Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS INTERNSHIP

DEMAM TIFOID

Disusun Oleh :

dr. Abdul Hakim

Pembimbing :

dr. Nurjannah, Sp.A (K)

Pendamping :

dr. M. Syariful Hamdi

RUMAH SAKIT PERTAMEDIKA UMMI ROSNATI

KOTA BANDA ACEH

2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus yang berjudul
“Demam Tifoid”. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad
SAW. yang telah membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke alam yang
penuh dengan ilmu pengetahuan.
Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam menjalani
program internsip di Rumah Sakit Pertamedika Ummi Rosnati kota Banda Aceh.
Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada pembimbing
saya dr. Nurjannah, Sp.A (K) dan pendamping saya dr. M. Syariful Hamdi yang
telah bersedia meluangkan waktu membimbing penulis dalam penulisan laporan
kasus ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para sahabat dan
rekan-rekan yang telah memberikan dorongan moral dan materil sehingga tugas
ini dapat selesai.
Akhir kata penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat menjadi
sumbangan pemikiran dan memberikan manfaat bagi semua pihak khususnya
bidang kedokteran dan berguna bagi para pembaca dalam mempelajari dan
mengembangkan ilmu. Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kita semua, Amin.

Banda Aceh, 2 Januari 2023

dr. Abdul Hakim

ii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang..................................................................... 1

BAB III TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Demam Tifoid...................................................................... 3
2.2.1. Definisi..................................................................... 3
2.2.2. Epidemiologi............................................................ 3
2.2.3. Etiologi..................................................................... 4
2.2.4. Patogenesis............................................................... 8
2.2.5. Manifestasi Klinis..................................................... 10
2.2.6. Pemeriksaan Penunjang............................................ 13
2.2.7. Diagnosa................................................................... 15
2.2.8. Pencegahan dan Tatalaksana.................................... 17
2.2.9. Komplikasi dan Prognosis........................................ 20

BAB III LAPORAN KASUS


3.1. Identitas Pasien..................................................................... 21
3.2. Anemnesis............................................................................ 21
3.2.1. Keluhan Utama......................................................... 21
3.2.2. Keluhan Tambahan.................................................. 21
3.2.3. Riwayat Penyakit Sekarang...................................... 21
3.2.4. Riwayat Penyakit Dahulu......................................... 21
3.2.5. Riwayat Penyakit Keluarga...................................... 21
3.2.6. Riwayat Penggunaan Obat....................................... 22
3.3. Vital Sign dan Pemeriksaan Fisik........................................ 22
3.3.1. Vital Sign.................................................................. 22
3.3.2. Pemeriksaan Fisik.................................................... 22
3.4. Diagnosis Kerja.................................................................... 25
3.5. Penatalaksanaan.................................................................... 26
3.6. Prognosis.............................................................................. 26
3.7. Follow Up............................................................................. 26

BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Pembahasan........................................................................... 28

BAB V KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan............................................................................ 29

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 30

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Demam tifoid adalah penyakit infeksi sistemik bersifat akut dan


disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam tifoid ditandai dengan panas
berkepanjangan yang diikuti bakteremia dan juga invasi bakteri Salmonella
typhi sekaligus multiplikasi dalam sel fagosit mononuclear dari hati, limpa,
kelenjar limfe usus dan peyer’s patch. (Isselbacher, 2010; Paul, 2017)
Penyakit ini mudah menular serta dapat menyerang banyak orang sehingga
dapat menimbulkan wabah. Demam tifoid ini mulai dikenali sebagai
penyakit menular yang disebabkan bacillus (salmonella) pada tahun 1880 di
Amerika serikat. Wabah penyakit demam typhoid pertama kali muncul di
Amerika Serikat pada tahun 1907 yang disebabkan oleh Mary Mallon yang
dikenal sebagai karier tifoid yang sehat, dan dijuluki sebagai “typhoid
mary”. Demam tifoid terjadi di seluruh dunia, terutama di negara
berkembang dengan sanitasi yang buruk. Delapan puluh persen kasus tifoid
di dunia berasal dari Banglades, Cina, India, Indonesia, Laos, Nepal,
Pakistan. Demam tifoid menginfeksi setiap tahunnya yakni 21.6 juta orang
(3.6/1.000 populasi) dengan angka kematian 200.000/tahun. Insidensi
demam tifoid tinggi (>100 kasus per 10.000 populasi per tahun) dicatat di
Asia tengah, Asia selatan, Asia tenggara, Afrika, Amerika Latin, dan
Oceania (kecuali Australia dan Selandia baru) serta yang termasuk rendah
(<10 kasus per 10.000 populasi per tahun) di bagian dunia lainnya.
(Isselbacher, 2010; Kemenkes, 2006; Paul, 2017)
Di Indonesia insidensi kasus demam typhoid masih termasuk tinggi di
Asia, yakni 81 kasus per 100.000 populasi per tahun. Prevalensi demam
tifoid banyak ditemukan pada kelompok usia Sekolah (5 – 14 tahun) yaitu
1.9% dan terendah pada bayi (0.8%). Kelompok yang berisiko terkena
demam typhoid adalah anak yang berusia dibawah usia 15 tahun. Demam
tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia dengan angka
kejadian yang masih tinggi serta merupakan masalah Kesehatan masyarakat
yang berkaitan dengan kesehatan lingkungan dan sanitasi yang buruk.

1
2

Demam tifoid juga merupakan salah satu penyakit menular penyebab


kematian di Indonesia (6% dengan n = 1.080), khusus pada kelompok usia
5-14 tahun tifoid merupakan 13% penyebab kematian di kelompok tersebut.
(Kemenkes, 2006; Nelwan, 2012, Widoyono, 2011)
Penegakan diagnosis pada anak dengan demam juga menjadi
tantangan bagi para dokter. Demam Tifoid merupakan penyebab demam
yang umum pada anak dengan tanda dan gejala yang sangat bervariasi
dibandingkan dengan penderita Demam Tifoid yang dewasa. Karakteristik
Klinis demam tifoid pada anak usia sekolah dengan infant dan usia <5 tahun
berbeda. Pada anak usia sekolah di awitan awal telah menunjukkan berbagai
manifestasi seperti demam, nyeri perut, malaise, batuk, dan lain-lain. Pada
infant dan anak <5 tahun, biasanya hanya menunjukkan kondisi demam dan
malaise serta diikuti diare yang sering disangka oleh praktisi sebagai gejala
infeksi virus ataupun gastroenteritis akut. (Musnelina, 2002; Nelwan, 2012,
Widoyono, 2011)
Orang tua jarang menyadari bila anaknya mengalami demam tifoid,
kondisi demam yang lama pada anak tidak membuat orang tua untuk
membawa anaknya ke faskes terdekat terlebih dahulu, bahkan pemberian
antibiotic secara mandiri (tanpa resep) sehingga terjadi resistensi dan
komplikasi dari demam tifoid. Untuk itu, pembuatan makalah ini ditujukan
mempelajari demam tifoid, dari awal anamnesis hingga diagnosis, dan
menyingkirkan diagnosis banding lainnya hingga rencana penatalaksanaan
di RS Pertamedika Ummi Rosnati Banda Aceh.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Demam Tifoid

