Anda di halaman 1dari 29

INVESTIGASI WABAH

INVESTIGASI WABAH PENYAKIT ISPA DI PUSKESMAS WUA-WUA


KOTA KENDARI

DOSEN PEMBIMBING
DR. Yunita Amraeni, SKM, M.Kes

OLEH :
KELOMPOK I

SARTI K201801023
DELLA MITASARI K201801076
PUTRI ANGGRAENI K201801018
TIARA AMALIA PUTRI K201801042

KELAS : PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MANDALA WALUYA
KENDARI
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
yang berjudul tentang “Investigasi Wabah Penyakit ISPA di Puskesmas Wua-wua
Kota Kendari”
Pada kesempatan ini kami tidak lupa pula menghaturkan rasa terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada Ibu DR. Yunita Amraeni, SKM, M.Kes selaku
dosen mata kuliah Investigasi Wabah yang telah memberikan tugas ini dan
mengarahkan kami dalam melakukan Investigasi Wabah/KLB.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa hasil tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, saran-saran dari semua pihak yang sifatnya
membangun untuk perbaikan laporan ini.
Demikian semoga hasil laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Kendari, 10 Juli 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................................1
B. Tujuan....................................................................................................4
BAB II ANALISIS DATA PENYAKIT
A. Hasil Pengumpulan/ Pengamatan Data Penyakit...................................7
B. Gambaran Penyakit Terbesar di Puskesmas Yang Potensial Menjadi
KLB Dalam Kurun Waktu 3 Tahun Terakhi…………………………..8
C. Prioritas Penyakit KLB........................................................................10
BAB III PEMBAHASAN
A. Gambaran Wilayah...............................................................................12
B. Distribusi Penyakit Berdasarkan Variabel Epidemiologi....................16
C. Faktor Risiko ISPA melalui Studi Literatur.........................................19
BAB IV RENCANA PENYELIDIKAN DAN TINDAKAN
..................PENANGGULANGAN
A. Rencana Penyelidikan....................................................................27
B. Tindakan Penangulangan...............................................................27

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyebab utama
morbiditas dan mortalitas penyakit menular di dunia sehingga menjadikan
salah satu penyebab utama konsultasi atau rawat inap di fasilitas pelayanan
kesehatan terutama pada bagian perawatan anak. Proportional Mortality Rate
(PMR) akibat ISPA pada balita di dunia adalah (26,7%), sebanyak dua
pertiga kematian tersebut merupakan kematian pada bayi. Tingkat mortalitas
sangat tinggi pada bayi, anak – anak, dan orang lanjut usia terutama di
Negara-Negara dengan pendapatan perkapita rendah dan menengah.
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2012
menyatakan bahwa kasus ISPA (2,6%) terjadi di Negara maju, (97,4%)
terjadi di negara berkembang. Insiden ISPA menurut kelompok umur balita
diperkirakan (0,05%) di negara maju dan (0,29%) di negara berkembang,
untuk Negaramaju kasus terbanyak terjadi di Amerika dengan insiden
(0,10%) dan untuk negara berkembang kasus terbanyak terjadi di Asia
Selatan (0,36%) dan Afrika (0,33%).
Berdasarkan data profil Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011
menyebutkan bahwa ISPA termasuk dalam10 besar penyakit rawat inap di
rumah sakit pada tahun 2010, dengan jumlah 17,918 kasus. ISPA juuga
merupakan penyakit dengan jumlah kunjungan terbanyak dalam daftar 10
besar penyakit rawat jalan di rumah sakit tahun 2010, dengan kasus baru
sebesar (67,2%). Menurut data Riskesdas tahun 2013, period prevalence
ISPA tertinggi di lima provinsi adalah Nusa Tenggara Timur (41,7%). Papua
(31,1%), Aceh (30,0%), Nusa Tenggara Barat (28,3%), dan jawa Timur
(28,3%). Pada Riskesdas 2018, Nusa Tenggara Timur juga merupakan
provinsi tertinggi dengan ISPA.Period prepalence Indonesia menurut
Riskesdas 2013 (25,0%) jauh berbeda dengan 2018 (9,3%). Berdasarkan
profil kesehatan Indonesia tahun 2015, case fatality rate (CFR) pneumonia

1
pada bayi tertinggi adalah provinsi Bengkulu (8,9%). Provinsi dengan CFR
tertinggi kedua yaitu di provinsi Maluku Utara (7,3%), kemudian provinsi
Yokyakarta dengan nilai CFR (5,5%).
Rumah yang luas ventilasinya tidak memenuhi syarat kesehatan akan
mempengaruhi kesehatan penghuni rumah, hal ini disebabkan karena proses
pertukaran aliran udara dari luar kedalam rumah tidak lancar, sehingga
bakteri penyebab penyakit ISPA yang ada didalam rumah tidak dapat keluar.
Ventilasi juga menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena
terjadinya proses penguapan cairan dari kulit, oleh karena itu kelembaban
ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk perkembangbiakan
bakteri penyebab penyakit ISPA.
Sanitasi dan lingkungan rumah erat kaitannya dengan angka kejadian
penyakit menular, terutama ISPA beberapa hal yang dapat mempengaruhi
kejadian penyakit ISPA pada balita adalah kondisi fisik rumah yang tidak
memenuhi syarat kesehatan seperti lantai, dinding, plafond dan atap.
Kebersihan rumah yaitu rumah yang tidak dibersihkan secara teratur dapat
menimbulkan debu di dalam rumah. Kepadatan penghuni yang tinggi dapat
menimbulkan efek-efek negatif terhadap kesehatan baik fisik, mental maupun
moral.Penyebaran penyakit terutama penyakit menular dirumah yang padat
penghuninya dapat cepat terjadi, dan pencemaran udara dalam rumah terjadi
dengan adanya pergantian udara secara terus menerus antara dalan dan luar
ruangan.Selain itu juga faktor kepadatan penghuni, ventilasi, suhu dan
pencahayaan.
Berdasarkan profil kesehatan Sulawesi Tenggara tahun 2017 penyakit
ISPA bukan pneumonia merupakan urutan 1 dari 10 penyakit tertinggi yaitu
sebesar 28.720 kasus. Berdasarkan profil Puskesmas Wua-Wua Kecamatan
Wua-Wua yang terdiri dari tiga Kelurahan yaitu Kelurahan Anawai,
Kelurahan Wua-Wua, Kelurahan Mataiwoi menyatakan bahwa tahun 2018
kasus kunjungan ISPA sebanyak 1.283 kasus, tahun 2019 sebanyak 1.793
kasus, tahun 2020 sebanyak 928 kasus kunjungan.

