Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN STUDI KASUS PROFESI FISIOTERAPI

MANAJEMEN FISIOTERAPI PEDIATRI GANGGUAN MOTORIK UPPER


EXTREMITY DEXTRA AKIBAT KELEMAHAN OTOT ET CAUSA ERB’S
PARALYSIS USIA KALENDER 2 BULAN

OLEH:

Muhammad Fajeriannor, S.Ft. R024181006


Wahyuni Fadliah Thahar, S.Ft. R024181025
Nahla Amaliah, S.Ft. R024181034
Hastuti, S.Ft. R024181040
Poppy Medya Maharani, S.Ft. R024181045
Ibtisam M. Al-Ihsan, S.Ft. R024181049
Intan Apriati, S.Ft. R024181053
Dewi Retnosari C.S.O., S.Ft. R024181060

PROGRAM STUDI PROFESI FISIOTERAPI


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Studi Kasus Profesi Fisioterapi di bagian Pediatri Mother and Child RSUP
Dr. Wahidin Sudirohusodo dengan Judul “Manajemen Fisioterapi Pediatri Pada
Gangguan Gerak Akibat Kelemahan Otot Lengan Dekstra e.c Erb’s Paralysis Usia
Kalender 2 Bulan” pada tanggal 22 November 2019.

Mengetahui,

Clinical Instructur Clinical Instructur

Muliati, S.Ft.,Physio Tiwi Marannu, S.Ft., Physio

Clinical Educator

(Nahdiah Purnamasari, S.Ft., Physio. M.Kes.)

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusun akhirnya dapat menyelesaikan
penyusunan laporan studi kasus dengan judul “Manajemen Fisioterapi Pediatri
Pada Gangguan Gerak Berupa Gangguan Motorik Upper Extremity Dextra
Akibat Kelemahan Otot e.c Erb’s Paralysis Usia Kalender 2 Bulan”.
Penyusunan laporan studi kasus ini merupakan salah satu tugas pada
pelaksanaan Program Studi Pendidikan Profesi Fisioterapi Fakultas Keperawatan
Universitas Hasanuddin. Melalui penyusunan laporan ini diharapkan dapat
memberikan pemahaman lebih tentang patofisiologi dan penatalaksanaan
fisioterapi pediatri pada kasus Erb’s Paralysis yang ditemui penyusun pada saat
melakukan praktik lapangan yang akan bermanfaat pada masa yang akan datang.
Dalam penyusunan laporan studi kasus ini, banyak ditemui tantangan dan
hambatan yang mendasar. Namun semua itu dapat terselesaikan dengan baik berkat
dukungan, bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini sudah selayaknya penyusun menyampaikan rasa terima kasih
kepada para instruktur klinis di bagian Mother and Child RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar dan edukator klinis yang telah membimbing dalam
penyusunan laporan studi kasus ini.
Akhir kata, tiada gading yang tak retak. Penyusun menyadari bahwa laporan
studi kasus ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala
kerendahan hati penyusun memohon maaf yang sebesar-besarnya dan membuka
diri untuk segala saran dan kritik yang sifatnya membangun sehingga dapat
dilakukan perbaikan untuk pencapaian hasil yang lebih baik. Akhirnya, penyusun
berharap semoga laporan studi kasus dapat bermanfaat bagi kita semua.

Makassar, November 2019

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN ....................................................................... ii

KATA PENGANTAR ................................................................................... iii

DAFTAR ISI .................................................................................................. iv

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... vi

DAFTAR TABEL .......................................................................................... vii

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. viii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1

1.2 Anatomi dan Fisiologi...................................................................... 3

BAB II ANALISIS KEPUSTAKAAN BERDASARKAN KASUS ............. 8

2.1 Kerangka/Mind Mapping Teori ....................................................... 8

2.2 Definisi ............................................................................................. 8

2.3 Etiologi............................................................................................. 9

2.4 Epidemiologi .................................................................................... 10

2.5 Patomekanisme ................................................................................ 10

2.6 Klasifikasi ....................................................................................... 11

2.7 Manifestasi Klinis ............................................................................ 13

2.8 Pemeriksaan dan Diagnosis Klinis................................................... 14

2.9 Diagnosis Banding ........................................................................... 15

2.10 Penatalaksanaan Fisioterapi ............................................................. 16

2.11 Kerangka/ Mind Mapping Teknologi Fisioterapi ............................ 17

BAB III MANAJEMEN FISIOTERAPI ....................................................... 18

iv
3.1 Identitas Pasien ................................................................................ 18