2.1.1 Definisi
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat
pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu,
gangguan saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Demam tifoid
merupakan penyakit demam sistemik akut dan menyeluruh yang disebabkan
oleh Salmonella enterica subspesies dari enterica serotipe Typhi. Demam
tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting terutama di negara
berkembang termasuk Indonesia. Gejala klinis penyakit ini bervariasi, dari
sakit ringan dengan demam yang tidak tinggi, badan terasa tidak enak dan
batuk kering hingga gejala klinis yang berat dengan rasa tidak nyaman
(nyeri) pada bagian abdomen dan berbagai komplikasi lainnya. (Kemenkes,
2006; Nelwan, 2012, Widoyono, 2011)
Bakteri dari genus Salmonella sudah menjadi salah satu patogen yang
sering menyebabkan penyakit gastrointestinal akut. Meskipun Salmonella
typhi hanya bisa hidup pada manusia, yang berarti tidak memiliki vektor
lain, bakteri ini dapat menyebabkan penyakit demam tifoid yang mudah
menular dan menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.
Oleh karena itu, demam tifoid termasuk salah satu penyakit menular yang
tercantum dalam Undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang wabah.
(Kemenkes, 2006; Nelwan, 2012, Widoyono, 2011)

2.1.2 Epidemiologi
Penyebab pada demam tifoid secara klinis hampir selalu Salmonella
yang beradaptasi pada manusia, sebagian besar dari kasus dapat ditelusuri
pada karier manusia. Penyebab yang terdekat mungkin air ( jalur paling
sering ) atau makanan yang terkontaminasi oleh karier manusia. Karier
menahun umumnya berusia lebih dari 50 tahun, lebih sering pada
perempuan, dan sering menderita batu empedu. S. typhi yang berdiam dalam
empedu bahkan pada bagian dalam empedu, dan secara intermiten akan

3
4

mencapai lumen dari usus dan dieksresikan melalui feses, sehingga


mengkontaminasi air atau makanan. (Kemenkes, 2006; Nelwan, 2012,
Widoyono, 2011)
Demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan yang penting di
berbagai negara sedang berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam
tifoid di dunia ini sangat sukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal
mempunyai gejala dengan spektrum klinisnya sangat luas. Diperkirakan
angka kejadian 150/100.000/tahun di Amerika Serikat dan
900/100.000/tahun di Asia. Umur penderita yang terkena di Indonesia
(daerah endemis) dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91 % kasus.
Angka yang kurang lebih sama juga dilaporkan dari Amerika Serikat.
Demam tifoid di Indonesia masih merupakan penyakit endemik, mulai dari
usia balita, anak-anak dan dewasa. Demam ini terutama muncul pada musim
kemarau dan konon anak perempuan lebih sering terserang. Peningkatan
kasus saat ini terjadi pada usia dibawah 5 tahun. (Kemenkes, 2006; Nelwan,
2012, Widoyono, 2011)

2.1.3 Etiologi
Salmonella, termasuk anggota famili Enterobacteriaciae, merupakan
bakteri gram negatif yang berbentuk basil (batang). Bakteri ini berukuran 2-
3 ± 0,4 - 0,6 μm, bergerak dan merupakan bakteri anaerob fakultatif yang
berarti bakteri ini dapat tumbuh dalam kondisi terdapat dan tidak terdapat
oksigen. Salmonella tidak membentuk spora, tidak memiliki kapsul dan
tidak memfermentasikan laktosa, tetapi bakteri ini memproduksi H2S (yang
dapat digunakan sebagai identifikasi bakteri tersebut di laboratorium).
Salmonella, seperti Enterobacteriaceae lain, memproduksi asam fermentasi
glukosa, mereduksi nitrat dan tidak memproduksi sitokrom oksidase.
(Kemenkes, 2006; Nelwan, 2012, Widoyono, 2011)
5

Gambar 2.1. Salmonella Thypi


Anggota subspesies Salmonella diklasifikasikan ke dalam >2400
serotipe berdasarkan antigen somatik O (komponen di dinding sel
lipopolisakarida (LPS)), antigen permukaan Vi (yang hanya dimiliki S.
Typhi dan Paratyphi C) dan antigen flagela H. Ketiga antigen ini penting
untuk tujuan taksonomi dan epidemiologi dari Salmonella yang masing-
masing akan dijelaskan secara lebih rinci sebagai berikut: (Kemenkes, 2006;
Nelwan, 2012, Widoyono, 2011)
1. Antigen Somatik (O)
Merupakan kompleks fosfolipid protein polisakarida dari dinding sel
luar bakteri yang tahan terhadap pendidihan, alkohol dan juga asam.
Salmonella dibagi menjadi kelompok A-I berdasarkan antigen somatik ini.
Aglutinasi untuk antigen O dalam tubuh berlangsung lebih lambat dan
bersifat kurang imunogenik namun mempunyai nilai diagnosis yang tinggi.
Titer antibodi yang timbul oleh antigen O ini selalu lebih rendah dan titer
antibodi H.
2. Antigen Flagel (H)
Merupakan protein termolabil dan bersifat sangat imunogenik.
Antigen ini rusak dengan pendidihan dan juga alkohol tetapi tidak rusak
oleh formaldehid. Terdapat dua bentuk antigen H, fase 1 dan fase 2. Hanya
salah satu dari kedua protein H ini yang disintesis pada satu waktu. Hal ini
tergantung dari rangkaian gen mana yang ditranskripsikan menjadi mRNA.
3. Antigen Vi
Antigen Vi (polisakarida kapsul) merupakan antifagosit dan faktor
virulensi yang penting untuk S. typhi. Antigen ini adalah antigen permukaan
dan bersifat termolabil. Antigen ini digunakan untuk serotipe S. typhi di
6

