Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

PERITONITIS EC APPENDICITIS PERFORASI

Disusun Oleh :

dr. Suyetno

Pembimbing :
dr. Sri Gunarti

Peserta Program Internship Dokter Indonesia (PIDI)


Angkatan II Periode Mei 2019 - Mei 2020
RSUD Dr. Adjidarmo
Banten
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

PERITONITIS EC APPENDICITIS PERFORASI

Disusun Oleh :

dr. Suyetno

Disusun untuk memenuhi syarat mengikuti program


Dokter Internship Indonesia
Rotasi IGD RSUD Dr. Adjidarmo
Rangkasbitung – Kab. Lebak

Telah diperiksa, disetujui dan disahkan pada


Hari : Jumat
Tanggal 24 April 2020

Pembimbing

dr. Sri Gunarti


BAB I
LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. M
Umur : 39 tahun
Tanggal lahir : 16 Juli 1980
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Kp. Bojong Apus
Status pernikahan : Menikah
Pekerjaan : Wiraswasta
Agama : Islam
Tanggal masuk : 17 April 2020

1.2 ANAMNESIS
Auto dan Alloanamnesis dilakukan pada tanggal 17 April 2020

Keluhan Utama

Nyeri seluruh lapang perut

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSUD Adjidarmo dibawa oleh keluarga dengan keluhan nyeri
perut yang telah dirasakan sejak 2 hari yang lalu, keluhan diawali oleh muntah yang
kemudian nyeri perut dirasakan terus memberat dan meluas di seluruh lapang perut,
pasien mengaku perutnya sering kembung dalam 1 minggu terakhir dan tidak bisa kentut
& BAB 2 hari terakhir, nafsu makan berkurang, dan mual. selain itu pasien juga
mengeluhkan perutnya kaku karena menahan sakit, terkadang keluar keringat dingin,
badan terasa panas dingin, BAK (+) normal

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat HT : (-) tidak terkontrol
Riwayat Asma : (-) disangkal oleh keluarga
Riwayat Alergi : (-) disangkal oleh keluarga
Riwayat DM : (-) disangkal oleh keluarga

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat HT : (-) disangkal oleh keluarga
Riwayat Asma : (-) disangkal oleh keluarga
Riwayat Alergi : (-) disangkal oleh keluarga
Riwayat DM : (-) disangkal oleh keluarga

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien memiliki istri, biaya pengobatan ditanggung oleh BPJS. Kesan sosial ekonomi
keluarga cukup.

1.3 PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan saat pertama datang ke IGD
A. Primary Survey
- Airway
Look : Dada mengembang simetris baik statis dan dinamis
Listen : tidak terdengar suara nafas, tidak terdengar suara nafas tambahan
Feel : terasa adanya hembusan nafas
- Breathing
Look : tanda tanda sesak (-)
RR: 20x/menit, takipnea (-) nafas cuping hidung (-) nafas
paradoksal (-) kussmaul (-)
Listen : suara vesikuler (+/+) suara tambahan (-/-)Rhonki (-/-) Wh(-/-)
Stridor (-)
Feel : perkusi (sonor/sonor)
- Circulation
Look : sianosis (-) distensi vena jugularis (-) konjungtiva pucat (-)
Listen : BJ I-II normal regular, mur-mur (-) gallop (-)
Feel : perabaan akral hangat, nadi 98x/menit pulsasi kuat, TD 110/90
mmHg, SpO2 99%
- Disabilitas
GCS : E 4M6V5
- Exposure
Akral hangat 36,9℃

B. Status Generalis
 Keadaan umum : Tampak Kesakitan
 Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
 Berat Badan :
 Status Gizi :
 Vital sign :
o Suhu : 36,9oC
o Nadi : 98x/mnt
o TD : 110/90 mmHg
o RR : 20x/mnt
 Kepala
- Bentuk : Mesocephal, Simetris
- Rambut : Pendek, Warna hitam

