Oleh:
dr. Ardiga Pridiasko
Disahkan Oleh:
Puji dan syukur kepada tuhan yang maha esa karena berkat dan rahmat yang
diberikan selama proses pembuatan laporan mini project yang berjudul “gambaran
pengetahuan masyarakat tentang hubungan otitis media akut terhadap pencegahan
dan penanganan ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Cipelang" sehingga dapat
disusun dan diselesaikan dengan tepat waktu dalam program internsip.
Laporan mini project ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu
persyaratan syarat kelulusan Program Internsip Dokter Indonesia dan bertujuan untuk
meningkatkan program puskesmas terutama dalam hal program pemberantasan
penyakit menular. Keberhasilan dalam penyusunan mini project ini tidak lepas dari
peran berbagai pihak yang turut membantu dalam proses pembuatan mini project ini.
Oleh karena itu, saya selaku penulis ingin mengungkapkan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada berbagai pihak atas segala bantuan dan dukungan yang
telah diberikan, serta kerjasama dalam pembuatan laporan ini. Secara spesifik kami
ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Tri Betawihanta selaku Kepala Puskesmas Cipelang dan pembimbing
yang telah memberikan bimbingan dan pelatihan selama kami menempuh
Program Dokter Intersip Indonesia di Puskesmas Cipelang.
2. Semua staf di Puskesmas Cipelang yang telah memberikan kontribusi
selama menjalani mini project Program Internsip Dokter Indonesia.
3. Teman sejawat Program Internsip Dokter Indonesia Puskesmas Cipelang.
Akhir kata, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat
kesalahan dalam penyusunan mini project ini, juga selama menjalankan kepaniteraan
Program Internsip Dokter Indonesia. Semoga mini project ini dapat memberikan
manfaat bagi kita semua.
Penyusun
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
i
2.3 Hubungan ISPA dengan Otitis Media Akut ............................................. 15
5.1. Kesimpulan............................................................................................. 21
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR TABEL
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
Viruses 10%; dan sisanya virus yang tidak teridentifikasi. Komplikasi infeksi
saluran pernapasan atas lebih mengancam dibandingkan infeksinya karena bisa
menyebabkan infeksi sinus dan telinga tengah terutama pada anak. Anak-anak
sangat rentan terkena Otitis Media Akut (OMA) karena bentuk anatomi tuba
eustachiusnya yang lebih pendek, fleksibel, dan horizontal.
1.3 Tujuan
Mengetahui, mengidentifikasi, serta mengevaluasi pengetahuan masyarakat
terhadap hubungan otitis media akut dengan ISPA terhadap pencegahan dan
penanganannya di wilayah kerja Puskesmas Cipelang.
1.4 Manfaat
Bagi tenaga kesehatan
Hasil mini project ini diharapkan dapat memberikan masukan pada
tenaga kesehatan di puskesmas dan memberikan bantuan untuk
meningkatkan penyuluhan berkaitan dengan otitis media akut yang
disebabkan oleh ISPA.
Bagi kader kesehatan
Hasil mini project ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
meningkatkan mutu pelayanan kader kesehatan kepada masyarakat
mengenai otitis media akut yang disebabkan oleh ISPA.
Bagi masyarakat
Hasil mini project ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
masyarakat mengenai otitis media akut yang disebabkan oleh ISPA sehingga
dapat melakukan pencegahan dan penanganannya secara baik.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
2.1.2. Anatomi & Fisiologi
Telinga luar terdiri dari auricula dan meatus acusticus externus.
Auricula berfungsi untuk mengumpulkan getaran udara, dan memiliki
bentuk yang khas, yaitu terdiri dari lempeng tulang rawan elastis tipis yang
ditutupi kulit. Meatus akustikus ekternus yang berfungsi menghantarkan
getaran dari luar ke membran timpani, adalah sebuah saluran yang
menghubungkan auricula dengan membran timpani, sepertiga bagian
luarnya terdiri atas kartilago yang elastis, sedangkan dua pertiga bagian
dalamnya adalah tulang. Di dalam meatus terdapat rambut, kelenjar sebasea,
dan kelenjar seruminosa untuk mencegah masuknya benda asing (Snell,
2012).
