Anda di halaman 1dari 27

TUGAS : INDIVIDU

MATA KULIAH : SURVEILANS KESEHATAN MASYARAKAT LANJUT


DOSEN : PROF. DR. drg. A. ZULKIFLI, M.KES

PELAKSANAAN SURVEILANCE PENYAKIT FRAMBUSIA

BERBASIS COMMUNITY BASE SURVEILANCE (CBS)

DISUSUN OLEH :

ANDI TENRI BALOBO P1804215001

KONSETRASI EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas Rahmat dan karunia-
Nyalah dan tak lupa pula sholawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “PELAKSANAAN SURVEILANCE
PENYAKIT FRAMBUSIA BERBASIS COMMUNITY BASE SURVEILANCE (CBS)”.

Makalah ini di buat sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Surveilans Kesehatan
Masyarakat Lanjut dan kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah
ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari pembaca untuk perbaikan makalah berikutnya sehingga
bermanfaat untuk kita semua dimasa mendatang

Makassar, 14 Mei 2016

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................ i
KATA PENGANTAR.......................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1
A. Latar Belakang .............................................................. 1
B. Tujuan ........................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................... 3
A. Pengertian Frambusia................................................... 3
B. Phatogenesis ............................................................... 4
C. Cara Penularan Frambusia ........................................... 5
D. Gejala Klinis Frambusia ................................................ 6
E. Pemeriksaan Diagnostik ............................................... 8
F. Pengobatan .................................................................. 8
G. Pencegahan dan Pemberantasan ................................ 9
H. Definisi Surveilance berbasis Masyarakat .................... 11
I. Prinsip Kegiatan Surveilance ........................................ 12
J. Tahapan Kegiatan Surveilance ……………………… .... 12
K. Langkah-langkah pengembangan surveillance.............. 13
BAB III A. Surveilance Frambusia berbasis Masyarakat ................ 18
B. Kegiatan Dalam Surveilans Penyakit Frambusia
Berbasis Masyarakat…………………………………… 19
BAB III PENUTUP ........................................................................... 23
A. Kesimpulan ................................................................... 23
B. Saran ............................................................................ 23
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 24

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Frambusia adalah penyakit menular menahun dan kambuh-kambuhan
yang disebabkan oleh kuman Treponema pallidum subspesies pertenue.
Frambusia umumnya menyerang anak berusia di bawah 15 tahun yang jika tidak
diobati akan menyebabkan kecacatan. Pengobatan penyakit frambusia sangat
mudah, yaitu dengan obat Benzathine Penicilline sekali suntik yang dapat
menyembuhkan luka-luka akibat penyakit ini. Di beberapa daerah masih ada
anggapan bahwa frambusia merupakan penyakit biasa karena sifatnya yang
tidak menimbulkan rasa sakit pada penderita.
Menurut World Health Organization (WHO), frambusia termasuk penyakit
tropis yang terabaikan (neglected tropical disease). Indonesia merupakan
penyumbang kasus frambusia terbesar di Asia Tenggara selain India dan Timor
Leste. Di Indonesia, sampai tahun 2009 masih ada 8.309 kasus frambusia yang
menginfeksi di 18 dari 33 provinsi, lima provinsi di antaranya termasuk kategori
prevalensi tinggi. Frambusia merupakan indicator keterbelakangan suatu negara.
Upaya pencegahan sekaligus pemberantasan penyakit menular seperti
frambusia dapat dilakukan bila faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
penyakit tersebut diketahui sehingga pencegahan dapat dilakukant dikenal
dengan nama TPC “ Treponema control Programme) kemudian dilanjutkan
dengan TPCS Treponema control Programme simplified.
Program TPCS berhasil menurunkan angka prevalensi prambusia dari
4,11% menjadi 0,45% pada tahun 1980, program ini dilanjutkan ke eradikasi.
Tetapi ini masih memiliki banyak kelemahan untuk mencapai eradikasi frambusia
mengingat dibeberapa daerah yang sulit dijangkau masih terdapat penderita
frambusia, maka pemberdayaan masyarakat dalam menjaring dan menemukan
penderita sangat diperlukan dalam hal memberantas penyakit ini sehingga tujuan
eradikasi frambusia tercapai.

4
B. Tujuan
Memberikan gambaran mengenai surveilans penyakit Frambusia berbasis
masyarakat

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. FRAMBUSIA
Frambusia terutama menyerang anak-anak yang tinggal di daerah tropis
di pedesaan yang panas, lembab, ditemukan pada anak-anak umur antara 2–15
tahun lebih sering pada laki-laki. Prevalensi frambusia secara global menurun
drastis setelah dilakukan kampanye pengobatan dengan penisilin secara masal
pada tahun 1950-an dan 1960-an sehingga menekan peningkatan kasus
frambusia, namun kasus frambusia mulai ditemukan lagi di sebagian besar
daerah khatulistiwa Afrika Barat dengan penyebaran infeksi tetap berfokus di
daerah Amerika Latin, Kepulauan Karibia, India dan Thailand Asia Tenggara dan
Kepulauan Pasifik Selatan, Papua New Guinea, kasus frambusia selalu berubah
sesuai dengan perubahan iklim. Di daerah endemik frambusia prevalensi infeksi
meningkat selama musim hujan. Menurut WHO (2006) bahwa kasus frambusia
di Indonesia pada tahun 1949 meliputi NAD, Jambi, Bengkulu, Sumatera
Selatan, Jawa (Jawa Timur) dan sebagian besar Wilayah Timur Indonesia yang
meliputi Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua.(HERODES, 2012)
Penurunan prevalensi Frambusia secara bermakna terjadi pada tahun
1985 sampai pada tahun 1995 dengan prevalensi rate frambusia turun secara
dramatis dari 22,1 (2210 per 10.000 penduduk) menjadi kurang dari 1 per 10.000
penduduk di daerah kabupaten dan propinsi, strategi pencapaian target secara
nasional Departemen Kesehatan yaitu jumlah frambusia kurang dari 0,1 kasus
per 100.000 penduduk di Wilayah Jawa dan Sumatera, lebih dari 1 kasus per
100.000 penduduk di Wilayah Indonesia Timur (Papua, Maluku, NTT dan
Sulawesi). Untuk menjangkau daerah-daerah kantong frambusia yang jumlahnya
tersebar di beberapa Propinsi dan beberapa Kabupaten di Indonesia maka
dilakukan survey daerah kantong frambusia yang dimulai tahun 2000. Propinsi
yang masih mempunyai banyak kantong frambusia diprioritaskan untuk
dilakukan sero survei, yaitu NAD, Jambi, Jawa Timur, Banten, Sulawesi
Tenggara dan NTT. Hal ini di pengaruhi oleh 3 faktor yang penting, yaitu faktor

