Anda di halaman 1dari 24

BAB I

LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. N
Umur : 55 thn
Tanggal lahir : 04-05-1965
Jenis kelamin : laki-laki
Alamat : Kp. Bongkok cibeurem
Status pernikahan : Menikah
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Tanggal masuk : 21 April 2020

1.2 ANAMNESIS
Auto dan Alloanamnesis dilakukan pada tanggal 21 April 2020

Keluhan Utama
Sesak

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan sesak selama 4 hari, sesak mulanya ringan lalu semakin
memberat. Sesak tidak dibatasi oleh waktu, baik pagi, siang maupun malam. Saat masuk
rumah sakit (mrs) di IGD tetap sesak dan akan bertambah apabila melakukan aktivitas.
Gejala lain yang menyertai adalah nyeri ulu hati seperti rasa terbakar, mual, namun tidak
disertai muntah, BAB dan BAK dalam batas normal, nyeri kepala (+) batuk/pilek (-)
demam (-). 10 tahun yang lalu pasien merasa berat badannya turun meskipun banyak
makan, namun setelah pengobatan berat badannya naik kembali. Pasien juga
mengeluhkan banyak minum dan sering terbangun di malam hari untuk buang air kecil.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat DM tipe II sejak 10 tahun yang lalu, pasien didiagnosa saat berobat ke klinik
dengan keluhan lemas dan ketika dilakukan GDS hasilnya 450 gr/dl. Pasien diberikan
oleh dokter yang merawat obat glibenclamid 2x1 selama menjalani pengobatan di rumah,
rutin minum obat, sulit mengatur makan dan tidak rutin olahraga.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat HT : (-) disangkal oleh keluarga
Riwayat Asma : (-) disangkal oleh keluarga
Riwayat Alergi : (-) disangkal oleh keluarga
Riwayat DM : (-) disangkal oleh keluarga

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien anak ke 1 dari 0 bersaudara, biaya pengobatan ditanggung oleh BPJS. Kesan sosial ekonomi
keluarga cukup.

1.3 PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan saat pertama datang ke ruangan apel TgL 21 April 2020
A. Primary Survey
- Airway
Look : Dada mengembang simetris baik statis dan dinamis
Listen : tidak terdengar suara nafas, tidak terdengar suara nafas tambahan
Feel : terasa adanya hembusan nafas
- Breathing
Look : tanda tanda sesak (+)
RR: 20x/menit, takipnea (-) nafas cuping hidung (-) nafas
paradoksal (-) kussmaul (-)
Listen : suara vesikuler (+/+) suara tambaha Rhonki (-/-) Wh(-/-) Stridor (-)
Feel : perkusi (sonor/sonor)
- Circulation
Look : sianosis (-) distensi vena jugularis (-) konjungtiva pucat (-)
Listen : BJ I-II normal regular, mur-mur (-) gallop (-)
Feel : perabaan akral hangat

Disabilitas
GCS : E4M6V5
- Exposure
Akral hangat, 36,9℃
B. Status Present
 Kesadaran : Compos Mentis
 Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
 Berat Badan :
 Status gizi :Cukup
 Tanda vital
o Tekanan Darah : 190/100mmhg
o Nadi : 100x/menit
o Pernapasan : 28x/menit
o Suhu : 37,9oC
o Saturasi : 99%

C. Status Generalis
- Kepala : Normocephal
- Mata : SI (-/-) CA (-/-) pupil isokor (2mm/2mm)
- Leher : pembesaran kgb (-)
- Thoraks : simetris
- Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis tidak teraba
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : BJ I-II murni regular, murmur (-) gallop(-)
- Pulmo
Inspeksi : simetris, retraksi (-)
Palpasi : retraksi dada (-), tidak ada bagian yang tertinggal
Perkusi : perkusi sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : SNV (+/+), Rhonki (-/-), Wh (-/-),Stridor (-)
- Abdomen
Inspeksi : simetris, datar
Auskultasi : BU (+) normal
Palpasi : Supel, nyeri tekan epigastrium(+)
Perkusi : Timpani
- Ekstremitas : akral dingin , CRT <2 detik, edema -/-,
lateralisasi (-)
1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

HEMATOLOGI

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


Darah Lengkap I
Leukosit 12000 3600 - 14500 / μL
Eritrosit 4.45 3.80 - 5.20 10∙6/ μL
Hemoglobin 11.60 11.70 - 15.50 g/dL
Hematocrit (Ht) 33.8 33.0 - 45.0 %
MCV 76.0 80.0 - 100.0 fL
MCH 26.1 26.0 - 34.0 pg
MCHC 34.3 32.0 - 36.0 g/dL
Trombosit 279 150 - 440 10∙3/ μL

Hitung Jenis
Basophil 0 0-1 %
Eosinophil 0 2-4 %
Batang 0 3-5 %
Segmen 28 50 - 70 %
Limfosit 70 25 - 40 %
Monosit 2 2-8 %

KIMIA KLINIK

Natrium (Na) 136 135 - 147 mEq/L


Kalium (K) 4.4 3.5 -5 .0 mEq/L
Klorida (Cl) 102 95 - 105 mEq/L
GDS 268 mg/dL

1.5 DIAGNOSA KERJA


- DM Tipe 2
- Hipetensi Urgency

1.6 PENATALAKSANAAN
Konsul dr. Irfan Sp.PD

- IVFD RL 500cc/12jam
- Omeprazole 2x40mg
- Injeksi ondancentron 3x4mg
- Po Paracetamol 3x500 mg
- Amlodipin 10 mg 1-0-0
- Injeksi Insulin 3x4 IU
- Injeksi Levemir 1x4 IU
- Diet DM 1900 kkal

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Diabetes Mellitus


3.1.1. Definisi
Diabetes mellitus adalah kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya
[CITATION ADA10 \l 18441 ].

