Anda di halaman 1dari 34

INVESTIGASI WABAH

INVESTIGASI WABAH PENYAKIT ISPA DI PUSKESMAS


LEPO-LEPO KOTA KENDARI

DOSEN PEMBIMBING
DR. Yunita Amraeni, SKM, M.Kes

OLEH :

KELOMPOK III

1. SUTARJO NIM. K201802002


2. WA ODE HASLIA NIM. K201801063
3. MONA MARSITA NIM. K201801050
4. ZULKIFAR SUYADI NIM. K201801005

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MANDALA WALUYA
KENDARI
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah

memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas yang

berjudul tentang “Investigasi Wabah Penyakit ISPA di Puskesmas Lepo-Lepo Kota

Kendari”

Pada kesempatan ini kami tidak lupa pula menghaturkan rasa terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada Ibu DR. Yunita Amraeni, SKM, M.Kes selaku dosen

mata kuliah Investigasi Wabah yang telah memberikan tugas ini dan mengarahkan

kami dalam melakukan Investigasi Wabah/KLB.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa hasil tugas ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu, saran-saran dari semua pihak yang sifatnya

membangun untuk perbaikan laporan ini.

Demikian semoga hasil laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Kendari, Juli 2021

Kelompok III

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
KATA PENGANTAR................................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................... 1
B. Tujuan................................................................................................ 4
BAB II ANALISIS DATA PENYAKIT
A. Hasil Pengumpulan/ Pengamatan Data Penyakit............................... 7
B. Gambaran Penyakit Terbesar di Puskesmas yang Potensial Menjadi
KLB dalam Kurun Waktu 5 Tahun Terkhir.........................................8
C. Prioritas Penyakit KLB.......................................................................10
BAB III PEMBAHASAN
A. Gambaran Wilayah.............................................................................12
B. Upaya Identifikasi Kasus Terkait dengan Etiologi dan Sumber
Penularan Penyakit.............................................................................13
C. Distribusi Penyakit Berdasarkan Variabel Epidemiologi..................16
D. Faktor Risiko ISPA melalui Studi Literatur...................................... 19

BAB IV RENCANA PENYELIDIKAN DAN TINDAKAN


..................PENANGGULANGAN
A. Rencana Penyelidikan........................................................................27
B. Tindakan Penangulangan...................................................................27

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Terus munculnya ancaman kesehatan dalam bentuk penyakit menular

membuat langkah pencegahan dan pengendalian infeksi di fasilitas pelayanan

kesehatan sama sekali tidak boleh diabaikan.

Penyakit/patogen yang menular merupakan masalah yang terus

berkembang, dan penularan patogen yang menyebabkan infeksi saluran

pernapasan akut (ISPA) tidak terkecuali. Cara penularan utama sebagian

besar ISPA adalah melalui droplet, tapi penularan melalui kontak (termasuk

kontaminasi tangan yang diikuti oleh inokulasi tak sengaja) dan aerosol

pernapasan infeksius berbagai ukuran dan dalam jarak dekat bisa juga terjadi

untuk sebagian patogen. Karena banyak gejala ISPA merupakan gejala

nonspesifik dan pemeriksaan diagnosis cepat tidak selalu dapat dilakukan,

penyebabnya sering tidak langsung diketahui. Selain itu, intervensi farmasi

(vaksin, antivirus, antimikroba) untuk ISPA mungkin tidak tersedia.

ISPA adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit

menular di dunia. Hampir empat juta orang meninggal akibat ISPA setiap

tahun, 98%-nya disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan bawah. Tingkat

mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak-anak, dan orang lanjut usia, terutama

di negara-negara dengan pendapatan per kapita rendah dan menengah. Begitu

pula, ISPA merupakan salah satu penyebab utama konsultasi atau rawat inap

di fasilitas pelayanan kesehatan terutama pada bagian perawatan anak.

1
Bakteri adalah penyebab utama infeksi saluran pernapasan bawah, dan

Streptococcus pneumoniae di banyak negara merupakan penyebab paling

umum pneumonia yang didapat dari luar rumah sakit yang disebabkan oleh

bakteri. Namun demikian, patogen yang paling sering menyebabkan ISPA

adalah virus, atau infeksi gabungan virus-bakteri. Sementara itu, ancaman

ISPA akibat organisme baru yang dapat menimbulkan epidemi atau pandemi

memerlukan tindakan pencegahan dan kesiapan khusus

Kewaspadaan Standar adalah tindakan pencegahan dasar pengendalian

infeksi dalam pelayanan kesehatan dan harus dilakukan secara rutin di semua

fasilitas pelayanan kesehatan saat memberikan pelayanan kesehatan kepada

semua pasien. Bila tindakan ini tidak dilakukan, tindakan pencegahan spesifik

tambahan tidak akan efektif. Unsur utama dari Kewaspadaan Standar meliputi

kebersihan tangan, penggunaan alat pelindung diri (APD) untuk menghindari

kontak langsung dengan darah, cairan tubuh, sekret , dan kulit yang tidak

utuh, pencegahan luka tusukan jarum/benda tajam, dan pembersihan dan

disinfeksi lingkungan dan peralatan.

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan infeksi saluran

pernapasan yang disebabkan oleh virus atau bakteri. Komplikasi ISPA yang

berat mengenai jaringan paru dapat menyebabkan terjadinya pneumonia

(KemenKes RI, 2013).