Telinga tengah adalah organ yang memiliki penghalang yang
biasanya dalam keadaan steril. Bila terdapat infeksi bakteri pada nasofaring
dan faring, secara alamiah terdapat mekanisme pencegahan penjalaran
bakteri memasuki telinga tengah oleh enzim pelindung dan bulubulu halus
yang dimiliki oleh tuba eustachiius (Djaafar, 2007). Terletak di dalam pars
petrosa ossis temporalis. Di dalam telinga tengah terdapat : ossicula
auditoria (maleus, incus, stapes), muculus stapedius dan musculus tensor
tympani, chorda tympani, dan plexus tympanicus pada promontorium.
Telinga tengah berbentuk seperti kotak sempit yang memiliki atap, dasar,
dan empat dinding (Moore dan Anne, 2015). Getaran pada membrane
timpani akan menggerakkan tulang-tulang pendengaran tersebut yang
selanjutkan akan di hantarkan ke bagian telinga dalam (Sherwood, 2014).
Tuba eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga
telinga tengah dengan bagian dari rongga mulut yang disebut nasofaring.
Pada orang dewasa panjangnya kira-kira 36 mm sudut 450, sedangkan pada
anak-anak panjangnya rata-rata 18 mm sudut 100, letaknya relatif lebih
mendatar, pendek, dan lebar dibandingkan orang dewasa. Kemudian mukosa
yang melapisi tuba eustachius merupakan lanjutan dari mukosa nasofaring
dan telinga tengah, akibatnya infeksi daerah tenggorok akan lebih mudah
mencapai teling tengah (Umar, 2013).
4
Tuba eustachius mempunyai 2 mekanisme untuk drainase sekret
dari telinga tengah ke nasofaring, yaitu drainase mukosilia dan muskular.
Sistem mukosilia ini aktif membersihkan sekret dari telinga tengah,
sekaligus menstimulus pemompaan tuba eustachius pada saat menutup,
menghasilkan drainase muskular. Tindakan pemompaan tuba untuk drainase
sekret dari telinga tengah ke nasofaring tejadi pada saat tuba menutup secara
pasif (Umar, 2013).
Telinga dalam terdiri dari dua bagian, yaitu labirin oseus dan labirin
membranosa. Labirin oseus terdiri dari koklea, vestibulum, dan kanalis
semisirkularis, sedangkan labirin membranosa terdiri dari utrikulus, sakulus,
duktus koklearis, dan duktus semisirkularis. Rongga labirin tulang dilapisi
oleh lapisan tipis periosteum internal atau endosteum, dan sebagian besar
diisi oleh trabekula yang susunannya menyerupai spons (Pearce, 2009).
Nervus auditorius atau saraf pendengaran terdiri dari dua bagian,
yaitu nervus vestibular yang berfungsi sebagai alat pengatur keseimbangan
dan nervus koklea yang berfungsi sebagai pendengaran (Pearce, 2009).
Getaran suara yang masuk ke telinga tengah melalui koklea
menyebabkan cairan endolimfe dan perilimfe bergetar. Cairan yang bergetar
ini akan mengerakkan membrane basilaris, sehingga rambut-rambut di
reseptor sel rambut dalam organ corti akan bergetar dan berkontak dengan
membrane tektorium. Hasil dari kontak ini akan membuat reseptor potensial
5
di reseptor sel rambut menangkap getaran, dan diteruskan ke saraf
auditorius. Saraf auditorius akan berjalan ke korteks auditorius lobus
temporalis otak untuk mengubah getaran menjadi persepsi suara (Sherwood,
2014).
6
mastoid tidak intak. (3) Hilangnya fungsi drainase karena sistem drenase
mukosiliar dan aksi pompa terganggu (Bluestone dan Klein, 2007).
OMA terjadi akibat tidak berfungsinya sistem pelindung pada
telingah tengah. Sumbatan atau peradangan pada tuba eustachii merupakan
faktor utama terjadinya otitis media. Pada anak-anak, semakin sering
terserang ISPA, kemungkinan terjadinya OMA juga semakin besar. Dan
pada bayi, terjadinya OMA dipermudah oleh karena tuba eustachii pendek,
lebar, dan letaknya agak horizontal (Djaafar, 2007).
OMA sering terjadi karena lanjutan dari infeksi saluran pernapasan
atas, infeksi virus saluran pernapasan atas terjadi terlebih dahulu pada 70%
OMA, penyebab infeksi yang sering mengakibatkan OMA adalah
Streptococcus pneumoniae, nontypable Haemophilus influenza,
Streptococcus pyogenes dan Moraxella catarrhalis serta infeksi Respiratory
Syncytial Virus (RSV) sering berkomplikasi menjadi OMA (Gooma et al.,
2011).
