Anda di halaman 1dari 38

PROGRAM DOKTER INTERNSHIP INDONESIA

MINI PROJECT

GAMBARAN KESEHATAN PASIEN USIA LANJUT WILAYAH KERJA

PUSKESMAS MANDALA DESA MEKAR AGUNG

Oleh:

dr. Isyuanita Dian Lestari

Pembimbing:

dr. Rezi Desianti

PUSKESMAS MANDALA

DINAS KESEHATAN KABUPATEN LEBAK

2019
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : dr. Isyuanita Dian Lestari


Wilayah Internsip : Kabupaten Lebak, Banten
Judul laporan : GAMBARAN KESEHATAN PASIEN USIA LANJUT
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MANDALA
DESA MEKAR AGUNG

Lebak , 2015

Peserta Pendamping

dr. Isyuanita Dian Lestari dr. Rezi Desianti


NIP

Mengetahui,

Kepala UPTD Puskesmas Ambarawa

Laporan
F.7 Mini Project
Dr. Riris Delita Siahaan
NIP
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di seluruh dunia jumlah usia lanjut (lansia) diperkirakan

mencapai angka 500 juta dengan usia rata-rata 60 tahun dan

diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1,2 milyar

(Stanley,2007). Pertambahan jumlah lansia di Indonesia dalam kurun

waktu tahun 1990 sampai 2025, tergolong tercepat didunia. Data

Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa penduduk lansia

pada tahun 2000 berjumlah 14,4 juta jiwa (7,18%). Pada tahun 2010

diperkirakan menjadi 23,9 juta jiwa (9,77%) dan pada tahun 2020

akan berjumlah 28,8 juta jiwa (11,34%) (BPS, 2010).

Lansia merupakan bagian dari proses kehidupan yang tidak

dapat dihindari dan akan dialami oleh setiap manusia. Pada tahap ini

manusia mengalami banyak perubahan baik secara fisik maupun

mental, terjadi kemunduran dari berbagai fungsi dan kemampuan

yang pernah dimilikinya. Sebagai dampak keberhasilan

pembangunan kesehatan di Indonesia salah satunya adalah

meningkatnya angka harapan hidup di Indonesia sehingga populasi

lansia juga meningkat. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik tahun

2014, umur Harapan Hidup (UHH) di Indonesia untuk wanita adalah

73 tahun dan untuk pria adalah 69 tahun. Menurut Bureau of the


Cencus USA (1993), Indonesia pada tahun 1990-2025 akan

mempunyai kenaikan jumlah lanjut usia sebesar 414%.

Karakter pasien lansia adalah multipatologi, menurunnya daya

cadangan biologis, berubahnya gejala dan tanda dari penyakit klasik,

terganggunya status fungsional pasien lansia, dan sering terdapat

gangguan nutrisi, gizi kurang atau buruk (Soejono,2006). Bentuk

terganggunya kesehatan pada pasien lanjut usia menonjol Pasien

lanjut usia mempunyai ciri-ciri: memiliki beberapa penyakit

kronis/menahun, gejala penyakitnya tidak khas, fungsi organ yang

menurun dan tingkat kemandirian yang berkurang. Pada kelompok

lanjut usia yang menjadi dominasi penyakit adalah golongan peyakit

menular, penyakit degenerative dan kronis (Riskesdas, 2013).

(Gambar 1. Penyakit terbanyak lansia)


Wilayah kerja puskesmas Mandala terdiri dari enam desa, yaitu

Bojong Leles, Kadu Agung Barat, Kadu Agung Timur, Mekar

Agung, Kadu Agung Tengah, Tambak Baya. Dari jumlah pasien

lanjut usia seluruh wilayah didapatkan sekitar 1.710 pasien usia

lanjut dengan kriteria usia > 60 tahun. Pada data lansia Puskesmas

Mandala tahun 2018 masih cukup banyaknya permasalahan pada

lansia seperti penyakit kronis contoh penyakit hipertensi dengan

beberapa pasien lanjut usia dengan gangguan system organ

diantaranya pendengaran dan penglihatan, gangguan kognitif dan

gangguan mental emosional.

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran kesehatan

lanjut usia dari keseluruhan desa wilayah kerja Puskesmas

Mandala khususnya di Desa Kadu Agung Tengah.

1.2 Rumusan Masalah

Banyaknya masalah kesehatan pada usia lanjut peneliti tertarik untuk

mengetahui masalah kesehatan lansia yang terjadi di wilayah kerja

Puskesmas Mandala.

1.3 Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum

Mengetahui gambaran masalah kesehatan pada pasien usia

lanjut di wilayah kerja Puskesmas Mandala.


b. Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran angka kejadian penyakit kronis yang

terjadi pada pasien lanjut usia wilayah kerja Puskesmas

Mandala Desa Mekar Agung.

2. Mengetahui gambaran angka kejadian gangguan system

organ yang terjadi pada pasien lanjut usia wilayah kerja

Puskesmas Mandala Mekar Agung.

3. Mengetahui gambaran angka kejadian penurunan status

kognitif yang terjadi pada pasien lanjut usia wilayah kerja

Puskesmas Mandala Desa Mekar Agung.

4. Mengetahui gambaran angka kejadian gangguan mental

emosional yang terjadi pada pasien lanjut usia wilayah kerja

Puskesmas Mandala Desa Mekar Agung.

