Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di seluruh dunia jumlah usia lanjut (lansia) diperkirakan

mencapai angka 500 juta dengan usia rata-rata 60 tahun dan

diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1,2 milyar

(Stanley,2007). Pertambahan jumlah lansia di Indonesia dalam kurun

waktu tahun 1990 sampai 2025, tergolong tercepat didunia. Data

Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa penduduk lansia

pada tahun 2000 berjumlah 14,4 juta jiwa (7,18%). Pada tahun 2010

diperkirakan menjadi 23,9 juta jiwa (9,77%) dan pada tahun 2020

akan berjumlah 28,8 juta jiwa (11,34%) (BPS,2010).

Lansia merupakan bagian dari proses kehidupan yang tidak

dapat dihindari dan akan dialami oleh setiap manusia. Pada tahap ini

manusia mengalami banyak perubahan baik secara fisik maupun

mental, terjadi kemunduran dari berbagai fungsi dan kemampuan

yang pernah dimilikinya. Sebagai dampak keberhasilan

pembangunan kesehatan di Indonesia salah satunya adalah

meningkatnya angka harapan hidup di Indonesia sehingga populasi

lansia juga meningkat. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik tahun

2014, umur Harapan Hidup (UHH) di Indonesia untuk wanita adalah

73 tahun dan untuk pria adalah 69 tahun. Menurut Bureau of the

1
Cencus USA (1993), Indonesia pada tahun 1990-2025 akan

mempunyai kenaikan jumlah lanjut usia sebesar 414%.

Karakter pasien lansia adalah multipatologi, menurunnya daya

cadangan biologis, berubahnya gejala dan tanda dari penyakit klasik,

terganggunya status fungsional pasien lansia, dan sering terdapat

gangguan nutrisi, gizi kurang atau buruk (Soejono,2006). Bentuk

terganggunya kesehatan pada pasien lanjut usia menonjol Pasien

lanjut usia mempunyai ciri-ciri : memiliki beberapa penyakit

kronis/menahun, gejala penyakitnya tidak khas, fungsi organ yang

menurun dan tingkat kemandirian yang berkurang. Pada kelompok

lanjut usia yang menjadi dominasi penyakit adalah golongan peyakit

menular, penyakit degenerative dan kronis (Riskesdas, 2013).

(Gambar 1. Penyakit terbanyak lansia)

2
Wilayah kerja puskesmas Mandala terdiri dari enam desa,

yaitu Bojong Leles, Kadu Agung Barat, Kadu Agung Timur, Mekar

Agung, Kadu Agung Tengah, Tambak Baya. Dari jumlah pasien

lanjut usia seluruh wilayah didapatkan sekitar 1.710 pasien usia

lanjut dengan kriteria usia > 60 tahun. Pada data lansia Puskesmas

Mandala tahun 2018 masih cukup banyaknya permasalahan pada

lansia seperti penyakit kronis contoh penyakit hipertensi dengan

beberapa pasien lanjut usia dengan gangguan system organ

diantaranya pendengaran dan penglihatan, gangguan kognitif dan

gangguan mental emosional.

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran kesehatan

lanjut usia dari keseluruhan desa wilayah kerja Puskesmas Mandala

khususnya di Desa Kadu Agung Tengah.

1.2 Rumusan Masalah

Banyaknya masalah kesehatan pada usia lanjut peneliti

tertarik untuk mengetahui masalah kesehatan lansia yang terjadi di

wilayah kerja Puskesmas Mandala.

1.3 Tujuan Penelitian

a. Tujuan Umum

Mengetahui gambaran masalah kesehatan pada pasien usia

lanjut di wilayah kerja Puskesmas Mandala.

3
b. Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran angka kejadian penyakit kronis yang

terjadi pada pasien lanjut usia wilayah kerja Puskesmas

Mandala Desa Kadu Agung Timur

2. Mengetahui gambaran angka kejadian gangguan system

organ yang terjadi pada pasien lanjut usia wilayah kerja

Puskesmas Mandala Desa Kadu Agung Timur

3. Mengetahui gambaran angka kejadian penurunan status

kognitif yang terjadi pada pasien lanjut usia wilayah kerja

Puskesmas Mandala Desa Kadu Agung Timur

4. Mengetahui gambaran angka kejadian gangguan mental

emosional yang terjadi pada pasien lanjut usia wilayah kerja

Puskesmas Mandala Desa Kadu Agung Timur

5. Mengetahui gambaran kemandirian fisik pada pasien lanjut

usia wilayah kerja Puskesmas Mandala Desa Kadu Agung

Timur

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat membantu pengembangan

penelitian mengenai gambaran kesehatan pada pasien usia lanjut di

wilayah kerja Puskesmas Mandala Desa Kadu Agung Timur. Hasil ini

diharapkan dapat memberikan masukan informasi untuk puskesmas

4
Mandala dalam skrining dini pasien usia lanjut dalam berbagai aspek

sehingga bisa ditindak lanjuti.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lansia

Lansia diukur menurut usia kronologi, fisiologis (biologi) dan

kematangan mental, ketiganya seringkali tak berjalan secara sejajar

seperti yang diharapkan. Dalam geriatri (ilmu kesehatan usia lanjut)

yang dianggap penting adalah usia biologis seseorang bukan usia

kronologisnya. (Darmojo,RB, 2006)

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa usia

lanjut meliputi: usia pertengahan (middle age) yaitu kelompok usia

45-59 tahun, lanjut usia (elderly) yaitu kelompok usia 60-74 tahun,

lanjut usia tua (old) yaitu kelompok usia 75-90 tahun, usia sangat tua

(very old) yaitu kelompok usia di atas 90 tahun.

Departemen kesehatan membagi lansia menjadi 3 kelompok

berdasarkan usianya yaitu pra lansia adalah kelompok usia 45-59

tahun, lansia adalah kelompok usia 60 tahun atau lebih, dan lansia

beresiko tinggi adalah kelompok usia 70 tahun atau lebih, atau usia

60-69 tahun namun bermasalah (misalnya depresi, pikun, delerium,

hipertensi). (Depkes 2004)

Undang No. 13 tahun 1998 dinyatakan bahwa usia 60 tahun

keatas adalah yang paling layak disebut lansia. Usia biologis adalah

6
usia yang sebenarnya. Di mana biasanya diterapkan kondisi

pematangan jaringan sebagai indeks usia biologis.

2.2 Lansia Sehat

Lansia adalah seseorang yang secara alami telah menurun

fungsi tubuhnya seiring dengan bertambahnya usia, penurunan ini

bermacam-macam tingkatnya walaupun demikian lansia yang sudah

turun fungsi sistemnya masih dikatakan sehat bila tidak disertai

keadaan patologi. (WHO.1998)

Menurut Hall (1986) lansia sehat sangat dipengaruhi pada

lingkaran kehidupan dan keluarganya, terdapat 2 (dua) lingkaran

kehidupan negatif dan lingkaran kehidupan positif. Pada lingkaran

kehidupan negatif lansia merasakan kapasitas fisik, mental atau

sosial menurun, lalu oleh keluarga/masyarakat dicap sebagai orang

yang tak mampu atau sudah tidak efisien sehingga lansia tersebut

menjadi sakit dan akhirnya mengakui dirinya sakit dan catat.

