Anda di halaman 1dari 28

MINI PROJECT

GAMBARAN PENGETAHUAN MASYARAKAT


TENTANG OTITIS MEDIA AKUT TERHADAP
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN ISPA DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS CIPELANG

Dibuat dan disusun sebagai syarat kelulusan


Program Internsip Dokter Indonesia

Oleh:
dr. Ardiga Pridiasko

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


PUSKESMAS CIPELANG
SUKABUMI
2019
HALAMAN PENGESAHAN

GAMBARAN PENGETAHUAN MASYARAKAT


TENTANG HUBUNGAN OTITIS MEDIA AKUT
TERHADAP PENCEGAHAN DAN PENANGANAN
ISPA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
CIPELANG

yang dipersiapkan dan disusun oleh :

dr. Ardiga Pridiasko


SIP :
Laporan Mini Project yang telah diseminarkan, diterima dan disetujui didepan tim
penilai Puskesmas Cipelang Kota Sukabumi.

Sukabumi, Agustus 2019

Disahkan Oleh:

Kepala Puskesmas Cipelang

dr. Tri Betawihanta


NIP:198111152010011007
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada tuhan yang maha esa karena berkat dan rahmat yang
diberikan selama proses pembuatan laporan mini project yang berjudul “gambaran
pengetahuan masyarakat tentang hubungan otitis media akut terhadap pencegahan
dan penanganan ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Cipelang" sehingga dapat
disusun dan diselesaikan dengan tepat waktu dalam program internsip.
Laporan mini project ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu
persyaratan syarat kelulusan Program Internsip Dokter Indonesia dan bertujuan untuk
meningkatkan program puskesmas terutama dalam hal program pemberantasan
penyakit menular. Keberhasilan dalam penyusunan mini project ini tidak lepas dari
peran berbagai pihak yang turut membantu dalam proses pembuatan mini project ini.
Oleh karena itu, saya selaku penulis ingin mengungkapkan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada berbagai pihak atas segala bantuan dan dukungan yang
telah diberikan, serta kerjasama dalam pembuatan laporan ini. Secara spesifik kami
ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Tri Betawihanta selaku Kepala Puskesmas Cipelang dan pembimbing
yang telah memberikan bimbingan dan pelatihan selama kami menempuh
Program Dokter Intersip Indonesia di Puskesmas Cipelang.
2. Semua staf di Puskesmas Cipelang yang telah memberikan kontribusi
selama menjalani mini project Program Internsip Dokter Indonesia.
3. Teman sejawat Program Internsip Dokter Indonesia Puskesmas Cipelang.
Akhir kata, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat
kesalahan dalam penyusunan mini project ini, juga selama menjalankan kepaniteraan
Program Internsip Dokter Indonesia. Semoga mini project ini dapat memberikan
manfaat bagi kita semua.

Sukabumi, Agustus 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................. i

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... iii

DAFTAR TABEL .......................................................................................... iv

PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah................................................................................... 2

1.3 Tujuan .................................................................................................... 2

1.4 Manfaat .................................................................................................. 2

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 3

2.1 Otitis Media Akut ................................................................................... 3

2.1.1. Definisi & Epidemiologi ............................................................... 3

2.1.2. Anatomi & Fisiologi ..................................................................... 4

2.1.3. Etiologi & Patofisiologi................................................................. 6

2.1.4. Diagnosis & Klasifikasi................................................................. 9

2.1.5. Tatalaksana ................................................................................... 10

2.1.6. Komplikasi & Prognosis ............................................................... 11

2.2 ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) ................................................. 11

2.2.1 Definisi & Epidemiologi ............................................................... 11

2.2.2 Etiologi ......................................................................................... 12

2.2.3 Klasifikasi ..................................................................................... 12

2.2.4 Diagnosa ....................................................................................... 13

2.2.5 Tatalaksana ................................................................................... 14

i
2.3 Hubungan ISPA dengan Otitis Media Akut ............................................. 15

METODE PENELITIAN DAN PENGAMBILAN DATA ........................... 16

3.1 Profil Puskesmas..................................................................................... 16

3.1.1 Jumlah Penduduk ........................................................................... 16

3.1.2 Tingkat Pendidikan ........................................................................ 16

3.2 Metode Penelitian ................................................................................... 17

3.3 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................. 17

3.4 Teknik Pengumpulan Data ...................................................................... 17

3.4.1 Populasi ......................................................................................... 17

3.4.2 Teknik Pengambilan Data .............................................................. 17

HASIL PENELITIAN ................................................................................... 20

4.1 Hasil Penelitian ....................................................................................... 20

KESIMPULAN DAN SARAN....................................................................... 21

5.1. Kesimpulan............................................................................................. 21

4.2 Saran ...................................................................................................... 21

ii
DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 1. Tuba Eustachius ......................................................................... 5

GAMBAR 2. Anatomi Telinga ........................................................................ 6

iii
DAFTAR TABEL

TABEL 1. Patofisiologi Otitis Media Akut .................................................. 8

TABEL 2. Klasifikasi ISPA berdasarkan gejala ........................................... 13

TABEL 3. Hasil kuesioner mengenai pengetahuan OMA ............................ 18

TABEL 4. Hasil kuesioner mengenai pengetahuan ISPA ............................. 19

