Anda di halaman 1dari 148

Petunjuk Teknis

Pencegahan dan Pengendalian


Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK)
Bagi Tenaga Kesehatan di FKTP

Direktorat Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular


Direktorat Jenderal Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit
Kementerian Kesehatan

2022
Kata Pengantar

Pada saat ini penyakit tidak menular seperti Penyakit


Jantung, Diabetes Melitus, Kanker, Penyakit Paru Obstruktif Kronik
cenderung meningkat seiring akibat meningkatnya juga perilaku
berisiko di masyarakat. Selain itu, ketidaktahuan dan kepedulian
terhadap PTM berakibat keterlambatan dalam penanganan yang
menyebabkan komplikasi dan terjadinya kematian dini.
Peningkatan angka kesakitan dan kematian akibat Penyakit
Tidak Menular (PTM) menjadi ancaman serius bagi kesehatan
masyarakat yang berdampak pada meningkatnya pembiayaan
kesehatan. Selain itu di masa Pandemi COVID-19 ini, PTM merupakan
penyakit penyerta yang menyebabkan penurunan daya tahan
tubuh sehingga penyandang PTM akan mudah terpapar virus
COVID-19 dan memperberat infeksi COVID-19.
PPOK masuk dalam 10 penyakit yang menyebabkan kematian
dan pembiayaan tinggi di dunia maupun di Indonesia. Untuk itu
perlu dilakukan skrining PPOK sejak dini sehingga kasus PPOK
dapat ditemukan sesegera mungkin agar dapat ditangani dengan
baik dan efisien. Oleh karena itu skrining PPOK di FKTP telah
menjadi bagian dari skrining 14 penyakit prioritas yang menjadi
bagian dari program prioritas transformasi kesehatan di layanan
primer.
Keberhasilan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Paru
Obstruktif Kronik ditentukan oleh adanya kebijakan, Strategi
dan Program Nasional yang komprehensif dan Integratif dengan
dukungan berbagai pihak dan sumber daya yang memadai.
Terima kasih dan Penghargaan disampaikan kepada
seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan buku ini. Semoga
Bermanfaat dan Salam sehat, Sehat Indonesia.

Direktur Pencegahan dan pengendalian


Penyakit Tidak Menular

Dr. Eva Susanti, S.Kp., M.Kes

i
Kata Sambutan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik masih menjadi masalah
kesebatan masyarakat yang harus di atasi, karena terkait dengan
tingginya beban biaya kesehatan yang harus ditanggung baik
masyarakat maupun negara. Terlebih lagi di masa Pandemi Covid 19.
PPOK merupakan salah satu penyakit penyerta yang memperparah
infeksi Covid l9 dan menimbulkan kematian dini. Peningkatan
PPOK sejalan dengan peniogkatan kebiasaan konsumsi rokok di
masyarakat. Oleh karena itu, Promosi Kesebatan dan Pencegahan
Penyakit hams dilakuan harus dilakukan secara terus menerus agar
kondisi ini tidak berdampak kepada ketahanan Bangsa rndonesia
dalam menghadapi persaingan global yang makin menguat.
Melalui deteksi dini diharapkan akan mampu menemukan kasus
PPOK sejak awal sehingga akan lebih mudah ditangani dengan
cepat, baik dan tentunya lebih murah biaya pengobatan yang
dikeluarkm. Dukungan dari semua pibak juga sangat dibutuhkan
agar pencegaban dan Pengendalian PPOK dapat berlangsung
secara efektif dan efisien.
Saya menyambut baik disusunnya buku ini sebagai petunjuk
teknis dalam pencegahan dan pengendalian PPOK. Semoga upaya
ini akan memberikan kontribusi nyata yang bermakna dalam
meningkatkan derajat Kesehatan Masyarakat di Indonesia dan
menyambut Indonesia Emas 2045.
Tidak lupa, saya mengucapkan terima kasih dan apresiasi
setinggi-tinginya kepada tim penyusun, editor, dan semua pihak
yang telah berkontribusi dalam penyusunan petunjuk teknis ini.
Semoga buku ini dapat digunakan dengan sebaik-baiknya dan
memberi manfaat sebesar-besamya bagi semua pihak.

Jakarta, Juli 2022


Direktur Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit

Dr. dr. Maxi Rein Rondonuwu, DHSM, MARS

ii
Sambutan Ketua Umum
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa yang telah memberikan limpahan rahmat beserta hidayah
sehingga Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dapat turut
serta memberikan kontribusi bersama Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia dalam penyusunan Juknis Pencegahan dan
Pengendalian PPOK ini.
Sebagaimana diketahui, bahwa PPOK merupakan salah
satu penyakit tidak menular yang masih memberikan kontribusi
dalam permasalahan kesehatan secara umum di dunia maupun
di Indonesia. Penyebabnya antara lain pajanan terhadap faktor
risiko yang semakin tinggi termasuk masalah pencemaran udara,
industrialisasi, pertambahan penduduk dan angka harapan hidup
yang semakin meningkat. PPOK diperkirakan akan menjadi salah
satu dari tiga besar penyebab kematian utama di dunia sehingga
pencegahan dan pengendalian PPOK akan sangat diperlukan
untuk mengurangi dampak yang dapat ditimbulkan.
Fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia saat ini masih
banyak bertumpu pada layanan Puskesmas dan Rumah Sakit
rujukan, sehingga diperlukan kesamaan program dan tindakan
berupa Petunjuk Teknis dalam hal Pencegahan dan Pengendalian
PPOK. PDPI akan turut membantu dan mengawal apabila di
kemudian hari didapatkan hal‐hal terbaru terkait perkembangan
keilmuan tentang PPOK.
Semoga Buku Petunjuk Teknis Pencegahan dan Pengendalian
PPOK ini dapat memberikan manfaat terutama bagi klinisi maupun
pemangku kebijakan terkait.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

DR. Dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K), FISR, FAPSR


Ketua Umum

iii
Tim Penyusun

Penasehat:
Dr. dr. Maxi Rein Rondonuwu, DHSM, MARS
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

Dr. Eva Susanti, S.Kp., M.Kes


Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular

Tim Penyusun:
dr. Elvieda Sariwati, M. Epid, dr.Benget Saragih,M.Epid;
dr.Aries Hamzah, M.KM; Prof.dr.Faisal Yunus, PhD, Sp.P(K);
dr.Triya Damayanti, Sp.P(K), PhD; dr.Amelia Vanda Siagian;
Hanifah Rogayah, SKM, MPH; dr.Hamidah Qudus; Rindu
Rachmiaty, SKM, M.Epid; dr.Mauliate DC Gultom, MKM;
Jamaludin, SKM, M.Epid; drg. Anitasari SM; dr. Novi Indriastuti,
M.Epid; Ali Mustaqim, SKM; dr. Iis Afandi

Kontributor:
drg Firy Triyanti, MKes, dr Novi Sirmayanti, dr Rika Aryani, Saeful
Mikdar, AmKep, dr Dewi Mustika Sari, Ai Yogiana, Dr Rachmika,
dr Paramita, Evy Mustika Dewi, SKep .

Tim Kreatif:
Pengarah kreatif dan penyelia desain grafis : drg. Anitasari SM;
Desain Grafis : Ira Carlina Pratiwi

iv
Daftar Isi

KATA PENGANTAR............................................................................................. i
KATA SAMBUTAN................................................................................................ ii
SAMBUTAN KETUA UMUM PDPI............................................................. iii
TIM PENYUSUN.................................................................................................... iv
DAFTAR ISI .............................................................................................................. v
DAFTAR TABEL..................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... x
DAFTAR SINGKATAN ....................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
1.1. Latar Belakang................................................................. 1
1.2. Tujuan.................................................................................... 3
1.3. Sasaran.................................................................................. 3
1.4. Ruang Lingkup ............................................................... 3
1.5. Manfaat ................................................................................ 3
1.6. Dasar Hukum.................................................................... 4
BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGENDALIAN
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK....................... 7
2.1. Kebijakan............................................................................. 8
2.2. Strategi.................................................................................. 9
2.3. Kegiatan............................................................................... 9
BAB Ill PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK DAN
FAKTOR RISIKO ............................................................................ 11
3.1. Pengertian ......................................................................... 12
3.2. Faktor Risiko dan Komorbiditas ......................... 12
3.3. Patofisiologi....................................................................... 14
3.4. Hubungan PPOK dengan Penyakit
Penyerta (Komorbid) .................................................. 14
3.5. Manifestasi ......................................................................... 15
3.6. Diagnosis ............................................................................ 15
3.7. Diagnosis Banding........................................................ 24
3.8. Komplikasi........................................................................... 25
BAB IV DETEKSI DINI DAN TATALAKSANA PPOK................... 27
4.1. Deteksi Dini ....................................................................... 28
4.1.1. Kelompok individu berisiko.................................... 28
4.1.2. Kelompok Masyarakat................................................ 29
4.1.3. Cakupan Deteksi Dini.................................................. 29
4.1.4. Frekuensi Deteksi Dini................................................ 29

v
4.1.5. Tenaga Pelaksana Deteksi Dini............................ 29
4.1.6. Metode Deteksi Dini..................................................... 29
4.1.7. Penyelenggaraan Deteksi Dini............................. 30
4.2. Tatalaksana......................................................................... 31
4.3. Penatalaksanaan PPOK stabil............................... 34
4.3.1. Obat-obatan...................................................................... 34
4.3.2. Edukasi.................................................................................. 35
4.3.3. Pengurangan Pajanan Faktor Risiko ............... 35
4.3.4. Berhenti Merokok.......................................................... 35
4.3.5. Nutrisi..................................................................................... 36
4.3.6. Rehabilitasi ........................................................................ 36
4.4. Asuhan Keperawatan Individu dengan
PPOK....................................................................................... 38
4.4.1. Pengkajian ........................................................................ 38
4.4.2. Diagnosis Keperawatan............................................. 42
4.5. Asuhan Keperawatan Kelompok Dengan
Masalah PPOK.................................................................. 42
4.6. Rujukan ke Spesialis Paru/Rumah Sakit........ 45
4.6.1. Tujuan rujukan PPOK ................................................ 45
4.6.2. Kriteria rujukan ............................................................... 46
4.7. Penatalaksanaan Lanjutan Pasien Rujuk
Balik di FKTP...................................................................... 48
4.8. Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi................ 49
BAB V UPAYA PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK....................... 53
5.1. Pendekatan Praktis Kesehatan Paru .............. 54
5.2. Upaya Pencegahan dan Pengendalian
PPOK....................................................................................... 55
5.2.1. Upaya Promotif ............................................................... 55
5.2.2. Upaya Preventif .............................................................. 61
5.2.3. Upaya Kuratif ................................................................... 62
5.3. Program Upaya Berhenti Merokok ................... 63
5.4. Obat-obatan ..................................................................... 63
5.5. Terapi oksigen ................................................................. 64
5.6. Nutrisi..................................................................................... 64
5.7. Vaksinasi .............................................................................. 64
5.8. Rehabilitatif ....................................................................... 65
BAB VI MANAJEMEN PENCEGAHAN DAN
PENGENDALIAN PPOK........................................................... 67
6.1. Perencanaan .................................................................... 68
6.2. Penganggaran ................................................................ 71

vi
6.3. Penyelenggaraan .......................................................... 71
6.4. Peran Pemangku Kepentingan .......................... 72
6.5. Pemantauan dan Penilaian ................................... 76
BAB VII PENCATATAN DAN PELAPORAN ..................................... 81
7.1. Pencatatan......................................................................... 81
7.2. Pelaporan ........................................................................... 83
7.3. Mekanisme Pencatatan dan Pelaporan ....... 83
BAB VIII PENUTUP ......................................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 87

vii
Daftar Tabel

TABEL 1. KUNCI INDIKATOR DALAM MENENTUKAN


DIAGNOSIS PPOK ................................................................... 16
TABEL 2. KLASIFIKASI KEPARAHAN KETERBATASAN
ALIRAN UDARA PADA PPOK, NILAI VEP1 PASCA
BRONKODILATOR .................................................................. 18
TABEL 3. SKALA MODIFIKASI DYSPNEA MMRC....................... 19
TABEL 4. PENILAIAN DENGAN CATTM........................................... 20
TABEL 5. DIAGNOSA BANDING PPOK............................................ 24
TABEL 6. PERAWATAN FARMAKOLOGI TINDAK LANJUT . 32
TABEL 7. JENIS OBAT-OBATAN PPOK ............................................ 33
TABEL 8. REHABILITASI PARU, MANAJEMEN MANDIRI,
DAN PELAYANAN INTEGRATIF PADA PPOK......... 38
TABEL 9. TINDAKAN KEPERAWATAN KOMUNITAS
PENCEGAHAN PRIMER....................................................... 43
TABEL 10. TINDAKAN KEPERAWATAN KOMUNITAS
PENCEGAHAN SEKUNDER .............................................. 43
TABEL 11. TINDAKAN KEPERAWATAN KOMUNITAS
PENCEGAHAN TERSIER...................................................... 44
TABEL 12. FAKTOR YANG HARUS DIPERHATIKAN
DALAM INISIASI PENGGUNAAN TERAPI
KORTIKOSTEROID INHALASI........................................... 49
TABEL 13. DIAGNOSIS BANDING EKSASERBASI PPOK ....... 50
TABEL 14. JENIS KETENAGAAN DAN PERANAN........................ 69
TABEL 15. INDIKATOR PROGRAM ....................................................... 77

viii
Daftar Gambar

GAMBAR 1. ALAT PENILAIAN DENGAN ABCD .......................... 21


GAMBAR 2. ALUR DETEKSI DINI PPOK............................................ 30
GAMBAR 3. PENGOBATAN FARMAKOLOGI AWAL ................. 31
GAMBAR 4. ALUR PENYELENGGARAAN DETEKSI DINI
DAN TATA LAKSANA PPOK ......................................... 72
GAMBAR 5. DIAGRAM ALUR PENCATATAN DAN
PELAPORAN........................................................................... 84

ix
Daftar Lampiran

LAMPIRAN 1 KUESIONER PUMA UNTUK DETEKSI DINI


PPOK........................................................................................ 89
LAMPIRAN 2 FORM PEMERIKSAAN SPIROMETRI................... 93
LAMPIRAN 3 LANGKAH-LANGKAH PEMERIKSAAN
SPIROMETER ..................................................................... 95
LAMPIRAN 4 SPIROMETRI PADA MASA PANDEMI
COVID-19 ............................................................................... 99
LAMPIRAN 5 TEKNIK TERAPI INHALASI NEBULISASI........... 105
LAMPIRAN 6 TABEL FUNGSI PARU (KVP) LAKI-LAKI ............ 115
LAMPIRAN 7 TABEL FUNGSI PARU (KVP) PEREMPUAN..... 117
LAMPIRAN 8 OBAT PPOK DALAM FORNAS 2021..................... 119
LAMPIRAN 9 PENGELOLAAN PPOK di FKTP ............................. 121
LAMPIRAN 10 TATALAKSANA PASIEN GANGGUAN
PERNAPASAN DENGAN GEJALA UTAMA
BATUK DAN SESAK ...................................................... 123
LAMPIRAN 11 FORM PENCATATAN DAN PELAPORAN
SESUAI PERMENKES NO.31/2019.......................... 133

x
Daftar Singkatan

Singkatan Kepanjangan

APE Arus Puncak Ekspirasi

BB Berat Badan
CAT COPD Assessment Test / Tes Assesmen PPOK
CRP C-Reactive Protein / Protein C-Reaktif
EKG Elektrokardiogram
EOS Peripheral Blood Eosinophil / Eosinofil Darah Tepi
FKRTL Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut
FKTP Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
GOLD Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease /
Inisiatif Global Untuk Penyakit Paru Obstruktif Kronis
HCRU Healthcare Resource Utilization / Pemanfaatan Sumber
Daya Kesehatan
HCT Hematocrit / Hematokrit
ICS Inhaled Corticostreroid / Kortikosteroid Inhalasi
ISPA Infeksi Saluran Pernafasan Atas
KIE Komunikasi Informasi Dan Edukasi
KVP Kapasitas Vital Paksa
KV Kapasitas Vital
LABA Long Acting ß-Agonist / ß-Agonis Kerja Lama
LAMA Long Acting Muscarinic Antagonists / Antagonis Muska-
rinik Kerja Lama
MMD Musyawarah Masyarakat Desa
mMRC Modified British Medical Research Council / Dewan Pene-
litian Medis Inggris yang Dimodifikasi
OBH Obat Batuh Hitam
PAL Practical Approach To Lung Health / Pendekatan Praktis
Kesehatan Paru
PPOK Penyakti Paru Obstruktif Kronik

xi
PTM Penyakit Tidak Menular
RITL Rawat Inap Tingkat Lanjut
RJTL Rawat Jalan Tingkat Lanjut
RS Rumah Sakit
SABA Short Acting ß-Agonist / ß-Agonis Kerja Cepat
SAMA Short Acting Muscarinic Antagonists / Antagonis Muska-
rinik Kerja Cepat
SDM Sumber Daya Manusia
SMD Survei Mawas Diri
TB Tuberkulosis
TOT Training of Trainer / Pelatihan Pelatih
VEP1 Volume Ekspirasi Paksa Detik Pertama
WHO World Health Organization / Organisasi Kesehatan Dunia

xii
Bab I
Pendahuluan

1
Bab I
Pendahuluan

1.1. Latar Belakang


Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit
yang umum terjadi, namun dapat dicegah dan diobati dengan
tanda gejala pernapasan yang persisten dan keterbatasan aliran
udara yang disebabkan oleh kelainan pada saluran napas dan atau
alveolar yang biasanya disebabkan oleh pajanan yang signifikan
terhadap partikel atau gas berbahaya. Gejala pernapasan yang
paling umum termasuk sesak napas, batuk dan atau produksi
sputum.
Faktor risiko utama PPOK adalah merokok. Selain itu, faktor
lainnya dari lingkungan seperti pajanan bahan bakar biomas
dan polusi udara dapat berkontribusi. Kelainan genetik dapat
menjadi faktor berkembangnya paru abnormal dan penuaan yang
dipercepat. PPOK dapat diselingi oleh periode perburukan akut
gejala pernapasan yang disebut eksaserbasi. Pada kebanyakan
pasien, PPOK berhubungan dengan penyakit kronik penyerta yang
signifikan, yang meningkatkan morbiditas dan mortalitasnya.
PPOK telah menjadi salah satu dari tiga penyebab kematian
teratas di seluruh dunia dan 90% dari kematian ini terjadi di negara
berpenghasilan rendah dan menengah. Lebih dari 3 juta orang
meninggal akibat PPOK pada tahun 2012, sebanyak 6% dari total
kematian secara global. PPOK merupakan tantangan kesehatan
masyarakat yang penting yang dapat dicegah dan diobati. PPOK
juga merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
kronik di seluruh dunia; banyak orang menderita penyakit ini
selama bertahun-tahun dan meninggal sebelum waktunya atau
komplikasinya. Secara global, beban PPOK diproyeksikan akan
meningkat dalam beberapa dekade mendatang karena pajanan
terus menerus terhadap faktor risiko PPOK dan penuaan populasi.
Data prevalensi PPOK yang ada saat ini bervariasi berdasarkan
metode survei, kriteria diagnostik, serta pendekatan analisis yang
dilakukan pada setiap studi. Berdasarkan data dari studi PLATINO,
sebuah penelitian yang dilakukan terhadap lima negara di Amerika
Latin (Brasil, Meksiko, Uruguay, Chili, dan Venezuela) didapatkan

2
prevalensi PPOK sebesar 14,3%, dengan perbandingan laki-laki dan
perempuan adalah 18,9% dan 11.3%. Pada studi BOLD, penelitian
serupa yang dilakukan pada 12 negara, kombinasi prevalensi PPOK
adalah 10,1%, prevalensi pada laki-laki lebih tinggi yaitu 11,8% dan
8,5% pada perempuan. Data

1.2. Tujuan
1. Umum
Tersedianya acuan dalam pencegahan dan pengendalian
PPOK di masyarakatuntuk tenaga kesehatan dan pengelola
program PTM di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP).
2. Khusus
a. Terlaksananya KIE PPOK di masyarakat.
b. Terlaksananya deteksi dini dan diagnosis PPOK.
c. Terlaksananya tatalaksana PPOK sesuai standar.
d. Terlaksananya Manajemen PPOK.
e. Terlaksananya pencatatan dan pelaporan.
1.3. Sasaran
1. Tenaga Kesehatan di FKTP.
2. Pengelola Program PPTM di lnstitusi Kesehatan (Dinas
Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota, dan Puskesmas).
1.4. Ruang Lingkup
Ruang lingkup Petunjuk Teknis ini adalah pencegahan
dan pengendalian penyakit paru obstruksi kronik yang
meliputi aspek promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif yang
dilaksanakan oleh tenaga kesehatan di FKTP.
1.5. Manfaat
Buku Petunjuk Teknis ini diharapkan bermanfaat bagi
semua pihak terutama tenaga kesehatan dan penanggung
jawab program Penyakit Tidak Menular di Dinas Kesehatan
Provinsi, Kabupaten, Kota, dan Puskesmas untuk:
1. Melakukan penyuluhan PPOK kepada masyarakat
2. Melakukan upaya pengendalian penyakit dan faktor resiko
PPOK.