2
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran besarnya masalah KLB penyakit
ISPA di Puskesmas Wua-wua Kota Kendari.
2. Tujuan Khusus
a. Mengumpulkan data penyakit (data rutin) di Puskesmas dan
menganalisis data penyakit (10 penyakit) terbesar
b. Membuat deskripsi atau gambaran dan interprestasi data penyakit
terbesar di puskesmas yang potensial menjadi KLB.
c. Prioritas Penyakit KLB
d. Upaya identifikasi kasus terkait dengan etiologi dan sumber penularan
penyakit
e. Distribusi Penyakit Berdasarkan Variabel Epidemiologi (variabel
orang, tempat dan waktu)
f. Menentukan faktor risiko melalui studi literatur
g. Rencana Penyelidikan Dan Tindakan Penanggulangan

C. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
a. Mendapatkan pengalaman dalam mengaplikasi teori tentang
investigasi wabah.
b. Mendapatkan kemampuan dalam mengumpulkan data, menganalisis
dan membuat kesimpulan dari data rutin di puskesmas tentang
penyakit potensial wabah.
c. Mampu menyusun rencana kegiatan tentang penyelidikan dan tindakan
yang akan dilakukan dalam penanggulangan KLB.
2. Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat
a. Meningkatkan kerjasama dengan instansi terkait dalam mendukung
proses pembelajaran aktif.
b. Pengembangan akademik bagi mahasiswa dan staf pengajar.

3
c. Memperoleh masukan dari instansi tempat praktikum lapangan
(Stakeholder) dalam penyempurnaan pembelajar sesuai kompetensi
kritis kesehatan masyarakat.
3. Bagi Institusi (Dinas dan Puskesmas)
a. Terjalinnya kerjasama saling menguntungkan antara dinas kesehatan
dan puskesmas dengan Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas
Mandala Waluya.
b. Mendapatkan bantuan dari mahasiswa dalam pengelolaan data
penyakit di puskesmas.
4. Bagi Masyarakat Setempat Memberi pengetahuan kepada masyarakat
mengenai penyakit KLB yang terjadi serta mengetahui tingkat kegawatan
penyakit tersebut sehingga masyarakat lebih cepat dan tanggap dalam
tahap pengobatan penderita serta cara pencegahannya.

4
BAB II
ANALISIS DATA PENYAKIT

A. Hasil Pengumpulan/ Pengamatan Data Penyakit


Berdasarkan data rutin tahunan yang kami peroleh di Puskesmas Wua-
wua Kota Kendari dari tahun 2018-2020 terdapat urutan 10 penyakit terbesar
di puskesmas Wua-wua Kota Kendari, yang dapat dilihat pada grafik dibawah
ini.
4500
4004
4000
3500
3000
2500 2279 2196
2000
1500 1307
942
1000
546 541 437
500 363 216
0
e
DM

a
s

s
i

gi

OK
A

ns

ro
iti

iliti

at
ar
ISP

er
rte

te
str

M
PP
Di
Al

ns
es
Ga

pe

it
To
tis

or

ak
Hi

ati

rk

ny
rm

pe

Pe
Hi
De

Grafik 1. 10 besar penyakit di Puskesmas Wua-wua tahun 2018-2020


Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa 10 besar penyakit yang terjadi di
puskesmas Wua-wua didominasi oleh penyakit tidak menular dan di wilayah
kerja puskesmas Wua-wua bukan merupakan puskesmas yang memiliki
endemis KLB suatu penyakit. sehingga dari 10 besar penyakit tersebut kami
tidak menemukan KLB yang sedang terjadi selama kurun waktu 3 tahun
terakhir.
Dari grafik 10 besar penyakit diatas, penyakit yang berada pada urutan
pertama adalah ISPA yaitu dengan jumlah 4.004 kasus dalam kurung 3 tahun
terakhir. Berdasarkan survei yang dilakukan, hal ini dipicu karena faktor
lingkungan dimana masih adanya rumah yang belum tergolong dalam kriteria

5
rumah sehat. Urutan kedua yaitu penyakit gastritis dengan jumlah 2.279
kasus, penyakit hipertensi 2.196 kasus, dermatitis alergi 1.307 kasus, diabetes
melitus 942 kasus, hiperkoresterol 546 kasus, tonsillitis 541 kasus, Diare 437
kasus,ppok 363 kasus dan yang terakhir penyakit mata 216 kasus.