5. Mengetahui gambaran kemandirian fisik pada pasien lanjut

usia wilayah kerja Puskesmas Mandala Desa Mekar Agung.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat membantu pengembangan penelitian

mengenai gambaran kesehatan pada pasien usia lanjut di wilayah kerja

Puskesmas Mandala Desa Mekar Agung . Hasil ini diharapkan dapat

memberikan masukan informasi untuk puskesmas Mandala dalam

skrining dini pasien usia lanjut dalam berbagai aspek sehingga bisa

ditindak lanjuti.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lansia

Lansia diukur menurut usia kronologi, fisiologis (biologi) dan

kematangan mental, ketiganya seringkali tak berjalan secara sejajar

seperti yang diharapkan. Dalam geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut) yang

dianggap penting adalah usia biologis seseorang bukan usia

kronologisnya. (Darmojo,RB, 2006)

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa usia lanjut

meliputi: usia pertengahan (middle age) yaitu kelompok usia 45-59 tahun,

lanjut usia (elderly) yaitu kelompok usia 60-74 tahun, lanjut usia tua (old)

yaitu kelompok usia 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) yaitu

kelompok usia di atas 90 tahun.

Departemen kesehatan membagi lansia menjadi 3 kelompok

berdasarkan usianya yaitu pra lansia adalah kelompok usia 45-59 tahun,

lansia adalah kelompok usia 60 tahun atau lebih, dan lansia beresiko

tinggi adalah kelompok usia 70 tahun atau lebih, atau usia 60-69 tahun

namun bermasalah (misalnya depresi, pikun, delerium, hipertensi).

(Depkes 2004)

Undang No. 13 tahun 1998 dinyatakan bahwa usia 60 tahun keatas

adalah yang paling layak disebut lansia. Usia biologis adalah usia yang
sebenarnya. Di mana biasanya diterapkan kondisi pematangan jaringan

sebagai indeks usia biologis.

2.2 Lansia Sehat

Lansia adalah seseorang yang secara alami telah menurun fungsi

tubuhnya seiring dengan bertambahnya usia, penurunan ini bermacam-

macam tingkatnya walaupun demikian lansia yang sudah turun fungsi

sistemnya masih dikatakan sehat bila tidak disertai keadaan patologi.

(WHO.1998)

Menurut Hall (1986) lansia sehat sangat dipengaruhi pada lingkaran

kehidupan dan keluarganya, terdapat 2 (dua) lingkaran kehidupan negatif

dan lingkaran kehidupan positif. Pada lingkaran kehidupan negatif lansia

merasakan kapasitas fisik, mental atau sosial menurun, lalu oleh

keluarga/masyarakat dicap sebagai orang yang tak mampu atau sudah

tidak efisien sehingga lansia tersebut menjadi sakit dan akhirnya

mengakui dirinya sakit dan catat. Sedangkan teori lingkaran positif, lansia

tersebut ada pada keberadaan yang nyaman, ia menjalankan

pemeriksaan medik dan mendapatkan diagnosa dan pengobatan yang

tepat ia juga mendapatkan masukan sosial medik seperti dukungan,

makanan, perumahan dan pengangkutan, dengan ini semua lansia

tersebut memiliki kemampuan emosi dan dukungan emosiona, dirinya

mengikuti peran lanjut usia untuk mempertahankan sosialnya misalnya

sebagai relawan.
Menurut Depkes 2004, usia lanjut sehat jiwa mempunyai ciri ciri antara

lain:

a. Mampu mengambil keputusan dan mengatur kehidupannya sendiri

b. Memiliki tingkat kepuasan hidup yang relatif tinggi karena merasa

hidupnya bermakna

c. Mampu menerima kegagalan yang dialaminya sebagai bagian dari

hidupnya yang tidak perlu disesali dan mengandung hikmah yang

berguna bagi hidupnya.

d. Memiliki integritas pribadi yang baik berupa konsep diri yang

mantap dan terdorong untuk terus memanfaatkan potensi yang

dimilikinya.

e. Mampu mempertahankan dukungan sosial yang bermakna, yaitu

berada diantara orang-orang yang menyayangi dan memperhatikan

mereka.

f. Merasa dirinya masih diperlukan dan dicintai.

g. Mempunyai kebiasaan dan gaya hidup yang sehat..

h. Memiliki keamanan finansial yang memungkinkan hidup mandiri

tidak menjadi beban orang lain.

i. Dapat memperjuangkan nasibnya sendiri, tidak bergantung kepada

orang lain
2.3 Konsep Menua

Proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara

perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan

mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan

terhadap infeksi serta memperbaiki kerusakan yang diderita. Seiring

dengan proses tersebut tubuh mengalami masalah kesehatan yang

biasa disebut penyakit degeneratif (Maryam, 2008)

Terdapat dua jenis penuaan antara lain, penuaan primer,

merupakan proses kemunduran tubuh gradual tak terhindarkan yang

dimulai pada masa awal kehidupan dan terus berlangsung selama

bertahun-tahun, terlepas dari apa yang orang-orang lakukan untuk

menundanya. Sedangkan penuaan sekunder merupakan hasil

penyakit, kesalahan dan penyalahgunaan faktor-faktor yang

sebenarnya dapat dihindari dan berada dalam kontrol seseorang

(Papalia, 2008)

Banyak perubahan yang dikaitkan dengan proses menua

merupakan akibat dari kehilangan yang secara bertahap. Lansia

mengalami perubahan-perubahan fisik diantaranya perubahan sel,

sistem persarafan, sistem pendengaran, sistem penglihatan, sistem

kardiovaskuler, sistem pengaturan suhu tubuh, sistem respirasi,

sistem gastrointestinal, sistem genitourinari, sistem endokrin, sistem

muskuloskeletal, disertai juga dengan perubahan-perubahan mental

menyangkut perubahan ingatan (memori).(Watson,2003)


2.5 Kognitif Pada Lansia

Kognitif merupakan suatu proses pikir yang membuat

seseorang menjadi waspada terhadap objek pikiran atau persepsi,

mencakup semua aspek pengamatan, pemikiran dan ingatan

(Dorland, 2002). Kognitif adalah suatu konsep yang kompleks yang

melibatkan sekurang-kurangnya aspek memori, perhatian, fungsi

eksekutif, persepsi, bahasa, dan fungsi psikomotor (Nehlig, 2010).