 Mata
- Palpebra : Tidak edema
- Conjunctiva : Tidak anemis
- Sclera : Tidak ikterik
- Pupil : Isokor / Isokor
- Reflek cahaya : +/+
- Katarak : Tidak ditemukan

 Leher
- Kelj. Getah bening : Tidak membesar
- Kelj. Thyroid : Tidak membesar
- JVP : Tidak meningkat

 Thorax
Paru
- Inspeksi : Simetris, tidak retraksi dan tidak ada ketinggalan gerak
- Palpasi : Taktil fremitus kanan sama dengan kiri
- Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
- Auskultasi: Suara dasar vesikuler +/+, ST (-/-)

 Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak nampak
- Palpasi : Ictus cordis teraba
- Perkusi :
 Batas kiri atas SIC II LMC sinistra
 Batas kanan atas SIC II LPS dextra
 Batas kiri bawah SIC V LMC sinistra
 Batas kanan bawah SIC IV LPS dextra
- Auskultasi : Bunyi jantung 1-2, reguler, gallop tidak ada
 Abdomen
- Inspeksi : Distended, lebih tinggi dari dada, simetris, tidak nampak hematom,
warna kulit sama dengan sekitar, darm kontour dan darm steifung tidak nampak
- Auskultasi: Peristaltik menurun
- Palpasi : Tidak teraba massa, defans muskuler (+), nyeri tekan seluruh lapang
perut (+), hepar dan lien tidak teraba, ballotemen ginjal tidak teraba
- Perkusi : Hipertimpani, tidak ada nyeri ketok CVA

 Ekstremitas
- Akral : Hangat
 Sianosis : Tidak ditemukan
 Edema : Tidak ditemukan
C. Status Lokalis
 Nyeri tekan dititik Mc.Burney (-), Rovsing sign (-), Obturator sign (-), Psoas sign (-)
 Rectal Toucher
- M. Spincter ani mencengkram kuat
- Mucosa recti licin, tidak teraba massa
- Ampula recti tidak kolaps

1.4 DIAGNOSIS BANDING


Abdominal pain e/c peritonitis generalisata
Abdominal pain e/c appendicitis perforasi
Abdominal pain e/c gastritis erosiva
Abdominal pain e/c gastroenteritis akut

1.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG


 Hematologi (17-04-2020)
Hb : 14,50 gr/dl (13,0 - 14,0)
Eritrosit : 4,89 103 µl (4,5 - 5,5)
Hematokrit : 35,4 % (40 - 48)
Indek eritrosit
MCV : 84,3 fL (82 - 92)
MCH : 29,7 pg (27 - 31)
MCHC : 35,2 g/dl (32 - 36)
Trombosit : 181 103 uL (150 - 400)
Leukosit : 22340 103 uL (5,0 - 10,0)
Gol darah :O
 Hitung Jenis Leukosit
Neutrofil segmen : 93 %
Limfosit : 4%
Monosit : 3%

 Pemeriksaan Immunologi
HbsAg : (-)

 Elektrolit
Natrium : 128
Kalium : 3.5
Klorida : 93

 Pemeriksaan Kimia Darah


Ureum : 44,73 mg/dl (10 - 50)
Creatinin : 1.06 mg/dl (0,6 - 1,1)
SGOT : 14 U/l (0 - 25)
SGPT : 15 U/l (0 - 29)
GDS : 93 mg/dl (70 - 120)
 Pemeriksaan Radiologi 17 April 2020

1.6 DIAGNOSA KERJA

- Abdominal pain ec Peritonitis generalisata ec susp Appendicitis Perforasi

1.7 PENATALAKSANAAN
- Ifvd RL 500cc/12jam
- Inf Aminofluid/24jam
- Inj. Omz 1x40mg
- Inj Ketorolac 3x30mg
- Inj. Ceftriaxone 1x2gr
- Inj. Metronidazole 3 x 500 mg/IV

