Anda di halaman 1dari 56

HUBUNGAN LINGKUNGAN FISIK DENGAN KEJADIAN

ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS


TEMBILAHAN HULU TAHUN 2023

PROPOSAL PENELITIAN

OLEH:
SHEILA SEPTI AZZAHRO
NIM : 19.01.1.129

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN

PROGRAM STUDI SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS HANG TUAH PEKANBARU
2023
HUBUNGAN LINGKUNGAN FISIK DENGAN KEJADIAN
ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
TEMBILAHAN HULU TAHUN 2023

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Melaksanakan


Penelitian Pada Program Studi Sarjana Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kesehatan
Universitas Hang Tuah Pekanbaru

Oleh:

SHEILA SEPTI AZZAHRO


NIM : 19.01.1.129

PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN

PROGRAM STUDI SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS HANG TUAH PEKANBARU

2023
PERSETUJUAN PEMBIMBING

JUDUL SKRIPSI : HUBUNGAN LINGKUNGAN FISIK


DENGAN KEJADIAN ISPA PADA
BALITA DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS TEMBILAHAN HULU
TAHUN 2023
NAMA : SHEILA SEPTI AZZAHRO
NIM : 19.01.1.129
PEMINATAN : KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI : KESEHATAN MASYARAKAT

Proposal ini diperiksa, disetujui dan siap untuk dipertahankan dihadapan tim
penguji proposal penelitian Program Studi Sarjana Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kesehatan
Universitas Hang Tuah Pekanbaru

Pekanbaru, 22Mei 2023

Menyetujui

Pembimbing I Pembimbing II

Wulan Sari, SKM, M.Epid Sri Desfita, SST, M.Kes


NIDN: 1029038904 NIDN: 1029117701
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT

Yang bertandatangan dibawah ini:


Nama : SHEILA SEPTI AZZAHRO
NIM : 19.01.1.129
Tanggal Lahir : 30 September 2001
Tahun Masuk : 2019
Peminatan : KESEHATAN LINGKUNGAN

Menyatakan bahwa saya tidak melakukan plagiat dalam penulisan


Skripsi penelitian saya yang berjudul: “HUBUNGAN LINGKUNGAN FISIK
DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS TEMBILAHAN HULU TAHUN 2023”.
Sepanjang Sepengetahuan saya tidak terdapat karya yang pernah diajukan
untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan tidak terdapat
karya/pendapat yang pernah ditulis/diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang
secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan tindakan plagiat, maka
saya akan menerima sanksi yang telah ditetapkan. Demikian surat pernyataan ini
saya buat dengan sebenar-benarnya.

Pekanbaru, 22 Mei 2023


Yang membuat pernyataan

SHEILA SEPTI AZZAHRO


KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, karena atas segala
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan
Proposal skripsi ini dengan judul “HUBUNGAN LINGKUNGAN FISIK
DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS TEMBILAHAN HULU TAHUN 2023”
Dalam Menyelesaikan Proposal Skripsi Ini, peneliti merasakan betapa
besarnya manfaat dan bantuan yang telah diberikan oleh semua pihak, sehubung
dengan itu peneliti mengucapkan terimakasih pada berbagai pihak yang telah
membantu dalam penyusunan Proposal skripsi ini, mudah-mudahan mendapat
pahala dari Allah SWT.

Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada:

1. Bapak dr. H. Zainal Abidin, MPH, Selaku ketua yayasan Hang Tuah
Pekanbaru.
2. Bapak Prof. Dr. Syafrani, M.Si, selaku Rektor Universitas Hang Tuah
Pekanbaru.
3. Bapak Ns. Abdurrahman H, M.Kep selaku Dekan Fakultas Kesehatan
Universitas Hang Tuah Pekanbaru
4. Bapak Ahmad Satria Efendi, SKM, M.Kes selaku Wakil Dekan Fakultas
Kesehatan Universitas Hang Tuah Pekanbaru
5. Bapak Dr. Reno Renaldi, SKM, M.Kes, selaku Kepala Program Studi
Kesehatan Masyarakat Universitas Hang Tuah Pekanbaru
6. Ibu Wulan Sari, SKM, M.Epid, selaku pembimbing I yang telah banyak
meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan ilmu, memberikan
masukan dan arahan yang sangat berharga dalam menyusun Skripsi skripsi
ini.
7. Ibu Sri Desfita, SST, M.Kes, selaku Pembimbing II yang telah
memberikan saran, masukan serta arahan yang sangat bermanfaat selama
masa studi
8. Ibu Dr. Hetty Ismainar, SKM, MPH selaku penguji I yang telah banyak
memberi bimbingan dan arahan yang bermanfaat dalam menyelesaikan
skripsi ini
9. Ibu Dr. Arnawilis, MARS selaku penguji II yang telah banyak
memberikan bimbingan dan arahan yang bermanfaat dalam menyelesaikan
skripsi ini.
10. Staff Dosen dan Tata Usaha Universitas Hang Tuah Pekanbaru yang telah
memberi bekal ilmu dan pengetahuan selama dibangku perkuliahan.
11. Pihak Puskesmas Tembilahan Hulu yang bersedia memberikan izin,
menjadi informan dan memberikan informasi kepada penulis untuk
memperoleh data yang dibutuhkan dalam Skripsi ini.
12. Untuk kedua orang tua dan keluarga besar yang telah mendoakan agar
selama penyusunan skripsi ini diberi kelancaran dan kemudahan serta
memberikan dukungan agar dapat diselesaikan dengan baik.
13. Adik dan abang ku tersayang yang telah memberikan motivasi penulis
selama penulisan proposal penelitian.
14. Rekan- rekan jurusan Kesehatan Lingkungan yang tidak dapat disebutkan
satu per satu terima kasih atas masukkan dan kritikkannya beserta canda
tawanya selama ini.
15. Seluruh teman-teman Kesmas Angkatan 2019 yang sama-sama menempuh
studi di Universitas Hang Tuah Pekanbaru.

Pada penyusunan Proposal skripsi ini peneliti menyadari masih jauh dari
kesempurnaan, baik dari segi isi maupun dari segi teknik penyusunannya. Oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi
kesempurnaan dan kelengkapann proposal skripsi ini.

Pekanbaru,22 Mei 2023

Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah infeksi yang melibatkan


organ saluran pernapasan bagian atas dan bagian bawah yang dapat
menyebabkan berbagai macam penyakit dari infeksi ringan sampai berat.
ISPA termasuk Air Bone Disease yang penularan penyakitnya melalui udara
(Kementerian Kesehatan RI, 2017). Infeksi saluran pernapasan akut adalah
penyebab utama morbiditas dan mortalitas akibat penyakit menular di dunia.
Hampir 4 juta orang meninggal karena infeksi saluran pernapasan akut setiap
tahun, di mana 98% kematian tersebut disebabkan oleh infeksi saluran
pernapasan bawah. Tingkat kematian sangat tinggi pada bayi, anak-anak dan
orang tua, terutama di negara berpendapatan rendah dan menengah. Infeksi
pernapasan akut adalah salah satu penyebab paling umum konsultasi atau
perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan, terutama dalam layanan anak
(WHO, 2020).

