Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENGAMBILAN DAN ANALISIS DATA PENYAKIT DI PUSKESMAS

SUNGAI ULIN, BANJARBARU TAHUN 2017

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Prinsip-Prinsip Epidemiologi

“DERMATITIS”

Disusun oleh :

Yolanda Amelia Marta 1610912120033

Program Studi Kesehatan Masyarakat


Fakultas Kedokteran
Universitas Lambung Mangkurat

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya


kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan laporan kegiatan
pengambilan dan analisis data penyakit dermatitis di puskesmas Sungai Ulin
Banjarbaru yang berjudul “Laporan Pengambilan Dan Analisis Data Penyakit
Di Puskesmas Sungai Ulin, Banjarbaru Tahun 2017” tepat pada waktunya.
Laporan ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Prinsip-prinsip
Epidemiologi.

Saya menyadari bahwa penyusunan laporan ini masih jauh dari


kesempurnaan. Maka dari itu saya sangat mengharapkan masukan berupa
kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan di kemudian hari.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.

Banjarbaru, 28 Oktober 2017

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN

HALAMAN SAMPUL ........................................................................................ i

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii

DAFTAR TABEL ................................................................................................ iv

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................................


B. Tujuan
1. Tujuan Umum ............................................................................
2. Tujuan Khusus............................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian .......................................................................................
B. Patofisiologi.....................................................................................
C. Epidemiologi....................................................................................
D. Faktor Risiko ....................................................................................
E. Pencegahan .....................................................................................
F. Penanggulangan .............................................................................

BAB III HASIL

A. Suerveilans Epidemiologi Penyakit ...............................................


B. Skrining Penyakit ............................................................................
C. Hasil Data Penyakit .........................................................................
D. Pembahasan ....................................................................................

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ......................................................................................
B. Saran ................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Rekapitulasi 10 Penyakit Terbanyak di Puskesmas Sungai Ulin ......

iv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Rekapitulasi 10 Penyakit Terbanyak di Puskesmas Sungai Ulin

Lampiran 2. Transkrip Wawancara

Lampiran 3. Dokumentasi

v
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dermatitis adalah reaksi inflamasi (peradangan) yang disebabkan oleh
sesuatu dari luar tubuh, sehingga sering didengar istilah “contact dermatitis”,
dermatitis karena sentuhan. Selain contact dermatitis, ada juga atopic
dermatitis atau peradangan kulit karena penyebabnya tidak diketahui persis
dan lebih sering disebabkan oleh faktor keturunan (Kerthyasa dan Yuliani,
2013).
Infeksi dermatitis merupakan penyakit kulit yang umumnya dapat terjadi
secara berulang-ulang terhadap seseorang dalam bentuk peradangan kulit
(epidermis dan dermis) sebagai respon terhadap pengaruh faktor eksogen
dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi
polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan
gatal. Prevalensi dari semua bentuk dermatitis adalah 4,66%, termasuk
dermatitis atopik 0,69%, ekzema numular 0,17%, dan dermatitis seboroik 2,32%
yang menyerang 2% hingga 5% dari penduduk (Arman dkk, 2017).
Penelitian survailance di Amerika menyebutkan bahwa 80% penyakit kulit
akibat kerja adalah dermatitis kontak. Di antara dermatitis kontak, dermatitis
kontak iritan menduduki urutan pertama dengan 80% dan dermatitis kontak
alergi menduduki urutan kedua dengan 14-20%. Sedangkan secara umum
angka kejadian dermatitis di dunia yang sering terjadi adalah dermatitis atopik
dan dermatitis kontak, dimana 15-20% kejadian dermatitis atopik dan untuk
dermatitis kontak sendiri angka kejadiannya di Amerika 1,5-5,4% dan menjadi
penyebab ketiga terbanyak seseorang berkonsultasi ke dermatologis (Wati
dkk, 2017).
Penelitian yang dilakukan di Amerika memperlihatkan bahwa DA
(dermatitis atopik) merupakan salah satu gangguan kulit yang paling terlihat
pada bayi dan anak-anak, mulai ditemukan pada 6 bulan pertama kehidupan

1
2

pada 45% dari anak-anak, terjadi pada tahun pertama kehidupan pada 60% dari
individu yang terkena, dan mulai terjadi sebelum usia 5 tahun pada setidaknya
85% dari individu yang terkena. Hanya sekitar 1-3% DA yang timbul pertama kali
antara usia 6 sampai 20 tahun dan sangat jarang muncul usia dewasa.
Sebanyak 60% orangtua yang menderita dermatitis atopik, mempunyai anak
yang juga menderita penyakit yang sama dan prevalensi DA meningkat
menjadi 80% apabila kedua orangtuanya menderita DA (Mukhasin dkk, 2015).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar oleh Depertemen Kesehatan 2013
prevalensi nasional dermatitis adalah 6,8% (berdasarkan keluhan responden).
Sebanyak 13 provinsi mempunyai prevalensi dermatitis di atas prevalensi
nasional,yaitu, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, DI Yogyakarta, Jawa
Tengah, Jawa Barat, Jakarta, Bangka Belitung, Nanggro Aceh Darussalam, dan
termasuk Sumatera Barat (Sari dan Rita, 2017).
Berdasarkan hasil laporan Puskesmas Sungai Ulin pada tahun 2016,
dermatitis menempati urutan ke lima dari 10 penyakit terbanyak di poli umum
dan anak Puskesmas Sungai Ulin dengan jumlah kunjungan sebanyak 311 orang
(Laporan Data Puskesmas Sungai Ulin, 2016).