B. Gambaran penyakit terbesar di Puskesmas yang potensial menjadi KLB


dalam Kurun Waktu 3 Tahun Terakhir
Untuk menentukan adanya KLB di suatu daerah yaitu dengan melihat
kriteria sebagai berikut:
1. Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada.
2. Peningkatan suatu kejadian penyakit atau kematian terus menerus selama
tiga kurun waktu berturut turut menurut penyakitnya.
3. Peningkatan kejadian penyakit 2 kali atau lebih dibandingkan periode
sebelumnya.
4. Jumlah penderita baru dalam 1 bulan menunjukan kenaikan 2 kali lipat
atau lebih bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan tahun
sebelumnya.
5. Angka rata-rata per bulan dalam 1 tahun menunjukkan kenaikan 2 kali
atau lebih dibandingkan dengan rata-rata perbulan tahun sebelumnya.
6. Case Fatality Rate (CFR) dari suatu penyakit dari suatu kurun waktu
tertentu menunjukkan kenaikan 50% atau lebih, dibandingkan CFR
periode sebelumnya.
7. Proportional Rate (PR) penderita baru dari suatu periode tertentu
menunjukkan kenaikan 2 kali atatu lebih dibanding periode yang sama dan
kurun waktu tahun sebelumnya.
Kemudian berdasarkan kriteria penetuan adanya KLB tersebut diatas,
maka diperoleh penyakit potensi KLB yaitu sebagai berikut :
1. ISPA
2. Hipertensi

6
Berikut adalah grafik dari kedua penyakit tersebut:
350
300
250
200
150
100 ISPA
50 HIPERTENSI

0
ri ril li i
Ju ber uar Apr
il li i
Ju ber uar Apr
il li
Ju ber
nua Ap o n o n
Ja t Ja t Ja to
Ok Ok Ok

2018

Grafik 2. 2 besar penyakit potensi KLB tahun 2018 – 2020


Dari grafik diatas dapat disimpulkan bahwa kasus penyakit yang
mengalami peningkatan tajam adalah kasus ISPA. Peningkatan kasus ISPA
tersebut terjadi pada tahun 2019, di mana hal tersebut terjadi karena banyak
rumah warga yang memiliki ventilasi rumah yang kurang memenuhi kriteria
rumah sehat. Pada kasus hipertensi setiap bulan terjadi kasus, hal tersebut
terjadi karena perilaku gaya hidup seperti kebiasaan merokok dan asupan gizi
yang kurang.
C. Prioritas Penyakit KLB
Untuk menentukan prioritas KLB dari kedua penyakit potensial KLB
tersebut, kami menggunakan analisis dengan teknik skoring yakni
memberikan penilaian (scor) terhadap masalah tersebut dengan menggunakan
ukuran parameter sebagai berikut:
Prevalensi penyakit (prevalence) atau besarnya masalah.
1. Berat ringannya akibat yang ditimbulkan oleh masalah tersebut
(saverity).
2. Kenaikan atau meningkatnya prevalensi (rate increase).

7
3. Keinginan masyarakat untuk menyelesaikan masalah tersebut (degree of
unmeet need).
4. Keuntungan social yang diperoleh bila masalah tersebut diatasi (social
benefit).
5. Teknologi yang tersedia dalam mengatasi masalah (technical feasibility).
6. Sumber daya yang tersedia yang dapat digunakan untuk mengatasi
masalah (resource availability).
Dari berbagai parameter diatas kami memberikan nilai angka 5 untuk
kategori sangat tinggi, 4 untuk tinggi, 3 untuk sedang, 2 untuk rendah dan 1
untuk kategori sangat rendah. Dan hasil analis dengan teknik skoring dapat
dilihat pada table berikut :
Tabel 1. Prioritas Masalah dengan Skoring

Parameter Jml
Degre
Techni Resourc
Rate e of Social
No Penyakit Prevale Seve cal es
Increa Unme Benefi
nce rity Feasibi Availabi
se et t
lity lity
Need
1 ISPA 3 2 3 3 3 4 4 22
Hipertens
2 i 2 2 2 3 3 4 4 20

Dari angka tabel diatas didapatkan angka skor tertinggi adalah 2 maka
penyakit ISPA menjadi prioritas 1 dan penyakit diare mendapatkan prioritas
masalah kesehatan nomor 2.

8
BAB III
PEMBAHASAN

A. Keadaan Wilayah dan Letak Geografis

Puskesmas Wua-wua merupakan Puskesmas induk non-perawatan yang


definitif berdiri sejak 1 Mei 2009 diatas lahan seluas 1703 m 2 (26mx65,5m)
yang terletak tepat dibelakang Kantor Camat Wua-wua, Jalan
AnawaiKelurahan Anawai atau kurang lebih 500 meter dari Jl. Ahmad yani
porosLepo-Lepo – Bandara.Puskesmas dapatdijangkau oleh masyarakat yang
berdomisili di Kelurahan Anawai dengan berjalan kaki tetapi untuk
masyarakat di dua Kelurahan lainnya harus menempuh perjalanan lebih
panjang yaitu dengan mobil angkutan umum kemudian harus dilanjutkan
dengan motor ojek, Puskesmas ini adalah pemekaran dari Puskesmas Mekar.
Meskipun Kecamatan Wua-wua mempunyai 4 Kelurahan tetapi Wilayah
kerja Puskesmas Wua-wua hanya mencakup 3Kelurahan yaitu :
1. Kelurahan Anawai dengan luas wilayah 3 km2
2. Kelurahan Wua-wua dengan luas wilayah 5,89 km2,
3. Kelurahan Mataiwoi dengan luas wilayah 3,2 Km2
Peta wilayah kerja dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Sumber :BPS data tahun 2017

9
Luas wilayah kerja secara keseluruhan menjadi 13,91 Km2. Sejumlah
kompleks perumahan yang tercakup dalam wilayah kerjanya adalah :BTN
Tunggala, Griya permata Anawaidi Kelurahan Anawaidan perumahan Villa
Ibis diKelurahan Wua-wua sedangkan Kelurahan Mataiwoi tidak ada
perumahan khusus. Sebagian besar wilayah kerja merupakan daerah
berbukit-bukit dengan sedikit dataran sehingga sebagian besar rumah
penduduk di bangun di daerah berbukit.

