Disusun Oleh :
dr. Suyetno
Pembimbing :
dr. Sri Gunarti
Laporan Kasus
Disusun Oleh :
dr. Suyetno
Pembimbing
1.2 ANAMNESIS
Auto dan Alloanamnesis dilakukan pada tanggal 17 April 2020
Keluhan Utama
Pasien datang ke IGD RSUD Adjidarmo dibawa oleh keluarga dengan keluhan nyeri
perut yang telah dirasakan sejak 2 hari yang lalu, keluhan diawali oleh muntah yang
kemudian nyeri perut dirasakan terus memberat dan meluas di seluruh lapang perut,
pasien mengaku perutnya sering kembung dalam 1 minggu terakhir dan tidak bisa kentut
& BAB 2 hari terakhir, nafsu makan berkurang, dan mual. selain itu pasien juga
mengeluhkan perutnya kaku karena menahan sakit, terkadang keluar keringat dingin,
badan terasa panas dingin, BAK (+) normal
B. Status Generalis
Keadaan umum : Tampak Kesakitan
Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
Berat Badan :
Status Gizi :
Vital sign :
o Suhu : 36,9oC
o Nadi : 98x/mnt
o TD : 110/90 mmHg
o RR : 20x/mnt
Kepala
- Bentuk : Mesocephal, Simetris
- Rambut : Pendek, Warna hitam
Mata
- Palpebra : Tidak edema
- Conjunctiva : Tidak anemis
- Sclera : Tidak ikterik
- Pupil : Isokor / Isokor
- Reflek cahaya : +/+
- Katarak : Tidak ditemukan
Leher
- Kelj. Getah bening : Tidak membesar
- Kelj. Thyroid : Tidak membesar
- JVP : Tidak meningkat
Thorax
Paru
- Inspeksi : Simetris, tidak retraksi dan tidak ada ketinggalan gerak
- Palpasi : Taktil fremitus kanan sama dengan kiri
- Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
- Auskultasi: Suara dasar vesikuler +/+, ST (-/-)
Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak nampak
- Palpasi : Ictus cordis teraba
- Perkusi :
Batas kiri atas SIC II LMC sinistra
Batas kanan atas SIC II LPS dextra
Batas kiri bawah SIC V LMC sinistra
Batas kanan bawah SIC IV LPS dextra
- Auskultasi : Bunyi jantung 1-2, reguler, gallop tidak ada
Abdomen
- Inspeksi : Distended, lebih tinggi dari dada, simetris, tidak nampak hematom,
warna kulit sama dengan sekitar, darm kontour dan darm steifung tidak nampak
- Auskultasi: Peristaltik menurun
- Palpasi : Tidak teraba massa, defans muskuler (+), nyeri tekan seluruh lapang
perut (+), hepar dan lien tidak teraba, ballotemen ginjal tidak teraba
- Perkusi : Hipertimpani, tidak ada nyeri ketok CVA
Ekstremitas
- Akral : Hangat
Sianosis : Tidak ditemukan
Edema : Tidak ditemukan
C. Status Lokalis
Nyeri tekan dititik Mc.Burney (-), Rovsing sign (-), Obturator sign (-), Psoas sign (-)
Rectal Toucher
- M. Spincter ani mencengkram kuat
- Mucosa recti licin, tidak teraba massa
- Ampula recti tidak kolaps
Pemeriksaan Immunologi
HbsAg : (-)
Elektrolit
Natrium : 128
Kalium : 3.5
Klorida : 93
1.7 PENATALAKSANAAN
- Ifvd RL 500cc/12jam
- Inf Aminofluid/24jam
- Inj. Omz 1x40mg
- Inj Ketorolac 3x30mg
- Inj. Ceftriaxone 1x2gr
- Inj. Metronidazole 3 x 500 mg/IV
]
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 DEFINISI
abdomen dan menutupi visera abdomen). Keadaan ini biasanya terjadi akibat
penyebaran infeksi dari organ abdomen, perforasi saluran cerna, atau dari luka tembus
dengan bakterisemia atau sepsis. Peritonitis akut merupakan penyakit infeksi tersering
dan biasanya dikaitkan dengan perforasi viskus (secondary peritonitis). Apabila tidak
peritonitis2.
