DEMAM TIFOID
Disusun Oleh :
Pembimbing :
Pendamping :
2023
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus yang berjudul
“Demam Tifoid”. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad
SAW. yang telah membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke alam yang
penuh dengan ilmu pengetahuan.
Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam menjalani
program internsip di Rumah Sakit Pertamedika Ummi Rosnati kota Banda Aceh.
Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada pembimbing
saya dr. Nurjannah, Sp.A (K) dan pendamping saya dr. M. Syariful Hamdi yang
telah bersedia meluangkan waktu membimbing penulis dalam penulisan laporan
kasus ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para sahabat dan
rekan-rekan yang telah memberikan dorongan moral dan materil sehingga tugas
ini dapat selesai.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat menjadi
sumbangan pemikiran dan memberikan manfaat bagi semua pihak khususnya
bidang kedokteran dan berguna bagi para pembaca dalam mempelajari dan
mengembangkan ilmu. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kita semua, Amin.
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang..................................................................... 1
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Pembahasan........................................................................... 28
BAB V KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan............................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 30
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
2.1.1 Definisi
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat
pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu,
gangguan saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Demam tifoid
merupakan penyakit demam sistemik akut dan menyeluruh yang disebabkan
oleh Salmonella enterica subspesies dari enterica serotipe Typhi. Demam
tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting terutama di negara
berkembang termasuk Indonesia. Gejala klinis penyakit ini bervariasi, dari
sakit ringan dengan demam yang tidak tinggi, badan terasa tidak enak dan
batuk kering hingga gejala klinis yang berat dengan rasa tidak nyaman
(nyeri) pada bagian abdomen dan berbagai komplikasi lainnya. (Kemenkes,
2006; Nelwan, 2012, Widoyono, 2011)
Bakteri dari genus Salmonella sudah menjadi salah satu patogen yang
sering menyebabkan penyakit gastrointestinal akut. Meskipun Salmonella
typhi hanya bisa hidup pada manusia, yang berarti tidak memiliki vektor
lain, bakteri ini dapat menyebabkan penyakit demam tifoid yang mudah
menular dan menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.
Oleh karena itu, demam tifoid termasuk salah satu penyakit menular yang
tercantum dalam Undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang wabah.
(Kemenkes, 2006; Nelwan, 2012, Widoyono, 2011)
2.1.2 Epidemiologi
Penyebab pada demam tifoid secara klinis hampir selalu Salmonella
yang beradaptasi pada manusia, sebagian besar dari kasus dapat ditelusuri
pada karier manusia. Penyebab yang terdekat mungkin air ( jalur paling
sering ) atau makanan yang terkontaminasi oleh karier manusia. Karier
menahun umumnya berusia lebih dari 50 tahun, lebih sering pada
perempuan, dan sering menderita batu empedu. S. typhi yang berdiam dalam
empedu bahkan pada bagian dalam empedu, dan secara intermiten akan
3
4
2.1.3 Etiologi
Salmonella, termasuk anggota famili Enterobacteriaciae, merupakan
bakteri gram negatif yang berbentuk basil (batang). Bakteri ini berukuran 2-
3 ± 0,4 - 0,6 μm, bergerak dan merupakan bakteri anaerob fakultatif yang
berarti bakteri ini dapat tumbuh dalam kondisi terdapat dan tidak terdapat
oksigen. Salmonella tidak membentuk spora, tidak memiliki kapsul dan
tidak memfermentasikan laktosa, tetapi bakteri ini memproduksi H2S (yang
dapat digunakan sebagai identifikasi bakteri tersebut di laboratorium).
Salmonella, seperti Enterobacteriaceae lain, memproduksi asam fermentasi
glukosa, mereduksi nitrat dan tidak memproduksi sitokrom oksidase.
(Kemenkes, 2006; Nelwan, 2012, Widoyono, 2011)
5
laboratorium klinis. Antibodi yang terbentuk dan menetap lama dalam darah
dapat memberi petunjuk bahwa individu tersebut merupakan karier atau
pembawa kuman. Selain S. typhi, antigen ini juga terdapat pada S. paratyphi
C dan S. dublin.