Perubahan kognitif yang terjadi pada lansia, meliputi

berkurangnya kemampuan meningkatkan fungsi intelektual,

berkurangnya efisiensi transmisi saraf di otak (menyebabkan proses

informasi melambat dan banyak informasi hilang selama transmisi),

berkurangnya kemampuan mengakumulasi informasi baru dan

mengambil informasi dari memori, serta kemampuan mengingat

kejadian masa lalu lebih baik dibandingkan kemampuan mengingat

kejadian yang baru saja terjadi.

Fungsi kognitif seseorang meliputi berbagai fungsi berikut,

antara lain:

a. Orientasi

Orientasi dinilai dengan pengacuan terhadap personal, tempat

dan waktu. Orientasi terhadap personal (Kemampuan menyebutkan

namanya sendiri ketika ditanya) menunjukkan informasi yang

“overlearned” Kegagalan dalam menyebutkan namanya sendiri


sering mereflesikan negatifism, distraksi, gangguan pendengaran

atau penerimaan bahasa.

Orientasi tempat dinilai dengan menanyakan negara, provinsi,

kota, gedung, dan lokasi dalam gedung. Sedangkan orientasi waktu

dinilai dengan menanyakan tahun, musim, bulan, hari dan tanggal.

Karena perubahan waktu lebih sering daripada tempat, maka waktu

dijadikan indeks yang paling sensitif untuk disorientasi.

b. Bahasa

Fungsi bahasa merupakan kemampuan yang meliputi 4

parameter, yaitu kelancaran, pemahaman, pengulangan dan

penamaan.

1) Kelancaran

Kelancaran merujuk pada kemampuan untuk menghasilkan

kalimat dengan panjang, ritme dan melodi yang normal. Suatu

metode yang dapat membantu menilai kelancaran pasien adalah

dengan meminta pasien menulis atau membaca spontan.

2) Pemahaman

Pemahaman merujuk pada kemampuan memahami sesuatu

perkataan atau perintah, dibuktikan dengan mampunya seseorang

melakukan perintah tersebut.

3) Pengulangan

Kemampuan seseorang untuk mengulangi suatu pernyataan

atau kalimat yang diucapkan seseorang.


4) Penamaan

Penamaan merujuk pada kemampuan seseorang untuk

menamai suatu objek beserta bagian-bagiannya.

c. Atensi

Atensi merujuk pada kemampuan seseorang untuk merespon

stimulus spesifik dengan mengabaikan stimulus yang lain di luar

lingkungannya.

1) Mengingat segera

Aspek ini merujuk pada kemampuan seseorang untuk

mengingat sejumlah kecil informasi selama <30 detik dan mampu

untuk mengeluarkanya kembali.

2) Konsentrasi

Aspek ini merujuk pada sejauh mana kemampuan seseorang

untuk memusatkan perhatiannya pada satu hal. Fungsi ini dapat

dinilai dengan meminta seseorang tersebut untuk mengurangkan 7

secara berturut-turut dimulai dari angka 100 atau dengan

memintanya mengeja kata secara terbalik.

d. Memori

Memori verbal yaitu kemampuan seseorang untuk mengingat

kembali informasi yang diperolehnya.

1) Memori baru

Kemampuan seseorang untuk mengingat kembali informasi

yang diperolehnya pada beberapa menit atau hari yang lalu.


2) Memori lama

Kemampuan untk mengingat informasi yang diperolehnya pada

beberapa minggu atau bertahun-tahun yang lalu.

3) Memori visual

Kemampuan seseorang untuk mengingat kembali informasi

berupa gambar.

e. Fungsi konstruksi, mengacu pada kemampuan seseorang untuk

membangun dengan sempurna. Fungsi ini dapat dinilai dengan

meminta orang tersebut untuk menyalin gambar, memanipulasi

balok atau membangun kembali suatu bangunan balok yang

telah dirusak sebelumnya.

f. Kalkulasi, yaitu kemampuan seseorang untuk menghitung

angka.

g. Penalaran, yaitu kemampuan seseorang untuk membedakan

baik buruknya suatu hal, serta berpikir abstrak

2.6 Gangguan Fungsi Kognitif

Peningkatan jumlah lansia harus diimbangi dengan kesiapan

keluarga dan tenaga kesehatan dalam memandirikan dan

meminimalisir bantuan ADL (Activity Daily Living) makan, minum,

mandi, berpakaian dan menaruh barang pada lansia, karena pada

lansia terjadi penurunan atau perubahan antara lain perubahan

fisiologis yang menyangkut masalah sistem muskuloskeletal, saraf,


kardiovaskuler, respirasi, indra, dan integumen, hal ini yang

menghambat keaktifan dan keefektifan lansia dalam pemenuhan

kebutuhan sehari-hari secara mandiri. Sebenarnya tidak ada batas

yang tegas, pada usia berapa penampilan seseorang mulai

menurun. Pada setiap orang, fungsi fisiologis alat tubuhnya sangat

berbeda-beda baik dalam hal pencapaian puncak maupun

penurunannya. (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008)

Perawat atau keluarga sangat berperan penting dalam

membantu lansia yang mengalami penurunan pada aspek kognitif,

yaitu dengan menumbuhkan dan membina hubungan saling percaya,

saling besosialisasi, dan selalu mengadakan kegiatan yang bersifat

kelompok, selain itu mempertahankan fungsi kognitif lansia upaya

yang dapat dilakukan adalah dengan cara menggunakan otak secara

terus menerus dan diistirahatkan dengan tidur,kegiatan seperti

membaca, mendengarkan berita dan cerita melalui media sebaiknya

dijadikan sebuah kebiasaan hal ini bertujuan agar otak tidak

beristirahat secara terus menerus (Departemen Kesehatan Republik

Indonesia,2008).

