SKRIPSI
OLEH :
MASYITHA
NPM : 2119201422
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, atas berkah yang
Karakteristik Ibu Dengan Status Imunisasi Dasar Bayi Di Praktek Mandiri Bidan
bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis
1. Drs. Imran Saputra Surbakti, MM, Ketua Yayasan Mitra Husada Medan yang
2. Dr.Siti Nurmawan Sinaga, SKM., M.Kes., Ketua STIKes Mitra Husada Medan
4. Ribur Sinaga, S.Tr.Keb, Bd, M.Si, selaku dosen pembimbing yang dengan sabar
5. Suami dan seluruh Keluarga dan juga teman teman yang telah memberi dukungan.
6. Semua pihak yang yang telah ikut membantu skripsi penelitian ini .
Saya menyadari kekurangan dari skripsi ini, saya mengharapkan saran dan
Medan, A p r i l 2022
Peneliti
10
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................................ix
BAB 1
PENDAHULUA
menyeluruh, dan sesuai standar sehingga mampu memutus mata rantai penularan
suatu penyakit. Imunisasi juga dapat menimbulkan dampak yang tidak diinginkan
seperti efek panas setelah imunisasi DPT dan campak. Sebetulnya, masih ada efek
lain daripada itu seperti sakit pada tempat suntikan, warna kemerahan di sekitar bekas
tempat suntikan, anak yang menangis terus menerus setelah mendapat imunisasi
DPT. Kejadiannya agak jarang, sehingga sering luput dari perhatian orangtua balita
(Narulita, 2012).
Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) adalah Adalah semua kejadian sakit
dan kematian yang terjadi dalam masa 1 bulan setelah imunisasi. WHO (Global
Immunization Data) tahun 2010 menyebutkan 1,5 juta anak meninggal karena
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi dan hampir 17% kematian pada anak
< 5 tahun dapat dicegah dengan imunisasi. Laporan dari Jurnal Kesehatan The Lancet
menyebutkan bahwa 7.000 bayi meninggal dunia setiap harinya dan 98% terjadi di
negara-negara Miskin. Negara yang paling tinggi kasus kematian ibu dan bayi adalah
1
2
Indonesia sebesar 34 bayi / 1.000 kelahiran hidup. Jumlah tersebut tidak terlalu
hanya sedikit. Penyebab utama kematian bayi di Indonesia adalah Infeksi Saluran
Pernafasan Akut ( ISPA ) sebanyak 37%, dan 50% kematian bayi dan balita berkaitan
dengan masalah kekurangan gizi. 13% penyebab lainnya adalah penyakit yang dapat
dicegah melalui imunisasi seperti campak dan TBC. Jika program imunisasi
dilaksanakan dengan baik dan menyeluruh maka keefektifan imunisasi dapat dicapai
secara maksimal, dan akan berpengaruh terhadap AKB (Kompas, 2010 dalam Elviani
2012). Cakupan imunisasi dasar lengkap di Jawa Timur tahun 2018 sebesar 92,5%
Data World Health Organization (WHO) Tahun 2016, ada 21,8 juta anak pada
tahun 2013 tidak mendapatkan imunisasi. Pelaksanaan imunisasi dapat mencegah 2-3
juta kematian setiap tahun akibat penyakit difteri, tetanus, pertusis, dan campak pada
tahun 2014, namun pada tahun 2014 terdapat 18,7 juta bayi diseluruh dunia tidak
mendapat imunisasi rutin DPT3, yang lebih dari 60% dari anak-anak ini tinggal di 10
negara yaitu Republik Demokrasi Kongo, Eutopia, India, Indonesia, Iraq, Nigeria,
Pakistan, Philipina, Uganda, dan Afrika selatan. Cakupan imunisasi dasar lengkap di
Indonesia dalam lima tahun terakhir selalu di atas 85%, namun masih belum
mencapai target Renstra Kementerian Kesehatan yang ditentukan. Pada tahun 2017
imunisasi dasar lengkap di Indonesia sebesar 91,12%. Angka ini sedikit di bawah
target Renstra tahun 2017 sebesar 92%, menurut provinsi, terdapat 15 provinsi yang
menunjukkan kecenderungan penurunan sejak tahun 2007 sampai dengan tahun 2016
yang asumsinya semakin banyak bayi yang mendapatkan imunisasi dasar secara
4,1% dibandingkan tahun 2016 yang sebesar 2,4% meskipun masih mencapai target
di bawah 5%(3). Dari dinas kesehatan Aceh Pada tahun 2016 terdapat 10
terendah terdapat di Kabupaten Pidie dengan persentase desa UCI sebesar 19 %(4).