laboratorium klinis. Antibodi yang terbentuk dan menetap lama dalam darah
dapat memberi petunjuk bahwa individu tersebut merupakan karier atau
pembawa kuman. Selain S. typhi, antigen ini juga terdapat pada S. paratyphi
C dan S. dublin.
Demam tifoid disebabkan penyebaran bakteri Salmonella enterica
serotipe Typhi, atau secara singkat dapat disebut Salmonella typhi. Nama S.
typhi sendiri diperoleh dari bahasa Yunani kuno, typhos, yang berarti asap
atau kabut halus yang dipercaya dapat menyebabkan penyakit dan kegilaan.
Pada stadium lanjut dari demam tifoid, tingkat kesadaran pasien memang
benar akan menjadi berkabut (samar-samar). Salmonella typhi memiliki ciri
khas yang unik. Salah satu yang paling spesifik yakni kapsul polisakarida Vi
yang ada pada 90% S. typhi yang baru saja diisolasikan. Kapsul ini memiliki
agen proteksi untuk melawan sifat bakterisidal dari serum pasien yang
terinfeksi dan menjadi dasar untuk membuat salah satu vaksin yang tersedia
secara komersial. Antigen Vi ini juga terdapat pada bakteri lain tetapi tidak
sama persis secara genetik. Selain itu, bakteri ini memiliki tes serologis
positif untuk antigen lipopolisakarida O9 dan O12, serta antigen protein
flagela Hd. (Kemenkes, 2006; Nelwan, 2012, Widoyono, 2011)
Salmonella typhi termasuk bakteri yang memproduksi endotoksin
yang berarti toksin baru dikeluarkan ketika bakteri ini mati dan dinding
selnya luruh. Suhu optimum yang dibutuhkan S. typhi untuk tumbuh yakni
37°C dengan pH antara 6-8. Bakteri ini dapat dibunuh dengan pemanasan
(suhu 60°C) selama 15-20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan juga
khlorinisasi. S. typhi dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas,
seperti di dalam air, es, sampah, debu dan bakteri ini tidak memiliki
reservoir lain selain manusia. (Kemenkes, 2006; Nelwan, 2012, Widoyono,
2011)
Salmonella typhi meragikan glukosa, manitol dan maltosa dengan
disertai pembentukan asam tetapi tanpa pembentukan gas. Bakteri ini tidak
menghidrolisis urea, tidak membuat indol tetapi reaksi metil merah positif.
Pada agar darah terlihat koloninya besar bergaris tengah 2 sampai 3 mm,
bulat agak cembung, jernih, licin dan tidak menyebabkan hemolisis. Pada
7

perbenihan Mac Conkey dan Deoksikolat sitrat koloninya tidak meragikan


laktosa sehingga tidak berwarna. Pada perbenihan bismut sulfit Wilson dan
Blar tumbuh koloni hitam berkilat logam akibat adanya pembentukan H2S.
Jika bakteri ini tumbuh di dalam kaldu akan terjadi kekeruhan menyeluruh
sesudah dieram semalam tanpa pembentukan selaput. (Kemenkes, 2006;
Nelwan, 2012, Widoyono, 2011)
Transmisi dan Faktor Risiko Demam Tifoid
Salmonella typhi sangat dapat beradaptasi dan hidup hanya pada
manusia. Seseorang yang menderita demam tifoid akan membawa bakteri
tersebut di aliran darah dan traktus intestinalnya. Sebagian kecil orang yang
telah sembuh dari demam tifoid, yang dinamakan karier, masih tetap
membawa bakteri tersebut. Baik orang yang sakit dan karier memiliki S.
typhi di feses (tinja) mereka. Sekali S. typhi dimakan atau diminum, bakteri
ini akan berkembang biak dan menyebar hingga ke darah. Penularan S. typhi
terjadi paling sering yakni melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi oleh tinja pasien atau karier demam tifoid yang
asimptomatik. Makanan dan minuman ini juga dapat terkontaminasi urin
pasien meskipun lebih jarang terjadi. (Kemenkes, 2006; Nelwan, 2012,
Widoyono, 2011)
Transmisi dari tangan ke mulut akan terjadi jika seseorang
menggunakan toilet yang terkontaminasi dan mengabaikan higiene tangan
setelahnya. Transmisi secara seksual dengan sesama pasangan lelaki juga
pernah dilaporkan. Pekerja kesehatan terkadang tertular setelah terpapar
dengan pasien yang terinfeksi atau selama mengolah spesimen klinis dan
kultur dari bakteri tersebut. Hasil penelitian memberikan hasil bahwa lebih
dari 50% sukarelawan yang sehat terinfeksi oleh S. typhi ketika menelan
sedikitnya 100.000 organisme. Penelitian yang dilakukan di Jakarta (2004)
menyatakan bahwa faktor risiko untuk demam tifoid sebagian besar
tercakup di dalam rumah, diantaranya yakni: adanya penderita demam tifoid
baru di dalam rumah, tidak ada sabun untuk mencuci tangan, berbagi
makanan dengan piring yang sama dan tidak ada toilet di dalam rumah.
(Kemenkes, 2006; Nelwan, 2012, Widoyono, 2011)
8

Demam tifoid dikaitkan dengan umur yang masih muda, berjenis


kelamin perempuan dan penggunaan es batu. Kondisi yang menurunkan
baik asam lambung (umur <1 tahun, konsumsi antasid, penyakit aklorihida)
atau perubahan integritas intestinal (penyakit radang usus, riw operasi
gastrointestinal, atau perubahan flora usus akibat penggunaan antibiotik)
akan meningkatkan kemungkinan seseorang terinfeksi oleh Salmonella.
(Kemenkes, 2006; Nelwan, 2012, Widoyono, 2011)

2.1.4 Patogenesis
Semua infeksi dari Salmonella dimulai dengan masuknya bakteri
tersebut melalui makanan atau minuman terkontaminasi. Dosis yang dapat
menginfeksi yakni 103-106 colony-forming units. Setelah tertelan, bakteri
harus menembus beberapa mekanisme pertahanan tubuh pejamu sebelum
menimbulkan infeksi. Biasanya Salmonella mati pada lingkungan yang
bersifat asam, oleh karena hal itu terjadi pengurangan dari inokulum yang
banyak setelah bersentuhan dengan isi lambung, oleh karena itu sebagian
dari bakteri dimusnahkan dalam lambung dan sebagian lolos masuk dalam
usus dan selanjutnya berkembang biak. Pengurangan selanjutnya terjadi
pada organ usus halus melalui efek antibakteri langsung dari pertarungan
organisme dengan flora usus normal. Bila respons imunitas humoral mukosa
(IgA) usus kurang baik, maka Salmonella akan menembus sel-sel epitel
(terutama sel-M) dan selanjutnya menuju lamina propria. Di lamina propria,
mikroorganisme ini akan berkembang biak dan juga difagosit oleh sel-sel
fagosit terutama oleh makrofag. Salmonella dapat hidup dan berkembang
biak di dalam makrofag dan selanjutnya akan dibawa ke plak Peyeri ileum
distal. Salmonella memiliki fimbrae yang terspesialisasi yang menempel ke
epitelium jaringan limfoid di ileum (plak Peyeri), tempat utama dimana
makrofag lewat dari usus ke sistem limfatik. Bakteri ini kemudian dibawa
menuju ke kelenjar getah bening mesenterika. (Widodo, 2010; Nelwan,
2012; IDI, 2014)
Selanjutnya melalui duktus torasikus, bakteri di dalam makrofag ini
masuk ke sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang
9

asimptomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh


terutama hati dan limpa. Pasien biasanya relatif tidak memiliki ataupun
hanya sedikit gejala pada masa inkubasi awal ini. Pada organ-organ
retikuloendotelial, Salmonella meninggalkan sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke
dalam sirkulasi darah lagi dan mengakibatkan bakteremia yang kedua
kalinya disertai dengan tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. (Widodo,
2010; Nelwan, 2012; IDI, 2014)
Di dalam hati, bakteri masuk ke dalam kandung empedu, berkembang
biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam
lumen usus. Sebagian bakteri dikeluarkan melalui feses dan juga sebagian
masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama
terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka
pada saat fagositosis Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala inflamasi sistemik
seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas
vaskular, gangguan mental dan juga koagulasi. (Widodo, 2010; Nelwan,
2012; IDI, 2014)
Di dalam plak Peyeri, makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasia jaringan (S. Typhi intra makrofag akan menginduksi reaksi
hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ).
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah disekitar
plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat
akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologis jaringan
limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus dan dapat
mengakibatkan perforasi. Endotoksin dapat menempel pada reseptor sel
endotel kapiler dengan akibat timbul komplikasi seperti gangguan
neruopsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan dan juga gangguan organ
lainnya. (Widodo, 2010; Nelwan, 2012; IDI, 2014)
10