3.1.2. Klasifikasi
1. Diabetes Melitus Tipe I
Dekstruksi sel β, menjurus ke defisiensi insulin absolut,
- Autoimun
- Idiopatik
2. Diabetes Melitus Tipe II
Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai
yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin.
3. Diabetes Mellitus yang Berhubungan dengan Keadaan/Sindrom Lainnya
Defek genetik fungsi sel β, defek genetik kerja insulin, penyakin eksokrin pankreas
(contoh : pankreatitis), endokrinopati (contoh : akromegali), karena obat/zat kimia
(contoh : pentamidin ), infeksi (contoh L CMV), imunologi (antibodi anti reseptor
insulin), penyakit genetik lain (Sindrom Down, Turner).
4. Diabetes Mellitus Gestasional (kehamilan) [ CITATION ADA10 \l 18441 ].

3.1.3. Faktor Resiko


Faktor resiko terjadinya Diabetes Mellitus adalah :
1. Usia > 45 tahun
2. Gemuk: BB > 120% BB idaman , IMT > 25 kg/m2
3. Hipertensi, tekanan darah ≥ 140/90 mmHg
4. Riwayat DM di keluarga
5. Riwayat melahirkan bayi BB > 4.000 gram
6. Riwayat DM pada kehamilan (DM gestasional)
7. Riwayat TGT dan GDPT
8. Penderita PJK, TBC, dan hipertiroid
9. Kadar lipid (kolesterol HDL ≤ 35 mg/ dL dan atau trigliserida ≥ 200 mg/dL [CITATION
Har00 \l 18441 ]

3.1.4. Patogenesis
Pasien DM tipe 2 mempunyai 2 defek fisiologi : sekresi insulin abnormal dan resistensi
terhadap kerja insulin pada jaringtan sasaran (target). Secara deskripsi dapat dikenali 3 fase, fase
pertama yaitu glokosa plasma tetap normal meskipun terlihat resistensi insulin karena kadar
insulin meningkat. Pada fase kedua resistensi insulin cenderung memburuk sehingga meskipun
konsentrasi insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa dalam bentu hiperglikemia setelah
makan. Pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah , tetapi sekresi insulin menurun
menyebabkan hiperglikemia puasa dan diabetes yang nyata. Hal yang pertama terjadi adalah
resistensi insulin, hal yang kedua hiperinsulinemia, jadi sekresi insulin meningkat untuk
mengkompensasi keadaan resistensi. Tetapi hipersekresi insulin menyebabkan resistensi insulin .
Sebagian besar pasien DM tipe 2 obesitas. Obesitas menyebabkan resistensi insulin. Tetapi
pasien DM tipe 2 yang tidak obesitas juga mengalami hiperinsulinemia dan pengurangan
kepekaan insulin, membuktikan obesitas bukan merupakanpenyebab resistensi satu-satunya.
Tetapi pada orang yang kelebihan lemak, penurunan berat badan yangs ederhana seringkali
menghasilkan perbaikan uang besar dalam pengendalian glukosa darah pada penderita DM tipe
2 yang obesitas. Sebagai ringkasan, defek sekresi insulin dan resistensi insulin merupakan ciri
khas DM tipe 2. Masa sel beta intak pada DM tipe 2. Populasi sel alfa meningkat, menyebabkan
peningkatan rasio sel alfa dan beta. Hal ini menyebabkan kelebihan relatif glukagon dibanding
insulin yang merupakan ciri khas DM tipe 2, gambaran semua keadaan hiperglikemia [ CITATION
Har00 \l 18441 ].
Meskipun resistensi insulin pada DM tipe 2 disertai dengan penurunan jumlah reseptor
insulin, sebagian besar resistensi adalah pascareseptor. Telah lama diketahui bahwa endapan
amiloid ditemukan dalam pankreas pasien diabetes tipe 2. Bahan ini adalah peptida amino 37
yang disebut amilin. Amilin normalnya terbungkus bersama-sama dengan insulin dalam granula
sekretori dan dikeluarkan bersama-sama sebagai reseptor terhadap pengeluaran insulin.
Penumpukan amilin dalam pulau pankreas mungkin merupakan akibat kelebihan produksi
insulin dengan DM tipe 2 yang sudah berjalan lama. Dalam hal ini peranan amilin belum
dibuktikan [ CITATION Har00 \l 18441 ]
Blok metabolik utama terjadi pada sintesis glikogen (metabolisme non oksidatif).
Metabolisme nonoksidatif glukosa yang terganggu seperti hiperinsulinemia dan resistensi insulin
dapat terlihat pada individu non obesitas, relatif normoglikemik dengan DM tipe 2. Pada DM
tipe 2, produksi insulin abnormal tidak terikat baik pada reseptor insulin. Individu seperti ini
berespon terhadap insulin eksogen [ CITATION Har00 \l 18441 ].