Sedangkan teori lingkaran positif, lansia tersebut ada pada

keberadaan yang nyaman, ia menjalankan pemeriksaan medik dan

mendapatkan diagnosa dan pengobatan yang tepat ia juga

mendapatkan masukan sosial medik seperti dukungan, makanan,

perumahan dan pengangkutan, dengan ini semua lansia tersebut

memiliki kemampuan emosi dan dukungan emosiona, dirinya

mengikuti peran lanjut usia untuk mempertahankan sosialnya

misalnya sebagai relawan.

7
Menurut Depkes 2004, usia lanjut sehat jiwa mempunyai ciri ciri

antara lain:

a. Mampu mengambil keputusan dan mengatur kehidupannya

sendiri

b. Memiliki tingkat kepuasan hidup yang relatif tinggi karena merasa

hidupnya bermakna

c. Mampu menerima kegagalan yang dialaminya sebagai bagian

dari hidupnya yang tidak perlu disesali dan mengandung hikmah

yang berguna bagi hidupnya.

d. Memiliki integritas pribadi yang baik berupa konsep diri yang

mantap dan terdorong untuk terus memanfaatkan potensi yang

dimilikinya.

e. Mampu mempertahankan dukungan sosial yang bermakna, yaitu

berada diantara orang-orang yang menyayangi dan

memperhatikan mereka.

f. Merasa dirinya masih diperlukan dan dicintai.

g. Mempunyai kebiasaan dan gaya hidup yang sehat.

h. Memiliki keamanan finansial yang memungkinkan hidup mandiri

tidak menjadi beban orang lain.

i. Dapat memperjuangkan nasibnya sendiri, tidak bergantung

kepada orang lain.

8
2.3 Konsep Menua

Proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara

perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan

mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan

terhadap infeksi serta memperbaiki kerusakan yang diderita. Seiring

dengan proses tersebut tubuh mengalami masalah kesehatan yang

biasa disebut penyakit degeneratif (Maryam, 2008)

Terdapat dua jenis penuaan antara lain, penuaan primer,

merupakan proses kemunduran tubuh gradual tak terhindarkan yang

dimulai pada masa awal kehidupan dan terus berlangsung selama

bertahun-tahun, terlepas dari apa yang orang-orang lakukan untuk

menundanya. Sedangkan penuaan sekunder merupakan hasil

penyakit, kesalahan dan penyalahgunaan faktor-faktor yang

sebenarnya dapat dihindari dan berada dalam kontrol seseorang

(Papalia,2008)

Banyak perubahan yang dikaitkan dengan proses menua

merupakan akibat dari kehilangan yang secara bertahap. Lansia

mengalami perubahan-perubahan fisik diantaranya perubahan sel,

sistem persarafan, sistem pendengaran, sistem penglihatan, sistem

kardiovaskuler, sistem pengaturan suhu tubuh, sistem respirasi,

sistem gastrointestinal, sistem genitourinari, sistem endokrin, sistem

muskuloskeletal, disertai juga dengan perubahan-perubahan mental

menyangkut perubahan ingatan (memori).(Watson,2003)

9
2.4 Kognitif Pada Lansia

Kognitif merupakan suatu proses pikir yang membuat

seseorang menjadi waspada terhadap objek pikiran atau persepsi,

mencakup semua aspek pengamatan, pemikiran dan ingatan

(Dorland,2002). Kognitif adalah suatu konsep yang kompleks yang

melibatkan sekurang-kurangnya aspek memori, perhatian, fungsi

eksekutif, persepsi, bahasa, dan fungsi psikomotor (Nehlig,2010).

Perubahan kognitif yang terjadi pada lansia, meliputi

berkurangnya kemampuan meningkatkan fungsi intelektual,

berkurangnya efisiensi transmisi saraf di otak (menyebabkan proses

informasi melambat dan banyak informasi hilang selama transmisi),

berkurangnya kemampuan mengakumulasi informasi baru dan

mengambil informasi dari memori, serta kemampuan mengingat

kejadian masa lalu lebih baik dibandingkan kemampuan mengingat

kejadian yang baru saja terjadi.

Fungsi kognitif seseorang meliputi berbagai fungsi berikut, antara

lain:

a. Orientasi

Orientasi dinilai dengan pengacuan terhadap personal,

tempat dan waktu. Orientasi terhadap personal (Kemampuan

menyebutkan namanya sendiri ketika ditanya) menunjukkan

informasi yang “overlearned” Kegagalan dalam menyebutkan

10
namanya sendiri sering mereflesikan negatifism, distraksi,

gangguan pendengaran atau penerimaan bahasa.

Orientasi tempat dinilai dengan menanyakan negara,

provinsi, kota, gedung, dan lokasi dalam gedung. Sedangkan

orientasi waktu dinilai dengan menanyakan tahun, musim, bulan,

hari dan tanggal. Karena perubahan waktu lebih sering daripada

tempat, maka waktu dijadikan indeks yang paling sensitif untuk

disorientasi.

b. Bahasa

Fungsi bahasa merupakan kemampuan yang meliputi 4

parameter, yaitu kelancaran, pemahaman, pengulangan dan

penamaan.

1) Kelancaran

Kelancaran merujuk pada kemampuan untuk

menghasilkan kalimat dengan panjang, ritme dan melodi yang

normal. Suatu metode yang dapat membantu menilai

kelancaran pasien adalah dengan meminta pasien menulis

atau membaca spontan.

2) Pemahaman

Pemahaman merujuk pada kemampuan memahami

sesuatu perkataan atau perintah, dibuktikan dengan

mampunya seseorang melakukan perintah tersebut.

11
3) Pengulangan

Kemampuan seseorang untuk mengulangi suatu

pernyataan atau kalimat yang diucapkan seseorang.

4) Penamaan

Penamaan merujuk pada kemampuan seseorang untuk

menamai suatu objek beserta bagian-bagiannya.

c. Atensi

Atensi merujuk pada kemampuan seseorang untuk

merespon stimulus spesifik dengan mengabaikan stimulus yang

lain di luar lingkungannya.

1) Mengingat segera

Aspek ini merujuk pada kemampuan seseorang untuk

mengingat sejumlah kecil informasi selama <30 detik dan

mampu untuk mengeluarkanya kembali.

2) Konsentrasi

Aspek ini merujuk pada sejauh mana kemampuan

seseorang untuk memusatkan perhatiannya pada satu hal.

Fungsi ini dapat dinilai dengan meminta seseorang tersebut

untuk mengurangkan 7 secara berturut-turut dimulai dari

angka 100 atau dengan memintanya mengeja kata secara

terbalik.

