Anda di halaman 1dari 31

Laporan Kasus

Otitis Media Akut Stadium Hiperemis

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik dan
Syarat-Syarat Mengikuti Ujian pada Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas
Kedokteran Unsyiah/ RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Disusun oleh:
Farah Nabilah Awayna 2207501010057
Ghina Mardhatillah 2207501010033
Intan Qanita 2207501010079
Islam Ing Tyas 2207501010116
Khalilullah 2207501010068
Kemal Aulia Fadilla 2107501010026
Muhammad Naufal Al-Sholah 2207501010156

Pembimbing 1: dr. Fadhlia, M.Ked(ORL-HNS), Sp.THTBKL., Subs.Onk.(K)


Pembimbing 2: dr. Darmayanti

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2023

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, kasih
sayang, dan karunia kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan laporan kasus
yang berjudul “Otitis Media Akut Stadium Hiperemis”. Laporan kasus ini
disusun sebagai salah satu tugas menjalani kepaniteraan klinik senior
pada Bagian/Ilmu Kesehatan THT-KL, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah
Kuala/ RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Selama penyelesaian laporan kasus ini penulis mendapatkan bimbingan,
pengarahan, dan bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu penulis ingin
menyampaikan terimakasih kepada dr. Fadhlia, M.Ked(ORL-HNS),
Sp.THTBKL., Subs.Onk.(K) dan dr.Darmayanti yang telah banyak
meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis
dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih
kepada keluarga, sahabat, dan rekan-rekan yang telah memberikan motivasi dan
doa dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Penulis menyadari bahwa masih
banyak kekurangan dalam laporan kasus ini. Untuk itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca sekalian demi
kesempurnaan laporan kasus ini. Harapan penulis semoga laporan kasus ini dapat
bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan umumnya dan profesi
kedokteran khususnya. Semoga Allah selalu memberikan Rahmat dan Hikmah-
Nya kepada kita semua.

Banda Aceh, 16 Juli 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................5
1.1 Pendahuluan.....................................................................................5
1.2 Tujuan Laporan Kasus......................................................................5
1.2.1 Tujuan Umum.........................................................................5
1.2.2 Tujuan Khusus........................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................6
2.1 Anatomi Telinga...............................................................................6
2.2 Definisi...........................................................................................10
2.3 Etiologi...........................................................................................10
2.4 Epidemiologi..................................................................................11
2.5 Patofisiologi....................................................................................11
2.6 Manifestasi Klinis...........................................................................12
2.7 Diagnosis........................................................................................15
2.7.1 Tanda dan Gejala..................................................................15
2.7.2 Pemeriksaan Fisik.................................................................16
2.7.3 Pemeriksaan Penunjang........................................................16
2.8 Tatalaksana.....................................................................................17
2.9 Komplikasi......................................................................................19
2.10Prognosis........................................................................................20
BAB III LAPORAN KASUS................................................................................22
3.1 Identitas Pasien...............................................................................22
3.2 Anamnesis......................................................................................22
3.3 Pemeriksaan Fisik..........................................................................23
3.3.1 Status present........................................................................23
3.3.2 Status lokalisata.....................................................................23
3.4 Pemeriksaan penunjang..................................................................24

iii
3.5 Diagnosa Banding..........................................................................24
3.6 Diagnosa Kerja...............................................................................24
3.7 Tatalaksana.....................................................................................24
3.8 Edukasi...........................................................................................25
3.9 Prognosis........................................................................................25
BAB IV ANALISA KASUS.................................................................................26
BAB V KESIMPULAN........................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................28

iv
5

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Otitis media akut didefinisikan sebagai infeksi pada ruang telinga tengah. Ini
adalah spektrum penyakit yang mencakup otitis media akut (OMA), otitis media
supuratif kronis (OMSK), dan otitis media dengan efusi (OME). Otitis media akut
adalah penyakit anak yang paling sering didiagnosis di unit gawat darurat, setelah
infeksi saluran pernapasan atas. Meskipun otitis media dapat terjadi pada semua
usia, namun paling sering terlihat antara usia 6 hingga 24 bulan.1
Infeksi telinga tengah dapat disebabkan oleh virus, bakteri, atau koinfeksi.
Organisme bakteri yang paling umum menyebabkan otitis media adalah
Streptococcus pneumoniae, diikuti oleh Haemophilus influenzae (NTHi) yang
tidak dapat diklasifikasikan dan Moraxella catarrhalis. Setelah diperkenalkannya
vaksin pneumokokus konjugasi, organisme pneumokokus telah berevolusi
menjadi serotipe non vaksin. Patogen virus yang paling umum dari otitis media
termasuk respiratory syncytial virus (RSV), virus corona, virus influenza,
adenovirus, human metapneumovirus, dan picornavirus.2–4
Prevalensi OMA di tiap negara bervariasi, berkisar antara 2,3 – 20%. Di Asia
Tenggara, Indonesia menduduki peringkat keempat negara dengan prevalensi
penyakit telinga tertinggi (4,6%). Belum ada data baku nasional mengenai
prevalesi OMA di Indonesia. Namun dari beberapa penelitian yang dilakukan di
beberapa daerah, prevalensi OMA di Sumetera Utara yaitu 2,2%, dan di Jakarta
Timur yaitu 5,38%. OMA biasanya terjadi pada anak dengan rentan usia 3 bulan
dan 3 tahun, dengan puncak insiden usia 6 hingga 11 bulan. Pada usia 3 tahun,
80% semua anak telah menderita setidaknya satu kali episode OMA. Sekitar 40%
telah memiliki enam atau lebih episode OMA pada tujuh tahun pertama kehidupan
13,14. Menurut penelitian Umar (2013) dan Simbolon (2018), anak dengan usia 2
– 5 tahun paling sering mengalami OMA. Sedangkan menurut penelitian Ravinder
(2018) mengatakan anak usia 6 – 12 bulan paling sering mengalami OMA.5
6

