Anda di halaman 1dari 31

TUGAS KELOMPOK

PENYELIDIKAN VEKTOR DAN BINATANG PEMBAWA PENYAKIT


(LALAT, KECOA, TIKUS)

OLEH :
KELOMPOK II :
1. Fery Anthony
2. Enna Aslina
3. Anggun Resky S Akib
4. Asrul Harjuna
5. Erniza Masherni
6. Nurhasanah

PELATIHAN JABATAN FUNGSIONAL ENTOMOLOGI KESEHATAN AHLI


TAHUN 2021
Telah terjadi bencana alam berupa Banjir Bandang di Masamba
Luwu Utara,Sulawesi Selatan. Masyarakat yang terdampak kemudian
mengungsi di beberapa hunian sementara (huntara). Seminggu
setelah bencana alam tersebut, dilaporkan terjadi peningkatan kasus
diare un causatif dan gangguan binatang pembawa penyakit di lokasi
huntara tsb. Sebagai seorang entokes, mendapat tugas untuk
melakukan penyeiidikan vektor dan binatang pembawa penyakit
(BP2) dari sisi faktor risiko lngkungan. Oleh karena itu pimpinan
menugaskan untuk melakukan penyelidikan vektor dan BP2
terhadap:
LAPORAN PENYELIDIKAN VEKTOR DAN BINATANG PENGGANGGU (LALAT,
TIKUS DAN KECOA) DI DAERAH MASAMBA,KAB.LUWU UTARA,SULAWESI
SELATAN

I. PENDAHULUAN

Analisis situasi daerah :

Daerah Masamba merupakan salah satu kota di kabupaten Luwu Utara di Provinsi
Sulawesi Selatan.Bencana banjir bandang yang terjadi di pertengahan juli di musim
penghujan.Bencana banjir bandang membawa air dan puing-puing kotoran ke daratan
sedangkan likuifaksi terjadi karena tanah berpasir yang terendam air sehingga tanah
kehilangan ikatan dan melarut, mengalir seperti cair. Perpaduan dari kedua bencana
tersebut menyebabkan tanah lembab dan basah yang kondusif sebagai tempat hidup
beberapa hewan vektor penyakit dan binatang pengganggu.
Masyarakat terdampak bencana mengungsi karena tempat tinggal (rumah) sudah
rusak dan tidak dapat ditempati. Masyarakat berkelompok pada beberapa kluster
tempat pengungsian dan tinggal pada tenda-tenda. Pengolahan makanan dilakukan
dapur umum pada setiap kluster pengungsian. Sarana sanitasi menggunakan toilet
sementara dan portable, sedangkan tempat pembuangan sampah berada di sekitar
pengungsian.

Bioekologi vektor dan binatang pengganggu :

a. Lalat

Lalat adalah serangga yang masuk ke dalam ordo Diptera dan terbagi menjadi
beberapa famili, yaitu: Tabanidae, Muscidae, Calliphoridae, Sarchopagidae,
Hippoboscidae, Gasterophilidae, dan Oestridae.

Siklus Hidup lalat M. Domestica


a.1. Musca Domestica
Salah satu contoh spesies pada famili Muscidae adalah Musca domestica yaitu lalat
rumah tangga. Siklus hidup lalat M. domestica dari telur sampai dewasa
membutuhkan waktu sekitar 8-11 hari. Telur diletakkan berkelompok dan berjumlah
100-150 butir. Tempat peletakan telur yang disukai adalah manur, feses, sampah
organic yang membusuk dan lembab. Setelah 6-8 jam, telur akan menetas menjadi
larva atau belatung. Larva terdiri dari 3 instar, dengan Panjang 10-12 mm. Lama
stadium larva adalah sekitar 5 hari, kemudian menjadi pupa. Sebelum menjadi pupa,
larva akan bergerak mencari tempat kering. Pupa menjadi lalat dewasa setelah 3-4
hari. Lalat dewasa bertelur kawin setelah 4-8 hari kawin.
Makanan lalat dewasa bisa berbentuk cair, semi padat dan padat. Selain struktur
morfologi, perilaku mencari makan lalat dan tempat perkembangbiakaanya
merupakan risiko terjadi masalah Kesehatan. Karena lalat dapat membawa organisme
pathogen (Virus, bakteri, fungi atau parasite) yang menyebabkan penyakir disentri,
kolera, salmonellosis, polio, trachoma, Coxsackie virus, hepatitis, Q fever. Lalat juga
menjadi vektor mekanis kecacingan,yitu: Taenia, Hymenolepis, Dipylidium,
Diphyllobothrium, Necator, Ancylostoma, Thelazia, Enterobius, Trichuris dan
Ascaris. Perilaku lain yang mendukung perpindahan penyakit oleh lalah adalah
regurgitasi dan defekasi. Regurgitasi adalah perilaku memuntahkan sebagian makanan
atau cairan dari mulut/ oesophagus , sedangkan defekasi adalah mengelurkan sisa
metabolisme (kotoran) dari system pencernaan. Lalat dewasa mempunyai jangkauan
terbang sejauh 6 – 32 km. Perbandingan lalat dewasa dan larva lalat adalah 1:4,
artinya jumlah populasi lalat dewasa diperkirakan sekitar 20% sedangkan larva lalat
adalah 80%.
Keberadaan lalat dewasa bisa menjadi pertanda buruknya sanitasi disekitar tempat
tersebut.
Titik kritis pengendalian lalat adalah pada saat fase larva, dan adanya pulvillus pada
bersifat seperti spon. Larva menjadi sasaran pengendalian karena mobilitasnya yang
terbatas (sekitar tempat perkembangbiakan) sedangkan sifat pulvillis seperti spons
akan menyerap insektisda ke dalam tubuh lalat.
Pengendalian Lalat dilakukan dengan penyemprotan insektisida pada tempat
perkembangbiakan, yaitu tempat sampah, tumpukan material organik basah, dll.