Adapun Batas Wilayah kerja:

• Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Bonggoeya


• Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Kadia
• Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Baruga
• Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Puwatu
B. Kependudukan
Jumlah penduduk wilayah kerja Puskesmas Wua-wua pada tahun 2019
dapat dilihat pada tabel 1 dan diagram sebagai berikut :

Tabel 2. Data Jumlah Penduduk di Wilayah KerjaPuskesmas Wua-


Tahun 2019
Jumlah Jumlah Penduduk Jumlah
No. Kelurahan
KK L P Penduduk
1. Anawai 1661 3168 3108 6.276
2. Wua-Wua 1814 4433 4350 8.783
3. Mataiwoi 1275 3778 3707 7.485
Total 4.750 11.379 11.165 22.544

Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Wilayah Kerja


Puskesmas Wua-wua pada tahun 2019 sebanyak 22.544 jiwa yang
terdistribusi pada tiga Kelurahan yakni Kelurahan Anawai sebanyak 6276
jiwa, Kelurahan Wua-wua sebanyak 8783 jiwa, dan Kelurahan Mataiwoi
sebanyak 7485 jiwa.Sebagian besar penduduk berdomisili diwilayah
Kelurahan Wua-wua.

10
Kecamatan Wua-wua terhimpun dalam 4.750 KK yang terdiri dari
kelurahan anawai sebanyak 1661 KK,Kelurahan Wua-wua sebanyak 1814
dan Kelurahan Mataiwoi sebanyak 1275 KK
Dari tabel 1 diatas dapat dilihat bahwa distribusi penduduk menurut
jenis kelamin di wilayah kerja Puskesmas Wua-wua hampir sama antara
Jumlah penduduk Laki-Laki dengan Perempuan dan di wilayah Kerja
Puskesmas Wua-wua jenis kelamin terbanyak adalah Laki-Laki.

C. Upaya Identifikasi Kasus Terkait Dengan Etiologi Dan Sumber


Penularannya
Saat ini ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) masih merupakan
masalah kesehatan yang utama. Beberapa penyakit ISPA antara lain adalah
influenza, sinusitis, laryngitis, faringitis, tonsilitis, epiglotitis dan pneumoni.
Pneumonia merupakan salah satu penyakit ISPA yang menjadi pembunuh
utama balita di Indonesia. Oleh karena itu upaya Pemberantasan dan
Pencegahan ISPA (P2ISPA), merupakan hal yang sangat penting dilakukan
baik oleh tenaga kesehatan maupun oleh masyarakat sampai ketingkat
keluarga yaitu orang tua terutama yang mempunyai balita. Menurut WHO
tahun 2012, sebesar 78% balita yang datang berkunjung ke pelayanan
kesehatan adalah akibat ISPA.
Penyebab ISPA terdiri dari bakteri, virus, jamur, dan aspirasi. Bakteri
penyebab ISPA antara lain Diplococcus pneumoniae, Pneumococcus,
Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenza.
Virus penyebab ISPA antara lain Influenza, Adenovirus, dan Sitomegalovirus.
Jamur yang dapat menyebabkan ISPA antara lain Aspergillus sp., Candida
albicans, dan Histoplasma. (Wahyono, 2008).
Salah satu yang berisiko tinggi terkena ISPA adalah anak-anak berusia
di bawah dua tahun, karena dapat mengalami penurunan daya tahan tubuh.
Komplikasi terberat terjadi jika infeksi mencapai paru-paru. Hal-hal yang
bisa terjadi antara lain perdarahan paru-paru, gagal napas akut (acute
respiratory distress syndrome/ARDS), hingga kematian. Penyakit Influenza

11
berkaitan dengan pemberian imunisasi Pentabio yang merupakan imunisasi
dasar pada bayi dibawah satu tahun. Pada imunisasi pentabio ini terkaper
didalamnya imunisasi influenza. Meskipun angka capaian imunisasi ini sudah
lebih dari 80%, tetapi kejadian ISPA dan gejala-gejalanya masih tinggi.
Cara penularan utama sebagian besar ISPA adalah melalui droplet, tapi
penularan melalui kontak (termasuk kontaminasi tangan yang diikuti oleh
inokulasi tak sengaja) dan aerosol pernapasan infeksius berbagai ukuran dan
dalam jarak dekat bisa juga terjadi untuk sebagian patogen. Karena banyak
gejala ISPA merupakan gejala nonspesifik dan pemeriksaan diagnosis cepat
tidak selalu dapat dilakukan, penyebabnya sering tidak langsung diketahui.
Selain itu, intervensi farmasi (vaksin, antivirus, antimikroba) untuk ISPA
mungkin tidak tersedia.
Berdasarkan hasil wawancara ke petugas surveilans Puskesmas Wua-
wua, faktor pencetus terjadinya kasus ISPA yang tinggi di wilayah kerja
Puskesmas Wua-wua adalah masih banyaknya lingkungan rumah yang masuk
kategori tidak sehat seperti luas ventilasi yang tidak memadai, masih banyak
anggota keluarga yang mempunyai kebiasaan merokok didalam rumah, polusi
udara, dan kecapekan. Sehingga dengan demikian perlu adanya perhatian
khusus untuk kasus ISPA di wilayah kerja Puskesmas Wua-wua mengingat
kasus ISPA masih tinggi diwilayah tersebut seperti kegiatan penyuluhan dan
melakukan promosi kesehatan tentang ISPA .

