Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH

“Penyakit Difteri”

Nama Kelompok:
1. Anastasia Yolenta Anu (1707010057)
2. Cicilia A. Gagi (1707010148)
3. Katarina Novri Kasnita (1707010129)
4. Malthidis Dolvina Dona (1707010045)
5. Maria W. Dian Salombre (1707010231)
6. Meri Diana Taneo (1707010240)

PRODI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2020

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Penyakit
Difteri”. Makalah ini dibuat untuk memenuhi nilai Ujian Akhir Semester mata kuliah
Metode Penyelidikan KLB.

Dalam penyusunan makalah ini, kami telah banyak mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak baik moral maupun materil. Untuk itu, kami ingin mengucapkan
terimakasih kepada:

1. Ibu Yuliana Radja Riwu,SKM.,M.Si, selaku dosen pembimbing mata kuliah


yang sudah memberikan dorongan dan masukan untuk kami.
2. Semua orang yang sudah membantu yang tidak bisa disebutkan namanya satu
per satu.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
bersifat membangun dari pembaca sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah
ini.

Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini bisa memberikan manfaat dan
inspirasi pada pembaca.

Kupang, Maret 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.........................................................................................................i
KATA PENGANTAR.....................................................................................................ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
1.1 Latar Belakang............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................3
1.3 Tujuan Penulisan.........................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................4
2.1 Pengertian dari penyakit Difteri..................................................................................4
2.2 Gambaran klinis penyakit Difteri................................................................................5
2.3 Etiologi penyakit Difteri.............................................................................................7
2.4 Masa inkubasi penyakit Difteri...................................................................................8
2.5 Sumber dan cara penularan penyakit Difteri..............................................................8
2.6 Penegakan diagnosa penyakit Difteri..........................................................................9
2.7 Pencegahan penyakit Difteri.....................................................................................15
2.8 Pengobatan penyakit Difteri.....................................................................................17
2.9 Epidemiologi dari penyakit Difteri...........................................................................18
2.10 Penyelidikan KLB penyakit Difteri........................................................................24
BAB III PENUTUP........................................................................................................35
3.1 Simpulan...................................................................................................................35
3.2 Saran.........................................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................37

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease)
dan mengancam kehidupan dengan angka kematian yang tinggi. Penyakit ini
disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae yaitu kuman yang
menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara
hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring. Kuman ini menghasilkan racun yang dapat
membahayakan atau merusak jaringan dan organ tubuh manusia. Salah satu jenis difteri
mempengaruhi tenggorokan dan kadang kadang amandel. Penularan terjadi secara
droplet (percikan ludah) dari batuk, bersin, muntah, melalui alat makan atau kontak
langsung dari lesi di kulit.
Penyakit ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin
di negara subtropis. Menurut Purwana (2010) bahwa semua golongan umur dapat
terinfeksi oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae, namun 80% kasus terjadi diderita
pada anak usia kurang dari 15 tahun dan yang tidak mendapatkan imunisasi dasar.
Dilaporkan 10% kasus difteri dapat berakibat fatal yaitu sampai menimbulkan kematian.
Kematian akibat difteri umumnya terjadi karena sumbatan jalan nafas, kerusakan otot
jantung, serta kelainan susunan saraf pusat dan ginjal. Penyakit ini juga dijumpai pada
daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah.
Jumlah kejadian difteri berdasarkan data WHO 2013 tercatat sebanyak 4.680
kasus yang tersebar luas dan sebagian besar terkonsentrasi di benua Asia. Pada tahun
2014, tercatat sebanyak 7347 kasus dan 7217 kasus diantaranya (98%) berasal dari
negara-negara anggota WHO South East Asian Region (SEAR). Jumlah kasus difteri
didunia tahun 2016 adalah sebanyak 7097 kasus dimana sebagian besar berada di negara
bagian Asia dan Afrika. Berdasarkan data WHO 2016, India menduduki peringkat
pertama jumlah kasus difteri sebanyak 3380 kasus, Madagaskar diperingkat kedua
dengan 2865 kasus dan Indonesia diperingkat ketiga dengan 342 kasus.

1
Pada tahun 2013 jumlah kasus difteri di Indonesia dilaporkan sebanyak 775
kasus (19% dari total kasus SEAR), selanjutnya jumlah kasus menurun menjadi 430
kasus pada tahun 2014 (6% dari total kasus SEAR). Diantara beberapa negara ASEAN,
Indonesia menduduki posisi tertinggi jumlah kasus difteri. Pada tahun 2016 Indonesia
menduduki posisi pertama dengan 342 kasus, Myanmar di posisi kedua dengan 136
kasus dan Philipina di posisi ketiga dengan 42 kasus.
Jumlah kasus difteri di Indonesia sedikit meningkat pada tahun 2016 jika
dibandingkan tahun 2015 (252 kasus pada tahun 2015 dan 415 pada tahun 2016) dengan
CFR difteri yaitu sebesar 5,8%. Pada tahun 2016 diantara 33 provinsi di Indonesia
sebanyak 20 provinsi melaporkan terdapat kasus difteri di wilayahnya. Dari jumlah
tersebut, kasus tertinggi terjadi di Jawa Timur dengan 209 kasus dan Jawa Barat yaitu
133 kasus. Dari seluruh kasus difteri, sebesar 51% diantaranya tidak mendapatkan
vaksinasi.Jumlah Kabupaten/Kota yang terdampak pada tahun 2016 mengalami
peningkatan jika dibandingkan dengan jumlah Kabupaten/ Kota pada tahun 2015.
Tahun 2015 sebanyak 89 Kabupaten/Kota dan pada tahun 2016 menjadi 100
Kabupaten/Kota.
Pada tahun 2017 KLB difteri kembali terjadi di Indonesia dimana berdasarkan
data Epidemiologi KLB difteri yang telah dikumpulkan Kementerian Kesehatan selama
tahun 2017, KLB difteri terjadi di 170 Kabupaten/ Kota dan di 30 Provinsi, dengan
jumlah sebanyak 954 kasus, dengan kematian sebanyak 44 kasus. Sedangkan pada
tahun 2018 ( hingga 9 januari 2018), terdapat 14 laporan kasus dari 11 Kabupeten/ Kota
di 4 Provinsi ( DKI, Banten, Jawa Barat dan Lampung) dan tidak ada kasus yang
meninggal.
KLB difteri pada saat ini memiliki gambaran yang berbeda daripada KLB
sebelumnya yang pada umumnya menyerang anak balita. KLB kali ini ditemukan pada
kelompok umur 1-40 tahun dimana 47% menyerang anak usia sekolah (1-14 tahun) dan
34% menyerang umur diatas 14 tahun. Data tersebut menunjukkan proporsi usia
sekolah dan dewasa rentan terhadap difteri cukup tinggi. Berdasarkan Profil Kesehatan
Indonesia tahun 2016 menyatakan bahwa dari seluruh kasus difteri, sebesar 51%
diantaranya tidak mendapatkan vaksinasi.