1.8 RENCANA DIAGNOSTIK


- Konsul dr. Nano Sp.B
- Konsul Anastesi
- Laparatomi eksplorasi

]
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 DEFINISI

Peritonitis adalah peradangan peritoneum (membran serosa yang melapisi

abdomen dan menutupi visera abdomen). Keadaan ini biasanya terjadi akibat

penyebaran infeksi dari organ abdomen, perforasi saluran cerna, atau dari luka tembus

abdomen. Peritonitis merupakan suatu kegawatdaruratan  yang biasanya disertai

dengan bakterisemia atau sepsis. Peritonitis akut merupakan penyakit infeksi tersering

dan biasanya dikaitkan dengan perforasi viskus (secondary peritonitis). Apabila tidak

ditemukan sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis dikategori sebagai primary

peritonitis2.

Perforasi gaster adalah suatu penetrasi yang kompleks dari dinding lambung,

usus besar, usus halus akibat dari bocornya isi dari usus ke dalam rongga perut.

Perforasi dari lambung berkembang menjadi suatu peritonitis kimia yang disebabkan

karena kebocoran asam lambung dalam rongga perut (Warsinggih, 2016). Gambaran

klinis pada pasien dengan perforasi ulkus peptik kadang-kadang tidak jelas, sehingga

terkadang kebanyakan pasien datang dengan tanda dan gejala peritonitis bahkan

sampai ke sepsis. Variasi gejala klinis, keterlambatan dari diagnosis dan penanganan

dapat menyebabkan perburukan gejala dan penurunan kondisi klinis yang dapat

mengakibatkan hasil akhir yang buruk(Thorsen, et.al, 2013).

3.2 EPIDEMIOLOGI

Data mengenai tingkat insidensi peritonitis sangat terbatas, namun yang pasti

diketahui adalah diantara seluruh jenis peritonitis, peritonitis sekunder merupakan

peritonitis yang paling sering ditemukan dalam praktik klinik. Hampir 80% kasus
peritonitis disebabkan oleh nekrosis dari traktus gastrointestinal. Penyebab umum dari

peritonitis sekunder, antara lain appendicitis perforasi, perforasi ulkus peptikum

(gaster atau duodenum), perforasi kolon karena diverticulitis, volvulus, atau

keganasan, dan strangulasi dari usus halus. Terdapat perbedaan etiologi peritonitis

sekunder pada negara berkembang (berpendapatan rendah) dengan negara maju. Pada

negara berpendapatan rendah, etiologi peritonitis sekunder yang paling umum, antara

lain appendisitis perforasi, perforasi ulkus peptikum, dan perforasi tifoid. Sedangkan,

di negara-negara barat appendisitis perforasi tetap merupakan penyebab utama

peritonitis sekunder, diikuti dengan perforasi kolon akibat diverticulitis. Tingkat

insidensi peritonitis pascaoperatif bervariasi antara 1%-20% pada pasien yang

menjalani laparatomi.

Kasus tindakan laparatomi pada perforasi gaster mengalami peningkatan di

beberapa negara di dunia. Salah satunya di daerah Afrika, pada tahun 2015 terdapat

1276 kasus laparatomi dengan 449 kasus (35%) di bagian obsetri dan 876 kasus

(65%) pada 2 bagian bedah umum (Ngowe, N.M., et.al, 2014; Baison, G.N, 2017). Di

Indonesia, jumlah tidakan operasi terhitung pada tahun 2012 mencapai 1,2 juta jiwa

dan diperkirakan 32% diantaranya merupakan tindakan bedah laparatomi (Kemenkes

RI, 2013).

3.3 ANATOMI

A. Peritonium

Peritoneum merupakan membran serosa transparan yang terbesar di dalam

tubuh manusia dan terdiri dari 2 lapisan yang berkesinambungan, antara lain
peritoneum parietal

yang melapisi bagian

internal dari dinding

abdominopelvis dan peritoneum visceral yang melapisi organ-organ abdomen9.