3.1.5. Gejala Klinis


Gejala yang dikeluhkan pada pasien diabetes mellitus berupa [ CITATION PER11 \l
18441 ]:
1. Keluhan Klasik DM : poluria, polifagia, polidipsia dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya.
2. Keluhan lain, dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.

3.1.6. Diagnosa
Diagnosa DM dapat ditegakkan melalui tiga cara [ CITATION PER11 \l 18441 ]:
1. Jika ditemukan keluhan klasik, dan glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL.
2. Jika ditemukan keluhan klasik, dan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL.
3. Jika tidak ditemukan keluhan klasik, tetapi TTGO GD 2 jam ≥ 200 mg/dL.
3.1.7. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan diabetes [ CITATION PER11 \l 18441 ]:
1. Jangka pendek : menghilangkan keluhan dan tanda DM. Mempertahankan rasa nyaman,
dan mencapai target pengendalian glukosa darah
2. Jangka panjang : mencegah dan menghambat progresivitas penyulit mikroangiopati,
makroangiopati, dan neuropati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan
darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan
mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.
Terdapat empat pilar penatalaksanaan DM, antara lain edukasi, terapi gizi medis, latihan
jasmani, dan intervensi farmakologis. Berikut ini akan dijelaskan satu persatu:
1. Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk
dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien, warga
dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat.
Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan
upaya peningkatan motivasi.
Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia
serta cara mengataasinya harus diberikan kepada pasien. pemantauan kadar glukosa darah dapat
dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.
2. Terapi Nutrisi Medis
Terapi nutrisi medis merupakan bagian dari penatalaksaan diabetes secara total. Prinsip
pengaturan makanan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk
masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dnegan kebutuhan kalori dan zat
gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan
makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama mereka yang menggunakan
obat penurun glukosa darah atau insulin.
a. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
(i). Karbohidrat
 46-65 % dari total asupan energi
 Makanan harus mengandung karbohidrat terutama berserat tinggi
 Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan sama
dengan makanan keluarga yang lain
 Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% toltal asupan energi
 Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi batas
aman konsumsi harian (Accepted- Daily Intake)
 Makanan 3 kali / hari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari. Jika
diperlkan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain sebagai bagian
dari kebutuhan kalori sehari
(ii). Lemak
 20-25% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan > 30% total asupa energi
 Lemak jenuh < 7% kebutuhan kalori
 Lemak tidak jenuh ganda < 10% selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
 Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh
dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh (whole milk)
 Anjuran konsumsi kolesterol < 200 mg/ hari.
(iii). Protein
 10-20% total asupan energi
 Sumber protein yang baik adalah seafood (udang, ikan, cumi-cumi, dll), daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan
tempe.
 Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8
gr/kgBB/hari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik
tinggi.
(iv). Natrium
 Anjuran asupan natrium pasienDM sama dengan untuk masyarakat umum yaitu <
3000 mg atau sama dengan 9-7 gram (1 sendok teh) garam dapur.
 Paien yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg.
 Sumber natrium antara lain garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet seperti
natrium benzoat dan natrium nitrit.
(v). Serat
 Penyandang diabetes dianjurkan mengkonsumsi cukup serat dari kacang-kacanga,
buah, dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung
vitamin, mineral, serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.
 Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 gr/hari.

(vi). Pemanis Alternatif


 Pemanis dikelompokkamn pemanis berkalori dan tidak berkalori. Pemanis berkalori
adalah gula alkohol dan fruktosa.
 Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol, xylitol.
 Dalam penggnaannya pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
 Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek samping
pada lemak darah.
 Pemanis tidak berkalori masih dapat digunakan antara lain aspartam, sakarin,
acesukfame potassium, sukralose, dan neotame.
 Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted Daily
Intake/ ADI).