Dari data Dinas Kesehatan Nagan Raya Tahun 2017 diperoleh cakupan imunisasi
dasar lengkap pada bayi sebanyak 3,359 orang, yang melakukan imunisasi DPT-
sebanyak 2,555 (76,0%) yang melakukan imunisasi dasar lengkap sebanyak 2,181
(64,9%)(5).
Gejala klinis pasca imunisasi dapat timbul secara cepat maupun lambat dan
dapat dibagi menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi
lainnya. Tanda dan gejala yang muncul dari efek samping setelah imunisasi pada bayi
satu dengan yang lain akan berbeda, tergantung daya tahan tubuh bayi. Beberapa bayi
akan akan sulit tidur, lebih mudah menangis dan gelisah. Hal tersebut bukan karena
vaksin yang tidak cocok, namun disebabkan karena naiknya suhu badan yang
membuat bayi anda tidak nyaman. Bahkan berhasil atau tidaknya imunisasi bisa
4
dilihat setelah dilakukan imunisasi, dengan tanda perubahan suhu tubuh bayi yang
meningkat atau bengkak disekitar area suntikan. Efek samping imunisasi, seperti
peningkatan suhu tubuh sering membuat orangtua panik, serba salah bahkan ikut
menangis melihat kondisi bayi (Susanti, 2014). Kejadian yang memang akibat
(pragmatic errors). Tidak semua kejadian KIPI disebabkan oleh imunisasi karena
sebagian besar ternyata tidak ada hubungannya dengan imunisasi (Dokter Anak
Indonesia, 2013).
bidan harus memberikan pendidikan kesehatan ini sebelum imunisasi diberikan pada
anak dengan cara memberikan informasi atau penyuluhan pada orang tua tentang
imunisasi, dan memberikan penjelasan pada ibu yang berkaitan dengan pemeliharaan
Kecamatan Binjai Kabupaten Langkat kepada 3 ibu yang mempunyai bayi usia 0-1
tahun dengan metode wawancara, didapatkan bahwa 2 ibu yang tidak memberikan
imunisasi DPT kepada bayinya, karena takut demam. Berdasarkan uraian latar
belakang tersebut diatas maka peneliti akan meneliti lebih lanjut tentang : “
Hubungan KIPI Dan Karakteristik Ibu Dengan Status Imunisasi Dasar Bayi Di
Praktek Mandiri Bidan Linda Kecamatan Binjai Kabupaten Langkat Tahun 2022”.
5
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas yang menjadi masalah
pada penelitian ini adalah “ Bagaimanakah Hubungan KIPI Dan Karakteristik Ibu
Dengan Status Imunisasi Dasar Bayi Di Praktek Mandiri Bidan Linda Kecamatan
Tujuan umum dari penelitian ini adalah Untuk melihat “ Hubungan KIPI Dan
Karakteristik Ibu Dengan Status Imunisasi Dasar Bayi Di Praktek Mandiri Bidan
Kabupaten Langkat
Dan Karakteristik Ibu Dengan Status Imunisasi Dasar Bayi Di Praktek Mandiri
2. Bagi Masyarakat
3. Bagi Peneliti
pemahaman lebih dalam tentang hubungan KIPI Dan Karakteristik Ibu Bayi
Hasil penelitian ini dapat menjadi sarana masukan dan bacaan yang akan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa,
tidak terjadi penyakit. Dilihat dari cara timbulnya maka terdapat dua jenis kekebalan,
yaitu kekebalan pasif dan kekebalan aktif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang
diperoleh dari luar tubuh, bukan dibuat oleh indivindu itu sendiri. Contohnya adalah
kekebalan pada jenis yang diperoleh dari ibu, atau kekebalan yang diperoleh setelah
akan dimetabolisme oleh tubuh. Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh
tubuh sendiri akibat terpajan pada antigen seperti pada imunisasi, atau terpajan secara
bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi Cacar
Variola. Keadaan ini biasanya terjadi pada jenis penyakit penularannya melalui
7
9
a. Imunisasi BCG
dilemahkan BCG diberikan satu kali sebelum anak berumur dua bulan.