Infeksi saluran pernapasan menyebabkan sumbatan pada mukosa
tuba eustachian dan nasofaring, sehingga mengganggu sistem drainase
telinga tengah. Tidak hanya itu, infeksi tersebut menyebabkan reaksi
inflamasi dan pengumpulan nanah di telinga tengah. Hal ini menyebabkan
tekanan pada telinga tengah meningkat dan menghasilkan gejala klinis pada
otitis media akut (Qureishi et al.,2014).
7
TABEL 1. Patofisiologi Otitis Media Akut (Qureishi et al.,2014).
ISPA adalah salah satu faktor penyebab otitis media akut. Pada
penelitian Wald mengatakan bahwa anak dengan infeksi saluran pernapasan
atas dalam kurun waktu 10 – 15 hari dengan simptom yang jelas dapat
berpotensi megalami otitis media. Selain itu, infeksi saluran pernapasan
yang terjadi lebih dari tiga kali dalam setahun juga bisa menyebabkan
peningkatan potensi terjadinya otitis media. Infeksi saluran pernapasan
khususnya pernapasan atas menyebabkan kerusakahan mukosilia pada epitel
nasofaing dan telinga tengah. Akibat infeksi tersebut, sel-sel mukosilia, sel-
sel goblet, dan kelenjar mucus mengalami kerusakan. Kerusakan dari
mekanisme pertahanan telinga tengah ini lah yang kemudian menyebabkan
sistem drainase pada telinga tengah terganggu, dan meyebabkan peningkatan
tekanan udara di dalamnya akibat produksi secret terus menerus, kemudian
menyebabkan infeksi, dan terjadilah otitis media akut (Wald, Nancy, Carol,
2011)
8
2.1.4. Diagnosis & Klasifikasi
Otitis media akut merupakan peradangan pada telinga tengah yang
onsetnya akut, ditandai dengan adanya cairan dan atau inflamasi di telinga
tengah. Otore yang terjadi melalui perforasi membran timpani dengan gejala
akut diklasifikasikan sebagai otitis media akut. Disebut efusi telinga tengah
bila cairan keluar dari telinga berlangsung selama 3 bulan (Umar, 2013).
Otitis media akut menyebabkan perubahan mukosa telinga tengah
akibat infeksi yang terdiri atas 5 stadium. Masing-masing stadium dapat
dibedakan berdasarkan gambaran membran timpani (Efiaty et al., 2014). :
1. Stadium oklusi tuba eustachius
Terdapat gambaran retraksi membran timpani yang diakibat oleh
tekanan negatif di dalam telinga tengah. Membran timpani tampak
normal atau keruh pucat
2. Stadium hiperemis
Adanya pelebaran pembuluh darah, sehingga membran timpani
tampak hiperemis dan oedem.
3. Stadium supurasi
Cavum timpani tampak menonjol (bulging) ke arah telinga luar
karena terjadi oedem yang hebat di mukosa telinga tengah. Umumnya
rasa sakit di telinga akan bertambah hebat dan pasien sampai
mengalami demam tinggi.
4. Stadium perforasi
Karena terlambatnya pengobatan, dapat terjadi rupturnya membran
timpani, yang mengakibatkan sekret keluar dari telinga tengah ke
telinga luar melalui celah lubang yang terbuat. Pada stadium ini
umumnya rasa sakit di telinga berkurang dan demam mulai turun.
5. Stadium resolusi
Bila membrane timpani tetap utuh, maka membrane timpani perlahan
akan normal kembali. Bila terjadi perforasi, maka sekret akan
berkurang dan akhirnya kering dan membran timpani akan menutup
kembali.
9
2.1.5. Tatalaksana
Tatalaksana otitis media akut tergantung dari stadium penyakitnya.
Pada stadium oklusi pengobatan terutama untuk membuka kembali tuba
eustachius, diberikan dekongestan nasal (HCl efedrin 0,5 % dalam larutan
fisiologik untuk anak < 12 tahun, dan HCl efedrin 1 % dalam larutan
fisiologik bagi yang berumur > 12 tahun). Pada stadium hiperemis
pengobatan diberikan antibiotika, analgetika, serta dekongestan nasal dan
antihistamin atau kombinasi keduanya (Djaafar, 2007).