12
d. Memori

Memori verbal yaitu kemampuan seseorang untuk

mengingat kembali informasi yang diperolehnya.

1) Memori baru

Kemampuan seseorang untuk mengingat kembali

informasi yang diperolehnya pada beberapa menit atau hari

yang lalu.

2) Memori lama

Kemampuan untk mengingat informasi yang

diperolehnya pada beberapa minggu atau bertahun-tahun

yang lalu.

3) Memori visual

Kemampuan seseorang untuk mengingat kembali

informasi berupa gambar.

e. Fungsi konstruksi, mengacu pada kemampuan seseorang untuk

membangun dengan sempurna. Fungsi ini dapat dinilai dengan

meminta orang tersebut untuk menyalin gambar, memanipulasi

balok atau membangun kembali suatu bangunan balok yang telah

dirusak sebelumnya.

f. Kalkulasi, yaitu kemampuan seseorang untuk menghitung angka.

g. Penalaran, yaitu kemampuan seseorang untuk membedakan baik

buruknya suatu hal, serta berpikir abstrak

13
2.5. Gangguan Fungsi Kognitif

Peningkatan jumlah lansia harus diimbangi dengan kesiapan

keluarga dan tenaga kesehatan dalam memandirikan dan

meminimalisir bantuan ADL (Activity Daily Living) makan, minum,

mandi, berpakaian dan menaruh barang pada lansia, karena pada

lansia terjadi penurunan atau perubahan antara lain perubahan

fisiologis yang menyangkut masalah sistem muskuloskeletal, saraf,

kardiovaskuler,respirasi, indra, dan integumen, hal ini yang

menghambat keaktifan dan keefektifan lansia dalam pemenuhan

kebutuhan sehari-hari secara mandiri. Sebenarnya tidak ada batas

yang tegas, pada usia berapa penampilan seseorang mulai

menurun.Pada setiap orang, fungsi fisiologis alat tubuhnya sangat

berbeda-beda baik dalam hal pencapaian puncak maupun

penurunannya.(Departemen Kesehatan Republik Indonesia,2008)

Perawat atau keluarga sangat berperan penting dalam

membantu lansia yang mengalami penurunan pada aspek kognitif,

yaitu dengan menumbuhkan dan membina hubungan saling percaya,

saling besosialisasi, dan selalu mengadakan kegiatan yang bersifat

kelompok, selain itu mempertahankan fungsi kognitif lansia upaya

yang dapat dilakukan adalah dengan cara menggunakan otak secara

terus menerus dan diistirahatkan dengan tidur, kegiatan seperti

membaca, mendengarkan berita dan cerita melalui media sebaiknya

dijadikan sebuah kebiasaan hal ini bertujuan agar otak tidak

14
beristirahat secara terus menerus (Departemen Kesehatan Republik

Indonesia,2008).

2.6 Pengukuran Gangguan Kognitif

2.6.1. AMT (Abbreviated Mental Test)

AMT diperkenalkan oleh Hodkinson pada tahun 1972

digunakan sebagai penilaian kualitas mental seseorang

secara cepat pada pasien lansia.Pada lansia terdapat

adanya penurunan kualitas mental, kualitas mental itu

sendiri termasuk dalam fungsi kognitif pada lansia yang

biasanya menurun di usia senja, contoh penyakit demensia,

depresi dan lain-lain. AMT ini biasa digunakan di fasilitas

layanan kesehatan pertama seperti Puskesmas dan untuk

skrining awal pada populasi masyarakat (Hodkinson HM,

1972).

AMT memiliki 10 poin pertanyaan : berapakah umur

anda, jam berapa sekarang, di mana alamat rumah anda,

tahun berapa sekarang, menanyakan lokasi pasien saat ini

dan menjelaskan kondisinys (saat ini kita sedang berada di

mana), mampukah pasien mengenali dua orang (dokter dan

perawat), tahun berapa anda lahir, tahun berapa Negara

merdeka (Indonesia), siapa nama presiden Negara ini

15
sekarang (Indonesia, menghitung mundur dari angka 20

sampai 1.

Skor AMT diberikan berdasarkan jumlah item yang

benar, skor yang makin rendah mengindikasikan

perfomance yang buruk dan gangguan kognitif yang

semakin memberat. Skor total berkisar antara 8-

10menunjukan normal, skor 4-7 menunjukan gangguan

ingatan sedang dan skor 0-3 menunjukan gangguan ingatan

berat.

2.6.2 MMSE (Mini Mental State Examination)

MMSE awalnya dirancang sebagai media

pemeriksaan status mental singkat serta terstandarisasi

yang memungkinkan untuk membedakan antara gangguan

organik dan fungsional pada pasien psikiatri. Sejalan dengan

banyaknya pengguna tes ini selama bertahun-tahun,

kegunaaan MMSE berubah menjadi suatu media untuk

mendeteksi dan mengikuti perkembangan gangguan kognitif

yang berkaitan dengan kelainan neuro degeneratif, misalnya

penyakit Alzheimer

MMSE merupakan suatu skala terstruktur yang terdiri

dari 30 paoin dikelompokkan menjadi tujuh kategori:

orientasi terhadap tempat(negara, provinsi, kota, gedung,

dan lantai), orientasi terhadap waktu (tahun, musim, bulan,

16
hari, dan tanggal), registrasi (mengulang dengan cepat 3

kata), atensi dan konsentrasi (secara berurutan mengurangi

7, dimulai dari angka 100,atau mengeja kata WAHYU secara

terbalik), mengingat kembali (mengingat kembali 3 kata yang

telah diulang sebelumnya), bahasa (memberi nama 2 benda,

mengulang kalimat, membaca dengan keras dan memahami

suatu kalimat, menulis kalimat, dan mengikuti perintah 3

langkah), dan konstruksi visual (menyalin gambar)

Skor MMSE diberikan berdasarkan jumlah item yang

benar, skor yang makin rendah mengindikasikan

perfomance yang buruk dan gangguan kognitif yang makin

parah. Skor total berkisar antara 0-30 (performance

sempurna). Skor ambang MMSE yang pertama kali

direkomendasikan adalah 24 atau 25, memiliki sensivitas

dan spesifitas yang baik untuk mendeteksi demensia,

bagaimanapun, beberapa studi sekarang ini menyatakan

bahwa skor ini terlalu rendah. Studi-studi ini menunjukkan

bahwa demensia dapat didiagnosis dengan keakuratan baik

pada beberapa orang dengan skor MMSE antara 24-27.

Pelaksanaan

MMSE dapat dilaksanakan selama kurang lebih 5-10

menit. Tes ini dirancang agar dapat dilaksanakan dengan

mudah oleh semua profesi kesehatan atau tenaga terlatih

17
manapun yang telah menerima instruksi untuk

penggunaannya.