TABEL 5. Hasil kuesioner mengenai pencegahan dan penanganan ISPA .... 20

TABEL 6. Hasil kuesioner mengenai resiko ISPA menjadi OMA ................ 20

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Otitis Media Akut (OMA) adalah peradangan akut yang disebabkan oleh
infeksi pada sebagian atau seluruh telinga tengah, tuba eustachii, antrum mastoid,
dan sel-sel mastoid. Biasanya terjadi karena peradangan saluran napas atas dan
sering mengenai bayi dan anak-anak. OMA sering terjadi karena lanjutan dari
infeksi virus saluran pernapasan atas, infeksi virus saluran pernapasan atas terjadi
terlebih dahulu pada 70% OMA (Gooma et al., 2011).
Di Indonesia belum ada data nasional baku yang melaporkan tingkat
kejadian OMA. Menurut penelitian yang dilakukan di Kotamadya Jakarta Timur
angka kejadian OMA sebesar 5,38%, dan prevalensi tertinggi terjadi pada
kelompok usia 2-5 tahun (Umar, 2013).
ISPA adalah penyakit infeksi yang menyerang salah satu bagian dan atau
lebih dari saluran pernafasan mulai dari hidung hingga alveoli termasuk jaringan
adneksa seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Marcdante, et al., 2013).
Prevalensi nasional ISPA adalah 25,0%. Penduduk dengan ISPA yang tertinggi
terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun 25,8%. Kasus ISPA tertinggi terjadi pada
kelompok umur 1-4 tahun Balita sebesar 35%. (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, 2013).
ISPA diklasifikasikan menjadi infeksi saluran pernapasan atas dan infeksi
saluran pernapasan bawah. Infeksi saluran pernapasan atas dimulai dari saluran
napas yaitu lubang hidung sampai pita suara di laring, termasuk sinus paranasal
dan telinga tengah. Infeksi saluran pernapasan atas merupakan penyakit infeksi
yang sering ditemukan. Termasuk rhintis (common cold), sinusitis, infeksi telinga,
faringitis akut atau tonsilofaringitis. Infeksi telinga dan faringitis paling banyak
menyabkan komplikasi yang parah (ketulian dan demam rematik).
Penyebab infeksi saluran pernapasan atas paling sering yaitu virus.
Rhinovirus 20-30%; Respiratory Syncytial Viruses (RSV), Parainfluenza dan
Influenza Viruses, Human Metapneumovirus, dan Adenoviruses 25-35%; Corona

1
Viruses 10%; dan sisanya virus yang tidak teridentifikasi. Komplikasi infeksi
saluran pernapasan atas lebih mengancam dibandingkan infeksinya karena bisa
menyebabkan infeksi sinus dan telinga tengah terutama pada anak. Anak-anak
sangat rentan terkena Otitis Media Akut (OMA) karena bentuk anatomi tuba
eustachiusnya yang lebih pendek, fleksibel, dan horizontal.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang diangkat adalah
“bagaimana pengetahuan masyarakat tentang hubungan otitis media terhadap
pencegahan dan penanganan ISPA di wilayah kerja Puskesmas Cipelang ?”

1.3 Tujuan
Mengetahui, mengidentifikasi, serta mengevaluasi pengetahuan masyarakat
terhadap hubungan otitis media akut dengan ISPA terhadap pencegahan dan
penanganannya di wilayah kerja Puskesmas Cipelang.

1.4 Manfaat
Bagi tenaga kesehatan
Hasil mini project ini diharapkan dapat memberikan masukan pada
tenaga kesehatan di puskesmas dan memberikan bantuan untuk
meningkatkan penyuluhan berkaitan dengan otitis media akut yang
disebabkan oleh ISPA.
Bagi kader kesehatan
Hasil mini project ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
meningkatkan mutu pelayanan kader kesehatan kepada masyarakat
mengenai otitis media akut yang disebabkan oleh ISPA.
Bagi masyarakat
Hasil mini project ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
masyarakat mengenai otitis media akut yang disebabkan oleh ISPA sehingga
dapat melakukan pencegahan dan penanganannya secara baik.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Otitis Media Akut


2.1.1. Definisi & Epidemiologi
Otitis media merupakan peradangan sebagian atau seluruh mukosa
telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis
media akut yang dikatakan berulang apabila terdapat tiga episode otitis
media akut baru dalam waktu 6 bulan atau empat kali selama satu tahun
(Umar, 2013).
Otitis media akut (OMA) merupakan infeksi dari cairan yang
terakumulasi di telinga tengah. OMA sering terjadi karena lanjutan dari
infeksi virus saluran pernapasan atas (Gooma et al., 2011).
Di Indonesia belum ada data nasional baku yang melaporkan tingkat
kejadian OMA. Menurut penelitian yang dilakukan di Kotamadya Jakarta
Timur angka kejadian OMA sebesar 5,38%, dan prevalensi tertinggi terjadi
pada kelompok usia 2-5 tahun (Umar, 2013).
Selama lebih dari 20 tahun terakhir, insiden OMA meningkat 68%
di Finlandia, sementara OMA berulang meningkat 39% di United States.
OMA terjadi pada 2 kelompok umur berbeda, lebih sering pada kelompok
yang lebih muda (0 sampai 5 tahun) dibandingkan pada kelompok yang
lebih tua (5 sampai 11 tahun). Pada umur 6 bulan, sekitar 25% dari semua
anak mendapat 1 atau lebih episode OMA. Pada umur 1 tahun, gambaran ini
meningkat menjadi 62%; pada umur 3 tahun, menjadi 81%; dan pada umur 5
tahun, menjadi 91%. Setelah umur 7 tahun, insiden menurun (Aziz, 2007).
OMA lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibanding perempuan.
Hal ini diduga berkaitan dengan pneumatisasi mastoid yang lebih kecil pada
laki-laki, pajanan polusi, infeksi saluran napas berulang serta trauma yang
lebih sering terjadi pada laki-laki (Wang, Chang, dan Chuang, 2011).