Pemberian antibiotik disesuaikan dengan prevalensi penyebab otitis
media akut, terapi terpilihnya adalah ampisilin (50 – 100 mg/kg BB/hari)
yang diberikan setiap 6 jam selama 10 hari. Terapi terpilih lainnya
kombinasi penisilin dan sulfisoksazol (120 mg/kgBB/hari) dalam dosis
terbagi setiap 6 jam selama 10 hari. Bila pasien alergi terhadap penisilin,
dapat diberikan eritromisin (50 mg/kg BB/hari). (Djaafar, 2007).
Pada stadium supurasi disamping diberikan terapi seperti pada
stadium hiperemis, idealnya harus disertai dengan miringotomi, bila
membran timpani masih utuh. Dengan miringotomi gejala-gejala klinis lebih
cepat hilang dan ruptur dapat dihindari. Pada stadium perforasi membran
timpani telah pecah dan terdapat secret purulen, biasanya analgetika tidak
diperlukan, tetapi diperlukan perawatan lokal bagi telinga. Telinga harus
dibersihkan 3 – 4 kali sehari dengan lidi kapas steril, dan berikan sumbatan
kapas di telinga untuk menyerap sekret tersebut. Pemberian antibiotika harus
adekuat. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi dapat menutup kembali
dalam waktu 7 – 10 hari (Djaafar, 2007).
Tatalaksana non medikamentosa, hindari masuknya air ke dalam
liang telinga sampai penyembuhan sempurna, karena dapat disertai
kontaminasi mikroorganisme. Pada stadium resolusi, membran timpani
berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi dan perforasi membran
timpani menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya akan tampak sekret
mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani
disebabkan berlanjutnya oedema mukosa telinga tengah. Pada keadaan
demikian antibiotika dapat dilanjutkan sampai 3 minggu (Djaafar, 2007).
10
2.1.6. Komplikasi dan prognosis
Dibagi menjadi intratemporal dan intracranial, intratemporal terdiri
dari mastoiditis akut, petrositis, labirintitis, perforasi pars tensa, atelektasis
telinga tengah, paresis fasialis, dan gangguan pendengaran. Komplikasi
intrakranial yang dapat terjadi antara lain yaitu meningitis, encefalitis,
hidrosefalus otikus, abses otak, abses epidural, empiema subdural, dan
trombosis sinus lateralis. Ditemukan sewaktu belum adanya antibiotik, tetapi
pada era antibiotik semua jenis komplikasi itu biasanya didapatkan sebagai
komplikasi dari Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK). Tatalaksana yang
baik akan menurunkan persentase komplikasi (Ghanie, 2010).
11
2.2.2 Etiologi
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri dan virus.
(Suhandayani, 2007). Penyebab terjadinya ISPA adalah virus atau bakteri,
namun seringnya merupakan virus seperti : Rhinovirus, Parainfluenza,
Coronavirus, Coxsackie, Adenovirus, Respiratory syncitial virus, dan
Influenza virus (Sukarto, Ismanto, dan Karundeng, 2016). Sedangkan bakteri
yang sering menjadi penyebab ISPA adalah Beta-hemolytic streptococci,
Corynebacterium diphteriae, Streptococcus pneumonia, Haemophilus
influenzae, Bordatella pertusis, Moraxella catarrhalis (Rohilla et al, 2013).
Selain dari faktor tersebut juga terdapat beberapa hal penyebab terjadinya
ISPA seperti perilaku individu, sanitasi rumah, serta ketersediaan air bersih
(Depkes RI, 2005)
2.2.3 Klasifikasi
Klasifikasi ISPA(Depkes, 2002), adalah :
a. Ringan : ditemukan gejala batuk,pilek dan sesak.
b. Sedang
Sesak nafas
Suhu tubuh > 390 C
Bernafas mengeluarkan suara seperti mengorok.
c. Berat
Kesadaran menurun
Nadi cepat atau tidak teraba
Nafsu makan menurun
Bibir dan ujung jari membiru (sianosis)
Gelisah.
12
TABEL 2. Klasifikasi ISPA berdasarkan gejala (Zoorob R. et al., 2012).
2.2.4 Diagnosa
Tanda dan gejala ISPA banyak bervariasi antara lain demam,
pusing, malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan), vomitus (muntah),
photophobia (takut cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret, stridor (suara
nafas), dyspnea (kesakitan bernafas), retraksi suprasternal (adanya tarikan
dada), hipoksia (kurang oksigen), dan dapat berlanjut pada gagal nafas
apabila tidak mendapat pertolongan dan mengakibatkan kematian.