3.2 Pemeriksaan Fisioterapi Model CHARTS ....................................... 18

3.3 Diagnosis Fisioterapi ....................................................................... 25

3.4 Problem Fisioterapi .......................................................................... 25

3.5 Tujuan Fisioterapi ............................................................................ 26

3.6 Intervensi Fisioterapi ....................................................................... 26

3.7 Evaluasi Fisioterapi .......................................................................... 27

3.8 Modifikasi Fisioterapi ...................................................................... 27

3.9 Home Program................................................................................. 27

3.10 Kemitraan ......................................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 28

v
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Anatomi Plexus Brachialis............................................................ 4

1.2 Skema Plexus Brachialis ............................................................... 5

2.1 Kerangka/Mind Mapping Teori ..................................................... 8

2.2 Kerangka/ Mind Mapping Teknologi Fisioterapi .......................... 17

vi
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 Hasil Palpasi .................................................................................... 20

3.2 PFGD ............................................................................................... 20

3.3 Intervensi Fisioterapi ....................................................................... 26

3.4 Evaluasi Fisioterapi ......................................................................... 27

vii
DAFTAR LAMPIRAN

1. FLACC Scale ........................................................................................ 29

2. Denver Development Screening Test II ................................................ 30

viii
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tumbuh kembang mencakup 2 peristiwa yang sifatnya berbeda, tetapi

saling berkaitan dan sulit dipisahkan, yaitu pertumbuhan dan perkembangan

(Soetjiningsih, 2013). Pertumbuhan berkaitan dengan masalah perubahan dalam

besar, jumlah, atau ukuran, yang bisa diukur dengan ukuran berat (gram, kilogram)

dan ukuran panjang (cm, meter), sedangkan perkembangan adalah bertambahnya

kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dari seluruh

bagian tubuh sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga

perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil berinteraksi

dengan lingkungannya (Kania, 2010).

Periode pertumbuhan dan perkembangan anak mulai di dalam kandungan

ibu sampai umur 2 tahun disebut masa kritis tumbuh-kembang. Bila anak gagal

melalui periode kritis ini maka anak tersebut sudah terjebak dalam kondisi “point

of no return”, artinya walaupun anak dapat dipertahankan hidup tetapi kapasitas

tumbuh-kembangnya tidak bisa dikembalikan ke kondisi potensialnya (Direktorat

gizi masyarakat, 2016).

Perkembangan Anak (Perkembangan Fisik, Perkembangan Motorik,

Perkembangan Kognitif, Perkembangan Psikososial) – Periode ini merupakan

kelanjutan dari masa bayi (lahir – usia 4 th) yang ditandai dengan terjadinya

perkembangan fisik, motorik dan kognitif (perubahan dalam sikap, nilai, dan

perilaku), psikosial serta diikuti oleh perubahan – perubahan yang lain (Natalia,

1
2

2010). Perkembangan motorik merupakan salah satu faktor yang sangat penting

dalam perkembangan individu secara keseluruhan (Perdani, 2009).

Salah satu kondisi yang dapat menghambat perkembangan motorik anak

adalah cedera plexus brachialis. Cedera Plexus Brachialis diartikan sebagai suatu

cedera pada Plexus Brachialis yang diakibatkan oleh suatu trauma. Trauma ini

sering kali berupa penarikan berlebihan atau avulsi (Mahadewa, 2013).

Sebagian besar cedera plexus brachialis terjadi selama proses persalinan.

Plexus brachialis sering mengalami masalah saat berada di bawah tekanan, seperti

dengan bayi yang besar atau persalinan yang lama. Jika salah satu sisi leher bayi

tertarik, saraf yang terdapat didalamnya juga akan tertarik dan dapat mengakibatkan

cedera. Bayi mungkin tidak dapat menggerakan bahu, tetapi dapat memindahkan

jari-jari. Jika kedua saraf atas dan bawah yang meregang, kondisi ini biasanya lebih

parah dari sekedar erb’s paralysis (Mahadewa, 2013).