Validitas

Performance pada MMSE menunjukkan kesesuaian

dengan berbagai tes lain yang menilai kecerdasan, memori

dan aspek-aspek lain fungsi kognitif pada berbagai populasi.

Skor MMSE memiliki kesesuaian dengan skor pada tes

Clock Drawing pada pasien lansia dan pasien dengan

penyakit Alzheimer, dan juga pada tes seperti Information

Memory Concentration (IMC), tes Composite

neuropsycological and Brief Cognitive Rating Scale (BCRS).

Skor pada MMSE pertama kali diajukan sebagai

ambang skor yang mengindikasikan disfungsi kognitif.

Dalam 13 studi berurutan yang menilai keefektifan ambang

skor MMSE <23 untuk mendeteksi demensia, sensivitas

berkisar antara 63%-100% dan spesifitas berkisar antara

52%-99%.

Penggunaan klinis

MMSE merupakan pemeriksaan status mental singkat

dan mudah diaplikasikan yang telah dibuktikan sebagai

instrumen yang dapat dipercaya serta valid untuk

mendeteksi dan mengikuti perkembangan gangguan kognitif

18
yang berkaitan dengan penyakit neurodegeneratif.

Hasilnya,MMSE menjadi suatu metode pemeriksaan status

mental yang digunakan paling banyak didunia. Tes ini

digunakan secara luas pada praktik klinis dan

kecemerlangannya sebagai instrumen skrining kognitif telah

dibuktikan dengan pencantuman bersama dengan Diagnosis

Interview Schedule dalam studi National Institute of Mental

Health ECA dan oleh daftarnya yang menyebutkan MMSE

sebagai penilai fungsi kognitif yang direkomendasikan untuk

kriteria diagnosis penyakit Alzheimer yang dikembangkan

oleh konsorsium National Institute of Neurological and

Communication Disorders and Stroke and the Alzheimer

Disease and Related Disorders Association(McKhann,1984)

Data psikometri luas MMSE menunjukkan bahwa tes

ini memiliki tes retest dan reliabilitas serta validitas sangat

baik berdasarkan diagnosis klinik independen demensia dan

penyakit Alzheimer. Karena performance pada MMSE dapat

dibiaskan oleh pengaruh status pendidikan rendah pada

pasien yang sehat, beberapa pemeriksa merekomendasikan

untuk menggunakan ambang skor berdasarkan umur dan

status pendidikan untuk mendeteksi demensia.

Kelemahan terbesar MMSE yang banyak disebutkan

ialah batasannya atau ketidakmampuannya untuk menilai

19
kemampuan kognitif yang terganggu di awal penyakit

Alzheimer atau gangguan demensia lain (misalnya terbatas

item verbal dan memori dan tidak adanya penyelesaian

masalah atau judgment), MMSE juga relatif tak sensitif

terhadap penurunan kognitif yang sangat ringan (terutama

pada individual dengan status pendidikan tinggi). Walaupun

batasan-batasan ini mengurangi manfaat MMSE, tes ini

tetap menjadi instrumen yang sangat berharga untuk

penilaian fungsi kognitif.

Intepretasi MMSE

Intepretasi MMSE didasarkan pada skor yang

diperoleh pada saat pemeriksaan:

Skor 24-30 diintepretasikan sebagai fungsi kognitif normal.

Skor<24 berarti definite gangguan kognitif

2.7 Gangguan Mental Emosional

Gangguan mental emosional menurut Dictionary reference

dari Universitas Priceton adalah bagian dari gangguan jiwa yang

bukan disebabkan oleh kelainan organic otak dan lebih didominasi

oleh gangguan emosi (disturbace of omotion ). Penelitian yang

dilakukan oleh harison menunjukan bahwa klien yang berkunjung

kerumah sakit umu ada yang mengalami gejala somatisasi,yaitu

berobat dengan gejala keluhan fisik nemun tidak ada penyebab

20
organic. Pengertian ini mengandung arti bahwa gangguan mental

emosional lebih mengarah ke aspek psikologis dari pada aspek

biologis. Richmond (dalam Kaplan,2006), mengmukakan bahwa

gangguan mental emosional merupakan perubahan mood dan efek

yang dihubungkan kepada pikiran-pikiran spesifik atau kondisi fisik

yang sesuai dengan yang seiring dengan mood dan afek. Gangguan

mental emosional merupakan perubahan atau gangguan mood dan

afek yang berpengaruh juga terhadap fisik seseorang karena aspek

biologis (fisik). Psikis (salah satunya emosi) dan sosial. Sehingga

aspek fisik dan mental saling mempengaruhi terhadap gangguan

mental emosional seseorang.

Setiap orang pernah mengalami perubahan dalam hidupnya

dimana perubahan tersebut menuntut seseoran untuk beradaptasi

dalam mengatasinya.perubahan tersebut bias menjadi kondisi yang

mengancam individu (siswoyo,2011). Kaplan dan Saddock (2005)

menjelaskan bahwa apabila individu tidak mampu menemukan

penyelesaian terhadap situasi yang mengancamnya maka individu

tersebut mengalami gangguan mental emosional.

Gangguan mental emosional merupakan suatu keadaan

yang mengindikasikan individu mengalami perubahan emosional

yang dapat berkembang menjadi keadaan patologis apabila berlanjut

(Idaiani,2009). Gejala gangguan mental emosional dapat berupa

21
gejala depresi, gangguan psikosomatik, dan ansietas. Tanda-tanda

gejala depresi, Psikosomatik dan ansietas meliputi :

Menurut ICD – 10 tanda-tanda gejala depresi terdiri dari

- Perasaan depresif

- Hilangnya minat dan semangat

- Mudah lelah dan tenaga hilang

- Konsentrasi menurun

- Harga diri turun

- Perasaan bersalah

- Pesimistis terhadap masa depan

- Gagasan membahayakan diri (self harm) atau bunuh diri

- Gangguan tidur

- Menurunya libido

Gangguan psikosomatis adalah suatu keadaan dimana

seseorang mengalami keluhan gejala fisik yang berulang, yang

disertai permintaan pemeriksaan medis tetapi hasilnya negative dan

sudah dijelaskan oleh dokter bahwa tidak ditemukan kelainan fisik

yang menjadi dasar keluhanya, pasien biasanya menolak adanya

penyebab biologis. Gejala fisik dapat berupa keluhan nyeri lambung,

alergi kulit, gangguan haid, diare, sesak nafas, dan lain-lain.

(Siswoyo,2011)

Ansietas merupakan respon emosi tanpa obyek yang jelas

tetapi penderita merasakan perasaan was-was seakan sesuatu yang

22
buruk akan terjadi yang biasanya disertai gejala otonomik yang

berlansung beberapa bulan bahkan tahunan. Manifestasi secara

psikis adalah : khawatir secara berlebihan, gelisah tidak menentu,

takut berlebihan dan tidak tentram. Manifestasi secara fisik dapat

berupa nafas pendek, nyeri perut, tangan bergetar, diare/konstipasi,

penglihatan kabur, otot terasa tegang (Sumiati,2009).