a.2. Chrysomya megacephala


C. megacepala (oriental latrine fly) biasa disebut lalat hijau mempunyai ukuran tubuh
yang lebih besar jika dibandikan dengan M.domestica, warna tubuhnya hijau, abu-
abu, perak mengkilat dengan abdomen gelap. Ukuran laalt dewasa 8-14 mm.
Berkembangbiak di bahan yang cair, atau semi cair yang berasal dari hewan, daging,
ikan, bangkai, sampah hewan, dan tanah yang mengandung kotoran hewan.
Meletakkan telur di luka hewan atau manusia. Dilaporkan lalat ini membawa cacing
Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura yang menempel pada bagian luar
tubuhnya. Pada penelitian di pasar Kota Mataram pada sampel lalat C. mrgachepala
ditemukan 70% sampel mengandung Salmonella typhi dan 20% S. parathypossa 1).
Jumlah telur lalat sebanyak 200-300 butir dan mentas setelah 9 – 10 jam. Telur pada
luka yang sudah menetas menjadi larva menyebabkan terjadinya miasis yaitu
investasi larva lalat (diphtera) ke dalam jaringan hidup manusia/hewan vertebrata
lainnya dalam periode tertentu dengan memakan jaringan inangnya, termasuk cairan
substansi tubuh. Miasis ini bisa memicu terjadi infeksi sekunder oleh bakteri. Lama
stadium larva adalah 5 – 6 hari, dan stadium pupae 5-6 hari, sehingga siklus total lalat
membutuhkan 10 – 12 hari.
Pengendalian lalat ini dilakukan dengan insektisida (pada tempat perkembangbiakan)
dan perangkap dengan atraktan (bau).
Note: 1) Femila, et al. Identifikasi Bakteri Salmonella Sp Pada Lalat Hijau
(Chrysomya Megacephala), Jurnal Analis Medika Biosains (JAMBS), Vol.5, No.1
(2018); http://jambs.poltekkes-mataram.ac.id/index.php/home/article/view/100
a.3. Sarcophaga

Lalat Sarchophaga sp disebut juga lalat daging mempunyai ukuran 10 – 15 mm,


dengan gambaran 3 garis longitudinal pada bagian thorax, abdomen berpola hitam-
abu spt papan catur. Lalat ini bersifat viviparity (larvipara) yaitu melahirkan larva.
Telur berada dalam abdomen lalat dan dikeluarkan pada saat menetas. Larva
diletakkan pada bangkai, bahan organi membusuk atau luka. Jika diletakkan pada luka
maka akan menyebabkan terjadinya miasis. Lalat jenis ini dilaporkan juga membawa
telur cacing Ascaris lumbricoides (cacing gilig) dan Tricuris trichiura (cacing
cambuk). Pengendalian lalat ini dilakukan dengan insektisida (pada tempat
perkembangbiakan) dan perangkap dengan atraktan (bau).

b. Kecoa
Merupakan serangga dari Ordo Blattodea, dengan ukuran tubuh bervariasi antara 1 –
50 mm. Bentuk tubuh oval/ lonjong, dorsoventral dan berwarna coklat muda sampai
coklat tua. Sayap lebar dan kokoh, mempunyai perisai saya yang disebut tegmina.
Bersifat nokturnal (aktif pada malam hari) atau diurnal (aktif pada siang hari),
sinantropik (hubungan ketergantungan yang tinggi dengan manusia karena zat-zat
makanan yang dibutuhkan lalat sebagian besar ada pada makanan manusia) serta
hidup berdampingan dengan rayap, semut, tikus dan kelelawar.

Siklus Hidup kecoa:


Siklus hidup kecoa termasuk dalam metamorfosa tidak sempurna karena tidak melalui
tahap pupae, sehingga siklusnya adalah telur, nimfa dan imago (dewasa). Telur kecoa
terkumpul dalam ooteka, yaitu lapisan keras yang melindungi telur dari gangguan
luar. Ooteka bersifat tahan terhadap zat kimia, mikroorganisme dan parasit sehingga
pembasmiannya dilakukan dengan cara fisik (dipanaskan atau dihancurkan). Bentuk
Ooteka setiap spesies berbeda-beda sehingga bisa digunakan sebagai kuci identifikasi.
Nimfa merupakan bentuk tidak sempurna imago (dewasa), karena belum terbentuk
alat reproduksi dan sayap. Lama fase ini berbeda untuk tiap spesies kecoa. Selama
fase nimfa, kecoa mengalami beberapa kali molting (ganti kulit). Kecoa imago
(dewasa) ditandai dengan munculnya sayap.
Kecoa mengganggu/ berdampak dengatif terhadapa manusia karena:
- Kontaminasi dan penular patogen. Kecoa membawa organisme pathogen ketika
mencari makan. Perilaku lalat terkait risiko ini adalah regurgitasi (memuntahkan
cairan di mulut/ oesophagus) dan grooming (menjilat/ menggerakkan antenna
dan kaki melewati mulut). Perilaku defekasi juga menyebabkan kontaminasi
bakteri.
- Bau tidak sedap. Kecoa menyebabkan timbulnya bau pada tempat hidupnya
(sarang).
- Pengganggu atau menimbulkan rasa jijik/ takut. Beberapa orang takut dengan
kecoa
- Menimbulkan reaksi alergi
- Gigitan. Walaupun jarang terjadi, gigitan kecoa cukup mengganggu karena
mempunyai gigi geraham yang kuat.
Spesies kecoa yang dikenal di Indonesia adalah:
1. Periplaneta americana
2. Blatella germanica
3. Periplaneta australasiae
4. Periplaneta brunnea
5. Neostylophyga rombifolia
6. Supella longipalpa
7. Symploce sp
Perbandingan spesies kecoa adalah sebagai berikut:
P.am B.ger P.aus S. long
Telur
- Ooteka 30 4-8 20 - 30 14
per betina
- Jumlah 14 - 28 37 22 - 24 14 - 18
per
ooteka
- Masa 25 – 40 hari 17 hari 40 hari 70 hari
Inkubasi
ooteka
Nimfa
- Periode 130 – 150 hari 40 - 41 180 hari 91 hari
- Jumlah 6 -7 kali 7 – 10 kali 10 – 12 kali 6 -8 kali
molting
- Warna Warna coklat tua, nimfa instar terakhir adanya dua buah
mempunyai bercak pita kuning yang
kuning terang menyilang di
sepanjang sisi bagian atas
abdomennya abdomen
- ciri lain Dua garis Lipas ini sangat
memanjang, aktif dan yang
sangat aktif dewasa akan loncat
apabila terganggu
Dewasa
- Ukuran Panjang 28-44 mm 10-15 mm (Lipas 31 – 37 mm 10-14 mm
(kecoa paling besar kecil)
- Abdomen merah kecoklatan Coklat muda agak tubuhnya berwarna Abdomen atau
kekuningan. lebih gelap atau perut lipas betina
Betina warna coklat kemerahan lebih lebar dan
lebih tua dari (gambir) lebih membulat dari
jantan pada yang jantan
Sayap jantan
menutupi abdomen
secara sempurna,
sedangkan sayap
betina lebih
pendek, tidak
menutupi seluruh
bagian abdomen