b. Imunisasi DPT
Imunisasi DPT adalah suatu vaksin yang melindungi terhadap difteri, pertusis,
pada lengan dan paha. Imunisasi DPT diberikan sebanyak 3 kali, yaitu pada
saat anak berumur dua bulan (DPT-1), tiga bulan (DPT-2) dan empat bulan
(DPT-3) selang waktu tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi DPT ulang
diberikan 1 tahun setelah DPT-3 dan usia prasekolah (5-6 tahun). Jika anak
DT, bukan DPT. DPT/DT merupakan vaksin yang mengandung tiga elemen
pertusis sebagai bagian dari vaksin DPT pada seri imunisasi primer.
Toksoid difteri juga tersedia sebagai komponen dari vaksin kombinasi lain
toksoid difteri per dosis dengan potensi toksoid difteri sekitar 30 IU per
10-30 lf per dosis untuk anak berumur 7 tahun atau kurangdan dT dengan
kadar toksoid difteri yang lebih rendah (2-5 lf per dosis) untuk anak lebih
Antitoksin yang melewati plasenta ke janin pasca imunisasi aktif pada ibu
pertusis yang dimatikan dengan bahan kimia atau panas. Vaksin seluruh
sistemik dua sampai empat kali lebih jarang dengan vaksin aseluler ini
samping juga jauh lebih ringan dengan vaksin aseluler ini. Derajat
proteksi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan vaksin yang hanya
sebanyak 4 kali (polio I, II, III, IV) dengan interval tidak kurang dari 4
IV, kemudian pada saat anak masuk SD (5-6 tahun) dan pada saat
berumur 9 bulan atau lebih, campak 2 diberikan pada umur 5-7 tahun.
Pada kejadian luar biasa dapat diberikan pada umur 6 bulan dan diulangi
dimulai pada usia 0-6 jam saat lahir. Pemberian vaksin hepatitis B
1) Memberitahukan secara rinci tentang risiko vaksinasi dan risiko apabila tidak
diimunisasi.
3) Baca dengan teliti informasi tentang produk (vaksin) yang akan diberikan jangan
4) Melakukan tanya jawab dengan orang tua atau pengasuhnya sebelum melakukan
imunisasi
5) Tinjau kembali apakah ada kontra indikasi terhadap vaksin yang akan diberikan
14
7) Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan dengan baik
10) Berilah petunjuk (sebaiknya tertulis) kepada orang tua atau pengasuh apa yang
harus dikerjakan dalam kejadian reaksi yang biasa atau reaksi ikutan yang lebih
berat.
11) Catat imunisasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan klinis
12) Catatan imunisasi secara rinci harus disampaikan kepada Dinas Kesehatan
13) Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan vaksinasi untuk
14) Dalam situasi yang dilaksanakan untuk kelompok besar, pengaturan secara rinci
bervariasi, namun rekomendasi tetap seperti di atas dan berpegang pada prinsip-
2) Bagian bawah lemari es diletakkan cool pack sebagai penahan dingin dan
kestabilan suhu
15
3) Peletakan dus vaksin mempunyai jarak antara minimal 1-2 cm atau satu jari
tangan
5) Vaksin DPT, TT, DT, Hepatitis B, DPT diletakkan jauh dengan evaporator
Imunisasi DPT adalah suatu vaksin yang melindungi terhadap difteri, pertusis,
dan tetanus (Marimbi, 2010). Vaksin DPT diberikan dengan cara disuntikan pada
lengan dan paha. Imunisasi DPT diberikan sebanyak 3 kali, yaitu pada saat anak
berumur dua bulan (DPT-1), tiga bulan (DPT-2) dan empat bulan (DPT-3) selang
waktu tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi DPT ulang diberikan 1 tahun setelah
DPT-3 dan usia prasekolah (5-6 tahun). Jika anak mengalami reaksi alergi terhadap
vaksin, pertusis, maka sebaiknya diberikan DT, bukan DPT. DPT/DT merupakan
(difteri), bakteri bordetella pertusis, dan toksoid clostridium tetani (tetanus). Menurut
Sari (2012) dalam penelitian yang berjudul “Gambaran tingkat pengetahuan ibu
ibu tentang imunisasi DPT/HB Combo Posyandu desa doyong kecamatan miri
responden (6%) yang berpengetahuan kurang baik dan tidak ada responden yang
tubuh terhadap 3 penyakit sekaligus, yaitu difteri, pertusis, dan tetanus (Atikah,
2010).