ISPA merupakan salah satu masalah kesehatan di negara berkembang


karena tingginya angka kesakitan dan kematian akibat ISPA pada balita
(Dongky & Kadrianti, 2016). Menurut WHO, angka mortalitas ISPA di dunia
diperkirakaan melebihi 40/1000 anak dan sekitra 15-20% terjadi pada kelompok
umur < 5 tahun. ISPA menjadi penyebab kematian anak paling banyak, dimana
kurang lebih 4 juta balita meninggal setiap tahunnya serta mayoritas kematin
ditemukan pada negara yang masih berkembang (Agista et al., 2022).
Berlandaskan laporan WHO, dikatakan ISPA termasuk penyakit menular yang
menyebabkan kesakitan dan kematian tertinggi di berbagai negara- negara
berkembang, diantaranya dijumpai di India sebesar 48%, disusul Indonesia sebesar
38%, kemudian Ethiopia sebesar 4,4%, Pakistan sebesar 4,3%, China sebesar 3,5%,
Sudan sebesar 1,5% dan Nepal terendah sebesar 0,3%. Didasarkan pada data tersebut,
diketahui Indonesia menjadi negara yang memiliki kejadian ISPA tertinggi urutan
kedua secara global. Dimana hingga saat ini ISPA terus menjadi 10 permasalahan
kesehatan dengan angka mortalitas paling tinggi di dunia (WHO, 2019).
Pada tahun 2017 berdasarkan data dari Laporan Rutin Subdit ISPA Tahun
2017, didapatkan insiden (per 1000 balita) di Indonesia sebesar 20,54%.
(Kementerian Kesehatan RI, 2017). Pada tahun 2018 Berdasarkan data
laporan ruin Subdit ISPA Tahun 2018, didapatkan insiden (per 1000 balita) di
Indonesia sebesar 20,06% hampir sama dengan data tahun sebelumnya
20,56% (Kemenkes RI, 2018). Sedangkan pada tahun 2019 angka kematian
akibat pneumonia pada balita sebesar 0,12%. Angka kematian akibat
Pneumonia padakelompok bayi lebih tinggi hampir dua kali lipat
dibandingkan pada kelompok anak umur 1 –4 tahun.(Kementrian Kesehatan
RI, 2019).
Pengendalian ISPA di Indonesia sudah dimulai pada tahun
1984,bersamaan dengan diawalinya pengendalian ISPA di tingkat global.
Pada dasarnya pelaksanaan pengendalian ISPA perlu didukung melalui
peningkatan sumberdaya termasuk dana. Semua sumber dana pendukung
program yang tersedia baik APBN, APBD dan dana kerjasama harus
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Sejalan dengan UU Nomor 32 tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, maka daerah otonomi harus
mempunyai kemampuan menentukan skala prioritas pembangunan di daerah
masing-masing sesuai dengan kebutuhan setempat serta memperhatikan
komitmen nasional dan global. Disamping itu sesuai dengan peraturan
pemerintah Nomor 65 tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan
Penerapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) menyatakan bahwa
kabupaten/kota wajib menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai SPM
yang telah ditetapkan (Kemenkes RI, 2012).
Menurut profil data Riau tahun 2018 penyakit ISPA pada Balita berjumlah
3,22% di tahun 2018 pada Provinsi Riau,kasus ISPA yang paling tinggi di
tahun 2018 menurut Kabupaten/Kota yaitu Kota Pekanbaru sebanyak 396
kasus. Kabupaten/Kota lainnya yang tinggi kasus ISPA yaitu Kota Kampar
dan Rokan Hulu (RISKESDAS, 2018)
Berdasarkan survey awal yang peneliti lakukan pada tanggal 9 Februari
2023 didapatkan jumlah pasien penderita ISPA di Puskesmas Tembilahan
Hulu pada tahun 2022 sebanyak 698 kasus. Kasus ini merupakan kasus
tertinggi dibandingkan dengan puskesmas lain berdasarkan data dari Dinas
Kesehatan Tembilahan.
Penyakit ISPA termasuk penyakit yang rentan terhadap bayi dan balita
dikarenakan daya tahan imun tubuhnya yang belum stabil,maka dari itu
tubuhnya sulit untuk melawan infeksi virus maupun bakteri penyebab ISPA.
Masa balita merupakan periode penting dalam tumbuh proses dan tumbuh
kembang manusia. Balita sangat peka terhadap penyakit dan tingkat kematian
pada balita pun masih terbilang cukup tinggi (Sarniyati, 2022).
Secara umum terdapat tiga faktor risiko terjadinya ISPA, yaitu faktor
lingkungan, faktor individu anak serta faktor perilaku. Faktor lingkungan
meliputi: pencemaran udara dalam rumah, ventilasi rumah, dan kepadatan
hunian. Faktor individu anak meliputi: umur anak (6-12 bulan/pada usia
balita), berat badan lahir, status gizi, vitamin-A dan status imunisasi. Faktor
perilaku meliputi perilaku pencegahan dan penanggulangan ISPA pada bayi
atau peran aktif keluarga/masyarakat dalam menangani penyakit ISPA
(Kepmenkes RI, 2002).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Daeli et al., 2021)
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu
mengenai ISPA dengan perilaku ibu dalam pencegahan ISPA dengan nilai
(p = 0,128). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Ramadhaniyanti et
al., 2015) menunjukkan bahwa terdapat ada hubungan antara luas ventilasi
rumah ada hubungan antara luas ventilasi rumah (p-value = 0,041, RP= 0,995,
CI= 0,565- 1,753) dan kebiasaan merokok anggota keluarga di dalam rumah
(p-value = 0,014, RP= 4,219, CI= 1,120-15,886) dengan kejadian ISPA pada
balita.Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Wulandhani &
Purnamasari, 2019) menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
kepadatan hunian (OR=2.030, RR=0.635, 95% CI : 0.673-6.128) dengan
kejadian ISPA pada balita.
Peran keluarga penting untuk memantau kebutuhan pasien dari laporan
perawat atau jika perlu malakukan komunikasi langsung. Peranan tersebut
lebih dominan dari seorang ibu. Beberapa peranan ibu dalam melakukan
upaya perawatan ISPA pada anakanya yaitu ibu harus mengetahui tentang
ISPA mulai dari pengertian, penyebab, tanda dan gejala, proses perjalanan
penyakit, komplikasi dan cara mengobati dan merawat anak semasa sakitnya
tersebut agar bisa melakukan perawatan sedini mungkin dan sudah tahu
bagaimana cara pencegahan ISPA tersebut (Padila et al., 2019)
Pengetahuan adalah domain terbentuknya tindakan seorang ibu tentang
perawatan pada anaknya dapat menjadi dasar ibu melakukan tindakan
perawatan dengan benar. Melalui pengetahuan yang baik, ibu dapat
mengetahui kebutuhan anaknya agar anak selalu sehat dan berkembang
dengan baik. Sebaliknya ibu yang tidak mengetahui perawatan pada anak
dengan baik menyebabkan kebutuhan anaknya terhadap kesehatan tidak akan
terpenuhi (Notoatmodjo, 2013).
Kondisi lingkungan rumah sangat mempengaruhi kesehatan dari penghuni
rumah khususnya pada balita. Rumah Sehat adalah bangunan rumah tinggal
yang memenuhi syarat kesehatan terdiri dari komponen rumah,sarana sanitasi
dan perilaku antara lain yaitu memiliki ventilasi, kepadatan hunian rumah
sesuai dan lantai rumah tidak dari tanah (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2016).
Kejadian penyakit pada balita dan masyarakat umumnya muncul akibat
masalah kesehatan lingkungan sampai saat ini masih menjadi perhatian bagi
pemerintah. Kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan masih rendah.
Tingkat kesehatan masyarakat yang tidak merata dan sangat rendah khususnya
terjadi pada masyarakat yang tinggal di pemukiman kumuh. Perilaku
masyarakat yang masih tidak higienis ditambah lagi dengan tidak adanya
sarana dan prasarana lingkungan yang mendukung berdampak pada kesehatan
masyarakat yang tinggal pada pemukiman kumuh tersebut. Banyak masalah
kesehatan masyarakat yang mungkin akan timbul akibat perilaku masyarakat
dan kondisi lingkungan yang tidak memperhatikan kesehatan Ventilasi adalah
tempat sebagai proses penyediaan udara segar ke dalam dan pengeluaran
udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun mekanis.
(Zairinayati & Putri, 2020)
Ventilasi rumah berfungsi untuk proses penyediaan udara segar dan
pengeluaran udara kotor secara alamiah atau mekanis. Hal ini berarti
keseimbangan O2 (oksigen) yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut
tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 (oksigen)
didalam rumah yang berarti kadar CO2 (karbondioksida) yang bersifat racun
akan meningkat. Tidak cukupnya ventilasi juga akan menyebabkan
kelembaban udara didalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan
cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang
baik untuk bakteri bakteri penyebab penyakit (Notoatmodjo, 2014).
Penyebab ISPA adalah bakteri Streptococcus pyogenes, Staphylococcus
aureus, mikrovirus, adenovirus, bahkan polusi udara yang mengandung zat
seperti dry basis, ash, karbon, hidrogen, sulfur, nitrogen dan ozon yang
membahayakan kesehatan. Kelompok usia 6-23 bulan adalah kelompok umur
paling rentan untuk mengalami ISPA. Gejala awal ISPA berupa sakit
tenggorokan, batuk, pilek dan nyeri di sekitar tubuh (Putri & Mantu, 2019).
Penyakit ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, bersin, udara
pernapasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat ke
saluran pernapasannya. Penyakit ini dapat menimbulkan berbagai spektrum
penyakit dari penyakit tanpa gejala sampai penyakit parah dan mematikan.
tergantung pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan, dan pejamu
(Sundari, 2014)
Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok,
yakni faktor perilaku (behavior causes), dan faktor diluar perilaku (non
behavior causes). Perilaku itu ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor, yaitu:
faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan,nilai-nilai, dan sebagainya.
Faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan
fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana yang
diperlukan (Notoadmodjo, 2007).
Faktor perilaku berhubungan dengan pencegahan dan penanggulangan
penyakit ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah penanganan ISPA di
keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya.
Faktor lingkungan juga dapat disebabkan dari pencemaran udara dalam rumah
seperti asap rokok dan asap pembakaran sampah (Sofia, 2017).
Berdasarkan permasalahan diatas, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai “Hubungan Lingkungan Fisik Dengan Kejadian ISPA
Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tembilahan Hulu Tahun 2023”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas bahwa pasien penderita ISPA di


Puskesmas Tembilahan Hulu merupakan kasus tertinggi dibandingkan dengan
puskesmas lain pada tahun 2022 yaitu sebanyak 698 kasus, maka rumusan
permasalahan dalam penelitian ini adalah “bagaimana hubungan lingkungan
fisik dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas
Tembilahan Hulu Tahun 2023?”

C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana proporsi ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas
Tembilahan Hulu pada Tahun 2023?
2. Bagaimana proporsi pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA pada
balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tembilahan Hulu pada Tahun
2023?
3. Bagaimana proporsi ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Tembilahan Hulu pada Tahun 2023 ?
4. Bagaimana proporsi perilaku merokok dengan kejadian ISPA pada
balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tembilahan Hulu pada Tahun
2023?
5. Bagaimana proporsi kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada
balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tembilahan Hulu pada Tahun
2023?
6. Apakah ada hubungan pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tembilahan Hulu tahun 2023?
7. Apakah ada hubungan antara ventilasi dengan kejadian ISPA pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tembilahan Hulu tahun 2023?
8. Apakah ada hubungan antara perilaku merokok dengan kejadian ISPA
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tembilahan Hulu tahun
2023?
9. Apakah ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tembilahan Hulu tahun
2023?