b. Kebutuhan Kalori
Cara menentukan kebutuhan kalori yang dibutuhkan penyandang diabetes. Diantaranya
dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal,
ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor seperti : jenis kelamin, umur, aktivitas,
berat badan , dll.
Perhitungan berat badan ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dapat dimodifikasi :
 Berat Badan Ideal = 90% x (TB dalam cm – 100) x 1 kg
 Untuk pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita dibawah 150 cm, rumus
dimodifikasi menjadi :
BBI = (TB dalam cm -100) kg
BB Normal : BB ideal ± 10%
Kurus : <BBI – 10%
Gemuk : > BBI + 10%
 Perhitungan berat badan ideal menurut indeks massa tubuh. Indeks massa tubuh dapat
dihitung dengan rumus :
IMT = BB(kg)/TB (m2)
Klasifikasi IMT*
- BB kurang < 18,5
- BB normal 18,5-22,9
- BB lebih > 23,0
 Faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :
- Jenis kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil dari pada pria. Kebutuhan kalori wanita
sebesar 25 kal/kgBB dan untuk pria sebesar 30 kal/kgBB
- Umur
Untuk pasien diatas usia 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5 %, untuk usia 40-59
tahun, dikurangi 10 % untuk usia 60-69 tahun dan dikurangi 20 % jika usia diatas 70
tahun.
- Aktivitas fisik atau pekerjaan
Penambahan sejumlah 10 % dari kebutuhan basal diberikan pada keaadaan istirahat,
20 % pada pasien dengan aktivitas ringan, 30 dengan aktivitas sedang, dan 50 %
aktivitas sangat berat.
- Berat badan
Bila kegemukan diberikan 20-30 % tergantung kepada tingkat kegemukan
Bila kurus ditambahkan sekita 20-30 % sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan
BB
Untuk tujuan menurunkan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling sedikit
1000-1200 kkal untuk wanita dan 1200-1600 kkal perhari untuk pria.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3 porsi

3. Olahraga
Dianjurkan untuk melakukan latihan jasmani teratur, 3- 4 kali per minggu selama 30
menit yang sesuai dengan prinsip CRIPE. Perlu diingat bahwa jangan memulai olehraga sebelum
makan, menggunakan sepatu yang ukurannya sesuai, harus didampingi orang yang tahu
mengatasi hipoglikemia, harus selalu membawa permen dan memeriksa kaki secara cermat
setelah olahraga.
C (Continous) : Latihan berkesinambungan dan dilakukan terus menerus tanpa berhenti
R (Ritmik) : Olahraga berirama yaitu kontraksi dan relaksasi otot secara teratur, seperti
berjalan kaki, berenang, berlari dan bersepeda, atau mendayung.
I (Interval) : Latihan dilakukan selang seling antara gerak cepat dan lambat.
P (Progreif) : Latihan secara bertahap sesuai kemampuan dari intensitas ringan sampai
sedang hingga mencapai 30-60 menit.
E (Endurance) : Latih daya tahan untuk mrningkatkan pernafasan dan jantung seperti jalan ,
jogging, berenang dan bersepeda.
Apabila dalam waktu 1-3 bulan tidak tercapai sasaran pengobatan yang baik dengan diet
dan olahraga maka diberikan medikasi (PERKENI, 2011 ; Yunir & Soebardi, 2009).

4. Medikasi
a. Obat Hipoglikemia Oral (OHO)
Golongan Nama Obat Mekanisme Pemberian Keterangan
Sulfonilurea Glibenklamid, Membantu Segera Hipoglikemi
glimepirid pankreas untuk sebelum penurunan
meningkatkan makan gula yang
produksi insulin drastis
Biguanid Metformin Mengurangi Bersama/ Mual atauu
resistensi sesudah nafsu
insulin dengan makan makan
cara berkurang
meningkatkan
uptake glukosa
otot dan
jaringan lemak,
menurunkan
glukoneogenesi
s hepat, serta
meningkatkan
sekresi insulin
pankreas.
Tiazoldindiom Pioglitazon, Mengurangi
Rosiglitazon resistensi
insulin dengan
cara
meningkatkan
uptake glukosa
otot dan
jaringan lemak,
menurunkan
glukoneogenesi
s hepat, serta
meningkatkan
sekresi insulin
pankreas.
Inhibitor Acarbose Obat bekerja Bersama Sering
Glukosidase memperlambat suapan buang angin
Alfa pencernaan pertama
makanan
menjadi glukosa
Inhibitor DPP Sitagliptin Obat
Vidagliptin merangsang
insulin dan
menekan
glukagon

Cara pemberian obat berbeda-beda karena :


i. Obat yang diminum sebelum makan berfungsi agar obat memiliki waktu untuk diserap
untuk merangsang produksi insulin. Dengan demikian jika terjadi kenaikan gula beberapa
waktu sesudah makan, insulin telah siap untuk menurunkan gula tersebut.
ii. Obat yang diminum setelah makan adalah obat yang dapat merangsang lambung apabila
diminum dalam perut kosong dapat menyebabkan rasa mual.
iii. Tidak tergantung makanan, biasanya berlaku untuk obat yang tidak merangsang
pengeluaran insulin, tetapi untuk perbaikan resistensi insulin, sehingga obat bisa bekerja
kapan saja dan tidak hanya untuk menurunkan gula sesudah makan.
iv. Segera setelah suapan pertama, maksudnya agar obat bekerja pada waktu makanan
sedang dicerna, yaitu dengan menghambat satu enzim pencernaan yang penting.

b. Insulin ([ CITATION PER06 \l 18441 ]


Insulin diberikan sebagai obat DM tipe 1. Dan digunakan pada DM tipe 2 pada kondisi
khusus, yaitu :
i. Bila bermacam jenis OHO telah digunakan sampai dosis maksimum, tetapi gula darah
tidak terkendali, obat diganti insulin.
ii. Insulin biasanya diberikan sebagai obat pertama pada diabetisi yang pada waktu datang
berobat, berat badannya telah turun drastis dalam waKtu singkat dengan gula darah yang
tinggi.
iii. Insulin biasanya juga diberikan pada seseorang diabetisi yang menderita infeksi hebat
atau menjalani operasi besar.
iv. Pada komplikasi seperti gagal ginjal, gagal hati, dan gagal jantung yang berat.