Hubungan peritoneum dan organ-organ dalam kavitas intra abdomen dikelompokkan

menjadi, antara lain organ intraperitoneal yang terlapisi seluruhnya dengan

peritoneum, dan retroperitoneal (duodenum, kolon asendens, colon desendens, dan

rectum) yang tidak terlapisi maupun terlapisi hanya sebagian peritonum. Peritoneum

visceral yang membungkus atau menunjang organ-organ bersama-sama dengan

jaringan ikat disekitarnya dalam kavitas peritoneum, dikenal dengan istilah ligament

peritoneum, omentum atau mesenterium.

Mesenterium merupakan dua lapis peritoneum yang terjadi akibat invaginasi

peritoneum karena suatu organ dan berfungsi melekatkan organ tersebut dengan

dinding posterior abdomen (mesenterium dari usus halus dan transverse mesokolon).

Ligamen peritoneum terdiri dari dua lapis peritoneum yang menghubungkan

organ satu dengan lainnya atau dengan dinding abdomen (falciform ligament yang

menghubungkan liver dengan dinding abdomen anterior). Berbeda dengan ligamen

peritoneum dan mesenterium, greater omentum terdiri dari 4 lapisan peritoneum

(karena peritoneum melipat sehingga terdiri dari 4 lapisan) dengan sejumlah jaringan

adiposa dan terdiri dari 3 bagian, antara lain gastrophrenic ligament, gastrosplenic

ligament, dan gastrocolic ligament, sedangkan lesser omentum terdiri dari

hepatogastric dan hepatoduodenal ligament.


Gambar 1 Potongan sagittal dari abdomen yang memperlihatkan peritoneum parietal
dan visceral

Peritoneum parietal dipersarafi dari cabang saraf somatis eferen dan aferen yang

mempersarafi otot-otot dan kulit dari dinding abdomen, sedangkan peritoneum

visceral dipersarafi dari cabang saraf visceral aferen yang juga memberikan suplai

saraf otonom pada organ visceral tersebut.

Adanya persarafan yang berbeda ini mengakibatkan perbedaan respon sensasi

apabila terjadi kondisi patologis yang menstimulasi peritoneum visceral atau parietal.

Nyeri yang terlokalisir terjadi akibat stimulus mekanik, termal, atau kimiawi pada

reseptor nyeri (nociceptor) di peritoneum parietal. Sensasi nyeri umumnya terjadi di

satu atau dua level dermatom pada setiap lokasi peritoneum parietal yang terstimulasi.

Saraf somatis tersebut selain menghantarkan sensasi nyeri terlokalisir, juga

menghantarkan refleks kontraksi otot apabila terjadi iritasi dari parietal peritoneum.

Refleks inilah yang menyebabkan hiperkontraksi lokal (muscle guarding) dan perut

papan (rigidity of abdominal wall).

Di sisi lain, iritasi dari peritoneum visceral tidak memberikan sensasi nyeri dan

refleks otot yang serupa seperti pada iritasi peritoneum parietal. Ketika saraf visceral
peritoneum visceral terstimulasi sensasi nyeri akan dialihkan ke salah satu daerah dari

tiga lokasi, antara lain lokasi epigastrium, periumbilikal, dan suprapubik.

B. Gaster

Gaster (Lambung) merupakan bagian dan saluran yang dapat mengembang

paling banyak terutama di daerah epigaster, lambung terdiri dari bagian atas fundus

uteri berhubungan dengan esofagus melalui orifisium pilorik, terletak di bawah

diafragma di depan pankreas dan limpa, menempel di sebelah kiri fundus uteri.

