikan ludah orang yang terinfeksi TB

paru. Droplet nuclei merupakan partikel yang sangat kecil dengan diameter 1-5 mikron

mengandung 1-5 kuman basil yang sangat infeksius. Droplet tersebut dapat terinhalasi

dan masuk ke dalam saluran pernapasan. Sekali penderita yang terinfeksi TB paru batuk

dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak, sedangkan jika penderita TB paru

bersin dapat menghasilkan jutaan percikan dahak. Setelah kuman ini masuk melalui

saluran pernapasan selanjutnya kuman tersebut akan menyebar ke beberapa organ.

Penyebaran tersebut dapat melalui beberapa cara yaitu melalui pembuluh darah,

pembuluh limfe, atau dapat menyebar secara langsung pada organ tersebut.11

Gambar 2.1 Cara Penularan Tuberkulosis Paru

8
2. 6 Patogenesis Tuberkulosis Paru

Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui inhalasi droplet yang

mengandung kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi. TB

paru adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas diperantarai sel. Sel efektor

adalah makrofag, dan limfosit (biasanya sel T) adalah sel imunosupresif. Tipe imunitas

seperti ini biasanya lokal, melibatkan makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh

limfosit dan limfokinnya. Respon ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas selular

(lambat). Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai

suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil. Setelah berada di ruang alveolus,

biasanya di bagian bawah lobus atas paru atau di bagian atas lobus bawah, basil ini

membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat

tersebut namun tidak membunuh kuman tersebut. Sesudah hari-hari pertama, leukosit

diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi, dan timbul

pneumonia akut. Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak

ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat berjalan terus, dan bakteri terus difagosit atau

berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke

kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan inflitrasi menjadi lebih

panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang

dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari.7

Replikasi kuman yang tidak terkontrol akan membesar, kemudian pecah dan

memasuki pembuluh limfe. Membentuk suatu lesi primer paru yang disebut fokus primer

Ghon.7 Kuman Mycobacterium tuberkulosis terus berproliferasi sampai respon sel yang

9
mampu menyerang mikroba patogen (imunitas diperantarai sel) berkembang, biasanya

dua sampai enam minggu setelah infeksi. Kegagalan pejamu merespon dan memperbaiki

jaringan akan mendestruksi paru secara progresif. Beberapa sitokin seperti TNF – α dan

sel sitotoksik (granzimes dan perforin) berperan dalam pembentukan nekrosis kaseosa.

Nekrosis ini terdapat di bagian sentral lesi yang memberikan gambaran yang relatif padat

dan seperti keju. Kuman ini dapat bersifat dorman dalam tubuh. Kuman dapat teraktivasi

pada sekitar 5-10% penderita.12

2. 7 Gejala Klinis Tuberkulosis Paru

Gejala klinis TB paru dapat digolongkan menjadi gejala respiratori dan gejala

sistemik.9

1. Gejala respiratori

Gejala respiratori sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala cukup

berat tergantung dari luas lesi. Gejala respiratori terdiri atas:

a. Batuk ≥ 2 minggu

Batuk terjadi karena bronkus yang teritasi, selain itu batuk dibutuhkan untuk

mengeluarkan produk-produk asing atau radang. Sifat batuk yang timbul dimulai

dari batuk kering (batuk non-produktif) kemudian menjadi batuk berdahak (batuk

produktif).

b. Batuk berdarah

Pada keadaan lanjut iritasi pada mukosa bronkus semakin dalam dan luas sehingga

timbul gejala batuk berdarah. Selain itu juga proses inflamasi yang terjadi

10
membuat pembuluh darah menjadi rapuh sehingga mudah pecah dan timbul batuk

berdarah.

c. Sesak napas

Seiring dengan berkembangnya lesi pada penyakit lanjut akan mengurangi daya

kembang paru sehingga penderita merasa sesak napas. Namun biasanya pada awal

infeksi belum timbul sesak napas.

d. Nyeri dada

Nyeri dada dapat timbul ketika infiltrasi sudah meluas sampai ke pleura. Pada saat

mengembang dan mengempiskan paru saat bernapas terjadi gesekan antara pleura

pars visceral dan pleura pars parietal sehingga timbul nyeri dada.

2. Gejala sistemik terdiri atas:

a. Demam

Sifat demam yang timbul adalah demam subfebris namun terkadang dapat timbul

demam febris sampai dengan 40ºC. Demam bersifat hilang timbul bergantung

imunitas pejamu dan berat ringannya infeksi.

b. Malaise

Malaise yang sering ditemukan berupa anoreksia dan penurunan berat badan

c. Mialgia

Nyeri otot dapat timbul yang merupakan suatu gejala tidak khas akibat suatu

infeksi.