2.7 Pengukuran Gangguan Kognitif

2.7.1 AMT (Abbreviated Mental Test)

AMT diperkenalkan oleh Hodkinson pada tahun 1972

digunakan sebagai penilaian kualitas mental seseorang secara cepat


pada pasien lansia. Pada lansia terdapat adanya penurunan kualitas

mental, kualitas mental itu sendiri termasuk dalam fungsi kognitif

pada lansia yang biasanya menurun di usia senja, contoh penyakit

demensia, depresi dan lain-lain. AMT ini biasa digunakan di fasilitas

layanan kesehatan pertama seperti Puskesmas dan untuk skrining

awal pada populasi masyarakat (Hodkinson HM, 1972).

AMT memiliki 10 poin pertanyaan : berapakah umur anda, jam

berapa sekarang, di mana alamat rumah anda, tahun berapa

sekarang, menanyakan lokasi pasien saat ini dan menjelaskan

kondisinys (saat ini kita sedang berada di mana), mampukah pasien

mengenali dua orang (dokter dan perawat), tahun berapa anda lahir,

tahun berapa Negara merdeka (Indonesia), siapa nama presiden

Negara ini sekarang (Indonesia, menghitung mundur dari angka 20

sampai 1.

Skor AMT diberikan berdasarkan jumlah item yang benar, skor

yang makin rendah mengindikasikan perfomance yang buruk dan

gangguan kognitif yang semakin memberat. Skor total berkisar

antara 8-10 menunjukan normal, skor 4-7 menunjukan gangguan

ingatan sedang dan skor 0-3 menunjukan gangguan ingatan berat.

2.7.2 MMSE (Mini Mental State Examination)

MMSE awalnya dirancang sebagai media pemeriksaan status

mental singkat serta terstandarisasi yang memungkinkan untuk


membedakan antara gangguan organik dan fungsional pada pasien

psikiatri. Sejalan dengan banyaknya pengguna tes ini selama

bertahun-tahun, kegunaaan MMSE berubah menjadi suatu media

untuk mendeteksi dan mengikuti perkembangan gangguan kognitif

yang berkaitan dengan kelainan neurodegeneratif, misalnya penyakit

Alzheimer

MMSE merupakan suatu skala terstruktur yang terdiri dari 30

paoin dikelompokkan menjadi tujuh kategori: orientasi terhadap

tempat(negara, provinsi, kota, gedung, dan lantai), orientasi terhadap

waktu (tahun, musim, bulan, hari, dan tanggal), registrasi

(mengulang dengan cepat 3 kata), atensi dan konsentrasi (secara

berurutan mengurangi 7, dimulai dari angka 100,atau mengeja kata

WAHYU secara terbalik), mengingat kembali (mengingat kembali 3

kata yang telah diulang sebelumnya), bahasa (memberi nama 2

benda, mengulang kalimat, membaca dengan keras dan memahami

suatu kalimat, menulis kalimat, dan mengikuti perintah 3 langkah),

dan konstruksi visual (menyalin gambar)

Skor MMSE diberikan berdasarkan jumlah item yang benar,

skor yang makin rendah mengindikasikan perfomance yang buruk

dan gangguan kognitif yang makin parah. Skor total berkisar antara

0-30 (performance sempurna). Skor ambang MMSE yang pertama

kali direkomendasikan adalah 24 atau 25, memiliki sensivitas dan

spesifitas yang baik untuk mendeteksi demensia, bagaimanapun,


beberapa studi sekarang ini menyatakan bahwa skor ini terlalu

rendah. Studi-studi ini menunjukkan bahwa demensia dapat

didiagnosis dengan keakuratan baik pada beberapa orang dengan

skor MMSE antara 24-27.

Pelaksanaan

MMSE dapat dilaksanakan selama kurang lebih 5-10 menit.

Tes ini dirancang agar dapat dilaksanakan dengan mudah oleh

semua profesi kesehatan atau tenaga terlatih manapun yang telah

menerima instruksi untuk penggunaannya.

Validitas

Performance pada MMSE menunjukkan kesesuaian dengan

berbagai tes lain yang menilai kecerdasan, memori dan aspek-aspek

lain fungsi kognitif pada berbagai populasi. Skor MMSE memiliki

kesesuaian dengan skor pada tes Clock Drawing pada pasien lansia

dan pasien dengan penyakit Alzheimer, dan juga pada tes seperti

Information Memory Concentration (IMC), tes Composite

neuropsycological and Brief Cognitive Rating Scale (BCRS).

Skor pada MMSE pertama kali diajukan sebagai ambang skor

yang mengindikasikan disfungsi kognitif. Dalam 13 studi berurutan

yang menilai keefektifan ambang skor MMSE <23 untuk mendeteksi

demensia, sensivitas berkisar antara 63%-100% dan spesifitas

berkisar antara 52%-99%.


Penggunaan klinis

MMSE merupakan pemeriksaan status mental singkat dan

mudah diaplikasikan yang telah dibuktikan sebagai instrumen yang

dapat dipercaya serta valid untuk mendeteksi dan mengikuti

perkembangan gangguan kognitif yang berkaitan dengan penyakit

neurodegeneratif. Hasilnya,MMSE menjadi suatu metode

pemeriksaan status mental yang digunakan paling banyak didunia.