3
2.1.2. Anatomi & Fisiologi
Telinga luar terdiri dari auricula dan meatus acusticus externus.
Auricula berfungsi untuk mengumpulkan getaran udara, dan memiliki
bentuk yang khas, yaitu terdiri dari lempeng tulang rawan elastis tipis yang
ditutupi kulit. Meatus akustikus ekternus yang berfungsi menghantarkan
getaran dari luar ke membran timpani, adalah sebuah saluran yang
menghubungkan auricula dengan membran timpani, sepertiga bagian
luarnya terdiri atas kartilago yang elastis, sedangkan dua pertiga bagian
dalamnya adalah tulang. Di dalam meatus terdapat rambut, kelenjar sebasea,
dan kelenjar seruminosa untuk mencegah masuknya benda asing (Snell,
2012).
Telinga tengah adalah organ yang memiliki penghalang yang
biasanya dalam keadaan steril. Bila terdapat infeksi bakteri pada nasofaring
dan faring, secara alamiah terdapat mekanisme pencegahan penjalaran
bakteri memasuki telinga tengah oleh enzim pelindung dan bulubulu halus
yang dimiliki oleh tuba eustachiius (Djaafar, 2007). Terletak di dalam pars
petrosa ossis temporalis. Di dalam telinga tengah terdapat : ossicula
auditoria (maleus, incus, stapes), muculus stapedius dan musculus tensor
tympani, chorda tympani, dan plexus tympanicus pada promontorium.
Telinga tengah berbentuk seperti kotak sempit yang memiliki atap, dasar,
dan empat dinding (Moore dan Anne, 2015). Getaran pada membrane
timpani akan menggerakkan tulang-tulang pendengaran tersebut yang
selanjutkan akan di hantarkan ke bagian telinga dalam (Sherwood, 2014).
Tuba eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga
telinga tengah dengan bagian dari rongga mulut yang disebut nasofaring.
Pada orang dewasa panjangnya kira-kira 36 mm sudut 450, sedangkan pada
anak-anak panjangnya rata-rata 18 mm sudut 100, letaknya relatif lebih
mendatar, pendek, dan lebar dibandingkan orang dewasa. Kemudian mukosa
yang melapisi tuba eustachius merupakan lanjutan dari mukosa nasofaring
dan telinga tengah, akibatnya infeksi daerah tenggorok akan lebih mudah
mencapai teling tengah (Umar, 2013).

4
Tuba eustachius mempunyai 2 mekanisme untuk drainase sekret
dari telinga tengah ke nasofaring, yaitu drainase mukosilia dan muskular.
Sistem mukosilia ini aktif membersihkan sekret dari telinga tengah,
sekaligus menstimulus pemompaan tuba eustachius pada saat menutup,
menghasilkan drainase muskular. Tindakan pemompaan tuba untuk drainase
sekret dari telinga tengah ke nasofaring tejadi pada saat tuba menutup secara
pasif (Umar, 2013).

GAMBAR 1. Tuba Eustachius

Telinga dalam terdiri dari dua bagian, yaitu labirin oseus dan labirin
membranosa. Labirin oseus terdiri dari koklea, vestibulum, dan kanalis
semisirkularis, sedangkan labirin membranosa terdiri dari utrikulus, sakulus,
duktus koklearis, dan duktus semisirkularis. Rongga labirin tulang dilapisi
oleh lapisan tipis periosteum internal atau endosteum, dan sebagian besar
diisi oleh trabekula yang susunannya menyerupai spons (Pearce, 2009).
Nervus auditorius atau saraf pendengaran terdiri dari dua bagian,
yaitu nervus vestibular yang berfungsi sebagai alat pengatur keseimbangan
dan nervus koklea yang berfungsi sebagai pendengaran (Pearce, 2009).
Getaran suara yang masuk ke telinga tengah melalui koklea
menyebabkan cairan endolimfe dan perilimfe bergetar. Cairan yang bergetar
ini akan mengerakkan membrane basilaris, sehingga rambut-rambut di
reseptor sel rambut dalam organ corti akan bergetar dan berkontak dengan
membrane tektorium. Hasil dari kontak ini akan membuat reseptor potensial

5
di reseptor sel rambut menangkap getaran, dan diteruskan ke saraf
auditorius. Saraf auditorius akan berjalan ke korteks auditorius lobus
temporalis otak untuk mengubah getaran menjadi persepsi suara (Sherwood,
2014).

GAMBAR 2. Anatomi Telinga

2.1.3. Etiologi & Patofisiologi


Penyebab otitis media akut bersifat multifaktorial, yaitu variasi
anatomis tuba eustachius, serta kemampuan invasi patogen dibandingkan
dengan daya tahan tubuh pejamu. Infeksi pada mukosa nasofaring
mendorong kolonisasi bakteri, adhesi ke sel, dan invasi telinga tengah
melewati tuba eustachius, karena mukosa telinga tengah merupakan
kelanjutan dari mukosa nasofaring (Qureishi et al.,2014).
Berbagai kondisi terkait penyebab disfungsi tuba eustachius adalah :
(1) Penurunan regulasi tekanan sebagai akibat dari obstruksi anatomi
(mekanik) atau kegagalan mekanisme pembukaan tuba, atau disebut
obstruksi fungsional. (2) Hilangnya fungsi proteksi karena patensi abnormal
tuba eustachius yaitu tuba terlalu pendek, terlalu terbuka, tekanan gas
abnormal antara telinga tengah dan nasofaring atau telinga tengah dan

6
mastoid tidak intak. (3) Hilangnya fungsi drainase karena sistem drenase
mukosiliar dan aksi pompa terganggu (Bluestone dan Klein, 2007).
OMA terjadi akibat tidak berfungsinya sistem pelindung pada
telingah tengah. Sumbatan atau peradangan pada tuba eustachii merupakan
faktor utama terjadinya otitis media. Pada anak-anak, semakin sering
terserang ISPA, kemungkinan terjadinya OMA juga semakin besar. Dan
pada bayi, terjadinya OMA dipermudah oleh karena tuba eustachii pendek,
lebar, dan letaknya agak horizontal (Djaafar, 2007).
OMA sering terjadi karena lanjutan dari infeksi saluran pernapasan
atas, infeksi virus saluran pernapasan atas terjadi terlebih dahulu pada 70%
OMA, penyebab infeksi yang sering mengakibatkan OMA adalah
Streptococcus pneumoniae, nontypable Haemophilus influenza,
Streptococcus pyogenes dan Moraxella catarrhalis serta infeksi Respiratory
Syncytial Virus (RSV) sering berkomplikasi menjadi OMA (Gooma et al.,
2011).
Infeksi saluran pernapasan menyebabkan sumbatan pada mukosa
tuba eustachian dan nasofaring, sehingga mengganggu sistem drainase
telinga tengah. Tidak hanya itu, infeksi tersebut menyebabkan reaksi
inflamasi dan pengumpulan nanah di telinga tengah. Hal ini menyebabkan
tekanan pada telinga tengah meningkat dan menghasilkan gejala klinis pada
otitis media akut (Qureishi et al.,2014).

7
TABEL 1. Patofisiologi Otitis Media Akut (Qureishi et al.,2014).

ISPA adalah salah satu faktor penyebab otitis media akut. Pada
penelitian Wald mengatakan bahwa anak dengan infeksi saluran pernapasan
atas dalam kurun waktu 10 – 15 hari dengan simptom yang jelas dapat
berpotensi megalami otitis media. Selain itu, infeksi saluran pernapasan
yang terjadi lebih dari tiga kali dalam setahun juga bisa menyebabkan
peningkatan potensi terjadinya otitis media. Infeksi saluran pernapasan
khususnya pernapasan atas menyebabkan kerusakahan mukosilia pada epitel
nasofaing dan telinga tengah. Akibat infeksi tersebut, sel-sel mukosilia, sel-
sel goblet, dan kelenjar mucus mengalami kerusakan. Kerusakan dari
mekanisme pertahanan telinga tengah ini lah yang kemudian menyebabkan
sistem drainase pada telinga tengah terganggu, dan meyebabkan peningkatan
tekanan udara di dalamnya akibat produksi secret terus menerus, kemudian
menyebabkan infeksi, dan terjadilah otitis media akut (Wald, Nancy, Carol,
2011)

8
2.1.4. Diagnosis & Klasifikasi
Otitis media akut merupakan peradangan pada telinga tengah yang
onsetnya akut, ditandai dengan adanya cairan dan atau inflamasi di telinga
tengah. Otore yang terjadi melalui perforasi membran timpani dengan gejala
akut diklasifikasikan sebagai otitis media akut. Disebut efusi telinga tengah
bila cairan keluar dari telinga berlangsung selama 3 bulan (Umar, 2013).
Otitis media akut menyebabkan perubahan mukosa telinga tengah
akibat infeksi yang terdiri atas 5 stadium. Masing-masing stadium dapat
dibedakan berdasarkan gambaran membran timpani (Efiaty et al., 2014). :
1. Stadium oklusi tuba eustachius
Terdapat gambaran retraksi membran timpani yang diakibat oleh
tekanan negatif di dalam telinga tengah. Membran timpani tampak
normal atau keruh pucat
2. Stadium hiperemis
Adanya pelebaran pembuluh darah, sehingga membran timpani
tampak hiperemis dan oedem.
3. Stadium supurasi
Cavum timpani tampak menonjol (bulging) ke arah telinga luar
karena terjadi oedem yang hebat di mukosa telinga tengah. Umumnya
rasa sakit di telinga akan bertambah hebat dan pasien sampai
mengalami demam tinggi.
4. Stadium perforasi
Karena terlambatnya pengobatan, dapat terjadi rupturnya membran
timpani, yang mengakibatkan sekret keluar dari telinga tengah ke
telinga luar melalui celah lubang yang terbuat. Pada stadium ini
umumnya rasa sakit di telinga berkurang dan demam mulai turun.
5. Stadium resolusi
Bila membrane timpani tetap utuh, maka membrane timpani perlahan
akan normal kembali. Bila terjadi perforasi, maka sekret akan
berkurang dan akhirnya kering dan membran timpani akan menutup
kembali.

9
2.1.5. Tatalaksana
Tatalaksana otitis media akut tergantung dari stadium penyakitnya.
Pada stadium oklusi pengobatan terutama untuk membuka kembali tuba
eustachius, diberikan dekongestan nasal (HCl efedrin 0,5 % dalam larutan
fisiologik untuk anak < 12 tahun, dan HCl efedrin 1 % dalam larutan
fisiologik bagi yang berumur > 12 tahun). Pada stadium hiperemis
pengobatan diberikan antibiotika, analgetika, serta dekongestan nasal dan
antihistamin atau kombinasi keduanya (Djaafar, 2007).
Pemberian antibiotik disesuaikan dengan prevalensi penyebab otitis
media akut, terapi terpilihnya adalah ampisilin (50 – 100 mg/kg BB/hari)
yang diberikan setiap 6 jam selama 10 hari. Terapi terpilih lainnya
kombinasi penisilin dan sulfisoksazol (120 mg/kgBB/hari) dalam dosis
terbagi setiap 6 jam selama 10 hari. Bila pasien alergi terhadap penisilin,
dapat diberikan eritromisin (50 mg/kg BB/hari). (Djaafar, 2007).
Pada stadium supurasi disamping diberikan terapi seperti pada
stadium hiperemis, idealnya harus disertai dengan miringotomi, bila
membran timpani masih utuh. Dengan miringotomi gejala-gejala klinis lebih
cepat hilang dan ruptur dapat dihindari. Pada stadium perforasi membran
timpani telah pecah dan terdapat secret purulen, biasanya analgetika tidak
diperlukan, tetapi diperlukan perawatan lokal bagi telinga. Telinga harus
dibersihkan 3 – 4 kali sehari dengan lidi kapas steril, dan berikan sumbatan
kapas di telinga untuk menyerap sekret tersebut. Pemberian antibiotika harus
adekuat. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi dapat menutup kembali
dalam waktu 7 – 10 hari (Djaafar, 2007).
Tatalaksana non medikamentosa, hindari masuknya air ke dalam
liang telinga sampai penyembuhan sempurna, karena dapat disertai
kontaminasi mikroorganisme. Pada stadium resolusi, membran timpani
berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi dan perforasi membran
timpani menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya akan tampak sekret
mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani
disebabkan berlanjutnya oedema mukosa telinga tengah. Pada keadaan
demikian antibiotika dapat dilanjutkan sampai 3 minggu (Djaafar, 2007).

10
2.1.6. Komplikasi dan prognosis
Dibagi menjadi intratemporal dan intracranial, intratemporal terdiri
dari mastoiditis akut, petrositis, labirintitis, perforasi pars tensa, atelektasis
telinga tengah, paresis fasialis, dan gangguan pendengaran. Komplikasi
intrakranial yang dapat terjadi antara lain yaitu meningitis, encefalitis,
hidrosefalus otikus, abses otak, abses epidural, empiema subdural, dan
trombosis sinus lateralis. Ditemukan sewaktu belum adanya antibiotik, tetapi
pada era antibiotik semua jenis komplikasi itu biasanya didapatkan sebagai
komplikasi dari Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK). Tatalaksana yang
baik akan menurunkan persentase komplikasi (Ghanie, 2010).

2.2 ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut)


2.2.1 Definisi dan Epidemiologi
Infeksi saluran pernapasan atas merupakan infeksi akut yang terjadi
di sepanjang saluran pernapasan atas, meliputi hidung, sinus paranasal,
faring, laring, epiglotis dan tonsil. Umumnya gejala ISPA yaitu hidung
tersumbat, keluarnya cairan dari hidung (rhinore), batuk dan / atau sakit
tenggorokan, dengan atau tanpa gejala penyerta yaitu demam, menurunnya
nafsu makan, dan gelisah pada saat tidur. Kelompok penyakit ISPA yaitu
nasofaringitis (common cold), faringitis, tonsilitis, rhinitis, sinusitis,
rhinosinusitis, epiglotitis, laringitis, dan tonsilitis. ISPA merupakan penyakit
ringan yang biasanya dapat sembuh sendiri, dengan gejala yang berlangsung
antara 3 – 14 hari (Rohilla et al, 2013).
ISPA adalah penyakit infeksi yang menyerang salah satu bagian dan
atau lebih dari saluran pernafasan mulai dari hidung hingga alveoli termasuk
jaringan adneksa seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Marcdante,
et al., 2013).
ISPA memiliki dampak yang luar biasa pada kesehatan masyarakat.
ISPA yang diadaptasi dari istilah dalam Bahasa Inggris yaitu Acute
Respiratory Infection (ARI) merupakan penyakit infeksi yang menempati
urutan ketujuh penyebab kematian di Indonesia pada tahun 2001 dengan
prevalensi sebesar 4,9% (Depkes RI, 2002).

11
2.2.2 Etiologi
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri dan virus.
(Suhandayani, 2007). Penyebab terjadinya ISPA adalah virus atau bakteri,
namun seringnya merupakan virus seperti : Rhinovirus, Parainfluenza,
Coronavirus, Coxsackie, Adenovirus, Respiratory syncitial virus, dan
Influenza virus (Sukarto, Ismanto, dan Karundeng, 2016). Sedangkan bakteri
yang sering menjadi penyebab ISPA adalah Beta-hemolytic streptococci,
Corynebacterium diphteriae, Streptococcus pneumonia, Haemophilus
influenzae, Bordatella pertusis, Moraxella catarrhalis (Rohilla et al, 2013).
Selain dari faktor tersebut juga terdapat beberapa hal penyebab terjadinya
ISPA seperti perilaku individu, sanitasi rumah, serta ketersediaan air bersih
(Depkes RI, 2005)

2.2.3 Klasifikasi
Klasifikasi ISPA(Depkes, 2002), adalah :
a. Ringan : ditemukan gejala batuk,pilek dan sesak.
b. Sedang
 Sesak nafas
 Suhu tubuh > 390 C
 Bernafas mengeluarkan suara seperti mengorok.
c. Berat
 Kesadaran menurun
 Nadi cepat atau tidak teraba
 Nafsu makan menurun
 Bibir dan ujung jari membiru (sianosis)
 Gelisah.

12
TABEL 2. Klasifikasi ISPA berdasarkan gejala (Zoorob R. et al., 2012).

2.2.4 Diagnosa
Tanda dan gejala ISPA banyak bervariasi antara lain demam,
pusing, malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus (muntah),
photophobia (takut cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suara
nafas), dyspnea (kesakitan bernafas), retraksi suprasternal (adanya tarikan
dada), hipoksia (kurang oksigen), dan dapat berlanjut pada gagal nafas
apabila tidak mendapat pertolongan dan mengakibatkan kematian.
(Marcdante, et al., 2013).
Diagnosa ISPA berdasarkan lokasi infeksi di sepanjang saluran
pernapasan atas. Diagnosis ditegakkan berdasarkan keluhan dan
pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh dokter. Gejala umum ISPA yaitu
hidung tersumbat, keluarnya cairan dari hidung (rhinore), batuk dan / atau
sakit tenggorokan, dengan atau tanpa gejala penyerta seperti demam,
menurunnya nafsu makan, dan gelisah pada saat tidur (Rohilla et al., 2013).
Diagnosa dari etiologi ditentukan berdasarkan pemeriksaan serologi
ataupun mikrobiologi dahak atau sekret (Mansjoer, 2008). Ada pula tes
diagnostik cepat yang berguna untuk memudahkan praktisi kesehatan dalam
mengambil keputusan apakah antibiotik diperlukan dalam pengobatan
(Cotton, 2011).

13
2.2.5 Tatalaksana
Penatalaksanaan kasus ISPA akan memberikan petunjuk standar
pengobatan penyakit ISPA yang akan berdampak mengurangi penggunaan
antibiotik untuk kasus-kasus batuk pilek biasa, serta mengurangi
penggunaan obat batuk yang kurang bermanfaat. Strategi penatalaksanaan
kasus mencakup pula petunjuk tentang pemberian makanan dan minuman
sebagai bagian dari tindakan penunjang yang penting bagi pederita ISPA.
(Smeltzer, et al., 2002)
Menurut Direktorat Jendral P2M&PL, perawatan pasien ISPA di
rumah dapat ditangani dengan cara berikut : (Departemen Kesehatan, 2010)
a) Mengatasi demam
Anak umur dua bulan sampai 5 tahun diberi paracetamol atau dengan
kompres air hangat.
b) Mengatasi batuk
Atasi dengan obat batuk sesuai dosis atau ramuan tradisional yang aman,
misalnya jeruk nipis setengah sendok teh dicampur dengan kecap atau
madu setengah sendok teh dan diberikan tiga kali sehari.
c) Pemberian makanan
Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulang-ulang
untuk menghindari muntah. Pemberian ASI pada bayi menyusui tetap
diberikan
d) Pemberian minuman
Beri minuman yang banyak (air putih, buah dan sebagainya) untuk
mengatasi dehidrasi dan mengencerkan dahak.
e) Lainnya
Rutin membersihkan hidung anak bila pilek, karena akan membantu
proses pemulihan. Jangan selimuti anak dengan kain tebal bila anak
panas. Untuk anak yang mendapat terapi antibiotik diberikan sampai
tuntas, dan jaga pola hidup yang baik.