6
host (manusia), agent (vector) dan environtment (lingkungan) termasuk di dalam
faktor host yaitu pengetahuan, sikap dan perilaku perorangan. (Depkes,
2004)(Musu et al., 2014)

PERJALANAN PENYAKIT FRAMBUSIA

INFEKSI

GEJALA
PERTAMA
MASA
(INITIAL LESSON
LATEN DINI

GEJALA
FRAMBUSIA DINI
GEJALA
SEMBUH
FRAMBUSIA
SENDIRI
LANJUT

MASA LANJUT
LATEN

(Hocket, bull, WHO, 1956)

B. Pathogenesis
Noordhoek, et al, (1990) mengatakan bahwa terdapat infeksi alamiah
yang disebabkan oleh Treponema pallidum terhadap inang (manusia) ditularkan
melalui hubungan seksual dan infeksi lesi langsung pada kulit atau membran
selaput lendir pada genetalia. Pada 10–20 kasus lesi primer merupakan
intrarektal, perianal atau oral atau di seluruh anggota tubuh dan dapat
menembus membran selaput lendir atau masuk melalui jaringan epidermis yang
rusak. Spirocheta secara lokal berkembang biak pada daerah pintu masuk dan
beberapa menyebar di dekat nodul getah bening mungkin mencapai aliran
darah. Dua hingga 10 minggu setelah infeksi, papul berkembang di daerah
infeksi dan memecah belah membentuk ulcer yang bersih dan keras (chancre).

7
Inflamasi ditandai dengan limfosit dan plasma sel yang membuat ruang berupa
maculapapular merah di seluruh tubuh, termasuk tangan, kaki dan papul yang
lembab, pucat (condylomas) di daerah anogenital, axila dan mulut.
Lesi primer dan sekunder ini sangat infeksius karena mengandung banyak
spirocheta. Lesi yang infeksius mungkin akan kambuh dalam waktu 3–5 tahun.
Infeksi sifilis tetap subklinis dan pasien akan melewati tahap primer dan
sekunder tanpa gejala atau tanda-tanda berkembangnya lesi tersier. Pada
pasien dengan infeksi laten penyakit akan berkembang ketahap tersier ditandai
dengan perkembangan lesi granulommatous (gummas) pada kulit, tulang dan
hati; lesi cardiovaskuler (aortitis, aortic aneurysm, aortic value insuffiency). lesi
tertier treponema jarang ditemukan dan respon jaringan yang meningkat ditandai
dengan adanya hypersensitivitas organisme. Treponema yang menahum dan
atau laten terkadang infeksi dimata atau sistem saraf pusat.
Pada subspecies perteneu infeksi terjadi akibat adanya kontak berulang
antar individu dalam waktu tertentu sehingga memudahkan treponema untuk
berkembang biak, infeksi bakteri treponema ssp.parteneu berbentuk spirochetes
tersebut ada dijaringan epidermis mudah menular di jaringan kulit lecet atau
trauma terbuka. Klasifikasi Frambusia terdiri dari 4 (empat) tahap meliputi
pertama (primary stage) berbentuk bekas untuk berkembangnya bakteri
frambusia; secondary stage terjadi lesi infeksi bakteri treponema pada kulit;
latent stage bakteri relaps atau gejala hampir tidak ada; tertiary stage luka
dijaringan kulit sampai tulang kelihatan. (Boedisusanto et al., 2012, Wibawa and
Satoto, 2016)
C. Cara penularan frambusia
Penularan penyakit frambusia dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung (Depkes,2005), yaitu :
1) Penularan secara langsung (direct contact) .
Penularan penyakit frambusia banyak terjadi secara langsung dari
penderita ke orang lain. Hal ini dapat terjadi jika jejas dengan gejala menular
(mengandung Treponema pertenue) yang terdapat pada kulit seorang penderita
bersentuhan dengan kulit orang lain yang ada lukanya. Penularan mungkin juga

8
terjadi dalam persentuhan antara jejas dengan gejala menular dengan selaput
lendir. (LIUNOKAS and Kushadiwijaya, 2009)
2) Penularan secara tidak langsung (indirect contact) .
Penularan secara tidak langsung mungkin dapat terjadi dengan
perantaraan benda atau serangga, tetapi hal ini sangat jarang. Dalam
persentuhan antara jejas dengan gejala menular dengan kulit (selaput lendir)
yang luka, Treponema pertenue yang terdapat pada jejas itu masuk ke dalam
kulit melalui luka tersebut. Terjadinya infeksi yang diakibatkan oleh masuknya
Treponema partenue dapat mengalami 2 kemungkinan:
 Infeksi effective. Infeksi ini terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke
dalam kulit berkembang biak, menyebar di dalam tubuh dan menimbulkan
gejala-gejala penyakit. Infeksi effective dapat terjadi jika Treponema pertenue
yang masuk ke dalam kulit cukup virulen dan cukup banyaknya dan orang
yang mendapat infeksi tidak kebal terhadap penyakit frambusia.
 Infeksi ineffective. Infeksi ini terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke
dalam kulit tidak dapat berkembang biak dan kemudian mati tanpa dapat
menimbulkan gejala-gejala penyakit.
Infeksi effective dapat terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam
kulit tidak cukup virulen dan tidak cukup banyaknya dan orang yang mendapat
infeksi mempunyai kekebalan terhadap penyakit frambusia (Depkes, 2005).
Penularan penyakit frambusia pada umumnya terjadi secara langsung
sedangkan penularan secara tidak langsung sangat jarang terjadi (FKUI, 1988).