Menurut Abbottabad (2006), Erb’s paralysis adalah kelumpuhan pada satu

upper ekstremitas yang disebabkan karena lesi pada plexus brachialis yang

biasanya disebabkan karena proses kelahiran.

Masalah utama yang timbul pada penderita Erb’s Paralysis adalah lesi pada

plexus brachialis yang dapat menyebabkan adanya nyeri pada bahu, adanya

penurunan kekuatan pada otot-otot lengan atas, keterbatasan lingkup gerak sendi

pada lengan dan penurunan aktivitas fungsional (Mahadewa, 2013).

Anak yang didiagnosis erb’s paralysis sebaiknya memulai terapi sedini

mungkin. Kondisi erb’s paralysis biasanya mulai didiagnosis sejak kelahiran,

sehingga terapi dapat dimulai minimal saat usia 3 minggu. Secara umum, kasus

yang ditemukan menunjukkan kondisi erb’s paralysis dapat pulih setelah 6 hingga
3

12 bulan dengan bantuan terapi, namun untuk kondisi yang lebih berat dapat

membutuhkan masa pemulihan yang lebih lama. Tanpa pemberian terapi, otot

lengan dapat menjadi sangat lemah akibat tidak pernah digunakan. Kondisi ini

dapat menyebabkan kehilangan kemampuan kekuatan otot secara permanen dan

hilangnya fleksibilitas tendon pada otot lengan. Pemberian terapi yang terlambat

dapat mengakibatkan perkembangan anak menjadi terlambat dan semakin sulit

untuk melakukan aktivitas fungsionalnya, serta terbatas untuk berpartisipasi dalam

aktivitas keseharian sesuai usia perkembangannya (Mahadewa, 2013).

Idealnya, 80% - 90% kasus menunjukkan bahwa terapi dapat membantu

anak dengan erb’s paralysis untuk mencapai kemampuan fungsional lengannya

sebelum menginjak usia 1 tahun. Tingkat capaian pemulihan anak dapat diprediksi

melalui sejauh mana bayi dapat berkembang setelah beberapa minggu pasca

kelahiran, jika respon perkembangannya baik di awal minggu kelahiran, maka hal

ini memberikan prognosis pemulihan total pada terapi selanjutnya. Walaupun, pada

beberapa kasus 3% - 25% anak dengan erb’s paralysis tetap tumbuh dengan

beberapa keterbatasan permanen (Mahadewa, 2013)

Berdasarkan pemaparan diatas maka perlu untuk disadari bahwa pemberian

intervensi fisioterapi sedini mungkin pada anak dengan diagnosi Erb’s palsy dapat

memberikan prognosis yang lebih baik.

1.2 Anatomi dan Fisiologi

Plexus brachialis berada dalam regio colli posterior, dibatasi disebelah

caudal oleh clavicula dan terletak di sebelah posterolateral

m.sternocleidomastoideus, berada disebelah cranial dan dorsal arteri subclavia,

disilangi oleh m.omohyoideus venter inferior. Struktur yang berada di superficial


4

adalah m.platysma myoides, n.supraclavicularis, v.jugularis externa, venter

inferior m.omohyoideus, m.scalaneus anterior, dan a.transversa colli. Plexus

brachialis masuk ke dalam fossa axillaris bersama-sama a. axillaris, pada sisi

inferolateral m.pectoralis minor, di sebelah ventral m.subscapularis, tampak

percabangan terminal dari plexus ini (Moore, et al., 2015).

Gambar 1.1 Anatomi Plexus Brachialis


(Sumber: Moore, et al. 2015)

Ramus anterior nervus spinalis C5-C6 bersatu membentuk truncus

superior. Truncus medius hanya dibentuk oleh nervus spinalis C7, dan truncus

inferior dibentuk oleh nervus spinalis C8 dan T1. Setiap truncus terbagi dua

menjadi cabang anterior dan cabang dorsal yang masing-masing mempersarafi

bagian anterior dan posterior ekstremitas superior. Cabang anterior dari truncus

superior dan truncus medius bersatu membentuk fasciculus lateralis, terletak di

sebelah lateral arteri axillaris. Cabang anterior dari truncus inferior membentuk

fasciculus medialis, terletak di sebelah medial a.axillaris dan cabang posterior dari

ketiga truncus tersebut membentuk fasciculus posterior, berada di sebelah posterior

arteri axillaris (Snell, 2014).