a. Difteri
Adalah penyakit akut yang bersifat toxin mediated disease dan disebabkan
merupakan penyakit berbahaya pada bayi yang masih sangat kecil, dan sangat
mengganggu pada semua usia. Bayi yang menderita pertusis batuknya tidak
muntah. Spasme berat dapat menyebabkan ruptur kapiler atau hipoksia yang
cenderung ringan, tidak ada bunyi batuk yang keras. Penyakit pertusis atau
dikenal dengan batuk seratus hari gejalanya khas yaitu batuk yang terus-
menerus dan sukar berhenti, muka menjadi merah atau kebiruan dan muntah
c. Tetanus
urat syaraf dan otot. Infeksi tetanus disebabkan bakteri Clostridium Tetani
sekitar luka dan dibawa darah ke sistem saraf otak dan saraf tulang belakang,
sehingga terjadi gangguan urat saraf, terutama saraf yang mengirim pesan ke
otot. Neonatal tetanus umunya terjadi pada bayi yang baru lahir. Neonatal
tetanus menyerang bayi yang baru lahir karena dilahirkan ditempat yang tidak
bersih dan steril, terutama jika tali pusat terinfeksi. Neonatal tetanus dapat
frostbite. Walaupun luka kecil bukan berarti bakteri tetanus tidak dapat hidup
di sana. Sering kali orang lalai, padahal luka sekecil apapun dapat menjadi
dalam waktu 3-14 hari dengan gejala mulai timbul di hari ketujuh. Gejala
neonatal tetanus mulai pada dua minggu pertama kehidupan seorang bayi.
terjadi selama 4-6 minggu. Tetanus dapat dicegah dengan pemberian imunisasi
Toxoid). Dianjurkan imunisasi tetanus setiap interval 5 tahun: 25, 30, 35 dst.
3) Cara Imunisasi, Efek Samping, dan Kontra Indikasi Pemberian Imunisasi DPT
a. Cara Imunisasi
menjadi homogen (Depkes RI, 2005). Pemberian dengan cara intra musculer
0,5 ml, suntikan diberikan pada paha tengah luar. Vaksin DPT sensitif
terhadap beku (freeze sensitive) yaitu vaksin akan rusak bila terpapar atau
terkena suhu dingin atau suhu pembekuan (Iswandi, 2008). Cara pemberian
tengah luar atau subkutan dalam denga dosis 0,5 cc (Atikah, 2010).
Pemberian imunisasi DPT memberikan efek samping ringan dan berat, efek
19
ringan seperti terjadi pembekakan dan nyeri pada tempat penyuntikan dan
demam, sedangkan efek berat bayi menangis hebat karena kesakitan selama
kurang lebih empat jam, kesadaran menurun, terjadi kejang , ensefalopati, dan
(1) Panas
vaksinasi DPT, tetapi panas ini akan sembuh dalam 1-2 hari. Bila panas
sesudah pemberian DPT, maka itu bukanlah disebabkan oleh vaksin DPT,
mungkin ada infeksi lain yang perlu diteliti lebih lanjut. Berikan 1 tablet
antiperatik kepada ibu untuk mengatasi efek samping tersebut dan katakan
bahwa bila anak panas tinggi lebih dari 39 °C, maka anak perlu diberi ¼
tablet yang dihancurkan dengan sedikit air. Anjurkan ibu untuk tidak
membungkus anak dengan baju tebal dan mandikan anak dengan cara sibin
suntikan. Hal ini perlu diberitahukan kepada ibu sesudah vaksinasi, serta
20
yakinkan ibu bahwa keadaan itu tidak berbahaya dan tidak perlu
pengobatan.
(3) Peradangan
(a) Jarum suntik tidak steril dikarenakan jarum yang tersentuh tangan, jarum
yang diletakkan di atas tempat yang tidak steril, sterilisasi yang kurang
(4) Kejang-kejang
DPT. Oleh karena efek samping ini cukup berat, maka anak yang pernah
mendapat reaksi ini tidak boleh diberi vaksin DPT lagi dan sebagai
c. Kontra Indikasi
Imunisasi DPT tidak boleh diberikan pada anak dengan kelainan neurologis
dan terlambat tumbuh kembang, dan riwayat kejang, penyakit degeneratif dan
tangisan/ teriakan hebat (Hanum, 2010). Perhatian khusus demam > 40,5oC
dengan penyebab lain, kolaps dan keadaan seperti syok dalam 48 jam pasca
DPT sebelumnya, kejang dalam 3 hari pasca DPT sebelumnya, menangis terus
Jadwal pemberian imunisasi DPT adalah diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan,
d. DPT ulangan (DPT-4) di berikan setelah 1 tahun dari DPT-3 yaitu umur 18-24
bulan.
f. DT-6 diberikan pada saat anak berumur 12 tahun pada bulan imunisasi anak
b. Bila ada reaksi berlebihan pasca imunisasi seperti demam >40oC, kejang,
Adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa 1 bulan
setelah imunisasi
dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai
g. Penyimpanan vaksin
2) Reaksi suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik
langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan
langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan,
sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai
sinkope.
Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi
terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis biasanya
ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi
anafilaksis sistemik dengan resiko kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi
dengan baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen sebagai
perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi obat atau vaksin lain.
Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi.
Seperti telah disebutkan di atas maka kejadian yang timbul ini terjadi secara
kebetulan saja setelah diimunisasi. Indikator faktor kebetulan ini ditandai dengan
kedalam salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan kedalam kelompok
ini sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya dengan kelengkapan informasi
tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab KIPI (Ranuh, dkk., 2005, p.97-
98).
Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat dibagi
menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi lainnya. Pada
b. Limfadenitis
a. Kelumpuhan akut
b. Ensefalopati
c. Ensefalitis
d. Meningitis
e. Kejang
b. Reaksi anafilaksis
25
c. Syok anafilaksis
e. Episode hipotensif-hiporesponsif
f. Osteomielitis
menit. untuk menghindarkan kerancuan maka gejala klinis yang dianggap sebagai
Adalah kegiatan untuk mendeteksi dini, merespon kasus KIPI dengan cepat
dan tepat, mengurangi dampak negatif imunisasi untuk kesehatan individu dan pada
KIPI meliputi :
2) Mengidentifikasi peningkatan rasio KIPI yang tidak wajar pada petunjuk vaksin
3) Memastikan bahwa suatu kejadian yang diduga KIPI merupakan koinsiden (suatu
kebetulan)
resiko imunisasi
26
2.3.5 KIPI
a. Identitas : nama anak, tanggal dan tahun lahir, jenis kelamin nama orang
b. Jenis vaksin yang diberikan, dosis, siapa yang memberikan. Vaksin sisa
e. Gejala klinis yang timbul dan atau diagnosis, pengobatan yang diberikan
hasil laboratorium yang per nah dilakukan tulis juga apabila terdapat
KIPI
Karakteristik ibu :
1) Paritas
Paritas adalah jumlah anak yang dilahirkan oleh ibu. Paritas mempengaruhi
2) Pendidikan
lain menuju kearah suatu cita-cita tertentu, semakin tinggi pendidikan orang semakin
antara lain Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah
Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), Akademi dan Perguruan Tinggi
2) Pekerjaan
BAB III
METODE PENELITIAN
kerangka konsep penelitian serta varibel-variabel yang akan diteliti, seperti pada
gambar berikut :
KIPI
Karakteristik Ibu :
Status Imunisasi Dasar
Paritas
Pendidikan
Pekerjaan
3.3.1 Variabel
dari satu subyek ke subyek lain. Variabel independen adalah variabel yang bila ia
berubah akan mengakibatkan perubahan variabel lain, variabel yang berubah akibat
27
29
3.4.1. Populasi
Populasi penelitian ini adalah seluruh ibu yang mempunyai bayi 2-6 bulan yang ada
2022
3.4.2. Sampel
Jumlah sampel sebanyak 42 ibu yang mempunyai bayi 2-6 bulan yang ada di Di Di
Praktek Mandiri Bidan Linda Kecamatan Binjai Kabupaten Langkat Tahun 2022,
Penelitian
Binjai Kabupaten Langkat Tahun 2022. Penelitian ini dimulai bulan April 2022 yaitu
Data primer adalah pengumpulan data diperoleh secara langsung dari responden
Data diperoleh melalui penelusuran dokumen tentang jumlah data ibu yang
ada Di Praktek Mandiri Bidan Linda Kecamatan Binjai Kabupaten Langkat Tahun
2022
dengan maksud agar data yang dikumpulkan memiliki sifat yang jelas. Adapun
ditentukan.
32
BAB IV
besarnya proporsi berdasarkan variabel yang diteliti yaitu variabel independen : KIPI
Dari table diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar responden multipara 60 %,
Data KIPI yang ditemukan pada imunisasi Dasar pada bayi di Praktek Mandiri
Tabel 4.2
Distribusi KIPI pada Imunisasi dasar pada Bayi
No KIPI
Frequency Percent (%)
1 Ringan
`19 63,3
2 Sedang 11 36,7
Total 30 100
Berdasarkan Tabel 4.2 diketahui bahwa KIPI kategori ringan sebayak 19 (63,3
%)
4.2.3 Status Imunisasi Dasar pada Responden di Praktek Mandiri Bidan Linda tahun
2022
Bidan Linda Kecamatan Binjai Kabupatenlangkat Tahun 2022 tahun 2021 yaitu
Tabel 4.3
Distribusi Kelengkapan Imunisasi Dasar Pada Bayi Di Praktek Mandiri Bidan
Linda Kecamatan Binjai Kabupatenlangkat Tahun 2022
tahun 2021
No Imunisasi
Dasar Frequency Percent (%)
1 Tidak Lengkap 12 40
2 Lengkap 18 60
Total 30 100
Berdasarkan Tabel 4.4 diketahui bahwa masih terdapat bayi yang belum mendapatkan
hubungan yang signifikan antara variabel independen dan variabel dependen. Dengan
menggunakan teknik analisa data Chi-square dengan derajat kemaknaan yaitu α=0,05.
4.2.1 Hubungan KIPI dan karakteristik ibu dengan imunisasi dasar Bayi Di
Tahun 2022.
imunisasi dasar pada bayi Di Praktek Mandiri Bidan Linda Kecamatan Binjai
Tabel 4.4
Hubungan KIPI dengan Imunisasi Dasar
Imunisasi Dasar
Jumlah
KIPI Lengkap Tidak lengkap p
n % n % n %
Ringan 16 84,2 3 15,8 19 100
Sedang 2 18,2 9 81,2 11 100 0,04
Jumlah 18 60 12 40 30 100
(84,2 %) melakukan imunisasi Dasar lengkap. Sedangkan KIPI sedang 9 orang (81,2
Table 4.5
Imunisasi Dasar
Jumlah
Paritas Lengkap Tidak lengkap p
n % n % n %
Primipara 2 16,7 10 83,3 12 100
Multipara 16 88,9 2 11,1 18 100 0,80
Jumlah 18 60 12 40 30 100
Table 4.6
Imunisasi Dasar
Jumlah
Pendidikan Lengkap Tidak Lengkap p
n % n % n %
SD 2 66,7 1 33,3 3 100
SMP 2 50 2 50 4 100 0,62
SMA 13 61,9 8 38,1 21 100
Perguruan 1 50 1 50 2 100
Tinggi
Jumlah 18 60 12 40 30 100
Tabel 4.7
Imunisasi
Jumlah
Pekerjaan Lengkap Tidak lengkap p
n % n % n %
Bekerja 11 50 11 50 22 100
36
Tidak bekerja 7 87,5 1 12,5 8 100 0,00
Jumlah 18 60 12 40 30 100
ibu dengan status kelengkapan imunisasi dasar pada bayi di Puskesmas Kebayakan
tahun 2021
37
PEMBAHASAN
Imunisasi Dasar
Dari hasil penelitian ditemukan masih cukup banyak bayi yang belum
mendapatkn imunisasi dasar lengkap 12 (40 %). Salah satu penyebab atau alasan ibu
adalah factor KIPI. Faktor lain yang menjadi alasan ibu adalah karena riwayat anak
sebelumnya yang tidak mendapat imunisasi namun terlihat sehat dan baik – baik saja.
Antara status pekerjaan ibu dengan imunisasi dasar ada hubungan yang
bermakna ( p value 0,001). Sebagian besar ibu yang tidak bekerja lebih banyak
melakukan imunisasi dasar lengkap, beberapa alasan ibu bekerja tidak melakukan
imunisasi adalah lupa dengan jadwal dan sudah terlewat sehingga tidak dibawa
yang bermakna antara pekerjaan ibu dan dukungan keluarga dengan kepatuhan ibu
Dari hasil uji statistik didapatkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
KIPI dengan status imunisasi dasar bayi dengan p value 0,04. Sebagian responden
berpikir KIPI adalah hal yang meresahkan sehingga memilih tidak melanjutkan
imunisasi berikutnya. Penelitian ini sejalan dengan Sari 2017 dalam penelitiannya di
berhubungan dengan status kelengkapan imunisasi pada Bayi. Sementara penelitian Rahmawati
2020 menyatakan bahwa terdapat hubungan signifikan antara pengetahuan dan sikap ibu tentang
38
KIPI dengan kepatuhan ibu dalam melakukan imunisasi DPT-Hb-Hib di Puskesmas Lubuk Buaya
Hasil penelitian juga menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara
paritas dan pendidikan ibu dengan status imunisasi dasar. Ada yang berpendidikan
rendah SD namun melakukan imunisasi dasar lengkap, dan ada juga yang
lengkap.
42
SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Ada hubungan yang signifikan antara KIPI dengan imunisasi dasar pada bayi
p value 0, 04
2. Tida Ada hubungan yang signifikan antara paritas dengan imunisasi dasar
3. Tida Ada hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dengan imunisasi
4. Ada hubungan yang signifikan antara pekerjaan ibu dengan imunisasi dasar
5.2 Saran
Agar responden lebih lagi mengaktifkan diri dalam mencari sumber yang
Penelitian ini agar dapat dijadikan sebagai masukan dan sumber informasi
41
44
DAFTAR PUSTAKA
Hety, D. S., & Susanti, I. Y. (2020). Pengetahuan Ibu Tentang Cara Penanganan
Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI) Pada Bayi Usia 0-1 Tahun Di
Puskesmas Mojosari Kabupaten Mojokerto. Journal for Quality in Women’s
Health, 3(1), 72–77. https://doi.org/10.30994/jqwh.v3i1.53
Suparwati, R., Kartini, H., & Atik, S. (2015). Perbedaan Kipi Pada Pemberian
Parasetamol Sebelum Dan Sesudah Imunisasi Pentabio Di Wilayah Puskesmas
Wonosari. Jurnal Kesehatan Poltekkes Kemenkes Malang, 6(1), 448–454.
Rahmawati, L., & Ningsih, M. P. (2020). Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap
tentang Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi dengan Kepatuhan Ibu dalam
Memberikan Imunisasi DPT-HB-Hib di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Buaya
Kota Padang. Jurnal Medikes (Media Informasi Kesehatan), 7(1), 209–220.
https://doi.org/10.36743/medikes.v7i1.223
Sari, M. P., Izzah, A. Z., & Harmen, A. P. (2018). Gambaran Kejadian Ikutan Pasca
Imunisasi pada Anak yang Mendapatkan Imunisasi Difteri Pertusis dan Tetanus
di Puskesmas Seberang Padang Kota Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 7(3),
352. https://doi.org/10.25077/jka.v7i3.885
Sari, D. N. I., Basuki, S. W., & Triastuti, N. J. (2017). Hubungan Pengetahuan Ibu
Tentang Imunisasi Dasar Dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar Bayi Di
Wilayah Kerja Puskesmas Bendo Kabupaten Magetan. Biomedika, 8(2).
https://doi.org/10.23917/biomedika.v8i2.2910
Norlita, W., & KN, T. S. (2016). Analisis Simtomatik Reaksi Kejadian Ikutan Pasca
Imunisasi (KIPI) Pada Bayi Di Desa Sialang Kubang , Kecamatan Perhentian
Raja , Kabupaten Kampar. Lp2M-Umri, 1, 51–54.
LAMPIRAN
KUESIONER PENELITIAN
I. Identitas Responden
Nama …………………………………
Umur a. <20 tahun
b. 20-35 tahun
c. >35 tahun
a. SD
Pendidikan b. SMP
Terakhir
c. SMA
d. Perguruan Tinggi
Pekerjaan a.Bekerja
b. Tidak Bekerja
48
II. KIPI
No Pertanyaan Jawaban
Ya Tidak