d. Keringat Malam

11
2. 8 Diagnosis Tuberkulosis Paru

Diagnosis TB paru dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik,

dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan bakteriologi dan radiologi. Pada

pemeriksaan fisik, kelainan yang dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada TB

paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Kelainan paru pada

umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior,

serta daerah apeks lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan suara napas

bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru,

diafragma dan mediastinum.9

Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman TB mempunyai arti yang

sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Pemeriksaan sputum atau dahak merupakan

gold diagnosis dari TB pada orang dewasa yakni ditemukannya kuman BTA. Bahan yang

diperlukan untuk pemeriksaan ini selain sputum adalah cairan pleura, Liquor

Cerebrospinal Fluid (LCS), bilasan bronkus, bilasan lambung, cairan sendi, urin, feses

dan biopsi jaringan yang diperkirakan terinfeksi. Cara pengambilan spesimen yang

digunakan adalah cara SPS atau sewaktu-pagi-sewaktu. Lalu diperiksa secara

mikroskopis untuk mendeteksi kuman BTA.

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dapat dibaca dengan skala International

Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD).9

Skala IUATLD:

a. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif.

b. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang

ditemukan.

12
c. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang, disebut + (+2).

d. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).

e. Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).

BTA postif pada pasien TB merupakan penilaian paling signifikan terhadap

infeksinya. Hal tersebut dapat terjadi karena pada saat penderita batuk atau bersin mereka

mengeluarkan droplet nuclei yang membawa basilus yang infeksius.12

Pada identifikasi Mycobacterium tuberculosis, pemeriksaan dengan media biakan

lebih sensitif dibandingkan dengan pemeriksaan mikroskopis. Pemeriksaan biakan dapat

mendeteksi 10 – 1000 mycobacterium/mL. Media yang sering digunakan untuk

pemeriksaan biakan kuman TB adalah media Lowenstein-Jensen. Koloni matur akan

berwarna krem atau kekuningan, seperti kutil dan bentuknya seperti kembang kol.7,9

Pemeriksaan darah rutin dapat menunjukan hasil peningakatan LED dan leukosit.

Pemeriksaan lain seperti uji tuberkulin, hasil yang positif dapat menunjukkan ada infeksi

tuberkulosis. Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, uji tuberkulin

sebagai alat bantu diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan

mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositivan dari uji yang

didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan

hasil negatif.9

Pemeriksaan radiologi yang paling sering digunakan dalam membantu

mendiagnosis TB adalah foto toraks. Kelainan foto toraks biasanya baru terlihat setelah

10 minggu terinfeksi kuman TB. Lesi di paru sudah tampak pada foto toraks, bila

penderita sudah terinfeksi kuman TB sebanyak 10 mg kuman. Pada pasien dengan sputum

13
BTA (+), foto toraks berperan dalam menilai luas lesi serta komplikasi. TB paru BTA

(-) ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan temuan foto toraks yang sesuai dengan TB.

Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif antara lain:9

1. Bayangan berawan atau nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan

segmen superior lobus bawah.

2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau

nodular.

3. Bayangan bercak milier.

4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan (terutama

pada kasus BTA sputum negatif) dapat dinyatakan sebagai berikut:9

1. Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas

tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrosternal junction dari iga

kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra

torakalis 5 (sela iga 2) dan tidak dijumpai kaviti.

2. Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi minimal.

14
Gambar 2.2 Skema alur diagnosis TB paru pada orang dewasa9

Sementara untuk diagnosis TB pada anak berbeda dengan dewasa. Diagnosis TB

pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis, baik overdiagnosis maupun

underdiagnosis. Pada anak, batuk bukan merupakan gejala utama. Diagnosis pasti TB

ditegakkan dengan ditemukannya M. tuberculosis pada pemeriksaan sputum atau

bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura, atau pada biopsi jaringan.

15
Kesulitan menegakkan diagnosis pasti pada anak disebabkan oleh 2 hal, yaitu

sedikitnya jumlah kuman (paucibacillary) dan sulitnya pengambilan spesimen sputum.

Untuk memudahkan penegakan diagnosis TB anak, IDAI merekomendasikan

diagnosis TB anak dengan menggunakan sistem skoring, yaitu pembobotan terhadap

gejala atau tanda klinis yang dijumpai.13

Gambar 2.3 Sistem skoring gejala dan pemeriksaan penunjang TB anak13

2. 9 Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru

Tujuan pengobatan TB antara lain:9

1. Menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan produktivitas

2. Mencegah terjadinya kematian karena penyakit TB aktif atau efek lanjutannya

3. Mencegah terjadinya kekambuhan TB

16
4. Mengurangi penularan TB

5. Mencegah terjadinya resistensi obat serta penularannya

Prinsip pengobatan TB adalah memberikan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dalam

bentuk kombinasi dari beberapa obat sesuai dengan kategori pengobatan. Pemberian obat

OAT secara tunggal tidak diperbolehkan. Pemberian OAT diberikan dalam 2 tahap yaitu

tahap intensif yang berlangsung selama 2 – 3 bulan dan dilanjutkan dengan tahap lanjutan

selama 4 – 6 bulan.9,14

Obat Anti Tuberkulosis yang dipakai, yaitu:9

1. Jenis obat lini pertama

Adalah Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z), Ethambutol (E) dan

Streptomisin (S).