Ketiga fasciculus plexus brachialis terletak di atas dan lateral terhadap

bagian pertama arteri axillaris ( bagian pertama arteri axillaris terletak dari pinggir
5

lateral costa 1 sampai batas atas m.pectoralis minor, dan bagian III terletak dari

pinggir bawah m.pectoralis minor sampai pinggir bawah m.teres major). Fasciculus

medialis menyilang dibelakang arteri untuk mencapai sisi medial bagian II arteri

(Snell, 2014).

Fasciculus posterior terletak di belakang bagian kedua arteri, dan fasciculus

lateralis terletak bagian II arteri. Jadi fasciculus plexus membatasi bagian kedua

arteri axillaris yang dinyatakan seperti namanya. Sebagian besar cabang fasciculus

yang membentuk trunkus saraf utama ekstremitas superior melanjutkan hubungan

dengan bagian kedua arteri axillaris

Gambar 1.2. Skema Plexus Brachialis


(Sumber: Moore et al, 2015)

Plexus brachialis menerima komponen simpatis melalui ganglion

stellatum untuk nervus spinalis C6-7-8, dan melalui ganglion paravertebra

T1-T2 untuk nervus spinalis T1-dan T2. Terdapat enam saraf penting yang

keluar dari plexus brachialis, saraf-saraf tersebut adalah :

1. Nervus Torakalis Longus berasal dari radiks pleksus brachialis di leher

dan masuk aksilla dengan berjalan turun melewati pinggir lateral iga I

di belakang a.aksillaris dan pleksus brachialis. Saraf ini berjalan turun

melewati permukaan lateral m.serratus anterior yang dipersarafinya.


6

2. Nervus Axillaris merupakan cabang yang besar dari fasciculus

posterior. Berada di sebelah dorsal a.aksillaris. Meninggalkan fossa

aksillaris tanpa memberi persarafan di sisi n.aksillaris berjalan di antara

m.subscapularis dan m.teres minor, berada di sebelah lateral caput

longum m.triceps brachii, berjalan melaui fissure aksillaris lateralis

bersama-sama dengan arteri circumflexa humeri posterior, n.aksillaris

terletak bersandar pada columna chirurgicum humeri.

3. Nervus Radialis merupakan lanjutan langsung fasciculus posterior

plexus brachialis dan terletak di belakang a.aksillaris. N.radialis adalah

cabang terbesar plexus brachialis. Sebelum meninggalkan aksilla, saraf

ini mempercabangkan saraf untuk caput longum dan caput medial

m.triceps dan n.cutaneus brachii posterior.

4. Nervus Musculocutaneus merupakan cabang dari fasciculus lateralis

dan berpusat pada medulla spinalis segmen C5-C7, mempersarafi

m.coracobrachialis, dan meninggalkan aksilla dengan menembus otot

tersebut. Saraf ini meninggalkan tepi lateral m.biceps brachii,

menembus fascia dan melanjutkan diri sebagai n.cutaneus antebrachii

lateralis, yang mempersarafi permukaan lateral region antebrachium.

5. N.Medianus dibentuk oleh radiks superior dan fasciculus lateralis dan

radiks inferior dan fasciculus medialis, berada di sebelah lateral

a.aksillaris. Menerima serabut-serabut yang berpusat pada medulla

spinalis segmen C5-T1. Sepanjang brachium, n.medianus berjalan

berdampingan dengan a.brachialis, mula-mula di sebelah lateral, lalu

menyilang disebelah ventralarteri tersebut kira-kira pada pertengahan


7

brachium, selanjutnya memasuki fossa cubiti dan berada di sebelah

medial a.brachialis. Nervus ini tidak memberi percabangan di daerah

brachium. Memasuki daerah antebrachium, nervus ini berjalan di

antara kedua kaput m.pronator teres, berjalan ke distal di bagian

mediana (tengah-tengah) antebrachium, oleh karena itu disebut

n.medianus.