Tes ini digunakan secara luas pada praktik klinis dan

kecemerlangannya sebagai instrumen skrining kognitif telah

dibuktikan dengan pencantuman bersama dengan Diagnosis

Interview Schedule dalam studi National Institute of Mental Health

ECA dan oleh daftarnya yang menyebutkan MMSE sebagai penilai

fungsi kognitif yang direkomendasikan untuk kriteria diagnosis

penyakit Alzheimer yang dikembangkan oleh konsorsium National

Institute of Neurological and Communication Disorders and Stroke

and the Alzheimer Disease and Related Disorders

Association(McKhann,1984)

Data psikometri luas MMSE menunjukkan bahwa tes ini

memiliki tes retest dan reliabilitas serta validitas sangat baik

berdasarkan diagnosis klinik independen demensia dan penyakit

Alzheimer. Karena performance pada MMSE dapat dibiaskan oleh

pengaruh status pendidikan rendah pada pasien yang sehat,

beberapa pemeriksa merekomendasikan untuk menggunakan


ambang skor berdasarkan umur dan status pendidikan untuk

mendeteksi demensia.

Kelemahan terbesar MMSE yang banyak disebutkan ialah

batasannya atau ketidakmampuannya untuk menilai kemampuan

kognitif yang terganggu di awal penyakit Alzheimer atau gangguan

demensia lain (misalnya terbatas item verbal dan memori dan tidak

adanya penyelesaian masalah atau judgment), MMSE juga relatif tak

sensitif terhadap penurunan kognitif yang sangat ringan (terutama

pada individual dengan status pendidikan tinggi). Walaupun batasan-

batasan ini mengurangi manfaat MMSE, tes ini tetap menjadi

instrumen yang sangat berharga untuk penilaian fungsi kognitif.

Intepretasi MMSE

Intepretasi MMSE didasarkan pada skor yang diperoleh pada

saat pemeriksaan:

Skor 24-30 diintepretasikan sebagai fungsi kognitif normal.

Skor<24 berarti definite gangguan kognitif

2.8 Gangguan Mental Emosional

Gangguan mental emosional menurut Dictionary reference dari

Universitas Priceton adalah bagian dari gangguan jiwa yang bukan

disebabkan oleh kelainan organic otak dan lebih didominasi oleh

gangguan emosi (disturbace of omotion ). Penelitian yang dilakukan oleh


harison menunjukan bahwa klien yang berkunjung kerumah sakit umu ada

yang mengalami gejala somatisasi,yaitu berobat dengan gejala keluhan

fisik nemun tidak ada penyebab organic. Pengertian ini mengandung arti

bahwa gangguan mental emosional lebih mengarah ke aspek psikologis

dari pada aspek biologis. Richmond (dalam Kaplan,2006), mengmukakan

bahwa gangguan mental emosional merupakan perubahan mood dan efek

yang dihubungkan kepada pikiran-pikiran spesifik atau kondisi fisik yang

sesuai dengan yang seiring dengan mood dan afek. Gangguan mental

emosional merupakan perubahan atau gangguan mood dan afek yang

berpengaruh juga terhadap fisik seseorang karena aspek biologis (fisik).

Psikis (salah satunya emosi) dan sosial. Sehingga aspek fisik dan mental

saling mempengaruhi terhadap gangguan mental emosional seseorang.

Setiap orang pernah mengalami perubahan dalam hidupnya

dimana perubahan tersebut menuntut seseoran untuk beradaptasi dalam

mengatasinya.perubahan tersebut bias menjadi kondisi yang mengancam

individu (siswoyo,2011). Kaplan dan Saddock (2005) menjelaskan bahwa

apabila individu tidak mampu menemukan penyelesaian terhadap situasi

yang mengancamnya maka individu tersebut mengalami gangguan mental

emosional.

Gangguan mental emosional merupakan suatu keadaan yang

mengindikasikan individu mengalami perubahan emosional yang dapat

berkembang menjadi keadaan patologis apabila berlanjut (Idaiani,2009).

Gejala gangguan mental emosional dapat berupa gejala depresi,


gangguan psikosomatik, dan ansietas. Tanda-tanda gejala depresi,

Psikosomatik dan ansietas meliputi :

Menurut ICD – 10 tanda-tanda gejala depresi terdiri dari

- Perasaan depresif

- Hilangnya minat dan semangat

- Mudah lelah dan tenaga hilang

- Konsentrasi menurun

- Harga diri turun

- Perasaan bersalah

- Pesimistis terhadap masa depan

- Gagasan membahayakan diri (self harm) atau bunuh diri

- Gangguan tidur

- Menurunya libido

Gangguan psikosomatis adalah suatu keadaan dimana seseorang

mengalami keluhan gejala fisik yang berulang, yang disertai permintaan

pemeriksaan medis tetapi hasilnya negative dan sudah dijelaskan oleh

dokter bahwa tidak ditemukan kelainan fisik yang menjadi dasar

keluhanya, pasien biasanya menolak adanya penyebab biologis. Gejala

fisik dapat berupa keluhan nyeri lambung, alergi kulit, gangguan haid,

diare, sesak nafas, dan lain-lain. (Siswoyo,2011)

Ansietas merupakan respon emosi tanpa obyek yang jelas tetapi

penderita merasakan perasaan was-was seakan sesuatu yang buruk akan


terjadi yang biasanya disertai gejala otonomik yang berlansung beberapa

bulan bahkan tahunan. Manifestasi secara psikis adalah : khawatir secara

berlebihan, gelisah tidak menentu, takut berlebihan dan tidak tentram.

Manifestasi secara fisik dapat berupa nafas pendek, nyeri perut, tangan

bergetar, diare/konstipasi, penglihatan kabur, otot terasa tegang

(Sumiati,2009).

2.9 Pengukuran Gangguan Mental Emosional

Gangguan mental dapat diukur dengan menggunakan self reporting

Quistionnaire (SRQ) yang digunakan oleh WHO. SRQ pada awalnya

terdiri dari 20 pertanyaan berhubungan dengan gejala neurosis, 4

pertanyaan berhubungan psikosis dan 1 pertanyaan berhubungan dengan

epilepsi.

SRQ adalah kuisioner yang biasa digunakan untuk skrining masalah

kesehatan jiwa masyarakat yang memiliki jawaban “ya atau tidak dengan

maksud mempermudah masyarakat untuk menjawabnya.