2
Berdasarkan latar belakang diatas, maka kami merasa tertarik untuk mengkaji
dan membahas tentang penyakit difteri yang menjadi salah satu penyebab angka
kematian tertinggi di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan penyakit Difteri?
1.2.2 Bagaimana gambaran klinis penyakit Difteri?
1.2.3 Bagaimana etiologi penyakit Difteri?
1.2.4 Bagaimana masa inkubasi penyakit Difteri?
1.2.5 Bagaimana sumber dan cara penularan penyakit Difteri?
1.2.6 Bagaimana penegakan diagnosa penyakit Difteri?
1.2.7 Bagaimana cara pencegahan penyakit Difteri?
1.2.8 Bagaimana cara pengobatan penyakit Difteri?
1.2.9 Bagaimana epidemiologi dari penyakit Difteri?
1.2.10 Bagaimana penyelidikan KLB penyakit Difteri?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian penyakit Difteri
1.3.2 Untuk mengetahui gambaran klinis penyakit Difteri
1.3.3 Untuk mengetahui etiologi penyakit Difteri
1.3.4 Untuk mengetahui masa inkubasi penyakit Difteri
1.3.5 Untuk mengetahui sumber dan cara penularan penyakit Difteri
1.3.6 Untuk mengetahui penegakan diagnosa penyakit Difteri
1.3.7 Untuk mengetahui cara pencegahan penyakit Difteri
1.3.8 Untuk mengetahui cara pengobatan penyakit Difteri
1.3.9 Untuk mengetahui epidemiologi dari penyakit Difteri
1.3.10 Untuk mengetahui penyelidikan KLB penyakit Difteri

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Penyakit Difteri

Difteri pertama kali ditemukan pada tahun 1884 oleh Loeffler. Difteri
merupakan sebuah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium
diphtheria (CD). Bakteri ini biasanya menyerang traktus respiratory bagian atas,
menyebabkan pembentukan ulcer pada mukosa dan pembentukan sebuah
pseudomembrane. Walaupun infeksi ini pada umumnya menyerang bagian atas traktus
respiratory seperti mukosa faring, dapat juga menyebabkan lesi sistemik dari jantung
dan juga saraf (Hadfield et al., 2000). Corybacterium diphtheriae merupakan bakteri
gram positif,aerobik,dan pleomorphiccoccobacillus. CD menghasilkan sebuah toxin
melalui lisogenisasi dengan corynebacteriophage yang membawa gen tox. Efek dari
toksin CD inilah yang menyebabkan penyakit difteri (Zasada, 2015). Difteri dikenal
sebagai pembunuh utama yang menyebabkan ribuan kasus kematian pada anak. Tingkat
mortalitas mulai menurun drastis pada abad ke-21 setelah diperkenalkannya program
imunisasi dan peningkatan taraf hidup (Byard, 2013).
Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:
a. Infeksi ringan, bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung
dengan gejala hanya nyeri menelan.
b. Infeksi sedang, bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding
belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
c. Infeksi berat, bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala
komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan
anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).

4
2.2 Gambaran Klinis Penyakit Difteri
Difteri mempunyai gejala klinis demam + 38oC, pseudomembran putih keabu-
abuan, tak mudah lepas dan mudah berdarah di faring, laring atau tonsil, sakit waktu
menelan, leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), karena pembengkakan
kelenjar leher dan sesak nafas disertai bunyi (stridor).
Kasus Difteri dapat diklasifikasikan dalam kasus probable dan kasus konfirmasi:
a. Kasus probable adalah kasus yang menunjukkan gejala-gejala demam, sakit
menelan, pseudomembran, pembengkakan leher dan sesak nafas disertai bunyi
(stridor)
b. Kasus konfirmasi adalah kasus probable disertai hasil laboratorium, berupa
hapus tenggorok & hapus hidung atau hapus luka di kulit yang diduga Difteri
kulit.
Infeksi difteri dapat melibatkan berbagai lokasi membran mukosa. Untuk
kepentingan klinis, difteri dapat diklasifikasikan menurut lokasi anatomis penyakit,
yaitu :
1. Difteri Hidung
Awitan difteri hidung sulit dibedakan dari common cold, biasanya ditandai oleh
secret hidung mukopurulen (mucus dan pus) yang dapat disertai bercak darah.
Pseudomembran putih biasanya terbentuk di septum nasi. Penyakit ini biasanya
ringan karena absorpsi sistemik toksin di lokasi ini buruk dan dapat diterminasi
dengan cepat oleh terapi antitoksin difteri dan antibiotik.
2. Difteri Tonsil dan Faring
Lokasi paling sering infeksi difteri adalah faring dan tonsil. Infeksi di lokasi ini
biasanya berhubungan dengan absorpsi sistemik sejumlah besar toksin. Gejala
awal berupa malaise, nyeri tenggorokan, anoreksia, dan demam low-grade
(<101°F). Dalam 2-3 hari, terbentuk membran putih-kebiruan dan meluas
dengan ukuran bervariasi. Pseudomembran berwarna hijau-keabuan atau hitam
jika telah terjadi perdarahan. Mukosa sekitar pseudomembran tampak eritema.
Pseudomembran yang luas dapat berakibat obstruksi saluran napas. Pasien
dengan penyakit berat dapat mengalami edema di area submandibular dan leher

5
bagian anterior sepanjang area limfadenopati, sehingga menunjukkan gambaran
”bullneck”. Jika toksin yang diserap tubuh cukup banyak, pasien sangat lemah,
pucat, takikardi, stupor, koma, dan bahkan meninggal dalam 6-10 hari.
3. Difteri Laring
Dapat terjadi akibat penyebaran dari faring atau infeksi langsung. Gejala
meliputi demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, suara serak, kulit
tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher, dan batuk rejan.
Pseudomembran dapat menyebabkan obstruksi saluran napas, koma, dan
kematian.Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa
mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.
4. Difteri Kulit
Infeksi kulit cukup banyak terjadi di daerah tropis dan mungkin berhubungan
dengan tingginya imunitas alami di populasi. Infeksi kulit dapat bermanifestasi
sebagai ruam berskuama atau ulkus dengan tepi tegas disertai membran. Pada
umumnya, organism yang diisolasi dari kasus di Amerika Serikat merupakan
strain non-toksigenik. Derajat lesi kulit yang disebabkan strain toksigenik lebih
ringan dibandingkan di lokasi lain di tubuh.
5. Difteri Tempat Lain
C. diphtheriae dapat menyebabkan infeksi mukokutaneus di tempat lain, seperti
telinga (otitis eksterna), mata (konjungtivitis purulen dan ulseratif) dan traktus
genitalis (vulvovaginitis purulen dan ulseratif). Tanda klinis terdapat ulserasi;
membrane dan perdarahan submukosa membantu membedakan difteria dari
penyebab bakterilain atau virus. Difteri mata dengan lesi konjungtiva berupa
kemerahan, edema, dan membran pada konjungtiva palpebra. Di telinga berupa
otitis eksterna dengan secret purulen dan berbau.

6
2.3 Etiologi Penyakit Difteri
Penyakit difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae.
Corynebacterium diphteriae merupakan bakteri basil gram positif anaerob. Produksi
toksin terjadi hanya jika bakteri terinfeksi (mengalami lisogenisasi) oleh virus spesifik
(bakteriofage) yang membawa informasi genetik untuk toksin (gen tox). Hanya strain
toksigenik yang dapat menyebabkan penyakit berat.
Bakteri C. diphtheriae merupakan salah satu jenis bakteri gram-positif yang
tidak membentuk spora. Pada kedua ujungnya bakteri ini memiliki granula
metakromatik yang memberi gambaran pada pewarnaan. C. diphtheriae berdiameter
0,5-1 µm dan panjangnya beberapa mikrometer, tidak berspora, tidak bergerak, dan
termasuk pada organisme yang tidak tahan asam. Bakteri ini bersifat anaerob fakultatif,
namun pertumbuhan maksimal diperoleh pada suasana aerob. Dibandingkan dengan
kuman lain yang tidak berspora, C. diphtheriae lebih tahan terhadap pengaruh cahaya,
pengeringan, dan pembekuan. Namun kuman ini mudah dimatikan oleh desinfektan
(Putri, 2018).
Corynebacterium diphtheria dapat diklasifikasikan dengan cara
bacteriophagelysis menjadi 19 tipe. Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk
tipe intermedius, tipe 7 termasuk tipe gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe
lainnya termasuk tipe gravis yang virulen. Corynebacterium diphtheria ini dalam
bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas dapat ditemukan pada tenggorokan
manusia, pada selaput mukosa (Depkes,2007).
Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk, dapat dibedakan 3
jenis basil yang dapat memproduksi toksin,yaitu:
a. Gravis
Koloninya besar, kasar, irregular, berwarna abu-abu dan tidak menimbulkan
hemolisis eritrosit.
b. Mitis
Koloninya kecil, halus, warna hitam, konveks, dan dapat menimbulkan
hemolisis eritrosit.