6. Nervus ulnaris adalah cabang utama dari fasciculus medialis, berjalan

turun antara arteri aksillaris dan vena aksillaris. Pada pertengahan

brachium saraf ini berjalan kearah dorsal menembus septum

intermusculare mediale, berjalan terus ke caudal dan berada pada

permukaan dorsal epicondylus medialis humeri, yaitu di dalam sulcus

nervi ulnaris. Di tempat ini n.ulnaris ditutupi oleh kulit sehingga dapat

dipalpasi. Di daerah brachium, n.ulnaris tidak memberi percabangan

(Snell, 2014).
BAB II

ANALISIS KEPUSTAKAAN BERDASARKAN KASUS

2.1 Kerangka Teori/ Mind Mapping

Faktor Risiko:
• Trauma
Tarikan/ peregangan
Persalinan
yang berlebihan pada
• Distosia
akar saraf
• BBL besar

Erb’s Paralysis

Manifestasi klinis:
- Ekstensi, abduksi
dan endorotasi
shoulder.
Penurunan kemampuan - Ekstensi dan
motorik pada sisi yang supinasi elbow
lesi - Palmar flexi wrist
- Nyeri
- Limitasi ROM
- Kelemahan Otot
- Tightness
Gambar 2.1 Kerangka / Mind Mapping Teori

2.2 Definisi

Menurut Abbottabad (2006), erb’s paralysis adalah kelumpuhan pada satu

upper ekskremitas yg disebabkan karna lesi pada pleksus brachialis. Biasanya

disebabkan karna proses kelahiran.

Secara umum erb’s paralysis merupakan kelumpuhan pada lengan yang

disebabkan oleh adanya cedera pada kelompok saraf lengan atas, khususnya C5-C6

yang merupakan bagian dari plexus brachialis, cidera ini menyebabkan kelemahan

dan kelumpuhan pada otot deltoid, otot biceps brachii, otot brachialis dan otot

8
9

brakhioradialis, kadang juga mengenai otot supraspinatus dan otot infraspinatus,

sehingga lengan atas berada dalam posisi ekstensi, adduksi, internal rotasi dan

lengan bawah tampak posisi ekstensi dan pronasi (Syaifuddin, 2009).

2.3 Etiologi

Menurut Prawiharjo (2014), terdapat beberapa faktor yang dapat menjadi

penyebab terjadinya erb’s paralysis yaitu :

a. Trauma Persalinan

Erb’s paralysis biasanya terjadi karena trauma persalinan, dimanasaat

proses persalinan terjadi peregangan pada plexus brachialis secara berlebihan

bahkan sampai cedera. Cedera traksi pada plexus brachialis terjadi selama

persalinan yang sulit dan lama, menurunkan bahu dengan gerakan yang

berlawanan dengan kemiringan tulang belakang menyebabkan peregangan

pada akar saraf servikal (C5,C6,C7) dari plexus brachialis (Abbottabad, 2006).

Penyebab lain dari kondisi erb’s paralysis adalah lamanya proses

persalinan, pinggul yang sempit atau ukuran bayi yang terlalu besar sehingga

menyebabkan bayi sulit untuk keluar dan pelvis ibu dapat menekan plexus

brachialis dan bayi lahir terbalik (Prawiroharjo, 2014).

b. Berat Badan Bayi Lahir Besar (Makrosomia)


c. Distosia
Distosia menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kelainan atau

kesulitan sewaktu beranak atau persalinan karena letak anak dalam kandungan

tidak normal atau karena anak terlalu besar. Dalam hal ini lesinya disebabkan

karena penarikan kepala bayi saat dilahirkan, dimana salah satu lengannya

tidak dapat dikeluarkan.


10

Telah dikenal 3 sindrom, kelumpuhan akibat lesi di plexus brachialis.

Yang pertama adalah kelumpuhan akibat lesi di bagian atas plexus brachialis,

yang menghasilkan sindrom kelumpuhan Erb Ducenne/Erb’s Paralysis dan

yang kedua adalah kelumpuhan yang disebabkan lesi di bagian bawah plexus

brachialis, yang di dalam klinis disebut Sindrom Kelumpuhan Klumpkey. Jika

seluruh pexus brachialis terkena maka dinamakan Erb Klumpkey’s Syndrome

atau Total Plexus Palsy (Kimberly, 2014).

d. Penggunaan alat bantu (Vacuum atau Forsep)