Gambar 2.2. Patogenesis Demam thypoid

2.1.5 Manifestasi Klinis


Masa inkubasi S. typhi rata-rata antara 10-14 hari tetapi bisa juga
berjarak 3-21 hari. Durasi waktu ini tergantung banyaknya terpajan S. typhi
tersebut dan imunitas serta kesehatan pada pejamu. Onset gejala lambat
dengan demam dan konstipasi lebih sering mendominasi dibandingkan diare
dan muntah. Gejala yang paling terlihat yakni demam terus-menerus
(38,8°C - 40,5°C) yang bisa berlanjut hingga empat minggu jika tidak
diobati. Diare mungkin muncul pada awal onset tetapi biasanya hilang
ketika demam dan juga bakteremia muncul. (Widodo, 2010; Nelwan, 2012;
IDI, 2014)
Kumpulan gejala-gejala klinis tifoid disebut juga dengan sindrom
demam tifoid. Di bawah ini merupakan gejala klinis yang sering pada kasus
demam tifoid, diantaranya adalah: (Widodo, 2010; Nelwan, 2012;
Rubenstein, 2006)
1. Demam; demam merupakan gejala utama tifoid. Pada awal onset,
demam kebanyakan samar-samar, selanjutnya suhu tubuh sering turun
naik. Pagi lebih rendah atau normal, sore dan malam lebih tinggi.
Intensitas demam makin tinggi dari hari ke hari yang disertai gejala
11

lain seperti sakit kepala yang sering dirasakan pada area frontal, nyeri
otot, pegal-pegal, insomnia, anoreksia, mual dan muntah. Pada
minggu berikutnya, intensitas demam semakin tinggi bahkan
terkadang terus-menerus. Bila pasien membaik maka pada minggu
ketiga suhu badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada
akhir minggu. Akan tetapi, demam khas tifoid seperti ini tidak selalu
ada.
2. Gangguan Saluran Pencernaan; pada penderita sering ditemukan bau
mulut yang tidak sedap karena demam yang lama. Bibir kering dan
terkadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan ditutupi oleh
selaput putih. Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor tetapi pada
penderita anak jarang ditemukan. Penderita umumnya sering
mengeluh nyeri perut, terutama regio epigastrik, disertai mual dan
muntah. Pada awal sakit sering terjadi meteorismus dan konstipasi.
Pada minggu selanjutnya kadang timbul diare. Beberapa dari pasien
mengalami diare encer yang buruk berwarna hijau kekuningan. Pasien
ini masuk keadaan tifoid yang dikarakteristikkan dengan gangguan
kesadaran.
3. Gangguan Kesadaran; pada umumnya terdapat gangguan kesadaran
yang berupa penurunan kesadaran ringan. Sering didapatkan
kesadaran apatis dengan kesadaran seperti berkabut. Bila klinis berat,
tidak jarang penderita sampai pada kondisi somnolen dan koma atau
dengan gejala-gejala psikosis. Pada penderita dengan tifoid toksik,
gejala delirium lebih menonjol.
4. Hepatosplenomegali; hati dan atau limpa sering ditemukan membesar.
Hati terasa kenyal dan nyeri tekan.
5. Bradikardia Relatif dan Gejala Lainnya; bradikardia relatif tidaklah
sering ditemukan. Gejala lain yang dapat ditemukan pada demam
tifoid adalah rose spot (makula yang berwarna rose) yang biasanya
ditemukan di regio abdomen atas, batuk kering, serta gejala klinis
yang berhubungan dengan komplikasi yang terjadi. Rose spot ini
biasanya muncul pada 30% pasien diakhir minggu pertama dan
12

menghilang tanpa jejak setelah 2-5 hari. Pada anak, rose spot jarang
ditemukan dibandingkan dengan epistaksis.
Demam tifoid akan berkembang menjadi penyakit yang berat
bergantung pada faktor pejamu (imunitas yang menurun
(immunosuppresion), terapi antasida, pernah terpajan sebelumnya dan
vaksinasi), faktor virulensi strain S. typhi dan inokulum, serta pemilihan dari
terapi antibiotik. Penyakit yang berat ini terjadi pada 10-15% pasien dan
biasanya terjadi pada pasien yang telah sakit lebih dari dua minggu. Banyak
komplikasi yang bisa terjadi, tetapi yang paling penting yakni perdarahan
gastrointestinal, perforasi intestinal dan tifoid ensefalopati. Perdarahan
gastrointestinal (10-20%) dan perforasi intestinal (1-3%) sering terjadi
diminggu ketiga atau keempat akibat dari hiperplasia, ulserasi dan nekrosis
dari plak Peyeri ileocecal yang merupakan tempat awal dari infiltrasi
Salmonella. Kedua komplikasi ini mengancam jiwa dan membutuhkan
tindakan yang cepat. Tifoid ensefalopati merupakan sindrom klinis demam
tifoid yang berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut (kesadaran
berkabut, apatis, delirium, somolen, stupor, atau koma) dengan atau tanpa
disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak
masih dalam batas normal. (Widodo, 2010; Nelwan, 2012; Rubenstein,
2006)
Relaps terjadi pada 5-10% pasien, biasanya dua sampai tiga minggu
setelah demam sembuh. Biasanya relaps ini lebih ringan dibandingkan
gejala awalnya dan S. typhi yang diisolasi dari pasien merupakan S. typhi
dengan strain dan kerentanan antibiotik yang sama. Sepuluh persen pasien
demam tifoid yang tidak diobati akan mengeksresikan S. typhi ditinja hingga
3 bulan mendatang dan 1-4% akan menjadi pembawa kronis asimptomatik,
yakni orang yang mengeksresikan S. typhi baik di urin dan di tinja selama
lebih dari 1 tahun. Status tifosa : (Widodo, 2010; Nelwan, 2012;
Rubenstein, 2006)
- Demam lebih dari tujuh hari
- Lidah kotor, ujung dan tepinya kemerahan
- Gangguan kesadaran berupa apati, somnolen, hingga koma.
13