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengetahuan
ibu,perilaku merokok dan lingkungan fisik dengan kejadian ISPA pada
balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tembilahan Hulu pada Tahun 2023.

2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya proporsi ISPA pada balita di wilayah kerja
puskesmas Tembilahan Hulu pada Tahun 2023.
b. Diketahuinya proporsi pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA
pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tembilahan Hulu pada
Tahun 2023.
c. Diketahuinya proporsi ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita
di Wilayah Kerja Puskesmas Tembilahan Hulu pada Tahun 2023.
d. Diketahuinya proporsi perilaku merokok dengan kejadian ISPA
pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tembilahan Hulu pada
Tahun 2023.
e. Diketahuinya proporsi kepadatan hunian dengan kejadian ISPA
pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tembilahan Hulu pada
Tahun 2023.
f. Diketahuinya hubungan pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tembilahan Hulu tahun
2023.
g. Diketahuinya hubungan antara ventilasi dengan kejadian ISPA
pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tembilahan Hulu tahun
2023.
h. Diketahuinya hubungan antara perilaku merokok dengan kejadian
ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tembilahan Hulu
tahun 2023.
i. Diketahuinya hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian
ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tembilahan Hulu
tahun 2023.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi mahasiswa/Peneliti
Untuk menambah pengetahuan dan informasi mengenai tinjauan
tentang Hubungan Pengetahuan Ibu dan Lingkungan Fisik dengan
Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tembilahan
Hulu tahun 2023.
2. Bagi Masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat khususnya Ibu yang
memiliki Balita mengenai penyakit ISPA.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat dijadikan sebagai informasi bagi mahasiswa/i Universitas
Hang Tuah pekanbaru yang akan menulis atau meneliti selanjutnya
mengenai Hubungan Lingkungan Fisik Dengan Kejadian ISPA pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Tembilahan Hulu.

F. Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini terkait dengan hubungan Lingkungan Fisik Dengan
kejadian ISPA pada balita di Wilayah Keja Puskesmas Tembilahan Hulu
Tahun 2023. Alasan peneliti mengambil penelitian tentang kasus ISPA
pada Balita karena masih banyak nya balita yang terkena kasus ISPA di
Wilayah Kerja Puskesmas Tembilahan Hulu. Penelitian ini akan
dilaksanakan pada bulan April-Mei tahun 2023. Populasi penelitian ini
adalah seluruh ibu yang memiliki balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Tembilahan Hulu dan populasi pada penelitian ini sebanyak 698 orang
ibu yang memiliki balita dan telah di rumus menggunakan rumus Isaac
dan Michael menjadi 153 sampel. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif
dan desain cross sectional dengan teknik sampling purposive sampling.
Analisis data menggunakan SPSS (Chi square). Data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data primer (kuesioner) dan data sekunder.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka
1. Pengertian ISPA
ISPA adalah penyakit infeksi akut yang menyerang salah satu bagian dan atau
lebih dari saluran napas mulai dari hidung, hingga alveoli termasuk jaringan
adneksanya. Infeksi saluran pernapasan meliputi infeksi saluran pernapasan
bagian atas, seperti nasopharyngitis, pharyngo, dan epiglotitis, dan infeksi
saluran pernapasan bagian bawah, seperti laryngitis, tracheobronchitis dan
bronchitis pneumonia (Depkes RI, 2021). Infeksi saluran pernafasan atau biasa
disebut ISPA termasuk salah satu masalah kematian pada anak-anak di negara
berkembang (Aprilla et al., 2019).
Menurut WHO angka kematian mortalitas ISPA di dunia mencapai 40/1000
anak berkisar 15-20% terjadi pada kelompok umur kurang lebih 5 tahun.
Dikatakan ISPA termasuk penyakit menular yang menyebabkan kesakitan dan
kematian tertinggi di berbagai negara berkembang diantaranya dijumpai di India
sebesar 48%, disusul Indonesia sebesar 38%, kemudian Ethiopia sebesar 4,4%, Pakistan
sebesar 4,3%, China sebesar 3,5%, Sudan sebesar 1,5% dan Nepal terendah sebesar
0,3%. Didasarkan pada data tersebut, diketahui Indonesia menjadi negara yang memiliki
kejadian ISPA tertinggi urutan kedua secara global. Dimana hingga saat ini ISPA terus
menjadi 10 permasalahan kesehatan dengan angka mortalitas paling tinggi di dunia
(WHO, 2019).
Pedoman kerja puskesmas membagi ISPA menjadi 3 kelompok besar, yaitu
ISPA berat atau pneumonia berat ditandai oleh adanya tarikan dinding dada
bagian bawah ke dalam waktu inspirasi. ISPA sedang atau pneumonia bila
frekuensi nafas menjadi cepat dan ISPA ringan atau bukan pneumonia, ditandai
dengan batuk pilek tanpa nafas cepat, tanpa tarikan dinding dada bagian bawah
ke dalam, seperti misalnya nasofaringitis, faringitis, rinofaringitis, dan lain
sebagainya. Khusus untuk bayi dibawah 2 bulan hanya dikenal ISPA berat dan
ISPA (Muhammad & Mursyid, 2021).
2. Etiologi ISPA
Penyakit ISPA dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab seperti
bakteri,virus,dan riketsia. ISPA bagian atas disebabkan oleh virus,sedangkan
ISPAbagian bawah dapat disebabkan oleh bakteri dan virus. Pada ISPA bagian
bawah dapat disebabkan oleh bakteri umumnya mempunyai manifestasi klinis
yang berat sehingga dapat menimbulkan masalah. Etiologi ISPA terdiri dari 300
jenis bakteri,virus,dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain Genus
streptokokus,Pneumokokus,Hemofilus,Bordetella dan Corinebacterium.
Sedangkan virus penyebab ISPA antara lain golongan
Miksovirus,Adenovirus,Koronavirus, Mikoplasma, Hervesvirus dll (Syamsi,
2018).

3. Masa Inkubasi dan Penularan ISPA


a. Masa Inkubasi
ISPA adalah infeksi saluran pernafasan yang berlangsung hingga 14 hari,
secara klinis merupakan tanda dan gejala akut yang berlangsung tidak lebih
dari 14 hari karena infeksi terjadi di bagian manapun dari saluran pernafasan
atau struktur apapun yang berhubungan dengan saluran pernafasan. Batasi
penggunaan hingga 14 hari untuk menunjukkan kemajuan proses akut
(Danilo Gomes de Arruda, 2021).
b. Penularan ISPA
Penularan ISPA dapat terjadi melalui udara yang tercemar, dan bakteri
masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan sehingga ISPA termasuk
dalam kategori “penyakit yang ditularkan melalui udara”. Penularan melalui
udara dimaksudkan sebagai cara penularan yang terjadi tanpa kontak dengan
pasien atau tubuh yang terkontaminasi. Sebagian besar penularan melalui
udara juga dapat ditularkan melalui kontak langsung, tetapi penyakit ini tidak
jarang ditularkan, sebagian besar penularan disebabkan oleh penghirupan
udara yang mengandung patogen atau mikroorganisme (Dhayanithi &
Brundha, 2020).
4. Gejala dan Tanda Penyakit
Tanda atau gejala umum yang biasa ditemukan pada anak dengan ISPA
antara lain batuk, pilek, demam, sesak napas dan sakit tenggorokkan dan ada
tidaknya retraksi dinding dada (Syamsi, 2018)
Berdasarkan tingkat keparahannya dibagi menjadi 3 yaitu (Simanjuntak et al.,
2021) :
- Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Ringan
Gejala umum yang biasa di derita pada ISPA ringan seperti flu ringan,
batuk kering tidak berdahak,sakit kepala ringan. Gejala ISPA ringan dapat
disembuhkan dengan istirahat rutin dan minum obat secara teratur.
- Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Sedang
Seseorang dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari
ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut :
Pernapasan cepat (fast breathing),suhu tubuh lebih dari 39°C,tenggorokan
berwarna merah,timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai
bercak campak, pernapasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur).
- Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Berat
Seseorang bisa dinyatakan menderita ISPA berat bila dijumpai gejala-
gejala ISPA ringan tetapi memiliki tingkat yang lebih parah dari ISPA
ringan dengan gejala demam tinggi,menggigil,sesak napas,dan lain
sebagainya,yang harus segera cepat diatasi dengan periksa kedokter.

5. Transmisi Penyakit ISPA


Cara penularan utama sebagian besar ISPA adalah melalui droplet, tapi
penularan melalui kontak (termasuk kontaminasi tangan yang diikuti oleh
inokulasi tak sengaja) dan aerosol pernapasan infeksius berbagai ukuran dan
dalam jarak dekat bisa juga terjadi untuk sebagian patogen. (Dhayanithi &
Brundha, 2020)
6. Riwayat Alamiah Penyakit ISPA
Riwayat alamiah penyakit merupakan sebuah alur dari perkembangan suatu
penyakit. Riwayat alamiah penyakit ISPA dibagi menjadi dua tahap yaitu, yang
pertama adalah tahap prapatogenesis dimana tahap ini merupakan tahapan
sebelum sakit dan yang kedua tahap pathogenesis yang merupakan tahapan
pathogenesis awal, kerusakan jaringan, penyaki lanjut dan konvalesen .