2.8 Pengukuran Gangguan Mental Emosional

Gangguan mental dapat diukur dengan menggunakan self

reporting Quistionnaire (SRQ) yang digunakan oleh WHO. SRQ pada

awalnya terdiri dari 20 pertanyaan berhubungan dengan gejala

neurosis, 4 pertanyaan berhubungan psikosis dan 1 pertanyaan

berhubungan dengan epilepsi.

SRQ adalah kuisioner yang biasa digunakan untuk skrining

masalah kesehatan jiwa masyarakat yang memiliki jawaban “ya atau

tidak dengan maksud mempermudah masyarakat untuk

menjawabnya.

Pengukuran gangguan mental emosional sendiri

menggunakan SRQ-20 terdiri dari pertanyaan-pertanyaan mengenai

gejala yang lebih mengarah kepada gangguan neurosis. Gejala

depresi terdiri dari butir nomor 6,9,10,14,15,16,17 ; gejala cemas

pada butir nomor 3,4,5; gejala somatik pada butir nomor 1,2,7,19;

gejala kognitif pada butir nomor 8,12,13; gejala penurunan energi

pada butir nomor 8,11,12,13,18,20.

23
Uji validasi terhadap SRQ yaitu pada tahun 1995 yang

dilakukan oleh hartono. Beliau melakukan uji validasi terhadap

penggunaanSRQ dengan cut off point/ nilai batas pisah 6 yang

kemudian digunakan pada Riskesdas 2007. Penggunaan SRQ pada

riskesdas 2007 bertujuan untuk mendapatkan gambaran status

kesehatan mental/gangguan mental emosional yang ada

dimasyarakat. Pertanyaan SRQ diberikan kepada anggota rumah

tangga (ART) yang berusia >15 tahun. Ke 20 pertanyaan tersebut

menjawab “ya atau ‘tidak” dengan cut off point 5/6 artinya jika

responden menjawab >6 jawaban “ya” dari pertanyaan yang diajukan

maka responden tersebut mengalami gangguan mental emosional.

SRQ memiliki keterbatasan karena hanya mengungkap status

emosional sesaat (+ 2 minggu) dan tidak dirancang untuk diagnostik

gangguan jiwa yang spesifik.

Daftar pertanyaan SRQ yang ditanyakan ke responden yaitu :

1. Apakah anda sering menderita sakit kepala ?

2. Apakan anda tidak nafsu makan ?

3. Apakah anda sulit tidur ?

4. Apakah anda mudah takut ?

5. Apakah anda merasa tegang, cemas dan kuatir ?

6. Apakah tangan anda gemetar ?

7. Apakah pencernaan anda terganggu/buruk?

8. Apakah anda sulit untuk berpikir jernih ?

24
9. Apakah anda merasa tidak bahagia ?

10. Apakah anda menangis lebih sering ?

11. Apakah anda sulit untuk menikmati kegiatan sehari-hari ?

12. Apakah anda sulit untuk mengambil keputusan ?

13. Apakah pekerjaan anda sehari-hari terganggu ?

14. Apakah anda tidak mampu melakukan hal-hal yang bermanfaat

dalam hidup ?

15. Apakah anda kehilangan minat pada berbagai hal ?

16. Apakah anda merasa tidak beharga ?

17. Apakah anda mempunyai pikiran untuk mengakhiri hidup ?

18. Apakah anda merasa lelah sepanjang waktu ?

19. Apakah anda mengalami rasa tidak enak diperut ?

20. Apakah anda mudah lelah ?

2.9 Menderita Penyakit Kronis

Pengaruh penyakit kronis pada usia lanjut dapat menimbulkan

gangguan mental emosional melalui cara yang tidak langsung yaitu

karena adanya keterbatasan mobilitas, ketergantungan orang lain,

dan nyeri terus menerus atau ketidaknyamanan. Pengalaman klinis

menyebutkan bahwa bukan keparahan penyakit atau ancaman

kematian yang mengganggu kesehatan mental usia lanjut tetapi

adanya berbagai kehilangan akibat penyakit tersebut yang

mempunyai hubungan erat dengan gangguan mental emosional.

25
Menurut Koenig (2003) yang menjelaskan bahwa salah satu

faktor resiko terjadinya gangguan mental adalah penyakit fisik

(kronik), hal ini juga sesuai model medis menurut Meyer et.all yang

dijelaskan bahwa perubahan prilaku dalam gangguan mental

emosional sisebabkan oleh penyakit biologis perilaku yang

menyimpang berhubungan dengan toleransi responden terhadap

stress.

Penyakit krinik adalah penyakit tidak menular dan menular

yang diderita langsung lama, beberapa penyakit tidak menular yang

beresiko menyebabkan gangguan mental adalah Hipertensi,

gangguan sendi, dan DM.

Hipertensi adalah tekanan darah tinggi yang bersifat abnormal

yang diukur paling tidak pada kesempatan yang berbeda. Namun

secara umum seseorang dianggap hipertensi apabila tekanan

darahnya lebih tinggi dari pada sistolik 140mmhg dan diastolik

90mmhg. Hipertensi pada usia lanjut lebih besar dari pada kelompok

lain.

Diabetes militus termasuk gangguan metabolik (metabolik

syndrome) dari distribusi gula oleh tubuh. Penderita DM tidak mampu

memproduksi hormon insulin dalam jumlah yang cukup, atau tubuh

tidak dapat menggunakan nya secara efektif sehingga terjadi

kelebihan gula didalam tubuh.

26
Menurut American Diabetes Association / WHO DM

diklasifikasikan 3 macam :

a. DM Tipe 1

Disebabkan karena sel beta pankreas akibat reaksi

autoimun. Pada tipe ini hormon insulin tidak dproduksi kerusakan

sel beta terjadi saat anak-anak maupun dewasa. Penderita harus

mendapatkan suntikan insulin setiap hari selama hidupnya

sehingga dikenal dengan istilah Insulin Dependen Diabetes

Militus (IDDM.).

b. DM Tipe 2

Disebabkan oleh resistensi hormon insulin karena jumlah

terlalu banyak reseptor insulin pada permukaan sel kurang,

meskipun jumlah insulin tidak berkurang hal ini menyebabkan

glukosa tidak masuk kedalam insulin, walaupun telah ersedia.

Dm tipe 2 terjadi biasanya pada mereka yang berusia diatas 40

tahun meskipun saat ini prevalensinya pada remaja dan anak-

anak semakin tinggi.

c. DM Tipe 3

Disebabkan kelainan genetik spesifik, penyakit pankreas,

gangguan endokrin lain, efek obat-obatan, bahkan kimia, infeksi

virus dan lain-lain.

Patofisiologis diabetes milituspada lansia sampai saat ini

belum jelas atau dapat dikatakan belum seluruhnya diketahui.