D. Distribusi Penyakit Berdasarkan Variabel Epidemiologi


Penyakit ISPA di puskesmas Wua-wua merupakan trend penyakit yang
muncul setiap tahun. Namun dengan kemunculan penyakit Covid 19 di
Indonesi pada awal tahun 2020 menjadikan keresahan dan ketakutan
masyarakat akan penyakit ISPA dikarenakan gejalanya yang mirip. Sehingga
hal tersebut membuat masyarakat takut untuk mengunjungi fasilitas kesehatan
masyarakat sehingga angka kunjungan pasien dari tahun 2020 sampai
sekarang mengalami penurunan yang signifikan dari tahun-tahun sebelumnya.
1. Disribusi ISPA menurut Orang (Person)

12
Kasus ISPA yang terjadi berdasarkan usia rata-rata menyerang
Balita berusia 1-5 tahun karena pada usia tersebut merupakan usia rentan
terserang penyakit ISPA, dengan jumlah kasus sebanyak 2.198 kasus
dalam 3 tahun terakhir yaitu tahun 2018 sebanyak 701 kasus, tahun 2019
sebanyak 882 kasus dan pada tahun 2020 sebanyak 615 kasus .
2. Disribusi ISPA menurut Tempat (Place)
Distribusi ISPAberdasarkan tempat dalam penyebarannya
kebanyakan terjadi di kelurahan anawai, hal ini terjadi karena pemukiman
warga berada dekat dengan jalan raya yang memiliki kualitas udara yang
rendah.
3. Disribusi ISPA menurut waktu tahun (Time)
Berdasarkan hasil survei melalui catatan laporan bulanan penderita
penyakit ISPA di Puskesmas Wua-wua menyebutkan bahwa kasus ISPA
cenderung meningkat jumlahnya pada waktu atau musim hujan. Hal ini
disebabkan oleh karena pada musim hujan menyebabkan terjadinya
kelembapan yang tinggi yang menyebabkan bakteri bertahan lebih lama
sehingga mudah terjadi penularan. Selain itu musim hujan menyebabkan
terjadinya kepadatan hunian yang akan memengaruhi terhadap terjadinya
cross infection.

E. Faktor Risiko ISPA melalui Studi Literatur


1. Usia
ISPA diketahui dapat menyerang segala jenis umur. ISPA akan sangat
berisiko pada bayi berumur kurang dari 1 tahun. Pada waktu anak-anak
berumur 5 tahun, infeksi pernafasan yang disebabkan virus frekuensinya
akan berkurang, tetapi pengaruh infeksi mycoplasma pneumonia dan
influenza akan meningkat. Jumlah jaringan limfa meningkat seluruhnya
pada masa anak-anak dan diketahui berulang-ulang meningkatkan
kekebalan pada anak yang sedang tumbuh dewasa (Hartono, 2012).
Beberapa agen virus membuat sakit ringan pada anak yang lebih tua
tetapi menyebabkan sakit yang hebat di sistem pernapasan bagian bawah

13
atau batuk asma pada balita. Sebagai contoh, batuk rejan secara relatif
pada trakeabronkitis tidak berbahaya pada masa kanak-kanak namun
merupakan penyakit serius pada masa pertumbuhan (Marni, 2014).
2. Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh
dalam kesehatan, karena lemahnya manajemen kasus oleh petugas
kesehatan serta pengetahuan yang kurang di masyarakat terhadap gejala
dan upaya penanggulangannya, sehingga banyak kasus ISPA yang datang
ke pelayanan kesehatan sudah dalam keadaan berat. Hal tersebut
disebabkan oleh kurang mengerti cara serta pencegahan agar tidak mudah
terserang penyakit ISPA (Marni, 2014).
Pendidikan ibu berpengaruh terhadap informasi yang diterima
mengenai kesehatan anak. Ibu dengan pendidikan tinggi akan menerima
segala informasi dengan mudah mengenai cara memelihara dan menjaga
kesehatan anak serta gizi yang baik untuk anak. Berdasarkan pengaruh
terhadap kesehatan dan perilaku seseorang peran pendidikan juga
berpengaruh terhadap lingkungan, pelayanan kesehatan dan juga heriditas
(Marni, 2014).
3. Status Gizi
Gizi kurang dan gizi buruk merupakan status gizi yang didasarkan
pada indeks berat badan menurut umur (BB/U). Pemantauan Status Gizi
(PSG) tahun 2017 yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan
menyatakan bahwa persentase gizi buruk pada balita usia 0-59 bulan di
Indonesia adalah 3,8%, sedangkan persentase gizi kurang adalah 14%. Hal
tersebut tidak berbeda jauh dengan hasil PSG tahun 2016 yaitu persentase
gizi buruk pada balita usia 0-59 bulan sebesar 3,4% dan persentase gizi
kurang sebesar 14,43%. Provinsi dengan persentase tertinggi gizi buruk
dan gizi kurang pada balita usia 0-59 bulan tahun 2017 adalah Nusa
Tenggara Timur, sedangkan provinsi dengan persentase terendah adalah
Bali (Profil Kesehatan RI, 2017).