- Pronotum Warna Kuning keruh, Pronotum coklat, memiliki bercak Sayap betina
tengahnya terdapat dari atas tampak kuning muda seperti berwarna
sepasang dua garis hitam lipas amerika sama yaitu dari
bercak coklat memanjang. coklat kemerahan
Belakang abdomen sampai coklat
terdapat gelap, sedang yang
sepasang serkus jantan berwarna
panjangm tipis coklat gelap pada
dan runcing seperti bagian dasar, secara
cemeti bertahap menjadi
coklat terang ke
arah ujung
terdapat bagian
sayap yang terlihat
terang tembus
seakan akan
mempunyai pita
coklat pucat atau
kuning terang yang
menyilang dari
dasar sayap dan
pita lainnya pada
sepertiga bagian
atas sayap
- Waktu 250-350 hari 128-153 hari rata-rata 145 hari Betina : 90 hari
hidup Jantan : 115 hari
Habitat Lingkungan yang Lingkungan yang dapat dijumpai di serupa dengan lipas
hangat, hangat, lembab, sekitar permukiman, jerman yaitu
lembab, umum di umum restoran, rumah tempat-tempat yang
restoran, di dapur dan sakit, supermarket lembab, kotor, dan
bakeri, penyedia restoran atau gedung tempat gelap di
makanan. Suhu : 300 C terdapat bahan- sekitar
Seringkali berkaitan bahan makanan atau permukiman.
dengan saluran dan minuman disimpan Aktifitasnya
tempat nokturnal atau di
pembuangan malam hari
Suhu 30 – 330 C
Gambar

c. Tikus
Tikus merupakan binatang yang tergolong dalam ordo Rodentia. Terdapat 2.000
spesies di dunia, dan di Indonesia terdapat 161 spesies, dimana 9 spesies berpeeran
sebagai hama tanaman dan vektor pathogen.
Tikus merupakan hewan omnivora dan membutukan makan sampai dengan 10% berat
tubuh perhari (tikus) - 20% berat tubuh per hari (mencit) dan minum 15 – 30 ml per
hari (tikus), 3 ml per hari (mencit).
Tikus dan mencit mempunyai perilaku makan teratur untuk memenuhi kebutuhan
makannya namun, teikus lebih teratur jika dibandigkan mencit. Tikus mempunyai
kebiasaan mencipi dan mengenali makannya, neo-phobia (cenderung curiga pada
objek/ beda baru) dan perilaku bait shyness sehingga perilaku ini digunakan pre-
baiting dalam penggunaan umpan racun akut sedangkan pada pada umpan racun
kronis tidak diperlukan pre baiting. Tikus juga mempunyai perilaku hoarding, yaitu
mengumpulkan makanan pada lokasi tertentu.
Kemampuan fisik tikus adalah sebagai berikut :
1) Menggali → terestrial (footpad kecil, ekor pendek) rerata 50 cm, max 200 cm
2) Memanjat → arboreal (footpad besar, ekor panjang) pohon, tembok, pipa,
kawat, tali tambang
3) Melompat. Vertikal : 77 cm; Horizontal: 240 cm
4) Mengerat 5,5 skala kekerasan geologi
5) Berenang. Mampu berenang delama 50 – 72 jam dengan kecepatan 1,4
km/jam (tikus), 0.7 km/jam (mencit)
6) Menyelam selama 30 detik
Tikus mempunyai masa matang seksual selama 2 -3 bulan dengan masa bunting 21 –
23 hari dan oestrus elama 24-48 jam. Tikus mampu beranak sepanjang tahun dan
sekali beranak sebanyak 3 – 12 ekor. Anak tikus berwarna pink dan gundul mamapu
merespons suhu tubuh induknya, mempunyai bobot 4,5 – 6,5 gr (tikuss) 1,5 gr
(mencit), telinga berfungsi setelah 3 – 6 hari, mata berfungsi setelah 14 – 16 hari, gigi
seriatas mulai tumbuh setealh 11 hari sedangkan gigi seri bawah tumbuh setelah 10
hari. Setelah usia 4 minggu anak tikus disapih induknya. Tikus jantan mamapu kawin
setiap saat.
Tikus mempunyai daya jelajah harian sejauh 30 – 200 meter dan mampu mengetahui
adanya makanan pada jarak 700 meter. Hal ini digunakan untuk mengetahui jarak
umpan (racun) sehingga bisa dihitung jumlah umpan yang efektif.
Spesies tikus pengganggu tersebut adalah:
1. Bandicota indica (tikus wirok)
2. Bandicota bengalensis (tikus wirok kecil)
3. Rattus norvegicus (tikus riul)
4. Rattus rattus diardii (rattus kurozumi) (tikus rumah)
5. Rattus tiomanicus (tikus pohon)
6. Rattus argentiventer (tikus sawah)
7. Rattus exulans (tikus ladang)
8. Mus musculus (mencit rumah)
9. Mus caroli (mencit ladang)
Selain spesies tersebut diatas, terdapat spesies lain yang mirip tikus namun tidak
masuk dalam ordo Rodentia karena tidak termasuk hewan pengerat. Spesies
tersebut adalah Suncus murinus (cecurut rumah/ house shrew). Hewan ini
termasuk dalam golongan insectivore yaitu hewan yang makan insecta
(serangga). Cecurut mempunyai bentuk moncong yang sangat runcing, ekor yang
sangat pendek, berjalan relatif lambat, kotorannya basah, dan mengeluarkan bau
saat melintas yang berasal dari kelenjar dekat lubang anus (kelenjar anal).
Perbandingan beberapa spesies tikus adalah sebagai berikut:
B. indica R. R. rattus R. Argentiventer M. musculus
norvegicus diardii
Tekstur kasar, panjang kasar, agak agak kasar agak kasar lembut, halus
rambut panjang
Bentuk kerucut kerucut kerucut kerucut kerucut
hidung terpotong terpotong
Bentuk silindris agak silindris agak silindris silindris silindris
badan membesar ke membesar ke
belakang belakang
Badan hitam coklat hitam coklat hitam coklat kelabu coklat hitam
dorsal kelabu kelabu kehitaman kelabu
Badan hitam coklat kelabu coklat hitam kelabu pucat atau coklat hitam
ventral (pucat) kelabu putih kotor kelabu
Ekor hitam gelap coklat gelap coklat gelap coklat gelap
dorsal
Ekor hitam gelap agak coklat gelap coklat gelap coklat gelap
ventral pucat
habitat gudang, gudang di gudang sawah (pertanaman gudang,
pemukiman kota-kota makanan, padi dan tebu) pada pemukiman
manusia, pelabuhan, pemukiman ketinggian kurang manusia
saluran pemukiman manusia dari 1.500 m dpl,
pembuangan air manusia di terutama di pekarangan
di perumahan, kawasan langit-langit
pertanaman padi pesisir
dan tebu pantai, dan
saluran
pembuangan
air di
perumahan
Nama Tikus Wirok Tikus Riul, Tikus Rumah, Tikus Sawah, Mencit Rumah
lain Besar) Norway Rat Black Rat) Ricefield Rat
Gambar