D. Gejala Klinis
Penyakit fambusia tidak menyerang jantung, pembuluh darah, otak dan
saraf dan tidak ada frambusia kongenital, namun daerah endemis pada musim
hujan penderita baru akan bertambah. Gejala klinis terdiri atas 3 stadium
pertama pada tungkai bawah sebagai tempat yang mudah trauma; masa tunas
berkisar antara 3-6 minggu. Kelainan papul yang eritematosa, menjadi besar
berupa ulkus dengan dasar papilomatosa. Jaringan granulasi banyak
mengeluarkan serum bercampur darah yang mengandung treponema. Serum

9
mengering menjadi krusta berwarna kuningkehijauan, pembesaran kelenjar limfe
regional konsistensi keras dan tidak nyeri. Stadium satu dapat menetap
beberapa bulan kemudian sembuh sendiri dengan meninggalkan sikatriks yang
cekung dan atrofik. Stadium kedua; dapat timbul setelah stadium pertama
sembuh atau sering terjadi tumpang tindih antara stadium satu dan stadium dua
(overlapping). (Djuanda, et al., 2007).
Erupsi yang generalisata timbul pada 3 – 12 bulan setelah penyakit
berlangsung. Kelainannya berkelompok, tempat predileksi di sekeliling lubang
badan, muka dan lipatan-lipatan tubuh. Papulpapul yang milliar menjadi lentikular
dapat tersusun korimbiform, arsinar atau numular. Kelainan ini membasah,
berkrusta dan banyak mengandung treponema. Pada telapak kaki dapat terjadi
keratoderma jalannya seperti kepiting karena nyeri tulang ekstremitas atas dan
bawah, spina ventosa pada jari anak-anak, polidaktilitis, sinar rontgen tampak
rarefaction pada korteks dan destruksi pada perios, (Jawetz, et al., 2005).
Pada stadium lanjut sifatnya destruktif menyerang kulit, tulang dan
persendian meliputi nodus dan guma, keratoderma pada telapak kaki dan
tangan, gangosa dan goundou;pada fase lanjut ini beberapa istilah pada
frambusia stadium lanjut : nodus dapat melunak, pecah menjadi ulkus, dapat
sembuh di tengah luka dan meluas ke perifer; guma umumnya terdapat pada
tungkai. Mulai dengan nodus yang tidak nyeri, keras, dapat digerakan, kemudian
melunak, memecah dan meninggalkan ulkus yang curam (punched out), dapat
mendalam sampai ke tulang atau sendi mengakibatkan ankilosis dan deformitas;
gangosa: mutilasi pada fosa nasalis, palatum mole hingga membentuk sebuah
lubang suaranya khas sengau; goundou : eksositosis tulang hidung dan di
sekitarnya, pada sebelah kanan–kiri batang hidung yang membesar; bisa disertai
demam; tulang : berupa periostitis dan osteitis pada tibia, ulna, metatarsal dan
metakarpal, tibia berbentuk seperti pedang, kiste di tulang mengakibatkan fraktur
spontan.

10
E. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Noordhoek, et al, (1990) diagnosa dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan mikroskop lapangan gelap atau pemeriksaan mikroskopik langsung
FA (Flourescent Antibody) dari eksudat yang berasal dari lesi primer atau
sekunder. Test serologis nontrepanomal untuk sifilis misalnya VDRL (venereal
disease research laboratory), RPR (rapid plasma reagin) reaktif pada stadium
awal penyakit menjadi non reaktif setelah beberapa tahun kemudian, walaupun
tanpa terapi yang spesifik, dalam beberapa kasus penyakit ini memberikan hasil
yang terus reaktif pada titer rendah seumur hidup.
Test serologis trepanomal, misalnya FTA-ABS (fluorescent trepanomal
antibody – absorbed), MHATP (microhemag-glutination assay for antibody to t.
pallidum) biasanya tetap reaktif seumur hidup.

F. Pengobatan
Menurut Departemen Kesehatan RI, (2004) dan (2007) bahwa pilihan
pengobatan utama adalah benzatin penicilin dengan dosis yang sama, alternatif
pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian tetrasiklin, doxicicline dan
eritromisin. Anjuran pengobatan secara epidemiologi untuk frambusia adalah
sebagai berikut :
1. Bila sero positif >50% atau prevalensi penderita di suatu desa/ dusun >5%
maka seluruh penduduk diberikan pengobatan.
2. Bila sero positif 10%-50% atau prevalensi penderita di suatu desa 2%-5%
maka penderita, kontak, dan seluruh usia 15 tahun atau kurang diberikan
pengobatan
3. Bila sero positif kurang 10% atau prevalensi penderita di suatu desa/ dusun <
2% maka penderita, kontak serumah dan kontak erat diberikan pengobatan
4. Untuk anak sekolah setiap penemuan kasus dilakukan pengobatan seluruh
murid dalam kelas yang sama. Dosis dan cara pengobatan sbb:
Tabel 1. Dosis dan cara pengobatan frambusia Pilihan utama Umur Nama
obat Dosis Pemberian Lama pemberian < 10 thn Benz.penisilin 600.000 IU
IM Dosis Tunggal ≥ 10 tahun Benz.penisilin 1.200.000 IU IM Dosis Tunggal

11
Alternatif < 8 tahun Eritromisin 30mg/kgBB bagi 4 dosis Oral 15 hari 8-15
tahun Tetra atau erit. 250mg,4x1 hri Oral 15 hari >8 tahun Doxiciclin 2-
5mg/kgBB bagi 4 dosis Oral 15 hari Dewasa 100mg 2x1 hari Oral 15 hari
Keterangan : Tetrasiklin atau eritromisin diberikan kepada penderita
frambusia yang alergi terhadap penicillin. Tetrasiklin tidak diberikan kepada
ibu hamil, ibu menyusui atau anak dibawah umur 8 tahun (Sumber: Pedoman
Eradikasi Frambusia, Departemen Kesehatan RI, Dirjen Pengendalian dan
Penyehatan Lingkungan, 2007)(PL, 2007)