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari pengambilan dan analisis data ini adalah untuk
mengidentifikasi data epidemiologi penyakit dermatitis di Puskesmas
Sungai Ulin pada tahun 2016.

2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan laporan ini adalah:
a. Mengidentifikasi data kejadian penyakit dermatitis di Puskesmas
Sungai Ulin pada tahun 2016.
3

b. Mengidentifikasi surveilans epidemiologi penyakit dermatitis di


Puskesmas Sungai Ulin pada tahun 2016.
c. Mengidentifikasi skrinning penyakit dermatitis di Puskesmas Sungai
Ulin pada tahun 2016.

C. Manfaat
Manfaat dari penulisan laporan epidemiologi ini adalah untuk memberikan
informasi dan memperluas wawasan atau pengetahuan kita mengenai data
kejadian penyakit dermatitis, serveilans epidemiologi penyakit dermatitis,
serta skrinning penyakit dermatitis di Puskesmas Sungai Ulin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai
respons terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen,
menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema,
papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal. Dermatitis cenderung
residif dan menjadi kronis. Penyakit dermatitis banyak dijumpai pada anak dan
orang dewasa muda, tetapi dapat mengenai semua golongan umur. Klasifikasi
dermatitis (ekzema) didasarkan atas kriteria patogenik, walaupun kebanyakan
bentuk penyakit tidak diketahui (Nanda 2016).
Contoh dermatitis endogen adalah dermatitis atopik, dermatitis seboroik,
liken simplek kronis, dermatitis nonspesifik dan dermatitis karena obat.
Sedangkan contoh dermatitis eksogen adalah dermatitis kontak iritan ,
dermatitis kontak alergik, dermatitis fotoalergik, dermatitis infektif, dan
dermatofitid. Dermatitis termasuk penyakit kulit yang menyebalkan, karena
kekambuhannya, serta penyebabnya yang sukar untuk dicari dan ditentukan.
Sifat dermatitis adalah residif, dalam artian bisa kambuh-kambuhan,
tergantung dari jenisnya dan faktor pencetusnya, maka kekambuhan bisa
dihindari (Nanda, 2016).
Contack dermatitis (dermatitis kontak) adalah reaksi kulit yang terjadi
akibat sentuhan antara kulit dengan bahan-bahan tertentu yang mengiritasi
kulit (irritant). Reaksi pada kulit juga dapat ditimbulkan oleh allergen yang
memicu terjadinya reaksi alergi. Sebagian besar dermatitis kontak termasuk
dalam kelompok kontak dermatitis alergik (Allergic contact dermatitis/ACD)
atau ICD (Irritant contact dermatitis) (Soedarto 2012). Dermatitis kontak adalah
suatu peradangan pada kulit yang disebabkan oleh subtansi yang menempel
pada kulit. Dermatitis kontak diakibatkan karena berkontak dengan paparan
yang bersifat toksik maupun alergik sehingga menimbulkan rasa gatal,

4
5

kemerahan, tonjolan berisi air dan bengkak. Pada prinsipnya hampir semua
bahan dapat menimbulkan reaksi alergi maupun iritasi pada kulit, tetapi hal ini
bergantung dari banyak, misalnya bahan alergen atau iritan yang berkontak,
faktor individu, seperti ras, umur, jenis kelamin, maupun genetik yang
mempengaruhi serta faktor lain misalnya : frekuensi, lokasi, dan lamanya
kontak, gesekan atau trauma fisik, dan lain-lain (Safriyanti dkk, 2017).
Dermatitis atopik (eczema, eksema) merupakan penyakit kronis pada kulit
yang berlangsung lama (long-lasting), yang tidak ditularkan dari orang ke
orang lain. Dermatitis menunjukkan adanya inflamasi atau keradangan pada
kulit. Atopik berarti sekelompok penyakit yang menunjukkan tendensi
terjadinya bersamaan dengan adanya keadaan alergi lainnya, misalnya asma
dan hay fever. Eksema sebenarnya merupakan istilah umum bagi berbagai tipe
inflamasi kulit. Dermatitis atopik merupakan bentuk yang paling sering
dijumpai dibanding bentuk-bentuk eksema lainnya, yang dapat diderita oleh
perempuan maupun laki-laki (Soedarto, 2012). Dermatitis atopik (DA) atau
eksema merupakan suatu inflamasi pada kulit yang kronis disertai rasa gatal,
terjadi secara menahun, hilang timbul dan umumnya muncul pada masa bayi,
meningkat pada masa anak anak dan menghilang pada usia remaja (Mukhasin
dkk, 2015).