2.4 Epidemiologi

Obstetrical brachial plexus injury di Amerika Serikat sebesar 1-2 kasus per

1000 kelahiran. Terdapat 3 macam obstetrical brachial plexus injury: Erb’s

paralysis adalah yang paling sering terjadi, insidennya sekitar 90% kasus, total

plexus injury sebesar 9% kasus, danKlumpke’s palsy sebesar 1% kasus. Insiden ini

semakin menurun setiap tahunnya. Dari berbagai analisis, didapati bahwa kejadian

shoulder dystocia memiliki resiko 100 kali lebih besar terjadinya obstetrical

brachial plexus injury, sedangkan forceps delivery memiliki resiko 9 kali lebih

besar dan bayi besar dengan berat >4,5 kg memiliki resiko 4 kali lebih besar untuk

terjadinya cedera. Setidaknya 46% kejadian obstetrical brachial plexus injury

memiliki satu atau lebih faktor resiko, sedangkan 54%-nya tidak ditemukan adanya

faktor resiko (Helmi, 2013).

2.5 Patomekanisme

Peregangan serabut saraf yang terjadi pada plexus brachialis dapat

menimbulkan cedera pada selubung saraf, pembengkakan saraf dan pendarahan

disekelilingnya sampai dengan rusaknya akson sehingga menyebabkan


11

terganggunya impuls saraf, dimana tingkat gangguan impuls saraf tergantung kuat

ringannya suatu regangan. Peregangan ringan pada saraf kemungkinan hanya akan

menyebabkan neuropraksia atau aksonotmesis, sedangkan pada ruptur kulit akan

menyebabkan neurotmesis (Campbell, 2014).

Ketika persalinan, saat kepala sudah muncul, perlu dilakukan lateral fleksi

agar selanjutnya bahu si bayi dapat keluar. Bagi bayi yang tidak terlalu gemuk,

ketika lateral fleksi, bahu dapat dilahirkan. Namun pada bayi yang terlalu besar

(mis. diabetes), maka saat menarik diperlukan menambah lateral fleksi dan

tambahan tenaga, hal ini akan berdampak pada plexus brachialis, yaitu mengalami

stretching (Dalyono, 2012).

Peregangan pada plexus brachialis terjadi saat bayi baru lahir biasanya

terjadi selama proses kelahiran yang sulit, seperti pada bayi besar, pinggul ibu yang

kecil, atau proses persalinan yg lama. Hal ini juga dapat terjadi ketika proses

melahirkan yang rumit dan tenaga medis yang membantu persalinan harus

melahirkan bayi dengan cepat dan mengerahkan kekuatan untuk menarik bayi dari

rahim. Jika salah satu sisi leher bayi ditarik, saraf juga dapat ikut teregang, dan

dapat mengakibatkan cedera (Dalyono, 2012).

2.6 Klasifikasi

Untuk membantu mendiagnosis dan mengobati cedera plexus brachialis,

ada berbagai klasifikasi. Klasifikasi ini mengidentifikasi saraf yang mengalami

gangguan pada plexus brachialis, gejala-gejala cedera dan kemungkinan

pemulihan.

Berdasarkan Naraka Classification System (2009) Tingkat kerusakan pada

plexus brachialis dibagi menjadi empat yanitu:


12

a. Derajat 1 (Upper Erb’s) menunjukkan cedera pada akar saraf C5 dan C6 yang

mengakibatkan:

1) Kesulitan mengangkat lengan yang sakit ke atas kepala (abduksi bahu

terbatas)

2) Kesulitan memutar bahu menjauhi tubuh (rotasi eksternal terbatas)

3) Kesulitan menekuk siku (fleksi siku terbatas).

4) Kesulitan memutar lengan sehingga telapak tangan menghadap ke depan

(supinasi lengan terbatas).

Akibatnya, seseorang dengan cedera plexus brachialis terlihat dengan kondisi

lengan yang terganggu tampak tergantung ke samping, lurus dan diputar ke

arah luar tubuh, dan dengan telapak tangan menghadap ke belakang dalam

posisi pronasi. 90% orang dengan cedera derajat1 dapat kembali memiliki ke

kondisi normal.

b. Derajat II (Extended Erb’s) menunjukkan cedera pada akar saraf C5, C6 dan

C7. Sama halnya dengan derajat I, pada derajat II juga mengalami kesulitan

dalam menekuk pergelangan tangan (ekstensi wrist) dan cenderung drop wrist.