7
c. Intermediate
Koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam ditengahnya dan dapat
menimbulkan hemolisis eritrosit.
2.4 Masa Inkubasi Penyakit Difteri
Difteri umumnya memiliki masa inkubasi atau rentang waktu sejak bakteri
masuk ke tubuh sampai gejala muncul 2 hingga 5 hari (1-10 hari). Masa penularan
penderita 2-4 minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan karier bisa
sampai 6 bulan.
2.5 Sumber dan Cara Penularan Penyakit Difteri
Sumber penularan penyakit difteri adalah manusia baik sebagai penderita
maupun sebagai karier. Karier merupakan seseorang yang membawa agen infeksi difteri
tetapi tidak menunjukan gejala aktif difteri (Depkes, 1997). Karier merupakan sumber
penularan yang berbahaya karena tidak dikenali dan bersifat silent (Lestari, 2012).
Keberadaan dari sumber penularan, yaitu orang yang menderita difteri atau
menunjukkan gejala menderita difteri, memberikan risiko penularan difteri sebesar
20,821 kali lebih besar dibandingkan jika tidak ada sumber penularan (Kartono,
Purwana, & Djaja, 2008).
Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi
atau kontak dengan karier baik secara langsung maupun tidak langsung. Penularan
secara langsung umumnya terjadi melalui droplet transmission saat batuk, bersin atau
berbicara. Sedangkan secara tidak langsung melalui debu,baju dan barang-barang yang
terkontaminasi. Bakteri ini cukup resisten terhadap udara panas, suhu dingin dan kering.
Kuman C. Diphtheriae masuk melalui mukosa atau kulit, melekat serta berkembang
biak pada permukaan mukosa saluran nafas atas dan memproduksi toksin yang
merembes ke sekeliling dan selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh
limfe dan pembuluh darah.
a. Periode Inkubasi: Masa inkubasi 2-5 hari (range 1-10 hari)
b. Periode Penularan
a) Seseorang masih dapat menularkan penyakit sampai diatas hari ke-empat
setelah terapi dengan antibiotik.

8
b) Seseorang yang tidak diterapi, penularan melalui saluran nafas dan lesi kulit
masih dapat terjadi sampai 2-4 minggu setelah terinfeksi.
c) Carier kronik jarang terjadi, dan dapat bersifat menularkan sampai enam
bulan lebih setelah terinfeksi.
2.6 Penegakan Diagnosa Penyakit Difteri
A. Definisi operasional kasus surveilans difteri
1. Suspek Difteri adalah orang dengan gejala faringintis, tonsilitis, laringitis,
trakeitis, atau kombinasinya disertai demam tidak tinggi dan adanya
pseudomembran putih keabu-abuan yang sulit lepas, mudah berdarah apabila
dilepas atau dilakukan manipulasi
2. Probable Difteri adalah orang dengan suspek Difteri ditambah dengan salah
satu gejala berikut: pernah kontak dengan kasus (<2 minggu), imunisasi tidak
lengkap, termasuk belum dilakukan booster, berada di daerah endemis
Difteri, Stridor, Bullneck, pendarahan submukosa atau petechiae pada kulit,
gagal jantung toxic, gagal ginjal akut, myocarditis, meninggal.
3. Kasus konfirmasi laboratorium adalah kasus suspek Difteri dengan hasil
kultur positif Corynebacterium diphtheriae strain toxigenic atau PCR
(Polymerase Chain Reaction) positif Corynebacterium diphtheriae yang telah
dikonfirmasi dengan Elek test.
4. Kasus konfirmasi hubungan epidemiologi adalah kasus yang memenuhi
kriteria suspek Difteri dan mempunyai hubungan epidemiologi dengan kasus
konfirmasi laboratorium.
5. Kasus kompatibel klinis adalah kasus yang memenuhi kriteria suspek Difteri
namun tidak mempunyai hubungan epidemiologi dengan kasus konfirmasi
laboratorium maupun kasus konfirmasi hubungan epidemiologi.
6. Kasus kontak adalah orang serumah, teman bermain, teman sekolah,
termasuk guru dan teman kerja yang kontak erat dengan kasus.
7. Kasus carrier adalah orang yang tidak menunjukkan gejala klinis, tetapi hasil
pemeriksaan laboratorium menunjukkan positif Corynebacterium diphteriae.

9
Dalam pelaksanaan surveilans, kasus Difteri dapat diklasifikasikan
berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium sebagai berikut:
1) Kasus konfirmasi laboratorium adalah kasus suspek Difteri dengan hasil
kultur positif dan atau PCR positif yang telah dikonfirmasi dengan Elek test
2) Kasus konfirmasi hubungan epidemiologi adalah kasus yang memenuhi
kriteria suspek Difteri dan mempunyai hubungan epidemiologi dengan kasus
konfirmasi laboratorium.
3) Kasus kompatibel klinis adalah kasus yang memenuhi kriteria suspek Difteri
namun tidak mempunyai hubungan epidemiologi dengan kasus konfirmasi
laboratorium maupun kasus konfirmasi hubungan epidemiologi.
B. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada difteri bertujuan untuk
menentukan diagnosis definitif difteri melalui pemeriksaan bakteriologis dan
kultur. Penting juga untuk dilakukan pemeriksaan EKG sedini mungkin untuk
melihat ada tidaknya miokarditis akibat difteri.
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan
bakteriologis, kultur, pemeriksaan toksigenisitas, dan pemeriksaan laboratorium
lainnya. Walau demikian, perlu diingat bahwa tata laksana difteri harus segera
dilakukan pada pasien tanpa menunggu hasil pemeriksaan laboratorium terlebih
dahulu.
b. Pemeriksaan bakteriologis
Pewarnaan gram menunjukkan gambaran kuman gram positif, berbentuk basil
seperti tongkat, tidak berkapsul, dan nonmotil dalam kelompok-kelompok.
c. Kultur
Sampel dapat diambil dengan menggunakan apusan dari hidung,
pseudomembran, kripta tonsil, ulkus, atau diskolorasi. Kuman difteri yang
terisolasi harus diperiksa lebih lanjut untuk menilai produksi toksin. Apus
tenggorokan dan faring juga perlu dilakukan pada orang yang sering kontak
dengan pasien.

10
d. Toksigenisitas
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan apakah terdapat produksi toksin.
Pemeriksaan Elek menilai terbentuknya immunoprecipitin band pada kertas
saring yang sudah diberikan antitoksin dan diletakkan di agar yang terdapat hasil
kultur kuman yang ingin dinilai. Selain itu dapat dilakukan Polymerase Chain
Reaction (PCR) untuk mendeteksi sekuens DNA yang mengkode subunit A
toksin. Pemeriksaan ini bersifat cepat dan sensitif sehingga sangat bermanfaat
untuk skrining dan untuk konfirmasi bakteriologis terutama pada saat terjadi
wabah.
e. Pemeriksaan laboratorium lainnya
Pemeriksaan darah rutin dapat menunjukkan leukositosis sedang. Urinalisis
dapat menunjukkan proteinuria transien. Selain itu, juga dapat dilakukan
pemeriksaan antibodi serum terhadap toksin difteri sebelum pemberian
antitoksin. Pada kecurigaan terjadi miokarditis, dapat dilakukan pemeriksaan
troponin I.
f. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan foto polos toraks dan radiografi/Computed
Tomography/ultrasonografi jaringan lunak leher dapat menunjukkan
pembengkakan jaringan lunak, epiglotis yang membesar, serta penyempitan area
subglotis. Ekokardiografi dapat menunjukkan vegetasi katup, tetapi manifestasi
sistemik ini jarang terjadi.
g. Pemeriksaan lain
Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) sebaiknya dilakukan pada waktu pertama
kali terdiagnosis difteri untuk mendeteksi miokarditis secara dini. Pemeriksaan
EKG serial juga perlu dilakukan jika selama perjalanan penyakit dicurigai terjadi
miokarditis. Gejala miokarditis difteri pada anak mulai dari kelemahan badan
yang tidak spesifik sampai keluhan terkait gagal jantung kongestif, seperti
keluhan sesak nafas, rasa tidak nyaman di dada, hipotensi, dan palpitasi.
Pemeriksaan EKG dapat menunjukkan gambaran sinus takikardi, perubahan
gelombang ST (elevasi atau depresi), inversi gelombang T, right bundle branch