14
Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang
dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi,
penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan
untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan, dan fungsi normal dari
organ-organ serta menghasilkan energi. Seorang anak yang kekurangan
gizi akan mengakibatkan terjadinya defisiensi gizi yang merupakan awalan
dari gangguan sistem kekebalan tubuh (Hartono, 2012).
Upaya Perbaikan Gizi, dalam menerapkan gizi seimbang setiap
keluarga harus mampu mengenal, mencgah, dan mengatasi masalah gizi
setiap anggota keluarganya. Upaya yang dilakukan untuk mengenal,
mencegahdan mengatasi masalah gizi adalah dengan menimbang berat
badan secara teratur, memberikan ASI saja kepada bayi sejak lahir sampai
umur 6 bulan, makan beraneka ragam, menggunakan garam beryodium,
dan pemberian suplemen gizi sesuai anjuran 18 petugas kesehatan.
Suplemen gizi yang diberikan menurut Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 51 tahun 2016 tentang Standar Produk Suplementasi Gizi, meliputi
kapsul vitamin A, tablet tambah darah (TTD), makanan tambahan untuk
ibu hamil, anak balita, dan anak usia sekolah, makanan pendamping ASI,
dan bubuk multi vitamin dan mineral (Profil Kesehatan RI, 2017).
Penimbangan balita sangat penting untukdeteksi dini kasus gizi
kurang dan gizi buruk. Dengan rajin menimbang balita, maka
pertumbuhan balita dapat dipantau secara intensif sehingga bila berat
badan anak tidak naik atau jika ditemukan penyakit akan dapat segera
dilakukan upaya pemulihan dan pencegahan supaya tidak menjadi gizi
kurang atau gizi buruk. Semakin cepat ditemukan, penanganan kasus gizi
kurang atau gizi buruk akan semakin baik. Penanganan yang cepat dan
tepat sesuai tata laksana kasus anak gizi buruk akan mengurangi risiko
kematian sehingga angka kematian akibat gizi buruk dapat ditekan (Profil
Kesehatan RI, 2017).
Penilaian status gizi dilakukan menggunakan antropometri yaitu :
berat badan menurut umur (weight-for-age), tinggi badan menurut umur

15
(height-for-age), berat badan menurut tinggi badan (weight-for-height),
lingkar lengan atas kiri (left mid-upper arm circumference). Masing-
masing indikator itu memberikan penjelasan tentang status gizi bayi dan
anak-anak (Hartono, 2012).
4. Berat Badan Lahir Rendah
Pada balita dengan riwayat BBLR yaitu berat badan kurang dari
2500 gram pada saat lahir, menyebabkan system kekebalan tubuh belum
sempurna, sehingga daya tahan tubuhnya rendah. Hal ini menyebabkan
anak rentan dan mudah terserang penyakit infeksi. Bayi lahir dengan berat
badan rendah 19 mempunyai resiko menderita ISPA lebih tinggi
dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan berat badan normal (Fikawati
et al, 2015).
Beberapa faktor lainnya yang dapat mempengaruhi berat badan
lahir, antara lain umur ibu, paritas, tinggi badan ibu, jarak kelahiran, dan
pekerjaan ibu. Kehamilan yang terjadi pada usia dibawah 20 tahun atau
diatas 35 tahun memiliki kecenderungan tidak terpenuhinya kebutuhan
gizi yang adekuat untuk pertumbuhan janin yang akan berdampak
terhadap berat badan lahir bayi. Umur ibu kurang dari 20 tahun pada saat
hamil berisiko terjadinya BBLR 1,5-2 kali lebih besar dibandingkan ibu
hamil yang berumur 20-35 tahun. Persalinan lebih dari tiga kali berisiko
terjadinya komplikasi seperti perdarahan dan infeksi sehingga ada
kecenderungan bayi lahir dengan kondisi BBLR (Marni, 2014).
Pada wanita yang pendek sering ditemukan adanya panggul yang
sempit dan keadaan ini dapat mempengaruhi jalannya persalinan sehingga
menyebabkan berat badan bayi yang dilahirkan rendah. Jarak kelahiraan
yang pendek akan menyebabkan seorang ibu belum cukup waktu untuk
memulihkan kondisi tubuhnya setelah melahirkan sebelumnya, sehingga
berisiko terganggunya sistem reproduksi yang akan berpengaruh terhadap
berat badan lahir. Ibu yang bekerja cenderung memiliki sedikit waktu
istirahat sehingga berisiko terjadinya komplikasi kehamilan, seperti

16
terlepasnya plasenta yang secara langsung berhubungan dengan BBLR
(Marni, 2014).

5. Perilaku Merokok
Kebiasaan merokok di dalam rumah dapat menimbulkan asap yang
tidak hanya dihisap oleh perokok, tetapi juga dihisap oleh orang yang ada
disekitarnya termasuk anak-anak. Satu batang rokok yang dibakar anak
mengeluarkan sekitar 23 4.000 bahan kimia seperti nikotin, gas
karbonmonoksida, nitrogen oksida, hydrogen cianida, ammonia, akrolein,
acetilen, benzol dehide, urethane, methanol, conmarin, 4-ethyl cathecol,
ortcresorperyline dan lainnya, sehingga paparan asap rokok dapat
mengingkatkan risiko kesakitan pernafasan khususnya pada anak berusia
kurang dari 2 tahun (Marni, 2014).
Asap rokok yang dihisap oleh perokok adalah asap mainstream
sedangkan asap dari ujung rokok yang terbakar dinamakan asap slidestrea.
Polusi udara yang diakibatkan oleh asap slidestream dan asap mainstream
yang sudah terekstrasi dinamakan asap tangan kedua atau asap tembakau
lingkungan. Mereka yang menghisap asap inilah yang dinamakan perokok
pasif atau perokok terpaksa. Terdapat seorang perokok atau lebih dalam
rumah akan memperbesar risiko anggota keluarga menderita sakit, seperti
gangguan pernapasan, memperburuk asma dan memperberat penyakit
angina pectoris serta dapat meningkatkan resiko untuk mendapat serangan
ISPA khususnya pada balita (Marni, 2014).
Anak-anak yang orang tuanya perokok lebih mudah terkena
penyakit saluran pernapasan seperti flu, asma pneumonia dan penyakit
saluran pernapasan lainnya. Gas berbahaya dalam asap rokok merangsang
pembentukan lendir, debu dan bakteri yang tertumpuk tidak dapat
dikeluarkan, menyebabkan bronchitis kronis, lumpuhnya serat elastin di
jaringan paru mengakibatkan daya pompa paru berkurang, udara tertahan
di paru-paru dan mengakibatkan pecahnya kantong udara (Marni, 2014).
6. Ventilasi