G. Pencegahan dan Pemberantasan Frambusia.


Upaya pencegahan. Upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan yang
dapat dilakukan adalah.
a. Lakukanlah upaya promosi kesehatan umum, berikan pendidikan
kesehatan kepada masyarakat tentang treponematosis, jelaskan kepada
masyarakat untuk memahami pentingnya menjaga kebersihan perorangan
dan sanitasi-sanitasi yang baik, termasuk penggunaan air dan sabun yang
cukup dan pentingnya untuk meningkatkan kondisi sosial ekonomi dalam
jangka waktu panjang untuk mengurangi angka kejadian.
b. Mengorganisir masyarakat dengan cara yang tepat untuk ikut serta dalam
upaya pemberantasan dengan memperhatikan hal-hal yang spesifik di
wilayah tersebut.periksalah seluruh anggota masyarakat dan obati
penderita dengan gejala aktif atau laten. Pengobatan kontak yang
asimptomatis perlu dilakukan dan pengobatan terhadap seluruh populasi
perlu dilakukan jika prevalensi penderita dengan gejala aktif lebih dari
10%. Survei klinis secara rutin dan surveilans yang berkesinambungan
merupakan kunci sukses upaya pemberantasan.
c. Survey serologis untuk penderita laten perlu dilakukan terutama pada
anak-anak untuk mencegah terjadinya relaps dan timbulnya lesi infektif
yang menyebabkan penularan penyakit pada komunitas tetap
berlangsung.

12
d. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang mamadai untuk dapat
melakukan diagnosa dini dan pengobatan dini sebagai bagian dari
rencana kampanye pemberantasan di masyarakat. Hendaknya fasilitas
diagnosa dan pengobatan dini terhadap frambusia ini merupakan bagian
yang terintegrasi pada fasilitas pelayanan kesehatan setempat yang
permanen.
e. Lakukan penanganan terhadap penderita cacat dan penderita dengan
gejala lanjut.
f. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya;
a) Laporan kepada instansi kesehatan yang berwenang: Di daerah
endemis tertentu dibeberapa negara tidak sebagai penyakit yang harus
dilaporkan, kelas 3B (lihat laporan tentang penularan penyakit)
membedakan treponematosis venereal dan non venereal dengan
memberikan laporan yang tepat untuk setiap jenis, adalah hal yang
penting untuk dilakukkan dalam upaya evaluasi terhadap kampanye
pemberantasan di masyarakat dan penting untuk konsolidasi
penanggulangan pada periode selanjutnya.
b) Isolasi: Tidak perlu; hindari kontak dengan luka dan hindari kontaminasi
lingkungan sampai luka sembuh.
c) Disinfeksi serentak: bersihkan barang-barang yang terkontaminasi
dengan discharge dan buanglah discharge sesuai dengan prosedur,
d) Karantina: Tidak perlu
e) Imunisasi terhadap kontak: Tidak perlu,
f) Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi: Seluruh orang yang
kontak dengan penderita harus diberikan pengobatan, bagi yang tidak
memperlihatkan gejala aktif diperlakukan sebagai penderita laten. Pada
daerah dengan prevalensi rendah, obati semua penderita dengan gejala
aktif dan semua anak-anak serta setiap orang yang kontak dengan
sumber infeksi.
g) Pengobatan spesifik: Penisilin, untuk penderita 10 tahun ke atas
dengan gejala aktif dan terhadap kontak, diberikan injeksi dosis tunggal

13
benzathine penicillin G (Bicillin) 1,2 juta unit IM; 0,6 juta unit untuk
penderita usia dibawah 10 tahun.
Upaya penanggulangan wabah: Lakukan program pengobatan aktif
untuk masyarakat di daerah dengan prevalensi tinggi. Tujuan utama dari
program ini adalah: 1) pemeriksaan terhadap sebagian besar penduduk
dengan survei lapangan; 2) pengobatan terhadap kasus aktif yang
diperluas pada keluarga dan kelompok masyarakat sekitarnya
berdasarkan bukti adanya prevalensi frambusia aktif; 3) lakukan survei
berkala dengan tenggang waktu antara 1 – 3 tahun sebagai bagian
integral dari pelayanan kesehatan masyarakat pedesaan disuatu negara.
A. Surveilans Berbasis Masyarakat
1. Definisi Surveilans Berbasis Masyarakat
Surveilans berbasis masyarakat merupakan upaya kesehatan untuk
melakakun penemuan kasus/masalah kesehatan yang dilakukan oleh
masyarakat yang kemudian diupayakan pemecahan masalah oleh masyarakat
didukung oleh petugas kesehatan. Kegiatan ini merupakan salah satu pola
kemandirian yang ditanamkan kepada masyarakat.
Surveilans adalah suatu kegiatan pengamatan dan pemantauan secara
sistematis dan terus menerus terhadap penyakit/masalah kesehatan serta faktor
risiko terjadinya penyakit/masalah kesehatan. Penyakit menular seperti DBD,
TBC, Diare, Flu Burung masih menjadi prioritas masalah kesehatan di
masyarakat disamping masalah kesehatan lain seperti gizi buruk, AKI/AKB,
GAKY dan jamban serta sampah. Masyarakat perlu diberdayakan dengan
kemandirian dalam Community Base Surveilans.(MARHAENI et al., 2012,
ERLINAWATI, 2011)
Base Surveilans (Surveilans Berbasis Masyarakat) yaitu pengamatan
terus menerus oleh masyarakat pada saat sebelum sampai dengan adanya
gejala awal timbulnya masalah kesehatan terkait dengan faktor risiko lingkungan
dan perilaku maupun gejala awal (klinis) timbulnya masalah kesehatan.
Kegiatan surveilans berbasis masyarakat ini merupakan bagian dari
kegiatan di forum kesehatan Kelurahan (FKK) dalam

