Anda di halaman 1dari 42

MINI PROJECT

GAMBARAN PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG PENYAKIT KUSTA

DAN ANGKA KEJADIAN BARU PENYAKIT KUSTA DI PUSKESMAS MEOMEO

Disusun Oleh :

dr. Wa Ode Tati Kurnia Amaruddin, S.Ked

Pendamping :

dr. Isna Mustika, S.Ked

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA PUSKESMAS MEO-MEO

KOTA BAU-BAU 2022


HALAMAN PENGESAHAN

MINI PROJECT

GAMBARAN PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG PENYAKIT KUSTA DAN

ANGKA KEJADIAN BARU PENYAKIT KUSTA DI PUSKESMAS MEOMEO

Disusun Oleh :

dr. Wa Ode Tati Kurnia Amaruddin , S.Ked

November 2022 Telah disetujui oleh :

Dokter Pendamping Kepala Puskesmas Meo-Meo

dr. Isna Mustika, S.Ked Ratna Kurniaty, SKM

NIP. 19911230 202012 2 010 NIP. 19860715 201101 2 026


DAFTAR ISI

SAMPUL ........................................................................................................

DAFTAR ISI....................................................................................................

BAB I.PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................

B. Rumusan Masalah ...........................................................................

C. Tujuan Penelitian.............................................................................

D. Manfaat Penelitian...........................................................................

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Umum Kepustakaan ..........................................................

1. Definisi.....................................................................................

2. Epidemiologi............................................................................

3. Klasifikasi ................................................................................

4. Etiologi.....................................................................................

5. Faktor Resiko....................................................................

6. Patofisiologi .............................................................................

7. Manifestasi klinis .....................................................................

8. Penatalaksanaan .......................................................................

9. Pencegahan ..............................................................................
BAB III METODE PENGUMPULAN DATA, PERENCANAAN DAN PEMILIHAN

INTERVENSI

A. Jenis Dan Rancangan Penelitian................................................

B. Waktu dan Tempat Pengumpulan Data.....................................

C. Populasi dan Sampel .................................................................

1. Populasi........................................................................

2. Sampel..........................................................................

D. Jenis Dan Cara Pengumpulan Data ...........................................

E. Pengolahan Data........................................................................

F. Etika Penelitian..................................................................

BAB IV. PROFIL PUSKESMAS

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .........................................

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian..........................................................................

B. Diskusi.......................................................................................

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ......................................................................

B. Saran................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Program pemberantasan penyakit menular bertujuan untuk mencegah terjadinya

penyakit, menurunkan angka kesakitan dan angka kematian serta mencegah akibat buruk

lebih lanjut sehingga memungkinkan tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.

Kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih merupakan masalah nasional

kesehatan masyarakat, dimana beberapa daerah di Indonesia prevalensi rate masih tinggi

dan permasalahan yang ditimbulkan sangat kompleks.

Penyakit kusta pada saat ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan di

dunia. Kecacatan yang sering timbul akibat penyakit ini merupakan ancaman terhadap

sumber daya manusia yang diperlukan dalam pembangunan. Ancaman yang dimaksud

tidak hanya berasal dari segi kesehatan tetapi meluas sampai dengan segi sosial dan

ekonomi. Kemajuan teknologi bidang promotif, pencegahan, dan pengobatan seharusnya

menjadikan penyakit kusta sudah tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat lagi, akan

tetapi sebagian negara di dunia masih mempunyai penyakit kusta sebagai salah satu

masalah kesehatan di negaranya.

Kusta atau juga dikenal sebagai lepra atau Morbus Hansen merupakan penyakit

menular yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Penyakit ini masih menjadi

masalah kesehatan di beberapa negara sedang berkembang, dan bila perkembangan

penyakit ini tidak ditangani secara cermat dapat menyebabkan kecacatan bagi

penderitanya yang berakibat terganggunya kualitas sumber daya manusia, sehingga akan

menjadi halangan dalam memenuhi kebutuhan sosial ekonomi. Penyakit ini sangat
ditakuti bukan karena menyebabkan kematian melainkan lebih banyak menyebabkan

kecacatan yang permanen.

Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami peningkatan kasus baru

kusta setiap tahunnya. Hal ini menjadikan Indonesia menduduki peringkat ketiga di dunia

setelah India dan Brazil sebagai negara dengan jumlah kasus kusta tertinggi. Prevalensi

kusta di Indonesia sebesar 0.70 kasus/10.000 penduduk dan angka penemuan kasus baru

(NCDR) sebesar 8.08 kasus/10.000 penduduk pada tahun 2017. Berdasarkan data Profil

Kesehatan Indonesia 2015-2017 Kemeterian Kesehatan RI, semua provinsi di Sulawesi,

Maluku, dan Papua merupakan provinsi dengan angka penemuan kasus baru yang tinggi

(jumlah kasus baru lebih dari 1.000). Jawa Timur sebagai satu-satunya provinsi di

wilayah barat Indonesia yang memiliki jumlah kasus baru yang tinggi pada tahun 2015-

2016.

Penyakit ini bersifat kronis pada manusia, yang bisa menyerang saraf-saraf dan

kulit. Bila dibiarkan begitu saja tanpa diobati, maka akan menyebabkan cacat-cacat

jasmani yang berat. Namun, penularan penyakit kusta ke orang lain memerlukan waktu

yang cukup lama tidak seperti penyakit menular lainnya. Penyakit ini sering

menyebabkan tekanan batin pada penderita dan keluarganya, bahkan sampai menggangu

kehidupan sosial mereka.

Kusta memberikan stigma yang sangat besar pada masyarakat, sehingga penderita

kusta tidak hanya menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga menyebabkan

penderitaan psikis dan sosial seperti dijauhi atau dikucilkan oleh masyarakat. Penyakit

ini sangat ditakuti, bukan karena menyebabkan kematian melainkan lebih banyak oleh

karena cacat permanen yang ditimbulkannya


Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) sebagai ujung tombak pelayanan

kesehatan masyarakat merupakan salah satu tataran pelaksanaan pendidikan dan

pemantauan kesehatan masyarakat. Pemantauan dan deteksi penyakit kusta sedini

mungkin merupakan kerjasama antara petugas kesehatan dengan masyarakat.

Mengingat pentingnya pengetahuan penyakit kusta pada masyarakat, sehingga

diperlukan pengetahuan dasar yang memadai pada masyarakat dalam mendeteksi dini

penyaki kusta. Atas latar belakang tersebut dilaksanakan mini project berupa penelitian

untuk mengetahui gambaran pengetahuan masyarakat, seberapa jauh masyarakat

mengetahui kejadian penyakit kusta beserta deteksi dan intervensi dini pada anak.