27
Selain faktor intrinsik, ekstrinsik seperti menurunnya ukuran

massa tubuh dan naiknya lemak tubuh mengakibatkan timbulnya

penurunan aksi insulin pada jaringan sasaran sehingga akan

berdampak jugabpada sistem neuro hormonal.

Berdasarkan penelitian berdasarkan Roserhemiati (2008)

penderita penyakit DM 2,295 kali lebih banyak mengalami

gangguan mental emosiaonal dibanding yang tidak mengalami

penyakit kronis DM.

Wanita dengan diabetes lebih mengalami depresi

dibandingkan dengan laki-laki. Ketika seorang diagnosa diabetes

seorang tersebut akan sok sehingga perasaan seperti

penyangkalan, rasa bersalah, kesedihan dan kecemasan bahkan

untuk beberapa orang yang tidak menerima akan timbul depresi

atau gangguan kecemasan.

Gangguan sendi adalah penyakir radang kronis yang

menyerang persendian dan mengganggu fungsi persendian.

Diagnosa sakit persendian ditegakkan berdasarkan kumpulan

gejala-gelaja sebagai berikut :

1) Sakit nyeri, kaku-kaku atau pembengkakaan yang timbul

sekitar persendian lengan, tangan, tungkai dan kaki serta

berlangsung selama sebulan lebih

2) Kaku-kaku persendian ketika bangun tidur atau setelah

duduk lama

28
3) Kaku-kaku berlangsung lebih dari 30 menit

4) Kaku-kaku tidak hilang jika sendi digerakan

Gangguan sendi pada lansian menurut Susenas 2004

prepalen sakit persendian pada perempuan lebih tinggi daripada

laki-laki. Dua pertiga orang dengan gangguan sendi arthritis

mengatakan bahwa kondisi mereka telah mempengaruhi secara

emosional. Banyak orang dengan radang sendi takut oleh

dampak arthritis pada kehidupan mereka sehari-hari dan

kehidupan masa depan. Orang dengan nyeri persisten lebih

mungkin akan mengalami kehidupan mereka sehari-hari dan

kehidupan masa depan. Memiliki arthritis dapat berakibat pada

hilangnya kemerdekaan, harga diri, kemampuan untuk bekerja

dan melanjutkan kegiatan sosial atau rekreasi.

2.10 Kemandirian Fisik

Kemandirian pada usia lanjut dinilai pada kemampuannya

untuk melakukan kemampuannya sehari-hari (Aktivities off daily live

= ADL) apakah mereka tanpa bantuan dapat bangun, mandi dan lain

sebagainya. Sehingga jika terdapat faktor kehilangan fisik yang

mengakibatkan hilangnya kemandirian akhirnya akan meningkatkan

kerentanan terhadap depresi (Soejono, CH, 2006)

29
BAB III

KERANGKA KONSEP &METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

1.Tekanan Darah

2. Pemeriksaan Gula
Darah

3. Pemeriksaan
Kolesterol
Gambaran
4. Fungsi Penglihatan
permasalahan
5. Fungsi Pendengaran kesehatan lanjut
usia (> 60 tahun)
6. Gangguan kognitif

7. Gangguan
kemandirian

8. Gangguan Mental
Emosional

3.2 Metodologi Penelitian

3.2.1 Sasaran Penelitian

Sasaran penelitian ini adalah lansia usia lebih dari 60

tahun di Poli Klinik Umum Puskesmas Mandala dan Desa

30
Kadu Agung Timur dengan melakukan pengumpulan data

kuesioner.

3.2.2 Lokasi dan waktu penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Kadu Agung

Timur dan di Poli Klinik Umum Puskesmas Mandala. Waktu

penelitian dilakukan dengan rentang waktu bulan Mei hingga

Agustus.

3.2.3 Desain penelitian

Penelitian ini adalah penelitian survei dengan

pendekatan cross sectional, dimana kegiatan pengumpulan

data dilakukan dari responden pada satu waktu, dengan jenis

penelitian bersifat deskriptif dan analitik.

3.2.4 Populasi dan sampel penelitian

Populasi penelitian

Semua pasien lansia berusia >60 tahun di wilayah kerja

Puskesmas Mandala.

Sampel penelitian

Seluruh pasien usia lanjut > 60 tahun di Desa Kadu

Agung Timur dan datang ke Poli Klinik Umum Puskesmas

Mandala.

Cara Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan kriteria inklusi

31
Kriteria inklusi:

1. Merupakan pasien usia lanjut yang berumur >60 tahun di

wilayah kerja Desa Kadu Agung Timur Puskesmas

Mandala.

2. Bersedia mengikuti penelitian mengisi kuesioner.

3.2.5 Definisi Operasional

Definisi Skala
Variable Cara Ukur Alat ukur Hasil Ukur
Operasional Ukur

Pemeriksaan
untuk
mengetahui
Terbagi dalam 3
angka tekanan
kategori
darah dilakukan Menuliskan
oleh tenaga 1. Hiperten
hasil
kesehatan si >
Tekanan tekanan
Kuesioner
Darah darah dan 140/90
Menjawab
riwayat mmHg
pertanyaan
hipertensi 2. Normal
tentang riwayat
<130/80
penyakit dahulu
mmHg
dan keluarga
tentang
hipertensi

Pemeriksaan
untuk
mengetahui Dikatakan
pasien Diabetes
Menuliskan
Gula Darah menderita Kuesioner Mellitus jika
hasil GDS
penyakit DM, GDS >200
dilakukan oleh mg/dL
tenaga
kesehatan

Pemeriksaan Dikatakan
untuk dislipidemi atau
Menuliskan
mengetahui hiperkolesterol
Kolesterol hasil Kuesioner
pasien jika angka
kolesterol
menderita kolesterol >200
dislipidemi mg/dL

Fungsi Identifikasi Wawancara Kuisioner 1. Perubah


Penglihatan gangguan + input data an
fungsi pengliha

32
tan
2. Pakai
kacamat
penglihatan
a

1. Penurun
an
Identifikasi Penden
Fungsi
gangguan Wawancara garan
Pendengara Kuesioner
fungsi + input data 2. Tinitus
n
pendengaran 3. Alat
Bantu
Dengar

Suatu keadan
yang
mengindikasik Terdapat 3
kriteria
an individu gangguan
yang usianya > ingatan
60 tahun
1. 8-10
memiliki normal
gangguan 2. 4-7
Gangguan Wawancara
ingatan, Kuesioner ganggu
Kognitif + input data
dengan 10 an
ingatan
pertanyaan sedang
dengan 3. 0-3
jawaban ganggu
an
“salah” dan ingatan
“benar” . Nilai berat
salah =0 dan
nilai benar=1
Kemandirian Kemampuan Wawancara Kuesioner Terdapat 5
Fisik + input data kriteria penilaian
responden
:
untuk
melakukan 1. 20 :
aktifitas hidup Mandiri
2. 12-19 :
sehari-hari keterga
berdasarkan ntungan
indeks Barthel. ringan
3. 9-11 :
Terdiri dari 10 keterga
pertanyaan ntungan
dengan sedang
masing-masing 4. 5-8 :
keterga
poin ntungan