Demam tifoid disebabkan penyebaran bakteri Salmonella enterica
serotipe Typhi, atau secara singkat dapat disebut Salmonella typhi. Nama S.
typhi sendiri diperoleh dari bahasa Yunani kuno, typhos, yang berarti asap
atau kabut halus yang dipercaya dapat menyebabkan penyakit dan kegilaan.
Pada stadium lanjut dari demam tifoid, tingkat kesadaran pasien memang
benar akan menjadi berkabut (samar-samar). Salmonella typhi memiliki ciri
khas yang unik. Salah satu yang paling spesifik yakni kapsul polisakarida Vi
yang ada pada 90% S. typhi yang baru saja diisolasikan. Kapsul ini memiliki
agen proteksi untuk melawan sifat bakterisidal dari serum pasien yang
terinfeksi dan menjadi dasar untuk membuat salah satu vaksin yang tersedia
secara komersial. Antigen Vi ini juga terdapat pada bakteri lain tetapi tidak
sama persis secara genetik. Selain itu, bakteri ini memiliki tes serologis
positif untuk antigen lipopolisakarida O9 dan O12, serta antigen protein
flagela Hd. (Kemenkes, 2006; Nelwan, 2012, Widoyono, 2011)
Salmonella typhi termasuk bakteri yang memproduksi endotoksin
yang berarti toksin baru dikeluarkan ketika bakteri ini mati dan dinding
selnya luruh. Suhu optimum yang dibutuhkan S. typhi untuk tumbuh yakni
37°C dengan pH antara 6-8. Bakteri ini dapat dibunuh dengan pemanasan
(suhu 60°C) selama 15-20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan juga
khlorinisasi. S. typhi dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas,
seperti di dalam air, es, sampah, debu dan bakteri ini tidak memiliki
reservoir lain selain manusia. (Kemenkes, 2006; Nelwan, 2012, Widoyono,
2011)
Salmonella typhi meragikan glukosa, manitol dan maltosa dengan
disertai pembentukan asam tetapi tanpa pembentukan gas. Bakteri ini tidak
menghidrolisis urea, tidak membuat indol tetapi reaksi metil merah positif.
Pada agar darah terlihat koloninya besar bergaris tengah 2 sampai 3 mm,
bulat agak cembung, jernih, licin dan tidak menyebabkan hemolisis. Pada
7
2.1.4 Patogenesis
Semua infeksi dari Salmonella dimulai dengan masuknya bakteri
tersebut melalui makanan atau minuman terkontaminasi. Dosis yang dapat
menginfeksi yakni 103-106 colony-forming units. Setelah tertelan, bakteri
harus menembus beberapa mekanisme pertahanan tubuh pejamu sebelum
menimbulkan infeksi. Biasanya Salmonella mati pada lingkungan yang
bersifat asam, oleh karena hal itu terjadi pengurangan dari inokulum yang
banyak setelah bersentuhan dengan isi lambung, oleh karena itu sebagian
dari bakteri dimusnahkan dalam lambung dan sebagian lolos masuk dalam
usus dan selanjutnya berkembang biak. Pengurangan selanjutnya terjadi
pada organ usus halus melalui efek antibakteri langsung dari pertarungan
organisme dengan flora usus normal. Bila respons imunitas humoral mukosa
(IgA) usus kurang baik, maka Salmonella akan menembus sel-sel epitel
(terutama sel-M) dan selanjutnya menuju lamina propria. Di lamina propria,
mikroorganisme ini akan berkembang biak dan juga difagosit oleh sel-sel
fagosit terutama oleh makrofag. Salmonella dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya akan dibawa ke plak Peyeri ileum
distal. Salmonella memiliki fimbrae yang terspesialisasi yang menempel ke
epitelium jaringan limfoid di ileum (plak Peyeri), tempat utama dimana
makrofag lewat dari usus ke sistem limfatik. Bakteri ini kemudian dibawa
menuju ke kelenjar getah bening mesenterika. (Widodo, 2010; Nelwan,
2012; IDI, 2014)
Selanjutnya melalui duktus torasikus, bakteri di dalam makrofag ini
masuk ke sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang
9
lain seperti sakit kepala yang sering dirasakan pada area frontal, nyeri
otot, pegal-pegal, insomnia, anoreksia, mual dan muntah. Pada
minggu berikutnya, intensitas demam semakin tinggi bahkan
terkadang terus-menerus. Bila pasien membaik maka pada minggu
ketiga suhu badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada
akhir minggu. Akan tetapi, demam khas tifoid seperti ini tidak selalu
ada.