2. DASAR HUKUM KEGIATAN


1. UU Nomor 4 tahun 1984, tentang Wabah Penyakit Menular,
2. UU No. 24 tahun 2007 tantang Penanggulangan Bencana
3. UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan,
4. PP Nomor 40 tahun 1991, tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular,
5. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 560 tahun 1989 tentang jenis penyakit tertentu
yang dapat menimbulkan wabah
6. Permenkes RI Nomor 374/Menkes/Per/III/2010 Tanggal 17 Maret 2010 tentang
pengendalian vektor,
7. Permenkes No 50 Tahun 2017 Tentang Baku Mutu Standar Baku Mutu Kesehatan
Lingkungan Dan Persyaratan Kesehatan Untuk Vektor Dan Binatang Pembawa
Penyakit Serta Pengendaliannya
8. Permenkes No. 75 Tahun 2019 tentang Penanggulangan Krisis Kesehatan

3. TUJUAN
Tujuan Umum :
Menurunkan populasi vektor serendah mungkin secara cepat sehingga keberadaannya
tidak lagi berisiko untuk terjadinya penularan penyakit tular vektor di suatu wilayah
daerah bencana banjir bandang di Luwu Utara Sulawesi Selatan
Tujuan khusus :
a. Melakukan pemetaan faktor risiko penyakit akibat vektor dan binatang
pengganggu
b. Melakukan penyelidikan epidemiologi vektor (lalat, kecoa dan tikus)
c. Melakukan surveilans vektor dan binatang pengganggu (lalat, kecoa dan tikus)
d. Melakukan pengamatan bionomik vektor dan binatang pengganggu (lalat, kecoa
dan tikus)
e. Melakukan pengendalian vektor dan binatang pengganggu berdasarkan hasil
survey

4. BAHAN DAN METODE

Penyelidikan vektor

lalat

a. Sasaran Penyelidikan
Sasaran penyelidikan dilakukan pada tempat-tempat potensial perindukan lalat
sebagai berikut :
a. lokasi tempat penampungan sampah yang ada di sekitar lokasi pengungsian
b. lokasi sumber-sumber makanan dan sisa makanan yang menarik bagi vektor lalat
misal di dapur umum, gudang makanan
c. lokasi tempat pembuangan kotoran manusia yang ada di daerah penampungan

b. Bahan dan Peralatan


a. Kegiatan pemetaan daerah potensial faktor risiko perindukan lalat
1) Formulir
2) Alat tulis
3) Alat GPS
4) Kendaraan lapangan

b. Kegiatan Pengamatan (survei)


1) Flygrill set
2) Tally counter
3) anemometer
4) thermohygrometer
5) kendaraan lapangan
6) formulir dan alat tulis
c. Kegiatan pengendalian dengan penyemprotan
1) Kendaraan lapangan
2) Alat mist blower
3) Alat spraycan
4) Ember
5) Pengaduk
6) Pakaian kerja (helm, kacamata, wearpak, sarung tangan, masker)
7) Bahan insektisida pyrethroid
8) Bahan bakar
9) Air bersih
10) Lap majun

c. Metode Penyelidikan

1) Pengamatan (survey)
Tujuan untuk mengetahui angka kepadatan lalat di tempat penampungan
sampah, lokasi sumber-sumber makanan dan sisa makanan yang menarik bagi
vektor lalat misal dapur umum serta lokasi tempat pembuangan kotoran
manusia yang ada di daerah penampunga. Kepadatan lalat diukur dengan
menggunakan alat fly grill. Mekanisme pengamatan lalat dilakukan dengan
metode Scudder (1947).
Langkah – langkah kerja pengukuran kepadatan lalat adalah sebagai berikut :
a. Persiapkan alat dan bahan seperti yang telah disebutkan di atas.
b. Letakkan fly grill pada tempat yang datar di titik lokasi pengamatan
c. Biarkan beberapa saat agar lalat beradaptasi dengan fly grill
d. Letakkan alat thermohigrometer untuk mengukur suhu dan kelembaban
serta anemometer untuk mengukur kecepatan angin pada titik pengukuran
e. Catat hasil pengukuran pada formulir yang tersedia
f. Lakukan pengamatan dilakukan selama 30 detik per titik pengukuran,
kemudian lalat yang hinggap pada fly grill dihitung dengan tally counter.
g. Perhitungan kepadatan lalat dilakukan dengan melakukan pengamatan
selama 10 kali di titik yang berbeda, kemudian dari 5 pengukuran dipilih
nilai tertinggi dan dihitung rata-ratanya dan akan diperoleh angka
kepadatan lalat.
h. Melakukan interpretasi angka rata-rata kepadatan lalat menurut Permenkes
No. 50 Tahun 2017 sebagai berikut :
≤ 2 / 30 detik : kepadatan rendah
> 2/ 30 detik : kepadatan tinggi / padat

2) Tindakan pengendalian dengan perbaikan lingkungan dan


pengendalian secara kimia (penyemprotan insektisida)

a. Tentukan lokasi pengendalian


b. Lokasi pengendalian ditetapkan berdasarkan hasil pengukuran
kepadatan lalat
c. Persiapan alat dan bahan pengendalian
d. Pastikan alat berfungsi baik
e. Petugas menggunakan APD lengkap
f. Campurkan insektisida dan pelarut lalu tuangkan ke dalam alat mist
blower atau spray can
g. Lakukan penyemprotan pada tempat potensial lalat sesuai
hasil rekomendasi
h. Bersihkan alat setelah selesai penyemprotan
i. Bersihkan diri dan melepas APD

Penyelidikan vektor kecoa


a. Sasaran Penyelidikan
Sasaran penyelidikan dilakukan pada tempat-tempat potensial perindukan
kecoa sebagai berikut :
a. Lokasi hunian sementara pengungsi
b. lokasi tempat penampungan sampah yang ada di sekitar lokasi
pengungsian
c. lokasi sumber-sumber makanan dan sisa makanan yang menarik bagi
vektor kecoa misal di dapur umum, gudang makanan
d. lokasi tempat pembuangan kotoran manusia yang ada di daerah
penampungan
b. Bahan dan Peralatan
1. Kegiatan pemetaan daerah potensial faktor risiko
perindukan kecoa
 Formulir
 Alat tulis
 Alat GPS
 Kendaraan lapangan

2. Kegiatan Pengamatan (survei) secara visual


 Perangkap kecoa pakai habis (hoy hoy trap)
 kaca pembesar / cermin bertangkai
 senter
 thermohygrometer
 kendaraan lapangan
 formulir dan alat tulis
3. Kegiatan pengendalian dengan penyemprotan
 Kendaraan lapangan
 Alat mist blower
 Alat spraycan
 Ember
 Pengaduk
 Pakaian kerja (helm, kacamata, wearpak, sarung tangan, masker)
 Bahan insektisida pyrethroid
 Bahan bakar
 Air bersih
 Lap majun
c. Metode Penyelidikan

1. Pengamatan (survey) dengan pengamatan secara visual dan


pemasangan perangkap kecoa pakai habis
Tujuan untuk mengetahui angka kepadatan kecoa di lokasi hunian
pengungsi, tempat penampungan sampah, lokasi sumber-sumber makanan
dan sisa makanan yang menarik bagi vektor kecoa misal dapur umum serta
lokasi tempat pembuangan kotoran manusia yang ada di daerah
penampungan.
Langkah – langkah kerja pengukuran kepadatan kecoa adalah sebagai
berikut :
a. Persiapkan alat dan bahan seperti yang telah disebutkan di atas.
b. Lakukan pemeriksaan tanda-tanda keberadaan kecoa pada lokasi yang
telah ditentukan dengan menggunakan senter dan kaca pembesar atau
cermin bertangkai
c. Letakkan alat thermohigrometer untuk mengukur suhu dan
kelembaban
d. Letakkan perangkap kecoa pakai habis pada tempat yang dicurigai
terdapat perindukan kecoa. Perangkap kecoa diletakkan selama 1 x 24
jam dan amati kecoa yang tertangkap
e. Catat hasil pengukuran pada formulir yang tersedia
2. Tindakan pengendalian dengan perbaikan lingkungan
dan pengendalian secara kimia (penyemprotan
insektisida)
 Tentukan lokasi pengendalian
 Lokasi pengendalian ditetapkan berdasarkan hasil pengukuran
kepadatan kecoa
 Persiapan alat dan bahan pengendalian
 Pastikan alat berfungsi baik
 Petugas menggunakan APD lengkap
 Campurkan insektisida dan pelarut lalu tuangkan ke dalam alat mist
blower atau spray can
 Lakukan penyemprotan pada tempat potensial lalat sesuai hasil
rekomendasi
 Bersihkan alat setelah selesai penyemprotan

Parameter terukur (Indeks kepadatan kecoa)


a. Indeks populasi kecoa adalah angka rata-rata populasi kecoa, yang dihitung
berdasarkan jumlah kecoa tertangkap per perangkap per malam menggunakan
perangkap kecoa pakai habis .
Indeks populasi kecoa = Jumlah kecoa yang tertangkap
Jumlah perangkap

b. Interpretasi hasil penyelidikan kecoa (Permenkes RI Nomor 50 tahun 2017)


Hasil pengukuran :
- Rendah: bila indeks populasi : angka rata-rata populasi ≤ 1
- Tinggi : bila indeks populasi : angka rata-rata populasi > 1

Penyelidikan vektor tikus


a. Sasaran Penyelidikan
Sasaran penyelidikan dilakukan pada tempat-tempat potensial habitat tikus
sebagai berikut :
a. Lokasi hunian sementara pengungsi
b. lokasi tempat penampungan sampah yang ada di sekitar lokasi
pengungsian
c. lokasi sumber-sumber makanan dan sisa makanan yang menarik bagi
vektor tikus misal di dapur umum, gudang makanan
d. Saluran pembuangan air/ got disekitar lokasi pengungsian.

b. Bahan dan Peralatan


1. Kegiatan pemetaan daerah habitat faktor risiko
 Formulir
 Alat tulis
 Alat GPS
 Kendaraan lapangan

2. Kegiatan Pengamatan/ Trapping


 Perangkap hidup/Metal single lifetrap
 umpan (kelapa tua dibakar ukuran 3 x 3 cm)
 Sisir
 kantong kain (blacu)
 obat bius kimia/ mekanik
 Ember putih setinggi 30 cm
 label lapangan
 Alat tulis pensil
 Pengaris
 benang label
 Pita jepang
 tali raffia
 Sarung tangan tebal.

3. Kegiatan pengendalian
 Kendaraan lapangan
 Rodentisida (umpan beracun/ asap beracun)
 trapping
 Pakaian kerja (helm, kacamata, wearpak, sarung tangan, masker)

d. Metode Penyelidikan

1. Pengamatan (survey) dengan Inspeksi menggunakan trapping


Tujuan untuk mengetahui angka kepadatan tikus di lokasi hunian
pengungsi, tempat penampungan sampah, saluran pembuangan air/ got
lokasi sumber-sumber makanan dan sisa makanan yang menarik bagi tikus
misal dapur umum dan gudang makanan. Angka kepadatan tikus dapat
dilihat dari keberhasilan penangkapan (success trap). Tujuan lain adalah
mengidentifikasi dan menghitung kepadatan ektoparasit (pinjal).
Langkah – langkah kerja pengukuran kepadatan tikus adalah sebagai
berikut :
a. Persiapkan alat dan bahan seperti yang telah disebutkan di atas.
b. Lakukan pemeriksaan tanda-tanda keberadaan tikus pada lokasi yang
telah ditentukan dengan melihat adanya jejak kaki tikus, feses, urin,
suara tikus, tikus hidup, tikus mati dan barang rusak akibat gigitan.
c. Penomoran perangkap dengan pita jepang yang sudah diberi nomor.
d. Letakkan umpan pada kait yang telah tersedia didalam perangkap
e. Letakkan trapping yang sudah diberi umpan pada daerah yang sering
dilewati tikus. Pemasangan trap dilakukan pada sore hari (16.00 –
18.00) dan diperiksa kembali pada pagi hari (06.00 – 09.00). Jarak
penempatan antar trapping minimal 10 langkah ( 5 - 6 meter)
membentuk garis lurus/ menyesuaikan karakteristik tempat
pemantauan supaya mudah dilacak. Perangkap dipasnag didalam dan
diluar bangunan.
f. Mengambil titik koordinat perangkap dengan GPS dan catat pada
formulir pemetaan habitat.
g. Tikus yang tertangkap dipindahkan ke kantong kain dan diberi label
lapangan.
h. Perangkap yang sudah berisi tikus dicuci bersih sebelum digunakan
kembali.
i. Perangkap diletakan kembali setelah diberi umpan.
j. Tikus yang tertangkap dipingsankan baik menggunakan obat bius
(ketamin, xylazin) atau mekanis.
k. Dilakukan penyisiran pada rambut tikus dengan arah berlawanan
dengan arah rambut tikus untuk identifikasi ektoparasit (pinjal)
l. Dilakukan identifikasi jenis tikus dengan melihat warna rambut,
mengukur panjang badan, panjag ekor, kaki dan lebar telinga.
m. Catat hasil pengukuran pada formulir yang tersedia
n. Catat jumlah trap yang dipasang dan jumlah tikus yang tertangkap
selama pengamatan untuk mengetahui succes trap.

2. Tindakan pengendalian dengan perbaikan lingkungan,


Mekanik pengendalian secara kimia (Rodentisida)
 Tentukan lokasi pengendalian
 Lokasi pengendalian ditetapkan berdasarkan hasil
pengukuran kepadatan tikus
 Persiapan alat dan bahan pengendalian
 Perbaikan lingkungan
 Memasang perangkap tikus
 Meletakan rodentisida (umpan beracun) pada tempat yang sering
dilalui tikus dan asap beracun pada lubang atau celah yang menjadi
habitat tikus.
Parameter terukur (Success Trap/ kepadatan tikus dan index pinjal)
a. Success trap adalah persentase tikus yang tertangkap oleh perangkap, dihitung
dengan cara jumlah tikus yang didapat dibagi dengan jumlah perangkap dikalikan
100%
Succes Trap = Jumlah tikus yang tertangkap X 100%
Jumlah perangkap

Interpretasi hasil Succes Trap (Permenkes RI Nomor 50 tahun 2017) Hasil


pengukuran :
- Rendah: bila indeks success trap : ≤ 1
- Tinggi : bila indeks success : > 1

b. Keragaman spesies tikus


Keragaman tikus dihitung berdasarkan presentase jumlah tikus spesies
tertentu dibagi dengan jumlah seluruh tikus yang tertangkap dan teridentifikasi

c. Kepadatan pinjal
Kepadatan pinjal dihitung berdasarkan indeks pinjal khusus (IPK) dan indeks
pinjal umum (IPU). Indeks pinjal khusus adalah jumlah pinjal Xenopsylla
cheopis dibagi dengan jumlah tikus yang tertangkap dan diperiksa. Adapun
indeks pinjal umum adalah jumlah pinjal umum (semua pinjal) dibagi dengan
jumlah tikus yang tertangkap dan diperiksa.

Index pinjal umum = Jumlah seluruh pinjal yang didapat


Jumlah tikus yang diperiksa

Index pinjal khusus = Jumlah pinjal Xenopsylla cheopis


Jumlah tikus yang diperiksa

Interpretasi hasil kepadatan pinjal (Permenkes RI Nomor 50 tahun 2017) Hasil


pengukuran :
- bila index pinjal umum : ≥ 2
- indeks pinjal khusus : ≥ 1
5. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penyelidikan
Tabel 1 .
Hasil Pengukuran Kepadatan dan Identifikasi Spesies Lalat
di daerah bencana Banjir Bandang Masamba
Luwu Utara
Hasil survei
pengukuran
No Lokasi Pengamatan Keterangan Identifikasi jenis lalat
kepadatan
lalat
1 Dapur umum 1 1,9 Rendah Musca domestica, Calliphora sp
2 Dapur umum 2 2.4 Tinggi Musca domestica, Calliphora sp
3 Dapur umum 3 3,5 Tinggi Musca domestica, Calliphora sp
4 Dapur umum 4 5,5 Tinggi Musca domestica, Calliphora sp
5 Dapur umum 5 7,8 Tinggi Musca domestica, Calliphora sp
6 Gudang makanan 1 1,2 Rendah Musca domestica, Calliphora sp
7 Gudang makanan 2 1 Rendah Musca domestica, Calliphora sp
8 Gudang makanan 3 1,4 Rendah Musca domestica, Calliphora sp
9 Gudang makanan 4 1,2 Rendah Musca domestica, Calliphora sp
10 Gudang makanan 5 1 Rendah Musca domestica, Calliphora sp
11 TPS 1 1 Rendah Musca domestica, Calliphora sp,
Sarcophaga sp
12 TPS 2 13,5 Tinggi Musca domestica, Calliphora sp,
Sarcophaga sp
13 TPS 3 14,4 Tinggi Musca domestica, Calliphora sp,
Sarcophaga sp
14 TPS 4 11 Tinggi Musca domestica, Calliphora sp
15 TPS 5 13.2 Tinggi Musca domestica, Calliphora sp
16 TPS 6 14 Tinggi Musca domestica, Calliphora sp,
Sarcophaga sp
17 TPS 7 1,8 Rendah Musca domestica, Calliphora sp,
Sarcophaga sp
18 TPS 8 11,6 Tinggi Musca domestica, Calliphora sp,
Sarcophaga sp
19 TPS 9 22,3 Tinggi Musca domestica, Calliphora sp,
20 TPS 10 15.3 Tinggi Musca domestica, Calliphora sp,
Sarcophaga sp
21 Penampungan feses 1 30,5 Tinggi Musca domestica, Calliphora sp,
Crysommia megacephala
22 Penampungan feses 2 22,5 Tinggi Musca domestica, Crysommia
megacephala
23 Penampungan feses 3 12.3 Tinggi Musca domestica, Crysommia
megacephala
24 Penampungan feses 4 16.5 Tinggi Musca domestica, Crysommia
megacephala
25 Penampungan feses 5 17.9 Tinggi Musca domestica, Calliphora sp,
Crysommia megacephala
26 Penampungan feses 6 22.1 Tinggi Musca domestica, Crysommia
megacephala
27 Penampungan feses 7 5,6 Tinggi Musca domestica, Crysommia
megacephala
28 Penampungan feses 8 39.8 Tinggi Musca domestica, Crysommia
megacephala
29 Penampungan feses 9 20,5 Tinggi Musca domestica, Crysommia
megacephala
30 Tenda pengungsian 1 12,4 Tinggi Musca domestica, Calliphora sp
31 Tenda pengungsian 2 8.6 Tinggi Musca domestica, Calliphora sp
32 Tenda pengungsian 3 6,2 Tinggi Musca domestica, Calliphora sp
33 Tenda pengungsian 4 2.3 Tinggi Musca domestica, Calliphora sp
34 Tenda pengungsian 5 2,1 Tinggi Musca domestica, Calliphora sp