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang


1. Hematologi
- Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi perdarahan
usus atau perforasi.
- Hitung leukosit sering rendah (leukopenia), tetapi dapat pula normal
atau tinggi.
- Hitung jenis leukosit: sering neutropenia dengan limfositosis relatif.
- LED ( Laju Endap Darah ) : Meningkat
- Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia).
2. Urinalis
- Protein: bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam)
- Leukosit dan eritrosit normal; bila meningkat kemungkinan terjadi
penyulit.
3. Kimia Klinik; enzim hati (SGOT dan SGPT) sering kali meningkat
dengan gambaran peradangan sampai hepatitis Akut.
4. Imunologi
- Widal; pemeriksaan serologi ini ditujukan untuk mendeteksi adanya
antibodi (didalam darah) terhadap adanya antigen kuman Samonella
typhi / paratyphi (reagen). Uji ini merupakan test kuno yang masih
amat popular dan paling sering diminta terutama pada negara dimana
penyakit ini endemis seperti di Indonesia. Sebagai uji cepat (rapid
test) hasilnya dapat segera diketahui. Hasil positif dinyatakan dengan
adanya aglutinasi. Karena itu antibodi jenis ini dikenal sebagai Febrile
agglutinin. Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga
dapat memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif
palsu dapat disebabkan oleh faktor, antara lain pernah mendapatkan
vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceae sp),
reaksi anamnestik (pernah sakit), dan adanya faktor rheumatoid (RF).
Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh karena antara lain penderita
sudah mendapatkan terapi antibiotika, waktu pengambilan darah
kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum pasien yang buruk, dan
14

adanya penyakit imunologik lain. Diagnosis Demam Tifoid /


Paratifoid dinyatakan bila a/titer O = 1/160 , bahkan mungkin sekali
nilai batas tersebut harus lebih tinggi mengingat penyakit demam
tifoid ini endemis di Indonesia. Titer O meningkat setelah akhir
minggu. Melihat hal-hal di atas maka permintaan tes widal ini pada
penderita yang baru menderita demam beberapa hari kurang tepat.
Bila hasil reaktif (positif) maka kemungkinan besar bukan disebabkan
oleh penyakit saat itu tetapi dari kontrak sebelumnya. (Widodo, 2010;
Nelwan, 2012)
- Elisa Salmonella typhi/paratyphi lgG dan lgM; pemeriksaan ini
merupakan uji imunologik yang lebih baru, yang dianggap lebih
sensitif dan spesifik dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi
Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebagai tes cepat hasilnya juga dapat
segera di ketahui. Diagnosis Demam Typhoid/ Paratyphoid dinyatakan
1/ bila lgM positif menandakan infeksi akut; 2/ jika lgG positif
menandakan pernah kontak/ pernah terinfeksi/ reinfeksi/ daerah
endemik. (Widodo, 2010; Nelwan, 2012)
5. Mikrobiologi
- Kultur (Gall culture/ Biakan empedu); uji ini merupakan baku emas
(gold standard) untuk pemeriksaan Demam Typhoid/ paratyphoid.
Interpretasi hasil:  jika positif maka diagnosis pasti untuk Demam
Tifoid/ Paratifoid. Sebalikanya jika hasil negatif, belum tentu bukan
Demam Tifoid/ Paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara lain jumlah darah terlalu
sedikit kurang dari 2mL), darah tidak segera dimasukan ke dalam
medial Gall (darah dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman
terperangkap di dalam bekuan), saat pengambilan darah masih dalam
minggu- 1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah
mendapat vaksinasi.Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat
segera diketahui karena hanya perlu waktu untuk pertumbuhan kuman
(biasanya positif antara 2-7 hari, bila belum ada pertumbuhan koloni
ditunggu sampai 7 hari). Pilihan bahan spesimen yang digunakan pada
15

awal sakit adalah darah, kemudian untuk stadium lanjut/ carrier


digunakan urin dan tinja. (Widodo, 2010; Nelwan, 2012)
6. Biologi molekular.
- PCR (Polymerase Chain Reaction); metode ini mulai banyak
dipergunakan. Pada cara ini dilakukan perbanyakan DNA kuman,
kemudian diindentifikasi dengan DNA probe yang spesifik. Kelebihan
uji ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit
(sensitifitas yang tinggi) serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula.
Spesimen yang digunakan dapat berupa darah, urin, cairan tubuh
lainnya serta jaringan biopsi. (Widodo, 2010; Nelwan, 2012)

2.1.7 Diagnosa
Salmonella harus dipikirkan sebagai etiologi potensial untuk
gastroenteritis. demam, tanda disentri, defisiensi imun, baru imigrasi dari
daerah endemik, atau kaitan dengan sumber wabah yang umum harus
meningkatkan kecurigaan. Tinja harus selalu dibiak. Bila tidak diperoleh
tinja segar, dapat dibiak apusan rektum, walaupun kemungkinan
menemukan organisme lebih rendah. Kompetisi bakteri dan juga sedikitnya
inokulum mungkin memerlukan pembiakan lebih dari satu spesimen untuk
menemukan Salmonella. Gastroenteritis dengan demam, terutama pada anak
berusia di bawah 2 tahun, biasanya merupakan indikasi melakukan biakan
darah. (Widodo, 2010; Nelwan, 2012; WHO, 2003)
Untuk demam enterik yang dicurigai, rangkaian biakan darah
dilakukan bila biakan pertama negatif karena adanya serangan intermitten
bakteremia rendah – inokulum. Lebih dari 90 % pasien demam tifoid yang
tidak diobati mempunyai biakan darah dan sumsum tulang positif selama
minggu pertama sakit. Hasilnya menurun seiring waktu dengan peningkatan
positif biakan tinja dan urin secara bersamaan. (Widodo, 2010; Nelwan,
2012; WHO, 2003) Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa
demam, gangguan gastroentestinal, dan mungkin disertai perubahan ataupun
gangguan kesadaran, dengan kriteria ini maka klinisi dapat membuat
diagnosis tersangka tifoid. Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi S.
16

typhi dari darah. Di 2 minggu pertama sakit, kemungkinana mengisolasi S.


typhi dari dalam darah pasien lebih besar daripada minggu berikutnya.
Biakan yang dilakukan pada urin dan feses, kemungkinan keberhasilan lebih
kecil. Biakan specimen dari aspirasi sumsum tulang mempunyai sensitivitas
tertinggi, hasil positif didapat pada 90% kasus. Akan tetapi prosedur ini
sangat invasif, sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari – hari. Pada
keadaan tertentu dapat dilakukan biakan spesimen empedu yang diambil
dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik. Uji serologi Widal
suatu metode serologik yang memeriksa antibodi aglutinasi terhadap antigen
somatik (O), flagela (H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam
tifoid. (Widodo, 2010; Nelwan, 2012; WHO, 2003)
Di Indonesia, pengambilan angka titer O aglutinin ≥1/40 dengan
memakai uji Widal slide aglutination menunjukkan nilai ramal positif 96 %.
Artinya apabila hasil tes positif, 96 % kasus benar sakit demam tifoid, akan
tetapi apabila negatif tidk menyingkirkan. Banyak senter berpendapat
apabila titer O aglutinin sekali diperiksa ≥1/200 atau pada titer sepasang
terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan.
Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau. Diagnosa demam tifoid ditegakkan atas dasar anamnesis, gambaran
klinik dan laboratorium (jumlah lekosit menurun dan titer widal yang
meningkat) . Diagnosis pasti ditegakkan dengan ditemukannya bakteri pada
salah satu biakan. Adapun beberapa kriteria diagnosis demam tifoid adalah
sebagai berikut: (Widodo, 2010; Nelwan, 2012; WHO, 2003)
1. Demam berkepanjangan (lebih dari 7 hari). Demam naik secara
bertahap lalu menetap selama beberapa hari, demam terutama pada
sore/ malam hari.
2. Gejala gastrointestinal; dapat berupa obstipasi, diare, mual,
muntah,hilang nafsu makan dan kembung, hepatomegali,
splenomegali dan lidah kotor tepi hiperemi.
3. Gangguan susunan saraf pusat/ kesadaran; sakit kepala, kesadaran
berkabut, bradikardia relatif.
17