B. Patofisiologi
Penyakit kulit merupakan peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai
respons terhadap faktor endogen (alergi) atau eksogen (bakteri, jamur).
Gambarannya polimorfi, dalam artian berbagai macam bentuk, dari bentol-
bentol, bercak-bercak merah, lenting-lenting, basah, keropeng kering,
penebalan kulit disertai lipatan kulit yang semakin jelas, serta gejala utama
adalah gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan mungkin
hanya beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan menjadi
kronis (Nanda, 2016).
6

Penderita dermatitis kontak dapat menunjukkan gejala (Soedarto, 2012):


a. Kemerahan pada kulit dan pembengkakan
b. Kulit melepuh (blistering)
c. Gatal-gatal
d. Bercak-bercak dan penebalan sementara pada kulit
Penderita dermatitis atopik menunjukkan titer sitokin yang lebih rendah
dari titer sitokin yang dibutuhkan oleh sistem imun pada individu yang sehat,
sedangkan sitokin lain yang memicu reaksi alergi menunjukkan titer yang lebih
tinggi. Akibatnya sistem imun akan memperoleh informasi yang tidak benar
sehingga akan memicu terjadinya reaksi inflamasi pada kulit, meskipun
sebenarnya tidak terjadi infeksi oleh organisme. Pada keadaan autoimmune ini
tubuh bereaksi terhadap jaringannya sendiri. Adanya iritan dan allergen akan
memperburuk keadaan dermatitis atopik (Soedarto, 2012).
Kelainan kulit bergantung pada tingkat keparahan dan lokasi
dermatitisnya. Pada stadium akut didapatkan bercak eritematosa, edema,
papul vesikel, bula, erosi, eksudasi. Pada dermatitis kontak alergi kronis
terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin juga fisur,
berbatas tidak tegas. Dermatitis kontak alergi dapat meluas ke tempat
lain,misalnya dengan cara autosensitisasi. Berbagai lokasi kejadian dermatitis
kontak alergi yaitu tangan, lengan, wajah, telinga, leher, badan, genitalia,
tungkai atas dan bawah (Batasina dkk, 2017).

C. Epidemiologi
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar oleh Depertemen Kesehatan 2013
prevalensi nasional dermatitis adalah 6,8% (berdasarkan keluhan responden).
Sebanyak 13 provinsi mempunyai prevalensi dermatitis di atas prevalensi
nasional,yaitu, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, DI Yogyakarta, Jawa
7

Tengah, Jawa Barat, Jakarta, Bangka Belitung, Nanggro Aceh Darussalam, dan
termasuk Sumatera Barat (Sari dan Rita, 2017).
Epidemiologi dari dermatitis kontak alergi cukup sering. Di Amerika
Serikat, didapatkan 7 % pada orang yang memiliki pekerjaan Namun, terdapat
data yang menunjukkan bahwa insiden rata-rata sebenarnya adalah 10 sampai
50 kali lebih banyak dari yang dilaporkan oleh U.S. Bureau of Labor Statistics
data. Sedangkan pada yang tidak memiliki pekerjaan, di estimasi tiga kali lebih
banyak dibandingkan yang memiliki pekerjaan. Dermatitis kontak iritan
merupakan penyakit kulit yang paling sering terjadi akibat pekerjaan,
terhitung lebih dari 80% dari seluruh pekerjaan dapat terjadi pada semua orang
yang terekspos substansi iritan pada kulit (Wijaya, 2013).
Dermatitis atopik merupakan penyakit kulit yang sering menyerang anak-
anak dengan prevalensi pada anak-anak 10-20%, dan prevalensi pada orang
dewasa 1-3% di Amerika, Jepang, Eropa, Australia, dan negara industri lain.
Sedangkan pada negara agraris seperti Cina dan Asia Tengah prevalensi
dermatitis atopi lebih rendah. Di Indonesia, angka prevalensi kasus dermatitis
atopik menurut Kelompok Studi Dermatologi Anak (KSDAI) yaitu sebesar
23,67% dimana dermatitis atopik menempati menmpati peringkat pertama dari
10 besar penyakit kulit anak. Dermatitis atopik lebih sering terjadi pada wanita
daripada laki-laki dengan ratio kira-kira 1,3 : 1. Pada anak, sekitar 45% kasus
dermatitis atopik muncul dalam 6 bulan pertama kehidupan, 60% muncul
dalam tahun pertama kehidupan, dan 85% kasus muncul sebelum usia 5 tahun.
Dermatitis atopik sering dimulai pada awal masa pertumbuhan (early-onset
dermatitis atopic) (Evina, 2015).
Sekitar 45% kasus dermatitis atopik anak muncul dalam 6 bulan pertama
kehidupan, 60% muncul dalam tahun pertama kehidupan, dan 85% kasus
muncul sebelum usia 5 tahun. Sebagian besar yaitu 70% kasus penderita
dermatitis atopik anak, akan mengalami remisi spontan sebelum dewasa.
Namun penyakit ini juga dapat terjadi pada saat dewasa (late onset dermatitis
8

atopic). Dermatitis atopik cenderung diturunkan. Bila seorang ibu menderita


atopi maka lebih dari seperempatanaknya akan menderita Dermatitis atopik
pada 3 bulan pertama. Bila salah satu orang tua menderita atopi maka lebih
separuh anaknya menderita alergi sampai usia 2 tahun dan bila kedua orang
tua menderita atopi, angka ini meningkat sampai 75% (Evina, 2015).