Suntikan 1x/hari Suntikan 2x/hari Suntikan 3x/hari


Insulin long acting Insulin campuran dari insulin Insulin kerja cepat
kerja pendek dan kerja (disuntikkan ½ jam sebelum
sedang (premixed) (Mixtard, makan) (Actrapid, humulin
novomix, humalog mix) R)
Insulin intermediate acting. Insulin kerja supercepat (fast
Dapat juga 2 kali per hari. acting)disuntikkan segera
(contoh : Insulatard, humulin sebelum makan. (Humalog,
N) novorapid)
Insulin basal, insulin yang
bekerja terus menerus selama
24 jan dan kadarnya tetap
sepanjang hari (Lantus,
levemir)
Penentuan dosis insulin : 0,5 unit x BB. 60 % insulin prandial (Rapid Insulin), 40% insulin basal
(humulin N).

3.1.8. Komplikasi
Komplikasi diabetes terdiri dari komplikasi akut dan komplikasi kronik. Komplikasi akut
adalah : KAD (Ketoasidosis Diabetikum), Koma Hiperosmolar Hiperglikemia Non Ketotik, dan
Koma Hipoglikemia[ CITATION PER11 \l 18441 ]. Dan komplikasi kronik dibagi menjadi
makroangiopati, mikroangiopati, neuropati dan gastropati diabetika. Makroangiopati pada
pembuluh darah jantung dapat menyebabkan infark miokard, pada pembuluh darah otak dapat
menyebabkan stroke. Mikroangiopati dapat menyebabkan retinopati diabetika dan nefropati
diabetika. Neuropati diabetika dan gastropati diabetika [ CITATION Was09 \l 18441 ].

3.2. Nefropati Diabetik


3.2.1 Definisi
Definisi klasik dari nefropati diabetik adalah peningkatan progresif eksresi albumin di
dalam urin disertai dengan peningkatan tekanan darah, yang mengarah pada penurunan filtrasi
glomerulus dan akhirnya menjadi gagal ginjal [ CITATION Obi09 \l 18441 ].

3.2.2. Faktor Risiko


Secara ringkas, faktor-faktor terjadinya penyakit nefropati diabetik adalah sebagai berikut
:
1. Kurang terkendalinya kadar gula darah (GDP > 140-160 mg/dl [7,7-8,8 mmol/l); A1C>7-8
%)
2. Faktor genetis
3. Kelainan hemodinamik (peningkatan aliran darah ginjal dan GFR, peningkatan tekanan
intraglomerulus)
4. Hipertensi sistemik
5. Sindroma metabolik
6. Peradangan
7. Perubahan permeabilitas pembuluh darah
8. Asupan protein berlebih
9. Gangguan metabolik (gangguan metabolisme polyiol, pembentukan AGEs, peningkatan
sitokin [ CITATION Hen09 \l 18441 ].

3.2.3. Patogenesis
Saat ini hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari mekanisme patogenik dari
kerusakan ginjal. Saat nefron mengalami pengurangan yang berkelanjutan, filtrasi dari nefron
yang sehat akan meningkat sebagai kompensasi. Hiperfiltrasi dari nefron yang sehat tersebut
lambat laun akan menyebabkan sklerosis.
Mekanisme dari peningkatan laju filtrasi glomerulus ini masih belum jelas benar, tapi
mungkin disebabkan oleh dilatasi arteriol afere oleh efek yang tergantung glukosa, yang
diperantarai oleh hormon vasoaktif, IGF-1, nitrit oxide, prostaglandin dan glukagon. Efek
langsung dari hiperglikemia adalah ransangan hipertrofi sel, sintesis matriks ekstraseluler, serta
TGF β yang diperantarai oleh protein kinase-C (PKC) yang termasuk serine-threonin kinase yang
memiliki fungsi pada vaskular seperti kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel dan
permeabilitas kapiler. Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik
asam amino dan protein. Padanawalnya, glukosa akan mengikat residu amino secara non-
enzimatik menjadi basa schiff glikasi, lalu terjadi penyusunan ulang untuk mencapai bentuk yang
lebih stabil tetapi masih reversibel dan disebut sebagai produk amadori, jika proses ini berlanjut
terus akan terbentuk Adcanced Glycation End-Products (AGEs) yang ireversibel. AGEs
diperkirakan menjadi perantara bagi beberapa kegiatan seluler seperti ekspresi adhesion
molecules yang berperan dalam penarikan sel-sel mononuklear, juga pada terjadinya hipertrofi
sel, sintesa matriks ekstraseluler serta inhibisi sintesis nitrit oxide. Proses ini akan terus berlanjut
sampai terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan nodul serta fibrosis tubulointerstisialis
sesuai denga tahap dari mogensen. Hipertensi yang timbul bersama dengan bertambahnya
kerusakan ginjal, juga akan mendorong sklerosis pada ginjal pasien diabetes. Penelitian pada
hewan diabetes menunjukkan adanya vasokonstriksi arteriol sebagai akibat kelainan sistem
renin-angiotensin. Diperkirakan bahwa hipertensi pada diabetes terutama disebabkan oleh
spasme arteriol eferen intrarenal atau intraglomerulus [ CITATION Hen09 \l 18441 ].