14
2.3 Hubungan ISPA dengan otitis media akut
ISPA merupakan faktor predisposisi terjadinya OMA karena karena letaknya
yang dihubungkan oleh tuba eustachius dan mukosa telinga tengah merupakan
kelanjutan dari mukosa hidung yang berasal dari ektoderm yang sama dengan
mukosa saluran pernapasan atas, sehingga perubahan pada mukosa saluran
pernapasan dapat menyebabkan perubahan pada mukosa telinga tengah
(Casselbrant dan Mandel, 2014).
Saat terjadi proses inflamasi pada saluran pernapasan, terjadi peningkatan
aliran darah ke mukosa saluran pernapasan. Peningkatan aliran darah telinga
tengah juga terjadi karena mukosanya merupakan lanjutan dari mukosa saluran
pernapasan yang kemudian menyebabkan oedem pada mukosa telinga tengah.
Oedem pada mukosa tersebut mengganggu mekanisme pertahanan telinga tengah,
yaitu sistem drainase mukosilia yang seharusnya membersihkan telinga tengah ke
arah nasofaring sehingga menyebabkan penumpukan cairan dan udara di dalam
telinga tengah, dan menyebabkan tekanan udara di dalam telinga tengah negative
dan sangat beresiko mengalami infeksi (Casselbrant dan Mandel, 2014).
Umur memegang peranan dalam maturitas tuba eustachius, yaitu sudut dan
kemiringan tuba terhadap nasofaring. Pada dewasa panjangnya kira-kira 36 mm
sudut 450, pada anak-anak panjangnya rata-rata 18 mm sudut 100, letaknya relatif
lebih mendatar, pendek, dan lebar dibandingkan orang dewasa. Kemudian
kesamaan mukosa inilah yang mengakibatkan infeksi daerah tenggorok akan lebih
mudah mencapai teling tengah (Umar, 2013). Hal ini lah yang menyebabkan
anak-anak lebih rentan mengalami otitis media akut saat terjadi episode ISPA
(Bluestone dan Klein, 2007).
ISPA berulang yang terjadi minimal empat kali dalam setahun juga menjadi
faktor risiko terjadinya otitis media akut (Wald, Nancy dan Carol,2011).
Berdasarkan penelitian Revai et al, infeksi saluran pernapasan, anak usia dibawah
5 tahun mengalami infeksi saluran pernapasan atas sebanyak dua sampai tujuh
episode per tahunnya. Komplikasi dari infeksi saluran pernapasan atas yang paling
sering adalah otitis media akut dan sinusitis, yang biasanya muncul pada hari ke 3
sampai hari ke 8 saat anak tersebut terkena infeksi saluran pernapasan atas (Revai
et al., 2007).

15
BAB III
METODE DAN PENGAMBILAN DATA

3.1 Profil Puskesmas


Terletak di wilayah Kecamatan Gunung Puyuh yaitu Jl. KH. Ahmad Sanusi
No. 21, Kelurahan Gunung Puyuh Kota Sukabumi dengan wilayah kerja meliputi
2 kelurahan yaitu Kelurahan Sriwidari dan Kelurahan Gunung Puyuh. Adapun
batas wilayah kerja Puskesmas Cipelang adalah sebagai berikut :
 Utara berbatasan dengan Kelurahan Karamat, Kecamatan Gunung Puyuh
 Barat berbatasan dengan Kelurahan Karang Tengah, Kecamatan Gunung
Puyuh
 Selatan berbatasan dengan Kelurahan Benteng Kecamatan Warudoyong
 Timur berbatasan dengan Kelurahan Gunung Parang dan Kelurahan Selabatu
Kecamatan Cikole.
Luas wilayah kerja Puskesmas Cipelang yaitu 189,75 Ha dengan letak
geografis yang tidak seluruhnya datar melainkan sedikit berbukit tetapi masih
dapat dilalui dengan kendaraan roda dua maupun roda empat.

3.1.1. Jumlah Penduduk


Jumlah penduduk di wilayah kerja sebanyak 18.532 jiwa, dengan
penduduk terbanyak terdapat di Kelurahan Sriwidari yaitu 10.493 jiwa
(57,55%). Kepadatan penduduk di Kelurahan Sriwidari terlihat lebih tinggi
(117 jiwa/Ha) dari pada Kelurahan Gunung Puyuh.

3.1.2. Tingkat Pendidikan


Tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan oleh masyarakat di
wilayah kerja Puskesmas Cipelang paling banyak adalah pada tingkat
SLTA/Sederajat. Walaupun tingkat pendidikan tertinggi yang berhasil
ditamatkan terbanyak adalah tingkat SMU/sederajat hal ini sudah
menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk sudah megikuti program
wajib belajar 9 tahun yang berarti sebagian besar penduduk sudah sadar

16
akan pentingnya pendidikan. Tingkat pendidikan masyarakat diharapkan
dapat berbanding lurus dengan tingginya kesadaran masyarakat tentang
kesehatan dan baiknya angka melek huruf ini diharapkan dapat
mempercepat sampainya pesan-pesan kesehatan kepada masyarakat.

3.2 Metode Penelitian


Jenis penelitian ini menggunakan metode survey untuk mengetahui
gambaran pengetahuan masyarakat tentang hubungan otitis media akut terhadap
pencegahan dan penanganan ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Cipelang.