Bagian lambung terdiri dari:

a. Fundus ventrikuli, bagian yang menonjol ke atas terletak sebelah kiri osteum

kardium dan biasanyanya penuh berisi gas.

b. Korpus ventrikuli, setinggi osteum kardiun, suatu lekukan pada bagian bawah

kurvatura minor.

c. Antrum pilorus, bagian lambung berbentuk tabung mempunyai otot yang tebal

membentuk spinter pilorus.

d. Kurvatura minor, terdapat sebelah kanan lambung terbentang dari osteum

kardiak sampai ke pilorus.

e. Kurvatura mayor, lebih panjang dari kurvatura minor terbentang dari sisi kiri

osteum kardiakum melalui fundus ventrikuli menuju ke kanan sampai ke

pilorus inferior. Ligamentum gastro lienalis terbentang dari bagian atas

kurvatura mayor sampai ke limpa.

f. Osteum kardiakum, merupakan tempat dimana osofagus bagian abdomen

masuk ke lambung.
Gambar 2 Bagian Lambung

Pada bagian ini terdapat orifisium pilorik. Susunan lapisan dari dalam keluar, terdiri dari:

- Lapisan selaput lendir, apabila lambung ini dikosongkan, lapisan ini akan berlipat-

lipat yang disebut rugae.

- Lapisan otot melingkar (muskulus aurikularis).

- Lapisan otot miring (muskulus oblinqus).

- Lapisan otot panjang (muskulus longitudinal).

- Lapisan jaringan ikat/serosa (peritonium).

- Hubungan antara pilorus terdapat spinter pilorus.

Fungsi lambung terdiri dari:

1. Menampung makanan, menghancurkan dan menghaluskan makanan oleh peristaltik

lambung dan getah lambung.

2. Getah cerna lambung yang dihasilkan :

a. Pepsin fungsinya, memecah putih telur menjadi asam amino (albumin dan

pepton).

b. Asam garam (HCl) fungsinya; Mengasamkan makanan, sebagai anti septik

dan desinfektan, dan membuat suasana asam pada pepsinogen sehingga

menjadi pepsin.
c. Renin fungsinya, sebagai ragi yang membekukan susu dan membentuk kasein

dari kasinogen (kasinogen dan protein susu).

d. Lapisan lambung Jumlahnya sedikit memecah lemak menjadi asam lemak

yang merangsang sekresi getah lambung. Sekresi getah lambung mulai terjadi

pada awal orang makan. bila melihat makanan dan mencium bau makanan

maka sekresi lambung akan terangsang. Rasa makanan merangsang sekresi

lambung karena kerja saraf sehingga menimbulkan rangsangan kimiawi yang

nienyebabkan dinding lambung melepaskan hormon yang disebut sekresi

getah lambung. Getah lambung dihalangi oleh sistem saraf simpatis yang

dapat terjadi pada waktu gangguan emosi seperti marah dan rasa takut.

3.4 ETIOLOGI

Secara umum, infeksi pada abdomen dikelompokkan menjadi peritonitis infektif

(umum) dan abses abdomen (lokal). Bila ditinjau dari penyebabnya, infeksi peritonitis

terbagi atas:

1. Penyebab primer : peritonitis spontan (pada pasien dengan penyakit hati kronik,
dimana 10-30% pasien dengan sirosis hepatis yang mengalami asites akan
mengalami peritonitis bakterial spontan)
2. Penyebab sekunder : berkaitan dengan proses patologis dari organ visera (berupa
inflamasi, nekrosis dan penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi
ulkus peptikum atau duodenum, perforasi tifus abdominalis, perforasi kolon
akibat divertikulitis, volvulus, atau kanker dan strangulasi kolon asenden).
3. Penyebab tersier : infeksi rekuren atau persisten sesudah terapi awal yang
adekuat, timbul pada pasien dengan kondisi komorbid sebelumnya, dan pada
pasien yang imunokompromais (riwayat sirosis hepatis, TB).