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa :


a. Hasil pemetaan lokasi yang diduga sebagai tempat perindukan lalat sebanyak 34
lokasi dengan rincian dapur umum 5 lokasi, gudang makanan 5 lokasi, TPS 10
lokasi, penampungan feses 9 lokasi dan tenda pengungsian 5 lokasi.
b. Hasil pengukuran kepadatan lalat berdasarkan hasil pemetaan adalah seperti
tercantum di atas. Kepadatan tinggi banyak berasal dari lokasi tempat
pembuangan sampah dan penampungan feses. Sebanyak 10 TPS yang dilakukan
pengukuran hanya 2 TPS yang memiliki angka kepadatan lalat rendah, selebihnya
sebanyak 8 lokasi memiliki kepadatan lalat yang tinggi. Sebanyak 9 tempat
penampungan feses yang dilakukan pengukuran semuanya dalam katagori tinggi.
Sebanyak 5 gudang makanan yang diperiksa semuanya dalam katagori rendah,
sedangkan dari sebanyak 5 dapur umum yang diperiksa sebanyak 4 dapur umum
memiliki angka kepadatan lalat tinggi dan 1 dapur umum memiliki angka
kepadatan rendah.
c. Hasil identifikasi jenis lalat yang ditemukan di lokasi pengamatan banyak
ditemukan spesies lalat Musca domestica, Crysommia megacephala, Calliphora sp.
Pada beberapa lokasi selain Musca domestica, Crysommia megacephala dan
Calliphora sp juga ditemukan lalat spesies Sarcophaga sp.
d. Kondisi suhu dan kelembaban juga berpengaruh terhadap timbulnya kepadatan
lalat di daerah tersebut. Dimana suhu dan kelembaban yang cocok (agak lembab)
menguntungkan lalat untuk cepat berkembang biak.
Tabel 2
Hasil Pengamatan Tanda-tanda keberadaan kecoa di
daerah bencana gempa Masamba Luwu Utara
T-1 T-2 T-3
No Ruangan
Kapsul/ Telur Kotoran Dewasa Ket
1 Dapur umum - - +
2 Kamar mandi - - +
3 Tempat sampah - - +
4 Gudang/tempat bahan - - +
makanan
5 Tenda pengungsian - - +
Keterangan : bila ditemukan tanda-tanda keberadaan kecoa, beri tanda +
(plus) dan bila tidak ketemukan beri tanda – (minus) pada kolom.
Tabel 3
Hasil penyelidikan di lokasi yang berpotensial sebagai hunian dan
Lantai/dinding

perkembangbiakan kecoa
Lokasi/area
Pompa
Closet

Saluran air kotor

Peralatan

Pipa/saluran
Almari
Laci/meja

Bak

Panel listrik
Rak

Keterangan
Dapur umum x x
Kamar mandi x x
Tempat sampah x

Gudang/tempat x x
penyimpanan
bahan makanan
Tenda x x
pengungsian

Tabel 4
Hasil Penangkapan Kecoa Blatella germanica
Perangkap Lokasi Jumlah Kecoa
tertangkap
1 Dapur umum 8
2 Kamar Mandi 2
3 Tempat Sampah 10
4 Gudang/tempat penyimpanan bahan 6
Makanan
5 Tenda pengungsian 4
Jumlah 30
Rata-rata kecoa tertangkap per perangkap per malam = 6 ekor
Rata-rata : 6 - 7 ekor, jadi kepadatan sedang, Tindakan pengendalian perlu
pengamanan tempat perkembangbiakan
Interpretasi Hasil :
- Rendah : tidak menjadi masalah
- Sedang : perlu pengamanan tempat berkembangbiakan
- Tinggi/padat : perlu pengamanan tempat perkembangbiakan
dan rencana pengendalian (lakukan pest control/hapus
serangga)
- Sangat tinggi : Perlu pengamanan tempat perkembangbiakan dan
pengendalian secara menyeluruh) lakukan
pest control/hapus serangga)
Tabel 5
Hasil Penangkapan Populasi Kecoa Blatella germanica
Lokasi Jumlah Jumlah Kecoa Indeks
Perangkap tertangkap populasi
Dapur umum 6 8 1.3
Kamar mandi 4 2 0.5
Tempat sampah 6 10 1.7
Gudang/tempat 6 6 1
penyimpanan bahan
makanan
Tenda pengungsian 6 4 0.7
Jumlah 28 30 1.1
Indeks populasi kecoa adalah angka rata-rata populasi kecoa, yang dihitung
berdasarkan jumlah kecoa tertangkap per perangkap per malam menggunakan
perangkap lem pakai habis, jadi indeks populasi yang didapatkan yaitu 1,1 jadi
indeks populasi kecoa tinggi.
Interpretasi Hasil :
Hasil
pengukuran :
- Rendah : bila index populasi : angka rata-rata populasi ≤ 1
- Tinggi : bila index populasi : angka rata-rata populasi > 1

Tabel 6
Hasil penangkapan Kepadatan Tikus/ Succes Trap

Jumlah Jumlah Tikus Jumlah Hari Success Trap


Lokasi
Perangkap tertangkap pengamatan
Dapur umum 30 25 3 0,3
Gudang/tempat 30 45 3 0,5
penyimpanan bahan
makanan
Tempat sampah 30 16 3 0,2
Tenda pengungsian 30 10 3 0,1
Saluran 30 13 3 0,1
pembuanagan air/ got

Jumlah 150 109 3 0,3


Success trap adalah persentase tikus yang tertangkap oleh perangkap, dihitung dengan
cara jumlah tikus yang didapat dibagi dengan jumlah perangkap dikalikan 100%. jadi
Succes Trap yang didapatkan selama 3 hari pengamatan adalah 0,3 jadi kepadatan
tikus rendah.
Interpretasi hasil Succes Trap (Permenkes RI Nomor 50 tahun 2017) Hasil
pengukuran Rendah: bila indeks success trap : ≤ 1
Tinggi : bila indeks success : > 1

Tabel 7
Hasil Identifikasi tikus, pinjal dan kepadatan pinjal

Jenis Tikus jenis Pinjal Flea Index Flea Index


NO Lokasi
Rr. Tan R. Nov B.cota Jumlah X. Cheopis St. Cognatus Jumlah Umum Khusus
1 Dapur umum 20 0 5 25 5 3 8 0,3 0,1
Gudang/tempat
2 penyimpanan 30 5 10 45 6 0 6 0,1 0,0
bahan makanan
3 Tempat sampah 3 0 13 16 3 3 6 0,4 0,2
Tenda
4 pengungsian
8 0 2 10 4 1 5 0,5 0,1
Saluran
5 pembuanagan air/ 0 0 13 13 0 6 6 0,5 0,5
got

Dari hasil trapping diperoleh tikus yang tertangkap ada 3 jenis yaitu Rattus Tanezzumi,
Rattus Novergicus dan Bandicota Indica. Jenis pinjal yang tertangkap ada Xenopsylla
cheopis dan Stivalius cognatus dengan indek pinjal umum ≥2 dan indek pinjal khusus
≥1.