(Marcdante, et al., 2013).
Diagnosa ISPA berdasarkan lokasi infeksi di sepanjang saluran
pernapasan atas. Diagnosis ditegakkan berdasarkan keluhan dan
pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh dokter. Gejala umum ISPA yaitu
hidung tersumbat, keluarnya cairan dari hidung (rhinore), batuk dan / atau
sakit tenggorokan, dengan atau tanpa gejala penyerta seperti demam,
menurunnya nafsu makan, dan gelisah pada saat tidur (Rohilla et al., 2013).
Diagnosa dari etiologi ditentukan berdasarkan pemeriksaan serologi
ataupun mikrobiologi dahak atau sekret (Mansjoer, 2008). Ada pula tes
diagnostik cepat yang berguna untuk memudahkan praktisi kesehatan dalam
mengambil keputusan apakah antibiotik diperlukan dalam pengobatan
(Cotton, 2011).
13
2.2.5 Tatalaksana
Penatalaksanaan kasus ISPA akan memberikan petunjuk standar
pengobatan penyakit ISPA yang akan berdampak mengurangi penggunaan
antibiotik untuk kasus-kasus batuk pilek biasa, serta mengurangi
penggunaan obat batuk yang kurang bermanfaat. Strategi penatalaksanaan
kasus mencakup pula petunjuk tentang pemberian makanan dan minuman
sebagai bagian dari tindakan penunjang yang penting bagi pederita ISPA.
(Smeltzer, et al., 2002)
Menurut Direktorat Jendral P2M&PL, perawatan pasien ISPA di
rumah dapat ditangani dengan cara berikut : (Departemen Kesehatan, 2010)
a) Mengatasi demam
Anak umur dua bulan sampai 5 tahun diberi paracetamol atau dengan
kompres air hangat.
b) Mengatasi batuk
Atasi dengan obat batuk sesuai dosis atau ramuan tradisional yang aman,
misalnya jeruk nipis setengah sendok teh dicampur dengan kecap atau
madu setengah sendok teh dan diberikan tiga kali sehari.
c) Pemberian makanan
Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulang-ulang
untuk menghindari muntah. Pemberian ASI pada bayi menyusui tetap
diberikan
d) Pemberian minuman
Beri minuman yang banyak (air putih, buah dan sebagainya) untuk
mengatasi dehidrasi dan mengencerkan dahak.
e) Lainnya
Rutin membersihkan hidung anak bila pilek, karena akan membantu
proses pemulihan. Jangan selimuti anak dengan kain tebal bila anak
panas. Untuk anak yang mendapat terapi antibiotik diberikan sampai
tuntas, dan jaga pola hidup yang baik.
14
2.3 Hubungan ISPA dengan otitis media akut
ISPA merupakan faktor predisposisi terjadinya OMA karena karena letaknya
yang dihubungkan oleh tuba eustachius dan mukosa telinga tengah merupakan
kelanjutan dari mukosa hidung yang berasal dari ektoderm yang sama dengan
mukosa saluran pernapasan atas, sehingga perubahan pada mukosa saluran
pernapasan dapat menyebabkan perubahan pada mukosa telinga tengah
(Casselbrant dan Mandel, 2014).
Saat terjadi proses inflamasi pada saluran pernapasan, terjadi peningkatan
aliran darah ke mukosa saluran pernapasan. Peningkatan aliran darah telinga
tengah juga terjadi karena mukosanya merupakan lanjutan dari mukosa saluran
pernapasan yang kemudian menyebabkan oedem pada mukosa telinga tengah.
Oedem pada mukosa tersebut mengganggu mekanisme pertahanan telinga tengah,
yaitu sistem drainase mukosilia yang seharusnya membersihkan telinga tengah ke
arah nasofaring sehingga menyebabkan penumpukan cairan dan udara di dalam
telinga tengah, dan menyebabkan tekanan udara di dalam telinga tengah negative
dan sangat beresiko mengalami infeksi (Casselbrant dan Mandel, 2014).
Umur memegang peranan dalam maturitas tuba eustachius, yaitu sudut dan
kemiringan tuba terhadap nasofaring. Pada dewasa panjangnya kira-kira 36 mm
sudut 450, pada anak-anak panjangnya rata-rata 18 mm sudut 100, letaknya relatif
lebih mendatar, pendek, dan lebar dibandingkan orang dewasa. Kemudian
kesamaan mukosa inilah yang mengakibatkan infeksi daerah tenggorok akan lebih
mudah mencapai teling tengah (Umar, 2013). Hal ini lah yang menyebabkan
anak-anak lebih rentan mengalami otitis media akut saat terjadi episode ISPA
(Bluestone dan Klein, 2007).