Bila dilihat dari organ yang menyebabkan peritonitis, maka penyebabnya dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Esofagus: keganasan, trauma, iatrogenik dan sindrom Boerhaave;
2. Lambung: perforasi ulkus peptikum, adenokarsinoma, limfoma, tumor stroma
GIT, trauma dan iatrogenik;
3. Duodenum: perforasi ulkus peptikum, trauma (tumpul dan penetrasi), dan
iatrogenik;
4. Traktus bilier: kolesistitis, perforasi kolelithiasis, keganasan,ta duktus koledokus,
trauma dan iatrogenik;
5. Pankreas: pankreatitis (alkohol, obat-obatan batu empedu), trauma dan iatrogenik;
6. Kolon asendens: iskemia kolon, hernia inkarserata, obstruksi loop, penyakit
crohn, keganasan, divertikulum meckel, dan trauma;
7. Kolon desendens dan appendiks: iskemia kolon, divertikulitis, keganasan, kolitis
ulseratif, penyakit crohn, appendisitis, volvulus kolon, trauma dan iatrogenik;
8. Salping, uterus dan ovarium: radang panggul, keganasan dan trauma.

Sedangkan menurut agen-nya, peritonitis dapat dibedakan menjadi dua kelompok


sebagai berikut:
1. Peritonitis steril atau kimiawi
Peritonitis yang disebabkan karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya getah
lambung, dan pankreas, empedu, darah, urin, benda asing (talk, tepung, barium)
dan substansi kimia lain atau proses inflamasi transmural dari organ-organ dalam
(misalnya penyakit crohn) tanpa adanya inokulasi bakteri di rongga abdomen
2. Peritonitis bakterial:
a) Peritonitis bakterial spontan, 90% disebabkan monomikroba, tersering adalah
bakteri gram negatif, yakni 40% Eschericia coli, 7% Klebsiella-pneumoniae,
spesies Pseudomonas, Proteus dan lain-lain. Sementara bakteri gram positif,
yakni Streptococcus pneumoniae 15%, Streptococcus yang lain 15%, golongan
Staphylococcus 3%, dan kurang dari 5% kasus mengandung bakteri anaerob.
b) Peritonitis sekunder lebih banyak disebabkan bakteri gram positif yang berasal
dari saluran cerna bagian atas, dapat pula gram negatif, atau polimikroba,
dimana mengandung gabungan bakteri aerob dan anaerob yang didominasi
bakteri gram negatif.

PERFORASI GASTER
Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang komplek dari
dinding lambung, usus halus, usus besar akibat dari bocornya isi dari usus ke dalam
rongga perut. Perforasi dalam bentuk apapun yang mengenai saluran cerna merupakan
suatu kasus kegawatan bedah.

3.5 PATOFISIOLOGI

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat

fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa,

yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi

infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap

sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.

Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran

mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,

maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya

interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa

ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba

untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk

buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung,

tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.

Organ-organ di dalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen

mengalami edema. Edema disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler

organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan di dalam rongga peritoneum dan

lumen-lumen usus serta edema seluruh organ intra peritoneal dan udem dinding

abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia

bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.

Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan


tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan

menimbulkan penurunan perfusi.

Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila

infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis

umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus

kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen

usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan

dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat

mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus

karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik

usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana

yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat

total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah

sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau gangren dan

akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen

sehingga dapat terjadi peritonitis.

Pada gaster ecara fisiologis, gaster relatif bebas dari bakteri dan

mikroorganisme lainnya karena keasaman yang tinggi. Kebanyakan orang yang

mengalami trauma abdominal memiliki fungsi gaster yang normal dan tidak berada

pada resiko kontaminasi bakteri yang mengikuti perforasi gaster. Bagaimana pun juga

mereka yang memiliki maslah gaster sebelumnya berada pada resiko kontaminasi

peritoneal pada perforasi gaster. Kebocoran asam lambung kedalam rongga

peritoneum sering menimbulkan peritonitis kimia. Bila kebocoran tidak ditutup dan

partikel makanan mengenai rongga peritoneum, peritonitis kimia akan diperparah oleh
perkembangan yang bertahap dari peritonitis bakterial. Pasien dapat asimptomatik

untuk beberapa jam antara peritonitis kimia awal dan peritonitis bakterial lanjut.

Mikrobiologi dari usus kecil berubah dari proksimal sampai ke distalnya. Beberapa

bakteri menempati bagian proksimal dari usus kecil dimana, pada bagian distal dari

usus kecil (jejunum dan ileum) ditempati oleh bakteri aerob (E.Coli) dan anaerob

(Bacteriodes fragilis (lebih banyak).

Kecenderungan infeksi intra abdominal atau luka meningkat pada perforasi usus

bagian distal. Adanaya bakteri di rongga peritoneal merangsang masuknya sel-sel

inflamasi akut. Omentum dan organ-oragan viceral cenderung melokalisir proses

peradangan, mengahasilkan phlegmon ( biasa terjadi pada perforasi kolon). Hypoksia

yang diakibatkannya didaerah itu memfasilisasi tumbuhnya bakteri anaerob dan

menggangu aktifitas bakterisidal dari granulosit, yang mana mengarah pada

peningkatan aktifitas fagosit daripada granulosit, degradasi sel-sel, dan pengentalan

cairan sehingga membentuk abscess, efek osmotik, dan pergeseran cairan yang lebih

banyak ke lokasi abscess, dan diikuti pembesaran abscess pada perut. Jika tidak

ditangani terjadi bakteriemia, sepsis, multiple organ failure dan syok.

3.6 DIAGNOSIS

1. Manifestasi klinis

Peritonitis merupakan sebuah diagnosis klinis, berdasarkan pada anamnesis

dan pemeriksaan fisik. Gejala utama pada seluruh kasus peritonitis adalah nyeri

perut yang hebat, tajam, dirasakan terus-menerus, dan diperparah dengan adanya

pergerakan.

Adanya anoreksia, mual, dan muntah seringkali pula ditemukan, Anamnesis

harus pula mencari kemungkinan sumber etiologi dari peritonitis sekunder


sehingga harus ditanyakan mengenai riwayat penyakit sekarang (riwayat dispepsia

kronis mengarahkan ke perforasi ulkus peptikum, riwayat inflammatory bowel

disease atau divertikulum mengarahkan perforasi kolon karena divertikulitis,

riwayat demam lebih dari 1 minggu disertai pola demam dan tanda-tanda klinis

khas untuk tifoid mengarahkan ke perforasi tifoid, adanya riwayat hernia daerah

inguinal (inguinalis atau femoralis) harus dicurigai kemungkinan adanya

strangulasi, sedangkan nyeri mendadak tanpa disertai adanya riwayat penyakit

apapun mengarahkan ke appendisitis perforasi), riwayat operasi abdomen

sebelumnya.

Pemeriksaan fisik pada area perut: periksa apakah ada tanda-tanda eksternal

seperti luka, abrasi, dan atau ekimosis. Amati pasien: lihat pola pernafasan dan

pergerakan perut saat bernafas, periksa adanya distensi dan perubahan warna kulit

abdomen. Pada perforasi ulkus peptikum pasien tidak mau bergerak, biasanya

dengan posisi flexi pada lutut, dan abdomen seperti papan. Palpasi dengan halus,

perhatikan ada tidaknya massa atau nyeri tekan. Bila ditemukan tachycardi, febris,

dan nyeri tekan seluruh abdomen mengindikasikan suatu peritonitis. rasa kembung

dan konsistens sperti adonan roti mengindikasikan perdarahan intra abdominal. ·

Nyeri perkusi mengindikasikan adanya peradangan peritoneum · Pada auskultasi :

bila tidak ditemukan bising usus mengindikasikan suatu peritonitis difusa. ·

Pemeriksaan rektal dan bimanual vagina dan pelvis : pemeriksaan ini dapat

membantu menilai kondisi seperti appendicitis acuta, abscess tuba ovarian yang

ruptur dan divertikulitis acuta yang perforasi.