2.1.8 Pencegahan dan Tatalaksana


Demam tifoid termasuk penyakit menular yang berpotensi
menimbulkan wabah sehingga perlu diadakannya tindakan pencegahan.
Rute dari penularan utama demam tifoid, yakni melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi oleh Salmonella typhi. Pencegahan
berdasarkan hal ini dapat dilakukan dengan menjamin akses untuk
mendapatkan air bersih dan mempromosikan kebiasaan makan yang aman
dan sehat. Pendidikan mengenai kesehatan merupakan hal yang penting
untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan mempengaruhi perubahan
perilaku. Tindakan pencegahan demam tifoid mencakup banyak aspek,
mulai dari Salmonella typhi sebagai agen dari penyebab penyakit, faktor
pejamu dan faktor lingkungan. Di Indonesia, terdapat tiga (3) strategi besar
yang menjadi program pencegahan demam tifoid, yakni: (Widodo, 2010;
Nelwan, 2012; Butler, 2011)
1. Mengidentifikasi dan juga mengobati secara sempurna pasien
asimtomatik, karier dan akut.
2. Mencegah penularan secara langsung dari pasien terinfeksi S. typhi
dan juga mengatasi faktor yang berperan terhadap rantai penularan.
3. Proteksi dini pada orang yang berisiko tinggi tertular dan terinfeksi.
Menurut WHO (2003) terdapat beberapa cara-cara yang lebih spesifik
yang dapat membantu upaya pencegahan demam tifoid, yang secara lengkap
akan dijelaskan dibawah ini: (Widodo, 2010; Nelwan, 2012; WHO, 2003)
1. Air Bersih; femam tifoid merupakan penyakit yang penjalarannya
dapat melalui air sehingga tindakan pencegahan utama yang didapat
dilakukan yakni memastikan adanya akses ke air bersih.
2. Keamanan Makanan; makanan yang terkontaminasi merupakan salah
satu cara penularan demam tifoid. Penanganan dan pengolahan
makanan yang tepat merupakan hal yang terpenting. Tindakan
kebersihan dasar di bawah ini harus dilakukan selama epidemi yaitu
mencuci tangan dengan sabun sebelum menyiapkan ataupun memakan
makanan, menghindari makanan mentah, kerang dan es, hanya
memakan makanan yang sudah dimasak dan masih panas atau
18

dipanaskan kembali. Apabila terjadi wabah, pengawasan keamanan


makanan harus diperkuat di restoran dan juga penjaja makanan di
pinggir jalan. Apabila terdapat karier demam tifoid, orang ini tidak
boleh diikutsertakan dalam aktivitas yang termasuk mengolah dan
menyiapkan makanan. Karier baru dapat melanjutkan pekerjaannya
(dalam hal makanan) hingga mereka memiliki 3 tes kultur tinja negatif
yang setidaknya masing-masing berjarak satu bulan.
3. Sanitasi; sanitasi yang baik akan berkontribusi dalam menurunkan
risiko transimisi patogen diare, termasuk Salmonella typhi. Fasilitas
pembuangan limbah manusia yang tepat harus tersedia pada semua
kalangan komunitas. Pengumpulan dan pengolahan limbah, terutama
saat musim hujan harus diterapkan.
4. Pendidikan Kesehatan; pendidikan kesehatan penting untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat pada hal-hal yang berperan
dalam pencegahan seperti telah disebutkan di atas. Pada fasilitas
kesehatan, pekerja harus berulang kali dididik mengenai perlunya
kebersihan pribadi yang baik ditempat kerja, tindakan isolasi bagi
pasien dan melakukan tindakan disinfeksi.
5. Vaksinasi; vaksinasi belum dilakukan secara rutin. Indikasi dari
vaksinasi adalah apabila: hendak mengunjungi daerah endemik, orang
yang terpapar dengan penderita karier tifoid dan petugas laboratorium
atau mikrobiologi kesehatan. Jenis vaksinasi yang tersedia adalah
Vaksin parenteral utuh, Vaksin oral Ty21a dan Vaksin parenteral
polisakarida.
Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan
tirah baring, isolasi memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta
pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kasus yang berat harus dirawat di
rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping
observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama.
Pengobatan dengan antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada
dasarnya patogenesis infeksi S. typhi berhubungan dengan keadaan
bakterimia. Antibiotik yang digunakan sebagai kontrol positif pada
19

penelitian ini adalah seftriakson. Seftriakson adalah salah satu pilihan


antibiotik untuk pengobatan demam tifoid. Seftriakson termasuk dalam
golongan antibiotik sefalosporin generasi ketiga dan juga merupakan
antibiotik spektrum luas untuk bakteri gram positif dan bakteri gram negatif.
Seftriakson bekerja dengan cara menganggu sintesis transpeptidase dinding
sel bakteri dengan cara berikatan dengan Penicillin-binding protein (PBP,
sebuah enzim). Dinding sel bakteri secara utuh membungkus membran
sitoplasma, mempertahankan bentuk dan integritas sel, dan mencegah sel
lisis dari tekanan osmotik yang tinggi. Dinding sel bakteri terbentuk dari
polimer kompleks polisakarida dan polipeptida yang saling bertautan (cross-
linked), yakni peptidoglikan. Polisakarida berisi gula amino yang berganti-
ganti, yakni asam N-asetilglukosamin dan N-asetilmuramik. Terdapat 5
asam amino peptida yang berhubungan dengan gula N-asetilmuramik.
Peptida ini berakhir di D-alanil-D-alanin. Penicillin-binding protein
menghapus alanin terminal dalam proses pembentukan cross-linked dengan
peptida di dekatnya. (Widodo, 2010; Nelwan, 2012; Butler, 2011; Charles,
2008)
Cross-linked ini memberikan dinding sel struktur yang kokoh.
Antibiotik β-laktam, salah satunya golongan sefalosporin, memiliki struktur
yang analog dengan senyawa D-ala-D-ala dan dapat berikatan secara
kovalen dengan tempat aktif PBP. Hal tersebut akan menghambat reaksi
transpeptidase sehingga sintesis peptidoglikan berhenti dan menyebabkan
kematian sel. Antibiotik β-laktam hanya dapat membunuh bakteri ketika
mereka tumbuh dan mensintesis dinding sel secara aktif. Seftriakson
diberikan dengan dosis 1-2 g/hari selama 7-14 hari secara intravena untuk
pasien demam tifoid dewasa. Antibiotik ini tersedia dalam bentuk powder
hingga reconstitute untuk injeksi (0.25, 0.5, 1, 2, 10 g per vial). (Widodo,
2010; Nelwan, 2012; Butler, 2011; Charles, 2008)
20