B. Pembahasan
Berdasarkan hasil pengukuran kepadatan lalat di lokasi bencana banjir bandang
masamba Luwu Utara pada bulan Juli 2020 diketahui bahwa kepadatan lalat yang
tinggi berasal dari tempat pembuangan sampah dan tempat penampungan feses
sementara di daerah pengungsian. Kondisi ini disebabkan keadaan lingkungan pasca
banjir bandang yang porak poranda hancur menjadi puing-puing dan berserakan tidak
teratur, sumber air bersih yang kurang dan penanganan sampah kurang diperhatikan.
Begitu pula dengan penampungan feses manusia yang kurang dalam, lokasi berdekatan
dengan pengungsian dan tidak saniter karena keterbatasan air bersih di lokasi juga
menyebabkan kepadatan lalat. seperti kita
ketahui bahwa lalat mempunyai jarak terbang yang cukup jauh akan terbang kesana
kemari dan dapat membawa bibit penyakit.
Dari tabel 1 dapat diketahui, terdapat lalat S. megacephala yang nilainya melebihi
ambang standar. Selai penyemprotan di tempat perindukan (tempat pembuangan
samapah) lalat dewasa dapat dikendalikan dengan memasang perangkap (bait trap).
Tempat pemeriksaan secara visual dan perabaan kecoa di lokasi hunian sementara
pengungsian korban banjir bandang Masamba ,Luwu Utara yaitu di dapur umum, kamar
mandi, tempat sampah, gudang/tempat bahan makanan dan tenda pengungsian, yang
dilakukan pengamatan yaitu kapsul/telur, kotoran dan kecoa dewasa. Hasil pemeriksaan
menunjukkan bahwa di semua lokasi tersebut ditemukan kecoa dewasa tetapi tidak
ditemukan kapsul/telur maupun kotoran kecoa.
Di dapur umum ditemukan kecoa dewasa di bagian lantai dan peralatan, di kamar
mandi ditemukan di closet dan saluran air kootor, ditempat sampah ditemukan di
bagian lantai dan dinding-dindingnya, di gudang/tempat penyimpanan bahan makanan
ditemukan dilantai dan di rak, sedangkan di tenda pengungsia ditemukan kecoa di lantai
dan panel listrik.
Paling banyak kecoa ditemukan di tempat sampah yaitu sebanyak 10 ekor, didapur
umum sebanyak 8 ekor, di Gudang/tempat penyimpanan bahan makanan sebanyak 6
ekor, ditenda pengungsian sebanyak 4 ekor dan paling sedikit di kamar mandi yaitu
sebanyak 2 ekor.
Adapun jumlah perangkap kecoa yang digunakan dalam penyelidikan kecoa di
hunian sementara pengungsian korban banjir bandang Masamba ,Luwu Utara yaitu
sebanayk 28 buah, pemasangan setiap lokasi sebanyak 6 buah kecuali di bagian kamar
mandi hanya 4 buah melihat kamar mandi yang ada lumayan bersih.
Dari inspeksi yang dilakukan menggunakan perangkap/ trap maka dapat dilihat bahwa
dari 30 trap yang dipasang di masing – masing lokasi setiap malamnya selama 3 hari
pengamatan masih ditemukan adanya tikus. Kepadatan tikus yang diperoleh dari
masing – masing lokais yaitu di dapur umum 0,3, di gudang makanan 0,5, di tempat
pembuangan sampah 0,2 tenda pengungsian 0,1 dan di saluran pembuangan air/ got 0,1.
Angka ini masih dibawah nilai baku mutu yang telah ditetapkan, akan tetapi perlu
diperhatikan lagi faktor lain yang mempengaruhi dalam keberhasilan penagkapann
tikus seperti kesukaan terhadap umpan dan penempatan trap.
6. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
1. Lalat, Kecoa dan Tikus
Kesimpulan
Perlu dilakukan tindakan pengendalian berdasarkan hasil survei dan pengamatan
terhadap lalat dan kecoa di lokasi bencana banjir bandang Masamba Luwu Utara.
Tindakan pengendalian dapat berupa perbaikan lingkungan dan melakukan
pengendalian secara kimia dengan penyemprotan pada lokasi. Sedangkan unutk
pengendalian tikus yindakan pengendalian berupa perbaikan lingkungan,
pegendlaian secara mekanik denagan pemasangan perangkap dan membuat
penghalang dari bahan yang tidak bisa rusak oleh gigitan tius serta penggunaan
rodensida(umpan beracun).

Rekomendasi Pengendalian
1. Lalat dan Kecoa
a. Menyimpan bahan dan makanan jadi pada tempat tertutup yang tidak dapat
dimasuki kecoa
b. Mencegah adanya sisa-sisa makanan dan dampah yang berserakan di berbagai
tempat
c. Kamar mandi/toilet selalu dibersihkan dan dalam keadaan kering serta tidak
lembab
d. Pengendalian lingkungan dengan cara melibatkan masyarakat pengungsi untuk
membersihkan lokasi/area pengungsian dari sampah dan sisa-sisa makanan
e. Memberikan penyuluhan kepada pengungsi dan petugas tentang kebersihan
lingkungan
f. Menambah kedalaman lubang penampung feses agar tidak dapat tercium bau
yang menyebabkan lalat datang menghampiri
g. Melakukan pengendalian secara kimia dengan penyemprotan insektisida di
tempat pembuangan sampah
h. Memasang perangkap lalat (bait trap) di sekitar TPS dan tempat pembuangan
feses.
2. Tikus
a. membakar tumpukan barang yang tidak diperlukan
b. Membuang sisa makan dan sampah pad atempat yang tertutup atau dibakar
c. Menutup celah atau lubang yang bisa dilewati tikus
d. Membuat sekat atau penghalang dari bahan yang tidak bisa rusak oleh gigitan
tikus
e. Memasang perangkap baik yang live trap atau lem pada tempat yang sering
dilewati tikus
f. Memasang rodentisida disekitar habitat atau tempat yang sering dilewati tikus

Anda mungkin juga menyukai