3.2.4. Diagnosis Nefropati diabetik


Diagnosis nefropati diabetik dimulai dari dikenalinyabi;a didapatkan kadar albumin ≥ 30
mg dalam urin 24 jam pada 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6 bulan, tanpa
penyebab albuminuria lainnya. Bila jumlah protein/albumin didalam urin masih sangat rendah
sehingga sulit dideteksi dengan metode pemeriksaan urin yang biasa, akan tetapi sudah > 30
mg/24 jam ataupun >20 mikrogram/menit, disebut juga sebagai mikroalbuminuria. Derajat
albuminuria/proteinuria juga ditentukan dengan rasionya terhadap kreatinin urin yang diambil
sewaktu yang dikenal dengan albumin/kreatinin tario (ACR). Tingginya eksresi albumin/protein
dalam urin selanjutnya akan menjadi petunjuk tingkatan kerusakan ginjal seperti terlihat dalam
tabel

Kategori Kumpulan urin Kumpulan urin Urin sewaktu


24 jam (mg/24 sewaktu (µg/mg creat)
jam) (µg/min)
Normal <30 <20 <30
Mikroalbuminuria 30-299 20-199 30-299
Albuminuria klinis ≥300 ≥200 ≥300
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan 2-3 spesimen urin dalam 3-6 bulan. Hati-hati terhadap
proteinuria yang timbul pada latihan fisik dalam 24 jam jam terakhir, infeksi, demam, payah
jantung, hiperglikemia berat, tekanan darah yang sangat tinggi,piuria dan hematuria [ CITATION
Lub09 \l 18441 ].

3.2.5. Metode Pemeriksaan


1. Rasio albumin/kreatinin dengan urin sewaktu
2. Kadar albumin dallam urin 24 jam
3. Micral test untuk mikroalbuminuria
4. Disptik/reagen tablet untuk makroalbuminuria
5. Urin dalam waktu tertentu (4 jam atau urin semalam) [ CITATION PER11 \l 18441 ].
3.2.6. klasifikasi
Klasifikasi nefropati diabetik menurut Mogensen (IPD)
Tahap 1 : terjadi hipertrofi dan hiperfiltrasi pada saat diagnosis ditegakkan. Laju filtrasi
glomerulus dan ekskresi albumin dalam urin meningkat.
Tahap 2 : secara klinis belum tampak kelainan yang berarti, laju filtrasi glomerulus tetap
meningkat, eksresi albumin dalam urin dan tekanan darah normal. Terdapat
perubahan histologis awal berupa penebalan membran basalis yang tidak spesifik.
Terdapat pula penebalan volume mesangium fraksional (peningkatan matriks
mesangium)
Tahap 3 : pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria atau nefropati insipien. Laju filtrasi
glomerulus meningkat atau dapat menurun sampai derajat normal. Laju eksresi
albumin dalam urin adalah 20-200 ig/menit (30-300 mg/24jam). Tekanan darah
mulai meningkat. Secara histologis, didapatkan peningkatan ketebalan membrana
basalis dan volume mesangium fraksional dalam glomerulus.
Tahap 4 : merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut. Perubahan histologis lebih jelas,
juga timbul hipertensi pada sebagian besar pasien. sindroma nefrotik sering
ditemukan pada tahap ini. Laju filtrasi glomerulus menurun, sekitar 10
ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini berhubungan dengan tingginya
tekanan darah.
Tahap 5. : Timbulnya gagal ginjal terminal [ CITATION Hen09 \l 18441 ].

3.2.7. Pencegahan dan Pengelolaan nefropati diabetik


tanda klinik bagi setiap tahap terutama adalah hiperglikemia, hipertensi dan selalu
dijumpai hiperlipidemia. Keseluruhan tanda klinik ini merupakan faktor risiko untuk
progresivitas ke tahap berikutnya sampai ke tahap akhir. Faktor lainnya adalah konsumsi rokok.
Dengan demikian terapi pada tiap tahap adalah sama yaitu memperlambat progresivitas ke tahap
berikutnya. Terapi dasar adalah kendali kendali kadar gula darah, kendali tekanan darah dan
kendali lemak darah.
1. Evaluasi
Pada saat diagnosa diabetes melitus ditegakkan, kemungkinan adanya penurunan fungsi
ginjal juga harus diperiksa, demikian pula saat pasien sudah menjalani pengobatan rutin.
Pemantauan yang dianjurkan oleh American Diabetes Association (ADA) adalah
pemeriksaan terhadap adanya mikroalbuminuria serta penentuan kreatinin serum dan
klirens kreatinin.