2. Jenis obat lini kedua

Adalah Kanamisin, Kapreomisin, Amikasin, Kuinolon, Sikloserin,

Etionamid/Protinamid, Para-Amino Salisilat (PAS)

OAT lini kedua hanya digunakan untuk kasus resisten obat, terutama TB

multidrug resistant (MDR).

Tabel 2.1 Jenis, Sifat dan Dosis OAT Lini Pertama Bagi Pasien Dewasa

Jenis OAT Sifat Dosis harian yang

direkomendasikan (mg/kg)

Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6)

Rifampisin (R) Bakterisid 10 (8-12)

Pirazinamid (Z) Bakterisid 25 (20-30)

17
Streptomisin (S) Bakterisid 15 (12-18)

Etambutol (E) Bakteriostatik 15 (15-20)

Panduan OAT lini pertama yang digunakan di Indonesia adalah sebagai berikut.9

1. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)

Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

a. Pasien baru TB paru BTA positif

b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif

c. Pasien TB ekstra paru

2. Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)

Panduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:

a. Pasien kambuh

b. Pasien gagal

c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Disamping kedua kategori tersebut, disediakan paduan obat sisipan (HRZE).

Tabel 2.2 Efek Samping OAT Lini Pertama

Jenis OAT Efek Samping

Isoniazid (H) Neuropati perifer, psikosis toksik, gangguan

fungsi hati, kejang

Rifampicin (R) Flu syndrome, gangguan gastrointestinal, urin

berwarna merah, gangguan fungsi hati,

18
trombositopenia, demam, skin rash, sesak

nafas, anemia hemolitik

Pirazinamid (Z) Gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi

hati, gout artritis

Streptomisin (S) Nyeri ditempat suntikan, gangguan

keseimbangan dan pendengaran, renjatan

anafilaktik, anemia, agranulositosis,

trombositopeni

Ethambutol (E) Gangguan penglihatan, buta warnam neuritis

perifer

Selain pengobatan pada pasien, salah satu komponen DOTS adalah pengobatan

paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan

pengobatan diperlukan seorang PMO (Pengawasan Menelan Obat).

Persyaratan PMO yaitu :14

- Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan

maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.

- Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.

- Bersedia membantu pasien dengan sukarela.

- Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama

dengan pasien

19
3. Kategori Anak (2RHZ/4RH)9

Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam

waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun

tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.

Tabel 2.3 Dosis OAT KDT pada anak

2. 10 Evaluasi Hasil Pengobatan TB BTA Positif 14

- Sembuh

Pasien telah menyelesaikan pengobatan nya secara lengkap dan pemeriksaan apusan

ulang dahak (Follow –Up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan follow-

up sebelumnya.

- Pengobatan Lengkap

Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak

memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.

- Meninggal

Adalah penderita yang dalam masa pengobatan diketahui meninggal karena sebab

apapun.

- Pindah

20
Adalah pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan pelaporan (register) lain dan hasil

pengobatannya tidak diketahui.

- Putus Berobat (Defaulted/Drop out)

Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum

masa pengobatannya selesai.

- Gagal

Pasien BTA positif yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali

menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

2. 11 Komplikasi Tuberkulosis Paru15

a. Paru

- Pneumothoraks

- Bronkiektasis

- Abses paru

b. Penyebaran secara hematogen

- TB kulit

- Meningitis TB

- Spondilitis

- TB ginjal

- Peritonitis TB

c. Penyebaran secara limfogen

- Linfadenitis TB

21
2. 12 Prognosis Tuberkulosis Paru15

Berdasarkan beberapa penelitian yang melibatkan pengobatan dengan system

DOTS TB, tingkat kekambuhan berkisar 0-14%. Di negara-negara dengan tingkat TB

yang rendah, kekambuhan biasanya terjadi dalam 12 bulan setelah penyelesaian

pengobatan. Di negara-negara dengan tingkat TB yang lebih tinggi, sebagian besar

kekambuhan setelah pengobatan yang tepat mungkin disebabkan oleh infeksi ulang dan

bukan kambuh.

Penanda prognostik yang buruk termasuk keterlibatan di luar paru, keadaan

immunocompromised, usia yang lebih tua, dan riwayat pengobatan sebelumnya. Dalam

penelitian prospektif terhadap 199 pasien dengan TB di Malawi, 12 (6%) meninggal.

22
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif dengan menggunakan

pendekatan cross sectional.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Bereng dengan mengambil data rekam medik

pasien tuberkulosis paru yang berobat pada periode Januari 2018 – Desember 2018.

Pengambilan data rekam medik dilakukan mulai bulan April 2019 sampai dengan bulan

Mei 2019.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1. Populasi Penelitian

Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah

semua pasien yang didiagnosis penyakit tuberkulosis paru di Puskesmas Bereng periode

Januari 2018 – Desember 2018.