14
menyiapkan Kelurahan siaga. Komponen surveilans Kelurahan siaga
dilaksanakan oleh kader, dasa wisma, karang taruna, tokoh masyarakat,
masyarakat umum yang telah dilatih kader, dasa wisma, karang taruna, tokoh
masyarakat, masyarakat umum yang telah dilatih Kelurahan siaga dan
merupakan anggota forum kesehatan Kelurahan. Untuk itu masyarakat perlu
dibekali pengetahuan tentang surveilans berbasis masyarakat untuk mendeteksi
tanda/gejala penyakit/masalah kesehatan dan upaya pencegahannya.
Surveilans berbasis masyarakat adalah kegiatan yang dilakukan secara
terus menerus oleh masyarakat berupa pengamatan atau pemantauan,
melaporkan dan memberikan informasi pada petugas kesehatan/tertentu
terhadap kondisi kesehatan masyarakat/penyakit serta faktor resiko penyakit
yang ada di masyarakat dan lingkungan untuk kemandirian melalui upaya-upaya
pencegahan dan penanggulangan. Surveilans berbasis masyarakat ini
dilaksanakan dalam rangka sistem kewaspadaan dini terhadap ancaman
munculnya atau berkembangnya suatu penyakit atau masalah kesehatan di
masyarakat.
2. Prinsip Kegiatan Surveilans Berbasis Masyarakat
Prinsip dari kegiatan surveilans berbasis masyarakat adalah :
a. Pemberdayaan, yaitu masyarakat diberdayakan untuk melakukan
pengamatan/pemantauan secara terus menerus terhadap masalah
kesehatan yang ada di masyarakat.
b. Kemandirian. Pada prinsip ini masyarakat mengupayakan pencegahan dan
penanggulangan secara mandiri sesuai kemampuan terhadap ancaman
penyakit dalam masyarakat.(Athena, 2014)
3. Tahapan Kegiatan Surveilans Berbasis Masyarakat
Untuk kelancarannya ada tahapan kegiatan yang dilaksanakan yaitu:
a. Persiapan meliputi musyawarah tingkat desa, membentuk kelompok kerja
surveilans, membuat rencana kerja.
b. Pelaksanaan terdiri dari sosialisasi kepada masyarakat, pelatihan kelompok
kerja surveilans, pelaksanaan kegiatan surveilans (pemantauan dan
pengamatan penyakit/kondisi kesehatan lingkungan di masyarakat,

15
melaporkan secara cepat ke kades/poskesdes lisan atau tertulis, bersama-
sama melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan sederhana.
c. Monitoring dan evaluasi yang terdiri memonitor pelaksanaan surveilans,
mengevaluasi hasil kegiatan, menyampaikan hasil kegiatan surveilans pada
musyawarah masyarakat desa.
4. Langkah-Langkah Pengembangan Surveilans Epidemiologi Berbasis
Masyarakat
a. Persiapan Internal
Hal-hal yang perlu disiapkan meliputi seluruh sumber daya termasuk
petugas kesehatan, pedoman/petunjuk teknis, sarana dan prasarana
pendukung dan biaya pelaksanaan.
1) Petugas Surveilans
Untuk kelancaran kegiatan surveilans di desa siaga sangat
dibutuhkan tenaga kesehatan yang mengerti dan memahami kegiatan
surveilans. Petugas seyogyanya disiapkan dari tingkat Kabupaten/Kota,
tingkat Puskesmas sampai di tingkat Desa/Kelurahan. Untuk
menyamakan persepsi dan tingkat pemahaman tentang surveilans sangat
diperlukan pelatihan surveilans bagi petugas.
Untuk keperluan respon cepat terhadap kemungkinan ancaman
adanya KLB, di setiap unit pelaksana (Puskesmas, Kabupaten dan
Propinsi) perlu dibentuk Tim Gerak Cepat (TGC) KLB. Tim ini
bertanggung jawab merespon secara cepat dan tepat terhadap adanya
ancaman KLB yang dilaporkan oleh masyarakat.
2) Pedoman/Petunjuk Teknis
Sebagai panduan kegiatan maka petugas kesehatan sangat perlu
dibekali buku-buku pedoman atau petunjuk teknis surveilans.
3) Sarana dan Prasarana
Dukungan sarana dan prasarana sangat diperlukan untuk kegiatan
surveilans seperti: kendaraan bermotor, alat pelindung diri (APD),
surveilans KIT, dll.
4) Biaya

16
Sangat diperlukan untuk kelancaran kegiatan surveilans. Biaya
diperlukan untuk bantuan transport petugas ke lapangan, pengadaan alat
tulis untuk keperluan pengolahan dan analisa data, serta jika dianggap
perlu untuk insentif bagi kader surveilans.
b. Persiapan Eksternal
Tujuan langkah ini adalah untuk mempersiapkan masyarakat, terutama
tokoh masyarakat, agar mereka tahu, mau dan mampu mendukung
pengembangan kegiatan surveilans berbasis masyarakat. Pendekatan
kepada para tokoh masyarakat diharapkan agar mereka memahami dan
mendukung dalam pembentukan opini publik untuk menciptakan iklim yang
kondusif bagi kegiatan surveilans di desa siaga. Dukungan yang diharapkan
dapat berupa moril, finansial dan material, seperti kesepakatan dan
persetujuan masyarakat untuk kegiatan surveilans.
Langkah ini termasuk kegiatan advokasi kepada para penentu
kebijakan, agar mereka mau memberikan dukungan. Jika di desa tersebut
terdapat kelompok-kelompok sosial seperti karang taruna, pramuka dan LSM
dapat diajak untuk menjadi kader bagi kegiatan surveilans di desa tersebut.
c. Survei Mawas Diri atau Telaah Mawas Diri
Survei mawas diri (SMD) bertujuan agar masyarakat dengan bimbingan
petugas mampu mengidentifikasi penyakit dan masalah kesehatan yang
menjadi problem di desanya. SMD ini harus dilakukan oleh masyarakat
setempat dengan bimbingan petugas kesehatan. Melalui SMD ini diharapkan
masyarakat sadar akan adanya masalah kesehatan dan ancaman penyakit
yang dihadapi di desanya, dan dapat membangkitkan niat dan tekad untuk
mencari solusinya berdasarkan kesepakatan dan potensi yang dimiliki.
Informasi tentang situasi penyakit/ancaman penyakit dan permasalah
kesehatan yang diperoleh dari hasil SMD merupakan informasi untuk memilih
jenis surveilans penyakit dan faktor risiko yang diselenggarakan di desa
tersebut.
d. Pembentukan Kelompok Kerja Surveilans Tingkat Desa