17
Ventilasi merupakan tempat daur ulang udara yaitu tempatnya
udara masuk dan keluar. Ventilasi yang dibutuhkan untuk penghawaan
didalam rumah yakni ventilasi yang memiliki luas minimal 10% dari luas
lantai rumah. Lubang jendela suatu bangunan harus memenuhi aturan
sebagai berikut : luas bersih dari jendela/lubang hawa sekurang-kurangnya
1/10 dari luas lantai ruangan, jendela/lubang hawa harus meluas ke arah
atas sampai setinggi minimal 1,95 m dari permukaan lantai, adanya lubang
hawa yang berlokasi di bawah langit-langit sekurang kurangnya 0,35%
luas lantai yang bersangkutan (Kartiningrum, 2016).
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi yang pertama
adalah menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar sehingga
keseimbangan O2 tetap terjaga, karena kurangnya ventilasi menyebabkan
kurangnya O2 yang berarti kadar CO2 menjadi racun. Fungsi yang kedua
adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama
bakteri patogen dan menjaga agar rumah selalu tetap dalam kelembaban
yang optimum. Dengan adanya ventilasi yang baik maka udara segar dapat
dengan mudah masuk kedalam rumah sehingga kejadian ISPA akan
semakin berkurang (Kartiningrum, 2016).
7. Kepadatan Hunian
Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) RI mengungkapkan bahwa
aturan luas rumah yang sehat untuk memenuhi kebutuhan minimal 9m2
untuk per jiwa atau per orang, sehingga jika dalam satu rumah berisi 4
orang maka luas rumah yang ideal berkisar 36m2 . Keputusan Menteri
Kesehatan (KepMenKes) RI No. 829 menetapkan mengenai kesehatan
pembangunan rumah bahwa luas ruang tidur minimal 8m2 dan tidak
digunakan untuk lebih dari 2 orang dewasa dalam 1 25 ruang tidur, kecuali
anak dengan usia dibawah 5 tahun. Kepadatan hunian atau keadaan rumah
yang sempit dengan jumlah penghuni rumah yang banyak akan berdampak
kurangnya oksigen di dalam rumah (Sukandarrumidi, 2010).
Kepadatan penghuni menimbulkan perubahan suhu ruangan yang
kalor dalam tubuh keluar disebabkan oleh pengeluaran panas badan yang

18
kan meningkatkan kelembaban akibat uap air dari pernapasan tersebut.
Semakin banyak jumlah penghuni ruangan tidur atau dengan penghuni
lebih dari 2 orang dalam ruang tidur maka semakin cepat udara ruangan
mengalami pencemaran gas atau bakteri, selain itu juga memperhambat
proses penukaran gas udara bersih yang dapat menyebabkan penyakit
ISPA (Sukandarrumidi, 2010).

19
BAB IV
RENCANA PENYELIDIKAN DAN TINDAKAN PENANGGULANGAN

Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan salah satu penyakit


potensial wabah yang menjadi masalah kesehatan masyarakat. Penemuan dan
peningkatan kasus ISPA ini telah terjadi di Kelurahan Anawai khususnya di
wilayah kerja Puskesmas Wua-wua Kota Kendari.
a. Rencana Penyelidikan
Upaya penyelidikan yang dapat dilakukan antara lain dengan melakukan
survey lapangan, observasi, dan metode wawancara. Tujuan dari penyelidikan
penyakit ISPA antara lain:
1. Menentukan dan memastikan etiologi peningkatan penyakit ISPA.
2. Mengidentifikasi sumber penularan penyakit ISPA.
3. Menggambarkan distribusi/penyebaran penyakit ISPA berdasarkan variabel
epidemiologi (Time, Place, Person).
4. Meningkatkan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD).

b. Tindakan Penanggulangan
1. Tujuan
Menurunkan angka kesakitan dan kematian ISPA karena pneumonia
2. Strategi program
a) Membangun komitmen dengan pengambil kebijakan
Dapat dilakukan melalui pertemuan dalam rangka mendapatkan
komitmen dari semua pengambil kebijakan.
b) Penguatan jejaring internal dan eksternal
Untuk keberhasilan program Pengendalian ISPA diperlukan
peningkatan jejaring kerja (networking) dengan pemangku kepentingan.
Berbagai manfaat yang dapat diperoleh dari jejaring antara lain
pengetahuan, keterampilan, informasi, keterbukaan, dukungan,
membangun hubungan, dll dalam upaya pengendalian pneumonia di
semua tingkat. Jejaring dapat dibangun dengan berbagai pemangku