2.1.9 Komplikasi dan Prognosis


1. Perforasi usus pada tempat inokulasi, biasanya pada ileum, terjadi
pada 0,5-3% dan perdarahan gastrointestinal beratterjadi pada 1- 10%
anak dengan demam tifoid.
2. Ensefalopati toksik, trombosis serebral, ataksia serebelar akut, neuritis
optik, afasia, ketulian, serta kolesistitis akut dapat terjadi
3. Pneumonia biasa terjadi selama stadium kedua penyakit, tetapi
disebabkan oleh superinfeksi.
Prognosis demam tifoid tergantung tepatnya terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada atau tidaknya komplikasi. Di negara maju,
21

dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas < 1 %. Di negara


berkembang, angka mortalitasnya > 10% biasanya oleh karena
keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya
komplikasi seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat,
meningitis, endokarditis, dan juga pneumonia, mengakibatkan morbiditas
dan mortalitas yang tinggi. Prognosis juga menjadi kurang baik atau buruk
bila terdapat gejala klinis yang berat seperti: (Widodo, 2010; Nelwan, 2012;
Butler, 2011)
1. Panas tinggi (hiperpireksia) atau febris kontinu
2. Kesadaran menurun sekali yaitu stupor, koma, atau delirium
3. Keadaan gizi penderita buruk (malnutrisi energi protein)
22

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien

Nama : Zira Mahfira


Usia : 13 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Geuce komplek
Agama : Islam
No Remed : 112015
TMRS : 11/11/2022
Pekerjaan : Pelajar
3.2. Anamnesis

3.2.1 Keluhan Utama


Demam naik turun

3.2.2 Keluhan Tambahan


Pegal-pegal seluruh badan

3.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien diantar keluarga ke IGD dengan demam 4 hari sebelum masuk RS.
Panas dirasakan mendadak tinggi yang terus-menerus, siang sama dengan malam,
tidak disertai menggigil, batuk, dan sesak nafas. Pasien menyangkal adanya
bercak, bintik merah serta perdarahan di gusi dan hidung maupun di anggota
tubuh yang lainnya.
Selain itu pasien juga mengeluh sakit di bagian ulu hati, mual, kurang
nafsu makan dan sakit kepala. Keluhan pegal-pegal, sakit pada otot badan dan
23

sendi dirasakan pasien namun tidak begitu hebat. Belum BAB sejak 3 hari yang lalu, BAK
tidak ada keluhan.
3.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya

3.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama dengan
pasien. Keluarga tidak memiliki riwayat penyakit menular atau keturunan lainnya.

3.2.6 Riwayat Penggunaan Obat


Pasien ada berobat ke mantri namun tidak mengetahui obat yang diminum oleh
pasien.

KELAHIRAN Tempat kelahiran BPM


Penolong persalinan Bidan
Cara persalinan Normal
Masa gestasi Aterm
Keadaan bayi Berat lahir : 3500 gram
Panjang : - Cm
Lingkar kepala : - Cm
Langsung menangis : Ya
Kelainan bawaan : -

a. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan


Riwayat pertumbuhan dan perkembangan baik
b. Riwayat Imunisasi
Imunisasi dilakukan di Puskesmas
• Lahir : Hepatitis B (HB) 0
• 1 Bulan : BCG, Polio 1
• 2 Bulan : DPT/HB 1, Polio 2
24

• 3 Bulan : DPT/HB 2, Polio 3


• 4 Bulan : DPT/HB 3, Polio 4
• 9 Bulan : Campak
Kesan : Imunisasi dasar lengkap

3.3. Pemeriksaan Fisik

3.3.1 Vital Sign


Kesadaran : Compos Mentis (GCS15

TD :-
HR : 122x/menit
RR : 20 x/menit
T : 38,40C
BB : 44 Kg
TB :148cm
LK : 54 cm
LILA : 28 cm
SpO2 : 98% tanpa O2

3.3.2 Pemeriksaan Fisik


Kulit
Warna : Sawo matang
Turgor : Baik
Ikterus : (-)
Anemia : (-)
Sianosis : (-)
Oedema : (-)
Kepala
Bentuk : Normocepali
Rambut : Hitam, sukar dicabut
Mata : Reflek cahaya (+/+), sklera ikterik (-/-), konjungtiva
palpebra inferior pucat (-/-), RCL (+/+), RCTL (+/+)
Telinga : Sekret (-/-), perdarahan (-/-)
Hidung : Sekret (-/-), perdarahan (-/-), NCH (-/-)
Mulut
Bibir : Pucat (-), dianosis (-), kering (-)
25

Gigi Geligi : Karies (-)


Lidah : Papil atrofi (-), Beslag (-), Tremor (-), Kotor (+)
Mukosa : Kering (-)
Tenggorokan : T1/T1
Faring : Hiperemis (-)
Leher
Bentuk : Kesan simetris
KGB : Kesan simetris, Pembesaran (-)
Axilla : Pembesaran KGB (-)
Thorax
Thorax Anterior
Inspeksi
Bentuk dan Gerak : Normochest, pergerakan simetris
Tipe Pernafasan : Abdominal Thoracal
Retraksi : (-)
Auskultasi :
Suara Pokok Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru tengah Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru bawah Vesikuler Vesikuler
Suara Tambahan Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)
Lap. Paru tengah Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)
Lap. Paru bawah Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)

Thoraks Posterior
Inspeksi
Bentuk dan Gerak : Normochest, pergerakan simetris
Tipe pernafasan : Abdominal Thoracal
Retraksi : (-)
26

Perkusi
Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Sonor Sonor
Lap. Paru tengah Sonor Sonor
Lap. Paru bawah Sonor Sonor

Auskultasi
Suara pokok Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru tengah Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru bawah Vesikuler Vesikuler
Suara tambahan Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)
Lap. Paru tengah Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)
Lap. Paru bawah Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)

Jantung
Auskultasi : BJ I > BJ II, reguler, bising (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Kesan simetris, distensi (-)
Palpasi : Soepel (+), nyeri tekan (-) epigastrium, organomegali (-)
Perkusi : Tympani (-), asites (-)
Auskultasi : Peristaltik usus kesan normal
Ekstremitas : Akral Hangat, CRT < 2 Detik
Ekstremitas Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Sianotik - - - -
Edema - - - -
Ikterik - - - -
Gerakan Aktif Aktif Aktif Aktif
Tonus otot N N N N
Sensibilitas N N N N
27

Laboratorium darah rutin

Hasil laboratorium
PARAMETER 11/11 12 13/11 14/11 15/11 REFERENCE
/1 RANGE
1
HEMOGLOBIN 12,7 1314,0 13,8 12,9 14,0-17,0 gr/dL