3
3. Memberikan pelayanan yang optimal bagi pasien PPOK
4. Meningkatkan kualitas hidup pasien PPOK
5. Membuat perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan
penilaian program pengendalian PPOK
6. Meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat
sebagai salah satu upaya penting dalam mendorong
kemandirian masyarakat untuk hidup sehat t erutama
dalam pengendalian PPOK.
7. Mengembangkan kemitraan dan jejaring kerja secara
multidisiplin dan lintas sektor.
1.6. Dasar Hukum
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran;
2. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah;
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan;
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan;
5. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang
Keperawatan;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang
Pengamanan Zat Yang mengandung Adiktif Pada Produk
Tembakau Bagi Kesehatan;
9. Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem
Kesehatan Nasional;

4
10. Peraturan Menteri Kesehatan Rl Nomor 001 Tahun 2012
tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan;
11. Peraturan Menteri Kesehatan Rl No 17 Tahun 2013 tentang
Perubahan Permenkes No HK.02.02/ Menkes/148/1/2010
tentang lzin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat;
12. Peraturan Menteri Kesehatan Rl Nomor 71 Tahun 2013
tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan
Nasional;
13. Peraturan Menteri Kesehatan Rl Nomor 5 Tahun 2014
tentang Panduan Praktek Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer;
14. Peraturan Menteri Kesehatan Rl No.75 Tahun 2014 tentang
Puskesmas;
15. Peraturan Menteri Kesehatan Rl Nomor 71 Tahun 2015
tentang Penanggulangan Penyakit Tidak Menular;
16. Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam
Negeri Nomor 188 Tahun 2011 tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok;
17. Peraturan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan
Refomasi Birokrasi Nomor 25 Tahun 2014 tentang Jabatan
Fungsional Perawat dan Angka Kreditnya;
18. Peraturan Menteri Kesehatan No. 45 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan Surveilans.
19. Peraturan Menteri Kesehatan No. 4 Tahun 2019 tentang
Standar Teknis Pemenuhan Mutu Pelayanan Dasar Pada
Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan.
20. Peraturan Menteri Kesehatan No. 43 Tahun 2019 tentang
Puskesmas
21. Peraturan Menteri Kesehatan No.31 Tahun 2019 tentang
Sistem Infomasi Puskesmas.

5
6
Bab II
Kebijakan dan
Strategi
Pengendalian
Penyakit Paru
Obstruktif
Kronik

7
Bab II
Kebijakan dan Strategi Pengendalian Penyakit
Paru Obstruktif Kronik

2.1. Kebijakan
Di Indonesia kasus kesakitan dan kematian akibat PPOK
semakin meningkat setiap tahunnya. PPOK dapat dicegah dengan
mengendalikan faktor risikonya seperti merokok, pajanan oleh
udara yang tercemar gas buang kendaraan, asap industri, dan lain
lain. Merokok dapat menyebabkan gangguan pernapasan kronik
seperti PPOK dan asma, penyakit jantung dan pembuluh darah,
stroke dan kanker paru, dan lainnya. Beban biaya pengobatan
yang ditimbulkan oleh PPOK semakin meningkat termasuk
juga hilangnya hari atau waktu produktivitas seseorang dalam
melakukan aktifitas sehari-hari.
Kebijakan pengendalian PPOK mencakup :
1. Mengembangkan dan memperkuat program pengendalian
faktor risiko PPOK khususnya yang didasari pada pendekatan
pelayanan komprehensif, terintegrasi dan didukung partisipasi,
pemberdayaan masyarakat dalampengendalian PPOK
2. Mengembangkan dan memperkuat deteksi dini faktor risiko
dalam penemuan suspek PPOK
3. Meningkatkan dan memperkuat manajemen, dan kualitas
peralatan untuk deteksi dini faktor risiko PPOK
4. Meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia dalam
pencegahan dan pengendalian faktor risiko PPOK.
5. Mengembangkan kegiatan layanan konseling Upaya Berhenti
Merokok pada pelayanan kesehatan tingkat pertama dan
layanan rujukan berhenti merokok
6.
Mengembangkan dan memperkuat sistem surveilans
epidemiologi faktor risiko PPOK berbasis FKTP
7. Mengembangkan dan memperkuat jejaring kerja dan
kemitraan untuk penganggulangan PPOK

8
8. Meningkatkan advokasi, sosialisasi dan kemitraan antar
kementerian I lembaga dalam pengendalian faktor risiko PPOK.

2.2. Strategi
Berdasarkan kebijakan tersebut diatas, maka diperlukan
strategi pencegahan dan pengendalian PPOK sebagai berikut:
1. Promosi deteksi dini PPOK melalui media social, media cetak
dan media online serta bekerjasama dengan lintas program,
lintas sektor, tokoh masyarakat, jejaring kerja puskesmas dan
public figure.
2.
Pemberdayaan masyarakat dalam pencegahan dan
pengendalian faktor risiko PPOK melalui posbindu PTM.
3. Meningkatkan akses yang berkualitas kepada masyarakat
untuk deteksi dini dan tindak lanjut dini faktor risiko PPOK.
4. Meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan melalui Training of
Trainer (TOT), workshop, orientasi dan seminar.
5. Integrasi tatalaksana factor risiko PPOK kedalam pandu PTM.
6. Memperkuat jejaring kerja dan kemitraan pencegahan dan
pengendalian PPOK.
7. Mengembangkan dan memperkuat sistem surveilans
epidemiologi faktor risiko PPOK termasuk monitoring dan
sistem informasi melalui surveilans faktor risiko PPOK di
masyarakat terkait dengan faktor risiko merokok dan surveilans
FKTP dengan menggunakan Sistem Informasi PPTM.

2.3. Kegiatan
Terkait dengan strategi tersebut diatas maka perlu
dikemukakan kegiatan pokok
sebagai berikut:
1. Upaya promotif pencegahan dan pengendalian PPOK di
masyarakat
2. Upaya deteksi dini dan diagnosis PPOK secara terintegrasi
dan fokus pada faktor risikonya, melalui “Community Base

9
lntervension and Development”’, yang didukung oleh sistim
rujukan dan regulasi memadai, dengan kerjasama lintas
profesi dan keilmuan, lintas program, kemitraan, lintas sektor,
pemberdayaan swasta/industri, dan kelompok masyarakat
madani.
3. Tatalaksana PPOK yang efektif dan efisien, yang didukung
kecukupan ketersediaan obat, ketenagaan, sarana/prasarana,
sistem rujukan, jaminan pembiayaan dan regulasi memadai,
untuk menjamin akses pasien PPOK dan faktor risiko terhadap
tatalaksana pengobatan baik di FKTP, maupun di Fasilitas
Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL).
4. Upaya Manajemen PPOK.
5. Pencatatan dan pelaporan.

10
Bab III
Penyakit Paru
Obstruktif Kronik
dan Faktor Risiko

11
Bab Ill
Penyakit Paru Obstruktif Kronik dan Faktor
Risiko

3.1. Pengertian
PPOK merupakan penyakit paru kronik yang sering dijumpai
dan umumnya dapat dicegah dan diobatil ditandai dengan gejala
respirasi yang menetap adanya keterbatasan aliran udara dalam
saluran napas yang persisten dan progressif, yang berhubungan
dengan meningkatnya respon inflamasi kronik pada saluran napas,
dan atau alveoli yang progresif dan parenkim paru karena pajanan
partikel atau gas berbahaya. Partikel/gas yang berbahaya yang
tersering disebabkan rokok.
Eksaserbasi dan komorbid pada PPOK berperan dalam
memperberat penyakitnya. Dampak dari eksaserbasi diantaranya:
perburukan gejala, pengaruh pada aktivitas sehari-hari, menurunkan
status kesehatan dapat mengakibatkan perawatan Rumah Sakit
dan memperlambat kesembuhan. Untuk itu tatalaksana pada
PPOK selain mengobati juga melakukan pencegahan terjadinya
eksaserbasi agar dapat memperlambat progresifitas.

3.2. Faktor Risiko dan Komorbiditas


Di seluruh dunia, faktor risiko PPOK yang paling sering
ditemui adalah merokok tembakau. Orang yang tidak merokok
juga dapat mengembangkan PPOK. PPOK adalah hasil interaksi
kompleks dari pajanan kumulatif jangka panjang terhadap gas
dan partikel berbahaya, dikombinasikan dengan berbagai faktor
pejamu termasuk genetika, hiper-responsif saluran napas, dan
pertumbuhan paru yang buruk selama masa kanak-kanak. Risiko
berkembangnya PPOK berhubungan dengan faktor- faktor
sebagaimana berikut:
a. Asap tembakau. Perokok sigaret memiliki prevalensi gejala
pernapasan dan kelainan fungsi paru yang lebih tinggi, tingkat
penurunan tahunan yang lebih besar pada VEP1, dan tingkat
kematian PPOK yang lebih besar daripada bukan perokok.

12
Jenis tembakau lainnya (misalnya, pipa, cerutu, pipa air dan
marijuana juga merupakan faktor risiko PPOK, serta asap
tembakau lingkungan.
b. Polusi udara dalam ruangan. Polusi udara dalam ruangan
yang dihasilkan dari pembakaran kayu dan bahan bakar biomas
lainnya yang digunakan untuk memasak dan memanaskan
di tempat tinggal yang berventilasi buruk, merupakan faktor
risiko yang terutama mempengaruhi wanita di negara
berkembang. Ada kekurangan penelitian tentang PPOK terkait
biomas, meskipun ada bukti terbatas dari studi observasional
bahwa beralih ke bahan bakar memasak yang lebih bersih atau
mengurangi pajanan dapat mengurangi risiko PPOK pada non-
perokok.
c. Eksposur dalam pekerjaan. Pajanan di tempat kerja termasuk
debu organik dan anorganik, bahan kimia dan asap, merupakan
faktor risiko yang kurang dihargai untuk PPOK. Individu dengan
paparan inhalasi pestisida dosis tinggi memiliki insiden gejala
pernapasan, obstruksi saluran napas dan PPOK yang lebih
tinggi.
d. Polusi udara luar ruangan. Polusi udara luar ruangan juga
berkontribusi pada beban total partikel yang dihirup paru,
meskipun tampaknya memiliki efek yang relatif kecil dalam
menyebabkan PPOK. Ada hubungan yang signifikan antara
tingkat ambien partikel dan kejadian PPOK.
e. Faktor genetik. Faktor genetik seperti defisiensi herediter
yang parah dari alpha1 antitrypsin (AATD); gen yang mengkode
matriks metalloproteinase (MMP-12) dan glutathione
S-transferase juga telah dikaitkan dengan penurunan fungsi
paru atau risiko PPOK.
f. Usia dan jenis kelamin. Penuaan dan jenis kelamin wanita
meningkatkan risiko PPOK.
g. Pertumbuhan dan perkembangan paru-paru. Faktor apa pun
yang memengaruhi pertumbuhan paru selama kehamilan dan
masa kanak-kanak (berat lahir rendah, infeksi pernapasan, dll.)
berpotensi meningkatkan risiko individu terkena PPOK.

13
3.3. Patofisiologi
PPOK merupakan gangguan obstruksi saluran napas yang
diakibatkan berbagai kondisi yaitu inflamasi (peradangan) saluran
napas-parenkim paru-pembuluh darah paru, perubahan struktur
paru akibat peradangan tersebut, dan gangguan/disfungsi bersihan
mukus. Proses inflamasi pada PPOK berbeda dengan asma baik
penyebab terjadinya inflamasi, respons inflamasi yang terjadi, sel-sel
inflamasi yang berperan, maupun kerusakan yang ditimbulkannya.
Hambatan (keterbatasan) aliran udara terutama ekspirasi dengan
kolaps dini saluran napas kecil adalah khas gangguan pada PPOK,
sehingga menyebabkan udara.
Ekspirasi tidak sepenuhnya keluar tetapi terperangkap dan
menimbulkan hiperinflasi paru. Kondisi hiperinflasi yang bertambah
(akut hiperinflasi pada kronik hiperinflasi) akibat kegiatan (exercise)
atau saat eksaserbasi akut, mempunyai peran terhadap sesaknapas
yang bertambah pada kondisi tersebut. lnflamasi (peradangan)
sistemik yang terjadi pada PPOK berkontribusi terhadap penyakit-
penyakit/ gangguan lain yangtimbul bersamaan, yang dikenal
dengan penyakit penyerta (komorbiditas) pada PPOK, yaitu
penyakit jantung iskemik (koroner), osteoporosis, glaukoma dan
katarak,kaheksia dan malnutrisi, anemia, disfungsi otot perifer, dan
sindrom metabolik.

3.4.
Hubungan PPOK dengan Penyakit Penyerta
(Komorbid)
Komorbiditas yang signifikan dapat berdampak pada
morbiditas dan mortalitas. Mungkin ada patologi paru yang
signifikan (misalnya, emfisema) tanpa adanya keterbatasan aliran
udara yang memerlukan evaluasi lebih lanjut. Pasien dengan PPOK
menunjukkan peningkatan risiko komplikasi kardiovaskular dalam
waktu 10 hari setelah eksaserbasi sedang. Sebuah studi seri kasus
yang dilakukan pada 25.857 pasien dengan PPOK menilai waktu
dan besarnya risiko infark miokard dan stroke setelah eksaserbasi
PPOK dari database The Health Improvement Network di Inggris
dan Wales selama periode 2 tahun. Ada peningkatan risiko infark
miokard (MI) dari 1 hingga 5 hari setelah eksaserbasi, yang kemudian
menurun dari waktu ke waktu ke awal (Rasio tingkat insidensi [IRR]:
2,27; 95% CI: 1,1, 4,7; p =0,03). Risiko stroke meningkat dari 6 hari

14
menjadi 10 hari setelaheksaserbasi (IRR: 1,40; 95% CI: 1,0, 1,6; p=0.05).
Seseorang dengan PPOK juga memiliki risiko 2,97 terserang
COVID 19 dibandingkan yang tidak sakit PPOK. Pada pengobatan
PPOK akan membutuhkan ACE dan ARB sebagai perlindungan
fisiologis pada paru paru akan tetapi obat tersebut akan memicu
masuknya SARCoV2 atau corona virus sehingga peningkatan
risiko COVID 19 akan meningkat. Hasil meta analisis lainnya pada
11 penelitian cross sectional juga menunjukkan bahwa pasien
Covid-19 dengan PPOKmemiliki risiko untuk mengalami keparahan
Covid-19 sebesar 3,77 kali dibandingkan tanpa PPOK.

3.5. Manifestasi
Sebagian besar PPOK tidak terdiagnosis pada stadium awal
tetapi pada stadium lanjut. Pada stadium ini, kondisi pasien
semakin berat. Kecurigaan PPOK dapat dikenali melalui:
1. Terdapat pajanan bahan gas berbahaya, terutama asap rokok,
dan polusiudara baik di dalam dan di luar ruangan, serta di
tempat kerja.
2. Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya usia pertengahan,
karena membutuhkan waktu lama dalam pajanan bahan/gas
berbahaya tersebut.
3. Perkembangan gejala bersifat progresif lambat, semakin lama
semakinmemburuk.
4. Terdapat penyempitan (obstruksi) saluran napas yang tidak
sepenuhnya reversibel.
5. Sering mendapatkan infeksi saluran napas dan membutuhkan
waktu lama untuk pulih.

3.6. Diagnosis
PPOK harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang
mengalami dispnea, batuk kronis atau produksi sputum, dan/atau
riwayat pajanan faktor risiko penyakit lihat Tabel 1 di bawah ini.
Gejala yang paling sering terjadi pada pasien PPOK adalah sesak
napas. Sesak napas juga biasanya menjadi keluhan utama pada
pasien PPOK karena terganggunya aktivitas fisik akibat gejala ini.

15
Sesak napas biasanya menjadi komplain ketika VEP1<60% prediksi.
Pasien biasanya mendefinisikan sesak napas sebagai peningkatan
usaha untuk bernapas, rasa berat saat bernapas, gasping, dan air
hunger.
Batuk bisa muncul secara hilang timbul, tapi biasanya batuk
kronis adalahgejala awal perkembangan PPOK. Gejala ini juga
biasanya merupakan gejala klinis yang pertama kali disadari oleh
pasien. Batuk kronis pada PPOK bisa juga muncul tanpa adanya
dahak. Faktor risiko PPOK berupa merokok, genetik, pajanan
terhadap partikel berbahaya, usia, asma/hiperreaktivitas bronkus,
status sosioekonomi, dan infeksi.

TABEL 1. KUNCI INDIKATOR DALAM MENENTUKAN


DIAGNOSIS PPOK
Mempertimbangkan adanya PPOK, serta melakukan spirometri, jika ada
salah satu indikator dibawah ini pada pasien > 40 tahun. Indikator beri-
kut bukan alat diagnosis, tetapi dengan munculnya indikator ini dapat
menjadi kunci dalam menentukan kebenaran PPOK. Spirometri dibutu-
hkan untuk menegakkan diagnosis PPOK
Sesak/Dyspnea Progresif (sesak bertambah berat seiring ber-
jalannya waktu) Bertambah berat dengan ak-
tivitas; persisten.
Batuk kronik Hilang timbul dan mungkin tidak berdahak.
Batuk kronik berdahak Setiap batuk kronik berdahak dapat
mengindikasikan PPOK.
Riwayat terpajan faktor Faktor lingkungan internal dan eksternal
risiko (asap rokok, debu,
gas, bahan kimia di tempat kerja, asap dapur)
Riwayat Keluarga dengan menderita PPOK

Spirometri diperlukan untuk menegakkan diagnosis dalam


konteks klinis ini. Hasil VEP1/KVP dari pasca-bronkodilator dengan
nilai <0,70 menegaskan adanya keterbatasan aliran udara persisten
dan dengan demikian PPOK pada pasien dengan gejala yang
sesuai dan paparan signifikan terhadap rangsangan berbahaya.
Spirometri adalah pengukuran keterbatasan aliran udara yang
paling dapat direproduksi dan objektif. Ini adalah tes non-invasif
dan tersedia. Meskipun sensitivitasnya baik, pengukuran aliran

16
ekspirasi puncak saja tidak dapat diandalkan sebagai satu-satunya
tes diagnostik karena spesifisitasnya yang lemah. WHO telah
menetapkan serangkaian intervensi minimum untuk diagnosis
PPOK di FKTP. Diagnosis PPOK dilaksanakan melalui :
1. Anamnesis
Gejala : batuk berdahak dan sesak napas. Gejala berlangsung
lama dan umum semakin memberat. Sesak napas bertambah
saat beraktivitas. Dan ada riwayat merokok atau pajanan polusi.
2. Pemeriksaan Fisis
Pada PPOK ringan pemeriksaan fisis bisa normal. Pada tahap
lanjut dapat ditemukan tanda-tanda hiperinflasi sebagai
berikut: dada cembung, sela iga Melebar, hipersonor, suara
napas melemah, sianosis dan jari tabuh (clubbing finger).
3. Pemeriksaan penunjang:
a. Penunjang standar (golden standard) untuk diagnosis
PPOK adalah pemeriksaan faal paru dengan menggunakan
spirometri. Pemeriksaan ini dapat meningkatkan temuan
kasus PPOK dua kali lipat dari pada hanya dengan
penilaian klinis berdasar gejala dan pemeriksaan fisis saja.
Pemeriksaan faal paru dengan spirometri saat ini hanya
dilakukan di Rumah Sakit. Namun, untuk meningkatkan
cakupan deteksi dini PPOK, maka pemeriksaan spirometri
dapat dilaksanakan di fasilitas kesehatan layanan primer
dengan didukung oleh tenagayang mampu manuver
dan interpretasi secara benar sehingga kasus PPOK
dapatterdeteksi lebih dini. Oleh karena itu, tenaga
kesehatan yang ada di FKTP perlu dibekali kemampuan
dan ketrampilan dengan disertai pemantauan ataupun
supervisi ahli yang berkesinambungan sebagai upaya
meningkatkan kapasitas dan kapabilitas fasilitas kesehatan
tingkat pertama dalam menemukan dan mengelola kasus
PPOK.
b. Pemeriksaan penunjang tambahan: Foto toraks, EKG,
Laboratorium kimia darah.
Untuk Diagnosis PPOK saat ini dinilai berdasarkan komponen-
komponen sebagai berikut :

17
1) Keterbatasan aliran udara pada jalan napas atau fungsi
paru yang dinilai berdasarkan spirometri.
2) Gejala sesak, yang dinilai berdasarkan COPD Assesment
Test (CAT) score atau Modified Medical Research Council
Questionaire for Assessing the severity of Breathlessness
(mMRC).
3) Eksaserbasi yang dinilai berdasarkan jumlah eksaserbasi
dalam 1 tahun terakhir.
Tujuan penilaian PPOK adalah untuk menentukan tingkat
keterbatasan aliran udara, dampaknya terhadap status kesehatan
pasien dan risiko kejadian di masa depan (seperti eksaserbasi, rawat
inap atau kematian), untuk memandu terapi. Untuk mencapai
tujuan ini, penilaian PPOK harus mempertimbangkan aspek
penyakitberikut secara terpisah;
a) Kehadiran dan keparahan kelainan spirometri.
b) Sifat saat ini dan besarnya gejala pasien.
c) Riwayat eksaserbasi sedang dan berat.
d) Adanya penyakit penyerta.
Klasifikasi keparahan keterbatasan aliran udara pada PPOK
(lihat Tabel 2) menggunakan titik potong spirometri khusus
untuk tujuan kesederhanaan. Penilaian parameter VEP1 pada
spirometri harus dilakukan setelah pemberian dosis bronkodilator
inhalasi short-acting untuk menilai reversibilitas (Uji bronkodilator/
Bronchodilator test). Perlu dicatat bahwa hanya ada korelasi lemah
antara VEP1, gejala dan gangguan status kesehatan pasien. Untuk
alasan ini, penilaian gejala formal diperlukan.

TABEL 2. KLASIFIKASI KEPARAHAN KETERBATASAN ALIRAN UDARA


PADA PPOK, NILAI VEP1PASCA BRONKODILATOR
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)

Pada pasien dengan VEP1/ KVP < 0.70:


GOLD 1 Ringan VEP1prediksi ≥ 80%
GOLD 2 Sedang 50% ≤ VEP1< 80% prediksi
GOLD 3 Berat 30% ≤ VEP1< 50% prediksi
GOLD 4 Sangat Berat VEP1< 30% prediksi

18
Sebelumnya, PPOK dipandang sebagai penyakit yang sebagian
besar ditandai dengan sesak napas. Pengukuran sederhana untuk
sesak napas seperti Kuesioner Dewan Riset Medis Inggris (Modified
British Medical Research Council/ mMRC) yang dimodifikasi (lihat
Tabel 3) dianggap memadai untuk penilaian gejala, karena mMRC
berhubungan baik dengan ukuran status kesehatan lainnya dan
memprediksi risiko kematian di masa depan. Namun, sekarang
diakui bahwa PPOK berdampak pada pasien lebih dari sekadar
dispnea. Untuk alasan ini, penilaian gejala yang komprehensif
direkomendasikan menggunakan langkah-langkah seperti COPD
Assessment Test (CAT™) (lihat TABEL4) dan The COPD Control
Questionnaire (The CCQ).

TABEL 3. SKALA MODIFIKASI DYSPNEA mMRC


Silahkan untuk centang pada kotak yang sesuai dengan anda |
Centang 1 kotak saja | 0 – 4
mMRC Kelas0 “Saya hanya terengah-engah dengan olahraga
o
berat”
mMRC Kelas1 “Saya mengalami sesak napas saat berlari di
atas permukaan tanah atau berjalan sedikit o
menanjak”
mMRC Kelas2 2 “Saya berjalan lebih lambat dari orang-orang
pada usia yang sama pada level tersebut kare-
na sesak napas atau harus berhenti untuk ber- o
napas ketika berjalan dengan kecepatan saya
sendiri di level tersebut”
mMRC Kelas3 3 “Saya berhenti untuk bernapas setelah ber-
jalan sekitar 100-meter atau setelah beberapa o
menit di atas permukaan tanah”
mMRC Kelas4 “Saya terlalu sesak untuk meninggalkan rumah”
o
atau “Saya terengah-engah saat berpakaian”

Pemahaman tentang dampak PPOK pada pasien individu


menggabungkan penilaian gejala dengan klasifikasi spirometri
pasien dan/atau risiko eksaserbasi. Alat penilaian “ABCD” dari
pembaruan GOLD 2011 merupakan langkah maju yangbesar
dari sistem penilaian spirometri sederhana dari versi GOLD
sebelumnya karena menggabungkan hasil yang dilaporkan
pasien dan menyoroti pentingnya pencegahan eksaserbasi dalam

19
pengelolaan PPOK. Namun, ada beberapa batasan penting.
Pertama, alat penilaian ABCD tidak lebih baik daripada nilai
spirometri untuk prediksi kematian atau hasil kesehatan penting
lainnya pada PPOK. Selain itu, hasil kelompok “D” dimodifikasi oleh
dua parameter: fungsi paru dan/atau riwayat eksaserbasi, yang
menyebabkan kebingungan. Untuk mengatasi masalah ini dan
masalah lainnya, penyempurnaan alat penilaian ABCD diusulkan
yang memisahkan nilai spirometri dari kelompok “ABCD”. Untuk
beberapa rekomendasi terapi, kelompok ABCD diturunkan secara
eksklusif dari gejala pasien dan riwayat eksaserbasi mereka.
Spirometri, dalam hubungannya dengan gejala pasien dan riwayat
eksaserbasi sedang dan berat, tetap penting untuk diagnosis,
prognostik dan pertimbangan pendekatan terapeutik penting lain.
Dalam skema penilaian, pasien harus menjalani pemeriksaan
spirometri untuk menentukan tingkat keparahan keterbatasan
aliran udara. Mereka juga harus menjalani penilaian sesak napas/
dispnea menggunakan mMRC atau CAT™. Akhirnya, riwayat
eksaserbasi sedang dan berat (termasuk rawat inap sebelumnya)
harus dicatat.

TABEL 4. PENILAIAN DENGAN CATTM


Untuk tiap pernyataan dibawah, silahkan untuk berikan tanda pada nomor yang
sedang anda rasakan. Hanya boleh dipilih satu nomor pada tiap pernyataan
Saya tidak pernah batuk 0 1 2 3 4 5 Saya selalu batuk
Tidak ada dahak (riak) sama Dada saya penuh dengan
0 1 2 3 4 5
sekali dahak (riak)
Tidak ada rasa berat (terte- Dada saya terasa berat
0 1 2 3 4 5
kan) di dada (tertekan) sekali
Ketika saya jalan mendaki/ Ketika saya jalan mendaki/
naik tangga, saya tidak sesak 0 1 2 3 4 5 naik tangga, saya sangat
sesak
Aktivitas sehari-hari saya di Aktivitas sehari-hari saya di
0 1 2 3 4 5
rumah tidak terbatas rumah sangat terbatas
Saya tidak kuatir keluar Saya sangat kuatir keluar
rumah meskipun saya men- 0 1 2 3 4 5 rumah karena paru saya
derita penyakit paru
Saya dapat tidur dengan Saya tidak dapat tidur den-
0 1 2 3 4 5
nyenyak gan nyenyak

20
Saya sangat bertenaga Saya tidak punya tenaga
0 1 2 3 4 5
sama sekali

Skor Total : _________________________________

GOLD 1 sampai 4 memberikan informasi mengenai beratnya


keterbatasan aliran udara (Tabel 2) sedangkan pengelompokan
berdasarkan riwayat eksaserbasi dan skoring mMRC atau CAT
(kelompok A sampai D, Gambar 1) memberikan informasi mengenai
beban gejala dan risiko eksaserbasi yang digunakan untuk
memandu terapi. VEP1 adalah parameter yang sangat penting
pada tingkat populasi dalam prediksi hasil klinis penting seperti
kematian dan rawat inap atau mendorong pertimbangan untuk
terapi non-farmakologis seperti pengurangan volume paru atau
transplantasi paru. Namun, penting untuk dicatat bahwa pada
tingkat individu, VEP1kehilangan presisi dan dengan demikian tidak
dapat digunakan sendiri untuk menentukan semua pilihan terapi.
Selanjutnya, dalam beberapa keadaan, sepertiselama rawat inap
atau kedatangan ke klinik atau ruang gawat darurat, kemampuan
untuk menilai pasien berdasarkan gejala dan riwayat eksaserbasi,
terlepas dari nilai spirometri, memungkinkan dokter untuk
memulai rencana perawatan berdasarkan ABCD yang direvisi.

GAMBAR 1. ALAT PENILAIAN DENGAN ABCD

Diagnosa Penilaian pada Penentuan


terkonfirmasi dengan limitasi saluran gejala/resiko
spirometri pernapasan eksaserbasi

Riwayat Eksaserbasi
Post Bronchodilator Sedang atau Berat
VEP1/KVP<0,7

VEP1
>2 atau >1
berujung pada
admisi ke
C D
Tingkat (% dari Prediksi) Rumah Sakit

1 > 80 0 atau 1 tidak A B


2 50-79 berujung pada
admisi ke
3 30-49 Rumah Sakit
4 < 30
mMRC 0-1 mMRC >1
CAT <10 CAT >10

Gejala dan Tanda

21
Sebagai Contoh: Ada dua pasien; keduanya pasien memiliki
nilai prediksi VEP1 <30%, dengan skor CAT™ sebesar 18 dan satu
pasien tanpa eksaserbasi dalam satu tahun terakhir dan satu pasien
lainnya mengalami tiga eksaserbasi derajat sedang dalam satu
tahun terakhir. Keduanya akan diberi label/Grup D dalam skema
klasifikasi GOLD sebelumnya. Namun, dengan klasifikasi GOLD
yang baru, maka pasien dengan tiga eksaserbasi derajat sedang
dalam satu tahun terakhir akan diberi label spirometri GOLD kelas
4 dan PPOK grup D.
Pendekatan penilaian ini mengakui keterbatasan VEP1
dalam membuat keputusan pengobatan untuk perawatan pasien
individual dan menyoroti pentingnya gejala pasien dan risiko
eksaserbasi dalam memandu terapi pada PPOK. Pemisahan
keterbatasan aliran udara dari parameter klinis memperjelas apa
yang sedang dievaluasi dan diberi peringkat. Ini memfasilitasi
rekomendasi perawatan yang lebih tepat berdasarkan parameter
yang mendorong gejala pasien pada waktu tertentu.
Sementara itu, di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, PPOK
merupakan manifestasi dari penyakit paru kronik yang dapat di
cegah dan diobati. Hal yang dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis PPOK, di Puskesmas antara lain:
1. Anamnesis
a. Keluhan
• Sesak napas yang bertambah berat bila aktivitas.
• Kadang-kadang disertai mengi.
• Batuk kering atau dengan dahak yang produktif
• Rasa berat di dada.
b. Riwayat penyakit.
Keluhan klinis bertambah berat dari waktu ke waktu.
c. Faktor predisposisi.
• Usia > 40 tahun.
• Riwayat merokok aktif atau pasif.
• Terpajan zat beracun (polusi udara, debu).
• Batuk berulang pada masa kanak-kanak.

22
• Berat badan lahir rendah (BBLR).
2. Pemeriksaan fisis:
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
a. Secara umum
• Penampilan pink puffer atau blue bloater
• Pernapasan pursed-lips breathing
• Tampak denyut vena jugularis atau edema tungkai bila
telah terjadi gagal jantung kanan.
b. Toraks
lnspeksi : barrel chest, penggunaan otot bantu napas, pelebaran
sela iga. Perkusi : hipersonor pada emfisema
Auskultasi :
• Suara napas vesikuler normal, meningkat, atau melemah
• Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa
atau dengan ekspirasi paksa
• Ekspirasi memanjang.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Faal paru dengan pemeriksaan spirometri (nilai normal
prediksi sesuai Pneumobile project Indonesia dan
rekomendasi PDPI).
b. Koordinasi dengan Dit. Fasyankes untuk alokasi pada tahun
berikutnya.
c. Jalan 6 menit dapat dilakukan modifikasi cara evaluasi
fungsi paru atau analisis gasdarah sebelum dan sesudah
pasien berjalan selama 6 menit atau 400 meter. Untuk
di Puskesmas dengan sarana yang terbatas, evaluasi
yang digunakan adalah keluhan Lelah yang timbul atau
bertambah sesak.
d. Pemeriksaan darah Hb, leukosit
e. Foto toraks bila fasilitas ada
f. Pemeriksaan saturasi oksigen.

23
3.7. Diagnosis Banding
Beberapa penyakit pernapasan memiliki gambaran klinis yang
menyerupai PPOK seperti asma, bronkiektasis, atau TB paru yang
luas, sindrom pasca TB paru, penyakit interstisial paru, panbronkiolitis
luas dan lainnya. Dalam pelaksanaan di lapangan terutama fasilitas
layanan primer, sering tidak mudah membedakan PPOK dengan
asma, karena keduanya mempunyai gejala pernapasan kronik,
terdapat obstruksi saluran napas dan gambaran foto toraks yang
dapat normal.
Pada beberapa pasien dengan asma, perbedaan yang jelas
dari PPOK sulit dilakukan dengan menggunakan teknik pencitraan
dan pengujian fisiologis saat ini, karena kedua kondisi tersebut
memiliki sifat dan ekspresi klinis yang sama. Sebagian besar
diagnosis banding potensial lainnya lebih mudah dibedakan dari
PPOK (lihat Tabel 5)

TABEL 5. DIAGNOSA BANDING PPOK


DIAGNOSA FITUR PENYAKIT
PPOK Muncul pada usia menengah; gejala berkembang
lambat; adanya Riwayat merokok atau pajanan asap
rokok
Asma Muncul pada usia muda (biasanya pada masa
kanak-kanak); gejala muncul tiap hari; gejala terasa
lebih parah pada malam/pagi hari; memiliki alergi;
keturunan keluarga.
Gagal X-Ray pada dada menunjukkan dilasi pada jantung
Jantung dan edema pada paru; hasil tes fungsi paru
menunjukkan restriksi volume, bukan limitasi pada
saluran pernapasan.
Bronkiektasis Volume sputum yang besar; biasanya ada bersama
infeksi bakteri; CT/X-ray menunjukkan dilatasi pada
bronkial dan penebalan dinding bronkial
Tuberkulosis Terjadi pada semua usia; terdapat mikrobakteri
Bronkitis Terjadi pada usia muda dan belum pernah merokok;
Obliratif Kemungkinan memiliki riwayat rheumatoid arthritis;
muncul setelah adanya transplan tulang rawan atau
paru-paru

24
Panbrokiolitis Kebanyakan terjadi pada pasien laki-laki dan bukan
Difusif perokok; hampir semua pasien memiliki sinusitis
kronis

3.8. Komplikasi
PPOK merupakan penyakit progresif, faal paru memburuk dari
waktu ke waktu, bahkan dengan perawatan yang terbaik. Gejala
dan perubahan obstruksi saluran napas harus dipantau untuk
menentukan modifikasi terapi dan komplikasi. Pada penilaian awal
saat kunjungan harus mencakup gejala, khususnya gejala baru
atau perburukan dan pemeriksaan fisik yang menunjang PPOK.
Komplikasi pada PPOK merupakan bentuk perjalanan penyakit
yang progresif dan tidak sepenuhnya reversibel, adapun komplikasi
PPOK sebagai berikut :
1. Gagal napas (gagal napas kronik, gagal napas akut pada
gagal napas kronik)
Gagal napas kronik ditandai dengan hasil analisis gas darah
PO2 < 60 mmHg, dan PCO2 > 60 mmHg, serta pH normal.
Penanganannya adalah sebagai berikut :
a. Jaga kesimbangan PO2 dan PCO2.
b. Bronkodilator adekuat
c. Terapi oksigen adekuat terutama waktu aktivitas atau
waktu tidur,
d. Antioksidan
e. Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing.
Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh :
a. Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
b. Sputum bertambah dan purulen
c. Demam
d. Kesadaran menurun.
2. lnfeksi berulang
Pada PPOK, produksi sputum yang berlebihan

25
menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan
terjadinya infeksi berulang, pada kondisi kronik ini imunitas
menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar
limfosit darah.
3. Kor Pulmonale
PPOK yang ditandai oleh P pulmonal pada EKG,
hematokait > 50% dapat disertai gagal jantung kanan.

26
Bab IV
Deteksi Dini dan
Tatalaksana PPOK

27
Bab IV
Deteksi Dini dan Tatalaksana PPOK

4.1. Deteksi Dini


Perkembangan PPOK terjadi secara progresif, dengan
perburukan fungsi paru dari waktu ke waktu seiring bertambahnya
usia. PPOK yang pada tahap awal tidak terdeteksi karena gejalanya
tidak muncul sebelum penyakitnya berkembang lebih lanjut,
kondisi ini seringkali dijumpai terutama pada pasien yang bergejala
(simtomatis), kemungkinan akan berlanjut ke tahap yang lebih
parah dengan peningkatan dampak pada Health-Related Quality
of Life (HRQoL), biaya perawatan kesehatan, dan pemanfaatan
sumber daya kesehatan yang lebih besar. Hal ini memerlukan
intervensi dengan metode skrining rutin sederhana untuk deteksi
PPOK.
Upaya deteksi dini terhadap PPOK bukan hanya dapat
mencegah satu atau lebih eksaserbasi melalui penanganan cepat
kepada pasien pada stadium dini bahkan pada orang yang belum
terdeteksi mengalami obstruksi aliran udara. Deteksi dini PPOK
juga berpotensi memiliki pengaruh dalam meningkatkan upaya
berhenti merokok, meningkatkan upaya pencegahan penyakit
seperti vaksinasi terhadap influenza dan pneumokokus sehingga
angka kematian akibat PPOK dapat dicegah.
4.1.1. Kelompok individu berisiko
a. Usia ≥ 40 tahun
b. Mempunyai riwayat pajanan: asap rokok, polusi udara,
lingkungan tempat kerja
c. Mempunyai gejala dan keluhan batuk berdahak, sesak
napas, gejala berlangsung lama umumnya semakin
memberat.
d. Termasuk dalam kelompok individu berisiko adalah ibu
rumah tangga yang memasak dengan menggunakan
kayu bakar atau kompor minyak tanah dengan ventilasi
ruangan yang kurang baik.

28
4.1.2. Kelompok Masyarakat
Kelompok masyarakat yang bekerja atau tinggal di
daerah pertambangan (batu, batu bara, asbes), pabrik (bahan
baku asbes, baja, mesin, perkakas logam keras, tekstil, kapas,
semen , bahan kimia), penghalusan batu, penggerindaan
logam keras, penggergajian kayu, daerah pasca erupsi gunung
berapi, daerah kebakaran hutan dan pekerja khusus (salon, cat,
fotocopy), polantas, karyawan penjaga pintu tol, dan lain-lain.
Penemuan kasus PPOK secara aktif (dapat dilaksanakan
bersamaan dengan kegiatan pemeriksaan HBR (rumah
Hunian Bebas asap Rokok) secara berkala. Penemuankasus
PPOK dapat juga secara pasif di unit pelayanan kesehatan.
4.1.3. Cakupan Deteksi Dini
Target Deteksi Dini yang harus dicapai paling sedikit
80% dari populasi sasaran dengan formulasi (6.9% x jumlah
penduduk usia ≥ 40 Tahun). Contoh perhitungan bila total
sasaran penduduk yang berusia ≥ 40 Tahun sebanyak
84.496.356, maka target 80% yang harus dicapai adalah (6,9% x
84.496.356) x 80% sebanyak 4.664.199 orang.
4.1.4. Frekuensi Deteksi Dini
Deteksi dini PPOK dilakukan minimal 1 kali dalam 1 tahun.
4.1.5. Tenaga Pelaksana Deteksi Dini
Untuk kegiatan deteksi dini dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang telah dilatih untuk melakukan manuver
spirometri dan interpretasi. Pengisian instrumen kuesioner
PUMA dapat dilakukan oleh tenaga non nakes seperti kader
kesehatan dan lainnya. Prinsipnya dalam pengisian Instrumen
kuesioner PUMA harus dilakukan secara terpimpin untuk
menghindari kesalahan dalam skoring nilainya.
4.1.6. Metode Deteksi Dini
Deteksi PPOK ini menggunakan skrining instrumen
kuesioner (kuesioner PUMA) dengan isian 7 pertanyaan,
ditambah dengan gejala dan tanda klinis yang ditemukan.
Selanjutnya dari hasil penilaian ditentukan yang akan diperiksa
berikutnya dengan Spirometri. Pemeriksaan Spirometri ini

29
dilakukan untuk mengetahui fungsi paru padaindividu apakah
terdapat gangguan aliran udara berupa obstruksi. Kegiatan
deteksidini PPOK dengan instrumen kuesioner PUMA dapat
dilaksanakan dalam dan di luar gedung seperti Posbindu,
Puskesmas keliling, dan Visitasi Rumah.
4.1.7. Penyelenggaraan Deteksi Dini
Deteksi dini dilakukan pada kelompok individu berisiko
tinggi dan masyarakat secara aktif baik di fasilitas pelayanan
kesehatan maupun di tatanan masyarakat. Dengan alur
sebagai berikut:

GAMBAR 2. ALUR DETEKSI DINI PPOK

30
4.2. Tatalaksana
Talaksana PPOK terdiri dari beberapa aspek diantaranya :
1. Berhenti merokok, farmakoterapi, latihan fisik, terapi
oksigen, vaksinasi influenza, DPT Booster dan pneumokok,
antibiotik untuk mengatasi eksaserbasi, Lung volume
reduction surgery /bronchoscopy Lung volume reduction
surgery, palliative care, end of life care, hospice care.
2. Terapi pemeliharaan dengan Inhaled Corticosteroids (ICS),
long-acting bronchodilators (LABA) atau long-acting
muscarinic antagonist (LAMA) merupakan terapi utama
untuk menstabilkan PPOK, mencegah progresifitas, dan
mencegah eksaserbasi. Golongan obat bronkodilator
mempunyai beberapa keuntungan diantaranya:
Mempertahankan kestabilan fungsi paru, mengurangi
gejala, mempertahankan kemampuan aktivitas fisik,
memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah eksaserbasi.
Terapi farmakologis dapat mengurangi gejala, dan risiko
dan keparahan eksaserbasi, serta meningkatkan status
kesehatan dan toleransi latihan pasien PPOK. Sebagian
besar obat dihirup sehingga teknik inhaler yang tepat
sangat relevan. Gambar di bawah adalah upaya untuk
memberikan panduan klinis menggunakan bukti terbaik
yang tersedia.

GAMBAR 3. PENGOBATAN FARMAKOLOGI AWAL

≥ 2 eksaserbasi Group D
Group C
sedang atau ≥ 1 LAMA atau LAMA + LABA* atau ICS + LABA**
mengarah ke rawat LAMA * Pertimbangkan jika sangat bergejala
inap (misalnya CAT >20)
** Pertimbangkan jika eos ≥ 300

0 atau 1 eksaserbasi Group A Group B


sedang (tidak mengarah
Bronkodilator Long-Acting Bronchodilator
ke rawat inap) (LABA or LAMA)

mMRC 0-1, mMRC ≥ 2, CAT ≥ 10


CAT <10

31
3. Terapi Tindak Lanjut
Setelah pelaksanaan terapi, pasien harus dinilai ulang
untuk pencapaian tujuan pengobatan dan identifikasi
hambatan untuk pengobatan yang berhasil. Setelah
meninjau respons pasien terhadap inisiasi pengobatan,
penyesuaian dalam pengobatan farmakologis mungkin
diperlukan. Apabila respon terhadap pengobatan awal
pada Gambar 3 belum tepat, gunakan Alur pada Tabel 6
dibawah ini:

TABEL 6. PERAWATAN FARMAKOLOGI TINDAK LANJUT


1. JIKA RESPON TERHADAP PENGOBATAN AWAL TEPAT, pertahankan.
2. JIKA TIDAK:
• Pertimbangkan gejala utama yang dapat diobati untuk pasien
(dispnea atau eksaserbasi) - Gunakan alur eksaserbasi, jika pasien
memiliki eksaserbasi dan dispnea
• Kategorikan pasien di kotak yang sesuai dengan perawatan saat ini
& ikuti indikasi
• Perhatikan respon, sesuaikan, dan tinjau
• Rekomendasi ini tidak bergantung pada penilaian ABCD saat
diagnosis
DYSPNEA EKSASERBASI

LABA atau LAMA LABA atau LAMA

*
**
** LABA + LAMA LABA + ICS
LABA + LAMA LABA + ICS **
**
Jika eos >100
Jika eos <100
LABA + LAMA + ICS
• Pertimbangkan LABA + LAMA + ICS
perubahan alat
inhalasi atau molekul
obat
• Investigasi (dan rawat) Roflumilast Azitromisin
penyebab dyspnea
lainnya FEV1 <50%; dan untuk riwayat perokok
untuk bronkitis kronik

eos = jumlah eosinofil darah (sel/µL)


*) Pertimbangkan jika eos ≥300 atau eos ≥100 DAN ≥2 eksaserbasi
sedang/1 rawat inap
**) Pertimbangkan de-eskalasi ICS atau beralih jika pneumonia,
indikasi awal yang tidak sesuai atau kurangnya respons terhadap ICS

32
IDT */
Nebulizer Vial Lama kerja
Obat ISK *
(mg)
Oral (mg)
injeksi Uam)
(tJgr)
Antikolinergik

lpratropium 40-80 0,25-0,50 - - 6 - 8 jam


Tiotropium 18 - - - 24 jam
Agonis ß -2 kerja singkat
Fenoterol 100-200 0,5 - 2,0 - - 4 - 6 jam
Salbutamol 100-200 2,5 - 5,0 2-4 - 4 - 6 jam
Terbutalin 250-500 5 - 10 2,5-5 - 4 - 6 jam
Prokaterol 10 0,03 - 0,05 0,25 - 0,5 - 6 - 8 jam
Agonis ß -2 kerja lama
Formoterol 4,5-12 - - - 12 jam
Indacaterol 150-300 - - - 24 jam
Salmeterol 50-100 - - - 12 jam
Terapi kombinasi
Fenoterol +
200 + 20 - - - 4 - 8 jam
lpratropium
Salbutamol +
75 + 15 2,5 + 0,5 - 4 - 8 jam
lpratropium
Flutikason + 50/125
- - - 12 jam
Salmeterol + 25
Budesonid + 80/160
- - - 12 jam
Formoterol + 4,5
Metil xantin
Aminofilin - - 200 240 4 - 6 jam
Teofilin-LL bervariasi,
*** - - 100-400 bisa sampai
24 jam

Tujuan penatalaksanaan PPOK di Puskesmas/Fasilitas


Kesehatan Tingkat Pertamasebagai berikut;
1. Mengurangi laju beratnya penyakit

33
2. Mempertahankan PPOK yang stabil
3. Mengatasi eksaserbasi ringan
4. Merujuk ke spesialis paru atau rumah sakit
5. Melanjutkan pengobatan dari spesialis paru atau rumah sakit
rujukan.

4.3. Penatalaksanaan PPOK stabil.


Tujuan pengobatan PPOK stabil adalah untuk memperbaiki
gejala, toleransi latihan dan status kesehatan selain mengurangi
risiko dengan mencegah perkembangan penyakit, eksaserbasi
dan kematian. Perlunya dilakukan penilaian pasien PPOK meliputi
keparahan obstruksi aliran udara, gejala, riwayat eksaserbasi,
paparan faktor risiko dan komorbiditas untuk tahapan pengelolaan
berikutnya. Untuk memudahkan penatalaksanaan di Puskesmas/
FKTP dapat diuraikan sebagai berikut:
4.3.1. Obat-obatan
Dalam penatalaksanaan PPOK stabil termasuk disini
melanjutkan pengobatan pemeliharaan dari rumah sakit atau
dokter spesialis paru baik setelah mengalami serangan berat
atau evaluasi spesialistik lainnya, seperti pemeriksaan faal
paru, analisis gas darah, kardiologi, dan lain-lain. Obat obatan
diberikan dengan tujuan mengurangi laju beratnya penyakit
dan mempertahankan keadaan stabil yang telah tercapai
dengan mempertahankan bronkodilatasi dan penekanan
inflamasi.
Obat-obatan yang digunakan :
1. Bronkodilator; Diberikan dalam bentuk oral, kombinasi
golongan ß -2 agonis dengan golongan xantin. Masing-
masing dalam dosis suboptimal, sesuai denganberat
badan dan beratnya penyakit. Misal untuk dosis
pemeliharaan, aminofillin, teofillin 100-150 mg kombinasi
dengan salbutamol 1 mg atau terbutalin 1 mg.
2. Kortikosteroid; Gunakan dalam bentuk inhalasi.
3. Ekspektoran; Gunakan obat batuk hitam (OBH).
4. Mukolitik; Gliseril guayakolat dapat diberikan bila sputum
mukoid.

34
5. Antitusif.
6. Kodein; dimana hanya diberikan bila batuk kering dan
iritatif.
4.3.2. Edukasi
Karena keterbatasan obat-obatan yang tersedia dan
masalah sosiokultural lainnya, seperti keterbatasan tingkat
pendidikan dan pengetahuan, keterbatasan ekonomi dan
sarana kesehatan, maka edukasi di Puskesmas ditujukan
untuk mencegah bertambah beratnya penyakit dengan cara
mengunakan obat yang tersedia dengan tepat, menyesuaikan
keterbatasan aktivitas, serta mencegah eksaserbasi.
4.3.3. Pengurangan Pajanan Faktor Risiko
Pengurangan pajanan asap rokok, debu pekerjaan,
bahan kimia, dan polusi udara indoor maupun outdoor,
termasuk asap dari memasak merupakan tujuan penting
untuk mencegah timbul dan perburukan PPOK. Dalam sistem
pelayanan kesehatan, praktisi pelayanan primer secara aktif
terlibat dalam kampanye kesehatan masyarakat diharapkan
mampu memainkan peran penting dalam menyampaikan
pesan-pesan tentang mengurangi pajanan faktor risiko.
Praktisi pelayanan primer juga dapat mengkampanyekan
pengetahuan mengenai bahaya merokok pasif dan pentingnya
menerapkan lingkungan kerja yang bebas rokok.
4.3.4. Berhenti Merokok
Berhenti Merokok merupakan intervensi yang paling
efektif untuk mengurangi risiko pengembangan PPOK,
maka nasihat berhenti merokok dari para profesional bidang
kesehatan membuat pasien lebih yakin untuk berhenti
merokok. Praktisi pelayanan primer memiliki banyak
kesempatan kontak dengan pasien untuk: mendiskusikan
berhenti merokok. meningkatkan motivasi untuk berhenti
merokok, dan mengidentifikasi kebutuhan obat farmakologi
yang mendukung. Hal ini sangat penting untuk menyelaraskan
saran yang diberikan olah praktisi individu dengan kampanye
kesehatan publik.

35
4.3.5. Nutrisi
Keseimbangan nutrisi antara protein lemak dan
karbohidrat diberikan dalam porsi kecil tetapi sering.
Kekurangan kalori dapat menyebabkan meningkatnya derajat
sesak.
4.3.6. Rehabilitasi
Hanya untuk PPOK derajat 3-4 dilakukan di rumah
sakit rujukan. Rehabilitasi bertujuan untuk meningkatkan
toleransi terhadap pelatihan dan memperbaiki kualitas hidup
pasien PPOK. Rehabilitasi hanya dilakukan di Rumah Sakit
untuk pasien PPOK derajat 3 dan 4 yang telah mendapatkan
pengobatan optimal yang disertai antara lain:
a. Gejala pernapasan berat
b. Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
c. Kualitas hidup yang menurun.
Program rehabilitasi dilaksanakan di dalam maupun
di fasilitas pelayanan kesehatan, salah satunya dapat
memanfaatkan teknologi digital dan informatika berupa
telerehabilitasi yang menjadi bagian dari tele konsultasi
maupun telemedisine oleh suatu tim multidisiplin yang terdiri
dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis, dan psikolog. Program
rehabilitasi terdiri dari 3 komponen yaitu:
Latihan fisik
Tujuan dari latihan fisik adalah memperbaiki efisiensi
dan kapasitas sistemtransportasi oksigen guna peningkatan
efisiensi distribusi darah dan peningkatan cardiac output dan
stroke volume. Latihan untuk meningkatkan kemampuan
ototpernapasan bagi pasien PPOK yang mengalami kelelahan
otot pernapasan, sehingga dengan latihan ini otot pernapasan
mengakibatkan bertambahnya kemampuan ventilasi
maksimal, memperbaiki kualitas hidup, dan mengurangi
sesak napas. Disamping itu dapat meningkatnya kapasitas
kerja maksimal dengan rendahnya konsumsi oksigen dan
efisiensi pemakaian oksigen di jaringan dan toleransi terhadap
asam laktat. Sesak napas bukan satu satunya keluhan yang
menyebabkan pasien PPOK menghentikan latihan, faktor

36
lainyang mempengaruhi adalah kelelahan otot kaki. Dan pada
pasien PPOK berat, kelelahan kaki mungkin merupakan faktor
yang dominan untuk menghentikan latihan. Latihan fisik bagi
pasien PPOK derajat I dan II dapat dilakukan di dua tempat
yaitu:
a. Di Rumah
Contoh kegiatan: latihan dinamik yang menggunakan
otot secara ritmis, seperti jogging, jalan santai dan bersepeda
statis. Latihan tersebut dilakukan setiap hari 15 - 30 menit
selama 4 - 7 hari perminggu. Setelah latihan dilakukan periksa
denyut nadi, lama latihan, dan keluhan. subyektif dicatat untuk
mengetahui perkembangan penyakitnya
b. Rumah Sakit
Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum latihan adalah:
• Tidak boleh makan 2 - 3 jam sebelum latihan.
• Berhenti merokok 2 - 3 jam sebelum latihan.
• Apabila selama latihan dijumpai angina, gangguan mental,
gangguan koordinasi, atau pusing maka latihan segara
dihentikan.
• Pakaian longgar dan ringan.
Latihan psikososial
Status psikologi pasien PPOK perlu diamati dengan cermat
dan jika diperlukan dapat diberikan obat.
Latihan pernapasan
Tujuan dari latihan ini adalah untuk mengurangi dan
mengontrol sesak napas. Teknik latihan meliputi pernapasan
diafragma dan pursed lips breathing guna memperbaiki
ventilasi dan mensikronisasikan kerja otot abdomen dan
toraks.

37
TABEL 8. REHABILITASI PARU, MANAJEMEN MANDIRI, DAN
PELAYANAN INTEGRATIF PADA PPOK
REHABILITASI PARU

Rehabilitasi paru mampu memperbaiki dyspnea, status kesehatan dan


toleransiolahraga pada pasien stabil
Rehabilitasi paru menurunkan hospitalisasi pada pasien yang sedang
mengalami eksaserbasi (≤4 minggu dari awal hospitalisasi)
Rehabilitasi paru berujung pada penurunan gejala dari kecemasan dan
depresi.
EDUKASI DAN MANAJEMEN MANDIRI

Edukasi mandiri tidak menunjukan hasil yang efektif


Intervensi Manajemen Mandiri dengan komunikasi bersama tenaga
medis,mampu memperbaiki status kesehatan dan menurunkan
hospitalisasi serta kunjungan gawat darurat.
PROGRAM PELAYANAN YANG INTEGRATIF

Pelayanan integratif dan telemedicine belum menunjukkan manfaat


saat ini.

4.4. Asuhan Keperawatan Individu dengan PPOK


Asuhan Keperawatan individu dengan PPOK dimulai dengan
melakukan:
4.4.1. Pengkajian
1. Aktivitas dan lstirahat
Gejala:
• Keletihan, kelelahan, malaise.
• Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari
karena sulit bernafas.
• Ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi
duduk tinggi.
• Dispnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas
atau latihan.
Tanda:
• Keletihan

38
• Gelisah insomnia
• Kelemahan umum/kehilangan massa otot.
2. Sirkulasi
Gejala gPembengkakan pada ekstremitas bawah.
Tanda-tanda sebagai berikut :
• Peningkatan tekanan darah.
• Peningkatan frekuensi jantung.
• Distensi vena leher.
• Edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit
jantung.
• Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan
peningkatan diameter AP dada).
• Warna kulit membrane mukosa: normal abu• abu sianosis;
kuku tabuh dan sianosis parifer.
• Pucat dapat menunjukkan anemia.
3. lntegritas Ego
Gejala:
• Peningkatan faktor risiko.
• Perubahan pola hidup (Axanxcetan), ketakutan, peka
rangsang.
4. Makanan dan cairan
Gejala:
• Mual / muntah.
• Nafsu makan buruk / anoreksia (emfisema).
• Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernafasan.
• Penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan
berat badan menunjukkan edema (bronchitis).
Tanda:
• Turgor kulit buruk.
• Edema Dependen.

39
• Berkeringat.
5. Hygiene
Gejala g Penurunan kemampuan/ peningkatan kebutuhan
bantuan melakukan
aktivitas sehari•hari.
Tanda g Kebersihan buruk, bau badan.
6. Pernafasan
Gejala:
• Nafas pendek (timbul tersembunyi dengan dispnea sebagai
gejala menonjol pada emfisema) khususnya pada kerja
cuaca atau episode berulangnya sulit nafas, rasa dada
tertekan, ketidakmampuan untuk bernafas.
• Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari
(terutama pada saat bangun) selama minimum 3 bulan
berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun. Produksi
sputum (hijau, putih, atau kuning) dapat banyak sekali
(bronchitis kronis).
• Episode batuk hilang timbul, biasanya tidak produksi pada
tahap dini meskipun dapat menjadi produktif (emfisema).
• Riwayat pneumonia berulang, terjadi pada polusi kimia
liritan pernafasan dalam jangka panjang (mis. rokok sigaret)
atau debu/asap (misalnya asbes, debu batubara, rami katun,
serbuk gergaji).
• Penggunaan oksigen pada malam hari secara terus-
menerus.
Tanda:
• Pernafasan: biasanya cepat, dapat lambat fase ekspresi
memanjang dengan mendengkur, nafas bibir (emfisema).
• Penggunaaan otot bantu pernafasan, seperti meninggikan
bahu, melebarkan hidung.
• Dada: gerakan diafragma minimal.
• Bunyi nafas: mungkin redup dengan ekspirasi mengi
(emfisama); menyebar, lembut atau krekels lembab kasar

40
(bronchitis); ronki, mengi sepanjang area paru pada ekspirasi
dan kemungkinan selama inspirasi berlanjut sampai
penurunan atau tidak adanya bunyi nafas.
• Perkusi: Hiperesonan pada area paru (misalnya jebakan
udara dengan emfisema); bunyi pekak pada area paru
(misalnya konsolidasi, cairan, mukosa)
• Kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 atau 5 kata
sekaligus.
• Warna: pucat dangan sianosis bibir dan dasar kuku abu-
abu keseluruhan: warna merah (bronchitis kronis, biru
mengambung ). Pasien dengan emfisema sedang sering
disebut “pink puffer” karena warna kulit normal meskipun
pertukaran gas tak normal dan frekuensi pernafasan cepat.
• Tabuh pada jari-jarl (emtisema).
7. Alergi
Gejala:
• Riwayat reaksi alergi atau sensitive terhadap zat/faktor
lingkungan.
• Adanya/berulang infeksi.
• Kemerahan/berkeringat.
8. Seksualitas
Gejala g Penurunan libido.
9. lnteraksi Sosial
Gejala:
• Hubungan ketergantungan kurang sistem pendukung
• Kegagalan dukungan dari/terhadap pasanganl orang dekat
• Penyakit lama atau ketidakmampuan membaik.
Tanda:
• Ketidakmampuan untuk membuat I mempertahankan
suara karena distress pernafasan
• Keterbatasan mobilitas fisik
• Kelalaian hubungan dengan anggota keluarga lain.

41
4.4.2. Diagnosis Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan
bronkhotriksi, peningkatan produksi sputum, batuk tidak
efektif, kelelahan I berkurangnya tenaga dan infeksi bronko
pulmonal
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas
pendek, mukus, bronkhotriksi dan iritan jalan napas.
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan
ketidaksamaan ventilasi perfusi
4. lntoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak•
seimbangan antara suplai dengan kebutuhan oksigen
5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan diapnea, kelemahan, efek: samping
obat, produksi sputum dan anoreksia, mual muntah.
6. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan
sekunder akibat peningkatan upaya pernapasan dan
insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.
4.5.
Asuhan Keperawatan Kelompok Dengan Masalah
PPOK
Pengkajian keperawatan kelompok:
1. Pemeriksaan anggota kelompok.
2. Pengkajian sub variabel kelompok:
a. Pelayanan kesehatan kelompok
b. Kondisi lingkungan
c. Aktifitas dan perilaku kelompok
d. Sarana pendukung : rekreasi, transportasi, kemungkinan
diagnosa
e. Keperawatan :
• Risiko meningkatnya prevalensi penyakit PPOK faktor
terkait.
• Pola hidup populasi tidak sehat: aktif merokok dan
kurang olahraga.

42
• Management pengobatan ISPA tidak adekuat.
• Prevalensi tinggi: ISPA, Asma, alergi berulang program
penanggulangan PPOK tidak optimal.
• Prevalensi tinggi, ISPA, Asma, alergi berulang.
• Program penanggulangan PPOK tidak optimal, dll.

Tabel 9. Tindakan Keperawatan Komunitas Pencegahan Primer


NO TUJUAN INTERVENSI
1 Dukungan 1. Berikan pendidikan kesehatan tentang nutrisi
kesehatan yang adekuat dan sesuai untuk klien asma atau
klien PPOK.
2. Berikan pendidikan tentang kebutuhan
exercise dan bantu klien untuk merencanakan
program exercise yang sesuai.
3. Ajarkan ketrampilan coping/penanggulangan
masalah.
2 Modifikasi 1. Skrining faktor risiko dan lakukan pendidikan
faktor risiko kesehatan tentang faktor risiko tersebut.
2. Bentuk self help group untuk perokok.
3. Lakukan skrining dan rujuk untuk klien dengan
kondisi tersangka asma atau PPOK.
4. Berikan pendidikan kesehatan tentang polusi
dan dampaknya terhadap kesehatan.
5. Monitor kondisi kesehatan klien dan
lingkungan dan bantu mengidentifikasi kondisi
I situasi yang menimbulkan stress.

Tabel 10. Tindakan Keperawatan Komunitas Pencegahan Sekunder


NO TUJUAN INTERVENSI
1 Skrining 1. Penyuluhan/ pendidikan kesehatan tentang
kebutuhan pemeriksaan kesehatan dan
skrining secara periodik.
2. Lakukan pemeriksaan kesehatan.
3. Lakukan program skrining untuk kelompok
resiko tinggi penyakit asma dan PPOK
2 Penemuan 1. Berikan pendidikan kesehatan kepada
secara dini masyarakat tentang tanda dan gejala penyakit
Asma dan PPOK.

43
2. Kontribusi dalam penemuan kasus dan
lakukan rujukan untuk penentuan diagnostik
yang sesuai.
3 Penanggu- Bantu pengelolaan penyakit asma dan PPOK :
langan 1. Berikan penanganan emergency sesuai
secara tepat kebutuhan :
a. Ajarkan klien dalam melakukan penanganan
emergency (CPR).
b. Lakukan rujukan ke penanggulangan
lanjutan.
2. Persiapkan klien untuk prosedur
penanggulangan klien penyakit asma atau
PPOK.
a. ldentifikasi rencana penanggulangan yang
ditetapkan.
b. Berikan support selama penanggulangan.
c. Edukasi klien tentang pengobatan yang
diterimanya: dosis, efek samping, cara
menggunakannya dll.
d. Anjurkan klien mematuhi ketentuan
penanggulangan yang direncanakan.
3. Monitor efek terapi yang dilakukan dalam
penanggulangan asma atau PPOK
a. Monitor efek samping.
b. Rujuk untuk follow up sesuai kebutuhan.

Tabel 11. Tindakan Keperawatan Komunitas Pencegahan Tersier


NO TUJUAN INTERVENSI
1 Menurunkan - Motivasi pasien untuk mengungkapkan
faktor risiko program pengobatan atau tindakan kesehatan
kekambuhan yang diprogramkan
- Bantu pasien untuk identifikasi faktor risiko
yang tidak mampu dirubah
- Bantu pasien untuk identifikasi cara
menurunkan faktor risiko
2 Mencegah - Bantu pasien untuk mempertahankan fungsi
hilangnya organ/aspek yang tidak teganggu.
fungsi - Mencegah komplikasi fisik akibat penyakit:
organ/ aspek latihan bernapas, pemenuhan kebutuhan
yang tidak nutrisi dan cairan yang adekuat
terganggu - Terima pasien sebagai individu seutuhnya

44
- Anjurkan interaksi dengan orang lain.
- Bantu orang lain yang berarti bagi pasien
untuk memahami penyakit pasien.
- Bantu kemandirian pasien semaksimal
mungkin.
- Bantu mengidentifikasi kebutuhan yang perlu
dirubah dalam keluarga.
- Ajarkan pasien untuk membuat program
kemandirian dan evaluasi dampaknya.
- Monitor status kesehatan pasien: identifikasi
perubahan-perubahan pada kesehatan pasien
dan rujuk untuk follow up sesuai kebutuhan.
- Bantu pasien untuk mengatur diri sesuai
kondisi penyakitnya saat ini.
- Membantu pasien sesuai tingkat
erkembangan dan penyakitnya.
- Bantu pasien untuk identifikasi kebutuhan
perubahan dalam pola hidupnya.
- Bantu pasien merencanakan dan melakukan
perubahan pola hidupnya.
- ldentifikasi kebutuhan perubahyan lingkungan
untuk mempercepat kemandiriannya.

4.6. Rujukan ke Spesialis Paru/Rumah Sakit.


Sistem pelayanan rujukan pada prinsipnya adalah manajemen
pelayanan kesehatan yang memungkinkan penyerahan otoritas/
tanggung jawab dan bersifat timbal balik mengenai masalah
kesehatan masyarakat atau kasus penyakit baik secara vertikal pada
pelayanan kesehatan yang lebih tinggi atau horizontal kepada yang
berkompeten. Sistem rujukan dalam pengendalian asma adalah
sistem rujukan vertikal, dimana FKTP merujuk ke FKRTL
4.6.1. Tujuan rujukan PPOK
a. Menilai fungsi faal paru dan derajat berat PPOK
b. Menegakkan diagnosis dan optimalisasi terapi dengan
meninjau ulang tingkat keparahan obstruksi saluran napas
c. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas penderita
PPOK yang memenuhi kriteria perawatan intensif di
fasilitas kesehatan tingkat lanjutan
d. Memberikan kemudahan, efisiensi dan pelayanan

45
berkelanjutan yang komprehensif dalam jangka panjang
serta mencegah fragmentasi pelayanan kesehatan bagi
penderita PPOK melalui rujuk balik.
4.6.2. Kriteria rujukan
Kriteria pasien PPOK dari FKTP ke FKRTL:
a. Untuk memastikan diagnosis dan menentukan derajat
PPOK pada pasien yang dicurigai PPOK. Jenis pemeriksaan
rujukan pada pasien PPOK, sebagai berikut:
1) Melakukan konsultasi ke dokter spesialis paru atau
penyakit dalam pada awal penilaian/kunjungan
pertama, kemudian melakukan pemeriksaan berkala
untuk menilai perubahan saluran napas dan frekuensi
pemeriksaan tergantung pada berat penyakit dan
respon pengobatan.
2) Pemeriksaan darah lengkap dengan neutrophil untuk
menilai kecurigaan polisitemia maupun infeksi.
3) Foto toraks, dilakukan pada awal penilaian/ kunjungan
pertama kemudian pada pemeriksaan berkala atau
diulang bila ada kecurigaan penyakit komorbid lain
seperti: pneumonia atau pneumothorax, penyakit
jantung, keganasan, penyakit paru kerja, dll.
4) EKG, dilakukan pada awal diagnosis bila pasien berusia
> 40 tahun, dilakukan pada penderita PPOK dengan
kecurigaan komorbid penyakit jantung, terutama cor
pulmonal dan pemeriksaan berkala pada PPOK dengan
komorbid penyakit jantung.
5) Spirometri dengan tes bronkodilator, dilakukan pada
awal penilaian atau kunjungan pertama, setelah
pengobatan awal diberikan, bila gejala telah stabil dan
pemerik saan berkala untuk menilai perubahan fungsi
saluran.napas atau lebih sering bergantung berat
penyakit dan respon pengobatan.
6) Pulse oksimetri, dilakukan pada pasien PPOK eksaserbasi
untuk menentukan tingkat keparahan eksaserbasi dan
kebutuhan terapi oksigen awal sebelum penghitungan
pasti kebutuhan oksigen berdasarkan analisa gas darah.

46
7) Analisa gas darah, dilakukan pada pasien PPOK
eksaserbasi yang memerlukan penghitungan
kebutuhan terapi oksigen, dilakukan pada pasien PPOK
dengan kecurigaan gagal napas untuk penatalaksanaan
jalan napas selanjutnya dan dilakukan pada pasien
PPOK untuk menentukan penggunaan ventilator.
8) Pemeriksaan mikrobiologi sputum, dilakukan pada
pasien PPOK dengan kecurigaan infeksi.
9)
Bronkoskopi, dilakukan bila dicurigai ada faktor
komorbid lain seperti bronkiektasis, fibrosis paru,
kanker paru, kondisi patologis lain atau bila ada indikasi
operasi.
10) Cardiopulmonary exercise test, 6 minutes walking test
(6MWT), 12 minute walking test (12 MWT), incremental
shuttle walk test (ISWT), dilakukan bila dibutuhkan
pada pasien PPOK untuk mengetahui tingkat toleransi
olahraga, evaluasi rehabilitasi paru, kecurigaan kelainan
jantung dan yang akan dilakukan tindakan operasi.
b. Untuk penatalaksanaan jangka panjang.
c. Kondisi PPOK yang dirujuk ke FKRTL adalah sebagai
berikut:
1) PPOK eksaserbasi sedang:
• Didapatkan 2 dari 3 gejala kardinal eksaserbasi PPOK
yaitu sesak napas meningkat, produksi sputum
meningkat, perubahan warna sputum (sputum
menjadi purulen)
• Dapat disertai dengan sianosis, dan edema perifer.
2) PPOK dengan gagal napas kronik:
• PPOK eksaserbasi dengan hasil analisa gas darah PCO2
< 60 mmHg dan PCO2 > 60 mmHg dengan pH normal
3) PPOK dengan infeksi berulang:
PPOK eksaserbasi disertai peningkatan kadar limfosit
dan neutrofildarah.
4) PPOK dengan kor pulmonal:

47
PPOK dengan tanda gagaI jantung kanan Gelombang
P pulmonalpada EKG Hematokrit > 50%.
5) PPOK dengan eksaserbasi berat:
• Tidak respon dengan terapi inisial (nebuliser).
• Penggunaan otot bantu pernafasan.
• Pergerakan dinding dada paradoksal.
• Sianosis.
• Edema perifer.
• Deteriorisasi status mental.
• Bila tersedia lakukan pemeriksaan darah lengkap
didapatkan:
- Polisitemia (HCT >55%)
- Anemia
- Leukositosis
- Hiperglikemia
6) PPOK dengan gagal napas akut atau acute on chronic:
• Penurunan kesadaran
• Sesak napas
• Sianosis
• Bila tersedia lakukan analisa gas darah PaCO2 < 60
mmHg dengan atau tanpa PaCO2 >50 mmHg

4.7. Penatalaksanaan Lanjutan Pasien Rujuk Balik di FKTP


Pasien PPOK yang sudah terkontrol/stabil namun masih
memerlukan pengobatan atauasuhan keperawatan dalam jangka
Panjang dapat dirujuk balik ke FKTP. Pasien tersebut dapat juga
meneriman obat-obatan untuk penyakit kronis di FKTP sebagai
bagian dari program pelayanan rujuk balik. Pasien PPOK yang
dapat dirujuk balik dari FKRTL ke FKTP, bila:
a. Mampu menggunakan long acting bronkodilator baik
ß-2 agonist dan atau antikolinergik dengan atau tanpa

48
kortikosteroid inhalasi. Penggunaan kortikosteroid harus
memperhatikan beberapa faktor pada Tabel 12 dibawah.
b. Penggunaan SABA lebih dari 4 jam per puff.
c. Pasien mampu berjalan mengelilingi ruangan kamar.
d. Pasien mampu makan, minum dan tidur tanpa terbangun
karena sesak.
e. Analisa gas darah stabil 12-24 jam.
f. Pasien dan pendamping mengerti benar cara penggunaan
obat-obatan yang diberikan.
g. Telah dilakukan perencanaan, perawatan dan pemantauan
dirumah (homevisit, terapi oksigen, terapi nutrisi) yang
dilakukan petugas FKTP

TABEL 12. FAKTOR YANG HARUS DIPERHATIKAN DALAM INISIASI


PENGGUNAAN TERAPI KORTIKOSTEROID INHALASI
Faktor yang harus diperhatikan dalam penggunaan kombinasi bersama
satu atau dua longacting bronkodilator:
PENGGUNAAN YANG
PENGGUNAAN YANG
MANFAAT BAIK HARUS
HARUS DIHINDARI
DIPERHATIKAN
• Riwayat hospitalisasi • Eksaserbasi PPOK • Kejadian pneumonia
karena eksaserbasi sedang sebanyak yang berulang
PPOK satu kali per tahun • Kadar eosinophil
• Eksaserbasi PPOK • Kadar eosinophil darah <100 sel/µL
sedang ≥ 2 per darah < 300 sel/µL • Riwayat infeksi
tahun mikobakteri
• Kadar eosinophil
darah ≥ 300 sel/µL
• Riwayat asma

4.8. Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi


Eksaserbasi PPOK didefinisikan sebagai perburukan akut
gejala pernapasan yang mengakibatkan terapi tambahan. Karena
gejalanya tidak spesifik untuk PPOK, diagnosis banding yang
relevan harus dipertimbangkan. Eksaserbasi PPOK dapat dipicu
oleh beberapa faktor. Penyebab paling umum adalah infeksi
saluran pernapasan. Tujuan pengobatan eksaserbasi PPOK adalah

49
untuk meminimalkan dampak negatif dari eksaserbasi saat ini
dan untuk mencegah kejadian selanjutnya. Setelah eksaserbasi,
tindakan pencegahan eksaserbasi yang tepat harus dimulai.
Eksaserbasi PPOK terbagi menjadi derajat ringan, sedang, dan
berat. Penatalaksanaan derajat ringan diatasi di poliklinik rawat
jalan dapat diobati dengan bronkodilator kerja pendek monoterapi,
short-acting Bronkodilator. Derajat sedang dapat diberikan obat
obatan perinjeksi kemudian dilanjutkan dengan peroral, yaitu
diobati dengan short-acting Bronkodilator plus antibiotik dan/
atau kortikosteroid oral);. Sedangkan pada eksaserbasi derajat
berat obat-obatan diberikan intravena untuk kemudian bila
memungkinkan dirujuk ke rumah sakit yang lebih memadai
setelah kondisi daruratnya teratasi (pasien memerlukan rawat inap
atau mengunjungi ruang gawat darurat). SABA inhalasi, dengan
atau tanpa antikolinergik kerja pendek, direkomendasikan sebagai
bronkodilator awal untuk mengobati eksaserbasi akut. Terapi
pemeliharaan dengan bronkodilator kerja lama harus dimulai
sesegera mungkin sebelum keluar dari rumah sakit. Antibiotik,
bila diindikasikan, dapat mempersingkat waktu pemulihan,
mengurangi risiko kekambuhan dini, kegagalanpengobatan, dan
durasi rawat inap. Durasi terapi harus 5-7 hari. Karena komorbiditas
lain yang dapat memperburuk gejala pernapasan sering terjadi
pada pasien PPOK, penilaian klinis untuk menyingkirkan diagnosis
banding harus dipertimbangkan sebelum diagnosis eksaserbasi
PPOK yang dapat dilihat pada Tabel 13 dibawah ini.

TABEL 13. DIAGNOSIS BANDING EKSASERBASI PPOK


KETIKA ADA KECURIGAAN KLINIS TERHADAP KONDISI AKUT BERIKUT,
PERTIMBANGKAN INVESTIGASI BERIKUT:
PNEUMONIA
- Radiografi dada
- Penilaian C-reactive protein (CRP) dan/atau prokalsitonin
PNEUMOTORAKS
- Radiografi dada atau ultrasonik
EFUSI PLEURA
- Radiografi dada atau ultrasonik
EMBOLI PARU
- D-dimer dan/atau sonogram Doppler pada ekstremitas bawah.
- Protokol tomografi dada-emboli paru

50
EDEMA PARU KARENA KONDISI TERKAIT JANTUNG
- Elektrokardiogram dan ultrasonik jantung
- Enzim jantung
FIBRILASI ARITMIA JANTUNG-ATRIAL /FLUTTER
- Elektrokardiogram
Penggunaan Obat-obatan pada kasus PPOK eksaserbasi akut
antara lain:
1. Penambahan dosis bronkodilator dan frekuensi pemberiannya.
Bila terjadi eksaserbasi berat obat diberikan secara injeksi,
subkutan, intravena, atau per drip, misal:
• Terbutalin 0,3 ml subkutan dapat diulang sampai 3 kali
setiap 1 jam dan dapat dilanjutkan dengan pemberian
perdrip 3 ampul per 24 jam.
• Adrenalin 0,3 mg subkutan, digunakan hati-hati.
• Aminafillin bolus 5 mg/kgBB (dengan pengenceran) harus
perlahan (10 menit) untuk menghindari efek samping. Lalu
dilanjutkan dengan per drip 0,5- 0,8 mg/kgBB/jam.
• Pemberian aminofillin drip dan terbutalin dapat bersama-
sama dalam 1 botol cairan perinfus. Cairan infus yang
digunakan adalah Dektrosa 5 %, Na Cl0,9% atau Ringer
laktat.
2. Kortikosteroid diberikan dalam dosis 30 mg/hari diberikan
maksimal selama 2 minggu. Pemberian selama 2 minggu
tidak perlu tappering off. Kortikosteroid sistemik dapat
meningkatkan fungsi paru (VEP1), oksigenasi. Pemberian
Kortikosteroid ini akan mempersingkat waktu pemulihan dan
durasi rawat inap.
3. Antibiotik diberikan bila eksaserbasi.
4. Diuretika; Diberikan pada PPOK derajat sedang-berat dengan
gagal jantungkanan atau kelebihan cairan
5. Pemberian Metilxantin tidak dianjurkan karena profil efek
samping yang meningkat.
6. Cairan; Pemberian cairan harus seimbang, PPOK sering disertai
kor pulmonale sehingga pemberian cairan harus berhati hati.

51
52
Bab V
Upaya Pencegahan
dan Pengendalian
Penyakit Paru
Obstruktif Kronik
(PPOK)

53
Bab V
Upaya Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit Paru Obstruktif Kronik

5.1. Pendekatan Praktis Kesehatan Paru


Di beberapa negara termasuk Indonesia tatalaksana pasien
gangguan saluran pernapasan dilaksanakan di fasililas kesehatan
tingkat pertama (FKTP) atas dasar sekumpulan gejala tanpa
indikasi yang sistematik dan jelas. Situasi pelayanan penyakit
pernapasan di Indonesia pada umumnya menunjukkan gejala yang
sama seperti TB, pneumonia PPOK dan asma. Dari segi kunjungan
pasien, sebagian besar kunjungan ke Fasilitas Kesehatan adalah
pasien dengan ganguan pernapasan (ISPA), namun diagnosis
dan penatalaksanaannya masih didasarkan atas gejala, tanpa
indikasi yang jelas. Pendekatan Praktis Kesehatan Paru (Practical
Approach to Lung Health/ PAL) merupakan suatu pendekatan
berdasarkan gejala dalam penatalaksanaan pasien gangguan
saluran pernapasan. Sebagai suatu pendekatan baru, PAL perlu
diperkenalkan kepada semua tenaga kesehatan di fasilitas
kesehatan agar pendekatan ini dapat dilaksanakan sebaik-baiknya.
Dari hasil uji coba penerapan Pendekatan Praktis Kesehatan
Paru di 3 provinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat dan Lampung) dari tahun
2009 - 2013 ditemukan 31,76% kunjungan gangguan pernapasan
berusia > 5 tahun di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Hasil uji
coba penerapan PAL di 3 Provinsi dari tahun 2010-2013, diperoleh
data asma sebanyak 7293 kasus dan PPOK sebanyak 1322 kasus.
Penerapan Pendekatan Praktis Kesehatan Paru diharapkan
dapat meningkatkan kualitas deteksi dini, identifikasi kasus
dan penatalaksanaan kasus gangguan saluran pernapasan
secara terintegrasi, dengan demikian penempatan Pendekatan
Praktis Kesehatan Paru ini merupakan salah satu strategi yang
digunakan dalam pengendalian PPOK, dan sakaligus diharapkan
memperkuat sistem pelayanan kesehatan yang sudah ada. Pada
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, dapat melakukan tatalaksana
kasus dengan Pendekatan Praktis Kesehatan Paru yang ringan dan
merujuk ke Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut untuk kasus

54
yang tidak bisa terdiagnosis ataupun yang memerlukan tindakan
lebih lanjut sesuai dengan alur rujukan.

5.2. Upaya Pencegahan dan Pengendalian PPOK


Upaya Pencegahan dan Pengendalian PPOK meliputi upaya
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, sebagai berikut:
5.2.1. Upaya Promotif
1. Komunikasi, lnformasi, dan Edukasi (KIE)
a. Meningkatkan penyebarluasan informasi tentang
pencegahan dan pengendalian PPOK melalui media
KIE.
b.
Meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan
ketrampilan petugas kesehatan dalam menyampaikan
KIE kepada masyarakat.
c. Mengubah perilaku masyarakat agar terhindar dari
pajanan polutan yang merupakan faktor risiko PPOK.
Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam memberikan
informasi dan edukasi adalah sebagai berikut:
a) Memberikan informasi kepada individu dan keluarga
mengenai riwayat perjalanan penyakit, sifat penyakit,
perubahan penyakit (apakah membaik atau memburuk),
jenis dan mekanisme kerja obat-obatan serta mengetahui
kapan harus meminta pertolongan dokter.
b) Memberikan informasi dan mengedukasi pentingnya
melakukan kontrol secara teratur antara lain untuk menilai
dan memantau kondisi PPOK secara berkala.
c) Memberikan informasi dan mengedukasi pentingnya
melakukan gaya hidup sehat, dan perilaku CERDIK yaitu
Cek kesehatan secara berkala, Enyahkan asap rokok, Rajin
aktivitas fisik, Diet sehat dengan kalori seimbang, lstirahat
cukup, dan Kelola stres.
2. Sasaran
a.
Tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan tingkat
pertama.

55
b. Masyarakat termasuk penyandang PPOK, kelompok
risiko PPOK, dan tokoh masyarakat.
3. Kegiatan
a. Menyusun materi KIE bagi kelompok sasaran.
Materi KIE dikembangkan dengan memperhatikan 3
faktor penyebab PPOK yaitu perilaku berisiko, faktor
genetik dan lingkungan. Pesan kesehatan dalam materi
KIE dimaksud meliputi:
1) Orang sehat menjadi tetap sehat dan terhindar dari
faktor risiko PPOK.
2) Orang yang memiliki faktor risiko PPOK terhindar
dari faktor pemicu.
3) Penyandang PPOK harus dilakukan konseling upaya
berhenti merokok.
4) Penyandang PPOK dapat tetap memiliki kualitas
hidup yang baik dengan memelihara dan
meningkatkan kesehatan mereka.
5) Upaya mewujudkan kawasan bebas rokok yang
dapat meminimalkan pemicu PPOK.
b. Melaksanakan penyuluhan atau KIE tentang PPOK
melalui berbagai media KIE.
Pelaksanaan penyuluhan atau KIE dilakukan melalui 4
pendekatan yaitu:
1) Komunikasi satu arah melalui media sosial, media
elektronik.
2)
Komunikasi individu atau interpersonal adalah
percakapan atau dialog antara dua pihak, merupakan
interaksi orang ke orang, terjadi dalam dua arah, dapat
verbal dan non verbal atau perpaduan keduanya.
Komunikasi interpersonal dapat berupa penyuluhan
perorangan dan konseling yang dilakukan di dalam
gedung sebagai bagian dari Upaya Kesehatan
Perorangan (UKP) dan diluar gedung sebagai
kegiatan Upaya Kesehatan Masyarakat misalnya
konseling di Posbindu alat yang digunakan untuk

56
mendukung komunikasi jenis ini adalah media cetak
(brosur, leaflet, selebaran/flyer, lembar balik, buku
saku dan poster dll).
3) Komunikasi kelompok. Penyampaian pesan atau
informasi melalui kelompok, baik yang sengaja
diselenggarakan maupun yang tidak sengaja.
Misalnya: pertemuan tokoh masyarakat baik
formal maupun informal, forum komunikasi
orang tua di sekolah (POMG), pengajian majelis
taklim, arisan, kegiatan ibuibu PKK, dan organisasi
masyarakat, dll. Kegiatan komunikasi kelompok
dapat direncanakan terlebih dahulu, sehingga
penyandang PPOK, keluarga dan kelompok
dapat mengikuti penyuluhan yang disampaikan
oleh petugas kesehatan. Penyuluhan kelompok
terhadap penyandang PPOK dan keluarganya
dapat dilakukan di dalam gedung. Penyuluhan
kelompok di luar gedung dapat dilakukan oleh
petugas kesehatan pada saat mereka Melaksanakan
penyuluhan kepada masyarakat atau kepada forum
komunikasi yang ada di desa/kelurahan. Pelaksanaan
penyuluhan di luar gedung dilakukan sesuai dengan
jadwal kunjungan Puskesmas ke desa /kelurahan.
Penyuluhan kelompok ini merupakan bagian dari
Upaya Kesehatan Masyarakat. Saluran atau media
yang digunakan dalam komunikasi kelompok
antara lain, pemutaran video, lembar balik, leaflet,
selebaran/flyer, buku saku dan poster.
4)
Komunikasi massa. Penyampaian pesan atau
informasi kepada sejumlah sasaran yang tidak saling
mengenal, biasanya dalam jumlah banyak. Saluran
atau media yang digunakan dalam komunikasi
massa antara lain melalui siaran TV, siaran radio,
media tradisional, media sosial, surat kabar, majalah,
koran lokal, tablig akbar, khotbah Jumat, khotbah
Minggu, lembar fakta (factsheet), selebaran (leaflet),
poster, baliho, spanduk.
Dalam melaksanakan KIE , maka tenaga kesehatan di
fasilitas kesehatan tingkat pertama (Puskesmas) harus mampu

57
menyusun, mengembangkan, dan mengimplementasikan
strategi komunikasi yang berdampak pada perubahan perilaku
sasaran PPOK.
c. Melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan
Pemantauan dan pelaksanaan KIE penanggulangan PPOK
dilakukan untuk mengetahui kemajuan pelaksanaan
kegiatan KIE yang telah direncanakan.
Beberapa hal yang dapat dipantau, antara lain :
1) Apakah penyuluhan perorangan sudah dilakukan?
(Ya/Tidak)
2) Apakah penyuluhan kelompok sudah dilakukan?
(Ya/Tidak)
3) Apakah penyuluhan massa sudah dilakukan?
(Ya/Tidak)
4) Dimana lokasi penyuluhan dilakukan?
5) Berapa kali penyuluhan dilakukan (Frekuensi)?
6) Siapa saja sasaran yang mendapatkan penyuluhan?
7)
Berapa banyak sasaran yang mendapatkan
penyuluhan?
8) Media KIE apa saja yang digunakan dalam penyuluhan?
9) Dengan metode apa saja penyuluhan diberikan?
Evaluasi pelaksanaan KIE penanggulangan PPOK
dilakukan untuk mengetahui keberhasilan kegiatan ini dalam
mencapai tujuan KIE setelah dilakukan intervensi penyuluhan
kesehatan dan pemberdayaan masyarakat, ditinjau dari
aspekefisiensi dan efektivitas. Evaluasi dapat dilakukan pada
waktu mulai (awal), pertengahan, dan akhir kegiatan. Evaluasi
dapat menggunakan indikator Output, Outcome dan Dampak
(apakah perlu dijabarkan item dari indicatoroutput,outcome
dan dampak)
d. Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan
PPOK merupakan kegiatan pengorganisasian masyarakat
dan proses menuju tercapainya kemandirian melalui

58
keterlibatan atau peran aktif mitra potensial dari seluruh
anggota masyarakat. Pemberdayaan bertujuan agar
masyarakat mampu mengenali, memelihara, melindungi
dan meningkatkan kualitas kesehatannya, termasuk
kemampuan untuk menolong diri sendiri dalam mengatasi
masalah kesehatan. Agar masyarakat dapat diberdayakan
maka perlu dilakukan beberapa langkah-langkah yang
meliputi:
1) Pengorganisasian Masyarakat
Pengorganisasian masyarakat merupakan bagian dari
pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan
PPOK yang dilakukan di luar gedung Puskesmas, agar
individu, keluarga, masyarakat dapat lebih mandiri
untuk berperilaku sehat dan dalam menanggulangi
PPOK dengan cara sebagai berikut:
a)
Mengidentifikasi kondisi, situasi,dan masalah
disekitar masyarakat setempat. Kegiatan ini biasa
disebut Survey Mawas Diri (SMD), bertujuan agar
masyarakat dapat mengenali dan menemukan
masalah kesehatan terkait asma di wilayahnya, serta
memecahkan masalahnya sesuai dengan sumber
daya dan kearifan lokal yang dimiliki.
b) Mengenal potensi yang dimiliki masyarakat dan
kegiatan ini bagian dari SMD.
c) Menganalisis masalah, faktor-faktor pendukung dan
penghambat. Kegiatan ini biasa disebut Musyawarah
Masyarakat Desa (MMD), bertujuan membahas hasil
SMD dalam musyawarah diantara mereka.
d) Memilih solusi yang dimiliki masyarakat sesuai
dengan kesepakatan bersama. Kegiatan ini bagian
dari MMD.
e) Melakukan kegiatan intervensi sesuai dengan hasil
SMD dan MMD. Hasil kegiatan pengorganisasian
masyarakat ini dapat berupa:
• Data kondisi, situasi dan masalah setempat.
• Data potensi dan sumber daya setempat.

59
• Rencana kegiatan intervensi yang disusun dan
disepakati oleh masyarakat
2) Membangun Jejaring
Pemberdayaan dapat juga dilakukan terhadap
mitra potensial, seperti sektor pemerintah, dunia
usaha swasta, organisasi masyarakat, organisasi
profesi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan media
massa. Melalui pemberdayaan ini diharapkan timbul
kepedulian, sehingga potensi dansumber daya
yang dimiliki oleh mitra potensial tersebut dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan penanggulangan
PPOK. Oleh karena itu dalam melaksanakan
pemberdayaan masyarakat, keberadaan mitra
potensial merupakan faktor pendukung keberhasilan
kegiatan penanggulangan PPOK. Tahap awal dalam
pemberdayaan mitra potensial adalah membangun
jejaring. Salah satu kegiatan dalam membangun
jejaring adalah mengidentifikasi peran mitra
potensial. Jejaring yang terbentuk akan menyepakati
kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat
berdasarkan kemampuan dan sumber daya para
mitra yang dilakukan dengan prinsip kesetaraan,
keterbukaan, dan saling menguntungkan.
Pemberdayaan terhadap segenap mitra potensial ini
dilakukan melalui pembagian peran dan tanggung
jawab sesuai potensi dan kemampuan yang dimiliki.
Untuk itu perlu diciptakan kondisi yang kondusif
atau mendukung terjadinya keterlibatan mereka,
seperti melalui :
• Pertemuan koordinasi.
• Membentuk forum komunikasi, kelompok peduli/
pemerhati.
• Menciptakan kegiatan sosial.
• Menyusun program kerjasama.
• lmplementasi program kerjasama.

60
• Pemantauan dan penilaian program kerjasama.
Sumber pendanaan yang dapat digunakan untuk
membiayai kegiatan pemberdayaan masyarakat di
bidang pengendalian PPOK selain dari Pemerintah
Pusat, juga dapat berasal dari, antara lain:
a) Pemerintah Daerah
Hal ini sesuai dengan UU No. 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, pasal 12 yang mengamatkan,
bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan
urusan wajib dalam penyelenggaraanurusan
pemerintahan.
b) Dunia Usaha
UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
pasal 74 manetapkan, bahwa Perseroan atau
Korporasi yang menjalankan kegiatan usahanya di
bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya
alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial
dan Lingkungan (CSR).
5.2.2. Upaya Preventif
Pendekatan dalam pengendalian PPOK dilaksanakan
melalui kerangka kerja bertahap dengan pendekatan
praktis dan fleksibel terdiri dari 3 (tiga) langkah perencanaan
utama dan 3 (tiga) langkah implementasi utama. Tiga
langkahperencanaan utama yaitu:
1. Menilai profil faktor risiko dan besaran masalah kasus PPOK
di populasi. WHO menganjurkan Surveilans Epidemiologi
faktor risiko dengan pendekatan STEP wise. Langkah ini
diikuti dengan advokasi kepada penentu kebijakan melalui
penyediaan informasi tentang kecenderungan kasus PPOK
dan faktor risiko serta ketersediaan sumber daya untuk
intervensi yang efisien dan efektif dalam pengendalian
PPOK.
2. Menyusun dan mengadopsi kebijakan pengendalian
PPOK yang didasarkan pada prinsip• prinsip: komprehensif,
terintegrasi, sepanjang hayat dengan melibatkan sektor
terkait.

61
3. Mengidentifikasi cara yang paling efektif untuk
mengimplementasi kebijakan. Kombinasi intervensi
yang dipilih adalah yang mempunyai daya ungkit paling
besar untuk menjadikan kebijakan secara praktis dapat
dilaksanakan.
5.2.3. Upaya Kuratif
Tujuan Umum :
Terlaksananya kegiatan tatalaksana pasien PPOK sesuai
standar di Puskesmas dan
atau FKTP
Khusus:
1. Mengurangi gejala
2. Mencegah progresifitas penyakit
3. Meningkatkan toleransi latihan
4. Meningkatkan status kesehatan
5. Mencegah dan menangani komplikasi
6. Mencegah dan menangani eksaserbasi
7. Menurunkan kematian.
Tujuan nomor (1) s.d. (6) adalah meningkatkan kualitas hidup
pasien PPOK dan menurunkan kematian karena PPOK.
Sasaran:
Puskesmas dan FKTP, PPOK adalah penyakit yang dapat
diobati (treatable) pada setiap derajat/stadium penyakit.
Penanganan komprehensif yang melibatkan intervensi
farmakoterapi (pengobatan) dan non• farmakoterapi adalah
efektif mengurangi gejala, meningkatkan kemampuan
aktivitas dan kualitas hidup pasien PPOK pada semua stadium
penyakit.
Edukasi
Tujuan edukasi adalah:
1) Mengenai perjalanan penyakit dan pengobatan

62
2) Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3) Mencapai aktivitas optimal
4) Meningkatkan kualitas hidup.
Bahan edukasi yang diberikan adalah:
1) Pengetahuan dasar PPOK.
2) Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya.
3) Cara pencegahan perburukan penyakit.
4) Menghindari pajanan atau pencetus (berhenti merokok).
5) Penyesuaian aktivitas.
6) Nutrisi yang dianjurkan.

5.3. Program Upaya Berhenti Merokok


Berhenti merokok merupakan salah satu intervensi yang
paling efektif dalam mengurangi risiko berkembangnya PPOK
dan memperlambat memburuknya penyakit. Untuk membantu
pasien berhenti merokok dapat digunakan cara 4T yang terdiri
dari T1:Tanyakan, T2: Telaah, T3: Tolong dan Nasehati, dan T4: Tindak
Lanjut.

5.4. Obat-obatan
Obat Pelega (Bronkodilator), dianjurkan penggunaan dalam
bentuk inhalasi kecuali pada eksaserbasi dapat digunakan oral
atau sistemik. Macam-macam bronkodilator adalah:
1. Golongan antikolinergik; Digunakan pada derajat ringan
sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga
mengurangi sekresi mukus (maksimal 4x sehari).
2. Golongan ß-2 agonis; Bentuk inhaler untuk mengatasi
sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai
monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan
sebaiknya digunakkan dalam bentuk inhaler yang berefek
panjang, bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi
eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka

63
panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi berat.
3. Kombinasi antikolinergik dan ß-2 agonis; Kombinasi kedua
golongan obatini akan memperkuat efek bronkodilatasi,
karena keduanya tempat kerja yangberbeda. Disamping itu
penggunaan obat kombinasi lebih sederhana danmudah
digunakan.
4. Golongan xantin; Dalam bentuk lepas lambat sebagai
pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada
derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer
untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus
atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Dan penggunaan
jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin
darah
5. Anti inflamasi, pilihan utama bentuk anti inflamasi spektrum
luas, dan sebaiknya inhalasi.
6. Ekspektoran dan mukolitik, tidak diberikan secara rutin, hanya
pada kondisi dengan dahak/sputum yang kental atau dominan
terdapat gangguan bersihan mukosilier.

5.5. Terapi oksigen


Pemberian oksigen jangka panjang dan terus menerus (long
term oxygen treatment = LTOT) kepada pasien yang menunjukkan
hipoksemia kronik danatau kor Pulmonal dan atau gagal jantung.

5.6. Nutrisi
Dianjurkan nutrisi yang cukup karbohidrat dan protein.

5.7. Vaksinasi
Vaksinasi Influenza menurunkan kondisi serius dan kematian
pada Pasien PPOK. WHO dan CDC merekomendasikan vaksinasi
SARS-CoV-2 (COVID-19) untuk pasien PPOK. Vaksin PPSV23
(Pneumococcal Polysaccharide Vaccine) telah menunjukkan
dalam menurunkan insiden pneumonia pada pasien PPOK umur

64
< 65 tahun dengan prediksi VEP1< 40% dan individu dengan
komorbiditas. Pada populasi dewasa secara umum ≥65 tahun, vaksin
PCV13 (Pneumococcal Conjugate Vaccine 13) telah menunjukkan
efikasi yang signifikan pada penyakitbakteri atau pneumococcal
invasive.

5.8. Rehabilitatif
1. Latihan fisis secara umum untuk kebugaran.
2. Psikososial.
3. Latihan otot pernapasan.

65
66
Bab VI
Manajemen
Pencegahan dan
Pengendalian
PPOK

67
Bab VI
Manajemen Pencegahan dan Pengendalian
PPOK

6.1. Perencanaan
Dalam penyelenggaraan program pengendalian PPOK,
diperlukanperencanaan yang optimal termasuk kemampuan
mobilisasi sumber daya. Perencanaan merupakan suatu
kegiatan penyusunan rencana program pengendalian PPOK
secara sistematis melalui kajian rinci sesuai kondisi saat ini dan
prediksi masa mendatang berdasarkan fakta dan bukti. Hasil dari
perencanaan yang baik akan dapat menghasilkan suatu kerangka
kerja yang dapat dilaksanakan dan dipantau secara terus-menerus
dalam rangka perbaikan kinerja program.
Salah satu keberhasilan program pengendalian PPOK
didukung melalui pembiayaan yang memadai. Oleh karena itu,
perencanaan harus disusun secara sinergis dengan memperhati-
kan berbagai sumber anggaran, mulai dari anggaran pemerintah
dan berbagai sumber lainnya, sehingga semua sumber dapat
dimanfaatkandan dimobilisasi secara optimal melalui prinsip-
prinsip keterpaduan dalam penyusunan program dan anggaran.
Kebutuhan ketenagaan dan peralatan penunjang dalam kegiatan
pengendalian PPOK di masyarakat maupun pada tatanan fasilitas
pelayanan kesehatan perlu direncanakan dengan baik, tentunya
sangat didukung oleh kebijakan lokal yang mengatur sirkulasi
dinamika organisasi kerja dan pembiayaan.
Tenaga Kesehatan
Penentuan jenis dan kualifikasi tenaga kesehatan yang
dibutuhkan pada fasilitaspelayanan kesehatan dalam kegiatan,
tetap mengacu kepada Undang-Undang Tenaga Kesehatan No.
36 tahun 2014 dan Peraturan Menteri Kesehatan No.43 tahun
2019 untuk tenaga kesehatan di Puskesmas sesuai dengan
kompetensinya.
Peran dan Tugas
Pengendalian PPOK dilakukan oleh tenaga kesehatan yang

68
kompeten/ terlatih sesuai dengan peran dan tugas. Pembagian
peran dan tugas dalam upaya pengendalian PPOK merupakan
bagian dari manajemen program pengendalianPPOK sehingga
target dan indikator program dapat tercapai. Untuk jelasnya dapat
dilihat pada Tabel 14 di bawah ini:

Tabel 14. Jenis Ketenagaan dan Peranan


No Tenaga Peranan
1 Dokter Umum • Melakukan Edukasi faktor risiko PPOK (merokok,
polusi udara, infeksi saluran nafas berulang)
• Melakukan Konseling Berhenti Merokok.
• Melakukan Deteksi dini PPOK dengan
kuesioner, pemeriksaan fisik dan faal paru
(spirometri).
• Melakukan Rujukan dan Rujuk Balik PPOK
2 Perawat • Melakukan deteksi dini PPOK, asuhan
keperawatan dan evaluasi keperawatan dalam
tala laksana PPOK.
• Melakukan kunjungan rumah untuk
pembinaan individu/ keluarga
3 Penyuluh kes- Bertugas melakukan penyuluhan individu,
ehatan kelompok, dan massal dalam penyelenggarakan
edukasi secara berkala.
4 Tenaga bidan Melakukan deteksi dini dan membantu ene-
muan PPOK.
5 Tenaga sur- Melakukan Pengamatan, pencatatan hasil
veilans kegiatan manajemen dan melaporkan kepada
Koordinator Pengelolaan Pelayanan PPOK
6 Tenaga pelak- Melakukan pemeriksaan penunjang diagnostik
sana laborato- dan monitoring PPOK,
rium
7 Tenaga pelak- Mempersiapkan obat sesuai kebutuhan, mem-
sana farmasi berikan penjelasan kepada pasien tentang pe-
(Apoteker/asist makaian obat, merencanakan kebutuhan obat,
apoteker) melaporkan hasil kegiatan
8 Tenaga pelak- Membantu pelayanan umum bagi para pasien
sana Adminis- PPOK, membuat pencatatan dan pelaporan ser-
trasi ta rekapitulasinya

69
Sumber Daya Sarana dan Prasarana
a. Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP).
Dalam menyelenggarakan kegiatan pengendalian PPOK di
fasilitas pelayanan kesehatan primer dapat memanfaatkan
ruangan yang sudah tersedia, selama fasilitas ruangan terbatas,
namun ruangan tersebut dapatdifungsikan sebagai:
1) Ruang pemeriksaan
2) Ruang tindakan (tindakan gawat darurat pada kasus akut
PPOK dan komplikasi panyakit penyerta)
3) Ruang konseling / Edukasi
b. Perencanaan Kebutuhan Peralatan dalam Pengendalian
PPOK.
1) Peralatan Deteksi Dini Faktor Risiko
Untuk meningkatkan penjaringan dan penapasan PPOK
pada masyarakat, maka diperlukan peralatan kesehatan
penunjang yang dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan
untuk kegiatan deteksi dini faktor risiko di masyarakat
maupun di fasilitas pelayanan kesehatan. Peralatan
kesehatan ini berdasarkan fungsinya dalam penemuan
kasus PPOK dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu peralatan
deteksi dini dan peralatan diagnostik. Peralatan deteksi
dini merupakan peralatan kesehatan sederhana yang
digunakan untuk deteksi dini pada kelompokmasyarakat
berisiko menggunakan formulir PUMA. Instrumen ini
dapat juga dipergunakan oleh masyarakat secara mandiri
dengan fasilitasi dan supervisi dari petugas kesehatan
Desa/Kelurahan maupun Puskesmas.
2) Peralatan Diagnostik
Peralatan diagnostik merupakan peralatan kesehatan yang
digunakan untuk memastikan atau mengkonfirmasikan
ulang hasil penjaringanyang dilakukan dalam menegakan
diagnosis PPOK. Peralatan tersebut berupa alat
peakflometer dan atau spirometri.
3) Peralatan Non Medis
Penyelenggaraan kegiatan pengendalian PPOK di

70
masyarakat dan fasilitas pelayanan kesehatan dapat
berjalan secara efektif dan optimal bila didukung juga
dengan ketersediaan peralatan medis, sarana pencatatan,
sarana komunikasi, sarana transportasi, media edukasi
antara lain poster, leaflet, lembar balik, alat peraga (model)
makanan, video edukasi dan lainnya.

6.2. Penganggaran
Biaya penyelenggaraan kegiatan pengendalian PPOK
dapat berasal dari berbagai sumber yaitu dapat berasal dari:
Pemerintah misalnya dalam bentuk APBN, APBD, BOK, Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) atau BPJS, Pemanfaatan Dana Bagi
Hasil Cukai Tembakau dan atau Pajak Rokok Daerah, kegiatan
CSR (Coorporate Society Responbillity). Fasilitas kesehatan tingkat
pertama/ Puskesmas juga dapat memanfaatkan sumber sumber
pembiayaan yang potensial untuk mendukung dan memfasilitasi
penyelenggaraan kegiatan pencegahan dan pengendalian PPOK
selaku pembina kesehatan di wilayah kerjanya. Salah satunya
melalui pemanfaatan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) yang
ada di Puskesmas untuk fasilitasi transportasi petugas puskesmas
dalam rangka melakukan pemantauan atau penilaian terhadap
pasien PPOK, dan memanfaatkan dana kapitasi JKN/ BPJS.
Pemerintah Daerah setempat memiliki kewajiban juga untuk
menjaga keberlangsungan kegiatan layanan konseling Upaya
Berhenti Merokok (UBM) agar dapat terus berlangsung dengan
dukungan kebijakan termasuk berbagai fasilitas lainnya.

6.3. Penyelenggaraan
Pelaksanaan pengendalian PPOK fasilitas kesehatan tingkat
pertama, meliputi kegiatan penyuluhan, pemeriksaan fisik
meliputi TB, BB, TO dan pemeriksaan fungsi paru sederhana peak
flow meter, spirometer, dan nebulizer. Rujukan dilakukan dalam
kerangka pelayanan kesehatan berkelanjutan (Continuum of Care)
dari masyarakat hingga ke fasilitas kesehatan tingkat pertama
maupun lanjutan termasuk rujuk balik ke masyarakat untuk
pemantauannya.

71
Gambar 4. Alur Penyelenggaraan Deteksi Dini dan
Tata Laksana PPOK

6.4. Peran Pemangku Kepentingan


Penyelenggaraan kegiatan pengendalian PPOK memerlukan
peran lintas program dan lintas sektor seperti promosi kesehatan,
pelayanan kesehatan dan lintas sektor seperti pemangku
kepentingan dan kebijakan lainnya seperti pihak swasta, mulai
di Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota sampai ke tingkat fasilitas
kesehatan pertama. Adapun peran tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kegiatan Pokok Pusat
• Menyusun norma, standar, prosedur, modul, Juknis dan
pedoman.
• Melakukan sosialisasi dan advokasi baik kepada lintas

72
program, lintas sektor dan pemegang kebijakan baik di
Pusat dan Daerah dalam pengendalian asma.
• Membentuk dan memfasilitasi jejaring kerja dalam
pengendalian PTM di Pusat, Provinsi dan Kabupaten/ Kota.
• Menyusun materi dan Media KIE Pengendalian PPOK
termasuk pendistribusiannya.
• Memfasilitasi sarana dan prasarana termasuk logistik
sebagai stimulant maupun subsidi untuk mendukung
pelaksanaan kegiatan pengendalian asma.
• Melakukan bimbingan teknis dan pembinaan program
pengendalian PTM.
• Melakukan pemantauan dan penilaian.
2. Kegiatan Pokok Dinas Kesehatan Provinsi.
• Melaksanakan kebijakan, peraturan dan perundang-
undangan di bidang PPTM.
• Mensosialisasikan pedoman umum dan petunjuk teknis,
modul, standar dan prosedur kegiatan penanggulangan
PTM.
• Melakukan sosialisasi dan advokasi kagiatan Posbindu
PTM kepada Pemerintah Daerah, DPRD, lintas program,
lintas sektor, dan swasta.
• Memfasilitasi pertemuan baik lintas program maupun
lintas sektor.
• Membangun dan memantapkan kemitraan dan jejaring
kerja PTM secara berkesinambungan.
• Memfasilitasi Kabupaten/Kota dalam mengembangkan
layanan konseling upaya berhenti merokok di wilayahnya.
• Memfasilitasi sarana dan prasarana termasuk logistik dan
perbekalan dalam mendukung pengembangan layanan
konseling upaya berhenti merokok bersumber dana APBD.
• Melaksanakan pemantauan, penilaian dan pembinaan.
• Melaksanakan pencatatan dan pelaporan serta
mengirimkan ke Pusat.

73
3. Kegiatan Pokok Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
• Mensosialisasikan pedoman umum dan teknis, modul,
standar operasional prosedur dari Kegiatan PPOK.
• Melakukan Advokasi kegiatan layanan konsaling upaya
berhenti merokok kepada Pemerintah Kabupaten/Kota
dan DPRD, lintas program, lintas sektor, swasta, dan
masyarakat.
• Melaksanakan pertemuan lintas program maupun lintas
sektor.
• Membangun dan memantapkan jejaring kerja serta forum
masyarakat pemerhati PTM secara berkelanjutan.
• Melaksanakan bimbingan dan pembinaan teknis ke
Puskesmas dan jaringannya.
• Memfasilitasi Puskesmas dan jaringannya dalam
mengembangkan layanan PPOK dl wilayah kerjanya.
• Melaksanakan monitoring dan evaluasi Kegiatan layanan
PPOK.
• Mengelola surveilans epidemiologi faktor risiko PTM pada
wilayah Kabupaten/Kota.
• Menyelenggarakan pelatihan penyelenggaran layanan
konseling upaya berhenti merokok bagi petugas
puskesmas dan petugas pelaksana Posbindu PTM.
• Melaksanakan promosi pengendalian PTM melalui
berbagai metode dan media penyuluhan kepada dan
masyarakat petugas pelaksana.
• Melaksanakan dan memfasilitasi kegiatan pemberdayaan
dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam upaya
pengendalian PTM yang sesuai dengan kondisi daerah
(lokal area spesifik) melalui kegiatan asma.
• Melakukan pemantauan, penilaian dan pembinaan.
• Melaksanakan pencatatan dan pelaporan serta
mengirimkan ke provinsi.

74
4. Kegiatan Pokok Puskesmas
• Melakukan penilaian kebutuhan dan sumber daya
masyarakat, termasuk identifikasi kelompok potensial di
masyarakat dalam menyelenggarakan layanan PPOK.
• Melakukan sosialisasi dan advokasi tentang layanan
PPOK, yang meliputi informasi tentang PTM dan
dampaknya, bagaimana pengendalian dan manfaatnya
bagi masyarakat, kepada pimpinan wilayah, pimpinan
organisasi, kepala/ketua kelompok dan para tokoh
masyarakat yang berpengaruh.
• Mempersiapkan sarana dan tenaga di Puskesmas dalam
menerima rujukan dari Posbindu PTM.
• Memastikan ketersediaan sarana dan prasarana termasuk
logistik dan perbekalan lainnya untuk menunjang kegiatan
pengendalian PPOK.
• Menyelenggarakan pelatihan tenaga pelaksana Posbindu
PTM.
• Menyelenggarakan pembinaan dan fasilitasi teknis kepada
petugas pelaksana Posbindu PTM.
• Melakukan pemantauan dan penilaian.
• Melaksanakan pencatatan dan pelaporan dan
mengirimkan ke provinsi.
5. Kegiatan Pokok Profesi Akademisi Perguruan Tinggi
• Evaluasi kebijakan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam
pengendalian PTM.
• Mengadvokasi dan mensosialisasikan kegiatan PPOK.
6. Kegiatan Pokok Kelompok I Organisasi Lembaga Masyarakat
I Swasta.
• Menyelenggarakan kegiatan pengendalian PPOK.
• Mendorong secara aktif anggota kelompoknya untuk
menerapkan gaya hidup sehat dan mawas diri terhadap
faktor risiko PTM.
• Memfasilitasi pembentukan, pembinaan dan pemantapan

75
jejaring kerja pengendalian PTM secara berkesinambungan.
• Mendukung implementasi kebijakan Pemerintah Pusat
dan Daerah dalam pengendalian PTM.
• Berkonsultasi dan berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dan Puskesmas dalam menyelenggarakan
kegiatan Posbindu PTM.
• Berpartisipasi mengembangkan rujukan dari Posbindu
PTM ke Puskesmas.
• Berkontribusi mengembangkan Posbindu PTM melalui
dana CSR.
7. Kegiatan Pokok di Desa/Kelurahan
• Membina partisipasi masyarakat dalam pengendalian
penyakit kronik dan degeneratif lainnya.
• Membentuk dan mengembangkan kelompok masyarakat
peduli penyakit tidak menular seperti Posbindu, dan lain-
lain sesuai dengan kondisi masing- masing desa/kelurahan.
• Memberdayakan Natural Leader di Desa sebagai motor
penggerak sosialisasi PPOK
• Melaksanakan kegiatan Pos Kesehatan Desa.

6.5. Pemantauan Dan Penilaian


Pemantauan bertujuan untuk mengetahui apakah kegiatan
sudah dilaksanakan sesuai dengan perencanaan, ketercapaian
target yang dituju, mengidentifikasi masalah dan hambatan
yang dihadapi, dan menentukan altematif pemecahan masalah.
Penilaian dilakukan secara menyeluruh terhadap aspek masukan,
proses, keluaran atau output termasuk kontribusinya terhadap
tujuan kegiatan.
Tujuan penilaian adalah untuk mengetahui sejauh mana
tingkat perkembangan kegiatan pengendalian PPOK dalam
penyelenggaraannya, sehingga dapat dilakukan pembinaan.
Pemantauan dan penilaian dilakukan sebagai berikut:
a. Pelaksana pemantauan dan penilaian adalah petugas
Puskesmas, Dinkes

76
Kabupaten/Kota, Dinkes Provinsi dan Pusat.
b. Sasaran pemantauan dan penilaian adalah para petugas
pelaksana.
c. Pemantauan kegiatan dilakukan setiap bulan sekali dan
penilaian indikator dilakukan setiap 1 tahun sekali.
d. Hasil pemantauan dan penilaian ini dipergunakan sebagai
bahan penilaian kegiatan yang lalu dan sebagai bahan
informasi besaran masalah PPOK, disamping untuk menyusun
bahan perencanaan pengendalian PTM umumnya, dansecara
khusus pengendalian PPOK terhadap kesehatan pada tahun
berikutnya.
e. Hasil pemantauan dan penilaian kegiatan Posbindu PTM
disosialisasikan kepada lintas program, lintas sektor terkait dan
masyarakat untuk mengambillangkah langkah upaya tindak
lanjut.

Tabel 15. lndikator Program


Pokok lndikator
No Tujuan Target
Kegiatan Program
1 Meningkatkan 1. Melaksanakan 1. Posbindu Seluruh
partisipasi dan advokasi dan aktif di setiap Kabupaten/
kemandirian sosialisasi kecamatan Kota
masyarakat 2.Melaksanakan yang melak- di seluruh
dalam upaya promosi sanakan Provinsi
pengendalian kesehatan pencegahan melaksanakan
faktor risiko 3.Melaksanakan 2. Jumlah kab/ program
PPOK dan pengendalian kota yang pengendalian
dalam faktor risiko melaksanakan PPOK
pencegahan 4.Melaksanakan pencegahan
(primer, se- deteksi dini primer, se-
kunder dan 5.Melaksanakan kunder dan
tersier) penanganan tersier pada
terhadap PPOK secara berbagai ting-
PPOK komprehensif kat pelayanan
pada berbagai
tingkat pe-
layanan

77
2 Teridentifikasi 1. Menyiapkan Tersedianya: Terpetakannya
faktor risiko instrumen 1. Prevalensi faktor risiko
PPOK pada 2. Mengum- data PPOK pada:
Kabupaten/ pulkan data merokok Daerah dgn
Kola sekunder 2. Data kualitas risiko tinggi.
3. Melakukan udara Kekhususan
analisis data 3. Data faktor faktor risiko
4. Melakukan risiko berdasar daerah setem-
survei khusus kebiasaan/adat pat
(HBR) budaya/ling-
5. Melakukan kungan setem-
Diseminasi pat.

3 Terlaksananya Menyediakan Prosentase Jumlah kasus


penegakan buku petunjuk penemuan suspek PPOK
diagnosis teknis kasus dan PPOK ses-
pasien Melatih SDM PPOK di uai target
PPOK sesuai Menyediakan Fasyankes (6.9% x jml
standar/kri- sarana penun- penduduk
teria jang usia ≥
(instrumen, 40 tahun ) x
peralatan) 80%

4 Terlaksananya 1. Menyediakan Prosentase Jumlah


program buku petunjuk Puskesmas Puskesmas
pengendalian teknis Sentinel di Sentinel yang
PPOK di 2. Melatih SDM Kabupaten/ melaksanakan
Puskesmas 3. Ketersediaan Kola yang program
Sentinel di sarana penun- melaksanakan pengendalian
setiap Kabu- jang (instru- program PPOK dibagi
paten/Kota men, pengendalian jumlah seluruh
peralatan) PPOK Puskesmas
yang ada di
Kabupaten/
Kota
5 Terlaksananya Ketersediaan 1. Prosentase Semua pasien
tatalaksana buku petunjuk kasus PPOK Suspek PPOK
pasien PPOK teknis yang mendap- yang mendap-
sesuai stan- . Peningkatan at pengobatan at pengobatan
dar/kriteria SDM terlatih sesuai dibagi jumlah
. Ketersediaan standar/kriteria seluruh pasien
sarana penun-
jang (logistik)

78
2. Persentase yang berkun-
kunjungan jung dengan
ulang dengan gangguan
eksaserbasi pernapasan
6 Terlaksananya Melakukan Prosentase Jumlah pasien
sistem rujukan advokasi, rujukan yang dirujuk
dari Puskes- sosialisasi, rapat penderita balik ke
mas ke RS dan koordinasi PPOK dari Puskesmas
rujukan balik Ketersediaan Puskesmas ke dibagi
sarana penun- RS dan rujuk jumlah yang
jang (instru- balik dari RS ke dirujuk ke RS
men, Puskesmas
peralatan)

79
80
Bab VII
Pencatatan dan
Pelaporan

81
Bab VII
Pencatatan dan Pelaporan

Pencegahan dan pengendalian PPOK merupakan salah satu


bentuk kegiatan pelayanan kesehatan yang dapat diselenggarakan
di fasilitas kesehatan tingkat pertama. Kegiatan Pencegahan
dan Pengendalian tersebut perlu dilakukan pencatatan dan
pelaporan sebagai salah satu upaya tertib administrasi dalam
pelaksanaan kegiatan program. Pencatatan dan pelaporan dapat
dijadikan sebagai bahan analisis, interprestasi, dan evaluasi guna
perbaikan kegiatan saat ini dan yang akan datang, sehingga dapat
terselenggara dengan optimal, baik, dan terukur. Secara manual,
diperlukan pencatatan dan pelaporan dalam upaya pencegahan
dan pengendalian PPOK, instrumen ini sangat penting dalam sistem
administrasi yang berguna untuk pengambilan keputusan dan
pembuat kebijakan serta merupakan indikator keberhasilan suatu
kegiatan. Manfaat dari pencatatan adalah sebagai bukti kegiatan,
memberikan informasi kegiatan, bukti pertanggungjawaban
kegiatan yang berguna untuk perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi, sebagai alat komunikasi, pembuat laporan dan bisa juga
sabagai bukti hukum. Dan output dari pencatatan dan pelaporan
adalah data dan informasi yang diperlukan untuk pemantauan,
evaluasi, dan pencapaian keberhasilan program pengendalian
PPOK di fasilitas kesehatan tingkat pertama.

7.1. Pencatatan
Pengertian pencatatan Pencatatan adalah serangkaian
kegiatan untuk mendokumentasikan hasil pengamatan,
pengukuran, dan/atau penghitungan pada setiap langkah upaya
kesehatan (PMK Nomor 31 Tahun 2019 tentang SIP pasal 1).
Pencatatan dapat berupa tulisan, grafik, gambar, dan suara, yang
memiliki kriteria sebagai berikut: sistematis, jelas, resposif, ditulis
dengan baik, tepat waktu, dan mencantumkan tanda tangan serta
nama jelas. Manfaat pencatatan adalah:
a. Sebagai bukti kegiatan
b. Memberikan informasi kegiatan

82
c. Bukti pertanggungjawaban
d. Alat komunikasi
e. Pembuatan laporan
f. Perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi, serta
g. Bukti hukum.

7.2. Pelaporan
Pelaporan adalah penyampaian data terpilah dari hasil
pencatatan kepada pihak terkait sesuai dengan tujuan dan
kebutuhan yang telah ditentukan (PMK Nomor 31 Tahun 2019
Tentang SIP pasal 1), bentuk pelaporan adalah :
1. Lisan
a. Tidak Obyektif
b. Hal-hal yang baik saja yg disampaikan
c. Tindak lanjut cepat (+).
2. Tertulis
a. Waktu lama
b. Biaya besar
c. Bersifat Objektif (+).

7.3. Mekanisme Pencatatan dan Pelaporan


Pencatatan dan pelaporan PPOK diselenggarakan dengan
memanfaatkan sistem informasi yang dikembangkan oleh
Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak
menular yang sejalan/mengacu pada Sistem Informasi Puskesmas
sebagaimana diatur pada PMK Nomor 31 Tahun 2019 tentang SIP.
Mekanismenya dapat dilihat dalam diagram alur pencatatan dan
pelaporan.
Puskesmas
• Sistem Informasi Surveilans PTM berbasis FKTP.

83
• Formulir Pencatatan Kasus.
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
• Sistem Informasi Surveilans PTM berbasis FKTP.
Dinas Kesehatan Provinsi
• Sistem Informasi Surveilans PTM berbasis FKTP.
Kementerian Kesehatan
• Sistem Informasi Surveilans PTM berbasis FKTP

Gambar 5. Diagram Alur Pencatatan dan Pelaporan

Kemenkes RI • Sistem Informasi Surveilans


PTM berbasis FKTP

Dinas Kesehatan • Sistem Informasi Surveilans


Provinsi PTM berbasis FKTP

Dinas Kesehatan
• Sistem Informasi Surveilans
Kab/Kota
PTM berbasis FKTP

• Sistem Informasi Surveilans


PTM berbasis FKTP
FKTP • Formulir Pencatatan Kasus
UPT
• Integrasi dengan SIKDA
Generik, p-Care, dan SE FR
Keterangan : PTM berbasis POSBINDU
= Melaporkan

84
Bab VIII
Penutup

85
Bab VIII
Penutup

PPOK ini merupakan salah satu Penyakit Tidak Menular yang


diperkirakan telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia. Hal ini berhubungan dengan semakin meningkatnya
usia harapan hidup dan makin tingginya pajanan faktor risiko,
seperti perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta
pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan
di tempat kerja.
Keberhasilan program pengendalian PPOK di Indonesia,
meliputi upaya yang komprehensif seperti upaya promotif,
preventif, deteksi dini, tatalaksana kasus, dan rehabilitatif sangat
tergantung dukungan semua pihak terkait. Oleh karena itu,
pemantauan surveilans epidemiologi baik faktor risiko, temuan
kasus, kasus kematian dan kesakitan, serta kegiatan lain sebaiknya
terintegrasi dan berkolaborasi dengan lintas program dan lintas
sektor.

86
Daftar Pustaka

1. Zeki M, Schivo M, Chan A, Alberltson TE, Louie S. The Asthma


COPD Overlap Syndrome: A Common Clinical Problem in the
Elderly. J Allergy 2011;2011:861926;
2. Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease
(GOLD). GlobalStrategy for Diagnosis, Management and
Prevention of COPD-updated 2022;
3. GINA-GOLD. Diagnosis of disease of chronic airflow limitation:
asthma, COPD and asthma-COPD overlap syndrome (ACOS).
Available from URL http://www.goldcopd.orglasthma-copd-
overlap.html;
4. Dana Saffel, pharmd, CGP, FASCP. Managing COPD in Elderly
Patients. Aging Well Vol. 5 No .2 P. 8;
5. BTS statement on criteria for specialist referral, admission,
discharge and follow up for adults with respiratory disease.
Thorax 2008; 63 (1): i1-i16;
6. Brunner & Suddart. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah edisi 8 volume 2. Jakarta, EGG;
7. Carpenito Moyet, Lynda Juall. 2006. Buku Saku Diagnosa
Keperawatan. Jakarta: EGCCelli BR, MacNee W, and Committee
members. Standards for the diagnosis and treatment of
patients with COPD: a summary of the ATS/ERS position paper.
ATS/ERS TASK FORCE. EurRespir J 2004; 23: 932-46;
8. Johnson, M.,et all, 2002, Nursing Outcomes Classification
(NOC) Second Edition, IOWA Intervention Project, Mosby.
9. Global initiative for chronic obstructive lung disease. Global
strategy for the diagnosis, management, and prevention of
chronic obstructive pulmonary disease. Capetown: Global
initiative for chronic obstructive lung disease inc; 204;
10. O’Donnel DE, Hernandez P, Kaplan A, Aaron S, Bourbeau J,
Marciniuk 0, et al. Canadian thoracic society recommendations
for management of chronic obstructive pulmonary
disease-2008 update-highlights for primary care. Can Respir
J; 15:1A 8A;

87
11. Me Closkey, C.J., let all, 2002, Nursing Interventions Classification
(NIC) second Edition, IOWA Intervention Project, Mosby;
12. NANDA, 2012, Diagnosis Keperawatan NANDA: Definisi dan
Klasifikasi;
13. Perhimpunan dokter paru Indonesia. Pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan PPOK di lndoneaia. Jakarta: PDPI; 2006;
14. Perhimpunan dokter paru Indonesia. Penyakit paru obstruktif
kronik: diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta: PDPI; 2011;
15. Smeltzer C Suzanne. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical
Bedah, Brunner and Suddarth’s, Ed 8 Vol 1. Jakarta: EGG;

88
Lampiran 1
Kuesioner Puma Untuk
Deteksi Dini PPOK

89
Lampiran 1
Kuesioner Puma Untuk Deteksi Dini PPOK

a. Deteksi dini PPOK dilakukan pada peserta usia > 40 tahun


b. Wawancara menggunakan kuesioner PUMA dapat dilakukan
oleh Tenaga Kesehatanatau Kader Kesehatan
Petunjuk pengisian :
a. Mengisi data dasar seperti Nama, Tanggal wawancara,
Puskesmas, Nama petugas

Nama : Tanggal :

Puskesmas : Petugas :

b. Beri tanda silang (X) pada pernyataan yang sesuai. Masing-


masing jawaban memiliki nilai(skor) yang akan diakumulasikan.

No. Pertanyaan Skor

1 Jenis kelamin 0 : Perempuan


1 : Laki - laki
2 Usia dalam tahun 0: 40 – 49 tahun
1: 50 – 59 tahun
2: > 60 tahun
3 Merokok
Apakah Anda pernah merokok?
Tidak merokok, jika merokok kurang dari 20 0: Tidak
bungkus selama hidup atau kurang dari 1
rokok/ hari dalam 1 tahun maka pilih Tidak
Merokok : (Diisi oleh Responden)
Rata-rata jumlah rokok/ hari = _______ batang
Lama merokok dalam tahun = _______ tahun
Catatan untuk Petugas Hitung Indeks (Diisi oleh Petugas)
Brinkman = Lama merokok dalam tahun x X 0: Tidak
Jumlah batang rokok per hari/20 0 :< 20 bungkus
tahun

90
Contoh : X 1: 20 – 30 bungk-
Jumlah merokok/hari = 15 batangLama us tahun
merokok = 20 tahun 2: > 30 bungkus
Indeks Brinkman = 15 x 20 = 300, kemudian tahun
dibagi 20 = 15 bungkus tahun
4 Apakah Anda pernah merasa napas pendek o 0: Tidak
ketika Anda berjalan lebih cepat pada jalan o 1: Ya
yang datar atau pada jalan yang sedikit
menanjak?
5 Apakah Anda biasanya mempunyai dahak o 0: Tidak
yang berasal dari paru atau kesulitan o 1: Ya
mengeluarkan dahak saat Anda sedang tidak
menderita flu?
6 Apakah Anda biasanya batuk saat Anda o 0: Tidak
sedang tidak menderita flu? o 1: Ya
7 Apakah Dokter atau tenaga kesehatan o 0: Tidak
lainnya pernah meminta Anda untuk o 1: Ya
melakukan pemeriksaan fungsi paru dengan
alat spirometri atau peakflow meter (meniup
ke dalam suatu alat) untuk mengetahui
fungsi paru anda?
Total

c. Jika hasil wawancara didapatkan nilai > 7 maka Responden


dirujuk ke FKTP untuk melakukan pemeriksaan uji fungsi paru
menggunakan Spirometri untuk penegakan diagnosis
Interpretasi :
• Skor < 7 : Risiko rendah PPOK
• Skor > 7 : Risiko tinggi PPOK, lakukan pemeriksaan spirometri

91
92
Lampiran 2
Form Pemeriksaan
Spirometri

93
Lampiran 2
Form Pemeriksaan Spirometri
(diisi oleh dokter/petugas pemeriksa)

Nomor RM : ……………………… Tanggal : ………………………


Nama : ……………………… Diagnosis : ………………………
Tanggal Lahir : ……………………… Dokter : ………………………
Jenis Kelamin : ………………………
Tinggi Badan : ……………………… Bagian/Ruang : ………………………
Berat Badan : ………………………

NILAI
NO PEMERIKSAAN HASIL UJI KENAIKAN
PREDIKSI NORMAL
BRONKODILATOR VEP 1
1 mL
Kapasitas Vital 2 mL
1 mL
(KV)
3 mL
% KV (KV / KV %
2 80%
Prediksi)
1 mL
Kapasitas Vital
3 2 mL mL
Paksa (KVP)
3 mL
% KVP (KVP /
4 KVP Prediksi) 80%
%
Volume 1 mL mL
5 Ekspirasi Paksa 2 mL mL mL
Detik 1 (VEP1) 3 mL mL
% VEP 1 (VEP 1 / % %
6 80%
VEP 1 Prediksi
VEP 1% %
7 (VEP1/KVP) 75%
1 L/mL L/mL
Arus Puncak
8 2 L/mL L/mL
Ekspirasi (APE)
3 L/mL L/mL

Tanda Tangan
Petugas Pemeriksan Spirometri

(..........................)

94
Lampiran 3
Langkah-Langkah
Pemeriksaan
Spirometer

95
Lampiran 3
Langkah-Langkah Pemeriksaan Spirometer

Persiapan Tindakan
a. Bahan dan Alat :
- Alat spirometer yang telah dikalibrasi untuk volume dan
arus minimal 1 kali dalam seminggu.
- Mouth piece sekali pakai.
b. Pasien :
- Bebas rokok minimal 2 jam sebelum pemeriksaan.
- Tidak boleh makan terlalu kenyang, sesaat sebelum
pemeriksaan.
- Tidak boleh berpakaian terlalu ketat.
- Penggunaan bronkodilator kerja singkat terakhir minimal 8
jam sebelum pemeriksaan dan 24 jam untuk bronklodilator
kerja panjang.
- Memasukkan data ke dalam alat spirometri, data berikut :
• Identitas diri (Nama)
• Jenis kelamin
• Umur
• Berat badan
• Tinggi badan
• Suhu ruangan
c. Ruang dan fasilitas :
- Ruangan harus mempunyai sistem ventilasi yang baik.
- Suhu udara tempat pemeriksaan tidak boleh <17°C atau
>40° C.
- Pemeriksaan terhadap pasien yang dicurigai menderita
penyakit infeksi saluran napas dilakukan pada urutan
terakhir dan setelah itu harus dilakukan tindakan antiseptik
pada alat.

96
Prosedur Tindakan
a) Menyapa pasien/memperkenalkan diri
b) Menjelaskan kepada pasien mengenai nama/jenis
pemeriksaan, tujuan dan prosedur tindakan yang akan
dilakukan
c) Dilakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan pasien,
kemudian tentukan besar nilai dugaan berdasarkan nilai
standar faal paru Pneumobile Project Indonesia
d) Mengajarkan pasien cara melakukan manuver dan menjepit
hidung pasien dengan penjepit hidung (atau pasien
menginstruksikan pasien supaya bernapas melalui mulut)
e) Pemeriksaan dapat dilakukan dalam posisi berdiri atau duduk
bagi pasien.
f) Penilaian meliputi pemeriksaan KV, KVP, VEP1.
Kapasitas vital (Vital Capasity, KV)
- Pilih pemeriksaan kapasitas vital pada alat spirometri
- Menerangkan slow manuver yang akan dilakukan.
- Meletakkan mouth piece di antara gigi dan katup erat dengan
bibir. Pastikan bibir pasien melingkupi sekeliling mouth piece
sehingga tidak ada kebocoran.
- Bernapas biasa sebanyak 3 - 4 kali
- Instruksikan pasien menarik napas sedalam-dalamnya
- Instruksikan pasien mengeluarkan napas secara perlahan
hingga sehabis-habisnya
- Manuver dilakukan minimal 3 kali.
Kapasitas vital paksa (Forced Vital Capasity, KVP) dan
Volume ekspirasi paksa detik pertama (Forced Expiratory
Volume in One Second, VEP1)
- Pilih pemeriksaan KVP pada alat spirometri
- Menerangkan manuver paksa (force manouvre) yang akan
dilakukan
- Pastikan bibir pasien melingkupi sekeliling mouth piece
sehingga tidak ada kebocoran

97
- Instruksikan pasien menarik napas sedalam-dalamnya
- Instruksikan pasien membuang napas secepat-cepatnya
sampai habis dengan dihentakkan
- Melepaskan mouthpiece yang sudah digunakan dari alat.
- Mesin spirometri akan menampilkan nilai VEP1dan KVP.
- Pemeriksaan dilakukan 3 kali.
Menampilkan hasil di layar spirometri dan mencetak hasil grafik.
Menentukan interpretasi hasil uji faal paru (spirometri).
INTERPRETASI HASIL :

Gangguan Faal Paru


Faal Paru Gangguan Faal Paru
Obstruksi (tanpa pemerik-
Normal Restriksi
saan bronchodilator test)
a) KV dan KVP a) KV atau KVP <80% a) VEP1<80% dari nilai
>80% dari dari nilai prediksi prediksi
nilai Prediksi b) Restriksi ringan jika b) Rasio VEP1/KVP <75%
VEP1>80% KV atau KVP 60% - c) Obstruksi ringan jika rasio
dari nilai 80% VEP1/KVP 60% - 80%
Prediksi c) Restriksi sedang jika d) Obstruksi sedang jika
b) Rasio VEP1/ KV atau KVP 30% - rasio VEP1/KVP 30% - 59%
KVP >70% 59% e) Obstruksi berat jika rasio
d) Restriksi berat jika VEP1/KVP <30%
KV atau KVP <30%

98
Lampiran 4
Spirometri Pada Masa
Pandemi Covid-19

99
:

100
82
101
102
103
104
Lampiran 5
Teknik Terapi Inhalasi
Nebulisasi

105
Lampiran 5
Teknik Terapi Inhalasi Nebulisasi

Terapi inhalasi adalah pemberian obat yang dilakukan secara


hirupan/inhalasi dalam bentukaerosol ke dalam saluran napas.
Terapi inhalasi masih menjadi pilihan utama pemberian obat yang
bekerja langsung pada saluran napas terutama pada kasus asma
dan PPOK.
Prinsip alat nebulizer adalah mengubah obat yang berbentuk
larutan menjadi aerosol sehingga dapat dihirup penderita dengan
menggunakan mouthpiece atau masker. Dengan nebulizer dapat
dihasilkan partikel aerosol berukuran antara 2-5µ. Alat nebulizer
terdiri daribeberapa bagian yang terpisah yang terdiri dari generator
aerosol, alat bantu inhalasi (kanul nasal, masker, mouthpiece) dan
cup (tempat obat cair). Model nebulizer terdiri dari 3 yaitu :
a.
Nebulizer jet-aerosol dengan penekan
udara (compressor nebulizer)
Memberikan tekanan udara dari pipa ke
cup yang berisi obat cair untuk memecah
airan ke dalam bentuk partikel- partikel
uap kecil yang dapat dihirup ke dalam
saluran napas
b. Nebulizer ultrasonik (ultrasonic
nebulizer)
Menggunakan gelombang ultrasounik
(vibrator dengan frekuensi tinggi) untuk
secara perlahan merubah obat dari bentuk
cair ke bentuk aerosol basah.
c. Nebulizer mini portable (portable nebulizer)
Bentuknya kecil, dapat dioperasikan dengan
menggunakan baterai dan tidak berisik sehingga
nyaman digunakan

106
INDIKASI
- Asma Bronkialis
- Penyakit Paru Obstruksi Kronik
- Sindroma Obstruksi Post TB
- Mengeluarkan dahak
KONTRAINDIKASI
- Hipertensi.
- Takikardia.
- Riwayat alergi.
- Trakeostomi.
- Fraktur di daerah hidung, maxilla, palatum oris.
- Kontraindikasi dari obat yang digunakan untuk nebulisasi.
PEMILIHAN OBAT
Obat yang akan digunakan untuk terapi inhalasi akan selalu
disesuaikan dengan diagnosis atau kelainan yang diderita oleh
pasien. Obat yang digunakan berbentuk solutio (cairan), suspensi
atau obat khusus yang memang dibuat untuk terapi inhalasi.
Golongan obat yang sering digunakan melalui nebulizer yaitu beta-
2 agonis, antikolinergik, kortikosteroid, dan antiobiotik.
KOMPLIKASI
- Henti napas.
- Spasme bronkus atau iritasi saluran napas.
- Akibat efek obat yang digunakan seperti salbutamol (short acting
beta-2 agonist) dosis tinggi akan menyebabkan gangguan pada
sistim sekunder penyerapan obat. Hipokalemi dan disritmia
dapat ditemukan pada paslien dengan kelebihan dosis.
CARA PENGGUNAAN ALAT
- Buka tutup tabung obat, masukkan cairan obat kedalam alat
penguap sesuai dosis yang telah ditentukan.
- Gunakan mouth piece atau masker (sesuai kondisi pasien). Tekan
tombol ON pada nebulizer. Uap yang keluar dihirup perlahan-

107
lahan dan dalam, inhalasi ini dilakukan terus menerus sampai
obat habis. Hal ini dilakukan berulang-ulang sampai obat habis
(+10 - 15 menit)
INTERPRETASI
- Bronkospasme berkurang atau menghilang
- Dahak berkurang
PERHATIAN
- Bila memungkinkan, kumur daerah tenggorok sebelum
penggunaan nebulizer.
- Perhatikan reaksi pasien sebelum, selama dan sesudah
pemberian terapi inhalasi.
- Nebulisasi sebaikan diberikan sebelum waktu makan.
- Setelah nebulisasi pasien disarankan untuk postural drainage
dan batuk efektif untuk membantupengeluaran sekresi.
- Pasien harus dilatih menggunakan alat secara benar.
- Perhatikan jenis alat yang digunakan.
- Pada alat tertentu maka uap obat akan keluar pada penekanan
tombol, pada alat lain obat akankeluar secara terus menerus.

No Langkah
Persiapan Alat

1 Mempersiapkan alat sesuai yang dibutuhkan :


- Main unit
- Air hose (selang)
- Nebulizer kit (masker, mouthpiece, cup)
- Obat-obatan

Main unit Nebulizer cup Air hose (selang)

108
Masker Mouthpiece
Main unit Nebulizer cup Air hose (selang)

Masker Mouthpiece
2 Memperhatikan jenis alat nebulizer yang akan digunakan
(sumber tegangan, tombol OFF/ON), memastikan masker
ataupun mouthpiece terhubung dengan baik, persiapan obat)
Pelaksanaan Terapi Inhalasi
1 Cuci tangan sebelum menyiapkan obat.
2 Menghubungkan nebulizer dengan sumber tegangan
3 Menghubungkan air hose, nebulizer dan masker/mouthpiece
pada main kit
4 Buka tutup cup, masukkan cairan obat ke dalam alat penguap
sesuai dosis yang telah ditentukan

5 Gunakan mouthpiece atau masker sesuai kondisi pasien


6 Mengaktifkan nebulizer dengan menekan tombol ON pada main
kit. Perhatikan jenis alat, pada nebulizer tertentu, pengeluaran
uap harus menekan tombol pengeluaran obatpada nebulizer kit
7 Mengingatkan penderita, jika memakai masker atau
mouthpiece, uap yang keluar dihirupperlahan-lahan dan dalam
secara berulang hingga obat habis (kurang lebih 10-15 menit)

8 Tekan tombol OFF pada main kit, melepas masker/mouthpiece,


nebulizer kit, dan air hose

109
9 Menjelaskan kepada penderita bahwa pemakaian nebulizer
telah selesai danmengevaluasi penderita apakah pengobatan
yang dilakukan memberikan perbaikan/mengurangi keluhan
10 Membersihkan mouthpiece dan nebulizer kit serta obat-obatan
yang telah dipakai

110
111
112
93
94

113
114
Lampiran 6
Tabel Fungsi Paru (KVP)
Laki-Laki

115
VEP1= −4.10074 + 0.04864 × umur + 0.03947 × TB + 1.4969 × C − 0.07433 ×
(C × Umur) ± 0.039138 Umur ≥ 21 tahun, C = 1 /// Umur < 21 tahun, C = 0

116
Lampiran 7
Tabel Fungsi Paru (KVP)
Perempuan

117
VEP1= −2.39380 + 0.01684 × Umur + 0.02935 × TB + 0.85319 × C − 0.03894
× (C × Umur) ± 0.27248 Umur ≥ 21 tahun, C = 1 /// Umur < 21 tahun, C = 0

118
Lampiran 8
Obat PPOK
Dalam Fornas 2021

119
LAMPIRAN 8
OBAT PPOK DALAM FORNAS 2021

120 97
Lampiran 9
Pengelolaan PPOK
di FKTP

121
LAMPIRAN 9
PENGELOLAAN PPOK di FKTP

122
98
Lampiran 10
Tatalaksana Pasien
Gangguan Pernapasan
Dengan Gejala Utama
Batuk dan Sesak

123
Lampiran 10

124
Tatalaksana Pasien Gangguan Pernapasan Dengan Gejala Utama
Batuk dan Sesak
Gejala Gejala Pemeriksaan Pemeriksaan Diagnosis/ Nasihat dan
Umum Tambahan Fisis Penunjang Klasifikasi Tindakan
Batuk 2-3 • Berdahak Auskultasi Periksa BTA Tuberkulo- • Bila TB,
minggu • Mungkin berdarah bervariasi SPS sis Paru lakukantatalaksana
atau lebih • Nyeri dada sesuai luas lesi sesuai dg Buku
• Sesak napas (bisa Panduan Nasional
• Nafsu makan normal atau Penang-gulangan
• menurun dengan TB
• Berat badan kelainan) • Lakukan Konseling
menurun dan testing
• Keringat malam sukarela(KTS) bila:
• Suhu Subfebris • Ada faktor risikoHIV
• Badan lesu - Daerah
prevalensiHIV tinggi
Batuk den- Dapat disertai: Bervariasi dari • Spirometri Asma Tatalaksana Akut:
gan • Mengi normal sampai • Ukur Arus • Beri oksigen bila
karakteris- • Sesak napas terdengar Puncak tersedia
tik: • Dada terasa mengi. Ekspirasi • Beri bronkodilator
• Berulang berat/tertekan Di saat seran- (APE) • Bila berat beri
atau hilang • Berdahak gan bisa kortikosteroid
timbul • Riwayat atopi ditemukan: • Bila tidak membaik
• Riwayat keluarga • Pemakaian rujuk ke RS
(Asma/atopi) otot bantu
napas
• Ada faktor • Meningk Tatalaksana Jangka
pencetus atnya Panjang:
• Membu- Frekuensi • Kunjungan ulang
ruk pada napas minimal sebulan
malam hari • Terdengar sekali
mengi • Obat pelega inhalasi
kalau perlu
Batuk Sesak napas Dapat disertai: • Foto toraks Bronkitis • Banyak minum
berdahak • Ronki kering • Spirometri Kronik • lstirahat
selama • Ronki basah • Bronkodilator
minimal • Mengi • Mukolitik
3 bulan • Anti-inflamasi
dalam min- • Pada eksaserbasi
imal 2 beri antibiotik jika
tahun ber- perlu
turut-turut

Batuk <2 Dapat disertai: Suhu subfebris Tidak perlu Nasofarin- lstirahat dan perban-
minggu • Hidung tersumbat (< 38°C) gitis viral yak minum. Berikan
• Sekret hidung akut obat sesuai
jernih (Selesma/ keluhan
• Meriang common • Analgetik- antipiretik
cold) • Dekongestan
• Ekspektoran

Dapat disertai: Suhu > 38°C Swab nasofar- Influenza • lstirahat


• Demam. ing Like Illness • Banyak minum
• Hidung tersumbat. (ILL) • Berikan obat sesuai
• Sekret hidung keluhan
jernih. • Analgetik antipiretik

125
• Meriang. • Dekongestan

126
• Nyeri sendi/otot. • kspektoran Rujuk
• Pikirkan Avian keRS bila suspek AI
Influenza (AI) bila
ada kontak dengan
unggas.
• Pilek • Faring hiper- Tidak perlu Rhinofarin- lstirahat dan perban-
• Hidung tersumbat emis • Suhu gitis/ yak minum. Berikan
• Nyeri menelan >37°C Faringitis obat sesuai keluhan
• Sakit tenggorokan Akut • Analgetik- antipiretik
• Demam • Dekongestan
• Ekspektoran
• Anti-histamin
• Nyeri menelan • Suhu >37°C Tidak perlu Tonsilitis lstirahat dan erbanyak
• Demam • Tonsil merah minum. Berikan obat
dan membesar sesuai keluhan
• Sekret bercak • Analgetik anti piretik
putih (detritus) Antibiotik bila ada
detritus
• Hidung tersumbat Dapat disertai: Tidak perlu Sinusitis lstirahat dan perban-
• Pilek • lngus be- Akut yak minum. Berikan
• Pusing/Sakit ke lakang hidung obat sesuai keluhan
Pendekatan Praktis (post-nasal • Analgetik- antipiretik
Kesehatan Paru drip) • Dekongestan
• AIiran sekret di • Nyeri tekan di • Ekspektoran
tenggorokan tulang pipi dan • Anti inflamasi
terutama saat dahi (steroid)
bangun tidur
• Napas berbau Rujuk untuk Foto
(halitosis/ Sinus Paranasalis (bila
fetororis) tiada perbaikan dalam
2 minggu) pindah ke
algoritma

• Nyeri menelan • Suhu > 37° C Tidak perlu Laringitis lstirahat dan
• Suara serak/hilang • Frekuensi perbanyak minum.
• Demam napas Berikan obat sesuai
• Berdahak meningkat (20 keluhan
• Dapat disertai - 29 kali /menit) • Analgetik- antipiretik
stridor • Laring • Dekongestan
• Bila stridor kemerahan • Ekspektoran
ditemukan pada • Pikirkan • Anti inflamasi
anak 5 -15 tahun difteri (steroid)
maka pikirkan ke bila tonsil • Bila ada stridor
arah difteri berselaput berikan kortikosteroid
putih yang injeksi jika
mudah tersedia dan rujuk ke
berdarah fasilitas yang lebih
(pseudo tinggi
membran)
• Sesak napas • Suhu >37°C Tidak perlu Bronkitis lstirahat dan erbanyak
• Rasa berat di dada • Frekuensi na- akut minum. Berikan obat
• Mengi pas meningkat sesuai keluhan
• Demam (>24 kali/menit) • Antipiretik bila
• Berdahak • Wheezing demam
(mengi) • Antibiotik bila dahak
• Ronki kering berwama hijau/

127
kuning

128
(mukopurulen)
Bronkodilator bila
perlu
• Kortikosteroid jika
sesak napas

• Sesak napas • Frekuensi • Pemeriksaan Pneumo- • Tirah baring


• Demam tinggi napas Gram nia • Banyak minum
• Nyeri dada >24x/menit Sputum • Beri obat sesuai
• Dahak berwama • Suhu > 38.5°C • Pemeriksaan keluhan:
• Pikirkan Avian • Frekuensi darah tepi - Parasetamol
Influenza (AI) bila nadi cepat ditemukan - Ekspektoran
ada riwayat kontak (>100x/menit) leukositosis • Beri antibiotik
dengan unggas yang • Sianosis Uika • Pada AI spektrum luas.
sakiVmati berat) pemeriksaan • Bila suspek AI beri
• Auskultasi darah tepi satu dosis oseltamivir
ronki basah ditemukan dan rujuk ke RS
leukopenia rujukan AI.
• Bila pasien dengan
HIV(+) pikirkan PCP
dan tambahkan
terapi dengan
kotrimoksazol PCP
ringan sampai
sedang 2x960 mg
selama 21 hari
dilanjutkan 1x960 mg
selama 6 bulan
Batuk pro- Dapat disertai: • Jari tabuh Foto toraks Bronkiek- • Oksigen bila sesak
duktif • Batuk darah • Ronki basah tasis • Bronkodilator
dengan • Banyak dahak kasar • Mukolitik
dahak tiga terutama pagi hari • Mengi • Kortikosteroid
lapis (war- • Jika eksaserbasi bilaberat
na kuning, dapat disertai • Antibiotik bila ada
hijau dan demam eksaserbasi
kecoklatan) • Mengi • Antipiretik bila ada
• Mungkin ada demam
riwayat sinusitis, TB • Bila tidak membaik
rujuk ke RS
• Nyeri menelan • Suhu > 37° C Tidak perlu Laringitis lstirahat dan perban-
• Suara serak/hilang • Frekuensi yak minum. Berikan
• Demam napas obat sesuai keluhan
• Berdahak meningkat • Analgetikantipiretik
• Dapat disertai (20 - 29 kali / • Dekongestan
stridor menit) • Antibiotik bilaperlu
• Bila stridor • Laring • Anti inftamasi
ditemukan pada kemerahan (steroid)
anak 5 -15 tahun • Pikirkan • Bila ada stridor
maka pikirkan ke difteri berikan
arah difteri bila tonsil kortikosteroid injeksi
erselaput jika tersedia dan
putih yang rujuk ke fasilitas yang
mudah lebih tinggi
berdarah
(pseudo
membran)

129
Batuk den- • Riwayat imunisasi • Di luar Pemeriksaan Pertusis • lstirahat

130
gan OPT yang tidak serangan darah tepi • Asupan gizi yangbaik
karakteris- lengkap atau tidak batuk tidak dapat dijump- • Banyak minum
tik: sama sekali ada kelainan ai leukositosis • Berikan antibiotik
• Setiap • Riwayat kontak • Pada waktu dengan golongan makrolid
kejadian dengan pasien lain batuk dapat limfositosis (misal: eritromisin)
batuk ber- yang memiliki gejala dijumpai: • Beri antitusif bila
langsung serupa - muka merah batuk sangat hebat
lama. - tanda- tanda • Rujuk ke RS bila
• Pada anak Sianosis sianosis atau
kecil, • Dapat keadaan memburuk
dapat terja- ditemukan • Kunjungan
di wajah perdarahan ulangsetiap 3-7 hari.
kemerahan
karena
bendun-
gan aliran
darah
• Pada anak
besar dap-
at terjadi
bunyi
whoop
diakhir/sela
rangkaian
batuk
Sesak • Batuk berdahak Dapat dițemu- • Spirometri PPOK Tatalaksana Akut:
napas yang makin banyak kan: • Ukur Arus • Oksigen
dengan • Demam - Tampilan Puncak • Bronkodilator
karakteris- • Mengi ‘dada tong’ Ekspirasi • Kortikosteroid
tik: • Ada riwayat - Pemakaian (APE) jikaberat
• Terus me- merokok lama otot bantu • Foto toraks • Mukolitik bila
nerus dan atau terpajan zat napas dahaksulit
bertambah polutan/iritan - Frekuensi dikeluarkan
berat bila • Usia > 45 tahun napas men- • Antitusif bila batuk
beraktivitas ingkat dan sangat mengganggu
• Makin mengi dan • Antibiotik bila
lama mak- Ronki kering eksaserbasi karena
in berat • Purse-lip infeksi bakteri
(progresif) breathing • Bila tidak membaik
(ekspira- rujuk ke RS
si melalui
mulut seperti
orang meni-
up)
Sesak Na- Dapat disertai: • Dada cem- Foto toraks Pneumo- • Beri oksigen bila
pas den- • Nyeri dada bung disisi yg toraks tersedia
gan • Sianosis sakit • Lakukan contraventif
karakteris- • Kesadaran • Pada Pen- • Segera rujuk ke RS
tik: menurun dekatan
• Biasanya • Bisa dengan Praktis Kese-
mendadak riwayat penyakit hatan Paru-
berat sebelumnya atau pasi fremitus
riwayat trauma melemah

131
• Napas mele-

132
mah
Sesak Na- Dapat disertai: • Dada cem- Foto toraks Efusi Pleu- • Oksigen
pas den- • Nyeri dada bung ra • Punksi pleura jika
gan disisi yang
karakteris- sakit
tik makin
• Pada Pen- sesak napas berat
dekatan • Segera rujuk ke RS
Praktis Kese-
hatan Paru-
pasi fremitus
melemah
• Pada perkusi
redup
• Pada auskul-
tasi
Sesak Na- Dapat disertai: • Nyeri tekan GERD • Beri antagonis H2
pas • Nyeri dada/dada epigastrium (Penyaki • Rujuk untuk
terasa panas (heart Refluks diagnosis
bum) Gastro dan tatalaksana lebih
• Kembung Eosofagus) lanjut (gastroskopi).
• Sendawa
• Mulut terasa asam/
pahit
• Nyeri menelan
Lampiran 11
Form Pencatatan
dan Pelaporan Sesuai
Permenkes No. 31/2019

133
LAMPIRAN 11
FORM PENCATATAN DAN PELAPORAN SESUAI PERMENKES NO.31/2019

134
109
Media Sosial :
twitter.com/p2ptmkemenkesRI
facebook.com/p2ptmkemenkesRI
instagram.com/p2ptmkemenkesri
p2ptm.kemkes.go.id

Konsultasi Berhenti Merokok :


- Quitline.INA 0800-177-6565
- Pesona Si BeMo : Facebook Messenger @p2ptmkemenkesRI
Twitter inbox @p2ptmkemenkesRI
Telegram : https://t.me/Quitina_bot
Website : p2ptm.kemkes.go.id

Anda mungkin juga menyukai