11
block, dan multiple atrial ectopic. Selain itu, peningkatan enzim jantung, seperti
enzim CK-MB dan troponin T juga mendukung diagnosis dan memprediksi
mortalitas.
C. Cara penanganan sampel yang tepat
A. Sasaran/Target Pengambilan Spesimen
a) Tersangka/suspek
b) Orang kontak erat dengan suspek (dalam satu keluarga)
c) Orang kontak (yang menjaga di rumah sakit, guru, teman sekolah,
teman kerja, teman mengaji)
B. Jenis Spesimen Pemeriksaan
a) Usap Tenggorok (Throat swab)
b) Usap Hidung (Nasal swab)
c) Usap Luka (Wound swab) dan Usap Mata (Eyes swab) jika diduga
merupakan sumber penularan
C. Waktu Pengambilan
a) Saat penderita dinyatakan suspect
b) Saat kontak penderita dengan gejala
D. Penatalaksanaan Spesimen Laboratorium
Penatalaksanaan spesimen laboratorium mulai dari persiapan, pengambilan,
penyimpanan dan pengiriman spesimen.
1. Persiapan pengambilan spesimen.
Bahan dan peralatan yang diperlukan untuk pengambilan specimen di
lapangan:
a) Peralatan Alat Pelindung diri (APD: Jas Lab; Sarung tangan; Masker
(Surgical mask), Tutup Kepala, Kantong Biohazard, Desinfektan
(alkohol 70%).
b) Peralatan Pengambilan Spesimen: Media Transport (Medium Amies
atau silica gel packed); Kotak cryo vial/rak tabung; Swab kapas steril
(terbuat dari polyester); Spatula/ penekan lidah.

12
2. Persiapan sebelum pengambilan spesimen
a) Pelaksana merupakan Petugas kesehatan/ petugas surveilans yang sudah
dilatih tentang tata cara pengambilan spesimen Difteri.
b) Menyiapkan formulir laboratorium (daftar identitas pasien atau kontak)
yang harus diisi.
c) Bahan dan peralatan :
– Alat Pelindung Diri (Jas Laboratorium lengan panjang, Sarung tangan,
Masker bedah, penutup kepala)
– Media transport Amies atau slicagel packed media
– Cotton Swab
– Spatula/ penekan lidah
– Cairan disinfectan (alkohol 70% - 85%, hipoklorit 5%)
– Wadah plastik infeksius
– Peralatan tulis
3. Pengambilan spesimen
b. Spesimen usap tenggorok
 Tujuan: Mendapatkan spesimen usap tenggorok yang memenuhi
persyaratan untuk pemeriksaan bakteri Corynebacterium diphtheriae.
 Prosedur pengambilan:
1) Siapkan media Amies & swab steril, tuliskan identitas penderita
yang akan diambil spesimen (nama, umur, jenis kelamin, tanggal dan
jam pengambilan).
2) Posisi petugas pengambil berada disamping kanan penderita.
3) Penderita dipersilahkan duduk dengan sandaran dan tengadahkan
kepala penderita.
 Jika penderita di tempat tidur maka penderita diminta terlentang
 Penderita diminta membuka mulut dan mengatakan “AAA”
 Buka swab dari pembungkusnya, dengan spatula tekan pangkal
lidah, kemudian usapkan swab pada daerah faring dan tonsil

13
kanan kiri. Apabila terdapat membran putih keabuan usap
disekitar daerah tersebut dengan menekan agak kuat (bisa
sampai berdarah).
4) Buka tutup media Amies masukkan segera swab (swab harus
terendam media) tutup rapat.
5) Masukan media Amies dalam spesimen carrier dan kirim segera ke
Laboratorium Pemeriksa disertai form list kasus difteri individu dan
Form Laboratorium.
c. Spesimen usap hidung
 Tujuan: Mendapatkan spesimen usap hidung yang memenuhi
persyaratan untuk pemeriksaan bakteri Corynebacterium diphtheriae.
 Prosedur pengambilan:
1) Siapkan media Amies & swab steril, tuliskan identitas penderita
yang akan diambil spesimen (Nama, Umur, Jenis Kelamin, Tanggal
dan Jam Pengambilan).
2) Posisi petugas pengambil berada disamping kanan penderita.
3) Penderita dipersilahkan duduk dengan sandaran dan tengadahkan
kepala penderita.
4) Jika penderita di tempat tidur maka penderita diminta terlentang.
5) Buka swab dari pembungkusnya, masukkan swab pada lubang
hidung sejajar palatum, biarkan beberapa detik sambil diputar pelan
dan ditekan (dilakukan untuk hidung kanan dan kiri).
6) Buka tutup media Amies masukkan segera swab (swab harus
terendam media) tutup rapat.
7) Masukan media Amies dalam spesimen carrier dan kirim segera ke
laboratorim Laboratorium Pemeriksa disertai Form Laboratorium.
c. Usap luka (wound swab)
 Tujuan: mendapatkan spesimen usap luka yang memenuhi
persyaratan untuk pemeriksaan bakteri C.diphtheriae.

14
 Prosedur pengambilan:
a) Siapkan media Amies & swab steril, tuliskan identitas pasien yang
akan diambil spesimen (Nama, Umur, Jenis Kelamin, Tanggal dan
Jam Pengambilan).
b) Sebelum dilakukan swab luka, luka jangan dibersihkan terlebih
dahulu untuk mendapatkan jumlah spesimen yang cukup dan
organisme yang maksimal.
 Lakukan swab luka pada daerah yang dicurigai, putar swab searah
jarum jam sekali saja, Lalu tarik kapas swab dengan hati-hati,
masukkan ke dalam media transport amies).
2.7 Cara Pencegahan Penyakit Difteri
1. Imunisasi DPT
Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan tetanus dan
pertusis (DPT) sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan selang
penyuntikan satu sampai dua bulan. Pemberian imunisasi ini akan memberikan
kekebalan aktif terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus dalam waktu bersamaan.
Efek samping yang mungkin akan timbul adalah demam, nyeri dan bengkak pada
permukaan kulit, cara mengatasinya cukup diberikan obat penurun panas. Berdasarkan
program dari Departemen Kesehatan RI imunisasi perlu diulang pada saat usia sekolah
dasar yaitu bersamaan dengan tetanus yaitu DT sebanyak 1 kali. Sayangnya kekebalan
hanya diperoleh selama 10 tahun setelah imunisasi, sehingga orang dewasa sebaiknya
menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali (Wijaya, 2004).
Vaksin yang digunakan untuk mencegah penyakit Difteri ada 3 macam, yaitu:
1. DPT-HB-Hib (vaksin kombinasi mencegah Difteri, Pertusis, Tetanus,
Hepatitis B dan Meningitis serta Pneumonia yang disebabkan oleh
Haemophylus infuenzae tipe B).
2. DT (vaksin kombinasi Difteri Tetanus).
3. Td (vaksin kombinasi Tetanus Difteri).