3.3 Waktu dan Tempat Penelitian


Lokasi Penelitian : Wilayah Kerja Puskesmas Cipelang,
Kota Sukabumi
Waktu Penelitian : 12 - 31 Juli 2019

3.4 Teknik Pengumpulan Data


Data didapatkan dari hasil kuesioner yang disebarkan secara acak sederhana
yang diberikan kepada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Cipelang

3.4.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua masyarakat di wilayah
kerja Puskesmas Cipelang

3.4.2 Teknik Pengambilan Data


Sampel populasi ini diambil dengan cara menyebarkan kuesioner
yang diberikan secara acak sederhana kepada masyarakt di wilayah
kerja Puskesmas Cipelang

17
BAB IV
HASIL PENELITIAN

4.1 Hasil Penelitian


Penelitian terhadap responden mengenai gambaran pengetahuan masyarakat
tentang hubungan otitis media akut terhadap pencegahan dan penanganan ISPA di
Wilayah Kerja Puskesmas Cipelang dilakukan dengan memberikan 13 pertanyaan
beserta 2 pilihan untuk setiap pertanyaan. Dimana hasil dari jawaban tersebut
didapatkan gambaran “YA” dan “TIDAK” untuk beberapa hal berkaitan dengan
otitis media akut dengan ISPA. Dimana pada kuesioner tersebut didapatkan
sebanyak 107 responden.
Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa hanya 16,82% atau 18 respoden
yang mengetahui definisi, etiologi, manifestasi klinis otitis media akut. Hanya
14,02% atau 15 responden yang mengetahui komplikasi otitis media akut, dan
17,76% atau 19 responden yang mengetahui bahwa otitis media akut bisa
disebabkan oleh Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA).

Hasil Kuesioner Mengenai Pengetahuan


Otitis Media Akut (OMA)

90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Definisi Etiologi Manifestasi Komplikasi ISPA --> OMA
Klinis

Tahu Tidak Tahu

TABEL 3. Hasil kuesioner mengenai pengetahuan OMA

18
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) yang berperan dan memungkinkan
menjadi Otitis Media Akut (OMA) juga turut ditanyakan pada kuesioner. Hasil
pada kuesioner didapatkan bahwa 79 responden atau 73,83% mengetahui definisi
ISPA, 77 responden atau 71,96% mengetahui etiologi ISPA, 82 responden atau
76.64% mengetahui gejala ISPA.

Hasil Kuesioner Mengenai Pengetahuan


Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

80%

60%

40%

20%

0%
Definisi Etiologi Manifestasi Klinis

Tahu Tidak Tahu

TABEL 4. Hasil kuesioner mengenai pengetahuan ISPA

Pada penelitian ini juga didapatkan gambaran berkaitan dengan faktor-faktor


dalam pencegahan dan penanganan dari ISPA. 70 responden (65,42%)
menyatakan telah melakukan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) dan 69
responden (64,49%) responden memperhatikan kebersihan dalam makanan dan
minuman yang dikonsumsinya sehari-hari. Dari responden yang pernah
mengalami ISPA, 46 responden (58,98%) segera melakukan pengobatan ke
dokter. Sedangkan peningkatan resiko terjadinya OMA dikarenakan ISPA, yaitu
44 responden atau 56,41% nya mengalami gejala ISPA lebih dari 10 hari. Dan 48
responden atau 61,54% nya mengalami ISPA lebih dari 3x dalam setahun.

19
Hasil Kuesioner Mengenai Pencegahan
dan Penanganan ISPA

66%
64%
62%
60% Persentase
58%
56%
Penanganan Pencegahan Pencegahan
(PHBS) (Kebersihan
Intake)

TABEL 5. Hasil kuesioner mengenai pencegahan dan penanganan ISPA

Hasil Kuesioner Mengenai


Resiko ISPA Menjadi OMA

62%

60%

58% Persentase
56%

54%

52%
ISPA > 10 hari ISPA > 3x/tahun

TABEL 6. Hasil kuesioner mengenai resiko ISPA menjadi OMA

20
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Dari hasil kuesioner tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan
masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Cipelang mengenai Otitis Media Akut
(OMA) masih tergolong rendah (rata-rata 16,12%) yang bisa disebabkan oleh
berbagai faktor. Sementara itu tingkat pengetahuan masyarakat berkaitan dengan
ISPA sudah cukup baik (rata-rata 74,14%), walaupun masih sedikit (17,76%)
yang mengetahui resiko terjadi OMA dikarenakan ISPA.
Dalam hal pencegahan dan penanganan ISPA, didapatkan hasil bahwa masih
kurangnya tingkat kesadaran masyarakat untuk melakukan pencegahan terjadinya
ISPA sudah cukup baik dikarenakan tingkat pengetahuan dan kesadaran pasien
untuk melakukan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) (65,42%) beserta
menjaga kebersihan makanan dan minuman yang di konsumsi (64,49%).
Sementara itu tingkat kesadaran masyarakat (hanya 58,98%) dalam
melakukan penanganan ketika mengalami ISPA berupa respon masyarakat yang
masih tidak langsung melakukan pemeriksaan, penanganan, dan pengobatan ke
dokter / fasilitas kesehatan. Hal ini juga berkaitan dengan cukup tingginya angka
faktor resiko yang dapat menyebabkan OMA dikarenakan penanganan ISPA yang
kurang baik, yaitu terjadinya ISPA lebih dari 10 hari (56,41%) dan juga terjadinya
ISPA lebih dari 3x dalam setahun (61,54%).

5.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, yang perlu diperhatikan adalah perlunya
peningkatan pengetahuan pasien mengenai OMA agar kedepannya mampu
mendorong pengetahuan dan kesadaran masyarakat menjadi lebih baik dalam
melakukan pencegahan dan penanganan ISPA yang diharapkan dapat menurunkan
resiko ISPA menjadi OMA di wilayah kerja Puskesmas Cipelang dan dapat
menurunkan angka kejadian Otitis Media Akut (OMA).

21

Anda mungkin juga menyukai