17
Kelompok kerja surveilans desa bertugas melaksanakan pengamatan
dan pemantauan setiap saat secara terus menerus terhadap situasi penyakit
di masyarakat dan kemungkinan adanya ancaman KLB penyakit, untuk
kemudian melaporkannya kepada petugas kesehatan di Poskesdes. Anggota
Tim Surveilans Desa dapat berasal dari kader Posyandu, Juru pemantau
jentik (Jumantik) desa, Karang Taruna, Pramuka, Kelompok pengajian,
Kelompok peminat kesenian, dan lain-lain. Kelompok ini dapat dibentuk
melalui Musyawarah Masyarakat Desa.
e. Membuat Perencanaan Kegiatan Surveilans
Setelah kelompok kerja Surveilans terbentuk, maka tahap selanjutnya
adalah membuat perencanaan kegiatan, meliputi :
1) Rencana Pelatihan Kelompok Kerja Surveilans oleh petugas kesehatan
2) Penentuan jenis surveilans penyakit dan faktor risiko yang dipantau
3) Lokasi pengamatan dan pemantauan
4) Frekuensi Pemantauan
5) Pembagian tugas/penetapan penanggung jawab lokasi pemamtauan
6) Waktu pemantauan
7) Rencana Sosialisasi kepada warga masyaraka
f. Tahap pelaksanaan
1) Pelaksanaan Surveilans di Tingkat Desa
Surveilans penyakit di tingkat desa dilaksanakan oleh kelompok
kerja surveilans tingkat desa, dengan melakukan kegiatan pengamatan
dan pemantauan situasi penyakit/kesehatan masyarakat desa dan
kemungkinan ancaman terjadinya KLB secara terus menerus.
Pemantauan tidak hanya sebatas penyakit tetapi juga dilakukan terhadap
faktor risiko munculnya suatu penyakit. Pengamatan dan pemantauan
suatu penyakit di suatu desa mungkin berbeda jenisnya dengan
pemantauan dan pengamatan di desa lain. Hal ini sangat tergantung dari
kondisi penyakit yang sering terjadi dan menjadi ancaman di masing-
masing desa.

18
Hasil pengamatan dan pemantauan dilaporkan secara berkala
sesuai kesepakatan (per minggu/per bulan/bahkan setiap saat) ke
petugas kesehatan di Poskesdes. Informasi yang disampaikan berupa
informasi :
a) Nama Penderita
b) Penyakit yang dialami/ gejala
c) Alamat tinggal
d) Umur
e) Jenis Kelamin
f) Kondisi lingkungan tempat tinggal penderita, dll.
g) Faktor faktor resiko yang berkaitan dengan penyakit

2) Pelaksanaan Surveilans oleh Petugas Surveilans Poskesdes


Kegiatan surveilans di tingkat desa tidak lepas dari peran aktif
petugas petugas kesehatan/surveilans Poskesdes. Kegiatan surveilans
yang dilakukan oleh petugas kesehatan di Poskesdes adalah :
a) Melakukan pengumpulan data penyakit dari hasil kunjungan pasien
dan dari laporan warga masyarakat.
b) Membuat Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) dengan
menggunakan data laporan tersebut diatas dalam bentuk data
mingguan. Melalui PWS akan terlihat kecenderungan peningkatan
suatu penyakit. PWS dibuat untuk jenis penyakit Potensial KLB
seperti DBD, Campak, Diare, Malaria, dll serta jenis penyakit lain yang
sering terjadi di masyarakat desa setempat.
c) PWS merupakan bagian dari sistem kewaspadaan dini KLB yang
dilaksanakannoleh Poskesdes. Sebaiknya laporan masyarakat tidak
dimasukkan dalam data W2, karena dapat membingungkan saat
analisis. Laporan masyarakat dapat dilakukan analisis terpisah.
Setiap desa/kelurahan memiliki beberapa penyakit potensial KLB
yang perlu diwaspadai dan dideteksi dini apabila terjadi. Sikap
waspada terhadap penyakit potensial KLB ini juga diikuti dengan

19
sikap siaga tim profesional, logistik dan tatacara penanggulangannya,
termasuk sarana administrasi, transportasi dan komunikasi.
3) Pelaksanaan Surveilans di Tingkat Puskesmas
Kegiatan surveilans di tingkat Puskesmas dilaksanakan oleh
petugas surveilans puskesmas dengan serangkaian kegiatan berupa
pengumpulan data, pengolahan, analisis dan interpretasi data penyakit,
yang dikumpulkan dari setiap desa siaga. Petugas surveilans puskesmas
diharuskan:
a) Membangun sistem kewaspadaan dini penyakit, diantaranya
melakukan Pemantauan Wilayah Setempat dengan menggunakan
data W2 (laporan mingguan). Melalui PWS ini diharapkan akan
terlihat bagaimana perkembangan kasus penyakit setiap saat.
b) Membuat peta daerah rawan penyakit. Melalui peta ini akan terlihat
daerah-daerah yang mempunyai risiko terhadap muncul dan
berkembangnya suatu penyakit. Sehingga secara tajam intervensi
program diarahkan ke lokasi-lokasi berisiko.
c) Membangun kerjasama dengan program dan sektor terkait untuk
memecahkan kan permasalah penyakit di wilayahnya.
d) Bersama Tim Gerak Cepat (TGC) KLB Puskesmas, melakukan
respon cepat jika terdapat laporan adanya KLB/ancaman KLB
penyakit di wilayahnya.
e) Melakukan pembinaan/asistensi teknis kegiatan surveilans secara
berkala kepada petugas di Poskesdes.
f) Melaporkan kegiatan surveilans ke Dinas Kesehatan Kabupaten /
Kota secara berkala (mingguan / bulanan / tahunan).