15
Imunisasi tersebut diberikan dengan jadwal:
1. Imunisasi Dasar:
Bayi usia 2, 3 dan 4 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib dengan interval 1
bulan.
2. Imunisasi Lanjutan:
a. Anak usia 18 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib 1 kali.
b. Anak Sekolah Dasar kelas 1 diberikan vaksin DT pada Bulan Imunisasi
Anak Sekolah (BIAS).
c. Anak Sekolah Dasar kelas 2 dan 5 diberikan vaksin Td pada Bulan
Imunisasi Anak Sekolah (BIAS).
d. Wanita Usia Subur (termasuk wanita hamil) diberikan vaksin Td.
2. Penyuluhan tentang bahaya difteri
Selain pemberian imunisasi perlu juga diberikan penyuluhan kepada masyarakat
terutama kepada orang tua tentang bahaya dari difteri dan perlunya imunisasi aktif
diberikan kepada bayi dan anak-anak (Wijaya, 2004).
3. Memperhatikan kebutuhan hygiene
Mencegah penyakit difteri penting pula untuk menjaga kebersihan badan, pakaian
dan lingkungan. Penyakit menular seperti difteri mudah menular dalam lingkungan
yang buruk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, selain menjaga kebersihan
diri kita juga harus menjaga kebersihan lingkungan sekitar. Disamping itu juga perlu
diperhatikan makanan yang kita konsumsi. Jika kita harus membeli makanan diluar,
pilihlah warung yang bersih. Jika telah terserang difteri, penderita sebaiknya dirawat
dengan baik untuk mempercepat kesembuhan dan agar tidak menjadi sumber penularan
bagi yang lain (Kartono, 2008).

16
2.8 Cara Pengobatan Penyakit Difteri
Pengobatan pada penderita difteri bertujuan untuk menginaktivasi toksin yang
belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal,mengeliminasi C.Diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati
infeksi penyerta dan penyulit difteri. Antitoksin difteri hanya berpengaruh pada toksin
yang bebas atau yang terabsorpsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi toksin yang telah
melakukan penetrasi kedalam sel (Detending RR, 2007)
1. Pengobatan Umum
a) Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negative 2 kali berturut-turut, pada umumnya pasien tetap
diisolasi selama 2-3 minggu.
b) Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu.
c) Memberikan makanan lunak dan mudah dicerna, cukup mengandung
protein dan kalori.
d) Penderita diawasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi antara lain
dengan pemeriksaan EKG setiap minggu selama 5 minggu.
e) Khusus pada difteri laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga
kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer (Sing A, 2005).
2. Pengobatan Khusus
a) Antitoksin: Anti Difteri Serum(ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah diagnosis difteri. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita
kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka
kematian ini bisa meningkat sampai 30% (Sing A,2005).
b) Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin melainkan
untuk membunuh bakteri, menghentikan produksi toksin dan mencegah
penularan organisme pada kontak. C. Diphtheriae biasanya rentan
terhadap berbagai agenin vitro, termasuk penisilin, eritromisin,
klindamisin, rifampisin dan tetrasiklin.

17
2.9 Epidemiologi Penyakit Difteri
Munculnya wabah difteri di Uni Soviet telah menjadi perhatian dalam
epidemiologi penyakit. Selama tahun 1980-1994 wabah difteri telah menyebar ke
15 negara federasi Uni Soviet. Sedangkan di Eropa pada tahun 1992 terjadi wabah
difteri yang mempunyai hubungan dengan kejadian wabah di Uni Soviet, antara lain di
Belgia, Inggris, Firlandia, Jerman,Yunani,dan Polandia. Di Polandia pada tahun1992-
1995dilaporkan 19 dari 25 orang yang didiagnosa difteri sebelumnya telah
mengunjungi negara lain diantaranya Rusia, Ukraina dan Belarus.
Jumlah kejadian difteri berdasarkan data WHO 2013 tercatat sebanyak 4.680
kasus yang tersebar luas dan sebagian besar terkonsentrasi di benua Asia. Pada tahun
2014, tercatat sebanyak 7347 kasus dan 7217 kasus diantaranya (98%) berasal dari
negara-negara anggota WHO South East Asian Region (SEAR). Jumlah kasus difteri
didunia tahun 2016 adalah sebanyak 7097 kasus dimana sebagian besar berada di negara
bagian Asia dan Afrika. Berdasarkan data WHO 2016, India menduduki peringkat
pertama jumlah kasus difteri sebanyak 3380 kasus, Madagaskar diperingkat kedua
dengan 2865 kasus dan Indonesia diperingkat ketiga dengan 342 kasus.
Pada tahun 2013 jumlah kasus difteri di Indonesia dilaporkan sebanyak 775
kasus (19% dari total kasus SEAR), selanjutnya jumlah kasus menurun menjadi 430
kasus pada tahun 2014 (6% dari total kasus SEAR). Diantara beberapa negara ASEAN,
Indonesia menduduki posisi tertinggi jumlah kasus difteri. Pada tahun 2016 Indonesia
menduduki posisi pertama dengan 342 kasus, Myanmar di posisi kedua dengan 136
kasus dan Philipina di posisi ketiga dengan 42 kasus.
Jumlah kasus difteri di Indonesia sedikit meningkat pada tahun 2016 jika
dibandingkan tahun 2015 (252 kasus pada tahun 2015 dan 415 pada tahun 2016) dengan
CFR difteri yaitu sebesar 5,8 %. Pada tahun 2016 diantara 33 provinsi di Indonesia
sebanyak 20 provinsi melaporkan terdapat kasus difteri diwilayahnya. Dari jumlah
tersebut, kasus tertinggi terjadi di Jawa Timur dengan 209 kasus dan Jawa Barat yaitu
133 kasus. Dari seluruh kasus difteri, sebesar 51% diantaranya tidak mendapatkan
vaksinasi. Jumlah Kabupaten/Kota yang terdampak pada tahun 2016 mengalami

18
peningkatan jika dibandingkan dengan jumlah Kabupaten/ Kota pada tahun 2015.
Tahun 2015 sebanyak 89 Kabupaten/Kota dan pada tahun 2016 menjadi 100
Kabupaten/Kota.KLB difteri pada saat ini memiliki gambaran yang berbeda daripada
KLB sebelumnya yang pada umumnya menyerang anak balita. KLB kali ini ditemukan
pada kelompok umur 1-40 tahun dimana 47% menyerang anak usia sekolah (1-14
tahun) dan 34% menyerang umur diatas 14 tahun. Data tersebut menunjukkan proporsi
usia sekolah dan dewasa rentan terhadap difteri cukup tinggi.
Jumlah kasus difteri pada tahun 2017 sebanyak 954 kasus dengan jumlah kasus
meninggal sebanyak 44 kasus, sehingga CFR difteri di Indonesia pada 2017 yaitu
sebesar 4,61%. Dari jumlah tersebut, kasus tertinggi terjadi di Jawa Timur dengan 331
kasus dan Jawa Barat yaitu sebanyak 167 kasus. Gambaran kasus menurut kelompok
umur pada tahun 2017 menunjukkan bahwa sebesar 32,5% kasus difteri terjadi pada
kelompok umur 5-9 tahun. Kelompok umur dengan presentase terbanyak ke dua yaitu
pada kelompok umur 1-4 tahun, yaitu 19,1%. Hal itu menggambarkan bahwa cakupan
imunisasi rutin pada bayi dan booster (usia 18 bulan) belum mencapai target program
dan belum merata di setiap wilayah. Distribusi kasus terbanyak berikutnya berada pada
kelompok umur 19-40 tahun (19%). Hal ini menggambarkan kejadian difteri dapat
menyerang usia dewasa, sehingga perlu dipertimbangkan pemberian imunisasi pada usia
dewasa.
Kasus difteri pada tahun 2018 menyebar di hampir semua wilayah di Indonesia.
Jumlah kasus difteri pada tahun 2018 sebanyak 1.386 kasus, jumlah kematian sebanyak
29 kasus, dengan CFR sebesar 2,09%. Jumlah kasus difteri tahun 2018 meningkat
drastis hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2017 (954 kasus). Namun, jumlah
kematian akibat difteri menurun dari tahun 2017 (44 kasus). Berdasarkan provinsi,
jumlah kasus terbanyak terdapat di Jawa Timur sebanyak 385 kasus. Sementara itu,
terdapat 5 provinsi yang tidak ditemukan kasus difteri, yaitu D.I Yogyakarta, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, dan Papua Barat. Proporsi
kasus difteri terbesar terdapat pada kelompok umur di atas 14 tahun (15,1%), sedangkan
proporsi terendah terdapat pada kelompok umur kurang dari 1 tahun (0,9%) dan suspek
dengan umur tidak diketahui (1,1%). Penderita difteri yang divaksinasi tahun 2018

19
sebanyak 382 orang, dengan proporsi sebesar 27,56%. Provinsi dengan proporsi
penderita divaksinasi terhadap kasus difteri tertinggi yaitu Papua dan Bali, masing-
masing sebesar 100%. Sementara itu,provinsi dengan proporsi kasus difteri yang tidak
divaksinasi terendah, yaitu Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara,
masing-masing sebesar 0%.