20
kepentingan sesuai dengan kebutuhan wilayah (spesifik wilayah) baik
sektor pemerintah, swasta, perguruan tinggi, lembaga/organisasi non
pemerintah, dll. Jejaring dapat dibangun melalui pertemuan atau
pembuatan kesepahaman (MOU). Untuk menjaga kesinambungan
jejaring, maka komunikasi perlu secara intensif melalui pertemuan-
pertemuan berkala dengan mitra terkait.
c) Penemuan kasus secara aktif dan pasif
Penemuan penderita pasif dan aktif melalui proses sebagai berikut:
1) Menanyakan Balita yang batuk dan atau kesukaran bernapas
2) Melakukan pemeriksaan dengan melihat tarikan dinding dada bagian
bawah ke dalam (TDDK) dan hitung napas.
3) Melakukan penentuan tanda bahaya sesuai golongan umur
4) Melakukan klasifikasi Balita batuk dan atau kesukaran bernapas;
Pneumonia berat, pneumonia dan batuk bukan pneumonia.
d) Peningkatan mutu pelayanan
e) Peningkatan peran serta masyarakat
Peran serta masyarakat merupakan faktor penting untuk menunjang
keberhasilan program Pengendalian ISPA. Peran serta masyarakat, lintas
program, lintas sektor terkait dan pengambil keputusan termasuk
penyandang dana diharapkan dapat lebih ditingkatkan, sehingga
pendekatan pelaksanaan pengendalian ISPA khususnya Pneumonia dapat
terlaksana secara terpadu dan komprehensif. Intervensi pengendalian
ISPA tidak hanya tertuju pada penderita saja tetapi terhadap faktor risiko
(lingkungan dan kependudukan) dan faktor lain yang berpengaruh
melalui dukungan peran aktif sektor lain yang berkompeten. Kegiatan
kemitraan meliputi pertemuan berkala dengan:
• lintas program dan sektor terkait;
• organisasi kemasyarakatan,
• lembaga swadaya masyarakat,
• tokoh masyarakat,
• tokoh agama,

21
• perguruan tinggi,
• organisasi profesi kesehatan,
• sektor swasta
f) ..Pelaksanaan autopsi verbal balita di masyarakat
Autopsi verbal Balita merupakan kegiatan meminta keterangan atau
informasi tentang berbagai kejadian yang berkaitan dengan kesakitan
dan/atau tindakan yang dilakukan pada Balita sebelum yang
bersangkutan meninggal dunia, guna mencari penyebab kematian serta
faktor determinan yang sangat esensial dalam pengelolaan kesehatan
masyarakat. Kegiatan ini dilakukan melalui wawancara kepada ibu atau
pengasuh Balita yang dianggap paling tahu terhadap keadaan anak
menjelang meninggal. Petugas yang akan melaksanakan AV adalah
petugas yang sudah mengikuti pelatihan Autopsi Verbal Kematian
Pneumonia Balita. Peran aktif petugas ISPA/Puskemas sangat penting
dalam memantau kematian Balita di wiliyah kerja Puskesmas, baik yang
datang maupun tidak datang ke sarana pelayanan kesehatan setempat.
Dari hasil AV akan didapat data kematian Balita berdasarkan waktu,
tempat dan orang sebagai sumber informasi manajemen dalam
menentukan intervensi yang efisien dan efektif.
g) Pencatatan dan pelaporan
h) Monitoring dan Evaluasi program
Monitoring atau pemantauan pengendalian ISPA dan kesiapsiagaan
menghadapi pandemi influenza perlu dilakukan untuk menjamin proses
pelaksanaan sudah sesuai dengan jalur yang ditetapkan sebelumnya.
Apabila terdapat ketidaksesuain maka tindakan korektif dapat dilakukan
dengan segera. Monitoring hendaknya dilaksanakan secara berkala
(mingguan, bulanan, triwulan).
Evaluasi lebih menitikberatkan pada hasil atau keluaran/output yang
diperlukan untuk koreksi jangka waktu yang lebih lama misalnya 6
bulan, tahunan dan lima tahunan. Keberhasilan pelaksanaan seluruh

22
kegiatan pengendalian ISPA akan menjadi masukan bagi perencanaan
tahun/periode berikutnya

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
1. ISPA merupakan suatu penyakit yang berpotensial terjadinya KLB.
Apabila terjadi kasus/penderita ISPA di suatu wilayah, dalam waktu 3
tahun berturut-turut maka wilayah tersebut merupakan wilayah endemis.
2. Di wilayah kerja Puskesmas Wua-wua terdiri 3 kelurahan diantaranya
termasuk daerah potensial KLB ISPA dan membutuhkan upaya
pengendalian serta penanggulangan yang tepat.
3. Berdasarkan variabel epidemiologi, distribusi kasus menurut waktu jumlah
kasus tertinggi pada tahun 2018-2020 yaitu sebanyak 10 kasus. Untuk
distribusi kasus menurut tempat, kasus terbanyak terjadi di Kelurahan
Anawai Sedangkan untuk distribusi kasus menurut orang, kasus ISPA rata-
rata menyerang Balita berumur di bawah 5 tahun.
4. Berdasarkan data yang kami peroleh dari Puskesmas Wua-wua cara
penularan penyakit ISPA dapat disebabkan oleh letak geografis dan
kurangnya kesadaran masyarakat.

B. Saran
1. Upaya penanganan intensif dari tim medis Puskesmas di masing-masing
wilayah.
2. Upaya Penanganan dan Pencegahan harus dilakukan sedini mungkin.
3. Melaksanakan upaya penyelidikan dengan Sistem Kewaspadaan Dini
(SKD).

23
DAFTAR PUSTAKA

Kartiningrum, E. D. (2016). Faktor yang Mempengaruhi Kejadian ISPA pada


Balita di Desa Kembang Sari Kec. Jatibanteng Kab. Situbondo. Hospital
Majapahit (JURNAL ILMIAH KESEHATAN POLITEKNIK
KESEHATAN MAJAPAHIT MOJOKERTO), 8(2).
Putra, Y., & Wulandari, S. S. (2019). Faktor Penyebab Kejadian Ispa. Jurnal
Kesehatan, 10(1), 37-40
Suhandayani, I. (2007). Faktor–faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA
pada balita di Puskesmas Pati I Kabupaten Pati Tahun 2006 (Doctoral
dissertation, Universitas Negeri Semarang).
Mardiah, W. (2017). Pencegahan Penularan Ispa (Infeksi Saluran Pernafasan
Akut) Dan Perawatannya Pada Balita Dirumah Di Kabupaten
Pangandaran. Dharmakarya, 6(4).

24
LAMPIRAN

25
26

Anda mungkin juga menyukai