Dapat disimpulkan bahwa RAP merupakan suatu perjalanan seseorang yang


mulanya dalam keadaan sehat hingga dalam keadaan sakit dan akhirnya dapat
ditentukan bahwa seseorang itu sembuh, cacat ataupun meninggal. Pada makalah
ini saya akan membahas mengenai riwayat alamiah penyaki ISPA yang dimana
penyakit ISPA sangat mudah menular dan banyak menimbulkan korban jiwa.
(Ismah et al., 2021)

perjalanan klinis penyakit ISPA ini dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu
(Ismah et al., 2021):

a. Tahap prepatogenesis, penyebab telah ada tetapi penderita belum


menunjukkan reaksi apa-apa.
b. Tahap inkubasi, virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa. Tubuh
menjadi lemah apalagi bila keadaan gizi dan daya tahan sebelumnya memang
sudah rendah.
c. Tahap dini penyakit, dimulai dari munculnya gejala penyakit. Timbul gejala
demam dan batuk.
d. Tahap lanjut penyakit, dibagi menjadi empat, yaitu dapat sembuh sempurna,
sembuh dengan ateletaksis, menjadi kronis dan dapat meninggal akibat
pneumonia.

7. Penyebab ISPA
ISPA merupakan infeksi akut yang menyerang saluran pernapasan bagian
atas dan saluran pernapasan bagian bawah. virus, jamur dan bakteri merupakan
penyebab dari infeksi ini. Secara garis besar, ISPA dibedakan menjadi common
cold dimana pemicunya adalah virus rhinovirus, respiratory syncytial virus,
adenovirus, dan influenza yang dipicu oleh virus influenza dengan berbagai tipe.
Penyakit ini biasanya akan muncul pada saat musim pancaroba yang diakibatkan
oleh sirkulasi virus di udara yang meningkat. Selain itu, perubahan udara dari
panas ke dingin akan menyebabkan daya tahan tubuh anak menjadi lemah.
Sehingga, anak menjadi lebih mudah terserang oleh penyakit ini (Sucipto, 2011).
ISPA dapat menyerang anak apabila ketahanan tubuh (immunologi)
menurun.
Biasanya menyerang anak di bawah lima tahun dan kelompok yang memiliki
sistem kekebalan tubuh yang masih rentan terhadap berbagai penyakit. Penyakit
ini di awali dengan suhu badan panas sekitar 38 Derajat Celcius disertai salah
satu atau lebih gejala : tenggorokan sakit atau nyeri menelan, keluar cairan
melalui hidung, disertai batuk kering atau berdahak. Adapun komplikasi dari
ISPA adalah otitis media, sinusitis, faringitis, pneumonia dan meninggal dunia
karena sesak nafas (Padila et al., 2019).

8. Cara Pencegahan ISPA


Cara pencegahan berdasarkan Level of Prevention :
a. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
Ditujukan pada orang sehat dengan usaha peningkatan derajat kesehatan
(health promotion) dan pencegahan khusus (spesific spesific protection
protection) terhadap penyakit tertentu. Yaitu sebagai berikut (Kemenkes RI,
2012) :
1) Penyuluhan, dilakukan oleh tenaga kesehatan dimana kegiatan ini
diharapkan dapat mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap hal-
hal yang dapat meningkatkan faktor resi hal-hal yang dapat
meningkatkan faktor resiko penyakit ISPA. Kegiatan ini dapat berupa
penyuluhan penyakit ISPA, penyuluhan ASI Eksklusif, penyuluhan
imunisasi, penyuluhan gizi seimbang pada ibu dan anak, penyuluhan
kesehatan lingkungan, penyuluhan bahaya rokok.
2) Imunisasi, yang merupakan strategi spesifik untuk dapat mengurangi
angka kesakitan ISPA.
3) Usaha di bidang gizi yaitu untuk mengurangi mal nutrisi.
4) Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi berat badan lahir
rendah.
5) Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani
masalah polusi di dalam maupun di luar rumah.

b. Pencegahan Tingkat Kedua ( Secondary Prevention)


Dalam penanggulangan ISPA dilakukan dengan upaya pengobatan
dan diagnosis sedini mungkin. Dalam pelaksanaan program P2 ISPA,
seorang balita keadaan penyakitnya termasuk dalam klasifikasi bukan
pneumonia apabila pneumonia ditandai dengan batuk, serak, panas pilek,
atau demam (suhu tubuh lebih dari 370C), maka dianjurkan untuk segera
diberi pengobatan.
Upaya pengobatan yang dilakukan terhadap klasifikasi ISPaA atau
bukan pneumonia adalah tanpa pemberian pemberian obat antibiotik dan
diberikan perawatan di perawatan di rumah. Adapun beberapa hal yang per
hal yang perlu dilakukan ibu untuk mengatasi anaknya yang menderita
ISPA adalah :
1) Mengatasi panas (demam).
2) Untuk balita, demam diatasi dengan memberikan parasetamol atau
dengan kompres dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada
air (tidak perlu air es).
3) Pemberian makanan dan minuman.

c. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)


Tingkat pencegahan ini ditujukan kepada balita yang bukan pneumonia
agar tidak menjadi menjadi lebih parah dan mengakibatkan kecacatan
(pneumonia berat) dan berakhir dengan kematian.
Upaya yang dapat dilakukan pada pencegahan Penyakit bukan
pneumonia pada bayi dan balita yaitu perhatikan apabila timbul gejala
pneumonia seperti seperti nafas menjadi menjadi sesak, anak tidak mampu
minum dan sakit menjadi bertambah parah, agar tidak bertambah parah
bawalah anak kembali pada petugas kesehatan dan pemberian perawatan
yang spesifik di rumah dengan memperhatikan asupan gizi dan lebih sering
memberikan ASI.

9. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi ISPA


ISPA merupakan penyakit yang diakibatkan oleh virus ataupun bakteri
yang muncul akibat adanya interaksi beberapa faktor sebagai berikut. faktor
risiko ISPA menurut sebagai berikut :
a. Serangan jamur, virus, dan bakteri
Faktor risiko ISPA yang paling sering ditemukan di antara virus,
bakteri, dan jamur adalah virus dimana jenis-jenis virus yang dapat
menyebabkan ISPA di antaranya respiratory syncytial virus adenovirus,
coronavirus, pneumokokus, streptokokus, rhinovirus, dan virus influenza
(Marleni et al., 2022) Jika seseorang dikonfirmasi terinfeksi virus di atas,
maka dapat sangat berisiko mengalami gejala pilek serta pneumonia. Bayi
dan anak-anak berisiko lebih tinggi terkena ISPA (Asyari, 2021).
b. Debu dan asap
Asap dan debu halus yang tidak kasat mata dapat memasuki lapisan
mukosa kearah faring. Secara umum, udara tercemar akan mengakibatkan
gerakan silia hidung menjadi lambat, kaku, atau bahkan berhenti. Hal ini
mengakibatkan saluran pernapasan menjadi iritasi karena tidak bisa
mengeluarkan sumber kontaminasi. Jika produksi lendir terus meningkat,
saluran pernapasan juga dapat menyempit dan sel-sel kuman di saluran
pernapasan dapat rusak. apabila ini terus terjadi, maka akan mengalami
kesulitan bernafas sehingga bakteri tidak dapat dikeluarkan, ketika
terdapat benda asing di dalam saluran pernapasan, terjadilah infeksi pada
saluran pernapasan. Hal ini sesuai dengan temuan (Wulandhani &
Purnamasari, 2019) bahwa pencemaran udara akibat dari asap/gas dapat
menyebabkan infeksi saluran pernapasan akut, bronkitis, asma, dan
kanker paru-paru (Marleni et al., 2022)
c. Pengetahuan
Faktor pengetahuan ibu tentang tejadinya ISPA merupakan hal
yang sangat penting, dimana pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan
ini terjadi setelah orang Melakukan pengindraan terhadap suatu objek
tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindera manusia yakni indera
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo,
2012).
Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat
penting dalam membentuk tindakan seseorang (over behavior) dalam hal
pengetahuan tentang pencegahan mengatasi penyakit. Pengetahuan
seorang ibu tentang ISPA meliputi pengertian ISPA, tanda dan gejala
ISPA, penyebab serta klasifikasi ISPA akan sangat berpengaruh terhadap
tindakan yang akan diambil oleh seorang ibu, pengetahuan mengenai
pengertian ISPA meliputi singkatan ISPA, lokasi infeksi, penyebab
utama, gejala utama dan faktor resiko penyebab ISPA, pengetahuan
tentang tanda dan gejala meliputi menghindari faktor penyebab,
imunisasi, kondisi sanitasi dan perilaku kesehatan, pengetahuan mengenai
penyebab ISPA meliputi penyebab utama dan penyebab tambahan,
pengetahuan tentang klasifikasi ISPA meliputi gejala ISPA ringan,
sedang dan berat, lokasi ISPA saluran pernafasan atas dan saluran
pernafasan bawah. Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan faktor
domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (over
behavior) dalam hal pengetahuan tentang pencegahan mengatasi penyakit
ISPA pada anak prasekolah (Sari, 2020).
Menurut penelitian (Sari, 2020) pengetahuan ibu memberi
informasi yang baik tentang penyakit ISPA atau dengan kata lain ada
hubungan positif antara pengetahuan ibu dengan penyakit ISPA.
Pengetahuan orang tua tentang penyakit ISPA merupakan modal utama
untuk terbentuknya kebiasaan yang baik demi kualitas kesehatan anak.
d. Kondisi Lingkungan
Perumahan dan kondisi lingkungan yang tidak sehat ini merupakan
faktor risiko penyebaran penyakit tertentu seperti ISPA. Pertukaran udara
yang tidak memenuhi syarat akan menyebabkan mikroorganisme
berkembang biak yang dapat membahayakan kesehatan manusia.
Pekerjaan higienis dapat dicapai dengan mengatur pertukaran udara,
diantaranya rumah harus dilengkapi dengan peralatan ventilasi, minimal
10% luas lantainya dilengkapi dengan sistem ventilasi silang dan tata
letak ruangan (Kemenkes RI, 2012).
1) Kondisi Ventilasi
Ventilasi adalah pengerakan udara masuk dan keluar dari ruang
tertutup. Ventilasi udara adalah pengerakan udara di dalam rumah dan
antara ruang dalam dengan ruangan luar. Kontrol terhadap ventilasi
udara pada desain rumah adalah hal yang penting agar rumah menjadi
nyaman, dapat menghilangkan hawa panas dan membuat penghuni
betah.
Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia,
disamping sandang dan pangan.Rumah berfungsi pula sebagai tempat
tinggal serta digunakan untuk berlindung dari gangguan iklim dan
makhluk hidup lainnya.Selain itu rumah jugamerupakan
pengembangan kehidupan dan tempat berkumpulnya anggota
keluarga untuk menghabiskan sebagian besar waktunya. Rumah sehat
dan nyaman merupakan sumber inspirasi penghuninya untuk
berkarya, sehingga dapat meningkatkan produktivitasnya (Juniartha et
al., 2014).
Upaya pengendalian faktor risiko yang mempengaruhi timbulnya
ancaman dan melindungi keluarga dari dampak kualitas lingkungan
perumahan dan rumah tinggal yang tidak sehat, telah diatur dalam
Kepmenkes RI No.829/Menkes/SK/VII/1999 tentang Persyaratan
Kesehatan Perumahan.
Rumah yang luas ventilasinya tidak memenuhi syarat kesehatan
akan mempengaruhi kesehatan penghuni rumah. Hal ini disebabkan
karena proses pertukaran aliran udara dari luar ke dalam rumah tidak
lancar, sehingga bakteri penyebab penyakit ISPA yang ada di dalam
rumah tidak dapat keluar. Ventilasi juga menyebabkan peningkatan
kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari
kulit, oleh karena itu kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi
media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri penyebab penyakit
ISPA (Notoatmodjo, 2003).
Berdasarkan penelitian (Eddy Imam, 2011) untuk mencapai
kenyamanan termal yang diinginkan perlu dilakukan kontrol atau
tindakan adaptif dari penghuni diantaranya dengan mengatur sistem
ventilasi, mengatur sirkulasi angin secara mekanik, memberikan tirai
pada bagian bangunan yang langsung terkena radiasi matahari bahkan
disarankan untuk membuat desain perangkat shading matahari untuk
meminimalkan panas radiasi. Maka dari itu dibutuhkan penelitian
mengenai ventilasi yang mampu memaksimalkan penghawaan alami
untuk mencapai kenyamanan.
2) Ukuran Ventilasi
a) Luas lobang ventilasi
Luas lobang ventilasi diambil 1/20 x luas lantai ruangan.
b) Tinggi ambang bawah ventilasi
Tinggi ambang bawah ventilasi dibuat sama dengan tinggi
ambang atas pintu atau jendela. Jika menggunakan ventilasi
roster atau ventilasi kayu tersendiri, maka langsung dipasang
diatas kosen pintu luar atau kosen jendela.
c) Tinggi ventilasi
Tinggi ventilasi yang menjadi satu dengan kosen pintu atau
kosen jendela, dibuat antara 30 cm s/d 50 cm.
d) Lebar ventilasi
Lebar ventilasi yang menjadi satu dengan kosen pintu atau
kosen jendela, dibuat sama dengan lebarnya pintu atau
lebarnya jendela. Ventilasi diukur dengan melakukan
pengukuran luas jendela dan
lubang angin.
Ventilasi yang diukur adalah luas ventilasi tetap dan luas ventilasi
insidental (dapat dibuka dan ditutup). Cara menghitung luas
ventilasi yaitu:
a) Persegi : sisi x sisi
b) Persegi panjang: panjang x lebar
c) Lingkaran: π x r2 (jari-jari)
Menurut (Kementerian Kehehatan Republik Indonesia, 2011) luas
ventilasi dikatakan baik jika:
a) Rumah harus dilengkapi dengan ventilasi, minimal 10% luas
lantai dengan sistem ventilasi silang
b) Rumah ber-AC (Air Condition) pemeliharaan AC dilakukan
secara berkala sesuai dengan buku petunjuk, serta harus
melakukan pergantian udara dengan membuka jendela
minimal pada pagi hari secara rutin
c) Menggunakan exhaust fan
d) Mengatur tata letak ruang
i. Manfaat Ventilasi
a) Suhu lebih stabil sehingga bangunan lebih tahan lama
b) Ruangan tidak terlalu lembab, sehingga mencegah pelapukan
dan kerusakan rumah
c) Menurunkan penggunaan energi yang tidak perlu
d) Kualitas udara yang lebih baik di dalam rumah
e) Kenyamanan yang lebih baik di semua ruangan.
3) Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian berpengaruh terhadap kualitas udara rumah,
semakin banyak penghuni maka semakin cepat polusi udara di dalam
rumah yang tercemar. Kejadian penyakit pada anak balita dan di
masyarakat biasanya terjadi karena masalah kesehatan lingkungan,
dan hingga saat ini hal tersebut masih menjadi perhatian pemerintah.
Kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan masih sangat
rendah. Tingkat kesehatan masyarakat tidak merata dan sangat
rendah, terutama pada masyarakat yang tinggal di permukiman
kumuh. Perilaku masyarakat yang masih kurang sehat ditambah
dengan kurangnya sarana dan prasarana lingkungan yang mendukung
berdampak pada kesehatan masyarakat yang tinggal di permukiman
kumuh tersebut. Perilaku masyarakat dan kondisi lingkungan yang
tidak memperhatikan kesehatan dapat menimbulkan banyak gangguan
kesehatan masyarakat (Yunita et al., 2012).
Syarat hunian dan lingkungan hidup yang sehat antara lain luas
lantai bangunan yang harus cukup besar untuk menampung
penghuninya (sesuai dengan jumlah penghuni). Luas bangunan yang
tidak proporsional dengan jumlah orang yang ditempati akan
menyebabkan (overcrowding). Ukuran minimum kamar tidur adalah 8
meter persegi, dan disarankan untuk tidur tidak lebih dari 2 orang. Hal
ini berdampak negatif bagi kesehatan penghuni karena dapat
mengakibatkan konsumsi oksigen yang tidak mencukupi, dan jika ada
anggota keluarga yang mengidap penyakit menular dapat dengan
mudah menular ke anggota keluarga yang lain.
Perumahan dan kondisi lingkungan yang tidak sehat ini merupakan
faktor risiko penyebaran penyakit tertentu seperti ISPA. Pertukaran udara
yang tidak memenuhi syarat akan menyebabkan mikroorganisme
berkembang biak yang dapat membahayakan kesehatan manusia.
Pekerjaan higienis dapat dicapai dengan mengatur pertukaran udara,
diantaranya rumah harus dilengkapi dengan peralatan ventilasi, minimal
10% luas lantainya dilengkapi dengan sistem ventilasi silang dan tata
letak ruangan (Kementerian Kehehatan Republik Indonesia, 2011).
e. Perilaku Merokok
Perokok pasif merupakan seseorang yang menghirup asap rokok
dari perokok aktif. Paparan asap rokok dapat menyebabkan penyakit
serius hingga kematian. Dampak dari asap rokok menjadi pembahasan
serius oleh para ilmuwan. Perokok pasif dapat terkena risiko penyakit
yang sama dengan perokok aktif, termasuk penyakit kardiovaskular,
kanker paru-paru, dan penyakit pernapasan, kandungan tar dalam
rokok memicu terjadinya iritasi paruparu dan kanker. Dalam tubuh
perokok pasif, tar akan terkonsentrasi tiga kali lipat dibandingkan
dalam tubuh perokok aktif (Depkes RI, 2009).
Kebiasaan merokok orang tua di dalam rumah menjadikan balita
sebagai perokok pasif yang selalu terpapar asap rokok. Rumah yang
orang tuanya mempunyai kebiasaan merokok berpeluang
meningkatkan kejadian ISPA sebesar 7,83 kali dibandingkan dengan
rumah balita yang orang tuanya tidak merokok di dalam rumah
(Wahyudi et al., 2021).
Berdasarkan pernyataan tersebut diketahui bahwa asap rokok dan
merokok merupakan pemicu ISPA. Sementara itu konsumsi rokok
meningkat secara pesat dari tahun ke tahun, Indonesia menduduki
peringkat ketiga perokok terbesar di dunia pada tahun 2008 setelah
China dan India (WHO, 2008).
Dampak Asap Rokok Menurut Kemenkes RI Tahun 2011:
1) ETS dapat memperparah gejala anak-anak penderita asma
2) Senyawa dalam asap rokok menyebabkan kanker paru pada
manusia, impotensi, serangan jantung, gangguan kehamilan dan
janin, bersifat iritan yang kuat.
3) Bayi dan anak-anak yang orang tuanya perokok mempunyai risiko
lebih besar terkena gangguan saluran pernapasan dengan gejala
sesak napas, batuk dan lendir berlebihan.
Upaya Penyehatan Menurut (Kementerian Kehehatan Republik
Indonesia, 2011):

1) Merokok di luar rumah yang asapnya dipastikan tidak masuk


kembali ke dalam rumah.