Pengukuran gangguan mental emosional sendiri menggunakan

SRQ-20 terdiri dari pertanyaan-pertanyaan mengenai gejala yang lebih

mengarah kepada gangguan neurosis. Gejala depresi terdiri dari butir

nomor 6,9,10,14,15,16,17 ; gejala cemas pada butir nomor 3,4,5; gejala

somatik pada butir nomor 1,2,7,19; gejala kognitif pada butir nomor

8,12,13; gejala penurunan energi pada butir nomor 8,11,12,13,18,20.


Uji validasi terhadap SRQ yaitu pada tahun 1995 yang dilakukan

oleh hartono. Beliau melakukan uji validasi terhadap penggunaanSRQ

dengan cut off point/ nilai batas pisah 6 yang kemudian digunakan pada

Riskesdas 2007. Penggunaan SRQ pada riskesdas 2007 bertujuan untuk

mendapatkan gambaran status kesehatan mental/gangguan mental

emosional yang ada dimasyarakat. Pertanyaan SRQ diberikan kepada

anggota rumah tangga (ART) yang berusia > 15 tahun. Ke 20 pertanyaan

tersebut menjawab “ya atau ‘tidak” dengan cut off point 5/6 artinya jika

responden menjawab > 6 jawaban “ya” dari pertanyaan yang diajukan

maka responden tersebut mengalami gangguan mental emosional. SRQ

memiliki keterbatasan karena hanya mengungkap status emosional

sesaat (+ 2 minggu) dan tidak dirancang untuk diagnostik gangguan jiwa

yang spesifik.

Daftar pertanyaan SRQ yang ditanyakan ke responden yaitu :

1. Apakah anda sering menderita sakit kepala ?

2. Apakan anda tidak nafsu makan ?

3. Apakah anda sulit tidur ?

4. Apakah anda mudah takut ?

5. Apakah anda merasa tegang, cemas dan kuatir ?

6. Apakah tangan anda gemetar ?

7. Apakah pencernaan anda terganggu/buruk?

8. Apakah anda sulit untuk berpikir jernih ?

9. Apakah anda merasa tidak bahagia ?


10. Apakah anda menangis lebih sering ?

11. Apakah anda sulit untuk menikmati kegiatan sehari-hari ?

12. Apakah anda sulit untuk mengambil keputusan ?

13. Apakah pekerjaan anda sehari-hari terganggu ?

14. Apakah anda tidak mampu melakukan hal-hal yang bermanfaat

dalam hidup ?

15. Apakah anda kehilangan minat pada berbagai hal ?

16. Apakah anda merasa tidak beharga ?

17. Apakah anda mempunyai pikiran untuk mengakhiri hidup ?

18. Apakah anda merasa lelah sepanjang waktu ?

19. Apakah anda mengalami rasa tidak enak diperut ?

20. Apakah anda mudah lelah ?

2.10 Menderita Penyakit Kronis

Pengaruh penyakit kronik pada usia lanjut dapat menimbulkan

gangguan mental emosional melalui cara yang tidak langsung yaitu

karena adanya keterbatasan mobilitas, ketergantungan orang lain, dan

nyeri terus menerus atau ketidaknyamanan. Pengalaman klinis

menyebutkan bahwa bukan keparahan penyakit atau ancaman kematian

yang mengganggu kesehatan mental usia lanjut tetapi adanya berbagai

kehilangan akibat penyakit tersebut yang mempunyai hubungan erat

dengan gangguan mental emosional.

Menurut Koenig (2003) yang menjelaskan bahwa salah satu faktor

resiko terjadinya gangguan mental adalah penyakit fisik (kronik), hal ini
juga sesuai model medis menurut Meyer et.all yang dijelaskan bahwa

perubahan prilaku dalam gangguan mental emosional sisebabkan oleh

penyakit biologis perilaku yang menyimpang berhubungan dengan

toleransi responden terhadap stress.

Penyakit krinik adalah penyakit tidak menular dan menular yang

diderita langsung lama, beberapa penyakit tidak menular yang beresiko

menyebabkan gangguan mental adalah Hipertensi, gangguan sendi, dan

DM.

Hipertensi adalah tekanan darah tinggi yang bersifat abnormal yang

diukur paling tidak pada kesempatan yang berbeda. Namun secara umum

seseorang dianggap hipertensi apabila tekanan darahnya lebih tinggi dari

pada sistolik 140mmhg dan diastolik 90mmhg. Hipertensi pada usia lanjut

lebih besar dari pada kelompok lain.

Diabetes militus termasuk gangguan metabolik (metabolik

syndrome) dari distribusi gula oleh tubuh. Penderita DM tidak mampu

memproduksi hormon insulin dalam jumlah yang cukup, atau tubuh tidak

dapat menggunakan nya secara efektif sehingga terjadi kelebihan gula

didalam tubuh.

Menurut American Diabetes Association / WHO DM diklasifikasikan

4 macam :

a. DM Tipe 1

Disebabkan karena sel beta pankreas akibat reaksi autoimun. Pada

tipe ini hormon insulin tidak dproduksi kerusakan sel beta terjadi saat
anak-anak maupun dewasa. Penderita harus mendapatkan suntikan

insulin setiap hari selama hidupnya sehingga dikenal dengan istilah Insulin

Dependen Diabetes Militus (IDDM.).

b. DM Tipe 2

Disebabkan oleh resistensi hormon insulin karena jumlah terlalu

banyak reseptor insulin pada permukaan sel kurang, meskipun jumlah

insulin tidak berkurang hal ini menyebabkan glukosa tidak masuk kedalam

insulin, walaupun telah ersedia. Dm tipe 2 terjadi biasanya pada mereka

yang berusia diatas 40 tahun meskipun saat ini prevalensinya pada

remaja dan anak-anak semakin tinggi.

c. DM Tipe 3

Disebabkan kelainan genetik spesifik, penyakit pankreas, gangguan

endokrin lain, efek obat-obatan, bahkan kimia, infeksi virus dan lain-lain.