20
BAB III
PEMBAHASAN

A. Surveilans Penyakit Frambusia Berbasis Masyarakat


Surveilans penyakit Frambusia dilakukan dengan memantau kasus-kasus
yang terjadi di masyarakat melalui pencatatan dan pelaporan yang dikerjakan di
puskesmas dan rumah sakit. Trend perkembangan setiap penyakit menjadi dasar
informasi apakah suatu kasus berpotensi menimbulkan kejadian luar biasa yang
dapat menimbulkan kematian pada penderita.
Surveilans penyakit Frambusia berbasis masyarakat dilakukan oleh kelompok
masyarakat yang sudah dibentuk atau biasa juga disebut kelompok kerja surveilans
di tingkat desa yaitu dengan melakukan kegiatan pengamatan dan pemantauan
situasi Frambusia secara terus menerus. Pemantauan tidak hanya sebatas penyakit
tetapi juga dilakukan terhadap penyebab munculnya suatu penyakit. Hasil
pengamatan dan pemantauan dilaporkan secara berkala sesuai kesepakatan (per
minggu/per bulan/bahkan setiap saat) ke petugas kesehatan di
Poskesdes/Puskesmas. Informasi yang disampaikan berupa informasi :
1. Nama Penderita
2. Gejala yang dialami
3. Alamat tinggal
4. Umur
5. Jenis Kelamin
6. Riwayat imunisasi
7. Riwayat medis sebelumnya, termasuk riwayat sebelumnya dengan reaksi yang
sama
8. Riwayat keluarga dengan kejadian yang sama
9. Apakah ada orang lain yang mendapat imunisasi dari vaksin yang sama dan
menimbulkan penyakit
10. Apakah ada orang lain yang mempunyai penyakit yang sama (mungkin butuh
definisi kasus); jika ya tentukan paparan pada kasus-kasus terhadap tersangka
vaksin yang dicurigai

21
Setiap kasus Frambusia atau diduga Frambusia yang dilaporkan oleh
masyarakat harus dilacak, dan ditanggapi oleh pelaksana program imunisasi. Kasus
Frambusia yang memenuhi kriteria harus dilaporkan oleh pelaksana program
imunisasi ke tingkat administrasi yang lebih tinggi. Apabila di suatu daerah tidak
ditemukan kasus Frambusia harus dilaporkan sebagai tidak ada kasus Frambusia
(zerro report).
Adapun tujuan utama dari surveilans Frambusia adalah untuk mendeteksi dini,
merespon kasus Frambusia dengan cepat dan tepat, mengurangi dampak negatif
imunisasi terhadap kesehatan individu dan terhadap program imunisasi. Hal ini
merupakan indikator kualitas program.
Kegiatan surveilans Frambusia meliputi:
1. Menemukan kasus, melacak kasus, menganalisis kejadian, menindaklanjuti kasus,
melaporkan dan mengevaluasi kasus.
2. Memperkirakarn angka kejadian Frambusia (rate Frambusia) pada suatu populasi.
3. Memastikan bahwa suatu kejadian yang diduga Frambusia merupakan koinsidens
atau bukan.
4. Mendeteksi, memperbaiki, dan mencegah kesalahan program PHBS dan sanitasi.
Bagian yang terpenting dalam surveilans Frambusia adalah menyediakan
informasi kasus Frambusia secara lengkap agar dapat dengan cepat dinilai dan
dianalisis untuk mengidentifikasi dan merespon suatu masalah. Respon merupakan
suatu aspek tindak lanjut yang penting dalam pemantauan Frambusia. Pemantauan
kasus Frambusia pada dasarnya terdiri dan penemuan kasus, pelacakan kasus,
analisis kejadian, tindak lanjut kasus, pelaporan dan evaluasi.(Sulaeman et al., 2016,
Nasional and Di Indonesia, 2009)
B. Kegiatan Dalam Surveilans Penyakit Frambusia Berbasis Masyarakat
1. Penemuan kasus Frambusia
Merupakan kegiatan penemuan kasus Frambusia atau diduga kasus
Frambusia yang dilaporkan oleh kelompok kerja surveilans tingkat desa. Laporan
harus ditanggapi dengan serius dan harus ditindaklanjuti. Tindak lanjut dimulai dan
petugas kesehatan puskesmas setempat untuk mevalidasi laporan kasus. Jika
ada perhatian yang berlebihan dari masyarakat mengenai kasus Frambusia ini,

22
disarankan untuk tidak menunda pelacakan terhadap kasus tersebut, bila perlu
mengajak pemuka masyarakat setempat.
2. Pelaporan
Pelaporan Frambusia dilakukan secara berkala berdasarkan kesepakatan
yang telah dibuat (per minggu/per bulan/bahkan setiap saat) ke petugas
kesehatan di Poskesdes/Puskesmas. Untuk menentukan penyebab kasus
Frambusia dan diduga kasus Frambusia diperlukan laporan dengan keterangan
rinci sebagaimana yang diuraikan di bawah ini. Data yang diperoleh dipergunakan
untuk menganalisis kasus dan mengambil kesimpulan.
Hal-hal yang perlu mendapat perhatian pada pelaporan.
1) Identitas: nama, tanggal dan tahun lahir (umur), jenis kelamin, alamat harus
ditulis yang jelas dan lengkap.
2) Saat timbulnya gejala Frambusia sehingga diketahui berapa lama interval
waktu antara pemberian imunisasi dengan terjadinya Frambusia.
3) Adakah gejala Frambusia ?
4) Bila gejala klinis atau diagnosis yang terdeteksi tidak terdapat dalam kolom
isian, maka dibuat dalam laporan tertulis.
5) Pengobatan yang diberikan dan perjalanan penyakit (sembuh, dirawat atau
meninggal).
6) Sertakan hasil laboratonium yang pernah dilakukan.
7) Apakah terdapat gejala sisa, setelah dirawat dan sembuh.
8) Tulis juga apabila terdapat penyakit lain yang menyertainya.
9) Bagaimana cara menyelesaikan masalah Frambusia (kronologis).
10) Adakah tuntutan dari keluarga
11) Nama dokter yang bertanggung jawab
12) Nama pelapor kasus Frambusia
3. Pelacakan Kasus
Dalam waktu 24 jam setelah laporan kasus Frambusia diterima, suatu
penilaian sebaiknya sudah dilakukan untuk menentukan apakah diperlukan
pelacakan kasus Frambusia tersebut. Apabila kasus yang dilaporkan memang
diduga Frambusia, maka dicatat identitas kasus, dan bagaimana sikap masyarakat