2) Merokok di tempat yang telah disediakan apabila berada di


fasilitas/tempat-tempat umum.
3) Penyuluhan kepada para perokok.
Penyuluhan kepada masyarakat tentang bahaya menghirup asap
rokok (Kementerian Kehehatan Republik Indonesia, 2011).
B. Kerangka Teori
Landasan Teori merupakan rangkuman dari teori-teori yang ada
sehingga membentuk suatu kesatuan yang memiliki makna dan saling
berhubungan. Berdasarkan teori yang telah diuraikan, maka dapat disusun
Landasan Teori sebagai berikut:

Kejadian ISPA Pada


Balita

Tahap Klinis ISPA :


1. Tahap prepatogenesis
2. Tahap inkubasi
3. Tahap dini penyakit
4. Tahap lanjut penyakit

Faktor yang Mempengaruhi ISPA : Tingkat Pencegahan :


1. Pencegahan tingkat pertama (Primary
1. Serangan jamur, virus dan bakteri
Prevention)
2. Debu dan asap
2. Pencegahan tingkat kedua (Secondary
3. Perilaku Merokok
Prevention)
4. Penegetahuan
3. Pencegahan tingkat ketiga (Tertiary
5. Kondisi Lingkungan
Prevention)
a. Kondisi Ventilasi
b. Kepadatan Hunian

Sumber : Ismah (2021), Kemenkes RI (2012), Risma (2019), Notoatmojo


(2012)
Gambar 1. Kerangka Teori
C. Kerangka Konsep
Dengan mengacu pada landasan teori di atas, maka disusun kerangka pikir
dalam penelitian ini adalah:

Variabel Independen Variabel Dependen

Pengetahuan

1. Pengetahuan Ibu

Perilaku Merokok KEJADIAN ISPA

Lingkungan

1. Ventilasi
2. Kepadatan Hunian

Gambar 2. Kerangka Konsep

D. Hipotesis
Hipotesis merupakan dugaan sementara dari permasalahan yang akan diteliti.
Hipotesis disusun dan diuji untuk menunjukkan benar atau salah dengan cara
terbebas dari nilai dan pendapat penelitian yang menyusun dan mengujinya
(Sugiyono, 2014). Adapun hipotesis dalam penelitian ini yaitu:
1. Adanya hubungan antara pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA.
2. Adanya hubungan antara ventilasi dengan kejadian ISPA.
3. Adanya hubungan antara perilaku merokok dengan kejadian ISPA.
4. Adanya hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA.
E. Penelitian Sejenis

Tabel 1. Penelitian Sejenis

Keterangan Penelitian Sekarang Padila, Henni Winning Gustini Daeli, Jimmy


(2023) Febriawati, Juli Andri Prima Nugraha, Meivi
(2019) Widarni Lase, Martina
Pakpahan (2021)
Topik Hubungan Lingkungan PERAWATAN Hubungan Pengetahuan Ibu
Penelitian Fisik Dengan Kejadian INFEKSI SALURAN dengan Perilaku Pencegahan
ISPA Pada Balita di PERNAFASAN AKUT ISPA pada Anak Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas (ISPA) PADA BALITA Kampung Galuga Winning
Tembilahan Hulu Tahun
2023
Desain Cross sectional Cross sectional Cross sectional
Penelitian Kuantitatif Survey Analitik kuantitatif korelasional

Variabel Pengetahuan Pengetahuan dan Perilaku Ibu


ibu,ventilasi,kepadatan Pengetahuan dan Sikap Terhadap Pencegahan Ispa
hunian,dan Perilaku Ibu
merokok.
51 orang ibu yang
Subjek Seluruh Ibu yang memiliki memiliki balita dengan Semua ibu yang memiliki Balita
balita di Wilayah Kerja ISPA yang berobat ke usia 12 – 59 bulan yang
Puskesmas Tembilahan puskesmas Kembang terdiagnosa ISPA
Hulu Seri Kecamatan Talang
Empat
Tempat Puskesmas Tembilahan puskesmas Kembang Kampung Galuga, Binong
Hulu Seri Kecamatan Talang
Empat Kabupaten
Bengkulu Tengah
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian


Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan desain observasional analitik untuk
mengetahui seberapa besar hubungan variable yang ada. Pendekatan yang digunakan
adalah cross sectional dengan memberikan kuesioner sebagai instrument penelitian
untuk mengetahui hubungan pengetahuan ibu, ventilasi, perilaku merokok, kepadatan
hubian terhadap kejadian ISPA pada balita usia 12-59 bulan di wilayah kerja
Puskesmas Tembilahan Hulu tahun 2023.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian


Lokasi penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Tembilahan Hulu.
Waktu penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juni tahun 2023.
C. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah balita usia 12-59 bulan di wilayah kerja
Puskesmas Tembilahan Hulu sebanyak 698 balita.
2. Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki balita usia 12-59 bulan
dengan kriteria sebagai berikut.
a. Kriteria Inklusi
1) Balita berusia 12-59 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Tembilahan Hulu
2) Balita yang menderita atau memiliki riwayat ISPA dalam 1 tahun terakhir
di rekam medis Puskesmas Tembilahan Hulu
3) Ibu bersedia menjadi responden
b. Kriteria eksklusi
1) Balita penderita atau dengan riwayat campak didalam rekam medis
Puskesmas Tembilahan Hulu.
2) Balita dengan gizi buruk didalam rekam medis Puskesmas Tembilahan
Hulu.
3. Besar Sampel

Untuk memperoleh besar sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini, maka
digunakan perhitungan rumus Isaac dan Michael sebagai berikut:

Keterangan :
n = besar sampel
N = besar populasi
Z21- α/2 = Tingkat kemaknaan (95%=1,96)
p = Proporsi kejadian, jika tidak diketahui nilainya 0,5
d = Derajat kesalahan yang masih dapat diterima (5%=0,05)

maka besar sampel dapat dihitung sebagai berikut:


n= 1,96 . 0,5 (1-0,5) . 698
0,052 (698-1) + 1,96 . 0,5 (10,5)

n= 342,02
2,2325
n = 153,2 dibulatkan menjadi 153 responden

Maka, besar sampel dalam penelitian ini adalah 153 responden yang merupakan
ibu yang memiliki balita usia 12-59 bulan.

D. Teknik Sampling
Teknik pengambilan sampel rekam medis pada penelitian ini adalah purposive
sampling, yaitu pengambilan sampel dilakukan hanya atas dasar pertimbangan
penelitiannya saja. Pertimbangan yang dimaksud misalnya karakteristik atau ciri-ciri
tertentuu yang sesuai dengan penelitian.

E. Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional


1. Variabel Penelitian
Variabel adalah ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota-anggota atau
suatu kelompok yang berbeda yang dimiliki oleh kelompok lain. Variabel
dibedakan menjadi dua yaitu variabel independen (bebas,sebab,mempengaruhi)
dan variabel dependen (tergantung,akibat,terpengaruhi).
Variabel independen dalam penelitian ini adalah Pengetahuan Ibu, Ventilasi,
Kepadatan Hunian, dan perilaku merokok.Variabel dependennya yaitu ISPA.

2. Defenisi Oprasional
Berikut ini penjelasan kerangka konsep secara operasional dari setiap variabel
penelitian.

Tabel 2. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Cara ukur Alat ukur Skala data Hasil ukur
Variabel Dependen
1 Kejadian ISPA Infeksi Saluran Observasi Rekam Skala 1 = Tidak, jika
Pernafasan Akut Medis Ordinal Balita tidak
adalah proses inflamasi Mengalami
yang di sebabkan oleh ISPA 2 = Iya,
virus,bakteri, jika Balita
mycoplasma, atau mengalami
aspirasi substansia ISPA
asing yang melibatkan
suatu atau semua
bagian seluran
pernapasan
Variabel Independen
1 Pengetahuan Ibu Pengetahuan yang di Wawancara Kuisioner Skala 1= Kurang
miliki ibu sebagai dan ordinal 2= Baik
responden mengenai observasi
penyakit ISPA pada
balita yang meliputi
pengertian ISPA, tanda
dan gejala, serta
penyebabnya di
puskesmas Tembilahan
Hulu (Amalia, 2020)
2 Ventilasi Tempat daur ulang Wawancara kuisioner Skala 1 = Tidak
udara yang berfungsi dan Ordinal memenuhi
sebagai tempat masuk observasi syarat, Jika luas
dan keluarnya udara ventilasi
<10%
No Variabel Definisi Operasional Cara ukur Alat ukur Skala data Hasil ukur
2= Memenuhi
syarat, jika luas
ventilasi > 10%
3 Perilakui Aktivitas menghisap Wawancara Kuesioner Skala 1 = Tidak, jika
Merokok atau menghirup asap dan Ordinal penghuni rumah
rokok dengan observasi tidak
menggunakan pipa mempunyai
atau rokok
kebiasaan
merokok 2 =
Ada, jika
penghuni rumah
memiliki
kebiasaan
merokok
4 Kepadatan Jumlah penghuni di Wawancara Kuesioner Skala 1=Tidak
Hunian dalam satu rumah dan Ordinal memenuhi
observasi syarat, jika >2
orang per 8 m 2 .
2= Memenuhi
syarat jika <2
orang per 8 m 2.