Perforasi gaster adalah suatu penetrasi yang kompleks dari dinding lambung,
usus besar, usus halus akibat dari bocornya isi dari usus ke dalam rongga perut.
Perforasi dari lambung berkembang menjadi suatu peritonitis kimia yang disebabkan
karena kebocoran asam lambung dalam rongga perut (Warsinggih, 2016). Gambaran
klinis pada pasien dengan perforasi ulkus peptik kadang-kadang tidak jelas, sehingga
terkadang kebanyakan pasien datang dengan tanda dan gejala peritonitis bahkan
sampai ke sepsis. Variasi gejala klinis, keterlambatan dari diagnosis dan penanganan
dapat menyebabkan perburukan gejala dan penurunan kondisi klinis yang dapat
3.2 EPIDEMIOLOGI
Data mengenai tingkat insidensi peritonitis sangat terbatas, namun yang pasti
peritonitis yang paling sering ditemukan dalam praktik klinik. Hampir 80% kasus
peritonitis disebabkan oleh nekrosis dari traktus gastrointestinal. Penyebab umum dari
keganasan, dan strangulasi dari usus halus. Terdapat perbedaan etiologi peritonitis
sekunder pada negara berkembang (berpendapatan rendah) dengan negara maju. Pada
negara berpendapatan rendah, etiologi peritonitis sekunder yang paling umum, antara
lain appendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum, dan perforasi tifoid. Sedangkan,
menjalani laparatomi.
beberapa negara di dunia. Salah satunya di daerah Afrika, pada tahun 2015 terdapat
1276 kasus laparatomi dengan 449 kasus (35%) di bagian obsetri dan 876 kasus
(65%) pada 2 bagian bedah umum (Ngowe, N.M., et.al, 2014; Baison, G.N, 2017). Di
Indonesia, jumlah tidakan operasi terhitung pada tahun 2012 mencapai 1,2 juta jiwa
RI, 2013).
3.3 ANATOMI
A. Peritonium
tubuh manusia dan terdiri dari 2 lapisan yang berkesinambungan, antara lain
peritoneum parietal
rectum) yang tidak terlapisi maupun terlapisi hanya sebagian peritonum. Peritoneum
jaringan ikat disekitarnya dalam kavitas peritoneum, dikenal dengan istilah ligament
peritoneum karena suatu organ dan berfungsi melekatkan organ tersebut dengan
dinding posterior abdomen (mesenterium dari usus halus dan transverse mesokolon).
organ satu dengan lainnya atau dengan dinding abdomen (falciform ligament yang
(karena peritoneum melipat sehingga terdiri dari 4 lapisan) dengan sejumlah jaringan
adiposa dan terdiri dari 3 bagian, antara lain gastrophrenic ligament, gastrosplenic
Peritoneum parietal dipersarafi dari cabang saraf somatis eferen dan aferen yang
visceral dipersarafi dari cabang saraf visceral aferen yang juga memberikan suplai
apabila terjadi kondisi patologis yang menstimulasi peritoneum visceral atau parietal.
Nyeri yang terlokalisir terjadi akibat stimulus mekanik, termal, atau kimiawi pada
satu atau dua level dermatom pada setiap lokasi peritoneum parietal yang terstimulasi.
menghantarkan refleks kontraksi otot apabila terjadi iritasi dari parietal peritoneum.
Refleks inilah yang menyebabkan hiperkontraksi lokal (muscle guarding) dan perut
Di sisi lain, iritasi dari peritoneum visceral tidak memberikan sensasi nyeri dan
refleks otot yang serupa seperti pada iritasi peritoneum parietal. Ketika saraf visceral
peritoneum visceral terstimulasi sensasi nyeri akan dialihkan ke salah satu daerah dari
B. Gaster
paling banyak terutama di daerah epigaster, lambung terdiri dari bagian atas fundus
diafragma di depan pankreas dan limpa, menempel di sebelah kiri fundus uteri.
a. Fundus ventrikuli, bagian yang menonjol ke atas terletak sebelah kiri osteum
b. Korpus ventrikuli, setinggi osteum kardiun, suatu lekukan pada bagian bawah
kurvatura minor.
c. Antrum pilorus, bagian lambung berbentuk tabung mempunyai otot yang tebal
e. Kurvatura mayor, lebih panjang dari kurvatura minor terbentang dari sisi kiri
masuk ke lambung.
Gambar 2 Bagian Lambung
Pada bagian ini terdapat orifisium pilorik. Susunan lapisan dari dalam keluar, terdiri dari:
- Lapisan selaput lendir, apabila lambung ini dikosongkan, lapisan ini akan berlipat-
a. Pepsin fungsinya, memecah putih telur menjadi asam amino (albumin dan
pepton).
menjadi pepsin.
c. Renin fungsinya, sebagai ragi yang membekukan susu dan membentuk kasein
yang merangsang sekresi getah lambung. Sekresi getah lambung mulai terjadi
pada awal orang makan. bila melihat makanan dan mencium bau makanan
getah lambung. Getah lambung dihalangi oleh sistem saraf simpatis yang
dapat terjadi pada waktu gangguan emosi seperti marah dan rasa takut.
3.4 ETIOLOGI
(umum) dan abses abdomen (lokal). Bila ditinjau dari penyebabnya, infeksi peritonitis
terbagi atas:
1. Penyebab primer : peritonitis spontan (pada pasien dengan penyakit hati kronik,
dimana 10-30% pasien dengan sirosis hepatis yang mengalami asites akan
mengalami peritonitis bakterial spontan)
2. Penyebab sekunder : berkaitan dengan proses patologis dari organ visera (berupa
inflamasi, nekrosis dan penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi
ulkus peptikum atau duodenum, perforasi tifus abdominalis, perforasi kolon
akibat divertikulitis, volvulus, atau kanker dan strangulasi kolon asenden).
3. Penyebab tersier : infeksi rekuren atau persisten sesudah terapi awal yang
adekuat, timbul pada pasien dengan kondisi komorbid sebelumnya, dan pada
pasien yang imunokompromais (riwayat sirosis hepatis, TB).
Bila dilihat dari organ yang menyebabkan peritonitis, maka penyebabnya dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Esofagus: keganasan, trauma, iatrogenik dan sindrom Boerhaave;
2. Lambung: perforasi ulkus peptikum, adenokarsinoma, limfoma, tumor stroma
GIT, trauma dan iatrogenik;
3. Duodenum: perforasi ulkus peptikum, trauma (tumpul dan penetrasi), dan
iatrogenik;
4. Traktus bilier: kolesistitis, perforasi kolelithiasis, keganasan,ta duktus koledokus,
trauma dan iatrogenik;
5. Pankreas: pankreatitis (alkohol, obat-obatan batu empedu), trauma dan iatrogenik;
6. Kolon asendens: iskemia kolon, hernia inkarserata, obstruksi loop, penyakit
crohn, keganasan, divertikulum meckel, dan trauma;
7. Kolon desendens dan appendiks: iskemia kolon, divertikulitis, keganasan, kolitis
ulseratif, penyakit crohn, appendisitis, volvulus kolon, trauma dan iatrogenik;
8. Salping, uterus dan ovarium: radang panggul, keganasan dan trauma.
PERFORASI GASTER
Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang komplek dari
dinding lambung, usus halus, usus besar akibat dari bocornya isi dari usus ke dalam
rongga perut. Perforasi dalam bentuk apapun yang mengenai saluran cerna merupakan
suatu kasus kegawatan bedah.
3.5 PATOFISIOLOGI
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk
lumen-lumen usus serta edema seluruh organ intra peritoneal dan udem dinding
bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.
menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus
usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana
yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat
total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah
sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau gangren dan
Pada gaster ecara fisiologis, gaster relatif bebas dari bakteri dan
mengalami trauma abdominal memiliki fungsi gaster yang normal dan tidak berada
pada resiko kontaminasi bakteri yang mengikuti perforasi gaster. Bagaimana pun juga
mereka yang memiliki maslah gaster sebelumnya berada pada resiko kontaminasi
peritoneum sering menimbulkan peritonitis kimia. Bila kebocoran tidak ditutup dan
partikel makanan mengenai rongga peritoneum, peritonitis kimia akan diperparah oleh
perkembangan yang bertahap dari peritonitis bakterial. Pasien dapat asimptomatik
untuk beberapa jam antara peritonitis kimia awal dan peritonitis bakterial lanjut.