2. Gangguan Saluran Pencernaan; pada penderita sering ditemukan bau
mulut yang tidak sedap karena demam yang lama. Bibir kering dan
terkadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan ditutupi oleh
selaput putih. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor tetapi pada
penderita anak jarang ditemukan. Penderita umumnya sering
mengeluh nyeri perut, terutama regio epigastrik, disertai mual dan
muntah. Pada awal sakit sering terjadi meteorismus dan konstipasi.
Pada minggu selanjutnya kadang timbul diare. Beberapa dari pasien
mengalami diare encer yang buruk berwarna hijau kekuningan. Pasien
ini masuk keadaan tifoid yang dikarakteristikkan dengan gangguan
kesadaran.
3. Gangguan Kesadaran; pada umumnya terdapat gangguan kesadaran
yang berupa penurunan kesadaran ringan. Sering didapatkan
kesadaran apatis dengan kesadaran seperti berkabut. Bila klinis berat,
tidak jarang penderita sampai pada kondisi somnolen dan koma atau
dengan gejala-gejala psikosis. Pada penderita dengan tifoid toksik,
gejala delirium lebih menonjol.
4. Hepatosplenomegali; hati dan atau limpa sering ditemukan membesar.
Hati terasa kenyal dan nyeri tekan.
5. Bradikardia Relatif dan Gejala Lainnya; bradikardia relatif tidaklah
sering ditemukan. Gejala lain yang dapat ditemukan pada demam
tifoid adalah rose spot (makula yang berwarna rose) yang biasanya
ditemukan di regio abdomen atas, batuk kering, serta gejala klinis
yang berhubungan dengan komplikasi yang terjadi. Rose spot ini
biasanya muncul pada 30% pasien diakhir minggu pertama dan
12
menghilang tanpa jejak setelah 2-5 hari. Pada anak, rose spot jarang
ditemukan dibandingkan dengan epistaksis.
Demam tifoid akan berkembang menjadi penyakit yang berat
bergantung pada faktor pejamu (imunitas yang menurun
(immunosuppresion), terapi antasida, pernah terpajan sebelumnya dan
vaksinasi), faktor virulensi strain S. typhi dan inokulum, serta pemilihan dari
terapi antibiotik. Penyakit yang berat ini terjadi pada 10-15% pasien dan
biasanya terjadi pada pasien yang telah sakit lebih dari dua minggu. Banyak
komplikasi yang bisa terjadi, tetapi yang paling penting yakni perdarahan
gastrointestinal, perforasi intestinal dan tifoid ensefalopati. Perdarahan
gastrointestinal (10-20%) dan perforasi intestinal (1-3%) sering terjadi
diminggu ketiga atau keempat akibat dari hiperplasia, ulserasi dan nekrosis
dari plak Peyeri ileocecal yang merupakan tempat awal dari infiltrasi
Salmonella. Kedua komplikasi ini mengancam jiwa dan membutuhkan
tindakan yang cepat. Tifoid ensefalopati merupakan sindrom klinis demam
tifoid yang berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut (kesadaran
berkabut, apatis, delirium, somolen, stupor, atau koma) dengan atau tanpa
disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak
masih dalam batas normal. (Widodo, 2010; Nelwan, 2012; Rubenstein,
2006)
Relaps terjadi pada 5-10% pasien, biasanya dua sampai tiga minggu
setelah demam sembuh. Biasanya relaps ini lebih ringan dibandingkan
gejala awalnya dan S. typhi yang diisolasi dari pasien merupakan S. typhi
dengan strain dan kerentanan antibiotik yang sama. Sepuluh persen pasien
demam tifoid yang tidak diobati akan mengeksresikan S. typhi ditinja hingga
3 bulan mendatang dan 1-4% akan menjadi pembawa kronis asimptomatik,
yakni orang yang mengeksresikan S. typhi baik di urin dan di tinja selama
lebih dari 1 tahun. Status tifosa : (Widodo, 2010; Nelwan, 2012;
Rubenstein, 2006)
- Demam lebih dari tujuh hari
- Lidah kotor, ujung dan tepinya kemerahan
- Gangguan kesadaran berupa apati, somnolen, hingga koma.