Jumlah Kasus difteri tahun 2016 menurut Umur

Sumber: Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016

20
Sebaran kasus difteri tahun 2017

Sumber: Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017

Proporsi kasus difteri menurut Umur tahun 2017

Sumber: Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017


Sebaran Kasus Difteri tahun 2018

Sumber: Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017

21
Proporsi kasus difteri menurut Umur tahun 2018

Sumber: Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2018

Proporsi kasus difteri per penderita yang divaksinasi

Sumber: Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2018

22
Jumlah kasus difteri menurut provinsi tahun 2018

Sumber: Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2018

23
2.10 Penyelidikan KLB Penyakit Difteri
A. Definisi Operasional KLB
Suatu wilayah dinyatakan KLB Difteri jika ditemukan minimal 1 Suspek Difteri.
B. Kebijakan
1. Satu suspek Difteri dinyatakan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) dan
harus dilakukan penyelidikan dan penanggulangan sesegera mungkin untuk
menghentikan penularan dan mencegah komplikasi dan kematian.
2. Dilakukan tatalaksana kasus di Rumah Sakit dengan menerapkan prinsip
kewaspadaan standar, seperti menjaga kebersihan tangan, penempatan kasus
di ruang isolasi, dan mengurangi kontak kasus dengan orang lain
3. Setiap suspek difteri dilakukan pemeriksaan laboratorium.
4. Setiap suspek difteri dilakukan ORI (respon pemberian imunisasi pada
KLB) sesegera mungkin, pada lokasi kejadian dengan sasaran sesuai kajian
epidemiologi.
5. Laporan kasus difteri dilakukan dalam 24 jam secara berjenjang ke Ditjen
P2P cq. Subdit Surveilans.
C. Penyelidikan Epidemiologi KLB Difteri
Penyelidikan Epidemiologi dilakukan terhadap setiap adanya 1 kasus difteri,
baik dari rumah sakit, puskesmas maupun masyarakat, yang bertujuan untuk
menegakkan diagnosis, memastikan terjadi KLB dan menentukan kasus
tambahan serta kelompok rentan.
a. Pelacakan kasus
Pelacakan kasus ke lapangan sangat penting karena kemungkinan akan
didapatkan kasus tambahan. Setiap kasus difteri dilakukan pelacakan dan
dicatat dalam formulir penyelidikan KLB difteri Pelacakan ke lapangan
sebaiknya segera setelah mendapatkan informasi dari rumah sakit atau
sumber lainnya.

24
b. Identifikasi kontak
 Kontak serumah
Kontak serumah didatangi dengan menggunakan form pelacakan difteri,
seluruh anggota keluarga diperiksa dan diambil apusan tenggorokan atau
apusan hidung. Bagi yang menunjukkan gejala klinis difteri segera dirujuk
ke rumah sakit.
 Kontak sekolah/ tetangga
Teman sekolah dan teman bermain atau tetangga terdekat indek kasus
terutama pada kontak yang ditemukan tanda-tanda faringitis atau pilek-pilek
dengan ingus kemerahan, maka segera dilakukan pemeriksaan
spesimen/swab tenggorokan. Guru sekolah dapat dimintakan bantuan
melakukan pengamatan terhadap anak sekolah yang menunjukkan gejala
agar segera melaporkan ke petugas kesehatan
1. Penanggulangan KLB Difteri
Penanggulangan KLB difteri ditujukan pada upaya pengobatan penderita
untuk mencegah komplikasi yang berat serta sekaligus menghilangkan
sumber penularan. Imunisasi diberikan untuk memberikan perlindungan
pada kelompok masyarakat rentan.
Adanya satu kasus difteri mengharuskan upaya pencarian kasus lain pada
kelompok rentan yang dicurigai, terutama kontak serumah, tetangga, teman
sepermainan, teman sekolah atau tempat bekerja, serta upaya pencarian
sumber penularan awal atau tempat kemungkinan adanya carrier.
Disamping identifikasi kasus baru lainnya, identifikasi cakupan imunisasi
pada bayi dan anak sekolah selama 5-10 tahun terakhir perlu dilakukan
dengan cermat.
b. Tatalaksana kasus
Kasus probable dirujuk ke Rumah Sakit, rawat dalam ruang terpisah dengan
penderita lain. Anti Difteri Serum (ADS) 20.000 Unit intra muskuler
diberikan jika membrannya hanya terbatas pada nasal atau permukaan saja,

25
jika sedang diberikan ADS 60.000 unit, sedangkan jika membrannya sudah
meluas diberikan ADS 1000.000-120.000 unit. Sebelum pemberian serum
dilakukan tes sensitivitas. Antibiotik pilihan adalah penicillin 50.000
unit/kg BB/hari, diberikan sampai 3 hari setelah panas turun. Antibiotik
alternatif adalah erythomicyn 50 mg/kg BB/hari selama 14 hari.
Tracheostomi dapat dilakukan dengan indikasi dyspnea, stridor, epigastric
dan suprastenal reaction pada pernafasan.
c. Tatalaksana kontak
Kontak probable dan konfirmasi mendapat pengobatan profilaksis dengan
erythromycin 50 mg/kg BB selama 7-10 hari.
d. Kegiatan Imunisasi
Imunisasi dilakukan pada lokasi KLB dan dusun-dusun sekitarnya yang
memiliki cakupan imunisasi DPT dan DT kurang dari 80%, dengan
ketentuan :
 Anak kurang dari atau sama dengan 3 tahun mendapatkan imunisasi
DPT_HB sebanyak 2 dosis dengan selang waktu 1 bulan tanpa
memandang status imunisasi sebelumnya.
 Anak usia 3-7 tahun tahun mendapatkan imunisasi DT
 Anak usia lebih dari 7 tahun mendapatkan imunisasi Td
1. Kegiatan Surveilans Epidemiologi
a. Setiap laporan tentang adanya kasus yang datang dari masyarakat, petugas
kesehatan, Rumah Sakit, Puskesmas bahkan media, harus secepatnya
ditindaklanjuti dengan melakukan verifikasi informasi.
b. Verifikasi informasi diantaranya dengan menanyakan kembali informasi
yang lebih lengkap ke petugas surveilans tentang gejala, jumlah kasus,
waktu sakit dan tempatnya dan lain-lain.
c. Dilakukan kunjungan kepada kasus difteri untuk pengumpulan data riwayat
penyakit, faktor risiko, kontak dan risiko penularan dan penyebaran dengan
menggunakan format daftar kasus difteri individu

26
d. Setelah adanya kepastian bahwa informasi tersebut akurat terjadi KLB
penyakit difteri, secepatnya form W1 dilengkapi dengan daftar kasus difteri
individu dilaporkan secara berjenjang ke tingkat yang lebih tinggi.
e. Petugas yang melaksanakan penyelidikan epidemiologi adalah petugas yang
terlatih (dari Pustu, Puskesmas, Dinkes Kab/Kota, Dinkes Propinsi, dan
Kementerian Kesehatan.
f. Petugas yang melakukan penyelidikan epidemiologi harus menggunakan
APD yaitu minimal masker bedah,penutup kepala dan sarung tangan.
g. Setiap kasus Difteri yang ditemukan, diberi nomor epidemiologi. Tata cara
pemberian nomor epid pada kasus Difteri, sebagai berikut :
 Huruf D : Kode Kasus Difteri
 Digit ke 1-2 : Kode Propinsi
 Digit ke 3-4 : Kode Kab/ Kota
 Digit ke 5-6 : Kode Tahun Kejadian
 Digit ke 7-9 :Kode Penderita (dimulai dengan nomor 001 pada setiap
tahun) Contoh : D-132917001 (artinya : Kasus pertama di tahun 2017
dari Kabupaten Bangkalan, Provinsi Jawa Timur )
h. Catatan Hasil wawancara diupayakan agar bisa diketahui:
 Indeks kasus atau paling tidak dari mana kemungkinan kasus berawal.
 Kasus-kasus tambahan yang ada di sekitarnya.
 Cara penyebaran kasus.
 Waktu penyebaran kasus.
 Arah penyebaran penyakit.
Siapa, dimana, berapa orang yang kemungkinan telah kontak (hitung
pergolongan umur). Untuk mempermudah kemungkinan penyebaran
kasus, sebaiknya dibuat peta lokasi KLB dan kemungkinan mobilitas
penduduknya.
 Persiapan pemberian profilaksis dan imunisasi (ORI).

27
A. Data Record Review
Pada waktu penyelidikan epidemiologi KLB, diperlukan data sekunder
untuk mendukung analisis dan kesimpulan hasil penyelidikan. Data sekunder
yang diperlukan antara lain:
a) Jumlah penduduk berisiko sekitar kasus, kalau kasus dimaksud anak
sekolah maka data murid dan guru sekolah perlu diketahui.
b) Cakupan imunisasi DPT3, DT dan Td di wilayah KLB, paling tidak 5
tahun terakhir.
c) Peta wilayah untuk mempermudah melihat penyebaran kasus.
d) Kondisi cold chain dan permasalahannya.
e) Manajemen pengelolaan vaksin dan permasalahannya.
f) Jumlah petugas imunisasi, Bidan Desa setempat, Posyandu, dll dan
permasalahannya.
g) Data kasus Diphteri, kasus serupa Diphteri (ISPA) di Sistem
Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR).
h) Data kematian di STP dan PD3I Terintegrasi.
B. Identifikasi Faktor Risiko
a) Faktor risiko tertular difteri antara lain status imunisasi dan intensitas
kontak dengan kasus dan karier.
b) Faktor Risiko terjadinya KLB yaitu cakupan imunisasi yang rendah dan
endemisitas terhadap difteri.
C. Identifikasi Populasi (Kelompok) Risiko Tinggi
a) Populasi Risiko tinggi adalah populasi yang tidak mempunyai kekebalan
herediter maupun kekebalan buatan.
b) Kelompok masyarakat yang berdomisili di wilayah dengan cakupan
imunisasi rendah (<90%).
D. Pengambilan Spesimen
a) Spesimen pertama pada kasus Difteri diambil dari dua lokasi yaitu usap
hidung dan usap tenggorok, demikian juga dengan kontak erat yang
dicurigai menjadi karier.

28
b) Pengambilan spesimen dilakukan sebelum sasaran tersebut mendapatkan
profilaksis dengan Eritromisin.
c) Pengambilan spesimen dilakukan untuk konfirmasi kasus dan mengetahui
kepastian terjadinya penularan/penyebaran.
d) Spesimen diambil secukupnya. Keterwakilan kelompok dalam
pengambilan spesimen perlu dipertimbangkan. Misal, KLB Diphteri pada
anak TK (usia 6 th). Spesimen yang diambil adalah seluruh kontak
serumah (keluarga), beberapa kontak bermain (tetangga), beberapa kontak
sekolah (TK), beberapa kontak TPA (pengajian), dll.
e) Pada saat pengambilan spesimen perlu diperhatikan APD merupakan
perlengkapan utama TGC dalam melaksanakan penyelidikan epidemiologi
penyakit yang menular khususnya Difteri. APD yang digunakan adalah
masker bedah, hand sanitasi, sarung tangan
f) Khusus untuk petugas laboratorium yang mengambil spesimen, APD :
masker bedah, baju pelindung, sarung tangan, kaca mata pelindung,
pelindung kepala, hand sanitasi.
E. Sistem Kewaspadaan Dini KLB
Difteri adalah penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi
dan potensial menyebabkan KLB. Kasus difteri yang dilaporkan akhir-akhir ini
cenderung meningkat, oleh sebab itu perlu dilakukan penguatan pelaksanaan
surveilans Difteri yang terintegrasi dengan surveilans AFP melalui surveilans
aktif di rumah sakit sebagai upaya SKD KLB.
a. Puskesmas :
1) Penemuan kasus
Setiap kasus difteri yang ditemukan di wilayah puskesmas, dicatat dalam
formulir penyelidikan KLB difteri dan dilakukan pencarian kasus tambahan
serta identifikasi kontak. Dalam upaya penemuan / pelacakan kasus baru pada
waktu investigasi KLB dapat dikembangkan pencarian kasus di masyarakat
dengan gejala tonsilitis dan atau faringitis.

29
2) Pencatatan dan Pelaporan
 Petugas surveilans harus memastikan bahwa setiap kasus difteri yang
ditemukan, baik yang berasal dari dalam maupun luar wilayah kerja,
dicatat dan dilaporkan sebagai KLB. Kasus tersebut juga dilaporkan pada
laporan rutin STP ke Dinas Kesehatan Kabupaten/kota.
 Setiap minggu direkap dalam W2/PWS KLB dan dilaporkan Ke Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota sebagai alat SKD KLB.
3) Semua laporan rutin maupun laporan KLB didokumentasikan
4) Analisa data :
 Setiap akhir bulan dilakukan tabulasi kasus difteri menurut bulan, desa,
kelompok umur dan status imunisasi Membuat grafik trend kasus difteri
setiap bulan dan tahunan
 Membuat grafik kasus difteri berdasarkan status imunisasi dan golongan
umur
 Membuat spot map kasus difteri berdasarkan desa
 Mengidentifikasi daerah-daerah yang masih perlu mendapat perhatian
( daerah sulit, konflik dan lain-lain)
 Mapping populasi rentan difteri selama 5 tahun terakhir menurut desa.
5) Diseminasi Informasi :
Mendiskusikan hasil kajian data tersebut dengan pimpinan puskesmas dan
program terkait pada pertemuan berkala puskesmas.
b. Rumah Sakit (Surveilans Aktif)
1) Penemuan kasus
Penemuan kasus dapat dilakukan oleh kontak person rumah sakit atau saat
kunjungan aktif oleh petugas kabupaten.
2) Pencatatan dan Pelaporan
 Setiap kasus difteri dilaporkan dengan formulir KDRS ke Dinas
Kesehatan Kabupaten/kota. Apabila ditemukan pada saat petugas

30
kabupaten melakukan surveilans aktif RS, kasus dicatat dalam formulir
FPPD.
 Data tersebut direkap dalam formulir STP RS dan dilaporkan setiap
bulan ke Dinas kesehatan Kabupaten/kota
c. Kabupaten :
1) Penemuan kasus
Setiap minggu petugas dinas kesehatan kabupaten/kota mengunjungi rumah
sakit di wilayah kerjanya untuk mencari dan menemukan secara aktif kasus
difteri (diintegrasikan Surveilans AFP). Tata cara pelaksanaan surveilans aktif
RS lebih rinci lihat buku pedoman surveilans AFP tahun 2007. Setiap kasus
difteri yang dilaporkan dari rumah sakit segera diinformasikan ke puskesmas
lokasi kasus untuk pencarian kasus tambahan dan identifikasi kontak.
2) Pencatatan dan pelaporan
Laporan Integrasi
Lakukan rekapitulasi data difteri yang bersumber dari laporan KLB ke dalam
formulir integrasi. - Kirim laporan integrasi ke provinsi setiap bulan sebagai
lampiran laporan STP.
d. Provinsi :
1) Pencatatan dan pelaporan
2) Laporan Integrasi
 Rekap data difteri dari laporan integrasi kabupaten menggunakan
formulir integrasi provinsi
 Kirim laporan integrasi ke pusat cq. Subdit Surveilans setiap bulan.