B. Rumusan Masalah

1. Gambaran Pengetahuan Masyarakat Tentang Penyakit Kusta

2. Berapa jumlah kasus baru berdasarkan Jenis kelamin di wilayah kerja Puskesmas

Meomeo Periode Juli 2022 – November 2022

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat mengenai penyakit kusta

sehingga diharapkan dapat menjadi dasar dalam melakukan intervensi untuk menurunkan

prevalensi penyakit kusta di wilayah kerja Puskesmas Meomeo

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat mengenai penyakit kusta


sehingga diharapkan dapat menjadi dasar dalam melakukan intervensi untuk
menurunkan prevalensi penyakit kusta di wilayah kerja Puskesmas Meomeo
b. Mengetahui jumlah kasus baru penyakit kusta di wilayah kerja Puskesmas
Meomeo Periode Juli 2022 – November 2022
D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat bagi Penulis

a. Berperan serta dalam upaya deteksi dan intervensi dini Penyakit kusta

b. Mengaplikasikan pengetahuan mengenai program deteksi dan intervensi dini penyakit

kusta

c. Melaksanakan mini project dalam rangka program internship dokter Indonesia

2. Manfaat bagi Puskesmas

a. Memberi gambaran prevalensi penyakit kusta di wilayah Puskesmas Meomeo

b. Mengetahui gambaran tingkat pengetahuan masyarakat mengenai penyakit kusta

sehingga dapat diketahui sejauh mana upaya edukasi perlu diberikan.

c. Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas Meomeo dalam peningkatan pelayanan

kesehatan baik dalam hal penemuan kasus kusta baru, penatalaksanaan kepada pasien

kusta dilakukan secara holistik dan komprehensif serta mempertimbangkan aspek

keluarga dalam kesembuhan, maupun pencegahan penularan penyakit kusta.

3. Manfaat bagi Masyarakat

a. Membantu meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap penyakit kusta

b. Keluarga menjadi lebih memahami mengenai masalah kesehatan yang ada dalam

lingkungan keluarga.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Penyakit kusta adalah suatu penyakit infeksi granulo matosa menahun yang

disebabkan oleh organisme intraseluler obligat M.leprae.Awalnya, kuman ini menyerang

susunan saraf tepi, lalu menyerang kulit, mukosa, saluran napas, retikuloendotelial,

mata, otot, tulang, dan testis. Penyakit kusta dinamakan juga sebagai Lepra, Morbus

Hansen, Hanseniasis, Elephantiasis Graecorum, Satyriasis, Lepra Arabum, Leontiasis,

Kushta, Melaats, Mal de San Lazaro.

B. Epidemiologi

Penyakit kusta menyebar di seluruh dunia, namun sebagian kasus yang terjadi

pada daerah tropis dan sub tropis.Konsultan rehabilitasi kusta dari lembaga Netherlands

Leprasy Relief, Indonesia menempati urutan ketiga di dunia dengan penderita terbanyak

setelah India dan Brazil. Penyebaran penyakit ini dapat terjadi karena beberapa hal

termasuk distribusi geografis.Sejarah penyebaran penyakit kusta di Indonesia diduga

dibawa oleh pendatang dari India yang datang ke Indonesia untuk meyebarkan agamanya

dan berdagang.

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen

PP & PL) telah menetapkan 33 provinsi di Indonesia kedalam dua kelompok beban kusta

yaitu kelompok dengan beban kusta tinggi (high endemic) dan beban kusta rendah (low

endemic). Berdasarkan data dari Ditjen PP&PL, Kemenkes RI tahun 2011, pada tahun

2010 dilaporkan terdapat kasus baru penyakit kusta dengan jenis Multi Basiler sebanyak
13.734 dan kasus tipe Pausi Basiler sebanyak 3.278 dengan Newly Case Detection Rate

(NCDR) sebesar 7,22 per 100.000 penduduk.

C. Klasifikasi

Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka untuk tahap selanjutnya

harus ditetapkan tipe atau klasifikasinya. Penyakit kusta dapat diklasifikasikan

berdasarkan manifestasi klinis (jumlah lesi, jumlah saraf yang terganggu), hasil

pemeriksaan bakteriologi, pemeriksaan histopatologi dan pemeriksaan imunologi.

Klasifikasi bertujuan untuk:

I. Menentukan rejimen pengobatan, prognosis dan komplikasi.

II. Perencanaan operasional, seperti menemukan pasien-pasien yangmenularkan dan

memiliki nilai epidemiologi yang tinggi sebagai target utama pengobatan.

III. Identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat.

Terdapat banyak jenis klasifikasi penyakit kusta diantaranya adalah klasifikasi

Madrid, klasifikasi Ridley-Jopling, klasifikasi India dan klasifikasi menurut WHO.

I. Klasifikasi Internasional: klasifikasi Madrid (1953) Pada klasifikasi ini penyakit

kusta dibagi atas Indeterminate (I), Tuberculoid (T), Borderline-Dimorphous (B),

Lepromatous (L). Klasifikasi ini merupakan klasifikasi paling sederhana

berdasarkan manifestasi klinis, pemeriksaan bakteriologis, dan pemeriksaan

histopatologi, sesuai rekomendasi dari International Leprosy Association di

Madrid tahun 1953.

II. Klasifikasi Ridley-Jopling (1966): pada klasifikasi ini penyakit kusta adalah suatu

spektrum klinis mulai dari daya kekebalan tubuhnya rendah pada suatu sisi

sampai mereka yang memiliki kekebalan yang tinggi terhadap M.leprae di sisi
yang lainnya. Kekebalan seluler (cell mediated imunity = CMI) seseorang yang

akan menentukan apakah dia akan menderita kusta apabila individu tersebut

mendapat infeksi M.leprae dan tipe kusta yang akan dideritanya pada spektrum

penyakit kusta. Sistem klasifikasi ini banyak digunakan pada penelitian penyakit

kusta, karena bisa menjelaskan hubungan antara interaksi kuman dengan respon

imunologi seseorang, terutama respon imun seluler spesifik. Kelima tipe kusta

menurut Ridley-Jopling adalah tipe Lepromatous (LL), tipe Borderline

Lepromatous (BL), tipe Mid- Borderline (BB), tipe Borderline Tuberculoid (BT),

dan tipe Tuberculoid (T).

III. Pada tahun 1982, WHO mengembangkan klasifikasi untuk memudahkan

pengobatan di lapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh penderita kusta hanya

dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe Pausibasiler (PB) dan tipe Multibasiler (MB).

Sampai saat ini Departemen Kesehatan Indonesia menerapkan klasifikasi menurut

WHO sebagai pedoman pengobatan penderita kusta. Dasar dari klasifikasi ini

berdasarkan manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan bakteriologi.


Tabel 1. Pedoman utama dalam menentukan klasifikasi / tipe penyakit kusta
menurut WHO (1982)

TANDA UTAMA PAUSIBASILER (PB) MULTIBASILER (MB)

Bercak Kusta Jumlah 1 sampai dengan 5 Jumlah lebih dari 5


Penebalan saraf tepi yang disertai Hanya satu saraf Lebih dari satu saraf
dengan gangguan fungsi (gangguan
fungsi bisa berupa kurang/mati rasa
atau kelemahan otot yang dipersarafi
oleh saraf yang bersangkutan.
Pemeriksaan Bakteriologi Tidak dijumpai Dijumpai basil
basil tahan asam tahan asam
(BTA negatif) (BTA positif)

Tabel 2. Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam penentuan klasifikasi


menurut WHO (1982) pada penderita kusta

KELAINAN KULIT DAN PAUSIBASILER (PB) MULTIBASILER (MB)


HASIL PEMERIKSAAN
1. Bercak (makula) mati rasa
Ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil
Distribusi Unilateral atau bilateral Bilateral simetris
Asimetris
Konsistensi Kering dan kasar Halus, berkilat
Batas Tegas Kurang Tegas
Kehilangan rasa pada bercak Selalu ada dan tegas Biasanya tidak jelas, jika ada,
terjadi pada yang sudah lanjut
Kehilangan kemampuan Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas, jika ada,
berkeringat, rambut rontok terjadi pada yang sudah lanjut
pada bercak
2. Infiltrat
Kulit Tidak ada Ada, kadang-kadang tidak
ada
Membran mukosa Tidak pernah ada Ada, kadang-kadang tidak ada
Ciri-ciri Central healing - Punched out lession
- Madarosis
- Ginekomasti
- Hidung pelana
- Suara sengau
Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
Deformitas Terjadi dini Biasanya asimetris
D. Etiologi

Mycobakterium Leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit

kusta yang ditemukan oleh sarjana dari Norwegia GH.Armauer Hansen padatahun 1873.

Kuman ini bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 µ, lebar 0,2-0,5 µ,

biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan

yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan. Penyakit kusta dapat

ditularkan dari penderita kusta tipe multibasilar (MB) kepada orang lain dengan cara

penularan langsung. Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi sebagian besar

para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran pernafasan

dan kulit. Penularan terjadi apabila Mycobacterium Leprae yang masih hidup (solid)

keluar dari tubuh penderita dan masuk kedalam tubuh orang lain. Belum diketahui secara

pasti bagaimana cara penularan penyakit kusta, secara teoritis penularan dapat terjadi

dengan cara kontak erat dan lama dengan penderita. Luka dikulit dan mukosa hidung

telah lama dikenal sebagai sumber dari kuman dan terbukti bahwa saluran nafas bagian

atas penderita tipe Lepromatous merupakan sumber kuman yang terpenting di

lingkungan. Kusta mempunyai masa inkubasi 2-5 tahun, dapat juga beberapa bulan

sampai beberapa tahun.

Unsur kimia utama dari M. leprae bersifat antigenik, tetapi M. leprae

mengandung antigen yang relatif sedikit (sekitar 20) yang dikenali antibodi di dalam

serum pasien penderita lepra dibandingkan dengan BCG (sekitar 100), dan banyak

diantaranya yang bersifat antigenik lemah. Hingga tahun 1981, saat Brennan melaporkan

phenolic glikolipid dan menunjukkan bahwa phenolic glikolipid bersifat spesifik pada M.

leprae, semua antigen yang diidentifikasi sampai sejauh ini umumnya bereaksi-silang
dengan Mycobacteria lainnya, walaupun ada sebagian kecil molekul, suatu epitope, yang

spesifik pada M. leprae. Spesifisitas epitope memungkinkan tes antibodi spesifik bisa

ditetapkan dengan menggunakan serum yang telah diabsorbsi dengan spesies

Mycobacteria lainnya

E. Faktor Resiko Penyakit Kusta

1. Distribusi menurut faktor manusia

a. Etnik atau suku

Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat

dilihat karena faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu Negara atau wilayah

yang sama kondisi lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena

faktor etnik.

Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma

dibandingkan dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal

yang sama, kejadian kusta lepromatosa lebih banyak pada etnik China dibandingkan

etnik Melayu atau India.

Demikian pula kejadian di Indonesia etnik Madura dan Bugis lebih banyak

menderita kusta dibandingkan etnik Jawa atau Melayu. Di Indonesia, penderita

kusta terdapat hampir di seluruh daerah dengan penyebaran yang tidak merata.

Suatu kenyataan, di Indonesia bagian timur terdapat angka kesakitan kusta yang

lebih tinggi. Penderta kusta 90 % tinggal diantara keluarga mereka dan hanya

beberapa pasien saja yang tinggal di Rumah Sakit kusta, koloni penampungan atau

perkampungan kusta.
b. Faktor sosial ekonomi

Sudah diketahui bahwa faktor social ekonomi berperan penting dalam kejadian

kusta. Hal ini terbukti pada Negara-negara di Eropa. Dengan adanya peningkatan

sosial ekonomi, maka kejadian kusta sangat cepat menurun bahkan hilang. Kasus

kusta impor pada Negara tersebut ternyata tidak menularkan kepada orang yang

sosial ekonominya tinggi. Kegagalan kasus kusta impor untuk menularkan pada

kasus kedua di Eropa juga disebabkan karena tingkat sosial ekonomi yang tinggi.

c. Distribusi menurut umur

Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta menurut umur

berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden karena pada saat

timbulnya penyakit sangat sulit diketahui. Dengan kata lain kejadian penyakit sering

terkait pada umur pada saat diketemukan dari pada saat timbulnya penyakit. Pada

penyakit kronik seperti kusta, informasi berdasarkan data prevalensi dan data umur

pada saat timbulnya penyakit mungkin tidak menggambarkan resiko spesifik umur.

Kusta diketahui terjadi pada semua umur berkisar antara bayi sampai umur tua (3

minggu sampai lebih dari 70 tahun). Namun yang terbanyak adalah pada umur muda

dan produktif.

d. Distribusi menurut jenis kelamin

Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Menurut catatan sebagian

besar Negara di dunia kecuali dibeberapa Negara di Afrika menunjukkan bahwa

laki-laki lebih banyak terserang daripada wanita.


Relatif rendahnya kejadian kusta pada perempuan kemungkinan karena faktor

lingkungan atau faktor biologi. Seperti kebanyakan penyakit menular lainnya laki-

laki lebih banyak terpapar dengan faktor resiko sebagai akibat gaya hidupnya.

2. Faktor-faktor yang menentukan terjadinya sakit kusta

a. Penyebab

Penyebab penyakit kusta yaitu Mycobacterium leprae dimana untuk pertama

kali ditemukan oleh G.H. Armauer Hansen pada tahun 1873. Mycobacterium leprae

hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan cell)

dan sel dari system retikuloendotelial. Waktu pembelahan sangat lama, yaitu 2-3

minggu. Di luar tubuh manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dari secret nasal

dapat bertahan sampai 9 hari. Pertumbuhan optimal in vivo kuman kusta pada tikus

adalah pada suhu 27-30OC.

b. Sumber Penularan

Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini yang dianggap sebagai sumber

penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse dan pada

telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar thymus (Athymic nude mouse).

c. Cara Keluar dari Pejamu (Host)

Sumber penularan penyakit ini adalah Penderita Kusta Multi basiler (MB) atau

Kusta Basah. Mukosa hidung telah lama dikenal sebagai sumber dari kuman. Suatu

kerokan hidung dari penderita tipe Lepromatous yang tidak diobati menunjukkan

jumlah kuman sebesar 1010 dan telah terbukti bahwa saluran napas bagian atas dari

penderita tipe Lepromatous merupakan sumber kuman yang terpenting di dalam

lingkungan. Penularan bisa melalui udara ketika kontak erat dan lama dengan pasien
kusta. Ibu penderita kusta sangat mungkin menularkan penyakit kepada anak dan

keluarganya.

d. Cara Penularan

Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi dapat

juga bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila Mycobacterium leprae yang utuh

(hidup) keluar dari tubuh penderita dan masuk kedalam tubuh orang lain. Belum

diketahui secara pasti bagaimana cara penularan penyakit kusta. Secara teoritis

penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang lama dengan penderita.

Penderita yang sudah minum obat sesuai regimen WHO tidak menjadi sumber

penularan kepada orang lain. Masa inkubasi kusta yang panjang, bisa lebih dari 10

tahun dan tanpa rasa sakit menyebabkan pengidap kerap tidak menyadari dirinya

terkena kusta.

e. Cara Masuk ke dalam Pejamu

Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh pejamu sampai saat ini belum

dapat dipastikan. Diperkirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernapasan

bagian atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh.

f. Pejamu (Tuan rumah = Host)

Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan

penderita, hal ini disebabkan karena adanya imunitas. Mycobacterium leprae

termasuk kuman obligat intraseluler dan sistem kekebalan yang efektif adalah sistem

kekebalan seluler. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta

faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta.
Dari studi keluarga kembar didapatkan bahwa faktor genetic mempengaruhi tipe

penyakit yang berkembang setelah infeksi.

Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta, hanya sebagian kecil yang

dapat ditulari (5%). Dari 5% yang tertular tersebut, sekitar 70% dapat sembuh

sendiri dan hanya 30% yang menjadi sakit.

Contoh: dari 100 orang yang terpapar: 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang

sembuh sendiri tanpa obat, 2 orang menjadi sakit dimana hal ini belum

memperhitungkan pengaruh pengobatan.

Seseorang dalam lingkungan tertentu akan termasuk dalam salah satu dari 3

kelompok berikut ini yaitu:

1. Pejamu yang mempunyai kekebalan tubuh tinggi merupakan kelompok

terbesar yang telah atau akan menjadi resisten terhadap kuman kusta.

2. Pejamu yang mempunyai kekebalan rendah terhadap kuman kusta, bila

menderita penyakit kusta biasanya tipe PB.

Pejamu yang tidak mempunyai kekebalan terhadap kuman kusta yang merupakan

kelompok terkecil, bila menderita kusta biasanya tipe MB.

F. Patofisiologi

Meskipun cara masuk Mycobakterium Leprae kedalam tubuh masih belum

diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering

ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa

nasal. Pengaruh Mycobakterium Leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas

seseorang, kemampuan hidup Mycobakterium Leprae pada suhu tubuh yang rendah,

waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulen dan nontoksis.
Mycobakterium Leprae merupakan parasit obligat intraselular yang terutama terdapat

pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superficial pada dermis atau sel Schwann di

jaringan saraf. Bila kuman Mycobakterium Leprae masuk kedalam tubuh, maka tubuh

akan beraksi mengeluarkan makrofag untuk memfagositnya.

Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan demikian

makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi

dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan. Pada kusta tipe TT kemampuan

fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan

kuman. Sayangnya setelah kuman di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel

epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel Dantia

Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa

epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitarnya. Sel Schwann

merupakan sel target untuk pertumbuhan Mycobakterium Leprae, di samping itu sel

Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit berfungsi sebagai fagositosis.

Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman dapat bermigrasi

dan beraktivasi.Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf

yang progresif.

Respon imun pada penyakit kusta sangat kompleks, dimana melibatkan respon

imun seluler dan humoral. Sebagian besar gejala dan komplikasi penyakit ini disebabkan

oleh reaksi imunologi terhadap antigen yang dimiliki oleh M. leprae. Jika respon imun

yang terjadi setelah infeksi cukup baik, maka multiplikasi bakteri dapat dihambat pada

stadium awal sehingga dapat mencegah perkembangan tanda dan gejala klinis

selanjutnya.
M. leprae merupakan bakteri obligat intraseluler, maka respon imun yang

berperan penting dalam ketahanan tubuh terhadap infeksi adalah respon imun seluler.

Respon imun seluler merupakan hasil dari aktivasi makrofag dengan meningkatkan

kemampuannya dalam menekan multiplikasi atau menghancurkan bakteri. Respon imun

humoral terhadap M. leprae merupakan aktivitas sel limfosit B yang berada dalam

jaringan limfosit dan aliran darah. Rangsangan dari komponen antigen basil tersebut akan

mengubah sel limfosit B menjadi sel plasma yang akan menghasilkan antibodi yang akan

membantu proses opsonisasi. Namun pada penyakit kusta, fungsi respon imun humoral

ini tidak efektif, bahkan dapat menyebabkan timbulnya beberapa reaksi kusta karena

diproduksi secara berlebihan yang tampak pada kusta lepromatosa.

G. Diagnosis

Berdasarkan WHO tahun 1997, penyakit kusta didiagnosis berdasarkan adanya 3

tanda kardinal. Diagnosis ditegakkan apabila individu memiliki satu atau lebih tanda

kardinal berikut

I. Lesi kulit hipopigmentasi atau eritematosa yang disertai dengan gangguan atau

hilangnya sensasi.

Makula atau plak hipopigmentasi, hiperpigmentasi, eritematosa atau

berwarna seperti tembaga. Permukaan dapat kering atau kasar karena hilangnya

fungsi kelenjar keringat, dapat pula mengkilap. Anestesi merupakan hal yang

spesifik untuk penyakit kusta. Pemeriksaan adanya gangguan sensorik dilakukan

terhadap rasa raba, nyeri dan suhu.

II. Keterlibatan saraf tepi berupa penebalan saraf.


Saraf yang paling sering terkena adalah nervus ulnaris dan peroneus

komunis. Adanya pembesaran saraf yang lebih dari satu biasanya lebih sering

ditemukan pada kusta tipe MB. Penebalan saraf diketahui dengan pemeriksaan

palpasi. Evaluasi meliputi rasa nyeri (nyeri spontan atau dengan palpasi),

konsistensi (lunak, keras) dan ukuran (membesar, normal atau kecil).

III. Pemeriksaan hapusan sayatan kulit ditemukan basil tahan asam

Pemeriksaan hapusan sayatan kulit dapat diambil dari mukosa nasal, lobus

telinga dan lesi kulit. Pewarnaan dilakukan dengan metode Ziehl-Neelsen.

Berdasarkan pemeriksaan hapusan kulit dapat ditentukan indeks bakteri (IB) dan

indeks morfologi (IM) yang membantu dalam menentukan tipe kusta dan evaluasi

terapi

IV. Pemeriksaan Serologi

Tes serologi merupakan tes diagnostik penunjang yang paling banyak

dilakukan saat ini. Selain untuk penunjang diagnostik klinis penyakit kusta, tes

serologi juga dipergunakan untuk diagnosis infeksi M. leprae sebelum timbul

manifestasi klinis. Uji laboratorium ini diperlukan untuk menentukan adanya

antibodi spesifik terhadap M. leprae di dalam darah. Dengan diagnosis yang tepat,

apalagi jika dilakukan sebelum timbul manifestasi klinis lepra diharapkan dapat

mencegah penularan penyakit sedini mungkin.

Pemeriksaan serologis kusta yang kini banyak dilakukan cukup banyak

manfaatnya, khususnya dalam segi seroepidemiologi kusta di daerah endemik.

Selain itu pemeriksaan ini dapat membantu diagnosis kusta pada keadaan yang

meragukan karena tanda-tanda klinis dan bakteriologis tidak jelas. Karena yang
diperiksa adalah antibodi spesifik terhadap basil kusta maka bila ditemukan

antibodi dalam titer yang cukup tinggi pada seseorang maka patutlah dicurigai

orang tersebut telah terinfeksi oleh M.leprae. Pada kusta subklinis seseorang

tampak sehat tanpa adanya penyakit kusta namun di dalam darahnya ditemukan

antibodi spesifik terhadap basil kusta dalam kadar yang cukup tinggi

Beberapa jenis pemeriksaan serologi kusta yang banyak digunakan, antara

lain:

a) Uji FLA-ABS (Fluorescent leprosy Antibodi-Absorption test)

Uji ini menggunakan antigen bakteri M. leprae secara utuh

yang telah dilabel dengan zat fluoresensi. Hasil uji ini memberikan

sensitivitas yang tinggi namun spesivisitasnya agak kurang karena

adanya reaksi silang dengan antigen dari mikrobakteri lain.

b) Radio Immunoassay (RIA)

Uji ini menggunakan antigen dari M. leprae yang dibiakkan

dalam tubuh Armadillo yang diberi label radio aktif.

c) Uji MLPA (Mycobacterium leprae particle agglutination)

Uji ini berdasarkan reaksi aglutinasi antara antigen sintetik

PGL-1 dengan antibodi dalam serum. Uji MLPA merupakan uji yang

praktis untuk dilakukan di lapangan, terutama untuk keperluan

skrining kasus seropositif.

d) Antibodi monoklonal (Mab) epitop MLO4 dari protein 35-kDa

M.leprae menggunakan M. leprae sonicate (MLS) yang spesifik dan

sensitif untuk serodiagnosis kusta. Protein 35-kDa M. leprae adalah


suatu target spesifik dan yang utama dari respon imun seluler terhadap

M. leprae, merangsang proliferasi sel T dan sekresi interferon gamma

pada pasien kusta dan kontak.

e) Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Assay)

Uji ELISA pertama kali digunakan dalam bidang imunologi

untuk menganalisis interaksi antara antigen dan antibodi di dalam

suatu sampel, dimana interaksi tersebut ditandai dengan menggunakan

suatu enzim yang berfungsi sebagai penanda. Dalam perkembangan

selanjutnya, selain digunakan sebagai uji kualitatif untuk mengetahui

keberadaan suatu antibodi atau antigen dengan menggunakan antibodi

atau antigen spesifik, teknik ELISA juga dapat diaplikasikan dalam uji

kuantitatif untuk mengukur kadar antibodi atau antigen yang diuji

dengan menggunakan alat bantu berupa spektrofotometer.Prinsip uji

ELISA adalah mengukur banyaknya ikatan antigen antibodi yang

terbentuk dengan diberi label (biasanya berupa enzim) pada ikatan

tersebut, selanjutnya terjadi perubahan warna yang dapat diukur

dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang tertentu.

Pemeriksaan ini umumnya menggunakan plat mikro untuk tempat

terjadinya reaksi. Terdapat tiga metode ELISA, antara lain:

I. Direct ELISA

Pada direct ELISA, antigen melekat pada fase solid dan

bereaksi dengan antibodi sekunder yang dilabel enzim, kemudian


ditambahkan substrat sehingga terjadi perubahan warna yang dapat

diukur dengan spektrofotometer.

II. Indirect ELISA

Pada indirect ELISA, antigen melekat pada fase solid dan

bereaksi dengan antibodi primer, kemudian dilakukan penambahan

antibodi sekunder yang dilabel enzim dan terjadi reaksi antara

antibodi primer dengan antibodi sekunder yang dilabel enzim,

kemudian ditambahkan substrat sehingga terjadi perubahan warna

yang dapat diukur dengan spektrofotometer.

III. Sandwich ELISA.

Pada sandwich ELISA, prinsip kerjanya hampir sama

dengan direct ELISA, hanya saja pada sandwich ELISA, larutan

antigen yang diinginkan tidak perlu dipurifikasi. Dalam bidang

penyakit kusta, uji ELISA dapat dipakai untuk mengukur kadar

antibodi terhadap basil kusta, misalnya antibodi anti PGL-1,

antibodi anti protein 35kD, dan lain-lain. Kelas antibodi yang

diperiksa juga ditentukan, misalnya IgM anti PGL-1, IgG anti

PGL-1 dan sebagainya. Untuk antibodi anti PGL-1 biasanya IgM

lebih dominan dibandingkan IgG. Pemeriksaan ELISA

dikembangkan menggunakan reagen poliklonal atau monoklonal

yang telah terbukti sangat spesifisik terhadap residu gula dari PGL-

1 dan memungkinkan deteksi titer anti PGL-1 pada pasien kusta

atau kontak serumah. Untuk menentukan nilai ambang (cut off)


dari hasil uji ELISA ini, biasanya ditentukan setelah mengetahui

nilai setara individu yang sakit kusta dan yang tidak sakit kusta. Di

daerah Jawa Timur, nilai ambang untuk antibodi IgM anti PGL-1

telah diketahui sekitar 605 µ/ml.Pada penelitian ini akan

menggunakan metode indirect ELISA untuk mengukur kadar

antibodi IgM anti PGL-1 pada penderita kusta. Salah satu

keuntungan dari uji ELISA adalah sensitif karena dapat mendeteksi

dari level 0,01 µg/ml.

H. Penatalaksanaan

Melalui pengobatan, penderita diberikan obat-obat yang dapat membunuh kuman

kusta, dengan demikian pengobatan akan memutuskan mata rantai penularan,

menyembuhkan penyakit penderita, dan mencegah terjadinya cacat atau mencegah

bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Dengan hancurnya kuman

maka sumber penularan dari penderita terutama tipe MB ke orang lain terputus. Penderita

yang sudah dalam keadaan cacat permanen, penggobatan hanya dapat cacat lebih lanjut.

Penderita kusta yang tidak minum obat secara teratur maka kuman kusta dapat menjadi

aktif kembali, sehingga timbul gejala-gejala baru pada kulit dan saraf yang dapat

memperburuk keadaan. Melalui pengobatan, penderita diberikan obat-obat yang dapat

membunuh kuman kusta dengan demikian pengobatan akan memutuskan mata rantai

penularan, menyembuhkan penyakit penderita dan mencegah terjadinya cacat atau

mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan.

Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk mematikan kuman kusta sehingga

tidak berdaya merusak jaringan tubuh dan tanda-tanda penyakit jadi kurang aktif sampai
akhirnya hilang. Hancurnya kuman maka sumber penularan dari penderita terutama tipe

MB ke orang lain terputus Penderita yang sudah dalam keadaan cacat permanen,

pengobatan hanya dapat mencegah cacat lebih lanjut.Bila penderita kusta tidak minum

obat secara eratur, maka kuman kusta dapat menjadi aktif kembali sehingga timbul

gejala-gejala baru pada kulit dan saraf yang dapat memperburuk keadaan.Di sinilah

pentingnya pengobatan sedini mungkin dan teratur.Selama dalam pengobatan penderita-

penderita dapat terus bersekolah atau bekerja seperti biasa dapat mencegah cacat lebih

lanjut.Bila penderita kusta tidak minum obat secara teratur, maka kuman kusta dapat

menjadi aktif kembali sehingga timbul gejala-gejala baru pada kulit dan saraf yang dapat

memperburuk keadaan.Di sinilah pentingnya pengobatan sedini mungkin dan

teratur.Selama dalam pengobatan penderita-penderita dapat terus bersekolah atau bekerja

seperti biasa.\

Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan regimen pengobatan yang

direkomendasikan oleh WHO regimen tersebut adalah sebagai berikut:

I. Penderita Pauci Baciler (PB) Dewasa : Pengobatan bulanan: hari pertama

(dosis yang diminum di depan petugas) 2 kapsul Rifampisin @300 mg (600

mg) + 1 tablet Dapsone/DDS 100 mg. Pengobatan harian: hari ke 2-28, 1

tablet dapsone/DDS 100 mg 1 blister untuk 1 bulan. Lama pengobatan: 6

blister diminum selama 6-9 bulan

II. Penderita Multi-Basiler (MB): Dewasa : Pengobatan bulanan: hari pertama

(dosis yang diminum di depan petugas) 2 kapsul Rifampisin @300 mg (600

mg) + 3 tablet Lampren (clofazim) @100 mg (300 mg) + 1 tablet

Dapsone/DDS 100 mg. Pengobatan harian: hari ke 2-28 : 1 tablet Lampren 50


mg + 1 tablet Dapsone/DDS 100 mg 1 blister untuk 1 bulan. Lama

pengobatan: 12 blister diminum selama 12-18 bulan

III. Dosis MDT menurut umur bagi dewasa dan anak usia 10-14 tahun tersedia

paket dalam bentuk blister. Dosis anak disesuaikan dengan berat badan.

Rifampisin : 10 mg/kg BB, DDS : 2 mg/kg BB, Clofazimin : 1 mg/kg BB

I. Pencegahan

Secara umum, penyakit kusta dapat dicegah dengan terjanganya kebersihan diri

dan lingkungan.Secara luas, penyakit kusta dapat ditekan dengan adanya perbaikan pada

kondisi sosial ekonomi masyarakat di suatu daerah.Hal ini dikarenakan penyakit kusta

diduga dapat dengan mudah menular melalui penderita kusta apabila disokong oleh

lingkungan dan kebersihan diri yang buruk. Adapun usaha untuk pemutusan rantai

penularan penyakit kusta dapat dilakukan melalui :

I. Pengobatan MDT penderita kusta

II. Isolasi terhadap penderita kusta. Namun hal ini tidak dianjurkan karena

penderita yang sudah berobat tidak akan menularkan penyakitnya ke orang

lain.

III. Melakukan vaksinasi BCG pada kontak serumah dengan penderita kusta. Dari

hasil penelitian di Malawi, tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi

BCG satu dosis dapat memberikan perlindungan sebesar 50%, dengan

pemberian dua dosis dapat memeberikan perlindungan terhadap kusta hingga

80%. Namun demikian penemuan ini belum menjadi kebijakan program di

Indonesia dan masih memerlukan penelitian lebih lanjut, karena penelitian

dibeberapa negara memberikan hasil yang berbeda.


BAB III

METODE PENGUMPULAN DATA, PERENCANAAN DAN PEMILIHAN INTERVENSI

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian Deskriptif dengan rancangan

untuk mengetahui atau melihat gambaran tingkat pengetahuan masyarakat terhadap penyakit

kusta di Puskesmas Meomeo tahun 2022 serta kejadian baru penyakit kusta di Puskesmas

Meomeo Periode Juni 2022 – November 2022. Serta mengadakan analisa tentang gambaran

tersebut dengan pengamatan lisan dengan alat bantu penelitian berupa kuesioner, dimana

data dan informasi yang menyangkut variable bebas dan variable terikat dikumpulkan dalam

waktu yang bersamaan. Pemilihan rancangan ini didasarkan karena mudah dilaksanakan,

ekonomis dan efektif dari segi biaya dan waktu, sedangkan hasilnya dapat diperoleh dengan

cepat dan tepat.

B. Waktu dan Tempat Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan pada Periode Juni 2022 – November 2022 di

Puskesmas Meomeo.

Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua masyarakat yang berkunjung di

Meomeo Periode Juni 2022 – November 2022

Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti, dan

dianggap dapat mewakili seluruh populasi. Dalam hal ini sampel diambil adalah
warga yang tinggal di wilayah puskesmas MeoMeo yaitu sebanyak 8 orang dan warga

yang datang berobat dan positif terkena kusta di Puskesmas MeoMeo

Teknik Pengambilan Sampel Metode pengambilan sampel pada penelitian ini

yaitu dengan cara Consecutive Sampling, yaitu cara pengambilan sampel yang

dilakukan dengan cara memilih sampel yang memenuhi kriteria penelitian sampai

kurun waktu tertentu sehingga jumah sampel terpenuhi. Kriteria yang ditentukan

peneliti pada penelitian ini yaitu warga yang tinggal disekitar puskesmas kanjilo.

Dalam pengumpulan data ini dilakukan langsung oleh peneliti dengan melakukan

pengisian kuesioner masyarakat yang berkunjungan puskesmas Meomeo pada

responden sampel terpenuhi untuk mendapatkan data primer

Menurut Notoatmodjo (2002) yang dimaksud dengan kerangka konsep

penelitian adalah suatu hubungan atau keterkaitan antara konsep yang satu dengan

konsep yang lainnya dari masalah yang diteliti

Pengetahuan Masyarakat Sikap dan Perilaku


mengenai kusta Prevalensi
Masyarakat dalam
Pencegahan Kusta
Kusta

Untuk pengukuran pengetahuan dapat dilakukan melalui penyebaran

kuesioner dengan cara tatap muka yang menanyakan tentang isi materi yang ingin

diukur dari objek penelitian atau responden berdasarkan teori yang ada di tinjauan

pustaka. Dengan metode skoring diberikan :

- Bila salah nilai = 0

- Bila benar nilai = 1


Dengan cara penilaian =

Nilai yang diberi x 100%

Jumlah item pertanyaan

Dengan kategori rendah jika jawaban < 55 % dari total nilai, dan kategori sedang bila

56 – 75 %, serta kategori tinggi ≥ 76 % dari total nilai (Riduwan, 2009)

C. Jenis Dan Cara Pengumpulan Data

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampling jenuh. Yaitu teknik

pengambilan sample bila semua anggota populasi digunakan sebagai sample. Hal ini

dilakukan jika jumlah populasi relative kecil.

Dalam pengumpulan data ini dilakukan langsung oleh peneliti pada masyarakat yang

berkunjung dipuskesmas kanjilo dalam kurun waktu Juni – November 2022. Data penelitian

berupa :

1. Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber utama yang berkaitan

dengan masalah yang diteliti, baik pengolahan maupun analisis dan publikasi yang

dilakukan sendiri. (Machfoedz, 2006). Data primer ini berupa data identitas responden

dan hasil kuesioner (mengenai tingkat pengetahuan tentang kusta), serta wawancara

langsung dengan masyarakat yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas kanjilo

2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil laporan atau penelitian orang lain

atau studi kepustakaan. (Machfoedz, 2006). Data sekunder ini berupa diperoleh dari

Profil Puskesmas, laporan poli TB, laporan petugas Surveilans dan petugas poli TB,

serta data lainnya yang berasal dari studi kepustakaan. Data sekunder ini berupa data

jumlah penduduk, data ketenagaan dan sarana kesehatan, data demografi Puskesmas

Meomeo, data penderita kusta, serta tinjauan kepustakaan mengenai kusta.


D. Pengolahan Data

Semua data yang diperoleh dicatat, diolah secara manual kemudian disusun dalam

tabel dan grafik serta dianalisi sesuai kebutuhan penelitian

E. Etika Penelitian

Responden diberikan penjelasan secara lisan mengenai tujuan dn manfaat

penelitian serta diberikan bahwa data yang diperoleh tidak akan disebar luaskan
BAB IV

PROFIL PUSKESMAS

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Puskesmas Meo-Meo merupakan salah satu pusat pelayanan kesehatan

masyarakat di kecamatan Batupuaro, yang beralamat di Jl. Hayam Wuruk no 97 Kel.

Wameo. Adapun pelayanan yang diberikan yaitu ruang tindakan , Pelayanan Obat,

Laboratorium, poli KIA/KB, poli Gizi (Konseling), poli Immunisasi, poli Perkesmas, Poli

MTBS, Poli Umum, Poli Gigi, Homecare, dan pelayanan kesehatan di masyarakat.

Puskesmas Meo-Meo dilengkapi dengan 1 unit mobil ambulance.

Wilayah kerja Puskesmas Meo-Meo terdiri dari 4 kelurahan yaitu Kelurahan

Wameo, Kelurahan Kaobula, Kelurahan Lanto, dan Kelurahan Nganganaumala. Luas

Wilayah kerja PuskesmasMeo-Meo adalah 10,13 km 2 adapun batas batasnya adalah

sebagai berikut :

Sebelah Utara : berbatasan dengan selat Bau-Bau

Sebelah Timur : berbatasan dengan Kali Bau-Bau

Sebelah Barat : berbatasan dengan Kelurahan Tarafu

Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kelurahan Wajo

Kelurahan yang meliputi pesisir tepi laut bukan daerah aliran sungai yaitu Kelurahan

Wameo dan Kelurahan Kaobula. Sedangkan Kelurahan yang bukan daerah pesisir dan

bukan pula daerah aliran sungai yaitu kelurahan Lanto. Untuk Kelurahan yang berada

pada pesisir / tepi laut dan merupakan daerah aliran sungi yaitu Kelurahan
Nganganaumala.Wilayah kerja Puskesmas Meo-Meo berpenduduk 18.707 jiwa dimana

9.178 jiwa laki-laki dan 9.529 jiwa perempuan, serta jumlah KK sebanyak 4.176.

I. Data Penderita Kusta

Meskipun Indonesia sudah mencapai eleminasi kusta pada pertemuan

kusta tahun 2000, sampai saat ini penyakit kusta masih menjadi salah satu

masalah kesehatan masyarakat. Hal ini terbukti dari masih tingginya jumlah

penderita kusta di Indonesia dan Indonesia merupakan negara dengan urutan

ke–3 penderita terbanyak di dunia. Penyakit kusta dapat mengakibatkan

kecacatan pada penderita. Masalah ini diperberat masih tingginya stigma

dikalangan masyarakat dan sebagian petugas. Akibat dari kondisi ini sebagian

dari penderita dan mantan penderita dikucilkan sehingga tidak mendapatkan

akses pelayanan kesehatan serta pekerjaan yang berakibat pada meningkatnya

angka kemiskinan.

Pada tahun 2022 dari awal tahun sampai bulan agustus hanya

ditemukan 5 kasus pasien Kusta tipe MB dengan reaksi kusta, kemudian bulan

2 ditemukam lagi 2 penderita baru kusta di puskemas Meomeo dimana

Seorang pelejar SMA kusta tipe MB yang sedang dalam pengobatan


BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian dilakukan di pada bulan November 2022. Penelitian dilakukan dengan cara

menyebar kuesioner pada warga sekitar puskesmas Meomeo yang datang berkunjung di

puskesmas Meomeo. Dan mengambil data puskesmas berapa jumlah data pasien kusta, dan di

dapatkan terdapat 5 pasien kusta baru dari bulan Juni - November 2022. Terdapat total 20 subjek

penelitian yang bertempat tinggal pada wilayah UPT Puskesmas Meomeo dan seleuruh

responden telah menyetujui untuk mengikuti penelitian ini.

No. Karakteristik N = 20 % (100%


1 Usia
 < 20 thn 2 10
 20-<40 thn 10 50
 40-<60 thn 6 30
 >60
2 10
2 Pekerjaan
 Ibu rumah tangga 5 25
 Petani 3 15
 Swasta 10 50
 Pelajar
2 10

3 Pendidikan
SD/Sederajat 9 45
SMP Sederajat 5 25
SMA Sederajat 5 25
Perguruan Tinggi 1 5
Terdapat 20 subjek yang memenuhi kriteria penelitian dengan berbagai usia dimana yang

terbanyak berada pada rentang usia 20-<40 tahun sebanyak 10 orang ( 50%), lalu rentang usia

40-<60 tahun sebanyak 6 orang (30%), lalu pada rentang usia >60 tahun sebanyak 2 orang (10%)

dan sebanyak 2 orang pada usia <20 tahun 2 orang ( 10 %).

Pekerjaan responden yang paling banyak dijumpai adalah swasta yaitu sebanyak 10 orang

( 50%), lalu Ibu Rumah Tangga sebanyak 5 orang (25%), petani 3 0rang (15%), dan pelajar 2

orang (10%).

Dari seluruh riwayat pendidikan yang diteliti, SD/Sederajat merupakan pendidikan yang

paling banyak yaitu 9 orang ( 45 %), lalu SMA/ sederajat sebanyak 5 orang (25%), dan

SMP/sederajat sebanyak 5 orang (35%) dan perguruan tingi sebanyak 1 orang (5%)

1. Pembagian responden berdasarkan tingkat pengetahuan

Tingkat pengetahuan N = 20 % (100%)

Baik 2 10

Sedang 4 20

Kurang 14 70

Tabel Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan

tentang kusta.

Tabel menunjukkan bahwa dari 20 responden yang memiliki pengetahuan yang

baik tentang kusta berdasarkan hasil penelitian ini adalah 2 orang (10%), sedangkat yang

termasuk dalam kategori sedang berjumlah 4 orang (20%) dan yang termasuk dalam kata

kurang sebanyak 14 orang (70%).


2. Deskripsi Pengetahuan Responden Tentang Kusta

Benar Salah Tidak tahu


1.Pengertian kusta 13 4 3

2.Penyebab kusta 5 11 4

3.Gejala kusta 7 5 8

4.Kusta dapat menular 17 1 2

5.Cara penularan kusta 5 5 10

6.Akibat yang ditimbulkan 8 7 5


oleh penyakit kusta
7.Kusta dapat disembuhkan 12 6 2

8.Lama pengobatan kusta 2 8 10

9.Akibat bila tidak 9 8 3


menyelasaikan pengobatan
10.Waktu pengambilan obat 8 2 10
kusta
11.Tempat pengambilan obat 15 3 2
kusta
12. Tempat melakukan 12 1 7
pemeriksaan kusta
13.Cara pencegahan 6 9 5
penularan kusta
Tabel Distribusi Frekuensi Responden

Tabel menunjukkan bahwa responden paling banyak menjawab benar pada pertanyaan

apakah kusta menular atau tidak. Jawaban benar sebanyak 17 orang (85%), jawaban salah 1

orang (5%), dan tidak tahu 2 orang (10%). Pertanyaan paling banyak dijawab salah oleh
responden adalah pertanyaan mengenai penyebab kusta Jawaban benar sebanyak 5 orang (25%),

jawaban salah sebanyak 11 orang (55%), dan tidak tahu sebanyak 4 orang (20%).

B. Identifikasi Masalah

Tabel . Analisis Kemungkinan Penyebab Masalah Kurangnya Pengetahuan Masyarakat


Tentang Kusta
Input Kelebihan Kekurangan
Man (Tenaga kerja ) Terdapat pemegang
program kusta di UPT
Puskesmas kanjilo
Money (Pembiayaan) Terdapat anggaran yang
disediakan dari program
untuk kusta
Method (Strategi) Terdapat penyuluhan kusta
dan skrining kusta
Material (Perlengkapan) Tidak Terdapat kendaraan
operasional puskesmas bagi
petugas kesehatan
Machine (Peralatan) Terdapat leaflet kalender
dan atlas kusta yang dapat
digunakan sebegai media
penyuluhan
Lingkungan Kesadaran masyarakat untuk
konsultasi kesehatan masih
minim

Dukungan keluarga yang kurang


terhadap kesehatan
Tabel Analisis Pemecahan Masalah

No Penyebab masalah Alternatif pemecahan masalah


1 kurangnya kader kusta Pembentukan kader kusta setiap desa, serta mengadakan
pelatihan kader secara rutin dan berkelanjutan
2. Tidak semua desa memiliki
fasilitas untuk dilakukan Penyuluhan dan pemberian informasi dapat dilakukan di
penyuluhan ataupun tempat pustu atau pusling atau posyandu lansia atau kegiatan
penyuluhan kemasyarakatan lainnya
3. Masyarakat kurang antusias
untuk hadir dalam acara
penyuluhan

Berdasarkan analisis pemecahan masalah dapat dilihat bahwa pemecahan masalah adalah
dengan melakukan penyuluhan yang dapat dilakukan di pustu maupun posyandu lansia atau
kegiatan kemasyaraatan lainnya. Dimana saat penyuluhan dapat diberikan materi-materi tentang
pengertian kusta penyebab gejala, cara penularan, pencegaan, dan pengobatan kusta.
Berdasarkan pemecahan masalah tersebut didapatkan urutan alternatif pemecahan masalah
sebagai berikut :

1. Penyuluhan dan pemberian informasi dapat dilakukan di pustu atau pusling atau posyandu
lansia atau kegiatan kemasyarakatan lainnya

2. Pembentukan kader kusta di setiap desa terutama desa endemis kusta, serta mengadakan
pelatihan kader secara rutin dan berkelanjutan.

3. Penjadwalan tertulis dan pelaksanaan penyuluhan secara rutin dan berkelanjutan

4. Pembuatan leaflet, brosur atau poster mengenai kusta dan dapat ditempel di pustu atau
dibagikan saat pemeriksaan
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian serta pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut : Tingkat pengetahuan masyarakat mengenai kusta di wilayah
kerja Puskesmas Meomeo dikategorikan masih kurang baik sehingga diperlukan intervensi
untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai kusta, sehingga dapat
meningkatkan sikap dan periaku masyarakat dalam pencegahan kusta, dan dapat
menurunkan prevalensi kusta. Dan pada penelitian ini juga disimpulkan bahwa jumlah
penderita kusta kasus baru pada Juni 2022 – Oktober 2022 kasus baru berjenis kelamin laki-
laki 2 penderita perempuan 0. Berdasarkan tipe, penderita tipe PB berjumlah 0 penderita,
penderita tipe MB berjumlah 2 orang.

B. Saran

1. Diharapkan seluruh warga memperhatikan higienitas dan sanitasi lingkungan sehingga


dapat mengurangi factor resiko kusta.
2. Masyarakat diharapkan agar lebih cepat membawa kerabat maupun tetangga nya ke
fasilitas pelayanan kesehatan terdekat bila terdapat geala kusta sehingga dapat dicatat,
diperiksakan dan segera diobati
3. Dilakukan penyuluhan kepada petugas puskesmas, kader, serta masyarakat di wilayah
kerja Meomeo tentang kusta untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat
mengenai penyakit kusta.
4. Dilakukan penelitian lebih lanjut tentang factor resiko penyakit kusta dikarenakan masih
banyaknya penderita kusta yang ditemukan di wilayah kerja Puskesmas Meomeo Kota
Baubau
LAMPIRAN FOTO :
DAFTAR PUSTAKA

1. Adhi Djuanda, 2007,Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jakarta : FKUI.

2. Arif Mansjoer, 2000, Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius Fakultas.

3. Alif, Deddy Utama. Gambaran Faktor yang Berhubungan dengan Penderita Kusta di

Kecamatan Tamalate Kota Makassar. Skripsi Jurusan Kesehatan Lingkungan FKM-

UNHAS, 2012.

4. Awaluddin. Beberapa Faktor Risiko Kontak dengan Penderita Kusta dan Lingkungan

yang Berpengaruh terhadap Kejadian Kusta pada Anak (Studi Kasus terhadap Penderita

Kusta pada Anak di Puskesmas Wilayah Kabupaten Brebes

5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006, Buku Pedoman Pemberantasan

Penyakit Kusta. Cetakan XV, Jakarta: Dirjen PPM dan PL.

6. Departemen Kesehatan RI, 2008, Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Depkes RI.

7. Maria Christiana, 2008, Analisis Faktor Risiko Kejadian Kusta (Studi Kasus di Rumah

Sakit Kusta Donorejo Jepara) Tahun 2008. Skripsi : Universitas Negeri Semarang.

8. Marwali Harahap, 2000, Ilmu Penyakit Kulit, Jakarta : Hipokrates.

9. Muh. Dali Amiruddin. 2012. Penyakit Kusta Sebuah Pendekatan Klinis. Sidoarjo:

Penerbit Brilian Internasional.

Anda mungkin juga menyukai