13
2.1.7 Diagnosa
Salmonella harus dipikirkan sebagai etiologi potensial untuk
gastroenteritis. demam, tanda disentri, defisiensi imun, baru imigrasi dari
daerah endemik, atau kaitan dengan sumber wabah yang umum harus
meningkatkan kecurigaan. Tinja harus selalu dibiak. Bila tidak diperoleh
tinja segar, dapat dibiak apusan rektum, walaupun kemungkinan
menemukan organisme lebih rendah. Kompetisi bakteri dan juga sedikitnya
inokulum mungkin memerlukan pembiakan lebih dari satu spesimen untuk
menemukan Salmonella. Gastroenteritis dengan demam, terutama pada anak
berusia di bawah 2 tahun, biasanya merupakan indikasi melakukan biakan
darah. (Widodo, 2010; Nelwan, 2012; WHO, 2003)
Untuk demam enterik yang dicurigai, rangkaian biakan darah
dilakukan bila biakan pertama negatif karena adanya serangan intermitten
bakteremia rendah – inokulum. Lebih dari 90 % pasien demam tifoid yang
tidak diobati mempunyai biakan darah dan sumsum tulang positif selama
minggu pertama sakit. Hasilnya menurun seiring waktu dengan peningkatan
positif biakan tinja dan urin secara bersamaan. (Widodo, 2010; Nelwan,
2012; WHO, 2003) Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa
demam, gangguan gastroentestinal, dan mungkin disertai perubahan ataupun
gangguan kesadaran, dengan kriteria ini maka klinisi dapat membuat
diagnosis tersangka tifoid. Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi S.
16
BAB III
LAPORAN KASUS
Pasien diantar keluarga ke IGD dengan demam 4 hari sebelum masuk RS.
Panas dirasakan mendadak tinggi yang terus-menerus, siang sama dengan malam,
tidak disertai menggigil, batuk, dan sesak nafas. Pasien menyangkal adanya
bercak, bintik merah serta perdarahan di gusi dan hidung maupun di anggota
tubuh yang lainnya.
Selain itu pasien juga mengeluh sakit di bagian ulu hati, mual, kurang
nafsu makan dan sakit kepala. Keluhan pegal-pegal, sakit pada otot badan dan
23
sendi dirasakan pasien namun tidak begitu hebat. Belum BAB sejak 3 hari yang lalu, BAK
tidak ada keluhan.