Pemantauan Fungsi Ginjal Pada Pasien Diabetes


Tes Evaluasi Awal Follow Up
Penentuan Sesudah pengendalian gula darah Diabtes tipe 1 : tiap 5
mikroalbuminuria awal (dalam 3 bulan diagnosis tahun
ditegakkan Diabetes tipe 2 : tiap
tahun setelah diagnosis
ditegakkan
Klirens kreatinin Saat awal diagnosis ditegakkan Tiap 1-2 tahun sampai
laju filtrasi glomerulus
<100ml/men/1,73 m2,
kemudian tiap tahun
atau lebih sering
Kreatinin serum Saat awal diagnosis ditegakkan Tiap tahun atau lebih
sering tergantung dari
laju penurunan fungsi
ginjal

Untuk mempermudah evaluasi, NKF menganjurkan perhitungan laju filtrasi


glomerus dengan menggunakan rumus dari Cockroft-Gault yaitu :

(140−umur ) x berat badan


Klirens kreatinin ¿ x (0,85untuk wanita)
72 x kreatinin serum
*Glomerular Filtration Rate / laju filtrasi glomerulus (GFR) dalam ml/menit/1,73 m2

Sebagian besar kasus proteinuria yang timbul pada pasien diabetes adalah diabetik
nefropati. Tetapi harus tetap disadari bahwa ada kasus-kasus tertentu yang memerlukan
evaluasi lebih lanjut, terutama jika ada gambaran klinis dan hasil pemeriksaan
laboratorium yang mengarah kepada penyakit-penyakit glomerulus nondiabetik
(hematuria makroskopik, cast sel darah merah dll), atau kalau timbul azotermia bermakna
dengan proteinuria derajat sangat rendah, tidak ditemukannya retinopati (terutama DM
tipe I), atau pada kasus proteinuria yang timbul mendadak serta tidak melalui tahapan
perkembangan nefropati. Pada kasus-kasus seperti ini, dianjurkan pemeriksaan melalui
biopsi ginjal [ CITATION Hen09 \l 18441 ] .

Proteinuria pada
diabetik

Singkirkan ISK
Sedimen urin: Cast Eritrosit, leukosit
Hitung Proteinuria kualitatif
USG Ginjal
Jika diduga glomerulonefritis, serologi ANCA, antibodi DNA, C3,C4

Nefropati diabetik yang khas Tidak “khas”


Proteinuria yang tidak khas
DM tipe 1 > 10 tahun Azotemia dengna proteinuria <
DM tipe 1 < 10 tahun
Retinopati 1g/hari
Tak ada retinopati
Mikrobalbuminuria sebelumnya Nekrosis papiler (piuria,
Proteinuria (nefroptik) tanpa
(+) hematuria)
melalui mikroalbuminuria dulu
Tak ada hematuria makroskopik Tuberkulosis (piuria, hematuria)
Hematuria makroskopik
Tidak ada eritrosit Penyakit renovaskuler (penyait
Cast eritrosit
USG normal vaskuler obstruksi lain)

Tak perlu biopsi ginjal Biopsi ginjal Tak perlu biopsi ginjal

2. Terapi
Pada prinsipnya, pendekatan utama tatalaksana nefropati diabetik adalah melalui :
- Pengendalian gula darah
Pengendalian yang baik dapat mencegah komplikasi kronik. Diperlukan pengendalian
DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila
kadar glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan sera kadar lipid dan A1C juga
mencapai kadar yang diharapkan. Dengan demikian pula status dizi dan tekanan
darah. Kriteria keberhasilan pengendalian DM dapat dilihat pada tabel (Perkeni,
2011).