Patofisiologis diabetes milituspada lansia sampai saat ini belum

jelas atau dapat dikatakan belum seluruhnya diketahui. Selain faktor

intrinsik, ekstrinsik seperti menurunnya ukuran massa tubuh dan naiknya

lemak tubuh mengakibatkan timbulnya penurunan aksi insulin pada

jaringan sasaran sehingga akan berdampak jugabpada sistem neuro

hormonal.

Berdasarkan penelitian berdasarkan Roserhemiati (2008) penderita

penyakit DM 2,295 kali lebih banyak mengalami gangguan mental

emosiaonal dibanding yang tidak mengalami penyakit kronis DM.


Wanita dengan diabetes lebih mengalami depresi dibandingkan

dengan laki-laki. Ketika seorang diagnosa diabetes seorang tersebut akan

sok sehingga perasaan seperti penyangkalan, rasa bersalah, kesedihan

dan kecemasan bahkan untuk beberapa orang yang tidak menerima akan

timbul depresi atau gangguan kecemasan.

Gangguan sendi adalah penyakir radang kronis yang menyerang

persendian dan mengganggu fungsi persendian. Diagnosa sakit

persendian ditegakkan berdasarkan kumpulan gejala-gelaja sebagai

berikut :

1. Sakit nyeri, kaku-kaku atau pembengkakaan yang timbul

sekitar persendian lengan, tangan, tungkai dan kaki serta berlangsung

selama sebulan lebih

2. Kaku-kaku persendian ketika bangun tidur atau setelah

duduk lama

3. Kaku-kaku berlangsung lebih dari 30 menit

4. Kaku-kaku tidak hilang jika sendi digerakan

Gangguan sendi pada lansian menurut Susenas 2004 prepalen

sakit persendian pada perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Dua

pertiga orang dengan gangguan sendi arthritis mengatakan bahwa kondisi

mereka telah mempengaruhi secara emosional. Banyak orang dengan

radang sendi takut oleh dampak arthritis pada kehidupan mereka sehari-

hari dan kehidupan masa depan. Orang dengan nyeri persisten lebih

mungkin akan mengalami kehidupan mereka sehari-hari dan kehidupan


masa depan. Memiliki arthritis dapat berakibat pada hilangnya

kemerdekaan, harga diri, kemampuan untuk bekerja dan melanjutkan

kegiatan sosial atau rekreasi.

2.11 Kemandirian Fisik

Kemandirian pada usia lanjut dinilai pada kemampuannya untuk

melakukan kemampuannya sehari-hari (Aktivities off daily live = ADL)

apakah mereka tanpa bantuan dapat bangun, mandi dan lain sebagainya.

Sehingga jika terdapat faktor kehilangan fisik yang mengakibatkan

hilangnya kemandirian akhirnya akan meningkatkan kerentanan terhadap

depresi (Soejono, CH, 2006)


BAB III

KERANGKA KONSEP & METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

1.Tekanan Darah

2. Pemeriksaan Gula
Darah

3. Pemeriksaan
Kolesterol Gambaran
permasalahan
4. Fungsi Penglihatan kesehatan lanjut
usia (> 60 tahun)
5. Fungsi Pendengaran

6. Gangguan kognitif

7. Gangguan Mental
Emosional

3.2 Metodologi Penelitian

3.2.1 Sasaran Penelitian

Sasaran penelitian ini adalah lansia usia lebih dari 60

tahun di Poli Klinik Umum Puskesmas Mandala dan Desa

Mekar Agung dengan melakukan pengumpulan data

kuesioner.

3.2.2 Lokasi dan waktu penelitian


Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Mekar Agung

dan di Poli Klinik Umum Puskesmas Mandala. Waktu

penelitian dilakukan dengan rentang waktu bulan Mei hingga

Agustus.

3.2.3 Desain penelitian

Penelitian ini adalah penelitian survei dengan

pendekatan cross sectional, dimana kegiatan pengumpulan

data dilakukan dari responden pada satu waktu, dengan

jenis penelitian bersifat deskriptif dan analitik.

3.2.4 Populasi dan sampel penelitian

Populasi penelitian

Semua pasien lansia berusia >60 tahun di wilayah

kerja Puskesmas Mandala.

Sampel penelitian

Seluruh pasien usia lanjut > 60 tahun di Desa Kadu

Agung Tengah dan datang ke Poli Klinik Umum

Puskesmas Mandala.

Cara Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan kriteria

inklusi
Kriteria inklusi:

1. Merupakan pasien usia lanjut yang berumur >60 tahun di

wilayah kerja Desa Mekar Agung Puskesmas Mandala.

2. Bersedia mengikuti penelitian mengisi kuesioner.

3.2.5 Definisi Operasional

Variable Definisi Cara Ukur Alat ukur Hasil Ukur Skal


Operasional a
Ukur

Tekanan Pemeriksaan Menuliska Kuesione Terbagi dalam 3


Darah untuk n hasil r kategori
mengetahui tekanan
angka tekanan darah dan 1. Hipertensi >
darah dilakukan riwayat 140/90mmHg
oleh tenaga hipertensi 2. Normal
kesehatan <130/80mm
Hg
Menjawab
pertanyaan
tentang riwayat
penyakit dahulu
dan keluarga
tentang
hipertensi

Gula Darah Pemeriksaan Menuliska Kuesione Dikatakan Diabetes


untuk n hasil r Mellitus jika GDS
mengetahui GDS >200 mg/dL
pasien
menderita
penyakit DM,
dilakukan oleh
tenaga
kesehatan