3.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya
TD :-
HR : 122x/menit
RR : 20 x/menit
T : 38,40C
BB : 44 Kg
TB :148cm
LK : 54 cm
LILA : 28 cm
SpO2 : 98% tanpa O2
Thoraks Posterior
Inspeksi
Bentuk dan Gerak : Normochest, pergerakan simetris
Tipe pernafasan : Abdominal Thoracal
Retraksi : (-)
26
Perkusi
Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Sonor Sonor
Lap. Paru tengah Sonor Sonor
Lap. Paru bawah Sonor Sonor
Auskultasi
Suara pokok Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru tengah Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru bawah Vesikuler Vesikuler
Suara tambahan Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)
Lap. Paru tengah Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)
Lap. Paru bawah Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)
Jantung
Auskultasi : BJ I > BJ II, reguler, bising (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Kesan simetris, distensi (-)
Palpasi : Soepel (+), nyeri tekan (-) epigastrium, organomegali (-)
Perkusi : Tympani (-), asites (-)
Auskultasi : Peristaltik usus kesan normal
Ekstremitas : Akral Hangat, CRT < 2 Detik
Ekstremitas Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Sianotik - - - -
Edema - - - -
Ikterik - - - -
Gerakan Aktif Aktif Aktif Aktif
Tonus otot N N N N
Sensibilitas N N N N
27
Hasil laboratorium
PARAMETER 11/11 12 13/11 14/11 15/11 REFERENCE
/1 RANGE
1
HEMOGLOBIN 12,7 1314,0 13,8 12,9 14,0-17,0 gr/dL
HEMATOKRIT 36 39 40 39 32 45-55%
ERITROSIT 4,46 4,97 4,9 4,2 4,7-6,1x106/mm3
TROMBOSIT 82 43 28 15 67 150-450x103/mm3
HITUNG JENIS
- E 1 0 1 1 3 %
- B 0 0 0 1 3 %
- NB 3 1 0 0 0 %
- NS 77 49 28 25 28 %
- L 13 41 65 61 52 %
- M 6 9 6 12 14 %
ELEKTROLIT
- NA 138 Mmol/L
- K 3,6 Mmol/L
- CL 97 Mmol/L
- CA Mmol/L
3.5. Tatalaksana
3.6. Prognosis
28
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Pembahasan
29
kurang tepat. Bila hasil reaktif (positif) maka kemungkinan besar bukan
disebabkan oleh penyakit saat itu tetapi dari kontrak sebelumnya.
Demam thypoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai
saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari satu minggu, gangguan
pencernaan dan juga gangguan kesadaran. Pasien diberikan terapi antibiotik
ceftriaksone dan beberapa terapi lain sebagai terapi simptomatik tambahan.
Ceftriaksone sendiri merupakan antibiotik cefalosporin generasi ketiga yang
memiliki spektrum luas terhadap bakteri gram positif dan gram negatif.
Kemudian pada pasien diberikan terapi simptomatik lainnya seperti injeksi
penurunan panas, pelindung lambung. Pemberian terapi pasien sudah sangat
sesuai dengan teori yang ada.
30
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
31
Butler T., 2011, Treatment of Typhoid Fever in the 21st Century: Promises and
Shortcoming. Department of Microbiology and Immunology, 17 (7),
959963.
Charles F. L, Lora L. A and Morton P. G., 2008, Drug Information Handbook,
17th ed, USA: Lexi Comp.
Ikatan Dokter Indonesia. 2014. Panduan Praktik Klinik bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta. Indonesia. Di akses pada halaman
Web
https://drive.google.com/file/d/1gHw6WumPBlII46rq0VsQJX9LM9IPKt73/
view
Isselbacher, Kurt, 2010. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi 13.
Volume 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Pengendalian Demam
Tifoid. www.pdpersi.co.id/peraturan/kepmenkes/kmk3642006.pdf
Musnelina, L., Afdhal F., Gani A., Andayani P. 2002. Pola Pemberiam
Antibiotika Pengobatan Demam Tifoid Anak di Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta tahun 2001-2002. Makara Kesehatan, VOL. 8, NO. 1, JUNI 2004:
27-31
Nelwan R.H.H., 2012, Tata Laksana Terkini Demam Tifoid, Continuing Medical
Education, CDK-192/Vol. 39, no 4, halaman 248-249.
Paul U. K., Bandyopadyay A. 2017. Typhoid fever: a review. International
Journal of Advances in Medicine 2017 April; 4(2):300-306.
Rubenstein, David, 2006. Kedokteran Klinis. Edisi keenam. Erlangga : Jakarta
WHO, 2003. Background document : The diagnosis, treatment and prevention of
typhoid fever. World Health Organization. Volume 3.7.
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis. Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan
Pemberantasannya. Edisi kedua. Erlangga : Jakarta
Widodo, Djoko. 2010. Demam Tifoid. Dalam Buku: W, Aru., Sudoyo.,
Setiyohadi, Bambang., Alwi, Idrus., Simadibrata, M. dan Setiati, Siti. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing, Jakarta: 2797-2805
32