33
pertanyaan
memiliki skor
rentang berat
0,1,2,3 lalu 5. 0-4 :
keterga
dijumlahkan ntungan
sehingga total total
skor tertinggi
adalah 20
Gangguan Suatu keadan Wawancara Kuesioner Jika jumlah skor
Mental + input data diantara 5-9
yang
Emosional menunjukkan
mengindikasik kemungkinan
an individu gangguan
yang berumur depresi
> 60 tahun Jika jumlah skor
mengalami 10 atau lebih
perubahan menunjukkan
pasti gangguan
emosional depresi.
yang dapat
berkembang
menjadi
keadaan
patologis
apabila terus
berlanjut.
(Idaiani 2009).
Menggunakan
instrument
geriatric
depression
scale (GDS)
dengan 15
pertanyaan
tidak ada
jawaban benar
salah, tetapi
“ya” atau
“tidak”pada
poin-poin
tertentu
memiliki skor
1.

34
Dilakukan oleh
petugas
kesehatan

3.2.6 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian berupa kuesioner data diri

responden dan kuesioner yang mengacu pada kuesioner GDS

(Geriatric Depression Scale), AMT (Abbreviated Mental Test)

dan ADL (Activity of Daily Living). Instrumen ini tidak dilakukan

uji validitas dan reliabilitas karena telah banyak digunakan

untuk meneliti tentang fungsi kognitif lansia, gangguan mental

emosional serta kemandirian fisik.

3.2.7 Teknik Pengumpulan Data

Data diperoleh dari pengisian kuesioner yang telah

disiapkan oleh peneliti dengan menggunakan teknik

wawancara.

3.2.8 Pengolahan dan Analisis data

Pengolahan Data(editing)

Meneliti kembali apakah lembar kuesioner sudah cukup

baik sehingga dapat di proses lebih lanjut. Editing dapat

dilakukan di tempat pengumpulan data sehingga jika terjadi

kesalahan maka upaya perbaikan dapat segera dilaksanakan.

Pengkodean (Coding)

35
Usaha mengklarifikasi jawaban-jawaban yang ada

menurut macamnya, menjadi bentuk yang lebih ringkas

dengan menggunakan kode.

Pemasukan Data (Entry)

Memasukan data ke dalam perangkat komputer

sesuai dengan kriteria.

Tehnik Analisis Data

Pada penelitian ini digunakan analisa univariat yaitu

analisa yang dilakukan terhadap variabel dari hasil penelitian

dalam analisa ini menghasilkandistribusi dan persentase dari

variabel yang diteliti.

36
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL PENELITIAN

Pengambilan data dilakukan pada tanggal 10 September 2019

di Puskesmas Mandala dengan menggunakan instrument penelitian

berupa kuesioner. Jumlah keseluruhan Lansia di Desa Kadu Agung

Timur adalah 369 orang, sementara jumlah responden yang

berpartisipasi dalam penelitian ini dan memiliki data lengkap adalah

35 responden, hal ini dikarenakan banyaknya responden yang tidak

hadir di pusbindu. Data yang terkumpul berupa data demografi.

4.1.1 Data Demografi

perhitungan data demografi digunakan untuk melihat

frekuensi/proporsi dan persentasi berdasarkan karakteristik

responden yaitu : hipertensi, dislipidemi, DM, gangguan fungsi

pendengaran, gangguan fungsi penglihatan, gangguan

kemandirian dan gangguan mental.

4.1.2 Hipertensi

Data hipertensi responden dianalisis dengan

menggunakan uji deskriptif statistic untuk melihat sebaran dan

proporsinya.

37
4.1. distribusi persebaran lansia dengan gangguan hipertensi
di Desa Kadu Agung Timur (n=35)

No Jenis kelamin Jumlah Presentasi


1. Laki-laki 16 45,71%
2. Perempuan 16 45,71%
Tota 32 91,42%
l

Berdasarkan table diatas terlihat bahwa dari 35 lansia

penderita Hipertensi perempuan sebanyak 16 orang (45,71%)

sedangkan yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 16 orang

(45,71%).

4.1.3 Diabetes Militus


Data Diabetes Militus responden dianalisis dengan
menggunakan uji deskriptif statistic untuk melihat sebaran dan
proporsinya.
4.2 distribusi persebaran lansia dengan gangguan diabetes
melitus di Desa Kadu Agung Timur (n=35)

No Jenis kelamin Jumlah Presentasi


1. Laki-laki 4 11,42%
2. Perempuan 2 5,71%
Tota 6 17,12%
l

Berdasarkan table 4.2 terlihat bahwa dari 35 lansia penderita

Diabetes Militus sebagian besar laki laki sebanyak 4 orang

(11,42%) sedangkan yang berjenis kelamin perempuan

sebesar 2 orang ( 5,7%).

4.1.4. Dislipidemi

38
Data Dislipidemi responden dianalisis dengan menggunakan
uji deskriptif statistic untuk melihat sebaran dan proporsinya.

4.3 distribusi persebaran lansia dengan dislipidemi di Desa


Kadu Agung Timur (n=35)

No Jenis kelamin Jumlah Presentasi


1. Laki-laki 2 5,71%
2. Perempuan 1 2,85%
Tota 3 8,56%
l

Berdasarkan table 4.3 terlihat bahwa dari 35 lansia

penderita Dislipidemi adalah perempuan sebanyak 1 orang

(2,85%), sedangkan yang berjenis kelamin laki-laki sebesar

2 orang (5,71%).

4.1.5. Gangguan Fungsi Penglihatan

Data gangguan fungsi penglihatan responden dianalisis


dengan menggunakan uji deskriptif statistic untuk melihat
sebaran dan proporsinya.
4.4 distribusi persebaran lansia dengan gangguan fungsi
penglihatan di Desa Kadu Agung Timur (n=35)

No Jenis kelamin Jumlah Presentasi


1. Laki-laki 10 28,57%
2. Perempuan 14 40%
Tota 24 68,57%
l

Berdasarkan table 4.4 terlihat bahwa dari 35 lansia penderita

gangguan fungsi penglihatan sebagian besar perempuan

39
sebanyak 14 orang (40%) . sedangkan yang berjenis kelamin

laki-laki sebesar 10 orang ( 28,57%).