D. Faktor Risiko
Terdapat banyak faktor yang dianggap berperan terhadap kejadian
dermatitis yaitu antara lain faktor genetik, disfungsi sawar kulit, imunologis,
lingkungan, dan psikologis (Mukhasin, 2015). Penyakit ini timbul akibat dari
beberapa faktor seperti faktor lingkungan, karakteristik paparan, karakteristik
agen, dan faktor-faktor individu seperti umur, jenis kelamin serta higiene
perorangan. Higiene perorangan yang tidak memadai dapat mengakibatkan
infeksi jamur, infeksi bakteri, virus, parasit, gangguan kulit dan keluhan
lainnya. Apabila kondisi lingkungan kerja dalam keadaan kotor dan lembab, hal
ini akan mengakibatkan penyakit kulit lebih mudah berkembang (Safriyanti
dkk, 2017).
Faktor-faktor penyebab dermatitis kontak dikelompokkan menjadi dua
yaitu penyebab langsung (sifat zat, kelarutan, formulir (gas, cair, padat),
konsentrasi, lama kontak) dan penyebab tidak langsung (usia, gender/ jenis
kelamin, ras, personal hygiene, penggunaan APD, dan pengetahuan) (Safriyanti
dkk, 2017). Pada anak-anak, jenis iritan yang paling sering menyebabkan
timbulnya reaksi dermatitis kontak adalah sabun dan detergen, air liur (saliva),
losion bayi, parfum dan makanan. Selain logam, kosmetik, dan obat-obatan,
tanaman juga dapat menimbulkan dermatitis kontak, misalnya daun pasang-
pasang beracun (poison ivy) dan latex yang berasal dari getah pohon karet
(termasuk semua benda yang terbuat dari latex) (Soedarto, 2012).
Lebih dari 3000 jenis bahan kimia dapat menyebabkan dermatitis kontak.
Logam yang paling sering menimbulkan kelainan kulit ini adalah nikel, krom,
9

dan merkuri. Kosmetik yang sering menimbulkan dermatitis kontak adalah cat
rambut yang mengandung parafenilendiamin dan pewarna pakaian, parfum,
eye shadow, cat kuku, lipstick, dan beberapa jenis bahan tabir surya
(sunscreen). Obat-obatan yang dapat menyebabkan dermatitis kontak adalah
neomisisn dalam krim kulit, novokain serta paraben yang terdapat dalam
bentuk anestesi local (Soedarto, 2012).
Dermatitis atopik sering muncul pada awal masa bayi yang disebut early-
nset atopic dermatitis. Dermatitis atopik juga dapat muncul pada dewasa yang
disebut late-onset atopic dermatitis. Sistem imun anak belum sempurna, ada
paparan terhadap allergen lingkungan, dan meningkatnya kesadaran terhadap
munculnya DA juga bisa menjelaskan peningkatan angka pada kelompok usia
0-3 tahun. Oleh karena itu, penting untuk menghindari faktor kausatif yang
berperan dalam berkembangnya DA pada anak. Pemberian ASI dan susu
formula selama enam bulan pertama kehidupan merupakan faktor risiko DA
pada anak. Tingkat pengetahuan ibu dan latar belakang pendidikan orang tua
seperti imunisai dan lingkungannya mempengaruhi kejadian DA (Thaha, 2015).

E. Pencegahan
Upaya pencegahan dermatitis kontak iritan (DKI) yang terpenting adalah
menghindari pajanan bahan iritan, baik yang bersifat mekanik (gesekan atau
tekanan yang bersifat terus menerus suatu alat), fisik (lingkungan yang
lembab, panas, dingin, asap, sinar matahari dan ultraviolet) atau kimiawi
(alkali, sabun, pelarut organik, detergen, pemutih, dan asam kuat, basa kuat).
Bila dapat dilakukan dengan sempurna dan tanpa komplikasi, maka tidak perlu
pengobatan topikal dan cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit
yang kering. Pemakaian alat pelindung diri yang adekuat dan tingkat
pengetahuan pekerja yang baik diperlukan bagi mereka yang bekerja dengan
bahan iritan. Bila ditemukan peradangan bisa diberikan kortikosteroid topical
(Imartha, 2015).
10

Upaya pencegahan DKI (Dermatitis Kontak Iritan) yang terpenting adalah


menghindari bahan yang dapat menyebabkan respon iritasi pada kulit baik
yang bersifat kimiawi, mekanik maupun fisis. Untuk menghindari bahan iritan
dapat dilakukan dengan cara mengganti material pada tempat kerja dengan
material lain yang kurang berbahaya. Selain itu, jika memungkinkan, pekerja
disarankan untuk mengganti pekerjaannya. Namun jika sudah terpapar dapat
dilakukan pencucian sesegera mungkin pada area yang terpapar iritan akan
mengurangi waktu kontak agen iritan dengan kulit. Penggunaan baju
pelindung, sarung tangan, dan alat proteksi lainnya akan mengurangi
pemaparan iritan dan sebaiknya penggunaan alat proteksi diganti secara
periodik (Sari dkk, 2013).
Mencegah pajanan agen alergen dapat dilakukan dengan menghindari
bahan alergen, yaitu dengan mengganti bahan alergen dengan bahan yang
kurang berbahaya atau mengganti pekerjaannya, mencuci bagian yang
terpapar secepat mungkin dengan sabun, jika tidak ada sabun bilas dengan air,
dan gunakan perlengkapan pelindung (sarung tangan) saat melakukan
aktifitas yang berisiko terhadap paparan alergen. Pencucian dapat dilakukan
dengan menggunakan sabun hipoalergenik dan jangan menggosok bagian
yang ruam. Lalu dapat dilakukan pembersihkan bagian yang terpapar, dengan
cara mengompres kulit yang teriritasi dengan air hangat (32,20C) atau lebih
dingin (Sari dkk, 2013). Upaya pencegahan terhadap penyakit kulit alergik pada
masyarakat diperlukan pengetahuan dan sikap yang baik dari.masyarakat
sehingga masyarakat dapat memahami dan bisa mengaplikasikannya (Alfrida,
2015).

F. Penanggulangan
Penanggulangan merupakan strategi yang optimal dalam menangani
masalah penyakit kulit akibat kerja. Hal ini merupakan usaha multidisiplin yang
membutuhkan perencanaan oleh pemilik industri, pekerja, pemerintah, dan
11

petugas kesehatan untuk mengembangkan usaha pencegahan. Beberapa


tindakan yang dapat menaggulangi penyakit kulit akibat kerja antara lain
adalah identifikasi bahan-bahan berbahaya terlebih dahulu sebelum digunakan
di tempat kerja sehingga bahan-bahan tersebut dapat digantikan dengan
bahan-bahan kimia lainnya yang tidak berbahaya, penyaringan sebelum
bekerja untuk mengidentifikasi populasi yang berisiko tinggi, dan hazard
control yang mencakup pemilik perusahaan, pekerja, pemerintah, serta
petugas kesehatan (Sari dkk, 2013).
Dermatitis atopik masih merupakan masalah kesehatan umum utama di
dunia karena sangat kompleks, gambaran klinis yang sangat bervariasi, serta
piñata-laksanaannya yang tidak hanya bergantung pada pengobatan, namun
juga perawatan kulit dan menghindari faktor pencetus. Penatalaksanaan DA
ditujukan untuk mengurangi tanda dan gejala penyakit, serta
mencegah/mengurangi kekambuhan sehingga dapat mengatasi penyakit
dalam jangka waktu lama serta mengubah perjalanan penyakit (Febriansyah,
2015).
BAB III
HASIL

A. Surveilans Epidemiologi Penyakit


Menurut WHO Surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan,
analisis, dan interprestasi data secara sistematik dan terus menerus serta
penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk diambil
tindakan. Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan, analisis, dan
analisis data secara terus menerus dan sistematis yang kemudian di-
diseminasikan (disebarluaskan) kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab
dalam pencegahan penyakit dan masalah kesehatan lainnya. Surveilans
memantau terus-menerus kejadian dan kecenderungan penyakit, mendeteksi
dan memprediksi outbreak pada populasi, mengamati faktor yang
memengaruhi kejadian penyakit, seperti perubahan biologis pada agen,
vektor, dan reservoir. Selanjutnya surveilans menghubungkan informasi
tersebut kepada pembuat keputusan agar dapat dilakukan langkahlangkah
pencegahan dan pengendalian penyakit (Syalfina dkk, 2017).
Pendekatan surveilans dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu (Syalfina dkk,
2017):
1. Surveilans pasif, dengan menggunakan data penyakit yang harus
dilaporkan(reportable diseases) yang tersedia di fasilitas pelayanan
kesehatan.
2. Surveilans aktif, menggunakan petugas khusus surveilans untuk kunjungan
berkala kelapangan, desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga medis
lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah sakit, dengan tujuan
mengidentifikasi kasus baru penyakit atau kematian, disebut penemuan
kasus (case finding), dan konfirmasi laporan kasus indeks.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu petugas Puskesmas
Sungai Ulin, didapatkan informasi bahwa dalam melakukan surveilans
Puskesmas Sungai Ulin hanya menunggu laporan jika ada suatu penyakit yang

12
13

terjadi. Apabila terjadi KLB, pihak puskesmas dan pemegang program penyakit
akan turun ke lapangan untuk melakukan survei. Namun, surveilans hanya
dilakukan untuk penyakit-penyakit yang menular.
Menurut data sekunder yang telah di dapatkan di wilayah kerja Puskesmas
Sungai Ulin, dapat dilihat rekapitulasi 10 penyakit terbanyak di wilayah kerja
Puskesmas Sungai Ulin dalam kurun waktu 1 tahun terakhir, yang dapat dilihat
dalam tabel berikut:

Tabel 1. Rekapitulasi 10 Penyakit Terbanyak di Puskesmas Sungai Ulin

Kode
No Jenis Penyakit Jumlah
diagosa
1 J06 Infeksi akut lain pd sal. pernapasan 3.195
2 I10 Hipertensi primer 1.461
3 K30 Dyspepsia 851
4 Diabetes Millitus 408
5 L30 Dermatitis 311
6 M06 Rheumatoid arthritis 287
7 A01 Typus perut 215
8 A09 Diare 209
Penyakit lain-lain pd sist. Otot dan jar.
9 163
Pengikat
10 R79 Kelainan kimia darah mis. cholesterol 155
Jumlah 7.255

B. Skrinning Penyakit
Screening atau penyaringan kasus adalah usaha untuk mengidentifikasi
penyakit-penyakit yang secara klinis belum jelas dengan menggunakan
pemeriksaan tertentu atau prosedur lain yang dapat digunakan secara cepat
untuk membedakan orang-orang yang kelihatannya sehat tetapi mempunyai
kemungkinan sakit atau benar-benar sehat (Syalfina dkk, 2017).
Berdasarkan informasi yang didapatkan, skrinning penyakit dilakukan
secara pasif, yaitu penyaringan kasus dilakukan berdasarkan jumlah pasien
yang datang ke puskesmas. Selain itu, Puskesmas juga menunggu laporan dari
14

ketua RT setempat. Skrining aktif hanya dilakukan untuk penyakit yang sering
terjadi pada usia lanjut seperti katarak yang sering dilakukan melalui
Posyandu.

C. Hasil Data Penyakit


1. Proporsi
Proporsi merupakan perhitungan, di mana numeratornya (jumlah
kasus) termasuk atau menjadi bagian dari denominator (jumlah
keseluruhan). Proporsi sering dinyatakan dalam persen (%)(Syalfina dkk,
2017).
Dari hasil wawancara dan uraian data dapat diketahui bahwa pada
tahun 2016 terdapat 311 kasus dermatitis diantara 14.189 penduduk
kelurahan Sungai Ulin. Dari data dapat dilihat proporsi penyakit dermatitis
adalah sebagai berikut.
Jumlah kasus 311
Proporsi = x 100% = x 100% = 2,19%
jumlah populasi 14.181

2. Ratio
Ratio (perbandingan) suatu perhitungan, dimana numeratornya tidak
termasuk (menjadi bagian) dari denominator (Syalfina dkk, 2017).
Berdasarkan hasil wawancara, didapatkan informasi bahwa puskesmas
tidak memiliki data rasio setiap penyakit. Namun pihak puskesmas sendiri
memiliki target rasio dari setiap jumlah penduduk.
3. Rate
Rate adalah suatu bentuk perbandingan yang mengukur probabilitas
(kemungkinan) terjadinya suatu peristiwa atau kejadian tertentu. Dalam
rate mengandung unsur-unsur sebagai berikut (Syalfina dkk, 2017):
a. Pembilang (a) yaitu jumlah kasus penyakit yang terdapat dalam suatu
populasi atau sub-grup suatu populasi.
15

b. Penyebut (a+b) yaitu populasi atau sub-group dari populasi yang


mempunyai risiko (population at risk) untuk menderita penyakit yang
bersangkutan.
c. Waktu atau kurun waktu yang mengikuti peristiwa/kejadian penyakit
yang bersangkutan.
Jumlah kasus 311
Rate = = 14.181 = 0,0219
jumlah populasi

4. Insiden
Insiden adalah gambaran tentang frekuensi penderita baru suatu
penyakit yang ditemukan pada suatu waktu tertentu di satu kelompok
masyarakat. Untuk dapat menghitung angka insidensi suatu penyakit,
sebelumnya harus diketahui terlebih dahulu tentang: data tentang jumlah
penderita baru. Jumlah penduduk yang mungkin terkena penyakit baru
(Population at Risk) (Syalfina dkk, 2017).
Berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari laporan Puskesmas
Sungai Ulin pada tahun 2016, jumlah insiden dari penyakit dermatitis ada
219 kasus baru dari jumlah kasus sebanyak 311.
5. Prevalensi
Prevalensi adalah gambaran frekuansi penderita lama dan baru yang
ditemukan dalam waktu tertentu di sekelompok masyarakat tertentu.
Pada perhitungan angka Prevalensi, digunakan jumlah seluruh penduduk
tanpa memperhitungkan orang atau penduduk yang Kebal atau Penduduk
dengan Risiko (Population at Risk). Sehingga dapat dikatakan bahwa Angka
Prevalensi sebenarnya bukanlah suatu rate yang murni, karena penduduk
yang tidak mungkin terkena penyakit juga dimasukkan dalam perhitungan
(Syalfina dkk, 2017).
Dari data yang diperoleh juga dapat ditentukan besar prevalensi
penyakit dermatitis di lingkungan kerja Puskesmas Sungai Ulin adalah
sebagai berikut.
16

Jumlah Kasus
Prevalensi = x 1000
total individu pada populasi
311
= x 1000
14.181
= 21,93

D. Pembahasan
Dari informasi yang didapatkan, data penyakit di Puskesmas Sungai Ulin
diinterpretasikan ke dalam tabel yang akan dibuat laporan bulanan terpadu. Di
akhir tahun (bulan Desember), laporan bulanan akan dirangkum dan
dimasukkan ke dalam laporan tahunan Puskesmas Sungai Ulin.
Dalam mengumpulkan data, pihak puskesmas mengaku tidak ada kendala
dan hambatan yang berarti. Namun apabila ada data kejadian penyakit yang
tidak lengkap, maka data tersebut dikembalikan ke pihak yang melaporkan
data untuk meminta data yang lebih lengkap.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Surveilens dan skrinning yang digunakan oleh Puskesmas Sungai Ulin
adalah surveilens dan skrinning pasif.
2. Dari survey data di Puskesmas Sungai Ulin diperoleh informasi bahwa
penyakit dermatitis menempati urutan kelima dari 10 penyakit
terbanyak dengan jumlah kasus sebanyak 311 dari jumlah populasi
sebanyak 14.181 jiwa.
3. Proporsi dermatitis di Puskesmas Sungai Ulin sebesar 2,19% dari jumlah
populasi sebanyak 14.181 jiwa.
4. Ratio tidak diperoleh karena Puskesmas Sungai Ulin tidak mendata
ratio setiap penyakit, namun pihak psukesmas memiliki target per
jumlah penduduk.
5. Rate dermatitis yang diperoleh sebesar 0,0219 dari 14.181 jumlah
populasi.
6. Insiden dermatitis pada tahun 2016 terdapat sebanyak 219 kasus baru
dari 311 jumlah kasus.
7. Prevalensi dermatitis yang diperoleh adalah sebesar 21,9.
8. Data penyakit yang diperoleh diinterpretasikan ke dalam bentuk tabel
yang dimasukkan ke laporan bulanan terpadu. Setelah itu laporan
bulanan dirangkum dan dimasukkan ke dalam laporan tahunan.

B. Saran
Bagi puskesmas hendaknya melakukan surveilans dan skrinning dengan
cara mendata langsung ke lapangan agar data yang diperoleh lebih lengkap,
dari kasus baru sampai penduduk yang berpotensi menderita dermatitis. Jika
ada data penduduk yang berpotensi, puskesmas dapat melakukan penyuluhan
penerapan hidup bersih dan sehat kepada penduduk untuk mencegah

17
18

terjadinya penyakit dermatitis. Sehingga, angka kejadian dermatitis dapat


dikurangi.
DAFTAR PUSTAKA

Alfrida A. 2015. Hubungan pengetahuan dan sikap masyarakat dengan upaya


pencegahan penyakit dermatitis kontak alergi di Kelurahan Mamboro
Kecamatan Palu Utara. Promotif 4(2): 122-128.

Arman, Ari U, M Sakundarno A. 2017. Gambaran kejadian dermatitis pada


tenaga kerja Indonesia di tempat penampungan sementara di Kabupa
ten Nunukan. Jurnal Kesehatan Masyarakat 5(2): 33-42.

Batasina T, Herry P, Pieter S. 2017. Profil dermatitis kontak alergi di poliklinik


rsup prof. Dr. R.D. Kandou Manado periode Januari – Desember 2013.
Jurnal e-Clinic (eCl) 5(1): 1-6.

Evina B. 2015. Clinical manifestations and diagnostic criteria of atopic dermatitis.


Majority 4(4): 24-31.

Febriansyah JPE, Grace MK, Agus H. 2015. Profil dermatitis atopik di poliklinik
kulit dan kelamin rsup prof. Dr. R.d Kandou Manado periode Januari
2010-Desember 2012. Jurnal Biomedik 7(3): 23-28.

Imartha AG. 2015. Kejadian dermatitis kontak iritan pada petugas sampah di
TPA. Majority 4(7): 115-120.

Kerthyasa TG, Indri Y. 2013. Sehat holistic secara alami: gaya hidup selaras
dengan alam. Bandung: Qanita.

Mukhasin MS, dkk. 2015. Infeksi cacing tidak berpengaruh terhadap kadar
transforming growth factor (tgf)-β dan kejadian dermatitis atopik pada
anak. Jurnal Kedokteran Brawijaya 28(3): 217-221.

Nanda M. 2016. Faktor yang memengaruhi kejadian dermatitis pada santri di


Pesantren Modern Al Mukhlishin Tanjung Morawa Kabupaten Deli
Serdang tahun 2014. Jurnal JUMANTIK 1(1): 121-133.

Safriyanti, Hariyati L, Karma I. 2017. Hubungan personal hygiene, lama kontak


dan riwayat penyakit kulit dengan kejadian dermatitis kontak pada
petani rumput laut di Desa Akuni Kecamatan Tinanggea Kabupaten
Konawe Selatan tahun 2016. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kesehatan
Masyarakat 1(3): 1-10.
Sari D, Nova R. 2017. Analysis of risk factors attenistic dermatitis attendance on
the center in Puskesmas Pauh Padang. Jurnal Endurance 2(3): 323-332.

Soedarto. 2012. Alergi dan penyakit sistem imun. Jakarta: CV Sagung Seto.

Syalfina AD, Erfiani M, Dhonna A. 2017. Buku ajar kesehatan masyarakat untuk
kebidanan. Surakarta: CV Kekata Group.

Thaha MA. 2015. Faktor risiko pada dermatitis atopik. Jurnal Kedokteran Dan
Kesehatan 2(1): 61-67.

Wijaya E, Luh Made MR, IGK Darmada. 2013. Pekerjaan dan kaitannya dengan
dermatitis kontak. E-Jurnal Medika Udayana 2(12): 1-15.
Lampiran 1. Rekapitulasi 10 Penyakit Terbanyak di Puskesmas Sungai Ulin
Lampiran 2. Transkrip Wawancara

Penyusun : “Assalamu’alaikum bu, kami dari Program Studi


Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat ingin bertanya-tanya kepada ibu
seputar surveilans yang ada di Puskesmas Sungai Ulin,
apakah ibu berkenan?”
Pihak puskesmas : “Wa’alakumsalam. Iya bisa, duduk… duduk aja disitu,
mbak.”
Penyusun : “Iya, terima kasih, bu.”
Pihak puskesas : “Jadi mau nanya apa ini?”
Penyusun : “Bagaimana sistem surveilans epidemiologi yang ada di
puskesmas ini, bu? Apakah aktif atau pasif, bu?”
Pihak puskesmas : “Kalau disini pasif, kita menunggu laporan dari ketua RT
atau masyarakat sekitar puskesmas untuk melaporkan
kalau ada kejadian. Kecuali untuk katarak, kalau katarak
kita surveilansnya aktif, jadi kita biasanya datang ke
posyandu lansia, jadi biasanya petugasnya yang
bergerak, petugasnya yang mengikuti kegiatan. Jadi kalo
ada kegiatan di posyandu, dia yang mendeteksi (adanya
lansia yang mengalami katarak).”
Penyusun : “Jadi begini, bu. Kami diminta untuk mengetahui data
tiap penyakit, seperti proporsi, ratio, rate incident serta
prevalensi.”
Pihak puskesmas : “Kalo kita enggak punya, sih, ratio, untuk yang per
penyakit, enggak ada. Tapi kalau target, kita ada target
per penduduk. Kalau target, kita disini per jumlah
penduduk, misalnya target ISPA, target ISPA itu berapa
persen dari jumlah penduduk. Tapi kalau ratio penduduk
segini, penyakitnya segini; kita enggak ada itu. Kalau
target untuk semua program itu dari jumlah penduduk.”
Penyusun : “untuk skrinningnya sendiri, bagaimana dari pihak
puskesmas ini, bu?”
Pihak puskesmas : “Jadi di sini kami nunggu pasien datang aja (untuk
berobat) baru nanti di data”
Penyusun : “Kalau surveilans tadi kira-kira bagaimana kegiatan yang
dilakukan, bu?”
Pihak puskesmas : “Kita kan misalnya ada dapat informasi, misalnya
demam berdarah atau apa gitu kan, nanti kita (turun) ke
lapangan sama pemegang program; misalnya DBD sama
pemegang program DBD, diare sebenarnya bisa, campak
juga bisa. Ini laporan mingguan, setiap minggu dikirim,
tiap senin. Dari hari minggu ketemu hari minggu.”
Penyusun : “Apakah lebih banyak penyakit menular atau tidak
menular yang membuat turun ke lapangan, bu?”
Pihak puskesmas : “Lebih banyak penyakit menular.”
Penyusun : “Apakah data yang didapat lengkap, bu?”
Pihak puskesmas : “Kadang lengkap, kadang enggak. Kalo yang enggak
lengkap itu kita susah, mbak.”
Penyusun : “Kapan dilakukan pengumpulan data, bu?”
Pihak puskesmas : “Biasanya (jika) ada informasi.”
Penyusun : “Tidak rutin ya, bu?”
Pihak puskesmas : “Iya. Kalo ada KLB kita datengin misalnya begitu.”
Penyusun : “Penyakit yang biasanya dilaporkan oleh masyarakat itu
apakah pihak puskesmas atau dinas kesehatan selalu
memantau, bu?”
Pihak puskesmas : “Iya. Seperti demam berdarah misalnya, terus ada
laporan gini gini, terus nanti kerja sama dengan dinas.”
Penyusun : “Biasanya data tersebut didapat dari mana, bu?”
Pihak puskesmas : “Kita kan di dinas itu ada timnya, mbak. Misalnya
pemegang program di dinas, nah kan kita punya grup,
mbak, grup pemegang program nanti misalnya ada
laporan nanti dimasukkan ke grup. ‘Oh, ini wilayah
penyakit A.’ Nanti ada foto-fotonya kan. Mereka (yang
melapor pada pemegang program) itu dari rumah sakit,
mbak. Jadi dinas itu kerjasama dengan rumah sakit-
rumah sakit wilayah yang ada di Banjarbaru, bisa juga
(rumah sakit) di Martapura. Pokoknya yang wilayah
(rumah sakit) nya yang dekat-dekat. Mereka (dinas
kesehatan) kerja sama dengan surveilans rumah sakit.”
Penyusun : “Biasanya data yang didapat tersebut paling banyak
dari wilayah mana, bu?”
Pihak puskesmas : “Biasanya tergantung, Sungai Ulin bisa, Komet bisa.”
Penyusun : “Tergantung kasusnya (dimana) ya, bu?”
Pihak puskesmas : “Iya, tergantung kasusnya, mbak. Biasanya mereka
mengirimkan (laporan) seperti ini, mbak. Ini dari rumah
sakit (di) Martapura. Hasil-hasil lab seperti ini. ‘Oh, ini
bukan wilayah kita.’ misalnya, ya udah kita diam aja kalo
bukan di wilayah kita.”
Penyusun : “Apakah memerlukan kriteria-kriteria tertentu, bu?”
Pihak puskesmas : “Iya, harus. Enggak bisa sembarangan.”
Penyusun : “Apakah selama pengumpulan data ada kendala-
kendala, bu?”
Pihak puskesmas : “Enggak ada, sih.”
Penyusun : “Mungkin itu saja dulu, bu. Terima kasih banyak, bu.”
Pihak puskesmas : “Iya, sama-sama, mbak.”
Lampiran 3. Dokumentasi

Anda mungkin juga menyukai