3.3.2. Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian dari populasi yang akan diambil. Sampel dalam penelitian ini

adalah semua pasien yang didiagnosis penyakit tuberkulosis paru di Puskesmas Bereng

periode Januari 2018 – Desember 2018. Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan

23
sampel consecutive sampling, yaitu semua subyek yang sesuai dengan kriteria inklusi dan

kriteria eksklusi dimasukkan ke dalam penelitian.

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.4.1. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Semua pasien tuberkulosis paru yang sudah selesai mendapat pengobatan di

Puskesmas bereng periode Januari 2018 – Desember 2018

2. Data rekam medik pasien yang lengkap.

3.4.2. Kriteria Ekslusi

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:

1. Pasien tuberkulosis paru yang belum menyelesaikan program pengobatan

2. Data rekam medik pasien yang tidak lengkap.

3.5. Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan data sekunder, yaitu data

rekam medik pasien yang menderita tuberkulosis paru di Puskesmas Bereng periode

Januari 2018 – Desember 2018.

Tahapan pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Perumusan masalah

2. Menentukan tujuan penelitian

3. Menentukan kriteria inklusi dan eksklusi

4. Permohonan izin untuk pengambilan data

24
5. Mengumpulkan data rekam medik pasien di Puskesmas Bereng

6. Menyortir rekam medik sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi

7. Memindah data dari rekam medik ke dalam form pengumpulan data

8. Melakukan pengolahan data

9. Menyusun hasil penelitian dan melakukan pembahasan

10. Penyajian hasil penelitian dalam bentuk laporan tertulis

3.6. Definisi Operasional

1. Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium

tuberculosis.

2. Jenis kelamin adalah jenis yang membedakan pasien atas laki-laki dan perempuan.

3. Usia adalah masa hidup pasien yang dihitung sejak ia lahir sampai ia terdaftar sebagai

pasien di Puskesmas Bereng periode Januari 2018 – Desember 2018. Rentang usia pasien

berdasarkan Depkes RI (2009) dikategorikan menjadi:

a. Masa Balita : 0 – 5 tahun

b. Masa Kanak-kanak : 5 – 11 tahun

c. Masa Remaja : 12 – 25 tahun

d. Masa Dewasa : 26 – 45 tahun

e. Masa Lansia : 46 – 65 tahun

f. Masa Manula : ≥ 65 tahun

25
4. Hasil pemeriksaan BTA sputum adalah pemeriksaan terhadap sputum pada penderita

tuberkulosis paru dengan menggunakan teknik Ziehl Neelsen, yang dibagi menjadi :

a. Positif

b. Negatif

5. Tipe penderita

a. Kasus baru

Adalah penderita yang belum pernah mendapatkan pengobatan dengan OAT atau

sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.

b. Kasus kambuh (relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat

pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau

pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif

(apusan atau kultur).

c. Kasus pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan ke register lain untuk melanjutkan

pengobatannya.

d. Kasus putus berobat

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau

lebih dengan BTA positif.

26
e. Kasus gagal

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau

kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama

pengobatan.

6. Kategori Pengobatan

Kategori Pengobatan adalah obat yang digunakan untuk mengobati penderita TB

Paru yang tercatat pada kartu pengobatan terdiri dari:

- Kategori I : adalah pengobatan yang diberikan bagi penderita baru tuberculosis paru

BTA (+, BTA (-)/ rontgen (+) yang sakit berat dan extra paru berat.

- Kategori II: adalah pengobatan yang diberikan bagi penderita kambuh, gagal dan

pengobatan setelah lalai.

- Kategori Anak

7. Hasil Pengobatan

- Sembuh

Pasien telah menyelesaikan pengobatan nya secara lengkap dan pemeriksaan apusan

ulang dahak (Follow –Up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan follow-

up sebelumnya

- Pengobatan Lengkap

Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak

memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.

27
- Meninggal

Adalah penderita yang dalam masa pengobatan diketahui meninggal karena sebab

apapun.

- Pindah

Adalah pasien yang dipindah ke unit pencatatan dan pelaporan (register) lain dan hasil

pengobatannya tidak diketahui.

- Putus Berobat (Defaulted/Drop out)

Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum

masa pengobatannya selesai.

- Gagal

Pasien BTA positif yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali

menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

8. Konversi Sputum Tahap Intensif

Konversi Sputum Tahap Intensif adalah perubahan hasil pemeriksaan sputum

penderita tuberkulosis paru dari BTA(+) menjadi (-) 1 minggu sebelum selesai tahap

pengobatan intensif, terdiri dari :

1. Ada konversi

2. Tidak konversi

3.7. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan alat yang digunakan untuk mendapatkan data

penelitian. Instrumen dalam penelitian ini adalah data rekam medik pasien yang menderita

28
tuberkulosis paru di Puskesmas Bereng periode Januari 2018 – Desember 2018.

Pelaksanaan pencatatan data rekam medik dilakukan oleh peneliti.

3.8. Alur Penelitian


Identifikasi dan perumusan masalah

Menentukan tujuan penelitian

Menentukan populasi dan sampel


penelitian

Permohonan izin penelitian

Pengambilan data di Puskesmas sesuai


kriteria inklusi dan eksklusi

Pengolahan data dilakukan dengan


menggunakan program statistik

Hasil dan kesimpulan

3.9. Pengolahan dan Analisis Data

Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam pengolahan data adalah:

1. Editing

Dilakukan pemeriksaaan atau pengecekan data rekam medis untuk mengetahui

kelengkapan data yang diperlukan.

2. Coding

Memberi angka-angka atau kode-kode tertentu untuk memudahkan pengolahan

data.

29
3. Entry

Data yang sudah dikode, selanjutnya dimasukkan ke dalam program komputer

untuk diolah.

4. Cleaning

Pengecekan kembali data yang telah dimasukkan ke dalam program komputer

guna menghindari terjadinya kesalahan pada pemasukkan data.

Data diolah dan disajikan dalam bentuk tabel dan uraian secara deskriptif.

Pengolahan dan analisis data menggunakan software Microsoft Excel 2010.

30
BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Hasil

4.1.1 Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Jenis Kelamin di Puskesmas Bereng Periode

Januari 2018 – Desember 2018

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi TB Paru Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah (n) Presentase (%)


Laki-laki 10 91 %
Perempuan 1 9%
Total 11 100 %

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa jumlah pasien TB paru di Puskesmas Bereng

periode Januari 2018 – Desember 2018 paling banyak memiliki jenis kelamin laki-

laki daripada perempuan. Jumlah pasien laki-laki 10 orang (91%) dan jumlah pasien

perempuan 1 orang (9%).

4.1.2 Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Kelompok Umur di Puskesmas Bereng

Periode Januari 2018 – Desember 2018

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi TB Paru Berdasarkan Kelompok Umur

Usia Jumlah (n) Presentase (%)


0 - 5 tahun 1 9,1 %
5 - 11 tahun 1 9,1 %
12 - 25 tahun 1 9,1 %
26 - 45 tahun 5 45,4 %
46 - 65 tahun 3 27,3 %
≥65 tahun 0 0,0 %
Total 11 100 %

31
Tabel 4.2 memperlihatkan bahwa pasien TB paru di Puskesmas Bereng periode

Januari 2018 – Desember 2018 paling banyak ditemukan pada kelompok usia 26 – 45

tahun, yaitu sebanyak 5 orang (45,4%), kemudian kelompok usia 46 – 65 tahun

sebanyak 3 orang (27,3%), kelompok usia 0-5 tahun sebanyak 1 orang (9,1 %),

kelompok 5 – 11 tahun sebanyak 1 orang (9,1 %), kelompok usia 12-25 tahun sebanyak

1 orang (9,1 %) dan tidak ditemukan pada kelompok usia ≥65.

4.1.3 Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Hasil BTA di Puskesmas Bereng Periode

Januari 2018 – Desember 2018

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi TB Paru Berdasarkan Hasil BTA

Hasil BTA Jumlah (n) Presentase (%)


Positif (+) 5 55,5 %
Negatif (-) 4 44,5 %
Total 9 100 %

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa jumlah pasien TB paru di Puskesmas Bereng

periode Januari 2018 – Desember 2018 yang diperiksa BTA, paling banyak pada

kelompok BTA Positif (+) sebanyak 5 orang (55,5 %) dan kelompok BTA Negatif

sebanyak 4 orang (44,5%). Jumlah pasien TB paru yang diperiksa sebanyak 9 orang

dari total 11 pasien TB Paru, dikarenakan dua orang pasien TB paru yang tidak

diperiksa adalah pasien anak dan balita.

32
4.1.4 Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Tipe Penderita di Puskesmas Bereng Periode

Januari 2018 – Desember 2018

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi TB Paru Berdasarkan Tipe Penderita

Tipe Penderita Jumlah (n) Presentase (%)


Baru 10 91 %
Kambuh 1 9%
Putus Berobat 0 0,0 %
Gagal 0 0,0 %
Pindah 0 0,0 %
Total 11 100 %

Tabel 4.4 menunjukkan bahwa jumlah pasien TB paru di Puskesmas Bereng

periode Januari 2018 – Desember 2018, paling banyak pada kelompok tipe baru

sebanyak 10 orang (91%) dan paling sedikit pada kelompok penderita tipe kambuh

yaitu sebanyak 1 orang (9,1%). Pada periode Januari 2018 – Desember 2018 di

Puskesmas Bereng tidak ditemukan tipe penderita Putus berobat, gagal dan pindah.

4.1.5 Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Kategori Pengobatan di Puskesmas Bereng

Periode Januari 2018 – Desember 2018

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi TB Paru Berdasarkan Kategori Pengobatan

Kategori Jumlah (n) Presentase (%)


Kategori I 8 73%
Kategori II 1 9%
Kategori Anak 2 18%
Total 11 100 %

Tabel 4.5 menunjukkan bahwa pengobatan pasien TB paru di Puskesmas

Bereng periode Januari 2018 – Desember 2018 paling banyak pada kelompok

33
pengobatan Kategori I sebanyak 8 orang (73%) kemudian pada pengobatan Kategori

anak sebanyak 2 orang (18%) dan kategori II sebanyak 1 orang (9 %).

4.1.6 Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Hasil Pengobatan di Puskesmas Bereng

Periode Januari 2018 – Desember 2018

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi TB Paru Berdasarkan Hasil Pengobatan

Hasil Akhir Pengobatan Jumlah (n) Presentase (%)


Sembuh 4 36,4 %
Pengobatan lengkap 5 45,4 %
Meninggal 2 18,2 %
Drop Out 0 0,0 %
Total 11 100 %

Tabel 4.6 menunjukkan bahwa hasil akhir pengobatan pasien TB paru di

Puskesmas Bereng periode Januari 2018 – Desember 2018 paling banyak pada

kelompok hasil pengobatan lengkap sebanyak 5 orang (45,4%), lalu diikuti kelompok

hasil pengobatan sembuh sebanyak 4 orang (36,4%), dan paling sedikit pada kelompok

hasil pengobatan meninggal yaitu sebanyak 2 orang (18,2 %).

34
4.1.7 Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Konversi Sputum Tahap Intensif di

Puskesmas Bereng Periode Januari 2018 – Desember 2018

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi TB Paru Berdasarkan Konversi Sputum Tahap Intensif

Konversi Tahap Intensif Jumlah (n) Presentase (%)


Ada Konversi 6 100 %
Tidak Konversi 0 0,0 %
Total 6 100 %

Tabel 4.7 menunjukkan bahwa pasien TB paru di Puskesmas Bereng periode

Januari 2018 – Desember 2018 yang diperiksa BTA Positif (+) sebelum pengobatan,

semuanya mengalami konversi menjadi BTA Negatif (-) pada akhir pengobatan tahap

intensif yaitu sebanyak 6 orang (100%). Jumlah keseluruhan pasien TB adalah 11

orang, namun yang memiliki hasil BTA Positif (+) sebelum pengobatan adalah

sebanyak 6 orang.

35
BAB V

PEMBAHASAN

Pada penelitian gambaran penderita TB paru ini dilakukan terhadap 11 pasien yang

didiagnosis TB Paru di Puskesmas Bereng pada periode Januari 2018 – Desember 2018 yang

memenuhi kriteria inklusi penelitian. Jumlah keseluruhan jumlah pasien TB paru yang

sebenarnya adalah berjumlah 12 orang, namun 1 orang tidak memenuhi kriteria inklusi

dalam penelitian, sehingga diambil jumlah keseluruhan adalah 11 orang.

Berdasarkan data demografi menurut jenis kelamin dari 11 pasien yang menderita

TB paru, ditemukan jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki sebanyak 10 orang (91%) dan

paling sedikit pada kelompok jenis kelamin perempuan sebanyak 1 orang (9%). Hal ini

sesuai dengan penelitian yang dilakukan Ketut (2013) di NTB dimana proporsi penderita TB

paling tinggi pada jenis kelamin laki-laki sebanyak 136 orang (74,8%) dari total 182

penderita. 13 Penelitian oleh Brogdroff di 14 negara juga menemukan hal yang sama dimana

prevalensi penderita Tuberkulosis lebih banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan.14

Penelitian yang dilakukan oleh Jamayanti (2014) di Banda Aceh menemukan bahwa jenis

kelamin laki-laki menjadi kelompok paling banyak dibanding perempuan yaitu sebesar

68%. Kemungkinan mengapa laki-laki lebih banyak disbanding perempuan adalah karena

perilaku kebiasaan merokok pada laki-laki. Merokok dapat menyebabkan peningkatan risiko

terkena TB menjadi dua kali.15

Berdasarkan hasil penelitian ini, umur pasien yang paling banyak terkena TB

berada pada rentang usia Dewasa yaitu 26 - 45 tahun sebanyak 5 orang (45,4 %) dan

terbanyak kedua pada rentang umur 46 - 65 tahun sebanyak 3 orang (27,3%). Hal ini sesuai

36
dengan penelitian yang dilakukan oleh Laily (2015) di Manado, dimana didapatkan pasien

TB terbanyak pada kategori umur 26-45 tahun sebanyak 39,8% dan urutan kedua pada

kategori umur 46 - 65 tahun yaitu sebanyak 37,2%.16 Hal ini juga sesuai dengan penelitian

Panjaitan (2012) di Pontianak dimana kelompok tersering pasien TB adalah usia produktif

18-29 tahun. TB banyak terjadi pada usia dewasa dimungkinkan oleh dua penyebab. Pertama

orang dewasa tersebut pernah terinfeksi TB primer dilingkungannya pada waktu kecil akan

tetapi tidak dilakukan preventif dengan baik sehingga muncul pada saat dewasa.

Kemungkinan yang kedua, adanya aktifitas dan lingkungan pekerjaan pada kelompok orang

dewasa yang berinteraksi dengan penderita TB atau lingkungan yang memudahkan tertular

TB.17

Berdasarkan pada hasil pemeriksaan BTA sputum, dari total 11 penderita, ada 2

orang yang tidak diperiksakan BTA dikarenakan pasien adalah pasien anak dan balita,

sehingga dari 11 pasien ada total 9 pasien yang diperiksakan BTA. Dari hasil penelitian ini

didapatkan penderita dengan BTA sputum (+) lebih banyak dibanding BTA sputum (-).

Dimana BTA sputum (+) ada 5 penderita (55,5%) sedangkan BTA (-) sebanyak 4 penderita

(44,5 %). Meskipun berbeda, namun jumlah kedua kelompok tidak menunjukkan perbedaan

yang terlalu jauh. Jumlah presentase ini lebih rendah dibandingkan penelitian yang dilakukan

oleh Sihotang (2012) di Manado, dimana didapatkan pendrita dengan BTA (+) sebanyak 54

penderita (93,10%) dari jumlah total 58 penderita.18

Penderita Tuberkulosis Paru yang datang berobat ke Puskesmas Bereng periode

Januari – Desember 2018 kebanyakan merupakan kasus baru yaitu sebanyak 10 penderita

(91%), sedangkan kasus kambuh sebanyak 1 penderita (9%). Hasil penelitian ini serupa

dengan yang ditemukan oleh Nofriyanda di Padang tahun 2008 dimana penderita

37
Tuberkulosis Paru yang berobat ke tempat tersebut paling banyak adalah kasus baru sebesar

93,80%. 19

Sehubungan dengan tipe penderita yang datang berobat ke Puskesmas Bereng

Periode Januari – Desember 2018 paling banyak adalah kasus baru, maka untuk kategori

pengobatan yang paling banyak diberikan pada penderita adalah Kategori I yaitu sebanyak

8 orang (73%), dimana kategori I merupakan kategori pengobatan untuk pasien baru.

Sementara kategori pengobatan lain yang diberikan adalah kategori anak yaitu sebanyak 2

orang (18%) dan kategori II sebanyak 1 orang (9%). Kategori II merupakan pilihan

pengobatan pada pasien yang kambuh, gagal dan putus obat. Dalam penelitian ini, ditemukan

pasien kambuh sebanyak 1 orang (9%) sehingga mendapatkan pengobatan kategori II.

Secara umum hasil pengobatan penderita Tuberkulosis Paru yang berobat di

Puskesmas bereng adalah lengkap sebanyak 5 orang (45,4%), kemudian terbanyak kedua

adalah sembuh sebanyak 4 orang (36,4%). Untuk penderita dengan hasil pemeriksaan BTA

negatif pada akhir pengobatannya dinyatakan sembuh. Pada penelitian ini hanya didapatkan

6 orang yang memiliki BTA (+) sebelum pengobatan, dimana 5 orang dinyatakan sembuh

dan 1 meninggal. Untuk pengobatan lengkap adalah penderita yang dari awal pengobatan

memiliki BTA (-) namun selalu teratur minum obat hingga akhir pengobatan, sehingga tidak

ada indikator sembuh dikarenakan dari awal memiliki BTA (-).Tingginya hasil pengobatan

yang lengkap dan sembuh menunjukkan besarnya kesadaran dan keinginan penderita di

Puskesmas Bereng untuk sembuh, selain itu didukung juga oleh kepatuhan penderita

tuberkulosis dalam menjalani pengobatan dan peran serta dari pengawas minum obat (PMO).

Selain itu terdapat 2 orang yang meninggal pada masa pengobatan dikarenakan keduanya

memiliki penyakit penyerta CHF dan Hipertensi.

38
Berdasarkan hasil penelitian ini, didapatkan data angka konversi BTA tahap

intensif sebanyak 6 orang (100%). Tingginya konversi sputum ini berhubungan erat dengan

kepatuhan penderita menelan obat secara teratur. Hal ini menunjukkan bahwa angka

konversi BTA di Puskesmas Bereng periode Januari – Desember 2018 sudah memenuhi

target nasional dimana target angka konversi sebesar 80%.20

39
BAB VI
PENUTUP

5.1.Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tentang gambaran penderita TB paru di Puskesmas

Bereng periode Januari 2018 – Desember 2018, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan

sebagai berikut:

1. Data demografi menunjukkan jumlah pasien TB paru di Puskesmas Bereng

didominasi oleh jenis kelamin laki-laki sebesar 91%, paling banyak pada kelompok

usia dewasa 26 – 45 tahun sebesar 45,4%.

2. Penderita TB Paru dengan BTA Sputum (+) lebih banyak dibandingkan dengan

penderita BTA Sputum (-).

3. Proporsi penderita berdasarkan tipe penderita terbanyak adalah kasus baru, begitu juga

dengan kategori pengobatan hampir keseluruhan menggunakan kategori I.