ISPA berulang yang terjadi minimal empat kali dalam setahun juga menjadi
faktor risiko terjadinya otitis media akut (Wald, Nancy dan Carol,2011).
Berdasarkan penelitian Revai et al, infeksi saluran pernapasan, anak usia dibawah
5 tahun mengalami infeksi saluran pernapasan atas sebanyak dua sampai tujuh
episode per tahunnya. Komplikasi dari infeksi saluran pernapasan atas yang paling
sering adalah otitis media akut dan sinusitis, yang biasanya muncul pada hari ke 3
sampai hari ke 8 saat anak tersebut terkena infeksi saluran pernapasan atas (Revai
et al., 2007).
15
BAB III
METODE DAN PENGAMBILAN DATA
16
akan pentingnya pendidikan. Tingkat pendidikan masyarakat diharapkan
dapat berbanding lurus dengan tingginya kesadaran masyarakat tentang
kesehatan dan baiknya angka melek huruf ini diharapkan dapat
mempercepat sampainya pesan-pesan kesehatan kepada masyarakat.
3.4.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua masyarakat di wilayah
kerja Puskesmas Cipelang
17
BAB IV
HASIL PENELITIAN
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Definisi Etiologi Manifestasi Komplikasi ISPA --> OMA
Klinis
18
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) yang berperan dan memungkinkan
menjadi Otitis Media Akut (OMA) juga turut ditanyakan pada kuesioner. Hasil
pada kuesioner didapatkan bahwa 79 responden atau 73,83% mengetahui definisi
ISPA, 77 responden atau 71,96% mengetahui etiologi ISPA, 82 responden atau
76.64% mengetahui gejala ISPA.
80%
60%
40%
20%
0%
Definisi Etiologi Manifestasi Klinis
19
Hasil Kuesioner Mengenai Pencegahan
dan Penanganan ISPA
66%
64%
62%
60% Persentase
58%
56%
Penanganan Pencegahan Pencegahan
(PHBS) (Kebersihan
Intake)
62%
60%
58% Persentase
56%
54%
52%
ISPA > 10 hari ISPA > 3x/tahun
20
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari hasil kuesioner tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan
masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Cipelang mengenai Otitis Media Akut
(OMA) masih tergolong rendah (rata-rata 16,12%) yang bisa disebabkan oleh
berbagai faktor. Sementara itu tingkat pengetahuan masyarakat berkaitan dengan
ISPA sudah cukup baik (rata-rata 74,14%), walaupun masih sedikit (17,76%)
yang mengetahui resiko terjadi OMA dikarenakan ISPA.
Dalam hal pencegahan dan penanganan ISPA, didapatkan hasil bahwa masih
kurangnya tingkat kesadaran masyarakat untuk melakukan pencegahan terjadinya
ISPA sudah cukup baik dikarenakan tingkat pengetahuan dan kesadaran pasien
untuk melakukan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) (65,42%) beserta
menjaga kebersihan makanan dan minuman yang di konsumsi (64,49%).
Sementara itu tingkat kesadaran masyarakat (hanya 58,98%) dalam
melakukan penanganan ketika mengalami ISPA berupa respon masyarakat yang
masih tidak langsung melakukan pemeriksaan, penanganan, dan pengobatan ke
dokter / fasilitas kesehatan. Hal ini juga berkaitan dengan cukup tingginya angka
faktor resiko yang dapat menyebabkan OMA dikarenakan penanganan ISPA yang
kurang baik, yaitu terjadinya ISPA lebih dari 10 hari (56,41%) dan juga terjadinya
ISPA lebih dari 3x dalam setahun (61,54%).
5.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut, yang perlu diperhatikan adalah perlunya
peningkatan pengetahuan pasien mengenai OMA agar kedepannya mampu
mendorong pengetahuan dan kesadaran masyarakat menjadi lebih baik dalam
melakukan pencegahan dan penanganan ISPA yang diharapkan dapat menurunkan
resiko ISPA menjadi OMA di wilayah kerja Puskesmas Cipelang dan dapat
menurunkan angka kejadian Otitis Media Akut (OMA).
21