F. Uji Validitas dan Realibilitas


4. Uji Validitas
Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar –
benar mengukur apa yang di ukur. Demikian pula kuesioner sebagai alat ukur
harus mengukur apa yang harus diukur, untuk mengetahui apakah kuesioner yang
kita susun tersebut mampu mengukur apa yang hendak kita ukur, maka perlu di
uji dengan uji korelasi antara skor (nilai) tiap-tiap item (pertanyaan) dengan skors
total kuesioner tersebut. Teknik korelasi yang dipakai adalah teknik korelasi
product moment menggunakan SPSS.
5. Uji Reabilitas
Reabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat di percaya atau dapat diandalkan hal ini berarti menunjukkan
sejauh mana hasil pengukuran itu tetapi konsistensi atau tetap asas (ajeg) bila
dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dengan
menggunakan alat ukur yang sama. Untuk itu sebelum digunakan untuk penelitian
harus dites (diuji coba) sekurang-kurangnya dua kali. Uji coba tersebut kemudian
diuji dengan tes menggunakan rumus korelasi product moment, seperti tersebut
tadi perlu dicatat bahwa perhitungan reabilitas harus dilakukan hanya pada
pertanyaan yang sudah memiliki validitas. Tehnik pengujiannya menggukan SPSS
dengan tehnik korelasi product moment.

G. Jenis dan Cara Pengumpulan Data


1. Jenis Data
a. Data Primer
b. Data primer yang diperoleh dari hasil wawancara dengan menggunakan
kuesioner yang berisikan tentang kejadian ISPA, pengetahuan Ibu, ventilasi,
perilaku merokok, dan kepadatan hunian dari kuesioner diadopsi dari Bayu
Afdal Masril.
c. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dan di kumpulkan oleh peneliti
dari pengambilan data Pasien ISPA pada balita di Puskesmas Tembilahan
Hulu.
2. Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan 2 cara yaitu
observasi langsung ke Puskesmas Tembilahan Hulu untuk mendapatkan data
sekunder jumlah balita ISPA dan pengisian kuesioner yang sudah di uji validitas
dan reliabilitas serta untuk mendapatkan data responden mengenai ISPA pada
Balita dengan tatisti Pengetahuan ibu dan lingkungan fisik. Peneliti akan menjaga
tatisti kesehatan pada saat peneliti turun ke lapangan.

H. Pengolahan Data
Metode pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program computer melalui
langkah-langkah berikut :
1. Editing
Kuesioner yang telah diisi oleh responden kemudian dikumpulkan, lalu di
lihat kelengkapan datanya apakah dapat di baca atau tidak, begitu pula dengan
kelengkapan isinya.
2. Coding
Data yang masih dalam kode huruf akan dilakukan pengkodean dengan
mengubahnya menjadi angka agar lebih mudah dalam mengentry dan
menganalisis data. Pengkodean diawali dengan memberi penilaian terhadap
jawaban pertanyaan pada setiap tatisti independent dan dependen, kemudian
hasilnya di konversikan kedalam kode. Hasil dari analisis bivariat terdapat
kategori hasil dari tatisti pengetahuan, ventilasi, kepadatan hunian, dan asap
rokok. Dengan kode untuk pengetahuan 1 = Pengetahuan kurang, 2 =
pengetahuan baik. Ventilasi 1 = Tidak memenuhi syarat, 2 = Memenuhi Syarat.
Kepadatan Hunian 1 = Tidak memenuhi syarat, 2 = Memenuhi syarat, dan
Perilaku Merokok = Tidak ada, 2 = Ada.
3. Entry
Data akan dientry dengan menggunakan software tatistic (SPSS) agar dapat
dilakukan analisis data.
4. Cleaning
Data yang telah dientry akan dicek ulang untuk memastikan tidak ada
kesalahan data yang telah didapatkan.

I. Analisis Data

Data yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif,variabel


yang diteliti adalah variabel indepen. Berdasarkan penelitian ini maka uji stastistik
yang digunakan adalah univariat dan bivariat.

1. Analisa Univariat
Analisis univariat adalah analisis yang di gunakan pada tiap- tiap
variabel hasil penelitian dengan menghitung persentase hasil penelitian untuk
mengetahui hasil yang nantinya akan digunakan sebagai tolak ukur
pembahasan dan kesimpulan.

2. Analisa Bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel
bebas (independen) dengan variabel terikat (dependen). Analisis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah dengan uji statistic chi-square 41
dengan menggunakan program computer pada α = 0,05, ada hubungan yang
bermakna apabila p value = 0,05.

J. Jadwal Penelitian
Tabel 3
Jadwal Penelitian

No Kegiatan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt


1. Pembuatan
Proposal
2. Seminar Proposal
3 Perbaikan Proposal
4. Pengumpulan Data
5. Pengolahan Data
Analisis
6. Penulisan Skripsi
7. Ujian Skripsi

DAFTAR PUSTAKA

Agista, F. A., Idrus, M., & Ulva, S. M. (2022). Determinan Kejadian ISPA pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Andoolo Utama. Jurnal Healthy
Mandala Waluya, 1(1), 22–32. https://doi.org/10.54883/jhmw.v1i1.3

Aprilla, N., Yahya, E., & Ririn. (2019). Hubungan Antara Perilaku Merokok pada
Orang Tua dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Desa Pulau Jambu
Wilayah Kerja Puskesmas Kuok Tahun 2019. Jurnal Ners, 3(1), 112–117.
http://journal.universitaspahlawan.ac.id/index.php/ners

Asyari. (2021). Faktor Risiko Lingkungan Fisik Rumah terhadap Kejadian Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita (Literature Review).

Daeli, W. G., Harefa, J. P. N., Lase, M. W., Pakpahan, M., & Lamtiur, A. (2021).
Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Perilaku Pencegahan ISPA pada Anak
Balita di Kampung Galuga. Jurnal Kedokteran Meditek, 27(1), 33–38.
https://doi.org/10.36452/jkdoktmeditek.v27i1.1939

Danilo Gomes de Arruda. (2021). FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN


DENGAN KEJADIAN PENYAKIT INFEKSI SALURAN PERNAPASAN
AKUT (ISPA)PADA BALITA DI KELURAHAN PUTAT NUTUG,
KECAMATAN CISEENG, KABUPATEN BOGOR TAHUN 2021 NUR
HIDAYAH. 6.

Depkes RI. (2009). Apa Itu Kelas Ibu Balita ? Departemen Kesehatan RI :
Katalog Dalam Terbitan (KDT), 1–26.

Depkes RI. (2021). Pedoman Manajemen Sumber Daya Manusia (Sdm)


Kesehatan Dalam Penanggulangan Bencana. Jurnal Kesehatan, 13.

Dhayanithi, J., & Brundha, M. P. (2020). Coronavirus disease 2019: Corona


viruses and blood safety-a review. Indian Journal of Forensic Medicine and
Toxicology, 14(4), 4906–4911. https://doi.org/10.37506/ijfmt.v14i4.12406

Dongky, P., & Kadrianti, K. (2016). Faktor Risiko Lingkungan Fisik Rumah
Dengan Kejadian Ispa Balita Di Kelurahan Takatidung Polewali Mandar.
Unnes Journal of Public Health, 5(4), 324.
https://doi.org/10.15294/ujph.v5i4.13962
Eddy Imam, S. (2011). Kenyamanan Termal Indoor Pada Bangunan Di Daerah
Beriklim Tropis Lembab. Indonesian Green Technology Journal, 1, 13–19.

Ismah, Z., Harahap, N., Aurallia, N., & Pratiwi, D. A. (2021). BUKU AJAR
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR JILID I. FEBS Letters, 185(1),
4–8. https://doi.org/10.1016/0014-5793(85)80729-8

Juniartha, S. K., Hadi, H. M. C., & Notes, N. (2014). Dengan Kejadian Ispa
Penghuni Rumah Di Wilayah Puskesmas Bangli Utara Tahun 2012. Jurnal
Kesehatan Lingkungan, 4(829), 169–174.

Kemenkes RI. (2012). PROFIL KESEHATAN INDONESIA 2012.

Kemenkes RI. (2018). Profil Kesehatan Indonesia 2018 Kemenkes RI. In Health
Statistics.
https://www.kemkes.go.id/downloads/resources/download/pusdatin/profil-
kesehatan-indonesia/profil-kesehatan-indonesia-2018.pdf

Kementerian Kehehatan Republik Indonesia. (2011). Profil Data Kesehatan


Indonesia. Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011, 77.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Profil Kesehatan Indonesia


2016. In Profil Kesehatan Provinsi Bali.
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/Profil-Kesehatan-Indonesia-2016.pdf

Kementerian Kesehatan RI. (2017). Profil Kesehatan Indonesia 2017 (Vol. 1227,
Issue July). https://doi.org/10.1002/qj

Kementrian Kesehatan RI, 2019. (2019). profil kesehatan Indonesia 2019. In


Journal of Chemical Information and Modeling.