4. Secara umum hasil pengobatan penderita TB paru adalah lengkap, lalu diikuti oleh

sembuh.

5. Semua penderita TB paru dengan BTA (+) mengalami konversi BTA tahap intensif

dan melebihi angka target nasional dengan standar minimal 80%.

5.2. Saran

1. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai gambaran penderita TB paru dengan

menggunakan sampel yang lebih banyak.

40
2. Bagi Dinas Kesehatan diaharapkan meningkatkan pengawasan pelaksanaan program

pengobatan TB paru di Puskesmas Bereng.

3. Untuk petugas kesehatan Diharapkan untuk terus meningkatkan kinerjanya dalam

program penanggulangan dan pengobatan TB agar keberhasilan pengobatan TB Paru

terus meningkat serta peningkatan ketelitian dalam mencatat setiap kunjungan dan

pemeriksaan pasien, mengingat masih ada data pengobatan penderita yang tidak

lengkap. Serta perlunya diadakan penyuluhan kepada penderita dan keluarga mengenai

penyakit dan pengobatan TB paru mengingat masih ada 2 penderita yang meninggal

saat pengobatan TB paru.

4. Kepada masyarakat diharapkan untuk turut serta berperan aktif dalam upaya

pencegahan dan penanggulangan penyakit TB paru dengan cara menjaga lingkungan

tetap sehat dan segera berobat jika terdapat gejala penyakit TB paru.

41
Daftar Pustaka

1. Cahyadi A, Venty. Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Melitus. J Indon Med Assoc.
2011;61(4):173-8.

2. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2014. Switzerland, 2014.

3. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2015. Switzerland, 2015.

4. Kementerian Kesehatan R.I. 2011. Terobosan Menuju Akses Universal Strategi Nasional
Pengendalian TB 2010-2014, Jakarta.

5. Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Tengah. 2017. Profil Kesehatan 2016 Kalimantan
Tengah. Palangkaraya.

6. Wulandari DR, Sugiri YJ. Diabetes Melitus dan Permasalahannya pada Infeksi Tuberkulosis. J
Respir Indo. 2013;33(2):126-32.

7. Price SA, Standridge MP. Tuberkulosis Paru. Dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed 6. Jakarta: EGC, 2014:852-4.
8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2015. 2015.
9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011.
10. Jawetz, Melnick, Adelberg. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 25. Adityaputri A, Salim C, Sandra
F, Iskandar M, Nalurita, Ayuningtyas P, et al, editor. Jakarta: EGC. 2014:302-4.
11. CDC. Transmission and Pathogenesis of Tuberculosis. Diakses dari
https://www.cdc.gov/tb/education/corecurr/pdf/chapter2.pdf 20 April 2019.
12. Wani RLS. Tuberculosis 2: Pathophysiology and microbiology pulmonary tuberculosis. South
Sudan Medical Journal. Diakses dari
http://www.southsudanmedicaljournal.com/archive/february-2013/tuberculosis -2-
pathophysiology-and-microbiology-of-pulmonary-tuberculosis.html 29 Oktober 2016.
13. Ketut, Ni Lisa S. 2013. Faktor Risiko Kejadian Penyakit Tuberkulosis Paru di Puskesmas
Karang Taliwang Kota Mataram Provinsi NTB tahun 2013. Tesis Program Pascasarjana
Universitas Udayana.
14. Borgdroff MW, Nagelkerke N, Dye C, Nunn P. Gender and Tuberculosis : A Comparison of
Prevalence Surveys with Notification data to Explore Sex Differences in Case detection. Int
Tuberc Lung Dis 2000; 4 (2): 123-32.
15. Jamayanti, Lia. 2014. Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru di Poliklinik Paru Rumah Sakit
Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Periode Januari 2014 – Mei 2014. Electronic
Theses and Disertations Unsyiah.
16. Laily, D. W, Rombot, D., Lampus, B. 2015. Karakteristik Pasien Tuberkulosis Paru di
Puskesmas Tuminting Manado, Jurnal Kedokteran Komunitas Tropis, 3 (1): 1-5.
17. Panjaitan, Fredy. 2012. Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru Dewasa Rawat Inap Di
Rumah Sakit Umum Dr. Soedarso Pontianak Periode September – November 2010. Naskah
Publikasi FKIK Universitas Tanjungpura.

42
18. Sihotang, RH, Lampus, B., Pandelaki, AJ. 2013. Gambaran Penderita Tuberkulosis Paru yang
Berobat Menggunakan DOTS di Puskesmas Bahu Malalayang I Periode Januari – Desember
2012. Jurnal Kedokteran Komunitas Tropis, 1 (1): 68-71.
19. Nofriyanda. 2010. Gambaran Hasil pengobatan Penderita TB Paru di Poliklinik Paru RS DR.M.
Djamil Padang Periode 1 Januari 2007 – 31 Desember 2008. UNAND.
20. Depkes RI. 2008. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis Nasional. Jakarta : Depkes.

43

Anda mungkin juga menyukai