Meskipun anak kecil sangat rentan mengalami otitis media akut (OMA), otitis
media akut juga dapat terjadi pada orang dewasa. Faktor-faktor yang terkait
dengan insiden yang relatif tinggi pada anak-anak adalah ketidakmatangan sistem
kekebalan tubuh dan tuba Eustachius, bersama dengan faktor inang dan
lingkungan lainnya seperti diatesis atopik dan paparan asap tembakau. Komplikasi
OMA jarang terjadi di negara-negara berpenghasilan tinggi, tetapi termasuk
entitas penyakit yang serius dan berpotensi mematikan seperti meningitis dan
abses otak. Hingga saat ini, data langsung mengenai beban AOM pada orang
dewasa masih langka; oleh karena itu, sebuah tinjauan sistematis pada tahun 2012,
memberikan insiden OMA berbasis pemodelan pada populasi ini. Sebuah
publikasi baru-baru ini tentang OMA di layanan primer dan gawat darurat di
antara kelompok veteran Amerika Serikat yang sebagian besar laki-laki
melaporkan tingkat kejadian rata-rata 2,7/1000 orang/tahun. Selain itu, bukti
mengenai prognosis dan manajemen OMA masih kurang, yang membuat dokter
umum tidak tahu bagaimana cara terbaik untuk merawat pasien AOM dewasa
dalam praktik sehari-hari. Akibatnya, dokter umum dapat mendasarkan keputusan
pengobatan mereka pada pedoman klinis OMA yang tersedia, yang semata-mata
berasal dari penelitian pada anak-anak.6
Otitis media didiagnosis secara klinis melalui temuan obyektif pada
pemeriksaan fisik (otoskopi) yang dikombinasikan dengan riwayat pasien serta
tanda dan gejala yang muncul. Beberapa alat diagnostik tersedia seperti otoskop
pneumatik, timpanometri, dan reflektometri akustik, untuk membantu diagnosis
otitis media. Otoskopi pneumatik adalah yang paling dapat diandalkan dan
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan
otoskopi biasa, meskipun timpanometri dan modalitas lainnya dapat memfasilitasi
diagnosis jika otoskopi pneumatik tidak tersedia.4
7

1.2 Tujuan Laporan Kasus


1.2.1 Tujuan Umum
. Mampu menegakkan diagnosis OMA berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik serta dapat menangani kasus Otitis media akut secara
mandiri dan tuntas.

1.2.2 Tujuan Khusus


Tujuan pembuatan laporan kasus ini diharapkan mendapatkan
pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang terkait dengan pencapaian
kompetensi dan keterampilan yang diperlukan dalam mengenali dan
menatalaksana OMA yaitu:
a. Menguasai anatomi dan fisiologi telinga
b. Mampu melakukan pemeriksaan otoskopi, penala, dan endoskopi
c. Mampu menegakkan diagnosis OMA
d. Mampu melakukan penatalaksanaan OMA secara komprehensif
dengan memberikan terapi medikamentosa maksimal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Telinga

Gambar 2. 1 Anatomi Telinga1


Telinga7 merupakan suatu organ yang berperan dalam proses pendengaran
dan keseimbangan. Secara garis besar, anatomi telinga terbagi menjadi tiga
bagian yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam. Telinga luar terdiri
dari daun telinga, liang telinga sampai membran timpani. Daun telinga terdiri dari
tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga tersusun oleh rangka tulang rawan
pada sepertiga bagian luar yang terdapat banyak kelenjar serumen dan rambut,
sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjang liang
telinga kira-kira 2½ - 3 cm dengan muara di membran timpani atau
gendang telinga, yang berperan dalam menghantarkan getaran suara. 8
Membran timpani secara anatomi membagi telinga luar dan telinga
tengah. Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah

8
liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut
pars flaksida

9
10

(membran shrapnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membran propia).


Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar yang merupakan lanjutan
epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia. Pars
tensa mempunyai satu lapis lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat
kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier di bagian luar
dan sirkuler. Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Di tempat ini
terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah
dengan antrum mastoid. Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada
membran timpani disebut sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu refleks
cahaya ke arah bawah, yaitu pada pukul 7 untuk membran timpani kiri dan
pukul 5 untuk membran timpani kanan.9

Gambar 2. 2 Anatomi Membran Timpani1

Telinga tengah terdiri dari tulang-tulang pendengaran (ossicle) yang akan


meneruskan dan mentransmisi suara yaitu maleus, inkus dan stapes. Tuba
eustachius merupakan saluran yang menghubungkan antara telinga tengah
dengan bagian belakang hidung. Tuba eustachius berfungsi menyeimbangkan
tekanan pada telinga tengah.10
P
anjang tuba Eustachius pada orang dewasa sekitar 31-38 mm.1,3 Tuba
Eustachius pada bayi dan anak relatif lebih lebar, pendek dan horizontal dengan
membentuk sudut 100 dengan bidang horizontal. Keadaan seperti ini dapat
memudahkan terjadinya penjalaran radang atau infeksi dari nasofaring ke kavum
11

timpani pada bayi. Tuba Eustachius terdiri dari dua bagian yaitu pars oseus dan
pars kartilaginus. Pars oseus bermuara ke kavum timpani dan pars kartilaginus
bermuara ke nasofaring. Lumen dari kedua bagian tuba Eustachius ini
berbentuk kerucut, kedua puncaknya bertemu pada suatu bagian yang sempit
disebut ismus. 11

Gambar 2. 3 Anatomi Telinga Tengah1


Telah diketahui ada 3 fungsi dari tuba Eustachius dalam memelihara
fungsi telinga tengah yaitu fungsi ventilasi, fungsi drainase dan fungsi proteksi.
Ketiga fungsi tersebut dijelaskan sebagai berikut. 11
1. Fungsi ventilasi, Fungsi ini adalah di mana tuba eustachius
mempertahankan tekanan udara (1 atm) didalam cavum timpani sama
dengan tekanan udara luar atau sama dengan tekanan atmosfir. Dalam
keadaan normal, telinga tengah merupakan suatu ruang tertutup dan
penuh berisi udara. Mukosa telinga tengah secara perlahan-lahan akan
mengabsorbsi udara dan nitrogen dari telinga tengah sehingga akhirnya
tekanan udara dalam telinga tengah akan menurun.
2. Fungsi drainase, Mukosa kavum timpani dan tuba Eustachius memiliki
sel-sel yang yang menghasilakn sekret. Tuba Eustachius mengalirkan
secret ini dari kavum timpani kearah nasofaring dengan suatu transpor
mukosiliar. Fungsi drainase secret oleh tuba Eustachius dipengaruhi oleh
aktifitas sel-sel bersilia, grafitasi, gradasi tekanan udara sepanjang tuba
Eustachius dan viskositas secret itu sendiri.
12

3. Pada keadaan normal tuba eustachius selalu dalam keadaan tertutup


sewaktu istirahat. Dengan demikian dapat menghalangi sekret dan kuman
dari nasofaring masuk kedalam kavum timpani. Bluestone
menganalogikan fungsi proteksi dari tuba Eustachius, kavum timpani dan
sel-sel mastoid sebagai labu Erlenmeyer dengan leher yang panjang dan
sempit. Mulut labu diumpamakan sebagai orifisium nasofaring, leher labu
sebagai ismus tuba Eustachius, dan bulbus labu sebagai kavum timpani
dan mastoid.
Telinga dalam terdiri dari koklea yang berupa dua setengah lingkaran dan
vestibuler yang terdiri dari tiga buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak
koklea disebut helikotrema, yang menghubungan perilimfa skala timpani
dan skala vestibuli. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah
atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis)
diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala
media berisi endolimfe. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli
(membran Reissner) sedangkan dasar skala media adalah membran basalis yang
mana pada membran ini terletak organ corti.12

Gambar 2. 4 Telinga Bagian Dalam1


13

2.2 Definisi
Otitis media adalah peradangan yang terjadi pada sebagian atau seluruh
mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid.
Otitis media dibagi menjadi otitis media supuratif dan otitis media non
supuratif (nama lainnya otitis media serosa, sekretoria, otitis media musinosa,
mucoid, dan otitis media efusi. Otitis media akut termasuk ke dalam jenis
otitis media supuratif. 13

Gambar 2. 5 Skema Pembagian Otitis Media


2.3 Etiologi
Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di nasofaring
dan faring. Secara fisiologis terdapat mekanisme pencegahan masuknya mikroba
ke dalam telinga tengah oleh silia mukosa tuba eustachius, enzim, dan antibodi.
Otitis media akut (OMA) terjadi karena faktor pertahanan tubuh terganggu. Faktor
penyebab utama dari otitis media adalah sumbatan tuba eustachius1. Pertahanan
tubuh pada silia mukosa tuba eustachius terganggu, sehingga invasi kuman ke
dalam telinga tengah lebih mudah. Selain itu, pencetus terjadinya OMA adalah
infeksi saluran napas atas (ISPA). Pada anak, semakin sering terkena infeksi
saluran napas atas, kemungkinan terjadinya OMA semakin besar. Anak lebih
mudah terserang OMA dibandingkan orang dewasa karena beberapa hal, yaitu
bentuk tuba eustachius pada bayi atau anak lebih pendek, lebar dan letaknya lebih
14

horizontal, sistem kekebalan tubuh anak masih dalam perkembangan, adenoid pada
anak relatif lebih besar, posisi dekat muara tuba sehingga mengganggu terbukanya
tuba. Infeksi adenoid juga dapat menyebar ke telinga tengah melalui tuba
eustachius.14,15
Kuman penyebab utama OMA adalah bakteri piogenik, seperti
Streptococcus hemoliticus, Haemophilus influenzae (16-52%), Staphylococcus
aureus (2%), Streptococcus pneumoniae (27-52%), Moraxella catarrhalis (2-15%).
Haemophilus influenzae adalah bakteri patogen yang sering ditemukan pada anak-
anak di bawah usia 5 tahun.13,15 Selain itu, kadang-kadang ditemukaan juga
Escherichia colli, Streptococcus anhemoliticus, Proteus vulgaris, dan Pseudomonas
aeruginosa.
2.4 Epidemiologi
Otitis media akut (OMA) merupakan infeksi yang umum terjadi,
diperkirkan 5,8% pasien yang mengunjungi tenaga klinis kesehatan mengalami
OMA.16 OMA sering terjadi pada anak-anak. Jika anak sering mengalami infeksi
saluran napas atas, maka kemungkinan terjadinya OMA semakin besar. Hal ini
karena bentuk tuba eustachius pada anak lebih pendek, lebar dan letaknya lebih
horizontal dibandingkan dengan orang dewasa.13 Di Amerika Serikat diperkirakan
sekitar 75% anak mengalami otitis media sebelum usia 3 tahun dan hampir
setengah dari mereka mengalaminya tiga kali atau lebih. Risiko terjadinya OMA
karena beberapa faktor, antara lain usia <6 tahun, otitis prone (mengalami otitis
pertama kali pada usia sekitar 6 bulan), infeksi saluran napas atas, terpapar asap
rokok, alergi, menyusui saat anak posisi berbaring, dan imunodefisiensi.14
2.5 Patofisiologi
Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di nasofaring
dan faring. Secara fisiologik terdapat mekanisme pencegahan masuknya mikroba
ke dalam telinga tengah oleh silia mukosa tuba Eustachius, enzim dan antibodi.
Otitis media akut terjadi karena faktor pertahanan tubuh ini terganggu. 13 Sebagai
pelengkap mekanisme pertahanan di permukaan, suatu anyaman kapiler subepitel
yang penting menyediakan pula faktor-faktor humoral, leukosit PMN dan sel
fagosit lainnya.
15

Sumbatan tuba Eustachius merupakan faktor penyebab utama dari otitis


media. Karena fungsi tuba Eustachius terganggu, pencegahan invasi kuman ke
dalam telinga tengah juga terganggu, sehingga kuman masuk ke dalam telinga
tengah dan terjadi peradangan.17
Dikatakan juga bahwa pencetus terjadinya OMA ialah infeksi saluran napas
atas. Pada anak, makin sering anak terserang infeksi saluran napas, makin besar
kemungkinan terjadinya OMA. Pada bayi, terjadinya OMA dipermudah oleh
karena tuba Eustachiusnya pendek, lebar dan letaknya agak horizontal.17
Terdapat beberapa rute infeksi sehingga terjadi otitis media akut, antara
lain17:
1. Melalui tuba eustachius. Merupakan rute paling sering. Infeksi berpindah
melalui lumen.
2. Melalui telinga luar. Trauma perforasi pada membran timpani akan membuka
jalan terjadinya infeksi telinga tengah.
3. Peredaran darah. Merupakan rute yang sangat jarang
Seringkali infeksi awalnya disebabkan oleh virus, namun reaksi alergi dan
kondisi inflamasi lain yang melibatkan tuba eustachius turut berperan. Inflamasi
pada nasofaring meluas ke tepi medial dari tuba eustachius, menyebabkan stasis
dan inflamasi. Hal tersebut mengakibatkan penurunan tekanan di dalam telinga
tengah. Keadaan stasis mendukung terjadinya kolonisasi bakteri patogen di dalam
ruang telinga tengah. Respon yang terjadi berupa reaksi inflamasi akut seperti
vasodilatasi, eksudat, invasi leukosit, fagositosis, dan reaksi imunologis lokal di
dalam telinga tengah.17
Untuk menjadi patogen di daerah seperti telinga atau sinus, bakteri harus
melekat pada lapisan mukosa. Infeksi virus yang menyerang dan merusak
permukaan mukosa traktus respiratorius mengakibatkan bakteri dapat tumbuh
patogen di daerah nasofaring, tuba eustachius, dan ruang telinga tengah.17
2.6 Manifestasi Klinis
Gejala klinik OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien.
Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam
16

telinga, keluhan di samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat
batuk pilek sebelumnya.
Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri
terdapat pula gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang
dengar. Pada bayi dan anak kecil gejala khas OMA ialah suhu tubuh tinggi dapat
sampai 39,5°C (pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba-
tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang dan kadang-kadang anak
memegang telinganya yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani, maka sekret
mengalir ke liang telinga, suhu tubuh menurun dan anak tertidur tenang.
Perubahan mukosa telinga tengah sebagai akibat infeksi dapat dibagi atas 4
stadium: (1) stadium oklusi (2) stadium hiperemis, (3) stadium supurasi, (4)
stadium perforasi, (5) dan stadium resolusi. Keadaan ini berdasarkan pada
gambaran membran timpani yang diamati melalui meatus akustikus eksternus
(MAE).13
1. Stadium Oklusi
Tanda adanya stadium ini adalah adanya retraksi membran timpani akibat
terjadinya tekanan negatif di dalam telinga tengah, akibat absorpsi udara.
Kadang-kadang membran timpani tampak normal atau berwarna keruh
pucat. Stadium ini sukar dibedakan dengan otitis media serosa yang
disebabkan oleh virus atau alergi.13
2. Stadium Hiperemis
Pada stadium ini tampak pembuluh darah yang melebar di membran
timpani atau seluruh membran timpani tampak hiperemis serta edem.
Sekret yang terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang serosa
sehingga sulit terlihat.
17

Gambar 2. 6 Membran timpani stadium oklusi


3. Stadium Supurasi
Edema yang hebat pada telinga tengah dan hancurnya epitel superficial,
serta terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani, menyebabkan
membran timpani menonjol/bombans (bulging) ke arah telinga luar. Pada
keadaan ini pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta rasa
nyeri di telinga bertambah hebat.
Apabila tekanan nanah di kavum timpani tidak berkurang, maka terjadi
iskemia, akibat tekanan pada kapiler-kapiler, serta timbul tromboflebitis
pada vena-vena kecil dan nekrosis mukosa dan submukosa. Nekrosis ini
pada membran timpani terlihat sebagai daerah yang lebih lembek dan
berwarna kekuningan. Di tempat ini akan terjadi ruptur.
Bila tidak dilakukan insisi membran timpani (miringotomi) pada stadium
ini, maka kemungkinan besar membran timpani akan ruptur dan nanah
keluar ke MAE.Dengan melakukan miringotomi, luka insisi akan menutup
kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, maka lubang tempat ruptur
(perforasi) tidak mudah menutup kembali.13
18

Gambar 2. 7 Membran timpani stadium supuratif/bombans


4. Stadium Perforasi
Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian antibiotik atau
virulensi kuman yang tinggi, maka dapat terjadi ruptur membran timpani
dan nanah keluar mengalir dari telinga tengah ke MAE. Anak yang tadinya
gelisah sekarang menjadi tenang, suhu badan turun dan anak dapat tertidur
nyenyak. Keadaan ini disebut dengan otitis media akut stadium perforasi.

Gambar 2. 8 Membran timpani stadium perforasi

5. Stadium Resolusi
Bila membran timpani tetap utuh, maka keadaan membran timpani
perlahan-lahan akan normal kembali. Bila sudah terjadi perforasi, maka
19

sekret akan berkurang dan akhirnya kering. Bila daya tahan tubuh baik atau
virulensi kuman rendah, maka resolusi dapat terjadi walaupun tanpa
pengobatan. OMA berubah menjadi OMSK bila perforasi menetap dengan
sekret yang keluar terus menerus atau hilang timbul. OMA dapat
menimbulkan gejala sisa (sequele) berupa otitis media serosa bila sekret
menetap di kavum timpani tanpa terjadinya perforasi.13
2.7 Diagnosis
Penegakan diagnosis OMA dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan

fisik, dan dapat dibantu dengan pemeriksaan penunjang

2.7.1 Tanda dan Gejala


Pasien biasanya mengeluhkan gejala rasa penuh dan nyeri di telinga.
Keluhan seringkali diawali dengan batuk dan pilek pada anak atau adanya
obstruksi/sumbatan pada tuba eustachius. Pada stadium supurasi, pasien
tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta rasa nyeri di telinga
bertambah hebat, sedangkan setelah terjadinya perforasi membran timpani,
anak yang tadinya gelisah menjadi tenang, suhu badan turun, dan anak dapat
tertidur nyenyak. 14
2.7.2 Pemeriksaan Fisik
Tanda klinis pada pemeriksaan fisik dapat sesuai dengan stadium OMA:
1. Stadium oklusi: retraksi membran timpani. Kadang-kadang membran timpani
tampak normal (tidak ada kelainan) atau berwarna keruh pucat.13
2. Stadium hiperemis: pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau
seluruh membran timpani tampak hiperemis serta edema.13
3. Stadium supuratif: Edema yang hebat pada mukosa telinga tengah dan
hancurnya sel epitel superfisial, serta terbentuknya eksudat yang purulen di
cavum timpani menyebabkan membran timpani menonjol (bulging) ke arah
liang telinga luar. Nekrosis pada membran timpani terlihat sebagai daerah yang
lebih lembek dan berwarna kekuningan, dan tempat ini mudah terjadi ruptur.13
4. Stadium perforasi: ruptur membran timpani dan nanah keluar mengalir dari
telinga tengah ke telinga luar.13
20

5. Stadium resolusi: Bila membran timpani tetap utuh, maka keadaan membran
perlahan-lahan akan normal kembali. Bila sudah terjadi perforasi, maka sekret
akan berkurang dan akhirnya kering. OMA berubah menjadi OMSK bila
perforasi menetap dengan sekret yang keluar terus menerus atau hilang
timbul.13
2.7.3 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu endoskopi telinga,
kemudian dapat dilakukan tes kultur bakteri dengan melakukan aspirasi sekret
dengan teknik timpanosentesis. Kultur bakteri bermanfaat untuk menentukan
antibiotik yang sensitif terhadap kuman penyebab. Indikasi timpanosentesis untuk
kultur, yaitu pada pasien imunocompromise, kegagalan terapi akibat resistensi
bakteri terhadap antibiotik, dan terjadi komplikasi. Selain itu, dapat dilakukan
audiometri untuk menilai fungsi pendengaran dan timpanometri untuk menilai
fungsi membran timpani. CT-scan diperlukan untuk pemeriksaan dasar
komplikasi intratemporal dan intrakranial.14,18

2.8 Tatalaksana
Pengobatan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pada stadium
oklusi pengobatan terutama bertujuan untuk membuka kembali tuba Eustachius,
sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Untuk ini diberikan obat tetes
hidung. HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologis (anak < 12 tahun) atau HCl
efedrin 1% dalam alrutan fisiologis untuk yang berumur di atas 12 tahun dan orang
dewasa. Selain itu sumber infeksi harus diobati. Antibiotika diberikan apabila
penyebab penyakit adalah kuman, bukan oleh virus atau alergi.13
Terapi pada stadium presupurasi ialah antibiotika, obat tetes hidung, dan
analgetika. Antibiotika yang dianjurkan ialah dari golongan penisilin atau
ampisilin. Terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar didapatkan
konsentrasi yang adekuat di dalam darah, sehingga tidak terjadi mastoiditis yang
terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan.
Pemberian antibiotika dianjurkan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi
21

terhadap penisilin, maka diberikan eritromisin. Pada anak, ampisilin diberikan


dengan dosis 50-100 mg/kgBB per hari, dibagi dalam 4 dosis, atau amoksisilin 40
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari.
Pada stadium supurasi selain diberikan antibiotika, idealnya harus disertai
dengan miringotomi, bila membran timpani masih utuh. Dengan miringotomi

Gambar 2. 9 Agen antibakterial untuk Otitis Media Akut


gejala-gejala klinis lebih cepat hilang dan ruptur dapat dihindari. Miringotomi ialah
tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, agar terjadi drainase sekret
keluar dari telinga tengah ke liang telinga luar.13
Istilah miringotomi sering dikacaukan dengan parasentesis.
Timpanosentesis sebetulnya berarti pungsi pada membran timpani untuk
mendapatkan sekret guna pemeriksaan mikrobiologik (dengan semprit dan jarum
khusus). Miringotomi merupakan tindakan pembedahan kecil yang dilakukan
dengan syarat tindakan ini harus dilakukan secara a-vue (dilihat langsung), anak
harus tenang dan dapat dikuasai, (sehingga membran timpani dapat terlihat dengan
baik). Lokasi miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Untuk tindakan ini
haruslah memakai lampu kepala yang mempunyai sinar cukup terang, memakai
corong telinga yang sesuai dengan besar liang telinga, dan pisau khusus
(miringotom) yang digunakan berukuran kecil dan steril.13
Komplikasi miringotomi yang kemungkinan terjadi ialah perdarahan akibat
trauma pada liang telinga luar, dislokasi tulang pendengaran, trauma pada fenestra
rotundum, trauma pada n. fasialis, trauma pada bulbus jugulare (bila ada anomali
letak). Mengingat komplikasi itu, maka dianjurkan untuk melakukan miringotomi
dengan narkose umum dan memakai mikroskop. Tindakan miringotomi dengan
22

memakai mikroskop, selain aman, dapat juga mengisap sekret dari telinga tengah
sebanyak-banyaknya. Hanya dengan cara ini biayanya lebih mahal.13
Bila terapi sudah adekuat sebetulnya miringotomi tidak perlu dilakukan,
kecuali bila jelas tampak adanya nanah di telinga tengah. Sebagian ahli
berpendapat bahwa miringotomi tidak perlu dilakukan, apabila terapi yang adekuat
sudah dapat diberikan (antibiotika yang tepat & dosis cukup). Komplikasi
timpanosintesis kurang lebih sama dengan komlikasi miringotomi.13
Pada stadium perforasi sering terlihat sekret banyak keluar dan kadang
terlihat sekret keluar secara berdenyut (pulsasi). Pengobatan yang diberikan adalah
obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotika yang adekuat.
Biasanya sekret akan hilang dan perforasi dapat menutup kembali dalam waktu 7-
10 hari.13
Pada stadium resolusi, maka membran timpani berangsur normal kembali,
sekret tidak ada lagi dan perforasi membran timpani menutup. Bila tidak terjadi
resolusi biasanya akan tampak sekret mengalir di liang telinga luar melalui
perforasi di membran timpani. Keadaan ini dapat disebabkan karena berlanjutnya
edema mukosa telinga tengah. Pada keadaan demikian antibiotika dapat
dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila 3 minggu setelah pengobatan sekret masih tetap
banyak, kemungkinan telah terjadi mastoiditis.13
Bila OMA berlanjut dengan keluarnya sekret dari telinga tengah lebih dari
3 minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Bila perforasi
menetap dan sekret tetap keluar lebih dari satu setengah bulan atau dua bulan,
maka keadaan ini disebut otitis media supuratif kronis (OMSK).13
23

Gambar 2. 10 Alur Pengobatan Otitis Media Akut


2.9 Komplikasi
Komplikasi otitis media terjadi apabila sawar (barrier) pertahanan telinga
tengah yang normal dilewati, sehingga memungkinkan infeksi menjalar ke
struktur di sekitarnya. Pertahanan pertama ini adalah mukosa kavum timpani yang
juga seperti mukosa saluran napas, mampu melokalisasi infeksi.Bila sawar ini
runtuh, masih ada sawar kedua, yaitu dinding tulang kavum timpani dan sel
mastoid. Bila sawar ini runtuh, maka struktur lunak di sekitarnya akan terkena.13
Pada otitis media akut atau suatu eksaserbasi akut penyebaran biasanya
melalui osteotromboflebitis atau hematogen. Penyebaran melalui
osteotromboflebitis dapat diketahui dengan adanya (1) komplikasi terjadi pada
awal suatu infeksi atau eksaserbasi akut, dapat terjadi pada hari pertama atau
24

kedua sampai hari kesepuluh, (2) gejala prodromal tidak jelas seperti didapatkan
pada gejala meningitis lokal, (3) pada operasi, didapatkan dinding tulang telinga
tengah utuh, dan tulang serta lapisan mukoperiosteal meradang dan mudah
berdarah, sehingga disebut juga mastoiditis hemoragika.13
1. Mastoiditis Akut
Terjadi empiema di rongga mastoid akibat terjadinya blokade di daerah
epitimpanum. Sering diikuti dengan abses di belakang daun telinga (abses
subperiostel mastoid). Perlu segera di lakukan evakuasi empiema lewat
pendekatan mastoidektomi simpel (Schwartze).13
2. Komplikasi Intrakranial
Mastoiditis akut kalau tidak dapat segera diatasi dapat meluas ke dalam
intrakranial (meningitis dan abses otak).13
3. Paresis nervus fasialis
Nervus fasialis dapat terkena oleh penyebaran infeksi langsung ke kanalis
fasialis. Akumulasi pus di dalam kavum timpani dapat menimbulkan kompresi
pada nervus fasialis. Pada OMA operasi dekompresi kanalis fasialis tidak
diperlukan. Perlu diberikan antibiotik dosis tinggi dan terapi penunjang lainnya,
serta menghilangkan tekanan di dalam kavum timpani dengan drainase. Bila
dalam jangka waktu tertentu ternyata tidak ada perbaikan setelah diukur dengan
elektrodiagnostik (misalnya elektromiografi), barulah dipikirkan untuk melakukan
dekompresi.13
2.10 Prognosis
Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah, maka resolusi
dapat terjadi walaupun tanpa pengobatan. Bila membran timpani tetap utuh, maka
keadaan membran perlahan-lahan akan normal kembali. Bila sudah terjadi
perforasi, maka sekret akan berkurang dan akhirnya kering. OMA berubah
menjadi OMSK bila perforasi menetap dengan sekret yang keluar terus menerus
atau hilang timbul. OMA dapat menimbulkan gejala sisa berupa otisis media
serosa bila sekret menetap di cavum timpani tanpa terjadi perforasi. Diangnosis
dini dan pengobatan efektif memberikan prognosis yang baik.13
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. R
Umur : 36 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : IRT
Alamat : Aceh
Agama : Islam
No. CM : 0-72-67-07

3.2 Anamnesis
1. Keluhan Utama
Nyeri telinga kanan
2. Keluhan Tambahan
Pilek dan gatal tenggorokan
3. Riwayat Penyakit Sekarang (Kronologis)
Pasien datang ke RSUDZA dengan keluhan nyeri pada telinga
sebelah kanan yang dirasa sejak 1 hari yang lalu.Nyeri dirasa
berdenyut dan hilang timbul. Keluhan tersebut disertai juga dengan
rasa gatal pada telinga. 1 minggu ini pasien mengeluhkan pilek dan
gatal pada tenggorokan. Batuk dan demam tidak dirasakan. Riwayat
keluar cairan dari telinga tidak ada. Riwayat penurunan pendengaran
tidak dirasakan. Riwayat gatal pada telinga (+).
4. Riwayat Pengobatan
Pasien merupakan pasien jiwa dan rutin mengkonsumsi obat
Depacote, sertraline, olanzapine dari poli jiwa.

25
5. Riw
ayat
Pen
yaki
t
Dah
ulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama. Riwayat
trauma tidak ada.
6. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada.
7. Riwayat Pribadi
Riwayat alergi tidak ada. Tidak ada alergi obat. Tidak merokok
dan minum alkohol.
8. Riwayat Kebiasaan Sosial
Pasien sering menggunakan cotton bud untuk membersihkan
telinganya.

3.3 Pemeriksaan Fisik


3.3.1 Status present
1. Tanda Vital
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis Pernafasan :
18x/menit Suhu : 36,4 ° C
Nadi : 84 x/menit
Tekanan Darah : 114/78 mmHg Berat Badan : 60 kg
Tinggi Badan : 150 cm

3.3.2 Status lokalisata


Ar auris : Bentuk pinna(normotia), simetris, tanda radang (-/-), sekret
(-/-), fistula (-/-) tumor (-/-), auricular sign(-/-), tragus
sign(-/-), CAE (lapang/lapang), warna menyerupai kulit,
furunkel (-/-), secret (-/-), serumen(+/+).
MT dextra : Tampak sedikit hiperemis , refleks cahaya menurun,
retraksi(-), bulging(-), secret(-), perforasi(-), sikatrik(-).
MT sinistra : Tidak hiperemis, refleks cahaya menurun, retraksi(-),
bulging(-), secret(-), perforasi(-), sikatrik(-).

Gambaran MT dektra et sinistra


Ar nasal : Bentuk normotia, deformitas (-/-), deviasi (-/-), hiperemis
(-/-), edema (-/-) tumor (-/-), vestibulum nasi
(tenang/tenang), cavum nasi (lapang.lapang) konka
inferior (eutrofi/ eutrofi)
Ar orofaring : Tonsil (T1/T1) merah muda(+/+), faring merah muda ulkus
(-)
Pemeriksaan Penala :

3.4 Pemeriksaan penunjang


Tidak dilakukan
3.5 Diagnosa Banding
1. OMA stadium hiperemis AD
2. OMA stadium perforasi AD
3. OMA stadium resolusi AD
4. OMSK tipe aman fase tenang
3.6 Diagnosa Kerja
Otitis Media Akut stadium hiperemis AD

3.7 Tatalaksana
1. Medikamentosa : - amoxicillin 500mg 3x1 tab
- Metil prednisolon 4mg 3x1 tab
- N. Acetylsistein 200mg 3x1 tab

3.8 Edukasi
1. Menghindari masuknya air ke dalam telinga, sehingga pasien
disarankan ketika mandi telinga yang sakit disumbat dengan kapas
atau kasa agar air tidak masuk ke dalam telinga.
2. Pasien dianjurkan untuk tidak berenang
3. Istirahat cukup
4. Pemenuhan nutrisi yang cukup
5. Aural Toilet
6. Menghindari kebiasaan mengorek telinga
7. Datang kontrol kembali untuk evaluasi pengobatan.
3.9 Prognosis
Prognosis pada pasien ini adalah: Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
29

BAB IV
ANALISA KASUS
BAB V
KESIMPULAN

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Meherali S, Campbell A, Hartling L, Scott S. Understanding Parents’ Experiences and Information


Needs on Pediatric Acute Otitis Media: A Qualitative Study. J Patient Exp. 2019 Mar 24;6(1):53–
61.
2. Ubukata K, Morozumi M, Sakuma M, Takata M, Mokuno E, Tajima T, et al. Etiology of Acute
Otitis Media and Characterization of Pneumococcal Isolates After Introduction of 13-Valent
Pneumococcal Conjugate Vaccine in Japanese Children. Pediatric Infectious Disease Journal. 2018
Jun;37(6):598–604.
3. Ubukata K, Morozumi M, Sakuma M, Adachi Y, Mokuno E, Tajima T, et al. Genetic
characteristics and antibiotic resistance of Haemophilus influenzae isolates from pediatric patients
with acute otitis media after introduction of 13-valent pneumococcal conjugate vaccine in Japan.
Journal of Infection and Chemotherapy. 2019 Sep;25(9):720–6.
4. Protasova IN, Per’yanova O V., Podgrushnaya TS. Acute otitis media in the children: etiology and
the problems of antibacterial therapy. Vestn Otorinolaringol. 2017;82(2):84.
5. Purba LA, Imanto M, Angraini DI. Hubungan Otitis Media Akut Dengan Riwayat Infeksi Saluran
Pernapasan Atas Pada Anak. Medula. 2021 Jan;10(4):670–6.
6. Rijk MH, Hullegie S, Schilder AGM, Kortekaas MF, Damoiseaux RAMJ, Verheij TJM, et al.
Incidence and management of acute otitis media in adults: a primary care-based cohort study. Fam
Pract. 2021 Jul 28;38(4):448–53.
7. Netter. Atlas of Human Anatomy. 7th ed. Philadelphia, PA: Elsevier Health Sciences Division;
2018.
8. Snell RS. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC; 2012.
9. Tieso S, Lucas F, Messina F, Cacavelos N, Farelli G, Zavala L, et al. Tympanic Membrane
Phsyiology. Proceedings of the 22nd International Congress on Acoustics içinde. 2016;1–8.
10. Wageih Felfela GM. Ear Anatomy. Global Journal of Otolaryngology. 2017;4(1):22–39.
11. Jusri RK, Harmadji S. Anatomi dan Fisiologi Tuba Eustachius. Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga. 2008;23–8.
12. Schnupp J, Nelken I, King AJ. Auditory Neuroscience - Why Things Sound the Way They Do.
Auditory Neuroscience. 2011.
13. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Ketu. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012.
14. Ghanie A. Penatalaksanaa Otitis Media Akut pada Anak. Departemen Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Teggorokan, Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. 2010;1–18.
15. Aljohani Z, Alghonaim A, Alhaddad R, ALShaif W, AlThomali R, Asiry A, et al. Otitis media
causes and management. Int J Community Med Public Health. 2018;5(9):3703.
16. Saladin KS. Anatomy and Physiology. Edisi 6. New York: McGraw-Hill; 2012.
17. Johnson JT, Rosen CA. Bailey’s head and neck surgery: Otolaryngology. 5th ed. Philadelphia:
Lippincott, Williams and Wilkins; 2014.
18. Thomas JP, Berner R, Zahnert T, Dazert S. Acute Otitis Media—a Structured Approach. Dtsch
Arztebl Int. 2014;111(9):151–60.
 

31

Anda mungkin juga menyukai