Kepmenkes RI, 2002. (2002). KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN


REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1537.A/ MENKES/ SK/XII/2002
TENTANG PEDOMAN PEMBERANTASAN PENYAKIT INFEKSI
SALURAN PERNAPASAN AKUT UNTUK PENANGGULANGAN
PNEUMONIA PADA BALITA. Spill Science and Technology Bulletin, 8(1),
698–703. https://doi.org/10.1155/2013/704806

Marleni, L., Halisya, S., Tafdhila, T., Zuhana, Z., Salsabila, A., Meijery, D. A., &
Risma, E. (2022). Penanganan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada
Anak di Rumah RT 13 Kelurahan Pulokerto Kecamatan Gandus Palembang.
Jurnal Kreativitas Pengabdian Kepada Masyarakat (Pkm), 1(1), 24–30.
https://doi.org/10.33024/jkpm.v1i1.5226

Muhammad, A., & Mursyid, F. (2021). Karakteristik Pasien ISPA Pada Pasien
Balita Di Puskesmas Sudiang Raya. | Jurnal Psikologi Pendidikan &
Konseling, 1(2), 74–84. http://inajoh.org/index.php/INAJOH/articel

Notoadmodjo. (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Prilaku.

Notoatmodjo, s. (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat.

Notoatmodjo, s. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan.

Notoatmodjo, s. (2013). Kesehatan Masyarakat Prinsip-prinsip Dasar.

Notoatmodjo, s. (2014). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan.

Padila, P., Febriawati, H., Andri, J., & Dori, R. A. (2019). Perawatan Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita. Jurnal Kesmas Asclepius, 1(1),
25–34. https://doi.org/10.31539/jka.v1i1.526

Putri, P., & Mantu, M. R. (2019). Pengaruh lingkungan fisik rumah terhadap
kejadian ISPA pada balita di Kecamatan Ciwandan Kota Cilegon periode
Juli - Agustus 2016. Tarumanagara Medical Journal, 1(2), 389–394.
https://journal.untar.ac.id/index.php/tmj/article/view/3842

Ramadhaniyanti, G. N., Budiyono, & Nurjazuli. (2015). Perilaku Yang


Berhubungan Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut ( Ispa )
Pada Balita Di Kelurahan Kuningan. Jurnal Kesehatan Masyarakat (e-
Journal), 3(1).

RISKESDAS. (2018). LAPORAN PROVINSI RIAU RISKESDAS 2018 (Vol. 21,


Issue 1). http://journal.um-surabaya.ac.id/index.php/JKM/article/view/2203
Sari. (2020). HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU DAN CARA
PENCEGAHAN ISPA DENGAN PENYAKIT ISPA PADA ANAK PRA
SEKOLAH DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BERUNTUNG RAYA
TAHUN 2020. Skripsi Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari, 12–
127.

Sarniyati, S. (2022). Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu Tentang ISPA dengan
Upaya Pencegahan ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Semerap.
Malahayati Nursing Journal, 1(1), 173–179.
https://doi.org/10.33024/mnj.v1i1.5726

Simanjuntak, J., Santoso, E., Studi, P., Informatika, T., Komputer, F. I., &
Brawijaya, U. (2021). Klasifikasi Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (
ISPA ) dengan menerapkan Metode Fuzzy K-Nearest Neighbor. Jurnal
Pengembangan Teknologi Informasi Dan Ilmu Komputer, 5(11), 5023–5029.

Sofia, S. (2017). Faktor Risiko Lingkungan dengan Kejadian ISPA pada Balita Di
Wilayah Kerja Puskesmas Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar. AcTion: Aceh
Nutrition Journal, 2(1), 43. https://doi.org/10.30867/action.v2i1.35

Sucipto. (2011). Vektor Penyakit Tropis.

Sundari, S. (2014). Perilaku Tidak Sehat Ibu yang Menjadi Faktor Resiko
Terjadinya ISPA Pneumonia pada Balita. 2(3), 141–147.
https://doi.org/10.17977/jps.v2i3.4507

Syamsi, N. (2018). Hubungan Tingkat Pendidikan Dan Pengetahuan Ibu Balita


Tentang Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Diwilayah Kerja Puskesmas
Bontosikuyu Kabupaten Kepulauan Selayar. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi
Husada, 6(1), 49–57. https://doi.org/10.35816/jiskh.v6i1.14

Wahyudi, W. T., Zainaro, M. A., & Kurniawan, M. (2021). Hubungan Paparan


Asap Rokok Dengan Kejadian Ispa Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas
Bandar Agung Kecamatan Terusan Nunyai Kabupaten Lampung Tengah.
Malahayati Nursing Journal, 3(1), 82–91.
https://doi.org/10.33024/manuju.v3i1.3050
WHO. (2008). W h s 2008.

WHO. (2019). World Health Statistics. 8(5), 55.

WHO. (2020). World Health Statistics 2020. In Molecules (Vol. 2, Issue 1).
http://clik.dva.gov.au/rehabilitation-library/1-introduction-rehabilitation
%0Ahttp://www.scirp.org/journal/doi.aspx?DOI=10.4236/
as.2017.81005%0Ahttp://www.scirp.org/journal/PaperDownload.aspx?
DOI=10.4236/as.2012.34066%0Ahttp://dx.doi.org/10.1016/j.pbi.201

Wulandhani, S., & Purnamasari, A. B. (2019). Analisis Faktor Risiko Kejadian


Infeksi Saluran Pernapasan Akut ditinjau dari Lingkungan Fisik. Sainsmat :
Jurnal Ilmiah Ilmu Pengetahuan Alam, 8(2), 70.
https://doi.org/10.35580/sainsmat82107212019

Yunita, J., Mitra, M., & Susmaneli, H. (2012). Pengaruh Perilaku Masyarakat dan
Kondisi Lingkungan Terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue. Jurnal
Kesehatan Komunitas, 1(4), 193–198.
https://doi.org/10.25311/keskom.vol1.iss4.28

Zairinayati, Z., & Putri, D. H. (2020). Hubungan Kepadatan Hunian Dan Luas
Ventilasi Dengan Kejadian Ispa Pada Rumah Susun Palembang. Indonesian
Journal for Health Sciences, 4(2), 121.
https://doi.org/10.24269/ijhs.v4i2.2488

LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Pengambilan Data Awal


Lampiran 2. Lembar Konsultasi
Lampiran 3. Lembar Konsultasi Menghadiri Seminar Proposal
Lampiran 4. Lembar Kuesioner

KUESIONER PENELITIAN

HUBUNGAN LINGKUNGAN FISIK DENGAN KEJADIAN


ISPA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
TEMBILAHAN HULU

No urut :

Daftar pertanyaan ini bertujuan untuk pengumpulan data tentang


Hubungan Lingkungan Fisik Dengan Kejadian ISPA Pada
Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Tembilahan Hulu Tahun
2023. Atas partisipasinya saya ucapkan Terima Kasih.

Kabupaten : Indragiri Hilir

Provinsi : Riau

Lingkungan :

Tanggal wawancara :

IDENTITAS RESPONDEN

Ibu

Nama :

Umur

PendidikanTerakhir

Jumlah balita :

Balita

Nama :

Umur : Tahun

Jenis Kelamin :

Tinggi badan/berat badan : /

Apakah Pernah Mengalami Kejadian ISPA :


A. Pengetahuan

No. Pertanyaan Setuju Tidak


Setuju
1 Agar anak terhindar dari penyakit anak harus diberikan
makanan yang bergizi.
2 Balita dengan gizi buruk tidak mudah terkena infeksi
saluran pernafasan.
3 Anak yang lahir dengan berat badan rendah akan
mudah terinfeksi oleh penyakit seperti ISPA.
4 Asi eksklusif tidak penting untuk kekebelan tubuh
anak.
5 Asi ekslusif diberikan sejak anak baru lahir sampai 6
bulan.
6 Anak yang diberikan imunisasi akan lebih kebal terhadap
penyakit dibandingkan anak yang tidak
mendapat imunisasi.
7 Imunisasi pada anak tidak harus diberikan secara
lengkap.
8 Untuk mencegah terjadinya infeksi saluran pernafasan
pada anak, maka anak harus diberikan imuniasi DPT dan
campak.
9 Membuka jendela pada pagi hari agar cahaya
matahari masuk ke dalam ruangan rumah yang dapat
membunuh
kuman dan terjadinya pertukaran udara.
10 Membersihkan rumah dapat menghindari dari debu
dan menjauhkan penyakit pernafasan pada anak.
11 Polusi udara dapat meningkatkan risiko terkena batuk
dan pilek pada anak.
12 Asap rokok tidak berbahaya bagi saluran pernafasan
pada anak.
13 Asap kendaraan tidak berbahaya bagi saluran
pernafasan pada anak.
14 ISPA menyebar melalui air liur, maka seharusnya anak
harus dijauhkan dari orang yang sedang batuk pilek
15 Ketika bersin atau batuk tidak perlu menutup mulut
menggunakan tissue atau lengan atas.

B. Perilaku

Perilaku Merokok
Adakah penghuni rumah yang Keterangan :
mempunyai kebiasaan merokok di 0 = Tidak, jika penghuni rumah tidak mempunyai kebiasaan
dalam rumah? merokok di dalam rumah
1 = Ada, jika penghuni rumah
memiliki kebiasaan merokok di dalam rumah

C. Lingkungan

Ventilasi
Luas Lantai : m2 Keterangan :
Luas ventilasi : m2 0 = Tidak memenuhi syarat, Jika <10% luas lantai
1 = Memenuhi syarat, jika >10% luas

Lantai

Kepadatan hunian
Jumlah penghuni : orang Keterangan :
Luas ruangan : m2 0=Tidak memenuhi syarat, jika ruangan
<8m per 2 orang
1=Memenuhi syarat jika ruangan > 8m per 2 orang.

Diadaptasi dari skripsi Bayu Afdal Masril

Anda mungkin juga menyukai