4.1.6. Gangguan Fungsi Pendengaran

Data Gangguan Fungsi Pendengaran responden dianalisis


dengan menggunakan uji deskriptif statistic untuk melihat
sebaran dan proporsinya.
4.5 distribusi persebaran lansia dengan gangguan fungsi
pendengaran di Desa Kadu Agung Timur (n=35)

No Jenis kelamin Jumlah Presentasi


1. Laki-laki 0 0%
2. Perempuan 4 11,42%
Tota 4 11,42%
l

Berdasarkan table 4.5 terlihat bahwa dari 35 lansia

penderita gangguan semuanya adalah perempuan yaitu

sebesar 4 orang (11,42%)

4.1.7. Gangguan Kognitif

Data gangguan kognitif responden dianalisis dengan


menggunakan uji deskriptif statistic untuk melihat sebaran
dan proporsinya.
4.6 distribusi persebaran lansia dengan gangguan kognitif di
Desa Kadu Agung Timur (n=35)

No Jenis kelamin Jumlah Presentasi


1. Laki-laki 0 0%
2. Perempuan 4 11,42%
Tota 4 11,42%
l

40
Berdasarkan table 4.6 terlihat bahwa dari 35 lansia yang

menderita gangguan kognitif adalah 4 orang perempuan

(11,42%)

4.1.8. Gangguan Kemandirian Fisik

Data gangguan kemandirian fisik responden dianalisis


dengan menggunakan uji deskriptif statistic untuk melihat
sebaran dan proporsinya.
4.7 distribusi persebaran lansia dengan gangguan
kemandirian Fisik di Desa Kadu Agung Timur (n=35)

No Jenis kelamin Jumlah Presentasi


1. Laki-laki 0 0%
2. Perempuan 0 0%
Tota 0 0%
l

Berdasarkan table 4.7 terlihat bahwa dari 35 lansia tidak ada

yang menderita gangguan kemandirian atau dengan kata

lain memiliki 100% hidup mandiri.

4.1.9. Gangguan Mental Emosional

Data gangguan kemandirian fisik responden dianalisis


dengan menggunakan uji deskriptif statistic untuk melihat
sebaran dan proporsinya.
4.8 distribusi persebaran lansia dengan gangguan mental
emosional di Desa Kadu Agung Timur (n=35)

No Jenis kelamin Jumlah Presentasi


1. Laki-laki 0 0%
2. Perempuan 3 8,57%

41
Tota 3 8,57%
l

Berdasarkan table 4.8 terlihat bahwa dari 35 lansia yang

menderita gangguan mental adalah 3 orang perempuan

(8,57)

4.2 PEMBAHASAN

Pembahasan berisi tentang interpretasi hasil penelitian dan

keterbatasan penelitian. Interpretasi hasil akan membahas tentang

hasil penelitian. Sedangkan keterbatasan penelitian ditinjau dari

segi kelemahan penelitian.

4.2.1. Interpretasi Hasil Penelitian

Tingkat kesehatan setiap lansia dapat dikategorikan

kedalam dua kategori yaitu penyakit kronis dan gangguan

kesehatan lainnya. Berikut adalah Gambaran kesehatan

lansia yang mengalami penyakit kronis dan ganngguan

kesehatan lainnya.

4.2.2 Distribusi Lansia yang mengalami penyakit kronis di

wilayah kerja Puskesmas Mandala Desa Kadu Agung

Timur

Penyakit kronis pada lansia meliputi berbagai

penyakit diantaranya adalah hipertensi, dislipidemi, dan

Diabetes Mellitus.(DM). Jumlah lansia di Desa Kadu

42
Agung Timur sebanyak 152 orang dengan jumlah 35

orang yang telah dilakukan penelitian.Dari hasil

penelitian di Desa Kadu Agung Timur terdapat sebanyak

32 orang (91,42%) menderita hipertensi, 3 orang (8,56%)

menderita dislipidemi dan 6 orang (17,12%) menderita

DM.

4.2.3 Distribusi Lansia yang mengalami gangguan


kesehatan lainnya di wilayah kerja Puskesmas
Mandala Desa Kadu Agung Timur
Gangguan kesehatan pada lansia disebabkan

oleh berbagai faktor antara lain gangguan fungsi

penglihatan, gangguan fungsi pendengaran, gangguan

kognitif, dan gangguan kemandirian.Dari hasil penelitian

kepada lansia di Puskesmas Mandala untuk jumlah

lansia di Desa Kadu Agung Timur sebanyak 152 orang

dengan jumlah 35 orang yang telah dilakukan penelitian

24 orang (68,56%) menderita gangguan fungsi

penglihatan, 4 orang (11,42%) menderita gangguan

fungsi pendengaran, 4 orang (11,42%) menderita

gangguan kognitif dan tidak ada yang menderita

gangguan kemandirian

4.2.3 Keterbatasan

43
Peneliti menyadaari sepenuhnya bahwa masih banyak

kekuarangan dalam penelitian ini hal ini disebabkan oleh

adanya keterbatasan:

a. Desain penelitian hanya bersifat deskriptif sederhana

sehingga hanya bisa menggamabarkan dan belum

diketahui makna untuk hasil yang lebih luas lagi

b. Jumlah responden yang sedikit dikarenakan hanya

beberapa orang saja yang menghadiri posbindu pada

saat kegiatan berlangsung.

c. Penjaringan pasien yang belum berkesinambungan

diseluruh wilayah Desa Kadu Agung Timur

d. Kurangnya kerjasama Lintas Program dalam pendataan

pasien

e. Belum berjalan maksimal program untuk Lansia

Menurut peneliti hal-hal yang dapat dilakukan untuk

menyelesaikan keterbatasan tersebut adalah:

a. Melakukan penjaringan pasien secara rinci di seluruh

wilayah kerja Desa Kadu Agung Timur

b. Melakukan kerjasama program dalam pendataan pasien

c. Pembentukan club-club prolansia disertai dengan

kegiatan untuk kesehatan lansia

44
BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Penelitian ini merupakan penelitian sederhana. Pupulasi

dalam penelitian ini berjumlah 152 orang dengan usia >60 tahun.

Berdasarkan hasil penelitian lansia banyak mengalami gangguan

kesehatan, permasalahan kesehatan yang sering dialami oleh lansia

adalah Sekitar 91,42 % hipertensi, 17,12% Diabetes Melitus, 8,56%

Deslipidemi, 11,42% fungsi pendengaran, 68,56% fungsi

penglihatan, 11,42% gangguan kognitif, 0% gangguan kemandirian

dan 0% gangguan mental.

Gambaran permasalahan kesehatan Lansia

45
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30% Column2
20%
10%
0%
i i s tif l
ns em tu ni an an ria
n ta
r te d eli g hat gar di en
pe pi sM Ko li n an M
Hi isli te G ng de G.
D e P e n em
ab G Pe G
K
Di G

5.2 Saran

Sebaiknya bagi peneliti selanjutnya dapat mengetahui lebih

dalam tentang gambaran lansia dan penyakit yang dideritanya.

Peneliti berikutnya diharapkan dapat memperbanyak responden atau

memperluas area penelitian sehingga dapat dilakukan regenerasi

populasi yang lebih luas.

46
47
48

Anda mungkin juga menyukai