ISPA merupakan penyakit yang paling sering berada dalam daftar 10

penyakit terbanyak di puskesmas maupun rumah sakit di Provinsi Sulawesi

Tenggara. Tahun 2017 kasus ISPA sebanyak 77.253, tahun 2018 sebanyak

2
110.264, tahun 2019 sebanyak 115.331 kasus dan tahun 2020 sebanyak

120.584 kasus (Dinkes Sulawesi Tenggara, 2020). Untuk data ISPA di

Puskesmas lepo-lepo, tahun 2016 berjumlah 2.567, tahun 2017 berjumlah

2.544, tahun 2018 berjumlah 2.633 kasus, tahun 2019 berjumlah 2.180 kasus,

tahun 2020 berjumlah 581 kasus dan tahun 2021 bulan Januari sampai Mei

berjumlah 309 kasus.

Persentase rumah tangga berperilaku hidup bersih dan sehat di wilayah

Puskesmas Lepo-Lepo tahun 2018 mencapai 63,6%, tahun 2019 mencapai

76,7% dan tahun 2020 mencapai 81,11%, hal ini masih dibawah target yaitu

100% (Puskesmas Lepo-Lepo, 2020).

ISPA sangat erat kaitannya dengan sanitasi dan lingkungan fisik rumah.

Lingkungan fisik rumah yang tidak memenuhi syarat, berisiko besar terhadap

kejadian ISPA. Lingkungan fisik rumah tempat keluarga berkumpul dan

berlindung tidak sehat maka berisiko besar akan menimbulkan berbagai

penyakit salah satunya penyakit ISPA. Hal ini dikarenakan lingkungan rumah

yang tidak sehat akan menjadi tempat bakteri dan virus tumbuh dan

berkembang (Jayanti et al., 2018).

Konstruksi rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan

merupakan faktor risiko sumber penularan berbagai jenis penyakit. Kondisi

sanitasi perumahan yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat menjadi

penyebab penyakit ISPA dan tuberkulosis. Tingkat kesehatan rumah dan

lingkungan tercermin dari luas lantai, jenis dinding, jenis atap, sumber

penerangan, sumber air minum serta jamban yang dimiliki oleh rumah

3
tangga. Pencemaran lingkungan seperti asap yang berasal dari sarana

transportasi dan polusi udara dalam rumah merupakan ancaman kesehatan

terutama ISPA. Perubahan iklim global terutama suhu, kelembaban dan curah

hujan merupakan beban ganda dalam pemberantasan penyakit ISPA, oleh

karena itu upaya untuk tercapainya tujuan pemberantasan penyakit ISPA

yaitu dengan memperhatikan atau menanggulangi faktor risiko lingkungan.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran besarnya masalah KLB penyakit

ISPA di Puskesmas Lepo-Lepo Kota Kendari.

2. Tujuan Khusus

a. Mengumpulkan data penyakit (data rutin) di Puskesmas dan

menganalisis data penyakit (10 penyakit) terbesar

b. Membuat deskripsi atau gambaran dan interprestasi data penyakit

terbesar di puskesmas yang potensial menjadi KLB.

c. Prioritas Penyakit KLB

d. Upaya terkait dengan etiologi dan sumber penularan penyakit.

e. Distribusi Penyakit Berdasarkan Variabel Epidemiologi (variabel

orang, tempat dan waktu)

f. Menentukan faktor risiko melalui studi literatur

g. Rencana Penyelidikan Dan Tindakan Penanggulangan

4
C. Manfaat

1. Bagi Mahasiswa

a. Mendapatkan pengalaman dalam mengaplikasi teori tentang

investigasi wabah.

b. Mendapatkan kemampuan dalam mengumpulkan data, menganalisis

dan membuat kesimpulan dari data rutin di puskesmas tentang

penyakit potensial wabah.

c. Mampu menyusun rencana kegiatan tentang penyelidikan dan tindakan

yang akan dilakukan dalam penanggulangan KLB.

2. Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat

a. Meningkatkan kerjasama dengan instansi terkait dalam mendukung

proses pembelajaran aktif.

b. Pengembangan akademik bagi mahasiswa dan staf pengajar.

c. Memperoleh masukan dari instansi tempat praktikum lapangan

(Stakeholder) dalam penyempurnaan pembelajar sesuai kompetensi

kritis kesehatan masyarakat.

3. Bagi Institusi (Dinas dan Puskesmas)

a. Terjalinnya kerjasama saling menguntungkan antara dinas kesehatan

dan puskesmas dengan Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas

Mandala Waluya.

b. Mendapatkan bantuan dari mahasiswa dalam pengelolaan data

penyakit di puskesmas.

5
4. Bagi Masyarakat Setempat Memberi pengetahuan kepada masyarakat

mengenai penyakit KLB yang terjadi serta mengetahui tingkat kegawatan

penyakit tersebut sehingga masyarakat lebih cepat dan tanggap dalam

tahap pengobatan penderita serta cara pencegahannya.

6
BAB II

ANALISIS DATA PENYAKIT

A. Hasil Pengumpulan/ Pengamatan Data Penyakit

Berdasarkan data rutin tahunan yang kami peroleh di Puskesmas Lepo-

Lepo Kota Kendari dari tahun 2016-2020 ditambah data tahun 2021 sampai

bulan Mei, terdapat urutan 10 penyakit terbesar di puskesmas lepo-lepo Kota

Kendari, yang dapat dilihat pada grafik dibawah ini.

Grafik 1. 10 besar penyakit di Puskesmas Lepo-Lepo tahun 2016-Mei 2021

Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa 10 besar penyakit yang terjadi di

puskesmas Lepo-Lepo didominasi oleh penyakit tidak menular dan di wilayah

kerja puskesmas Lepo-Lepo bukan merupakan puskesmas yang memiliki

endemis KLB suatu penyakit. sehingga dari 10 besar penyakit tersebut kami

tidak menemukan KLB yang sedang terjadi selama kurun waktu 5 tahun

terakhir.

7
Dari grafik 10 besar penyakit diatas, penyakit yang berada pada urutan

pertama adalah ISPA yaitu dengan jumlah 10.814 kasus dalam kurung 5

tahun terakhir. Berdasarkan survei yang dilakukan, hal ini dipicu karena

faktor lingkungan dimana masih adanya rumah yang belum tergolong dalam

kriteria rumah sehat. Urutan kedua yaitu penyakit hipertensi dengan jumlah

8.528 kasus, penyakit pulpa & jaringan periaprical 7.565 kasus, ginggivitis &

penyakit periodental 7.317 kasus, penyakit infeksi usus 5.056 kasus, diabetes

melitus 3.700 kasus, gangguan gigi & jaringan penyangga 3.127 kasus,

dermatitis kontak alergi 2.719 kasus, polimyalgia 1.996 kasus, dan yang

terakhir penyakit diare 1.963 kasus.

B. Gambaran penyakit terbesar di Puskesmas yang potensial menjadi KLB


dalam Kurun Waktu 5 Tahun Terakhir

Untuk menentukan adanya KLB di suatu daerah yaitu dengan melihat

kriteria sebagai berikut:

1. Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada.

2. Penigkatan suatu kejadian penyakit atau kematian terus menerus selama

tiga kurun waktu berturut turut menurut penyakitnya.

3. Peningkatan kejadian penyakit 2 kali atau lebih dibandingkan periode

sebelumnya.

4. Jumlah penderita baru dalam 1 bulan menunjukan kenaikan 2 kali lipat

atau lebih bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan tahun

sebelumnya.

5. Angka rata-rata per bulan dalam 1 tahun menunjukkan kenaikan 2 kali

atau lebih dibandingkan dengan rata-rata perbulan tahun sebelumnya.

8
6. Case Fatality Rate (CFR) dari suatu penyakit dari suatu kurun waktu

tertentu menunjukkan kenaikan 50% atau lebih, dibandingkan CFR

periode sebelumnya.

7. Proportional Rate (PR) penderita baru dari suatu periode tertentu

menunjukkan kenaikan 2 kali atatu lebih dibanding periode yang sama dan

kurun waktu tahun sebelumnya.

Kemudian berdasarkan kriteria penetuan adanya KLB tersebut diatas,

maka diperoleh penyakit potensi KLB yaitu sebagai berikut :

1. ISPA

2. Diare

Berikut adalah grafik dari kedua penyakit tersebut:

Grafik 2. 2 besar penyakit potensi KLB tahun 2016 – Mei 2021

Dari grafik diatas dapat disimpulkan bahwa kasus penyakit ISPA

cenderung mengalami penurunan. Hal ini karena pandemi covid 19 yang

mulai terjadi pada tahun 2019. Dimana banyak yang takut untuk berobat ke

9
Puskesmas/fasilitas kesehatan. Pada kasus Diare setiap bulan terjadi kasus,

hal tersebut terjadi karena kesadaran perilaku hidup bersih dan sehat yang

masih rendah.

C. Prioritas Penyakit KLB

Untuk menentukan prioritas KLB dari kedua penyakit potensial KLB

tersebut, kami menggunakan analisis dengan teknik skoring yakni

memberikan penilaian (scor) terhadap masalah tersebut dengan menggunakan

ukuran parameter sebagai berikut:

Prevalensi penyakit (prevalence) atau besarnya masalah.

1. Berat ringannya akibat yang ditimbulkan oleh masalah tersebut

(saverity).

2. Kenaikan atau meningkatnya prevalensi (rate increase).

3. Keinginan masyarakat untuk menyelesaikan masalah tersebut (degree of

unmeet need).

4. Keuntungan social yang diperoleh bila masalah tersebut diatasi (social

benefit).

5. Teknologi yang tersedia dalam mengatasi masalah (technical feasibility).

6. Sumber daya yang tersedia yang dapat digunakan untuk mengatasi

masalah (resource availability).

Dari berbagai parameter diatas kami memberikan nilai angka 5 untuk

kategori sangat tinggi, 4 untuk tinggi, 3 untuk sedang, 2 untuk rendah dan 1

untuk kategori sangat rendah. Dan hasil analis dengan teknik skoring dapat

dilihat pada table berikut :

10
Tabel 1. Prioritas Masalah dengan Skoring

Parameter
Degr
Socia Techn Resour
N Penyaki Rate ee of
Preval Seve l ical ces Jml
o t Incre Unm
ence rity Bene Feasi Availab
ase eet
fit bility ility
Need
1 ISPA 3 2 3 3 3 4 4 22
2 Diare 2 2 2 3 3 4 4 20

Dari angka tabel diatas didapatkan angka skor tertinggi adalah 2 maka

penyakit ISPA menjadi prioritas 1 dan penyakit diare mendapatkan prioritas

masalah kesehatan nomor 2.

11
BAB III
PEMBAHASAN

A. Gambaran Wilayah

Wilayah kerja UPTD Puskesmas Lepo-Lepo memiliki luas wilayah

13.130 Ha yang terdiri dari 4 kelurahan yaitu kelurahan lepo-lepo, kelurahan

wundudopi, kelurahan baruga dan kelurahan watubangga. Adapun batas-batas

wilayahnya adalah sebagai berikut :

Sebelah Utara : Kec Wua-Wua dan kecamatan Kadia

Sebelah Barat :.Kec Ranomeeto Kabupaten Konsel dan kec. Mandonga

...............................Kota Kendari

Sebelah Timur : Kec Poasia

Sebelah Selatan : Kec Konda Kabupaten Konsel

Gambar 1. Peta wilayah Kerja UPTD Puskesmas Lepo-Lepo

12
UPTD puskesmas Lepo_lepo adalah Puskesmas Perawatan (kebidanan

dan Unit Gawat Darurat) dengan jumlah penduduk sebesar 25.490 jiwa yang

terdiri dari 5.525 KK.

Jumlah tenaga kesehatan di UPTD Puskesmas Lepo-Lepo adalah

berjumlah 132 orang yang meliputi dokter umum 5 orang, dokter gigi 2

orang, perawat 49 orang, perawat gigi 4 orang, bidan 30 orang, adminkes 9

orang, epidemiologi 14 orang, apoteker 1 orang, asisten apoteker 2 orang,

sanitarian 3 orang, nutrisionis 6 orang, analis 3 orang, fungsional umum 3

orang, petugas kebersihan 3 orang dan petugas laundry 1 orang.

B. Upaya Identifikasi Kasus Terkait dengan Etiologi dan Sumber


Penularan Penyakit

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan penyakit menular

yang sampai saat ini masih tinggi angka kejadianya dan penangananya belum

sepenuhnya berhasil. ISPA meliputi Infeksi akut saluran pernafasan bagian

atas dan infeksi saluran pernafasan bagian bawah. Infeksi saluran pernapasan

akut bagian atas sering terjadi pada semua golongan masyarakat pada musim

dingin. Dan penyakit infeksi saluran pernapasan akut bagian bawah bersifat

berat bahkan dapat menyebabkan kematian seperti contohnya pneumonia.

Penyebab ISPA terdiri dari bakteri, virus, jamur, dan aspirasi. Bakteri

penyebab ISPA antara lain Diplococcus pneumoniae, Pneumococcus,

Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenza.

Virus penyebab ISPA antara lain Influenza, Adenovirus, dan

Sitomegalovirus. Jamur yang dapat menyebabkan ISPA antara lain

Aspergillus sp., Candida albicans, dan Histoplasma. (Wahyono, 2008).

13
Cara penularan utama sebagian besar ISPA adalah melalui droplet, tapi

penularan melalui kontak (termasuk kontaminasi tangan yang diikuti oleh

inokulasi tak sengaja) dan aerosol pernapasan infeksius berbagai ukuran dan

dalam jarak dekat bisa juga terjadi untuk sebagian patogen. Karena banyak

gejala ISPA merupakan gejala nonspesifik dan pemeriksaan diagnosis cepat

tidak selalu dapat dilakukan, penyebabnya sering tidak langsung diketahui.

Selain itu, intervensi farmasi (vaksin, antivirus, antimikroba) untuk ISPA

mungkin tidak tersedia.

Perilaku manusia merupakan faktor yang besar pengaruhnya dalam

menentukan derajat kesehatan. Perilaku masyarakat yang buruk dapat

menimbulkan berbagai penyakit, meskipun sarana sanitasi dasar telah

tersedia, misalnya terjadinya penyakit ISPA.

ISPA sangat erat kaitannya dengan sanitasi dan lingkungan fisik rumah.

Lingkungan fisik rumah yang tidak memenuhi syarat, berisiko besar terhadap

kejadian ISPA. Lingkungan fisik rumah tempat keluarga berkumpul dan

berlindung tidak sehat maka berisiko besar akan menimbulkan berbagai

penyakit, salah satunya penyakit ISPA. Hal ini dikarenakan lingkungan

rumah yang tidak sehat akan menjadi tempat bakteri dan virus tumbuh dan

berkembang (Jayanti et al., 2018).

Faktor lingkungan fisik yang mempengaruhi kejadian ISPA antara lain

kondisi lantai, dinding, ventilasi, kelembaban, suhu, pencahayaan, kepadatan

hunian kamar tidur yang tidak memenuhi syarat merupakan faktor risiko

terjadinya ISPA (Direktorat Jenderal PP dan PL Departemen Kesehatan RI,

14
2004). Kondisi lantai dan dinding yang tidak kedap air dan sulit dibersihkan

akan mempengaruhi kelembaban dan suhu rumah (Irawan, 2015).

Konstruksi rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan

merupakan faktor risiko sumber penularan berbagai jenis penyakit. Kondisi

sanitasi perumahan yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat menjadi

penyebab penyakit ISPA dan tuberkulosis. Tingkat kesehatan rumah dan

lingkungan tercermin dari luas lantai, jenis dinding, jenis atap, sumber

penerangan, sumber air minum serta jamban yang dimiliki oleh rumah

tangga. Pencemaran lingkungan seperti asap yang berasal dari sarana

transportasi dan polusi udara dalam rumah seperti asap dapur dan perilaku

merokok anggota keluarga didalam rumah akan meningkatkan terjadinya

kasus ISPA, hal tersebut sesuai dengan penelitian William (2015) yang

menyatakan bahwa merokok dalam rumah merupakan salah satu faktor yang

bermakna dalam kejadian ISPA termasuk balita. Perubahan iklim global

terutama suhu, kelembaban dan curah hujan merupakan beban ganda dalam

pemberantasan penyakit ISPA, oleh karena itu upaya untuk tercapainya

tujuan pemberantasan penyakit ISPA yaitu dengan memperhatikan atau

menanggulangi faktor risiko lingkungan.

Berdasarkan hasil wawancara ke petugas surveilans Puskesmas Lepo-

Lepo, faktor pencetus terjadinya kasus ISPA yang tinggi di wilayah kerja

Puskesmas Lepo-Lepo adalah masih banyaknya lingkungan rumah yang

masuk kategori tidak sehat seperti luas ventilasi yang tidak memadai, dimana

walaupun ada jendela dalam rumah tapi rata-rata jendela tersebut tidak selalu

15
dibuka, kepadatan hunian kamar tidak memenuhi syarat karena luas <8m²

untuk 2 orang dimana cara menghitung kepadatan hunian adalah

perbandingan luas lantai rumah (m) dengan jumlah orang penghuni rumah,

masih banyak anggota keluarga yang mempunyai kebiasaan merokok didalam

rumah, jenis dinding rumahnya tidak memenuhi syarat yaitu rumahnya ada

yang berdinding semi permanen dan papan.

Sehingga dengan demikian perlu adanya perhatian khusus untuk kasus

ISPA di wilayah kerja Puskesmas Lepo-Lepo ini karena mengingat bahwa

sekarang penyakit Covid 19 juga merupakan penyakit pandemi.

C. Distribusi Penyakit Berdasarkan Variabel Epidemiologi

Penyakit ISPA di puskesmas Lepo-Lepo merupakan trend penyakit yang

muncul setiap tahun. Namun dengan kemunculan penyakit Covid 19 di

Indonesi pada awal tahun 2020 menjadikan keresahan dan ketakutan

masyarakat akan penyakit ISPA dikarenakan gejalanya yang mirip. Sehingga

hal tersebut membuat masyarakat takut untuk mengunjungi fasilitas kesehatan

masyarakat sehingga angka kunjungan pasien dari tahun 2020 sampai

sekarang mengalami penurunan yang signifikan dari tahun-tahun sebelumnya.

1. Disribusi ISPA menurut Orang (Person)

Dari hasil survei, distribusi ISPA menurut orang di Puskesmas Lepo-

Lepo yaitu lebih banyak terjadi pada balita. Dimana data kasus pada tahun

2016 berjumlah 1.361 kasus dari total 2.567 kasus, tahun 2017 berjumlah

1.394 kasus dari total 2.544 kasus, tahun 2018 berjumlah 1.461 kasus dari

total 2.633 kasus, 2019 berjumlah 1.192 kasus dari total 2.180 kasus, tahun

16
2020 berjumlah 420 kasus dari total 581 kasus dan tahun 2021 bulan

Januari – Mei berjumlah 230 dari total 309 kasus.

Grafik 3. Jumlah kasus balita dan bukan balita tahun 2016-mei


.................2021

ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak-anak. Daya

tahan tubuh anak sangat berbeda dengan orang dewasa karena sistem

pertahanan tubuhnya belum kuat. Apabila di dalam satu rumah ada

anggota keluarga terkena pilek, anak- anak akan lebih mudah tertular.

Dengan kondisi anak yang masih lemah, proses penyebaran penyakit

menjadi lebih cepat. ISPA merupakan penyebab utama kematian pada bayi

dan balita di Indonesia. Menurut para ahli hampir semua kematian ISPA

pada bayi dan balita umumya disebabkan oleh ISPA bawah. Infeksi

Saluran Pernafasan atas Akut ISPA mengakibatkan kematian pada anak

dalam jumlah kecil, tetapi menyebabkan kecacatan seperti otitis media

yang merupakan penyebab ketulian sehingga dapat mengganggu aktifitas

belajar pada anak. Insiden menurut kelompok umur balita diperkirakan

0,29 episode per anak/tahun di negara berkembang dan 0,05 episode per

17
anak/tahun di negara maju. Menurut Rikesdas prevalensi ISPA pada balita

tahun 2018 di Indonesia berjumlah 93.619 kasus. Tahun 2019 berjumlah

106.382 kasus (Kemenkes, 2019).

2. Disribusi DBD menurut Tempat (Place)

ISPA masih merupakan masalah kesehatan baik di negara maju

maupun negara berkembang. Dalam satu tahun rata-rata seorang anak di

pedesaan dapat terserang ISPA tiga kali, sedangkan daerah perkotaan

sampai enam kali. 17 Dari pengamatan epidemiologi dapat diketahui

bahwa angka kesakitan ISPA di kota cenderung lebih besar daripada di

desa. Hal ini mungkin disebabkan oleh tingkat kepadatan tempat tinggal

dan pencemaran lingkungan di kota yang lebih tinggi daripada di desa.

Berdasarkan penelitian Djaja et al. (2001) didapatkan bahwa

prevalensi ISPA di perkotaan sebesar 11,2%, sementara di pedesaan 8,4%;

di Jawa-Bali 10,7%, dan di luar Jawa-bali 7,8%. Berdasarkan klasifikasi

daerah, prevalensi ISPA untuk daerah tidak tertinggal sebesar 9,7%,

sementara di daerah tertinggal 8,4%.

3. Disribusi DBD menurut waktu tahun (Time)

Berdasarkan hasil survei melalui catatan laporan bulanan penderita

penyakit ISPA di Puskesmas Lepo-Lepo menyebutkan bahwa kasus ISPA

cenderung meningkat jumlahnya pada waktu atau musim hujan. Hal ini

disebabkan oleh karena pada musim hujan menyebabkan terjadinya

kelembapan yang tinggi yang menyebabkan bakteri bertahan lebih lama

sehingga mudah terjadi penularan. Selain itu musim hujan menyebabkan

18
terjadinya kepadatan hunian yang akan memengaruhi terhadap terjadinya

cross infection.

Grafik 4. Kasus ISPA Perbulan Tahun 2016 – 2020

D. Faktor Risiko ISPA melalui Studi Literatur

1. Ventilasi

Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah

untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal

ini berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah

tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan O2

(oksigen) didalam rumah yang berarti kadar CO2 (karbondioksida) yang

bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat. Tidak cukupnya

ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara didalam ruangan naik

karena terjadinya proses penguapan dari kulit dan penyerapan.

Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk bakteribakteri,

patogen (bakteri-bakteri penyebab penyakit). Membuat ventilasi udara

serta pencahayaan di dalam rumah sangat di perlukan karena akan

19
mengurangi polusi asap yang ada dalam rumah sehingga dapat mencegah

seseorang menghirup asap tersebut yang lama kelamaan bisa menyebabkan

terkena penyakit ISPA (Notoatmodjo, 2011).

Perlu diperhatikan di sini bahwa sistem pembuatan ventilasi harus

dijaga agar udara tidak mandeg atau membalik lagi, harus mengalir artinya

dalam ruangan rumah harus ada jalan masuk dan keluarnya udara.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.829/Menkes/

SK/VII/1999 tentang peraturan rumah sehat menetapkan bahwa luas

ventilasi alamiah yang permanen yaitu lebih dari satu sama dengan 10%

dari luas lantai rumah, sedangkan tidak memenuhi syarat jika kurang dari

10% luas lantai rumah.

Hal ini sejalan dengan penelitian Winardi (2015) yang menyatakan

bahwa adanya hubungan yang signifikan antara luas ventilasi dengan

penyakit ISPA. Penelitian ini menyimpulkan bahwa ventilasi rumah di

kecamatan Sario kota Manado rata-rata tidak di buka pada siang hari,

sehingga proses keluar masuknya udara tidak baik.Ventilasi merupakan

proses penyediaan udara segar ke dalam dan mengeluarkan udara kotor

dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun mekanis.

Penelitian lain yang sejalan dengan penelitian ini adalah yang

dilakukan oleh Lady Diana BR Sinuraya (2017), yang menunjukkan

bahwa ada hubungan antara ventilasi dengan kejadian ISPA di Kabupaten

Karo dan ventilasi yang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko terkena

20
ISPA 3,1 kali lebih besar dibanding dengan ventilasi yang memenuhi

syarat.

2. Kepadatan hunian

Penduduk di kota meningkat memicu terjadinya peningkatan

pembangunan sebagai tempat tinggal. Namun terkadang dalam satu rumah

yang seharusnya hanya bisa menampung beberapa orang saja, dipaksakan

untuk menampung melebihi kapasitas rumah. Hal ini mengakibatkan

terjadinya kepadatan dalam rumah yang dimungkinkan dapat

mempengaruhi kesehatan penghuni rumah. Menurut keputusan menteri

kesehatan nomor RI No.1077/MENKES/PER/V/2011 tentang persyaratan

rumah dikatakan padat penghuni apabila perbandingan luas lantai seluruh

ruangan dengan jumlah penghuni lebih kecil dari 10 m²/orang sedangkan

ukuran untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3 m²/orang.

Pencegahan terjadinya penularan penyakit (misalnya penyakit pernafasan)

jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lain minimum 90 cm

dan sebaiknya kamar tidur tidak dihuni lebih dari 2 orang. Berbagai

penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan secara bermakna antara

kepadatan hunian dengan terjadinya ISPA seperti penelitian Irianto (2006)

mengatakan bahwa kepadatan hunian berpengaruh pada besarnya kejadian

ISPA, yaitu besarnya anak terkena ISPA adalah 2,27 kali lipat dari rumah

yang padat penghuninya dibandingkan dengan rumah tidak padat

penghuninya. Menurut Achmadi (2008) semakin tingginya kepadatan

21
rumah, maka penularan penyakit khususnya melalui udara akan semakin

cepat.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lady

Diana BR Sinuraya (2017) hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan

antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA di Kabupaten Karo dan

kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko terkena

ISPA 4,5 kali lebih besar dibanding dengan kepadatan hunian yang

memenuhi syarat.

3. Kebiasaan merokok penghuni rumah

Merokok merupakan kebiasaan yang sering dilakukan oleh penghuni

rumah terutama oleh bapak-bapak. Cenderung bapak-bapak merokok

didalam rumah sambil istirahat seperti menonton tv, membaca koran dan

sebagainya. Asap rokok yang dikeluarkan adalah gas beracun dari hasil

pembakaran produk tembakau yang biasa mengandung Poliyclinic

Aromatic Hydrocarbons (PAHs) yang berbahaya bagi kesehatan. Asap

rokok yang di keluarkan oleh seorang perokok mengandung bahan toksik

yang berbahaya dan akan menimbulkan penyakit serta menambah resiko

kesakitan dari bahan toksik tersebut (Kusnoputranto, 2000).

Hasil penelitian Citra (2012) mengemukakan bahwa perokok pasiflah

yang mengalami resiko lebih besar daripada perokok aktif. Anak-anak

yang keluarganya terdapat perokok lebih rentan terkena penyakit gangguan

pernafasan dibanding dengan anak-anak yang bukan keluarga perokok.

Pada hasil uji statistik penelitian Lindawaty (2010) menyatakan bahwa

22
balita yang tinggal bersama penguni yang merokok beresiko 2,04 kali

lebih besar terkena ISPA dibanding dengan balita yang tidak terdapat

penghuni rumah yang merokok. Oleh karena itu untuk melindungi

bayi/anak-anak dari asap rokok perlu diusahakan untuk tidak merokok

didalam rumah, atau menyediakan tempat khusus bagi keluarga yang

merokok supaya asap tidak tersebar ke ruangan lain didalam rumah.

Asap rokok dari seseorang yang merokok dalam rumah, tidak saja

merupakan bahan pencemaran dalam ruang yang serius melainkan juga

akan menyebabkan kesakitan dari toksik yang lain dan anak-anak yang

terpapar asap rokok dapat menimbulkan gangguan pernapasan terutama

memperberat timbulnya Infeksi Saluran Pernapaasan Akut dan gangguan

paru-paru pada waktu dewasa nanti ( Avrianto, 2011). Menurut penelitian

Wattimena (2004) bahwa rumah yang penghuninya mempunyai kebiasaan

merokok di dalam rumah berpeluang meningkatkan kejadian ISPA pada

balita 7,83 kali dibandingkan dengan rumah balita yang penghuninya tidak

merokok.

4. Jenis dinding

Dinding rumah yang baik menggunakan tembok, tetapi dinding rumah

di daerah tropis khususnya di pedesaan banyak yang berdinding papan,

kayu dan bambu. Hal ini disebabkan masyarakat pedesaan

perekonomiannya kurang. Rumah yang berdinding tidak rapat seperti

papan, kayu dan bambu dapat menyebabkan penyakit pernafasan yang

berkelanjutan seperti ISPA, karena angin malam yang langsung masuk ke

23
dalam rumah. Jenis dinding mempengaruhi terjadinya ISPA, karena

dinding yang sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu,

sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya

kuman (Suryanto , 2008).

Dinding rumah yang tidak memenuhi syarat (tidak kedap air)

menyebabkan udara dalam rumah menjadi lembab, sehingga menjadi

tempat pertumbuhan kuman maupun bakteri patogen yang dapat

menimbulkan penyakit bagi penghuninya. Selain itu, partikel atau debu

halus yang dihasilkan dapat menjadi pemicu iritasi saluran pernapasan.

Saluran pernapasan yang terititasi menjadi media pertumbuhan bakteri

maupun virus penyebab ISPA. Dinding yang tidak rapat akan

menyebabkan masuknya sumber pencemaran dari luar seperti debu, asap

dan sumber pencemaran lainnya (Gunarni, 2012).

5. Kepemilikan Lubang Asap

Pembakaran yang terjadi di dapur rumah merupakan aktivitas

manusia yang menjadi sumber pengotoran atau pencemaran udara.

Pengaruh terhadap kesehatan akan tampak apabila kadar zat pengotor

meningkat sedemikian rupa sehingga timbul penyakit. Pengaruh zat kimia

ini pertama-tama akan ditemukan pada sistem pernafasan dan kulit serta

selaput lendir, selanjutnya apabila zat pencemar dapat memasuki

peredaran darah, maka efek sistemik tak dapat dihindari.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

829/Menkes/SK/VIII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan,

24
dapur yang sehat harus memiliki lubang asap dapur. Di perkotaan, dapur

sudah dilengkapi dengan penghisap asap. Lubang asap dapur menjadi

penting artinya karena asap dapat mempunyai dampak terhadap kesehatan

manusia terutama penghuni didalam rumah atau masyarakat pada

umumnya.

Lubang asap dapur tidak memenuhi persyaratan menyebabkan:

a. Gangguan terhadap pernapasan dan mungkin dapat merusak alat- alat

pernapasan

b. Lingkungan rumah menjadi kotor

c. Gangguan terhadap penglihatan/mata menjadi pedih.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Suparman (2004)

bahwa ada hubungan yang bermakna antara kepemilikan lubang asap

dengan kejadian ISPA di Desa Guyung Kecamatan Gerih. Hasil uji Chi

Square diperoleh nilai p-value sebesar 0,041 < α = 0,05 yang berarti ada

hubungan yang bermakna antara kepemilikan lubang asap dengan kejadian

ISPA dan nilai risiko (OR) sebesar 4,200, menunjukkan bahwa yang

tinggal lama dalam rumah dengan kondisi dapur yang tidak memenuhi

syarat 4,200 kali lebih berisiko terkena ISPA dibanding dengan yang

tinggal di rumah dengan kondisi dapur yang memenuhi syarat.

6. Jenis Lantai Rumah

Lantai yang baik adalah lantai yang dalam keadaan kering dan

tidak lembab. Lantai rumah yang tidak memenuhi syarat adalah lantai

rumah yang terbuat dari tanah, semen atau belum berubin. Bahan lantai

25
harus kedap air dan mudah dibersihkan, jadi paling tidak lantai perlu

diplester dan akan lebih baik kalau dilapisi ubin atau keramik yang mudah

dibersihkan (Ditjen, P2PL, 2011).

Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Safrizal (2017)

mengenai hubungan ventilasi, lantai, dinding dan atap dengan kejadian

ISPA digampong Bang Muko. Hasil penelitian menunjukkan ada

hubungan bermakna antara jenis lantai dengan kejadian ISPA. Rata-rata

berupa lantai semen yang tidak di plaster dan lantai dari tanah, sehingga

pada saat musim kemarau akan menghasilkan debu. Lantai yang terbuat

dari semen rata-rata sudah rusak dan tidak kedap air, sehingga lantai

menjadi berdebu dan lembab.

Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian Marten (2017)

mengenai hubungan antara kondisi hubungan antara kondisi fisik rumah

dan tingkat pendapatan keluarga dengan kejadian ispa. Hasil penelitian

tersebut menunjukkan ada hubungan signifikan antara jenis lantai dengan

kejadian ispa di Desa Marinsow dan Pulisan. Sebagian besar masyarakat

desa Marinsow dan Pulisan masih memiliki rumah dengan jenis lantai

tidak permanen (tanah dan semen) jenis lantai ini akan

mempermudah timbul dan berkembangnya penyakit terutama penyakit

pernapasan.