Mikrobiologi dari usus kecil berubah dari proksimal sampai ke distalnya. Beberapa
bakteri menempati bagian proksimal dari usus kecil dimana, pada bagian distal dari
usus kecil (jejunum dan ileum) ditempati oleh bakteri aerob (E.Coli) dan anaerob
Kecenderungan infeksi intra abdominal atau luka meningkat pada perforasi usus
cairan sehingga membentuk abscess, efek osmotik, dan pergeseran cairan yang lebih
banyak ke lokasi abscess, dan diikuti pembesaran abscess pada perut. Jika tidak
3.6 DIAGNOSIS
1. Manifestasi klinis
dan pemeriksaan fisik. Gejala utama pada seluruh kasus peritonitis adalah nyeri
perut yang hebat, tajam, dirasakan terus-menerus, dan diperparah dengan adanya
pergerakan.
riwayat demam lebih dari 1 minggu disertai pola demam dan tanda-tanda klinis
khas untuk tifoid mengarahkan ke perforasi tifoid, adanya riwayat hernia daerah
sebelumnya.
Pemeriksaan fisik pada area perut: periksa apakah ada tanda-tanda eksternal
seperti luka, abrasi, dan atau ekimosis. Amati pasien: lihat pola pernafasan dan
pergerakan perut saat bernafas, periksa adanya distensi dan perubahan warna kulit
abdomen. Pada perforasi ulkus peptikum pasien tidak mau bergerak, biasanya
dengan posisi flexi pada lutut, dan abdomen seperti papan. Palpasi dengan halus,
perhatikan ada tidaknya massa atau nyeri tekan. Bila ditemukan tachycardi, febris,
dan nyeri tekan seluruh abdomen mengindikasikan suatu peritonitis. rasa kembung
Pemeriksaan rektal dan bimanual vagina dan pelvis : pemeriksaan ini dapat
membantu menilai kondisi seperti appendicitis acuta, abscess tuba ovarian yang
2. Diagnosis Banding
3.7 PENATALAKSANAAN
3.8 PROGNOSIS
Prognosis untuk peritonitis general yang disebabkan oleh perforasi gaster
adalah mematikan akibat organisme virulen. Prognosis ini bergantung kepada
Lamanya peritonitis;
< 24 jam = 90% penderita selamat;
24-48 jam = 60% penderita selamat;
48 jam = 20% penderita selamat.
Adanya penyakit penyerta
Daya tahan tubuh
Usia Makin tua usia penderita, makin buruk prognosisnya.
Komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA
2. Silen W. 2012. Chapter 300 Acute Appendicitis and Peritonitis. In: Longo DL, Fauci
SA, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Braunwald E. Harrison's principles of
internal medicine. 18th ed. New york: Mcgraw-hill companies. p. 2516-19
5. Ordoñez CA, Puyana JC. Management of Peritonitis in the Critically Ill Patient. Surg
Clin North Am 2006; 86(6): 1323–49
6. Gupta S, Kaushik R. Peritonitis - the Eastern experience. World J Emerg Surg 2006;
1:13.
7. Malangoni M, Inui T. Peritonitis - the Western experience. World J Emerg Surg 2006;
1(1):25
9. Standring S. 2008. Chapter 69. Peritoneum and Peritoneal Cavity. In: Standring S.
Gray’s Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practice. 40 th Edition. Churchill
Livingstone El Sevier. p. 1127-32
11. Baron MJ, Kasper DL. 2012. Chapter 127 Intraabdominal infections and Abscesses.
In: Longo DL, Fauci SA, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Braunwald E.
Harrison's principles of internal medicine. 18th ed. New york: Mcgraw-hill
companies. p. 1077-83
12. Doherty GM. 2010. Chapter 15. Peritoneal Cavity. In: Doherty GM, ed. CURRENT
Essentials of Surgery. 13th ed. New York: McGraw-Hill.
13. Britton J. The Acute Abdominal. In : Peter. Oxford Textbook Of Surgery, 2nd Edition.
Oxford press. p. 1277-8