HEMATOKRIT 36 39 40 39 32 45-55%
ERITROSIT 4,46 4,97 4,9 4,2 4,7-6,1x106/mm3

LEUKOSIT 2,4 3,7 5,2 5,1 4,5-10,5x103/mm3

TROMBOSIT 82 43 28 15 67 150-450x103/mm3
HITUNG JENIS
- E 1 0 1 1 3 %
- B 0 0 0 1 3 %
- NB 3 1 0 0 0 %
- NS 77 49 28 25 28 %
- L 13 41 65 61 52 %
- M 6 9 6 12 14 %
ELEKTROLIT
- NA 138 Mmol/L
- K 3,6 Mmol/L
- CL 97 Mmol/L
- CA Mmol/L

WIDDAL TEST S Thypi O


1/320
S pharathypi
AO
1/160
S pharathypi
BO
1/80
S pharathypi
CO
1/320
3.4. Diagnosis Kerja

- Obs Febris ec Demam Typhoid

3.5. Tatalaksana

IVFD 2A 25 gtt/i makro


Inj ondancentron 4 mg/ 8 jam
Inj omeprazole 1 vial /12 jam
Inj Paracetamol 500 mg /6 jam
Inj ceftriaxone 750mg/12 jam
Cetirizine 1x10mg

3.6. Prognosis

Quo et Vitam : Bonam


Quo et Functional : Bonam
Quo et Sanactionam : Bonam

28
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan

Berdasarkan hasil anamnesis, pasien datang dengan keluhan demam.


Terdapat banyak sekali penyebab demam, salah satu yang paling sering
menyebabkan demam adalah dehidrasi atau kekurangan cairan. Demam
adalah proses alami tubuh untuk melawan infeksi yang masuk ke dalam
tubuh ketika suhu meningkat melebihi dari suhu tubuh normal (>37,5°C).
Pada pasien ini, ditemukan peningkatan dari suhu tanpa disertai dengan
peningkatan nadi atau disebut dengan istilah bradikardi relatif, dimana
temuan ini merupakan temuan yang seringa tau khas pada kasus demam
typoid.
Pasien ini dilakukan pemeriksaan Widal. pemeriksaan serologi ini
ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi (didalam darah) terhadap
adanya antigen kuman Samonella typhi / paratyphi (reagen). Uji ini
merupakan test kuno yang masih amat popular dan paling sering diminta
terutama pada negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia.
Sebagai uji cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui. Hasil positif
dinyatakan dengan adanya aglutinasi. Karena itu antibodi jenis ini dikenal
sebagai Febrile agglutinin. Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor
sehingga dapat memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Hasil
positif palsu dapat disebabkan oleh faktor, antara lain pernah mendapatkan
vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceae sp), reaksi
anamnestik (pernah sakit), dan adanya faktor rheumatoid (RF). Hasil negatif
palsu dapat disebabkan oleh karena antara lain penderita sudah
mendapatkan terapi antibiotika, waktu pengambilan darah kurang dari 1
minggu sakit, keadaan umum pasien yang buruk, dan adanya penyakit
imunologik lain. Diagnosis Demam Tifoid / Paratifoid dinyatakan bila a/titer
O = 1/160 , bahkan mungkin sekali nilai batas tersebut harus lebih tinggi
mengingat penyakit demam tifoid ini endemis di Indonesia. Titer O
meningkat setelah akhir minggu. Melihat hal-hal di atas maka permintaan
tes widal ini pada penderita yang baru menderita demam beberapa hari

29
kurang tepat. Bila hasil reaktif (positif) maka kemungkinan besar bukan
disebabkan oleh penyakit saat itu tetapi dari kontrak sebelumnya.
Demam thypoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai
saluran pencernaan dengan gejala demam lebih dari satu minggu, gangguan
pencernaan dan juga gangguan kesadaran. Pasien diberikan terapi antibiotik
ceftriaksone dan beberapa terapi lain sebagai terapi simptomatik tambahan.
Ceftriaksone sendiri merupakan antibiotik cefalosporin generasi ketiga yang
memiliki spektrum luas terhadap bakteri gram positif dan gram negatif.
Kemudian pada pasien diberikan terapi simptomatik lainnya seperti injeksi
penurunan panas, pelindung lambung. Pemberian terapi pasien sudah sangat
sesuai dengan teori yang ada.

30
BAB V
KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Demam tifoid merupakan infeksi akut saluran cerna yang disebabkan


oleh Salmonella typhi. Demam paratifoid adalah penyakit sejenis yang
disebabkan oleh Salmonella Paratyphi A, B, dan C. Gejala dan tanda
penyakit tersebut hampir sama, nanum manifestasi paratifoid lebih ringan.
Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui
beberapa tahapan. Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh melalui
makanan yang terkontaminasi. Gejala demam tifoid akan sangat bervariasi
mulai dari gejala ringan yang tidak memerlukan perawatan hingga gejala
berat yang memerlukan perawatan. Masa inkubasi demam tifoid
berlangsung antara 10-14 hari. Di awal periode, penderita demam tifoid
mengalami demam. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan terutama
pada sore hingga malam hari. Pada saat demam tinggi, dapat disertai dengan
gangguan system saraf pusat, seperti kesadaran menurun, penurunan
kesadaran mulai dari apatis sampai koma.

DAFTAR PUSTAKA

31
Butler T., 2011, Treatment of Typhoid Fever in the 21st Century: Promises and
Shortcoming. Department of Microbiology and Immunology, 17 (7),
959963.
Charles F. L, Lora L. A and Morton P. G., 2008, Drug Information Handbook,
17th ed, USA: Lexi Comp.
Ikatan Dokter Indonesia. 2014. Panduan Praktik Klinik bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta. Indonesia. Di akses pada halaman
Web
https://drive.google.com/file/d/1gHw6WumPBlII46rq0VsQJX9LM9IPKt73/
view
Isselbacher, Kurt, 2010. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi 13.
Volume 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Pengendalian Demam
Tifoid. www.pdpersi.co.id/peraturan/kepmenkes/kmk3642006.pdf
Musnelina, L., Afdhal F., Gani A., Andayani P. 2002. Pola Pemberiam
Antibiotika Pengobatan Demam Tifoid Anak di Rumah Sakit Fatmawati
Jakarta tahun 2001-2002. Makara Kesehatan, VOL. 8, NO. 1, JUNI 2004:
27-31
Nelwan R.H.H., 2012, Tata Laksana Terkini Demam Tifoid, Continuing Medical
Education, CDK-192/Vol. 39, no 4, halaman 248-249.
Paul U. K., Bandyopadyay A. 2017. Typhoid fever: a review. International
Journal of Advances in Medicine 2017 April; 4(2):300-306.
Rubenstein, David, 2006. Kedokteran Klinis. Edisi keenam. Erlangga : Jakarta
WHO, 2003. Background document : The diagnosis, treatment and prevention of
typhoid fever. World Health Organization. Volume 3.7.
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis. Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan
Pemberantasannya. Edisi kedua. Erlangga : Jakarta
Widodo, Djoko. 2010. Demam Tifoid. Dalam Buku: W, Aru., Sudoyo.,
Setiyohadi, Bambang., Alwi, Idrus., Simadibrata, M. dan Setiati, Siti. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing, Jakarta: 2797-2805

32

Anda mungkin juga menyukai