26
BAB IV
RENCANA PENYELIDIKAN DAN TINDAKAN PENANGGULANGAN

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan penyakit menular yang

sampai saat ini masih tinggi angka kejadianya dan penangananya belum

sepenuhnya berhasil seperti yang terjadi di Puskesmas Lepo-Lepo. Untuk itu,

diadakan upaya penyelidikan epidemiologi dan upaya penaggulangan penyakit

ISPA.

a. Rencana Penyelidikan

Upaya penyelidikan yang dapat dilakukan antara lain dengan melakukan

survey lapangan, observasi, dan metode wawancara. Tujuan dari penyelidikan

penyakit ISPA antara lain:

1. Menentukan dan memastikan etiologi peningkatan penyakit ISPA.

2. Mengidentifikasi sumber penularan penyakit ISPA.

3. Menggambarkan distribusi/penyebaran penyakit DBD berdasarkan variabel

epidemiologi (Time, Place, Person).

4. Meningkatkan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD).

b. Tindakan Penangulangan

1. Tujuan

Menurunkan angka kesakitan dan kematian ISPA karena pneumonia

2. Strategi program

a) Membangun komitmen dengan pengambil kebijakan

27
Dapat dilakukan melalui pertemuan dalam rangka mendapatkan

komitmen dari semua pengambil kebijakan.

b) Penguatan jejaring internal dan eksternal

Untuk keberhasilan program Pengendalian ISPA diperlukan

peningkatan jejaring kerja (networking) dengan pemangku kepentingan.

Berbagai manfaat yang dapat diperoleh dari jejaring antara lain

pengetahuan, keterampilan, informasi, keterbukaan, dukungan,

membangun hubungan, dll dalam upaya pengendalian pneumonia di

semua tingkat. Jejaring dapat dibangun dengan berbagai pemangku

kepentingan sesuai dengan kebutuhan wilayah (spesifik wilayah) baik

sektor pemerintah, swasta, perguruan tinggi, lembaga/organisasi non

pemerintah, dll. Jejaring dapat dibangun melalui pertemuan atau

pembuatan kesepahaman (MOU). Untuk menjaga kesinambungan

jejaring, maka komunikasi perlu secara intensif melalui pertemuan-

pertemuan berkala dengan mitra terkait.

c) Penemuan kasus secara aktif dan pasif

Penemuan penderita pasif dan aktif melalui proses sebagai berikut:

1) Menanyakan Balita yang batuk dan atau kesukaran bernapas

2) Melakukan pemeriksaan dengan melihat tarikan dinding dada bagian

bawah ke dalam (TDDK) dan hitung napas.

3) Melakukan penentuan tanda bahaya sesuai golongan umur

4) Melakukan klasifikasi Balita batuk dan atau kesukaran bernapas;

Pneumonia berat, pneumonia dan batuk bukan pneumonia.

28
d) Peningkatan mutu pelayanan

e) Peningkatan peran serta masyarakat

Peran serta masyarakat merupakan faktor penting untuk menunjang

keberhasilan program Pengendalian ISPA. Peran serta masyarakat, lintas

program, lintas sektor terkait dan pengambil keputusan termasuk

penyandang dana diharapkan dapat lebih ditingkatkan, sehingga

pendekatan pelaksanaan pengendalian ISPA khususnya Pneumonia dapat

terlaksana secara terpadu dan komprehensif. Intervensi pengendalian

ISPA tidak hanya tertuju pada penderita saja tetapi terhadap faktor risiko

(lingkungan dan kependudukan) dan faktor lain yang berpengaruh

melalui dukungan peran aktif sektor lain yang berkompeten. Kegiatan

kemitraan meliputi pertemuan berkala dengan: • lintas program dan

sektor terkait; • organisasi kemasyarakatan, • lembaga swadaya

masyarakat, • tokoh masyarakat, • tokoh agama, • perguruan tinggi, •

organisasi profesi kesehatan, • sektor swasta

f) ..Pelaksanaan autopsi verbal balita di masyarakat

Autopsi verbal Balita merupakan kegiatan meminta keterangan atau

informasi tentang berbagai kejadian yang berkaitan dengan kesakitan

dan/atau tindakan yang dilakukan pada Balita sebelum yang

bersangkutan meninggal dunia, guna mencari penyebab kematian serta

faktor determinan yang sangat esensial dalam pengelolaan kesehatan

masyarakat. Kegiatan ini dilakukan melalui wawancara kepada ibu atau

pengasuh Balita yang dianggap paling tahu terhadap keadaan anak

29
menjelang meninggal. Petugas yang akan melaksanakan AV adalah

petugas yang sudah mengikuti pelatihan Autopsi Verbal Kematian

Pneumonia Balita. Peran aktif petugas ISPA/Puskemas sangat penting

dalam memantau kematian Balita di wiliyah kerja Puskesmas, baik yang

datang maupun tidak datang ke sarana pelayanan kesehatan setempat.

Dari hasil AV akan didapat data kematian Balita berdasarkan waktu,

tempat dan orang sebagai sumber informasi manajemen dalam

menentukan intervensi yang efisien dan efektif.

g) Pencatatan dan pelaporan

h) Monitoring dan Evaluasi program

Monitoring atau pemantauan pengendalian ISPA dan kesiapsiagaan

menghadapi pandemi influenza perlu dilakukan untuk menjamin proses

pelaksanaan sudah sesuai dengan jalur yang ditetapkan sebelumnya.

Apabila terdapat ketidaksesuain maka tindakan korektif dapat dilakukan

dengan segera. Monitoring hendaknya dilaksanakan secara berkala

(mingguan, bulanan, triwulan).

Evaluasi lebih menitikberatkan pada hasil atau keluaran/output yang

diperlukan untuk koreksi jangka waktu yang lebih lama misalnya 6

bulan, tahunan dan lima tahunan. Keberhasilan pelaksanaan seluruh

kegiatan pengendalian ISPA akan menjadi masukan bagi perencanaan

tahun/periode berikutnya

30
31

Anda mungkin juga menyukai