Keterangan diatas adalah hasil pemeriksaan plasma vena. Perlu konversi nilai kadar
glukosa darah dari darah kapiler darah utuh ke plasma vena.
Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran kendali kadar gula
darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125 mg/dL, dan sesudah makan 145-180
mg/dL). Demikian pula kadar lipid, tekanan darah dan lain-lain, mengacu pada batasan
kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus pasien usia
lanjut dan juga untuk mencegah kemungkinan timbulnya efek samping hipoglikemia dan
interaksi obat (PERKENI, 2011 ; Hendromartono, 2009)
- Pengendalian tekanan darah
Indikasi pengobatan tekanan darah bila Tekanan Darah (TD) sistolik > 130 mmHg
dan/atau TD diastolik > 80 mmHg. Sasaran tekanan darah < 130/80 mmHg namun
pada nefropati diabetik dimana terjadi proteinuria ≥ 1 gram / 24 jam yaitu < 123/75
mmHg. Pengelolaan tekanan darah meliputi menurunkan berat badan menjadi berat
badan ideal, meningkatkan aktivitas fisik, menghentikan merokok, alkohol serta
mengurangi konsumsi garam.
beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat memberikan terapi farmakologis
adalah :
 Pengaruh OAH terhadap profil lipid
 Pengaruh OAH terhadap metabolisme glukosa
 Pengaruh OAH terhadap resistensi insulin
 Pengaruh OAH terhadap hipoglikemia terselubung
OAH yang dapat digunakan pada DM adalah :
 Penghambat ACE (ACEi)
 Penyekat receptor angiotensin II (ARB)
 Penyekat reseptor beta selektif, dosis rendah
 Diuretik dosis rendah
 Penghambat reseptor alfa
 Antagonis kalsium (CA)
 Pada pasien dengan tekanan darah sistolik antara 130-139 mmHg atau
tekanan diastoli antara 80-89 diharuskan melakukan perubahan gaya hidup
sampai 3 bulan. Bila ggal mencapai target dapat ditambahkan terap
farmakologis
 Pasien dengan tekanan darah sistolok >140 mmHg atau tekanan diastolik >90
mHg, dapat diberikan terapi farmakologis langsung.
 Diberikan terapi kombinasi apabila target terapi tidak dapat dicapai dengan
monoterapi.
Catatan :
 Pada Nefropati diabetik obat yang digunakan adalah ARB dan ACEi
 ACEi, ARB, CA golongan non-dihidropiridin dapat memperbaiki
mikroalbuminuria
 ACEi dapat memperbaiki kinerja kardiovaskular
 Diuretik HCR dosis rendah jangka panjang, tidak terbukti memperburuk
toleransi glukosa.
 Pengobatan hipertensi harus diteruskan walaupun sasaran sudah dicapai
 Bila tekanan darah terkendali, setelah satu tahun dapa dicoba menurunkan dosis
secara bertahap
 Pada orang tua, tekanan darah diturunkan secara bertahap. [ CITATION PER11 \l
18441 ]
- Perbaikan fungsi ginjal
 diet protein 0,8 gram/kgBB perhari. Jika terjadi penurunan fungsi ginjal yang
bertambah berat, diet protein diberikan 0,6-0,8 gram/kg BB per hari.
 Jika kreatinin >2,0 mg/dL sebaiknya ahli nefrologi ikut dilibatkan
 Idealnya bila klirens kreatinin <15 mmL/menit sudah merupakan indikasi terapi
pengganti (dialisis, transplantasi) (PERKENI, 2011 ; Hendromartono, 2009).
3. Rujukan
Rujukan kepada seorang yang ahli dalam perawatan nefropati diabetik jika laju filtrasi
glomerulus mencapai < 60 ml/men/173m 2, atau lebih awal jika pasien berisiko
mengalami penurunan fungsi ginjal yang cepat atau diagnosis dan prognosis pasien
diragukan [ CITATION Hen09 \l 18441 ].

DAFTAR PUSTAKA

1. ADA. (2010). Clinical Practice Recommendations : Report of the Expert Commite on


the Diagnosis and Classifications of Diabetes Mellitus Diabetes Care. New York:
American Diabetic Association.
2. Bakta, I. M. (2009). Pendekatan Terhadap Anemia. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi,
I. Alwi, S. M. K, & S. Setiadi, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (pp. 1109-1115).
Jakarta: EGC.
3. Dahlan, Z. (2009). Pneumonia. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, S. M. K, &
S. Setiadi, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (pp. 2196-2206). Jakarta: EGC.
4. Effendi, I., & Pasaribu, R. (2009). Edema Patofisiologi dan Penanganan. In A. W.
Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, S. M. K, & S. Setiadi, Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam (pp. 946-951). Jakarta: EGC.
5. GAC. (2005). Hypertension: Emergencies and Urgencies. Ontario Guidelines
Advisory Committee. Toronto: Ontario Guidelines Advisory Committee.
6. Harrison. (2000). Dasar-dasar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: EGC.
7. Hendromartono. (2009). Nefropati Diabetik. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi,
S. M. K, & S. Setiadi, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (pp. 1942-1946). Jakarta:
EGC.
8. Lubis, H. R. (2009). Penyakit Ginjal Diabetik. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I.
Alwi, M. S. K., & S. Setiadi, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (pp. 979-982). Jakarta:
EGC.
9. PERKENI. (2006). Petunjuk Praktis Terapi Insulin pada Diabetes Melitus. Jakarta:
PERKENI.
10. PERKENI. (2011). Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2
di Indonesia. Jakarta: PERKENI.
11. Purnamasari, D. (2009). Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. In A. W.
Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, M. S. K., & S. Setiati, Buku Ajar Penyakit Dalam
(pp. 1880-1883). Jakarta: EGC.
12. Waspadji, S. (2009). Komplikas Kronik Diabetes : Mekanisme Terjadinya, Diagnosis
dan Strategi Pengelolaan. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, S. M. K., & S.
Setiati, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (pp. 1922-1929). Jakarta: EGC.
13. Yogiantora, M. (2009). Hipertensi Esensial. In A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi,
S. M. K, & S. Setiadi, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (pp. 1079-1085). Jakarta:
EGC.
14. Yunir, E., & Soebardi, S. (2009). Terapi Non Farmakologis Pada Diabetes Melitus. In
A. W. Sudoyo, B. Setiyohadi, I. Alwi, S. M. K., & S. Setiati, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam (pp. 1891-1895). Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai