Anda di halaman 1dari 47

Laporan Kasus

TETANUS ANAK
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Aceh Utara

Oleh:
Harida Fitri, S.Ked
2106111018

Preseptor:
dr. Mardiati, M.Ked (Ped) Sp.A

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
RUMAH SAKIT UMUM CUT MEUTIA
ACEH UTARA
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
hanya dengan rahmat, karunia dan izin-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul “Tetanus Anak” sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Kepanitraan Klinik Senior (KKS) di bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Umum Cut Meutia Kabupaten Aceh Utara.
Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terimakasih yang tak
terhingga kepada dr. Mardiati, M.Ked (Ped) Sp.A sebagai pembimbing yang
telah meluangkan waktunya memberi arahan kepada penulis selama mengikuti
KKS di bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Cut Meutia
Kabupaten Aceh Utara.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
referat ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, penulis mengharapkan
saran dan masukan yang membangun demi kesempurnaan laporan kasus ini.
Semoga laporan kasus ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak.

Lhokseumawe, September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i


DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iv
DAFTAR TABEL .............................................................................................. v
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................... 1
BAB 2 LAPORAN KASUS................................................................................ 3
2.1 Identitas ......................................................................................... 3
2.2 Anamnesis ...................................................................................... 3
2.2.1 Keluhan Utama .................................................................... 3
2.2.2 Keluhan Tambahan .............................................................. 4
2.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang .................................................. 4
2.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu ..................................................... 4
2.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga .................................................. 4
2.2.6 Riwayat Penggunaan Obat ................................................... 4
2.2.7 Riwayat Kehamilan dan Persalinan ...................................... 4
2.2.8 Riwayat Makanan ................................................................ 5
2.2.9 Riwayat Imunisasi ................................................................ 5
2.2.10 Riwayat Tumbuh Kembang.................................................. 5
2.2.11 Riwayat Pubertas ................................................................. 5
2.2.12 Riwayat Kebiasaan dan Sosial Ekonomi ............................... 5
2.3 Pemeriksaan Fisik ......................................................................... 5
2.3.1 Vital Sign............................................................................. 5
2.3.2 Antropometri ....................................................................... 6
2.3.3 Status Gizi ........................................................................... 6
2.4 Pemeriksaan Penunjang ................................................................ 7
2.5 Resume ........................................................................................... 8
2.6 Diagnosis Banding ......................................................................... 9
2.7 Diagnosa Kerja .............................................................................. 9

ii
2.8 Penatalaksanaan ............................................................................ 9
2.9 Prognosis ........................................................................................ 9
2.10 Follow up ..................................................................................... 10
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 15
3.1 Definisi ......................................................................................... 15
3.2 Epidemiologi ................................................................................ 15
3.3 Etiologi ......................................................................................... 15
3.4 Patofisiologi ................................................................................. 16
3.5 Manifestasi Klinis ........................................................................ 18
3.6 Diagnosa....................................................................................... 23
3.7 Diagnosis Banding19..................................................................... 26
3.8 Tatalaksana ................................................................................. 26
3.9 Pencegahan .................................................................................. 29
3.10 Prognosis ...................................................................................... 31
3.11 Komplikasi ................................................................................... 31
3.12 Otitis Media Akut ........................................................................ 31
BAB 4 PEMBAHASAN ................................................................................... 36
BAB 5 KESIMPULAN .................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 40

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Gejala Tetanus ................................................................................ 20

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Pemeriksaan laboratorium pada 07 Agustus 2022 di RSU Cut Meutia .. 7
Tabel 3.1 Klasifikasi Ablett’s ............................................................................. 22

v
BAB 1
PENDAHULUAN

Tetanus merupakan masalah kesehatan masyarakat yang terjadi di seluruh


dunia. Diperkirakan angka kejadian pertahunnya sekitar satu juta kasus dengan
tingkat mortalitas yang berkisar dari 6% hingga 60% (1). Sampai saat ini tetanus
masih merupakan masalah kesehatan masyarakat signifikan di negara berkembang
karena akses program imunisasi yang buruk, juga penatalaksanaan tetanus modern
membutuhkan fasilitas intensive care unit (ICU) yang jarang tersedia di sebagian
besar populasi penderita tetanus berat (2). Di negara berkembang, mortalitas
tetanus melebihi 50% dengan perkiraan jumlah kematian 800.000-1.000.000
orang per tahun, sebagian besar pada neonatus (3,4). Kematian tetanus neonatus
diperkirakan sebesar 248.000 kematian per tahun (2). Di bagian Neurologi RS
Hasan Sadikin Bandung, dilaporkan 156 kasus tetanus pada tahun 1999-2000
dengan mortalitas 35,2%. Pada sebuah penelitian retrospektif tahun 2003-
Oktober 2004 di RS Sanglah didapatkan 54 kasus tetanus dengan mortalitas 47%
(5).
Selama 20 tahun terakhir, insidensi tetanus telah menurun seiring dengan
peningkatan cakupan imunisasi. Namun demikian, hampir semua negara tidak
memiliki kebijakan bagi orang yang telah divaksinasi yang lahir sebelum program
imunisasi diberlakukan ataupun penyediaan booster yang diperlukan untuk
perlindungan jangka lama, serta pada orang-orang yang lupa melakukan jadwal
imunisasi saat infrastruktur pelayanan kesehatan rusak, misalnya akibat perang
dan kerusuhan. Akibatnya anak yang lebih besar serta orang dewasa menjadi lebih
berisiko mengalami tetanus. Meskipun demikian, di negara dengan program
imunisasi yang sudah baik sekalipun, orang tua masih rentan, karena vaksinasi
primer yang tidak lengkap ataupun karena kadar antibodinya yang telah menurun
seiring berjalannya waktu (6). Di Amerika Serikat, tetanus sudah jarang
ditemukan. Tetanus neonatorum menyebabkan 50% kematian perinatal dan
menyumbangkan 20% kematian bayi. Angka kejadian 6-7 kasus/100 kelahiran
hidup di perkotaan dan 11-23 kasus/100 kelahiran hidup di pedesaan. Sedangkan

1
angka kejadian tetanus pada anak di rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi
pada kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok >10 tahun,
dan sisanya pada bayi <12 bulan (7).
Di Indonesia, tetanus masih menjadi salah satu dari sepuluh besar
penyebab kematian pada anak (8). Meskipun insidensi tetanus saat ini sudah
menurun, namun kisaran tertinggi angka kematian dapat mencapai angka 60%.
Selain itu, meskipun angka kejadiannya telah menurun setiap tahunnya, namun
penyakit ini masih belum dapat dimusnahkan meskipun pencegahan dengan
imunisasi sudah diterapkan secara luas di seluruh dunia. Oleh karena itu,
diperlukan kajian lebih lanjut mengenai penatalaksanaan serta pencegahan tetanus
guna menurunkan angka kematian penderita tetanus, khususnya pada anak (9).

2
BAB 2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas
2.1.1 Identitas Pasien
Nama : Muhammad Azis
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 18 Juli 2011
Umur : 11 tahun
Alamat : Ds. Cot Ara, Baktiya, Aceh Utara
Nomor RM : 019418
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 07 Agustus 2022
Tanggal Pemeriksaan : 08 Agustus 2022
2.1.2 Identitas Orang Tua
1. Ayah
Nama : Iskandar
Umur : 45 tahun
Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Ds. Cot Ara, Baktiya, Aceh Utara
2. Ibu
Nama : Darmiati
Umur : 41 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Ds. Cot Ara, Baktiya, Aceh Utara

2.2 Anamnesis
2.2.1 Keluhan Utama
Kaku saat membuka mulut

3
4

2.2.2 Keluhan Tambahan


Demam, nyeri perut, nyeri punggung, nyeri telinga
2.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSU Cut Meutia dibawa oleh keluarganya dengan
keluhan utama kaku dan sulit saat membuka mulut sejak 1 hari. Berdasarkan
allonamnesis ibu pasien, 14 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien tertusuk duri
sawit di bagian telinga kiri, menimbulkan nyeri dan keluarnya cairan kental
berwarna putih kekuningan. Satu hari sebelum masuk rumah sakit, ibu pasien
mendapati mulut pasien makin sulit dibuka. Badan pasien kaku, sehingga tidak
dapat bangun sendiri dari tempat tidur. Pada telinga kiri masih dijumpai cairan
putih kental, berbau, dan terasa nyeri. Pasien berbicara kurang jelas, demam naik
turun ± 3 hari. Kejang rangsang (-). Pasien juga mengeluhkan nyeri punggung
disertai nyeri perut yang teraba keras seperti papan. BAK tidak ada keluhan,
pasien tidak BAB 2 hari ini.
2.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat kejang sebelumnya disangkal, riwayat infeksi sebelumnya
disangkal, dan riwayat penyakit lain disangkal.
2.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga
Berdasarkan allonamnesa, keluarga menyangkal adanya keluhan yang
sama pada saudara dan orang tua pasien.
2.2.6 Riwayat Penggunaan Obat
Pasien hanya mendapat obat penurun panas yang dibeli dari apotek, yaitu
paracetamol sirup.
2.2.7 Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Riwayat kehamilan dan persalinan pasien sebagai berikut:
Tabel 2.1 Riwayat kehamilan dan persalinan
Morbiditas kehamilan Tidak pernah menderita penyakit
selama kehamilan, dan juga tidak
mengonsumsi obat-obatan.
5

Perawatan Antenatal Ibu pasien memeriksakan


Kehamilan kandungannya ke bidan 3x selama
kehamilan.
Tempat Kelahiran Praktik mandiri bidan
Penolong Persalinan Bidan
Cara Persalinan Pervaginam
Masa Gestasi Cukup bulan (36-38 minggu)
Kelahiran Keadaan Bayi Segera menangis
Berat badan lahir: 3.200 gram
Panjang badan: tidak ingat
Lingkar kepala: tidak ingat
APGAR score: tidak diketahui

2.2.8 Riwayat Makanan


Pasien tidak mendapatkan ASI eksklusif. Pasien diberikan ASI dan susu
formula. MPASI mulai diberikan saat pasien berusia 4 bulan. Saat ini, pasien
makan 3x sehari, porsi kecil, nasi dan lauk pauk.
2.2.9 Riwayat Imunisasi
Berdasarkan anamnesis, pasien tidak mendapatkan imunisasi setelah lahir.
2.2.10 Riwayat Tumbuh Kembang
Riwayat tumbuh kembang normal.
2.2.11 Riwayat Pubertas
Pasien belum mengalami pubertas.
2.2.12 Riwayat Kebiasaan dan Sosial Ekonomi
Ayah pasien bekerja sebagai pedagang kaki lima yang berpenghasilan
rendah. Pasien tinggal di rumah yang jarak antar rumah berdekatan.
2.3 Pemeriksaan Fisik
2.3.1 Vital Sign
HR : 117 x/menit
RR : 22 x/menit
T : 38,3°C
SpO2 : 99%
6

2.3.2 Antropometri
BB : 38 kg
PB : 125 cm
2.3.3 Status Gizi
BB/U : 105 % (BB Normal)
PB/U : 86 % (Mild Stunting)
BB/TB : 126 % (Gizi Cukup)
Status Generalis
1 Kulit
Warna Ikterik (-), sianosis (-)
Turgor Cepat Kembali
Oedema (-)
Anemia (-)
Pigmen Tidak terdapat hipopigmentasi ataupun hiperpigmentasi
2 Kepala
Wajah Simetris, deformitas (-)
Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cekung (-/-),
Mata palpebra normal, gerakan bola mata normal, pupil bulat, isokor
(+/+), diameter 2mm/2mm
Telinga Bentuk normal, discharge (-/-), sekret (-/-), darah (-/-)
Hidung Sekret (-/-), darah (-/-), deviasi septum nasi (-/-)
Mulut Trismus (+), pemeriksaan dalam tidak dapat diperiksa
3 Leher
Inspeksi Pembesaran KGB (-)
Palpasi Distensi vena jugularis (-)
4 Thorax
Paru
Inspeksi Bentuk dada normal, gerak dada simetris kanan dan kiri saat
statis dan dinamis
Palpasi Tidak ada benjolan, massa (-), ekspansi dada simetris
Perkusi Tidak dapat diperiksa
Auskultasi Rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat
7

Palpasi Ictus cordis teraba di ICS V linea midklavikula sinistra


Perkusi Tidak dapat diperiksa
Auskultasi BJ I/II normal, bising jantung (-)
5 Abdomen
Inspeksi Simetris, distensi (-)
Palpasi:
Hepar Tidak dilakukan pemeriksaan
Lien Tidak dilakukan pemeriksaan
Perkusi Timpani seluruh lapang abdomen
Auskultasi Peristaltik usus (+)
6 Genetalia Tidak dilakukan pemeriksaan
7 Ekstremitas Akral hangat, edema (-), sianosis (-)
8 Neurologis TRM (-), Reflek Patologis (-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Tabel 2.1 Pemeriksaan laboratorium pada 07 Agustus 2022 di RSU Cut Meutia
Nama Test Hasil Test Nilai Rujukan
Darah Lengkap
Hemoglobin 13.99 13.0-18.0 g/dl
Eritrosit 5.07 4.5-6.5 juta/uL
Hematokrit 37.95 37.0-47.0 %
MCV 74.90 79-99 fL
MCH 27.60 27.0-31.2 pg
MCHC 36.85 33.0-37.0 g/dl
Leukosit 11.87 4.0-11.0 ribu/uL
Trombosit 259 150-450 ribu/uL
Hitung Jenis Leukosit
Basofil 0.49 0-1.7%
Eosinofil 0.41 0.60-7.30%
Neutrofil segmen 82.42 39.3-73.7%
Limfosit 13.43 18.0-48.3%
Monosit 3.25 4.40-12.7%
8

2.5 Resume
Pasien datang ke IGD RSU Cut Meutia dibawa oleh keluarganya dengan
keluhan utama kaku dan sulit saat membuka mulut sejak 1 hari. Berdasarkan
allonamnesis ibu pasien, 14 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien tertusuk duri
sawit di bagian telinga kiri, menimbulkan nyeri dan keluarnya cairan kental
berwarna putih kekuningan. Satu hari sebelum masuk rumah sakit, ibu pasien
mendapati mulut pasien makin sulit dibuka. Badan pasien kaku, sehingga tidak
dapat bangun sendiri dari tempat tidur. Pada telinga kiri masih dijumpai cairan
putih kental, berbau, dan terasa nyeri. Pasien berbicara kurang jelas, demam naik
turun ± 3 hari. Kejang rangsang (-). Pasien juga mengeluhkan nyeri punggung
disertai nyeri perut yang teraba keras seperti papan. BAK tidak ada keluhan,
pasien tidak BAB 2 hari ini.
Dari pemeriksaan fisik awal, pasien dengan kesadaran Compos Mentis,
Frekuensi nadi 117x/menit, teratur; frekuensi pernapasan 22x/menit, suhu 38,3°C.
BB/U= 105%, TB/U= 86%, BB/ TB=126%. Kesan klinis status antropometri gizi
baik. Riwayat imunisasi tidak lengkap. Pada pemeriksaan mata didapatkan
konjungtiva palpebra tidak anemis, sklera tidak ikterus, tidak ada edema palpebra.
Pada pemeriksaan telinga, hidung dan tenggorokan ditemukan adanya otore pada
telinga kanan yang bersifat mukopurulen, otore ini menyebabkan membran
timfani telinga kanan tidak dapat dilihat dengan baik. Pemeriksaan jantung dan
paru dalam batas normal. Didapati opistotonus dan perut seperti papan.
Ekstremitas kesan normal, refleks fisiologis dalam batas normal, tidak ada refleks
patologis. Pada pemeriksaan neurologis tidak didapatkan kelainan. Pada
pemeriksaan khusus ditemukan trimus 2 cm (+), defans muscular (+), opistotonus
(+). Pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 13,99 g/dL, Ht 37,95%, leukosit
11.870/UL, trombosit 531.000/ UL, hitung jenis basofil 0,49%, eosinophil 0,41%,
neutrofil segmen 82,42%, limfosit 13,43%, monosit 3,25%, dan KGDS 67 mg/
dL.
9

2.6 Diagnosis Banding


Keluhan kaku mulut Keluhan telinga berair
Tetanus OMA
Meningoencephalitis OMSK
Rabies
2.7 Diagnosa Kerja
Tetanus Anak + OMA
2.8 Penatalaksanaan
Farmakoterapi pada rawat inap:
• IVFD RL 10 tpm (mikro)
• IM Tetagam 6000 IU Boka Boki (extra)
• Drip Paracetamol 400 mg/8 jam
• IV Metronidazole 400 mg/8 jam
• IV Diazepam 4 mg/3 jam→ IV Diazepam 4 mg/4 jam→ IV
Diazepam 4 mg/6 jam
Farmakoterapi rawat jalan:
• Cefixime syr. 2xC 1/2
• Paracetamol syr. 3xC1
• Solvita syr. 1xC1
2.9 Prognosis
Quo Ad vitam: dubia ad bonam
Quo Ad functionam: dubia ad bonam
Quo Ad sanationam: dubia ad bonam
10

2.10 Follow up
Tanggal SOAP Terapi
08/08/2022 S/ IVFD RL 10 tpm
H+2 Trismus (+) >1 cm, nyeri perut Drip Paracetamol 400 mg/8 jam
(+), nyeri punggung (+), Kejang IV Metronidazole 400 mg/8 jam
rangsang (-), nyeri telinga (+), IV Diazepam 4 mg/3 jam
telinga berair (-) BAB (-), BAK
(+)
O/
KU: lemah
HR: 117 x/menit
RR: 22 x/menit
T: 37⁰C
SpO2: 96%
Mulut: trismus
A/ Tetanus + OMA
P/ Konsul THT
09/08/2022 S/ IVFD D5% + NaCl 0,45% 16 tpm
H+3 Trismus (+) >1 cm, nyeri perut Drip Paracetamol 400 mg/8 jam (k/p)
(+), nyeri punggung (+), nyeri IV Metronidazole 400 mg/8 jam
telinga (+), BAB (-), BAK (+) IV Diazepam 4 mg/6 jam
O/ IV Ranitidin 1/2 amp/12 jam
KU: lemah Sucralfat syr 3x cth 1
HR: 87 x/menit Solvita syr 1xcth 1
RR: 21 x/menit H2O2 2x4 gtt
SpO2: 99% Ofofloxacin 2x4 gtt
T: 37⁰C
A/ Tetanus + OMA
P/ Terapi lanjut
10/08/2022 S/ IVFD D5% + NaCl 0,45% 16 tpm
H+4 Trismus (+) >1,5 cm, nyeri Drip Paracetamol 400 mg/8 jam (k/p)
perut (-), nyeri punggung (+), IV Metronidazole 400 mg/8 jam
nyeri telinga (-), BAB (-), BAK IV Diazepam 4 mg/6 jam
(+) IV Ranitidin 1/2 amp/12 jam
O/ Sucralfat syr 3x cth 1
11

KU: lemah Solvita syr 1xcth 1


HR: 93 x/menit H2O2 2x4 gtt
RR: 21 x/menit Ofofloxacin 2x4 gtt
SpO2: 100%
T:36,7⁰C
A/ Tetanus + OMA
P/ Terapi lanjut
11/08/2022 S/ IVFD D5% + NaCl 0,45% 16 tpm
H+5 Trismus (+) >2 cm, nyeri perut Drip Paracetamol 400 mg/8 jam (k/p)
(+), nyeri punggung (+),BAB (- IV Metronidazole 400 mg/8 jam
), BAK (-) ± 8 jam (dari pukul IV Diazepam 4 mg/6 jam
23.30-07.30 WIB) IV Ranitidin 1/2 amp/12 jam
O/ Sucralfat syr 3x cth 1
KU: lemah Solvita syr 1xcth 1
HR: 110 x/menit H2O2 2x4 gtt
RR: 28 x/menit Ofofloxacin 2x4 gtt
SpO2: 92% Dulcolax supp 5 mg (extra)
T: 36,7⁰C
A/ Tetanus + OMA
P/ Terapi dilanjutkan;
Pukul 20:00 WIB: pasien
mengeluhkan tidak bisa BAK ±
5 jam, tidak bisa BAB,
Arahan DPJP pada pukul 20:10
WIB dilakukan:
- pemasangan kateter (dipasang
pada pukul 20.15→ BAK (+) ±
200 cc, pukul 23.00→ pasien
merasa kesakitan di tempat
pemasangan kateter, dan
diputuskan untuk dibuka)
- Dulcolax supp 5 mg (extra)

12/08/2022 S/ IVFD D5% + NaCl 0,45% 16 tpm


H+6 Trismus (+) >2 cm, nyeri perut Drip Paracetamol 400 mg/8 jam (k/p)
(+), nyeri punggung (+), BAB (- IV Metronidazole 400 mg/8 jam
12

), BAK (+) IV Diazepam 4 mg/6 jam


O/ IV Ranitidin 1/2 amp/12 jam
KU: lemah Sucralfat syr 3x cth 1
HR: 84 x/menit Solvita syr 1xcth 1
RR: 28 x/menit H2O2 2x4 gtt
SpO2: 94% Ofofloxacin 2x4 gtt
T: 36,6⁰C
A/ Tetanus + OMA
P/ Terapi lanjut; Fisioterapi
13/08/2022 S/ IVFD D5% + NaCl 0,45% 16 tpm
H+7 Trismus (+) >3 cm, nyeri perut Drip Paracetamol 400 mg/8 jam
(-), nyeri punggung (-), BAB (- IV Metronidazole 400 mg/8 jam
), BAK (+) IV Diazepam 4 mg/6 jam
O/ IV Ranitidin 1/2 amp/12 jam
KU: lemah Sucralfat syr 3x cth 1
HR: 84 x/menit Solvita syr 1xcth 1
RR: 28 x/menit H2O2 2x4 gtt
SpO2: 94% Ofofloxacin 2x4 gtt
T: 36,6⁰C
A/ Tetanus + OMA
P/ Terapi lanjut; Fisioterapi
14/08/2022 S/ IVFD D5% + NaCl 0,45% 16 tpm
H+8 Trismus (+) >3 cm, nyeri perut Drip Paracetamol 400 mg/8 jam (k/p)
(+), nyeri punggung (+), BAB (- IV Metronidazole 400 mg/8 jam
), BAK (+), sariawan (+) IV Diazepam 4 mg/6 jam
O/ IV Ranitidin 1/2 amp/12 jam
KU: lemah Sucralfat syr 3x cth 1
HR: 90 x/menit Solvita syr 1xcth 1
RR: 22 x/menit H2O2 2x4 gtt
SpO2: 99% Ofofloxacin 2x4 gtt
T: 36,9⁰C
A/ Tetanus + OMA
P/ Ganti cairan dan tambahan
terapi dengan :
- IVFD 2:1 16 tpm
- IV Metronidazole 400 mg/12
13

jam
- Nystatin drop 3x1
15/08/2022 S/ IVFD 2:1 16 tpm
H+9 Trismus (-), nyeri perut (-), Drip Paracetamol 400 mg/8 jam (k/p)
nyeri punggung (+), BAB (-), IV Metronidazole 400 mg/12 jam
BAK (+), sariawan (+) IV Diazepam 4 mg/4 jam
O/ IV Ranitidin 1/2 amp/12 jam
KU: lemah Sucralfat syr 3x cth 1
HR: 95 x/menit Solvita syr 1xcth 1
RR: 21 x/menit H2O2 2x4 gtt
SpO2: 100% Ofofloxacin 2x4 gtt
T:36,8⁰C Nystatin drop 3x1
A/ Tetanus + OMA
P/ Terapi dilanjutkan

16/08/2022 S/ IVFD 2:1 16 tpm


H+10 Kejang 3x, nyeri punggung (-), Drip Paracetamol 400 mg/8 jam (k/p)
BAB (-), BAK (+) IV Metronidazole 400 mg/12 jam
O/ IV Diazepam 4 mg/4 jam
KU: baik IV Ranitidin 1/2 amp/12 jam
HR: 96 x/menit Sucralfat syr 3x cth 1
RR: 21 x/menit Solvita syr 1xcth 1
SpO2: 96% H2O2 2x4 gtt
T: 36,6⁰C Ofofloxacin 2x4 gtt
A/ Tetanus + OMA Nystatin drop 3x1
P/ Terapi lanjut; Pindah Bangsal
17/08/2022 S/ IVFD 2:1 16 tpm
H+11 Kejang (-), BAB (+), BAK (+) Drip Paracetamol 400 mg/8 jam (k/p)
O/ IV Metronidazole 400 mg/12 jam
KU: baik IV Diazepam 4 mg/6 jam
HR: 113 x/menit IV Ranitidin 1/2 amp/12 jam
RR: 22 x/menit Sucralfat syr 3x cth 1
SpO2: 98% Solvita syr 1xcth 1
T: 37,3⁰C H2O2 2x4 gtt
A/ Tetanus + OMA Ofofloxacin 2x4 gtt
P/ Terapi lanjut Nystatin drop 3x1
14

18/08/2022 S/ Keadaan umum pasien IVFD 2:1 16 tpm


H+12 membaik Drip Paracetamol 400 mg/8 jam (k/p)
O/ IV Metronidazole 400 mg/12 jam
KU: baik IV Diazepam 4 mg/6 jam
HR: 90 x/menit IV Ranitidin 1/2 amp/12 jam
RR: 21 x/menit Sucralfat syr 3x cth 1
SpO2: 99% Solvita syr 1xcth 1
T: 36,8⁰C H2O2 2x4 gtt
A/Tetanus + OMA Ofofloxacin 2x4 gtt
P/ Terapi lanjut, Obs. 1 hari lagi Nystatin drop 3x1
19/08/2022 S/ Keadaan umum pasien IVFD 2:1 16 tpm
H+13 membaik Drip Paracetamol 400 mg/8 jam (k/p)
O/ IV Metronidazole 400 mg/12 jam
KU: baik IV Diazepam 4 mg/6 jam
HR: 88 x/menit IV Ranitidin 1/2 amp/12 jam
RR: 21 x/menit Sucralfat syr 3x cth 1
SpO2: 98% Solvita syr 1xcth 1
T: 36,5⁰C H2O2 2x4 gtt
A/Tetanus + OMA Ofofloxacin 2x4 gtt
P/ PBJ Nystatin drop 3x1
Obat PBJ
Cefixime syr. 2xC ½
Paracetamol syr. 3xC1
Solvita syr. 1xC1
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Tetanus adalah penyakit yang menyebabkan gangguan neurologis sporadis
yang disebabkan oleh tetanospasmin yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium
tetani dengan karakteristik gejala seperti peningkatan tonus otot dan spasme (10).
Spasme hampir selalu terjadi pada otot leher dan rahang yang menyebabkan
penutupan rahang (trismus, lockjaw), serta melibatkan tidak hanya otot
ekstremitas, tetapi juga otot-otot batang tubuh (11).
3.2 Epidemiologi
Program eliminasi tetanus maternal-neonatal (maternal and neonatal
tetanus elimination, MNTE) yang dimulai pada tahun 1988 memiliki dampak
yang signifikan dalam menurunkan angka kematian pada neonatus akibat tetanus
di dunia, yaitu berkurang hampir 78%. Secara keseluruhan, angka kematian yang
diakibatkan oleh tetanus mencapai 57.000 kematian pada tahun 2015, dimana
20.000 diantaranya merupakan neonates (12). Meskipun angka mortalitas dari
penyakit ini mengalami penurunan di banyak negara, berbeda pada negara
berkembang, dimana penyakit ini mengakibatkan 213.000-293.000 kematian
setiap tahunnya (13). Sebagian besar kasus tetanus ditemukan pada Asia Selatan
dan Afrika Sub-Sahara (14).
Angka kejadian tetanus di Indonesia mengalami penurunan yang
signifikan, terutama setelah program MNTE dilaksanakan di Indonesia. Angka
kejadian tetanus pada anak di rumah sakit 7-40 kasus/tahun, 50% terjadi pada
kelompok 5-9 tahun, 30% kelompok 1-4 tahun, 18% kelompok >10 tahun, dan
sisanya pada bayi <12 bulan (7).
3.3 Etiologi
Tetanus adalah penyakit yang disebabkan oleh Clostridium tetani, kuman
berbentuk batang dengan sifat, basil gram-positif dengan spora pada ujungnya
sehingga berbentuk seperti pemukul genderang (drum stick), obligat anaerob
(berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan anerob) dan dapat bergerak

15
16

menggunakan flagella, tumbuh dalam lingkungan dengan kemampuan oksidasi-


reduksi (Eh) yang rendah, atau tidak adanya oksigen, menghasilkan eksotoksin
yang kuat. Clostridium tetani dapat bertahan hidup dalam autoklaf pada suhu
249,8°F (121°C) selama 10 hingga 15 menit (15).
Spora juga relatif tahan terhadap fenol dan bahan kimia lainnya. Spora
tersebar luas di tanah dan di usus dan kotoran kuda, domba, sapi, anjing, kucing,
tikus, marmut, dan ayam. Tanah yang diolah dengan pupuk kandang mungkin
mengandung banyak spora. Spora juga dapat ditemukan pada permukaan kulit
yang terkontaminasi. Clostridium tetani menghasilkan dua eksotoksin, tetanolysin
dan tetanospasmin. Tetanospasmin adalah neurotoksin dan menyebabkan
manifestasi klinis tetanus. Berdasarkan beratnya, tetanospasmin adalah salah satu
racun paling kuat yang diketahui: perkiraan dosis mematikan minimum pada
manusia adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan (16).
3.4 Patofisiologi
Pada dasarnya tetanus adalah penyakit akibat penyakit pencemaran
lingkungan oleh bahan biologis (spora), sehingga upaya kausal menurunkan
attack rate berupa cara mengubah lingkungan fisik atau biologis. Port d’entre tak
selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui: (15,16)
1. Luka tusuk (paku, serpihan kaca, injeksi tidak steril, injeksi obat, tindik), patah
tulang komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang luas
2. Luka operasi (benang terkontaminasi), luka yang tak dibersihkan (debridement)
dengan baik (goresan-goresan upacara, sirkumsisi wanita).
3. Otitis media, karies gigi, abses gigi, luka kronik (ulkus kronik), gangren
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan punting tali pusat dengan
kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan dan daun-daunan merupakan
penyebab utama masuknya spora pada punting tali pusat yang menyebabkan
terjadinya kasus tetanus neonatorum.
17

Proses infeksi dimulai dengan masuknya spora ke dalam tubuh melalui


berbagai Port d’ entry, dan berada dalam lingkungan anaerobik. Spora tersebut
akan berubah menjadi bentuk vegetatif, kemudian berbiak dengan cepat untuk
menghasilkan neurotoksin. Dalam jaringan yang anaerobik ini terdapat penurunan
potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan oksigen jaringan akibat
adanya benda asing, seperti bambu, pecahan kaca dan sebagainya (15,16).
Clostridium tetani mensekresi toksin, tetanospasmin, dan tetanolysin,
menyebabkan karakteristik “kejang tetanik”, suatu kontraksi umum otot agonis
dan antagonis. Secara khusus, tetanospasmin mempengaruhi interaksi motor end
plate saraf dan otot, menyebabkan sindrom klinis kekakuan, kejang otot, dan
ketidakstabilan otonom dan juga tetanolysin merusak jaringan. Di tempat
inokulasi, spora tetanus masuk ke luka dan berekmbang menjadi bakteri
Clostridium tetani yang utuh dan membutuhkan kondisi anaerobik,yang memiliki
potensi oksidasi-reduksi rendah (15,17).
Setelah berkembang, bakteri Clostridium tetani melepaskan tetanospasmin
ke dalam aliran darah.Toksin ini memasuki terminal presinaptik di end plate
neuron neuromuskular motorik dan menghambat pelepasan neurotransmitter
glisin dan GABA yang merupakan neurotransmitter inhibitorik yang berfungsi
membuat otot relaksasi. Selanjutnya, toksin ini, melalui transpor aksonal
retrograde, berjalan ke neuron di sistem saraf pusat di mana ia juga menghambat
pelepasan neurotransmitter; hal ini terjadi sekitar 2 sampai 14 hari setelah
inokulasi. Karena glisin dan GABA adalah neurotransmiter penghambat utama,
sel gagal menghambat respons refleks motorik terhadap stimulasi sensorik,
menyebabkan kejang tetanik (17).
Hal ini dapat menyebabkan aktivitas dan kontraksi otot yang begitu kuat
sehingga patah tulang dan robekan otot dapat terjadi. Masa inkubasi dapat
berlangsung dari satu sampai 60 hari tetapi rata-rata sekitar 7 sampai 10 hari.
Tingkat keparahan gejala tergantung pada jarak dari sistem saraf pusat dengan
18

gejala yang lebih parah terkait dengan masa inkubasi yang lebih pendek. Setelah
neurotoksin memasuki batang otak, terjadi disfungsi otonom, biasanya pada
minggu kedua onset gejala. Dengan hilangnya kontrol otonom, pasien dapat
datang dengan tekanan darah dan detak jantung yang labil diaforesis, bradiaritmia,
dan henti jantung. Gejala dapat berlangsung selama berminggu-minggu hingga
berbulan-bulan dengan tingkat kematian 10% pada mereka yang terinfeksi,
bahkan lebih tinggi pada mereka yang tidak divaksinasi sebelumnya. Ada
komplikasi neuropsikiatri motorik dan jangka panjang yang sering terjadi pada
orang yang selamat; namun, banyak yang sembuh total (18).
3.5 Manifestasi Klinis
Variasi masa inkubasi sangat lebar, biasanya berkisar anatara 5-14 hari.
Makin lama masa inkubasi, gejala yang timbul makin ringan. Derajat berat
penyakit selain berdasarkan gejala klinis yang tampak juga dapat diramalkan dari
lama masa inkubasi atau lama period of onset. Kekakuan dimulai pada otot
setempat atau trismus, kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa disertai
gangguan kesadaran. Kekakuan tetanus sangat khas, yaitu fleksi kedua lengan dan
ekstensi pada kedua kaki, fleksi pada kedua kaki, tubuh kaku melengkung bagai
busur. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri anggota badan
sering merupakan gejala dini (15,16,19-22).
Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang
makin bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam penyakit
ini menjadi nyata dengan (15):
• Trismus
Adalah kekakuan otot maseter sehingga sukar membuka mulut. Pada
neonates kekakuan ini menyebabkan mulut mencucu seperti mulut ikan
sehingga bayi tidak dapat menetek. Secara klinis untuk menilai kemajuan
kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur setiap hari.
19

• Risus sardonikus
Akibat spasme otot muka, sehingga tampak dahi mengkerut, alis tertarik
ke atas, mata agak tertutup, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah,
bibir tertekan kuat pada gigi.
• Opistotonus
Adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti otot punggung, otot
leher (kaku kuduk), otot badan, dan trunk muscles. Kekakuan yang sangat
berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur. Spasme mula-
mula intermitten diselingi periode relaksasi. Kemudian tidak jelas lagi dan
serangan tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi perdarahan
intramusculus karena kontraksi yang kuat.
• Ketegangan otot dinding perut sehingga dinding perut seperti papan.
• Kejang umum
Bila kekakuan semakin berat, akan timbul kejang umum yang awalnya
hanya terjadi setelah dirangsang (karena toksin terdapat di kornu anterior),
misalnya dicubit, digerakkan dengan kasar, atau terkena sinar yang kuat.
Lambat laun “masa istirahat” kejang semakin pendek sehingga anak jatuh
dalam status konvulsivus.
• Asfiksia dan sianosis
Terjadi akibat kejang yang terus menerus atau serangan pada otot
pernapasan dan laring (spasme laring). Retensi urin dapat terjadi karena
spasme otot sfingter uretra. Fraktur tulang panjang dan kolumna
vertebralis dapat pula terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat.
• Gangguan saraf autonom
Pengaruh toksin terhadap saraf autonom menyebabkan gangguan irama
jantung atau kelainan pembuluh darah, suhu tubuh yang tinggi (febris)
atau keringat banyak.
20

Gambar 3.1 Gejala Tetanus


Terdapat 4 bentuk klinis dari tetanus, yaitu: (10,15)
1. Localized tetanus
Pada tetanus lokal dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada
daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fiksator). Hal ini
merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bisa
bertahan dalam beberapa bulan tanpa progres dan biasanya menghilang secara
bertahap.
Tetanus lokal ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam
bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga lokal tetanus ini
dijumpai sebagai prodromal dari tetanus klasik atau dijumpai secara terpisah. Hal
ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.
21

2. Chepalic Tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi
berkisar 1-2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di
India), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam
rongga hidung. Tetanus sefalik dicirikan oleh lumpuhnya saraf kranial VII yang
paling sering terlibat. Tetanus Ophthalmoplegic ialah tetanus yang berkembang
setelah menembus luka mata dan luka dalam dengan kelumpuhan dari saraf
kranial III dan adanya ptosis. Selain itu bisa juga kelumpuhan dari N. IV, IX, X,
XI, dapat sendiri-sendiri maupun kombinasi dan menetap dalam beberapa hari
bahkan berbulan-bulan.
Tetanus sefalik dapat berkembang menjadi tetanus umum. Pada umumnya
prognosisnya buruk.
3. Generalized tetanus
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi
yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-
diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50 %), bersamaan
dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan
kesulitan menelan. Gejala lain berupa risus sardonicus (Sardonic grin),
opistotonus, dan kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot pernafasan
bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianosis, dan asfiksia.
Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi dapat mencapai 40o C.
Bila dijumpai hipertermi atau hipotermi, tekanan darah tidak stabil, dan dijumpai
takikardia, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan
gejala klinis.
22

Klasifikasi tetanus umum berdasarkan derajat panyakit menurut


modifikasi dari klasifikasi Ablett’s dapat dibagi menjadi 4 diantaranya, yaitu: (23)
Derajat 1: ringan
a. Trismus derajat ringan sampai sedang
b. Spastisitas generalisata
c. Tidak terdapat gangguan pernapasan
d. Tidak terdapat spasme muskular
e. Tidak terdapat atau terdapat disfagia minimal
Derajat 2: sedang
a. Trismus derajat sedang
b. Rigiditas jelas
c. Spasme ringan sampai sedang dengan durasi singkat
d. Gangguan pernapasan sedang disertai dengan peningkatan rasio respirasi
(>30 kali/menit)
e. Disfagia ringan
Derajat 3: berat
a. Trismus derajat berat
b. Spastisitas generalisata
c. Refleks spasme berkepanjangan
d. Peningkatan rasio respirasi >40 kali/menit
e. Serangan apnea
f. Disfagia berat
g. Takikardi (>120 kali/menit)
Derajat 4: sangat berat
a. Gambaran klinis derajat 3
b. Gangguan fungsi autonom disertai dengan gangguan kardiovaskular
c. Hipertensi dan takikardi yang diselingi dengan kejadian hipotensi dan
bradikardi (dimana salah satunya dapat menetap)
23

4. Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali
pusat, umumnya karena teknik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang
tidak mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalah
ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan
spasme. Posisi tubuh klasik: trismus, opistotonus yang berat dengan lordosis
lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan
mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah
hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki.
Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi,
dan kegagalan jantung paru.
3.6 Diagnosa
Diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis, karena
pemeriksaan laboratorium tidak spesifik. Jadi, penegakan diagnosis sepenuhnya
didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jangan menyingkirkan
diagnosis tetanus meskipun orang tersebut telah diimunisasi secara lengkap.
Diperkirakan terdapat 4-100 juta kasus tetanus pada orang yang telah divaksinasi
(imunokompeten) (24,25)
3.6.1. Anamnesis
Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain: (24)
• Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka
dengan nanah atau gigitan binatang?
• Apakah pernah keluar nanah dari telinga?
• Apakah pernah menderita gigi berlubang?
• Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi
yang terakhir?
• Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme
lokal) dengan spasme yang pertama (period of onset)?
24

3.6.2. Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaaan fisik dapat ditemukan : (15,26)
• Trismus adalah kekakuan otot mengunyah (otot maseter) sehingga sukar
untuk membuka mulut. Pada neonatus kekakuan mulut ini menyebabkan
mulut mencucu seperti mulut ikan sehingga bayi tidak dapat menetek.
Secara klinis untuk menilai kemajuan kesembuhan, lebar bukaan mulut
diukur setiap hari.
• Risus sardonikus, terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik sehingga
tampak dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut mulut tertarik keluar
dan ke bawah.
• Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti: otot
punggung, otot leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat
berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.
• Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan.
• Bila kekakuan makin berat, akan timbul spasme umum yang awalnya
hanya terjadi setelah dirangsang misalnya dicubit, digerakkan secara kasar,
atau terkena sinar yang kuat. Lambat laun masa istirahat spasme makin
pendek sehingga anak jatuh dalam status konvulsivus.
• Pada tetanus neonatorum awalnya bayi tampak sulit untuk menghisap dan
cenderung terus menangis. Setelah itu, rahang menjadi kaku sehingga bayi
tidak bisa menghisap dan sulit menelan. Beberapa saat sesudahnya, badan
menjadi kaku serta terdapat spasme intermiten.
• Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan sebagai akibat
spasme yang terus-menerus atau oleh karena kekakuan otot laring yang
dapat menimbulkan anoksia dan kematian; pengaruh toksin pada saraf
otonom menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan irama jantung atau
kelainan pembuluh darah), dapat pula menyebabkan suhu badan yang
tinggi atau berkeringat banyak; kekakuan otot sfingter dan otot polos lain
25

sehingga terjadi retensio alvi atau retensio urine atau spasme laring; patah
tulang panjang dan kompresi tulang belakang.
• Uji spatula dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring dengan
menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif,
jika terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil
negatif berupa refleks muntah.

3.6.3. Pemeriksaan Penunjang


Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus (15).
• Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka
tetanus. Namun demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang
yang tidak mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur pada
pasien tetanus. Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman
anaerobik. Selain mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak
mempunyai arti. Hanya sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan pada
luka dan dapat diisolasi dari pasien yang tidak mengalami tetanus.
• Nilai hitung leukosit dapat tinggi.
• Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal.
• Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai
imunisasi dan bukan tetanus.
• Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat
meningkat.
• EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus-menerus
dan pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang normal yang
diamati setelah potensial aksi.
• Dapat ditemukan perubahan yang tidak spesifik pada EKG.
26

3.7 Diagnosis Banding19


PENYAKIT GAMBARAN DIFFERENTIAL
INFEKSI
Meningoencephalitis Demam, trismus tidak ada, sensorium depresi,
Polio abnormal CSF
Rabies Trismus tidak ada, paralisa tipe flasid, abnormal
Lesi oropharyngeal CSF
Peritonitis Gigitan binatang, trismus tidak ada, hanya
oropharingeal spasm
Hanya lokal, rigiditas seluruh tubuh atau spasme
tidak ada
Trismus atau spasme seluruh tubuh tidak ada
KELAINAN METABOLIK
Tetani Hanya carpopedal dan laryngeal spasm,
Keracunan striknin hipokalsemia
Relaksasi phenothiazine Relaksasi komplit diantara spasme
Distonia, respons dengan diphenhydramine
PENYAKIT CNS
Stastus epilepticus Sensorium depressi
Hemorrhage atau tumor Trismus tidak ada, sensorium depressi
KELAINAN PSIKIATRIK
Hysteria Trismus inkonstan, relaksasi komplet diantara
spasme
KELAINAN
MUSKULOSKLETAL
Trauma Hanya local

3.8 Tatalaksana
Penatalaksanaan pasien tetanus secara garis besar terdiri atas tatalaksana
umum dan khusus. Pada penatalaksanaan umum, hal-hal yang harus diperhatikan
adalah sebagai berikut: (15)
1. Tercukupinya kebutuhan cairan dan nutrisi.
2. Menjaga saluran napas agar tetap bebas.
3. Penanganan spasme, diazepam menjadi pilihan pertama.
4. Mencari port d’entree.
27

Penatalaksanaan khusus tetanus terdiri dari pemberian ATS atau Human


tetanus Imunoglobulin (HTIG) dan antibiotika. Tujuan pemberian ATS dan HTIG
adalah untuk menetralisasi toksin yang beredar di dalam darah dan dapat juga
diberikan sebagai profilaksis (WHO, 2001).

Penatalaksanaan umum
- Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang
pada unit perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal.
- Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena, sekaligus
memberikan obat-obatan dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat
dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian secara parenteral. Setelah
kejang mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-
obatan dengan perhatian khusus pada kemungkinan terjadinya aspirasi.
- Menjaga saluran nafas tetap bebas, kalau berat perlu trakeostomi
- Memberikan tambahan oksigen dengan sungkup
- Mengurangi spasme dan mengatasi kejang
Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan.
Obat ini mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot
yang kuat tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan
28

adalah 0,1-0,3 mg/kgBB dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau dosis
yang direkomendasikan untuk usia < 2 tahun adalah 8 mg/kgBB/hari diberikan
oral dalam dosis 2-3 mg/3 jam. Kejang harus segera dihentikan dengan pemberian
diazepam 5 mg per rektal untuk BB < 10 kg dan 10 mg untuk BB > 10 kg, atau
dosis diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah kejang berhenti,
pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan klinis
pasien. Alternatif lain untuk bayi diberikan dosis inisial 0,1-0,2 mg/kgBB/hari
untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infuse kontinu 15-40 mg/kgBB/hari.
Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat
diberikan melalui OGT. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai kejang
spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik, tidak dijumpai gangguan nafas.
Bila dosis diazepam maksimal telah tercapai namun anak masih kejang atau
mengalami spasme laringm sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di ruang
perawatan intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan
pernafasan mekanik. Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan
telah memberikan respon klinis yang diharapkan, dosis dipertahankan 3-5 hari.
Selanjutnya pengurangan dosis secara bertahap (sekitar 20 % dari dosis setiap 2
hari).
Penatalaksanaan khusus
- Antibiotik
Antibiotik ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani,
bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Antibiotik lini pertama yang diberikan
adalah metronidazole IV/oral dengan dosis awal secara loading dose 15 mg/kgBB
dalam 1 jam dilanjutkan 30 mg/kgBB/hari selama 1 jam perinfus setiap 6 jam
selama 7-10 hari. Lini kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000-
100.000/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitif terhadap penisilin
dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak usia > 8 tahun). Penyulit
yang ada diberikan antibiotik yang sesuai.
29

- Anti serum
Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU IM dan
50.000 IU IV. Pemberian ATS harus berhati-hati akan terjadinya reaksi
anafilaksis. Pada tetanus anak pemberian anti serum dapat disertai imunisasi aktif
DT setelah anak pulang dari rumah sakit. Bila fasilitas tersedia dapat diberikan
HTIG (Human Tetanus Immune Globulin) 3.000-6000 IU IM.
3.9 Pencegahan
Pencegahan terdiri atas 3 aspek yaitu: imunisasi, perawatan luka, dan
pemberian ATS/HTIG profilaksis. Peranan imunisasi sangatlah penting dalam
memberikan proteksi pada infeksi tetanus. Pencegahan sangat penting, mengingat
perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk pencegahan, perlu dilakukan: (15)
1. Imunisasi aktif
Imunisasi dengan toksoid tetanus (TT) merupakan salah satu pencegahan
yang sangat efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. TT pertama kali
diproduksi pada tahun 1924. Imunisasi TT digunakan secara luas pada militer
selama perang dunia II. Terdapat dua jenis TT yang tersedia, adsorbed
(aluminium salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. TT tersedia dalam kemasan
antigen tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid difteri sebagai DT atau dengan
toksoid difteri dan vaksin pertusis aselular sebagai DaPT. Kombinasi toksoid
difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak
yang memiliki kontraindikasi terhadap vaksin pertusis. Jenis imunisasi tergantung
dari golongan umur dan jenis kelamin. Untuk mencegah tetanus neonatorum,
salah satu pencegahan adalah dengan pemberian imunisasi TT pada wanita usia
subur (WUS). Oleh karena itu, setiap WUS yang berkunjung ke fasilitas
pelayanan kesehatan harus selalu ditanyakan status imunisasi TT mereka dan bila
diketahui yang bersangkutan belum mendapatkan imunisasi TT harus diberi
imunisasi TT minimal 2 kali dengan jadwal sebagai berikut: dosis pertama
diberikan segera pada saat WUS kontak dengan pelayanan kesehatan atau sendini
30

mungkin saat yang bersangkutan hamil, dosis kedua diberikan 4 minggu setelah
dosis pertama. Dosis ketiga dapat diberikan 6 - 12 bulan setelah dosis kedua atau
setiap saat pada kehamilan berikutnya. Dosis tambahan sebanyak dua dosis
dengan interval satu tahun dapat diberikan pada saat WUS tersebut kontak dengan
fasilitas pelayanan kesehatan atau diberikan pada saat kehamilan berikutnya. Total
5 dosis TT yang diterima oleh WUS akan memberi perlindungan seumur hidup.
WUS yang riwayat imunisasinya telah memperoleh 3 - 4 dosis DPT pada waktu
anak-anak, cukup diberikan 2 dosis TT pada saat kehamilan pertama, ini akan
memberi perlindungan terhadap seluruh bayi yang akan dilahirkan.
2. Perawatan luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka
kotor atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka
dilakukan guna mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan
benda asing harus dibuang. Untuk pencegahan kasus tetanus neonatorum sangat
bergantung pada penghindaran persalinan yang tidak aman, aborsi serta perawatan
tali pusat selain dari imunisasi ibu. Pada perawatan tali pusat, penting
diperhatikan adalah jangan membungkus punting tali pusat/mengoleskan
cairan/bahan apapun ke dalam punting tali pusat, mengoleskan alkohol/povidon
iodine masih diperkenankan tetapi tidak dikompreskan karena menyebabkan tali
pusat lembab.
3. Pemberian ATS dan HTIG profilaksis
Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (< 6 jam)
dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif. Dosis ATS profilaksis 3000
IU. HTIG juga dapat diberikan sebagai profilaksis luka. Dosis untuk anak < 7
tahun: 4 IU/kg IM dosis tunggal, sedangkan dosis untuk anak ≥ 7 tahun: 250 IU
IM dosis tunggal.
31

3.10 Prognosis
Prognosis pada tetanus dipengaruhi oleh waktu munculnya gejala sampai
timbulnya spasme. Pasien dengan tetanus, baik tetanus neonatorum dan tetanus
sefalik memiliki prognosis yang buruk. Pada pasien yang selamat, memerlukan
waktu perbaikan yang lama, dan sebagian besar akan mengalami hipotonus.
Beberapa kriteria yang dapat menilai prognosis pada pasien tetanus meliputi: (27)
a. Waktu inkubasi kurang dari 7 hari
b. Onset kurang dari 48 jam
c. Penyebab tetanus: akibat luka bakar, luka pembedahan, tindakan
abortus septik, kontaminasi pada tali pusat, fraktur, atau akibat
tindakan injeksi intramuskular
d. Penggunaan opiate
e. Tetanus generalisata
f. Suhu tubuh melebihi 40⁰C
g. Takikardi - >120 kali/menit (>150 kali/menit pada neonatus)
Setiap kriteria memiliki nilai satu poin, kemudian total skor dapat menilai
mortalitas pasien, yaitu:
a. Skor 0 – 1: mortalitas <10%
b. Skor 2 – 3: mortalitas 10 – 20%
c. Skor 4: mortalitas 20 – 40%
d. Skor 5 – 7: mortalitas >50%
Mortalitas tetanus masih tinggi, di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM
Jakarta didapatkan angka 80 % untuk tetanus neonatorum dan 30 % untuk tetanus
anak (15).
3.11 Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada: (19,20)
- Sistem saluran pernafasan
32

Oleh arena spasme otot-otot pernapasan dan spasme otot laring dan
seringnya kejang menyebabkan terjadinya asfiksia. Karena akumulasi
sekresi saliva serta sukar menelan air liur, makanan, dan minuman
sehingga sering terjadi pneumonia aspirasi dan atelektasis akibat
obstruksi oleh sekret. Pneumotoraks dan emfisema mediastinal
biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.
- Sistem kardiovaskular
Komplikasi berupa aktivitas simpatis meningkat antara lain berupa
takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer, dan ransangan
miokardium.
- Sistem muskuloskeletal
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan
dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktur columna vertebralis akibat
kejang yang terus menerus terutama pada anak dan orang dewasa,
beberapa peneliti melaporkan dapat terjadi miositis ossifikans
sirkumskripta.
- Komplikasi yang lain :
▪ Laserasi lidah akibat kejang
▪ Dekubitus karena penderita berbaring satu posisi saja
▪ Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang
menyebar luas dan mengganggu pusat oengatur suhu.
Penyebab kematian pada tetanus ialah akibat komplikasi berupa
bronkopneumonia, cardiac arrest, septicemia, dan pneumotoraks.
33

3.12 Otitis Media Akut


Otitis media akut paling sering terjadi pada anak-anak dan termasuk
diagnosis yang paling sering pada anak dengan gejala panas. Membran timpani
yang cembung merupakan salah satu tanda kecurigaan terhadap otitis media (28).
❖ Manifestasi klinis
Gejala dapat diawali dengan infeksi saluran nafas yang kemudian disertai
keluhan nyeri telinga, demam, dan gangguan pendengaran. Pada bayi gejala ini
dapat tidak khas, sehingga gejala yang timbul seperti iritabel, diare, muntah,
malas minum dan sering menangis. Pada anak yang lebih besar keluhan biasanya
rasa nyeri dan tidak nyaman pada telinga (29).
❖ Diagnosis
Diagnosis otitis media akut dibuat berdasarkan pada pemeriksaan
membran timpani. Tetapi pada anak pemeriksaan ini mungkin sulit dilakukan
karena saluran telinga yang kecil, adanya serumen dan juga keadaan anak yang
tidak kooperatif. Dari pemeriksaan otoskopi didapatkan gerakan membran timpani
yang berkurang, cembung, kemerahan dan keruh, dapat juga dijumpai sekret
purulen. Adanya penurunan gerak dari membran timpani merupakan dasar
kecurigaan pada otitis media akut. Bila diagnosis masih meragukan, perlu
dilakukan tindakan aspirasi dari telinga tengah. Para dokter, khususnya dokter
anak, seringkali misdiagnosis terhadap otitis media, dan untuk menghindarinya
perlu dilakukan pemeriksaan otoskopi. Pemeriksaan otoskopi dapat mengurangi
lebih dari 30% dari kesalahan yang terjadi. Hal ini dapat dijelaskan karena sebagai
klinisi, dokter mendiagnosa berdasarkan gejala klinis dan warna dari membran
timpani, sedangkan ahli THT lebih memperhatikan gerak dan posisi membran
timpani (30).
34

❖ Pengobatan
Terapi tergantung dari kuman dan hasil uji sensitivitas. Organisme
penyebab yang paling sering adalah Streptococcus pneumonia, Haemophilus
influenza. Pada neonatus berusia kurang dari 2 minggu, bakteri gram negatif,
Staphylococcus aureus, Streptococcus grup B lebih sering ditemukan (30).
Sebelum didapatkannya hasil uji sensitivitas, amoksisilin oral merupakan
antibiotik pilihan awal. Amoksisilin diberi dengan dosis 40 mg/kgbb/24 jam, 3
kali sehari selama 10 hari. Pemberian obat tersebut selama 5 hari dapat
memperkecil resiko timbulnya efek samping terapi. Akan tetapi telah banyak
kuman yang resisten terhadap amoksisilin, khususnya penghasil BLaktamase,
dalam kasus ini perlu kiranya memberikan antibiotika dari kelas yang berbeda.
Pilihan obat lainnya adalah Eritromisin (50 mg/kgbb/24 jam) bersama dengan
sulfonamid (100mg/kgbb/24 jam trisulfa atau 150 mg mg/kgbb/24 jam
sulfisoksazol) empat kali sehari, trimetroprim-sulfametoksasol (8 dan 40
mg/kgbb/24 jam) diberi 2 kali sehari, sefaklor (40 mg/kgbb/24 jam, 3 kali sehari,
amoksisilin-klavulanat 40 mg/kgbb/24 jam 3 kali sehari, atau sefiksim 8
mg/kgbb/24 jam sekali atau 2 kali sehari. Jika penderita sensitif terhadap
antibiotik golongan penisilin, maka dapat diberikan kombinasi dari eritromisin
dan sulfonamid atau sulfisoksazol. Pada Otitis Media tanpa komplikasi,
pemberian antibiotika cukup selama 5 hari. Apabila dalam perjalanannya terdapat
perburukan gejala klinis atau ditemukannya kuman yang telah resisten, maka
timpanosentesis perlu dilakukan untuk mengidentifikasi kuman penyebab (31).
Terapi suportif lain dapat diberikan, antara lain analgetik, antipiretik,
dekongestan. Pada penderita dengan nyeri telinga berat, miringotomi dapat
dilakukan untuk memberi kelegaan. Kadang insisi yang besar perlu dilakukan
ketika miringotomi agar memungkinkan drainase telinga tengah yang cukup. Jika
dalam 24 jam terdapat penambahan gejala dan tanda sedangkan pasien masih
dalam pemberian antibiotik, maka kita harus mencurigai adanya infeksi bersama
35

seperti meningitis dan komplikasi otitis media supuratif. Anak harus dilakukan
pemeriksaan ulang dan timpanosentesis serta miringotomi harus segera dilakukan.
Setelah 2 minggu, penderita perlu dievaluasi, khususnya penyembuhan otoskopik
(31).
BAB 4
PEMBAHASAN

Pasien datang ke IGD RSU Cut Meutia dibawa oleh keluarganya dengan
keluhan utama kaku dan sulit saat membuka mulut sejak 1 hari. Berdasarkan
allonamnesis ibu pasien, 14 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien tertusuk duri
sawit di bagian telinga kiri, menimbulkan nyeri dan keluarnya cairan kental
berwarna putih kekuningan. Satu hari sebelum masuk rumah sakit, ibu pasien
mendapati mulut pasien makin sulit dibuka. Badan pasien kaku, sehingga tidak
dapat bangun sendiri dari tempat tidur. Pada telinga kiri masih dijumpai cairan
putih kental, berbau, dan terasa nyeri. Pasien berbicara kurang jelas, demam naik
turun ± 3 hari. Kejang rangsang (-). Pasien juga mengeluhkan nyeri punggung
disertai nyeri perut yang teraba keras seperti papan. BAK tidak ada keluhan,
pasien tidak BAB 2 hari ini.
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya
tonus otot dan spasme (1). Tetanus disebabkan neurotoksin yang dihasilkan oleh
Clostridium tetani, yang merupakan basil gram positif, obligat anaerob. Proses
infeksi dimulai dengan masuknya spora ke dalam tubuh melalui Port d’ entry, dan
berada dalam lingkungan anaerobik. Port d’ entry pada tetanus neonatorum
berasal dari perawatan tali pusat yang tidak higienis, dan cakupan imunisasi
tetanus pada ibu hamil. Spora tersebut akan berubah menjadi bentuk vegetatif,
kemudian berbiak dengan cepat untuk menghasilkan neurotoksin. Eksotosin akan
menempel pada polisialogangliosida serebri dan menyebabkan penghambatan
pelepasan neurotransmitter berupa glisin dan GABA, hal ini mengakibatkan
kekakuan dan kejang (15,16,17).
Dari pemeriksaan fisik awal, pasien dengan kesadaran Compos Mentis,
Frekuensi nadi 117x/menit, teratur; frekuensi pernapasan 22x/menit, suhu 38,3°C.
Pemeriksaan fisik generalisata didapatkan trismus 2 cm, defans muscular dan
opistotonus. Toksin yang mengenai saraf simpatis akan menimbulkan hipertermia
atau takikardia. Pemeriksaan laboratorium memperlihatkan peningkatan jumlah

36
37

leukosit yang menunjukkan adanya proses infeksi. Hasil pemeriksaan


laboratorium lainnya dalam batas normal (12,15).
Selama perawatan pasien telah mendapatkan terapi oksigen, tetagam,
antibiotik (metronidazole), diazepam. Pemberian oksigen dilakukan untuk
membantu suplai oksigen karena pasien sering mengalami apnea berulang akibat
kejadian kejang rangsang. Pola pernapasan dapat terganggu sebagai akibat spasme
yang melibatkan otot dada, hal ini mengakibatkan kejadian hipoventilasi dan
apnea pada pasien tetanus. Tetagam merupakan tetanus immunoglobulin yang
diberikan untuk menetralisir tetanospasmin yang belum berikatan. Dosis tetagam
pada tetanus neonatorum yaitu 6000 IU. Antibiotik ditujukan untuk mengeradikasi
bakteri, dimana antibiotik lini pertama yang diberikan meliputi metronidazole
diberikan dengan dosis 1200 mg/kgbb/hari dengan interval pemberian setiap 8
jam, diberikan selama 7 sampai 10 hari (4,27).
BAB 5
KESIMPULAN

Tetanus merupakan salah satu penyakit dengan tanda utama kekakuan otot
(spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran. Tetanus disebabkan oleh eksotoksin
Clostridium tetani, bakteri bersifat obligat anaerob. Bakteri ini terdapat di mana-
mana, mampu bertahan di berbagai lingkungan ekstrim dalam periode lama
karena sporanya sangat kuat. Clostridium tetani telah diisolasi dari tanah, debu
jalan, feses manusia dan binatang. Bakteri tersebut biasanya memasuki tubuh
setelah kontaminasi pada abrasi kulit, luka tusuk minor, atau ujung potongan
umbilikus pada neonatus; pada 20% kasus, mungkin tidak ditemukan tempat
masuknya. Bakteri juga dapat masuk melalui ulkus kulit, abses, gangren, luka
bakar, infeksi gigi, tindik telinga, injeksi atau setelah pembedahan
abdominal/pelvis, persalinan dan aborsi. Jika organisme ini berada pada
lingkungan anaerob yang sesuai untuk pertumbuhan sporanya, akan berkembang
biak dan menghasilkan toksin tetanospasmin dan tetanolysin. Toksin yang
dihasilkan oleh bakteri tersebut akan mengenai sistem saraf dan menimbulkan
gejala kejang rangsang. Penegakkan diagnosa tetanus dinilai melalui anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Tatalaksana berfokus pada menimalisir toksin tetanus serta
mengurangi rangsangan yang dapat memicu kejang.
Telah dilaporkan sebuah kasus, pasien laki-laki usia 11 tahun
dengankeluhan utama kaku dan sulit saat membuka mulut sejak 1 hari.
Berdasarkan allonamnesis ibu pasien, 14 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien
tertusuk duri sawit di bagian telinga kiri, menimbulkan nyeri dan keluarnya cairan
kental berwarna putih kekuningan. Satu hari sebelum masuk rumah sakit, ibu
pasien mendapati mulut pasien makin sulit dibuka. Badan pasien kaku, sehingga
tidak dapat bangun sendiri dari tempat tidur. Pada telinga kiri masih dijumpai
cairan putih kental, berbau, dan terasa nyeri. Pasien berbicara kurang jelas,
demam naik turun ± 3 hari. Kejang rangsang (-). Pasien juga mengeluhkan nyeri
punggung disertai nyeri perut yang teraba keras seperti papan. BAK tidak ada
keluhan, pasien tidak BAB 2 hari ini. Dari pemeriksaan fisik awal, pasien dengan

38
39

kesadaran Compos Mentis, Frekuensi nadi 117x/menit, teratur; frekuensi


pernapasan 22x/menit, suhu 38,3°C. Pemeriksaan fisik generalisata didapatkan
trismus 2 cm, defans muscular dan opistotonus. Pemeriksaan laboratorium
menunjukkan peningkatan leukosit. Pasien ditegakkan diagnosa sebagai tetanus +
OMA, dirawat selama 13 hari, dipulangkan setelah didapatkan perbaikan klinis
kondisi pasien berupa membaiknya keluhan trismus, opistotonus, defans
muscular.
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. 2011. Progress towards the global elimination


of neonatal tetanus. Wkly Epidemiol Rec. 74:73-80.
2. Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL,
Kochanek PM, editors. Textbook of Critical Care. 5th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2005.p.1401-1402.
3. Lipman J. Tetanus. In: Bersten AD, Soni N, eds. Oh’s Intensive Care
Manual. 6th ed. Philadelphia: Butterworth Heinemann Elsevier;
2009.p.593-7.
4. Taylor AM. Tetanus. Continuing education in anesthesia, critical are &
pain. Vol. 6 No. 3. [Internet]. 2006 [cited 2013 Oct 20].
5. Mahadewa TGB, Maliawan S. Diagnosis & Tatalaksana Kegawat
Daruratan Tulang Belakang.Jakarta: CV Sagung Seto;2009
6. Stanfield JP, Galazka A. 2002. A neonatal tetanus is the world today. Bull
World Health Organ. 62:647-649.
7. Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Game JW, Behrman RE. 2011.
Nelson textbook of pediatrics 19th edition. Philadelphia: Elsevier
Saunders. pp. 991-994
8. Pusponegoro HD, Hadinegoro ARS, Firmanda D, Tridjaja AAP. 2004.
Standar pelayanan medis kesehatan anak, edisi ke-1. hlm. 99-108.
9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Penatalaksanaan tetanus
pada anak. Jakarta: DEPKES RI
10. MP G. A Case of Cephalic Tetanus Referred as Rabies. Srp Arh Celok
Lek. 2009;88(2):813–6.
11. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Panduan Praktik Klinis
Neurologi. Perdossi. 2016;154–156.
12. Tetanus (Clostridium tetani). in Nelson Textbook of Pediatrics vol. 1
(Elsevier, 2019).
13. Roper, M. H., Vandelaer, J. H. & Gasse, F. L. Maternal and neonatal
tetanus. The Lancet 370, 1947–1959 (2007).
14. Rhinesmith, E. & Fu, L. Tetanus Disease, Treatment, Management.
Pediatrics In Review 39, 430–432 (2018).
15. Soedarmo SSP, Garna H, Hardinegoro SRS, Satari HI. Tetanus. Buku Ajar
Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2010;
hal. 322-329.
16. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Tetanus. Nelson Textbook of
Pediatrics. 17th ed. Jenson Publisher: Saunders. 2007; p. 951-3.

40
41

17. Todar K. Pathogenic Clostridia, including Botulism and Tetanus. [Cited


2013 February 23]. Available from:
http://textbookofbacteriology.net/clostridia.html.
18. Harrison I of MP. Principles of Internal Medicine. Harrison’s Princ Intern
Med. 2015;1716.
19. Hinfey PB. Tetanus. [Cited 2013 February 23]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/229594-overview.
20. Alvarez N. Tetanus. [Cited 2013 February 23]. Available from:
http://www.emedicinehealth.com/tetanus/article_em.htm.
21. Tolan Jr. RW. Pediatric Tetanus. [Cited 2013 February 23]. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/972901-overview.
22. Grunau BE, Olson J. An Interesting Presentation of Pediatric Tetanus.
CJEM 2010;12(1):69-72.
23. Pai PN. Tetanus in children: Treatment and prognostic factors. British
Homoeopathic Journal. 2005. Vol.54, Issue 3:190-9.
24. Dolin R, ed. Principles and practice of infectious disease. 4 th ed New
York: Churchill Livingstone, 1995:2173.
25. Band JD, Bennet JV. Tetanus. In:Hoeprich PD, ed. Infectious disease.
Philadelphia: Harper and Row, 1983:1107
26. Hotez P, Wilfert C. Tetanus (Lockjaw) and Neonatal Tetanus.
Dalam:Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL, penyunting. Krugman’s
Infectious Diseases of Children. Edisi ke11. USA: Mosby; 2004. h. 655-
662
27. Pudjiadi Badriul, A. H. et al. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter
Anak Indonesia. (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011).
28. Siegel RM and Bien JP. Acute Otitis Media in Children: A Continuing
Story. Pediatrics. 2004;25:187-193.
29. Auinger PA, Lanphear, BP, Kalkwarf HJ and Mansour ME. Trends in
Otitis Media Among Children in the United States. Pediatrics.
2003;112:514-520.
30. Pichichero ME. Diagnostic Accuracy, Tympanocentesis Training
Performance, and Antibiotic Selection by Pediatric residents in
Manegement of Otitis media. Pediatrics. 2002;110:1064-1070.
31. Kozyrskyj AL, Hildes E, Longstaffe SE, Wincott JL, Sitar DS. Treatment
of acute Otitis media with a Shortened course of antibiotics. JAMA.
1998;279:1736-1742.

Anda mungkin juga menyukai