2. Diagnosis Banding

- Penyakit ulkus peptikum - Gastritis


- Pancreatitis acuta - Cholecystitis, colik bilier
- Endometriosis - Torsi ovarium
- PID - Salpingitis acuta
- Appendicitis acuta - Demam typoid
- Colitis iskemik - Crohn’s disease
- Inflamatory bowel disease - Colitis

3.7 PENATALAKSANAAN

Penatalaksaan tergantung penyakit yang mendasarinya. Intervensi bedah


hampir selalu dibutuhkan dalam bentuk laparotomi explorasi dan penutupan perforasi
dan pencucian pada rongga peritoneum (evacuasi medis). Terapi konservatif di
indikasikan pada kasus pasien yang non toxic dan secara klinis keadaan umumnya
stabil dan biasanya diberikan cairan intravena, antibiotik, aspirasi NGT, dan
dipuasakan pasiennya

3.8 PROGNOSIS
Prognosis untuk peritonitis general yang disebabkan oleh perforasi gaster
adalah mematikan akibat organisme virulen. Prognosis ini bergantung kepada
Lamanya peritonitis;
 < 24 jam = 90% penderita selamat;
 24-48 jam = 60% penderita selamat;
 48 jam = 20% penderita selamat.
 Adanya penyakit penyerta
 Daya tahan tubuh
 Usia Makin tua usia penderita, makin buruk prognosisnya.
 Komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Riwanto. 2010. Lambung dan Duodenum. In: Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W,


Prasetyono T, Rudiman R, editors. Sjamsuhidajat-de Jong buku ajar ilmu bedah, ed 3.
Jakarta: EGC. p. 643-60

2. Silen W. 2012. Chapter 300 Acute Appendicitis and Peritonitis. In: Longo DL, Fauci
SA, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Braunwald E. Harrison's principles of
internal medicine. 18th ed. New york: Mcgraw-hill companies. p. 2516-19

3. Daley BJ. 2015. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Medscape Reference,


Drug,Disease and Procedures. [cited March, 15 2016]. Available in
http://emedicine.medscape.com/article/180234

4. Sartelli M. A Focus on Intra-Abdominal Infections. W J Emerg Surg 2010;5:9

5. Ordoñez CA, Puyana JC. Management of Peritonitis in the Critically Ill Patient. Surg
Clin North Am 2006; 86(6): 1323–49

6. Gupta S, Kaushik R. Peritonitis - the Eastern experience. World J Emerg Surg 2006;
1:13.

7. Malangoni M, Inui T. Peritonitis - the Western experience. World J Emerg Surg 2006;
1(1):25

8. Williams N. 2008. Acute Peritonitis. In: Williams N, Bulstrode C, O’connell PR,


editors. Bailey & Love’s short practice of surgery ed. 25th. London: Hodder Arnold. p.
992-6

9. Standring S. 2008. Chapter 69. Peritoneum and Peritoneal Cavity. In: Standring S.
Gray’s Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practice. 40 th Edition. Churchill
Livingstone El Sevier. p. 1127-32

10. Johnson CC, Baldessarre J, Levison ME. Peritonitis: Update on Pathophysiology,


Clinical Manifestations, and Management. Clin Inf Dis 1997;24:1035-47

11. Baron MJ, Kasper DL. 2012. Chapter 127 Intraabdominal infections and Abscesses.
In: Longo DL, Fauci SA, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Braunwald E.
Harrison's principles of internal medicine. 18th ed. New york: Mcgraw-hill
companies. p. 1077-83

12. Doherty GM. 2010. Chapter 15. Peritoneal Cavity. In: Doherty GM, ed. CURRENT
Essentials of Surgery. 13th ed. New York: McGraw-Hill.

13. Britton J. The Acute Abdominal. In : Peter. Oxford Textbook Of Surgery, 2nd Edition.
Oxford press. p. 1277-8

Anda mungkin juga menyukai