Kolesterol Pemeriksaan Menuliska Kuesione Dikatakan dislipidemi


untuk n hasil r atau hiperkolesterol
mengetahui kolesterol jika angka kolesterol
pasien >200 mg/dL
menderita
dislipidemi

Fungsi Identifikasi Wawancar Kuisioner 1. Perubahan


Penglihatan gangguan fungsi a + input penglihatan
penglihatan data 2. Pakai
kacamata

Fungsi Identifikasi Wawancar Kuesione 1. Penurunan


Pendengara gangguan fungsi a + input r Pendengara
n pendengaran data n
2. Tinitus
3. Alat Bantu
Dengar

Gangguan Suatu keadan Wawancar Kuesione Terdapat 3 kriteria


Kognitif a + input r gangguan ingatan
yang
data
mengindikasika 1. 8-10 normal
n individu yang 2. 4-7
usianya > 60 gangguan
ingatan
tahun memiliki sedang
gangguan 3. 0-3
ingatan, gangguan
ingatan berat
dengan 10
pertanyaan
dengan
jawaban
“salah” dan
“benar” . Nilai
salah =0 dan
nilai benar=1
Kemandiria Kemampuan Wawancar Kuesione Terdapat 5 kriteria
n Fisik a + input r penilaian :
responden
data
untuk 1. 20 : Mandiri
melakukan 2. 12-19 :
aktifitas hidup ketergantung
an ringan
sehari-hari 3. 9-11 :
berdasarkan ketergantung
indeks Barthel. an sedang
4. 5-8 :
Terdiri dari 10 ketergantung
pertanyaan an berat
dengan 5. 0-4 :
masing-masing ketergantung
an total
poin
pertanyaan
memiliki skor
rentang 0,1,2,3
lalu
dijumlahkan
sehingga total
skor tertinggi
adalah 20
Gangguan Suatu keadan Wawancar kuesione Jika jumlah skor
Mental a + input r diantara 5-9
yang
Emosional data menunjukkan
mengindikasika kemungkinan
n individu yang gangguan depresi
berumur > 60
Jika jumlah skor 10
tahun atau lebih
mengalami menunjukkan pasti
perubahan gangguan depresi.
emosional
yang dapat
berkembang
menjadi
keadaan
patologis
apabila terus
berlanjut.
(Idaiani 2009).
Menggunakan
instrument
geriatric
depression
scale (GDS)
dengan 15
pertanyaan
tidak ada
jawaban benar
salah, tetapi
“ya” atau
“tidak”pada
poin-poin
tertentu
memiliki skor
1.

Dilakukan oleh
petugas
kesehatan
3.2.6 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian berupa kuesioner data diri

responden dan kuesioner yang mengacu pada kuesioner

GDS (Geriatric Depression Scale), AMT (Abbreviated Mental

Test) dan ADL (Activity of Daily Living). Instrumen ini tidak

dilakukan uji validitas dan reliabilitas karena telah banyak

digunakan untuk meneliti tentang fungsi kognitif lansia,

gangguan mental emosional serta kemandirian fisik.

3.2.7 Teknik Pengumpulan Data

Data diperoleh dari pengisian kuesioner yang telah

disiapkan oleh peneliti dengan menggunakan teknik

wawancara.

3.2.8 Pengolahan dan Analisis data

Pengolahan Data (editing)

Meneliti kembali apakah lembar kuesioner sudah

cukup baik sehingga dapat di proses lebih lanjut. Editing

dapat dilakukan di tempat pengumpulan data sehingga jika

terjadi kesalahan maka upaya perbaikan dapat segera

dilaksanakan.

Pengkodean (Coding)
Usaha mengklarifikasi jawaban-jawaban yang ada

menurut macamnya, menjadi bentuk yang lebih ringkas

dengan menggunakan kode.

Pemasukan Data (Entry)

Memasukan data ke dalam perangkat komputer

sesuai dengan kriteria.

Tehnik Analisis Data

Pada penelitian ini digunakan analisa univariat yaitu

analisa yang dilakukan terhadap variabel dari hasil penelitian

dalam analisa ini menghasilkan distribusi dan persentase

dari variabel yang diteliti.


BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Distribusi Lansia yang mengalami penyakit kronis di


wilayah kerja Puskesmas Mandala Desa
Penyakit kronis pada lansia meliputi berbagai penyakit

diantaranya adalah hipertensi, dislipidemi, dan Diabetes

Mellitus. (DM). Jumlah lansia di Desa ... sebanyak … orang

dengan jumlah .. orang yang telah dilakukan penelitian.Dari

hasil penelitian di Desa … terdapat sebanyak orang menderita

hipertensi, … orang menderita dislipidemi dan … orang

menderita DM.

4.2 Distribusi Lansia yang mengalami gangguan mental


emosional di wilayah kerja Puskesmas Mandala Desa …
Gangguan mental emosional pada lansia disebabkan

oleh berbagai faktor antara lain faktor sosial demografi, status

gizi, adanya penyakit kronis, kemandirian fisik. Dari hasil

penelitian Puskesmas 2019 di seluruh desa yang terdapat di

wilayah kerja Puskesmas didapatkan responden lansia

sebanyak 1710 orang dan untuk jumlah lansia di Desa ...

sebanyak … orang dengan jumlah .. orang yang telah dilakukan

penelitian. Distribusi lansia yang mengalami gangguan mental

emosional di Desa …. dapat dilihat dalam tabel di bawah ini :


Tabel 5.1
Distribusi Gangguan Mental Emosional pada
Lansia Berdasarkan Data Riskesdas 2007 di
DKI Jakarta

Gangguan Mental Jumlah Persentas


e
Emosional
Tidak 858 78,9
Ya 230 21,1
Total 1088 100,0

Anda mungkin juga menyukai