31
Formulir Penyelidikan Epidemiologi Difteri
I. Identitas Pelapor
1. Nama : ____________________
2. Nama Kantor & Jabatan : ____________________
3. Kabupaten/Kota : _______________
4. Provinsi : ________________
5. Tanggal Laporan : ____/____/200_
II. Identitas Penderita

1. No. Epid :

2. Nama :

3. Nama Orang Tua/KK :

4. Jenis Kelamin : [1] Laki-laki [2]. Peremp, Tgl. Lahir : __/__/___,

5. Umur :__ th, __ bl

6. Tempat Tinggal Saat ini :

7. Alamat (Jalan, RT/RW, Blok, Pemukiman) :

8. Desa/Kelurahan : , Puskesmas:

9. Kecamatan :

10. Kabupaten/Kota : , Provinsi:

11. Tel/HP :

12. Pekerjaan :

13. Alamat Tempat Kerja :

14. Orang tua/ Saudara dekat yang dapat dihubungi :

15. Alamat (Jalan, RT/RW, Blok, Pemukiman) :

32
16. Desa/Kelurahan : , Kecamatan :

17. Kabupaten/Kota : , Provinsi : Tel/HP :

III. Riwayat Sakit


1. Tanggal mulai sakit (demam) :
2. Keluhan Utama yang mendorong untuk berobat:
3. Gejala dan Tanda Sakit
 Demam Tanggal : __/__/20__
 Sakit Kerongkongan Tanggal : __/__/20__
 Leher Bengkak Tanggal : __/__/20__
 Sesak nafas Tanggal : __/__/20__
 Pseudomembran Tanggal : __/__/20__
 Gejala lain, sebutkan _____________________________
4. Status imunisasi Difteri:
a. Belum Pernah b. Sudah, berapa kali: tahun: c. Tidak Tahu
5. Jenis Spesimen yang diambil:
a. Tenggorokan b. Hidung c. Keduanya
6. Tanggal pengambilan spesimen: ___/___/____ No. Kode Spesimen:
IV. Riwayat Pengobatan
1. Penderita berobat ke:
A. Rumah Sakit ; Dirawat Y/T Tracheostomi Y/T
B. Puskesmas; Dirawat Y/T
C. Dokter Praktek Swasta
D. Perawat/mantri/Bidan
E. Tidak Berobat
2. Antibiotik:
3. Obat lain:
4. ADS:

33
5. Kondisi Kasus saat ini:
a. Masih Sakit b. Sembuh c. Meninggal
V. Riwayat Kontak
1. Dalam 2 minggu terakhir sebelum sakit apakah penderita pernah bepergian
[1] Pernah [2] Tidak pernah [3] Tidak jelas
Jika Pernah, kemana:
2. Dalam 2 minggu terakhir sebelum sakit apakah penderita pernah berkunjung ke
rumah teman/saudara yang sakit/meninggal dengan gejala yang sama:
[1] Pernah [2] Tidak pernah [3] Tidak jelas
Jika Pernah, kemana:
3. Dalam 2 minggu terakhir apakah pernah menerima tamu dengan sakit dengan gejala
yang sama:
[1] Pernah [2] Tidak pernah [3] Tidak jelas
Jika Pernah, dari mana:
VI. Kontak kasus
NAMA/UMUR HUB DG STATUS HASIL LAB PROFILAKSIS
KASUS IMUNISASI
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

BAB III

PENUTUP

34
3.1 Simpulan
Difteri merupakan sebuah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri
Corynebacterium diphtheria (CD). Bakteri ini biasanya menyerang traktus respiratory
bagian atas, menyebabkan pembentukan ulcer pada mukosa dan pembentukan sebuah
pseudomembrane.Infeksi difteri dapat melibatkan berbagai lokasi membran mukosa.
Untuk kepentingan klinis, difteri dapat diklasifikasikan menurut lokasi anatomis
penyakit, yaitu difteri hidung, difteri tonsil dan faring, difteri laring, dan difteri di
tempat lainnya.
Bakteri C. diphtheriae merupakan salah satu jenis bakteri gram-positif yang
tidak membentuk spora. Pada kedua ujungnya bakteri ini memiliki granula
metakromatik yang memberi gambaran pada pewarnaan.Ada tigatipevariantsdari
Corynebacterium diphtheria iniyaitu tipemitis,tipe intermediusdan tipegravis.Difteri
umumnya memiliki masa inkubasi atau rentang waktu sejak bakteri masuk ke tubuh
sampai gejala muncul 2 hingga 5 hari (1-10 hari). Sumber penularan penyakit difteri
adalah manusia baik sebagai penderita maupun sebagai karier sedangkan cara
penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi atau kontak
dengan karier baik secara langsung maupun tidak langsung.
Ada beberapa penegakan diagnosa penyakit difteri yaitu pemeriksaan
penunjang, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan bakteriologis, kultur, toksigenisitas,
pemeriksaan laboratorium lainnya, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan lain dengan
EKG. Cara pencegahan pennyakit difteri dapat dilakukan dengan imunisasi DPT,
penyuluhan tentang bahaya difteri, dan memperhatikan kebutuhan hygiene sedangkan
cara pengobatannya dapat dilakukan dengan pengobatan umum dan pengobatan khusus.
Kasus difteri pada tahun 2018 menyebar hampir di semua wilayah di Indonesia.
Jumlah kasus difteri pada tahun 2018sebanyak 1.386 kasus,jumlah kematian sebanyak
29kasus, dengan CFR sebesar 2,09%. Jumlah kasus difteri tahun 2018 meningkat drastis
hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2017 (954 kasus). Namun, jumlah kematian
akibat difteri menurun dari tahun 2017 (44 kasus).
3.2 Saran

35
Diharapkan penyakit difteri dapat diatasi secara terencana, baik untuk jangka
pendek maupun jangka panjang. Hal yang perlu dilakukan yaitu edukasi mengenai
imunisasi yang diberikan oleh petugas kesehatan pada setiap kesempatan saat bertemu
dengan orang tua pasien atau penderita, mengadakan penyuluhan mengenai difteri
terutama kepada ibu-ibu dari anak yang terkena difteri dan masyarakat disekitar
lingkungan tersebut, dan untuk petugas kesehatan diharapkan lebih memfasilitasi orang
tua dari penderita difteri dalam mencari informasi mengenai difteri.

DAFTAR PUSTAKA

36
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN DIFTERI. Kementerian
Kesehatan RI Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan Direktorat Pencegahan
dan Pengendalian Penyakit Tahun 2017
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/8447/BAB%20II%20TINJAUAN
%20PUSTAKA.pdf?sequence=8&isAllowed=y
http://scholar.unand.ac.id/33458/2/PENDAHULUAN.pdf
http://scholar.unand.ac.id/35161/2/BAB%201%20Pendahuluan.pdf
https://baixardoc.com/preview/makalah-difteri-
5c4f6651402ddhttps://www.alomedika.com/penyakit/penyakit-infeksi/difteri/diagnosis
http://repositori.unsil.ac.id/901/3/BAB%20II%TINJAUAN%20PUSTAKA.pdf

37

Anda mungkin juga menyukai