23
saat menghadapi masalah tersebut. Pelacakan Frambusia dilakukan oleh
kelompok kerja surveilans ditingkat desa dan jika memungkinkan dibantu oleh
petugas puskesmas
Kasus tersangka Frambusia harus dilacak secepatnya dan mencari informasi
kasus selengkap-lengkapnya. Pelacak perlu melihat secara langsung tersangka
Frambusia, untuk mengumpulkan informasi dari pasien, petugas kesehatan,
kepala Puskesmas setempat dan anggota masyarakat. Informasi yang
dikumpulkan (dan kesimpulan) dicatat pada formulir investigasi Frambusia.
4. Umpan Balik
Dengan adanya data kasus Frambusia dokter puskesmas dapat memberikan
pengobatan segera dengan memberikan pengobatan suntikan Benzathine
Penicilline sesuai dengan golongan umur. Apabila kasus tergolong berat harus
segera dirujuk untuk pemeriksaan lebih lanjut dan pemberian pengobatan segera.
Kepercayaan merupakan kunci utama komunikasi pada setiap tingkat, terlalu
cepat menyimpulkan penyebab kejadian Frambusia dapat merusak kepercayaan
masyarakat. Mengakui ketidakpastian, investigasi menyeluruh, dan tetap beri
informasii ke masyarakat. Hindari membuat pernyataan yang terlalu dini tentang
penyebab dan kejadian sebelum pelacakan lengkap.
5. Evaluasi
a. Evaluasi Rutin
Evaluasi rutin untuk menilai efektivitas surveilans Frambusia. Kriteria penilaian
efektivitas surveilans Frambusia adalah:
1) Ketepatan waktu laporan
2) Kelengkapan laporan
3) Keakuratan laporan
4) Kecepatan investigasi
5) Keadekuatan tindakan perbaikan yang dilakukan
6) Frambusia tidak mengganggu program imunisasi
b. Evaluasi Tahunan

24
Perkembangan surveilans Frambusia dapat dinilai dari data laporan tahunan di
tingkat propinsi dan nasional. Data laporan tahunan Frambusia mengandung
hal-hal di bawah ini:
1) Jumlah laporan kasus Frambusia yang diterima, dikelompokkan
berdasarkan:
a) Umur
b) Klasifikasi demografi
c) Klasifikasi kausalitas
2) Rate masing-masing Frambusia berdasarkan vaksin yang diberikan (dan
nomor batch) secara propinsi dan nasional.
3) Frambusia berat yang sangat jarang.
4) Frambusia langka lainnya.
5) Frambusia berkelompok yang besar
6) Ringkasan pelacakan kasus Frambusia yang jarang terjadi/penting.

25
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Surveilance penyaklit frambusia berdasarkan data-data dari penemuan kasus
dan pelaporan ditempat melakukan pengobatan. Dengan adanya beberapa
gejala yang dapat dijadikan oindikator bahwa penyakit ini merupakan gejala dari
penyakit frambusia sehingga sangat memungkinkan penemuan kasus lebih
cepat dengan bantuan masyarakat yang dibekali pengetahuan tentang gejala
awal akan penyakit ini, sehingga keterlibatan masyarakat ini sangat membantu
dalam proses penemuan kasus baru dalam hal pengobatan dini (early
diagnosis)sehingga tidak terjadi disabilitas (kecacatan).
B. SARAN
Sebaiknya system surveillance di Indonesia menerapkan sistem CBS
(surveillance berbasis masyarakat) dikarenakan sistem ini berada ditengah
masyarakat yang merupakan bagian dari populasi tersebut dan sangat
memungkinkan dalam pencegahan terjadinya KLB.

26
DAFTAR PUSTAKA

ATHENA, A. 2014. PENELITIAN/PENGEMBANGAN MODEL/SISTEM SURVEILANS DAMPAK KESEHATAN


PERUBAHAN IKLIM. Buletin Penelitian Kesehatan, 42, 46-58.
BOEDISUSANTO, F. W., KUSHADIWIJAYA, H. & INDRA, R. 2012. Analisis Kondisi Rumah, Sosial Ekonomi
dan Perilaku sebagai Faktor Risiko Kejadian Frambusia di Kota Jayapura Tahun 2007. Jurnal
Berita Kedokteran Masyarakat (BKM), 25, 82.
ERLINAWATI, Y. 2011. PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI POSYANDU GUNA MENDUKUNG
SURVEILANCE BERBASIS MASYARAKAT PADA DESA SIAGA. S2, UNIVERSITAS INDONESIA.
HERODES. 2012. EPIDEMIOLOGI FRAMBUSIA/ PATEK [Online]. JAKARTA: HERODES.COM.
LIUNOKAS, O. B. & KUSHADIWIJAYA, H. 2009. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian frambusia
pada anak di Desa Makamenggit, Tanatuku, Praikarang Kecamatan Nggaha Ori Angu
Kabupaten Sumba Timur Nusa Tenggara Timur. Universitas Gadjah Mada.
MARHAENI, D., HERAWATI, D. & SUNJAYA, D. K. 2012. SISTEM SURVEILANCE DAN RESPONS, BANDUNG,
CV.SAGUNG SETO.
MUSU, Y. B., SETIAWAN, B. & SUBAGIYONO, S. 2014. Hubungan Antara Faktor Lingkungan Fisik Dengan
Perilaku Individu Dengan Kejadian Frambusia Di Puskesmas Biudukfoho Kabupaten Belu. Jurnal
Kesehatan Masyarakat, 7, 217.
NASIONAL, K. N. P. P. & DI INDONESIA, B. K. D. G. 2009. Background Study RPJMN 2010-2014. Overviev
Dan Arah Ke Depan. Tahun.
PL, D. J. P. 2007. ATLAS FRAMBUSIA, DEPARTEMEN KESEHATAN, DEPARTEMEN KESEHATAN.
SULAEMAN, E. S., KARSID, R., MURTI, B., KARTONO, D. T. & HARTANTO, R. 2016. Model Pemberdayaan
Masyarakat Dalam Kemampuan Mengidentifikasi Masalah Kesehatan: Studi Pada Program Desa
Siaga. YARSI Medical Journal, 20, 128-142.
WIBAWA, T. & SATOTO, T. B. T. 2016. Magnitude of Neglected Tropical Diseases in Indonesia at
Postmillennium Development Goals Era. Journal of Tropical Medicine, 2016.

27

Anda mungkin juga menyukai