75% orang dengan cedera kelompok 2 akan kembali memiliki fungsi normal.

c. Derajat III (Total Palsy with No Horner Synndrome) menunjukkan cedera pada

akar saraf C5, C6, C7 dan C8. Orang-orang dalam kelompok ini mengalami

kelumpuhan lengan lengkap. Kurang dari 50% dengan kondisi ini dapat pulih

kembali.

d. Derajat IV (Total Palsy with Horner Synndrome) menunjukkan cedera pada

akar saraf C5, C6, C7, C8 dan T1. Selain kelumpuhan lengan, orang-orang

dengan derajat IV ini mengalami sindrom Horner. Sindrom Horner


13

menggambarkan kerusakan pada sekelompok saraf yang bertanggung jawab

untuk mengendalikan beberapa otot mata. Akibatnya, orang dengan sindrom

Horner memiliki pupil yang menyempit dan kelopak mata yang murung

(Qattan, et al. 2009).

2.7 Manifestasi Klinis

Manifestasi Klinis Erb’s Paralysis berhubungan dengan paralisis ektremitas

dan otot yang terkena. Lengan menggantung lunglai di samping tubuh. Bahu dan

lengan dalam posisi adduksi dan internal rotasi. Siku ekstensi dan lengan bawah

pronasi dengan pergelangan dan jari jari fleksi, refleks menggenggam mungkin

masih ada karena gerakan jari dan pergelangan tangan tetap normal (Alexander dan

Albert, 2013).

Pada paralisis, pleksus bagian bawah otot tangan mengalami paralisis,

konsekuesinya pergelangan tangan jatuh dan jari-jari rileks. Pada bentuk paralisis

brachial ketiga atau yang terberat, seluruh lengan mengalami paralisis dan

menggantung lunglai dan tidak bergerak disamping tubuh. Refleks moro tidak ada

pada sisi yang lemah pada semua bentuk paralisis brachial (Alexander dan Albert,

2013).

Pada pasien dengan Erb’s paralysis, posisi lengan pada posisi ekstensi,

abduksi dan endorotasi sendi shoulder, ekstensi dan supinasi sendi elbow dan dorsi

fleksi sendi wrist. Atrofi bahkan kontraktur pada otot supraspinatus, otot

infraspinatus, otot biceps, otot brachialis, dan otot brachioradialis jika tidak

mendapatkan penanganan seawal mungkin (Kimberly, 2014).

Menurut Dalyono (2012), manifestasi yang ditemukan pada kondisi Erb’s

Paralysis adalah :
14

a. Waiters Tip position (Endorotasi shoulder, adduksi, pronasi elbow)

b. Tidak adanya reaksi refleks moro pada lengan yang mengalami cedera

c. Penurunan spontanitas refleks grasp

d. Atropi otot lengan

e. Kehilangan fungsi motorik dan sensorik pada lateral proximal lengan atas

f. Kelemahan otot lengan

Penanganan pada lengan yang lemah ditujukan untuk menghindari kontraktur

otot yang paralisis dan mempertahankan posisi kaput humeri yang benar dalam

fossa glenoidalis scapula. Penyembuhan komplit saraf yang teregang biasanya

memerlukan waktu 3-6 bulan. Akan tetapi, bila ada avulsi saraf (terputusnya

ganglia secara komplit dari cord spinalis yang melibatkan baik radiks anterior

maupun posterior) akan terjadi kerusakan permanen. Untuk cedera seperti itu yang

tidak membaik secara spontan dalam 3 bulan, perlu intervensi bedah untuk

menghilangkan tekanan pada saraf atau untuk memperbaiki saraf dengan graft

(American Academy of Orthopedics Surgeon, 2016).

2.8 Pemeriksaan dan Penegakkan Diagnosis

Penegakan diagnosis erb’s paralysis diperlukan beberapa pemeriksaan

Untuk itu diperlukan anamnesis yang cermat mulai dari pre-natal, natal dan post

natal dan pengamatan yang cukup agar dapat menyingkirkan penyakit atau sindrom

lain yang berhubungan dengan erb’s paralysis. Pemeriksaan penunjang yang dapat

membantu untuk penegakan diagnosa erb’s paralysis adalah elektromiografi

(EMG).

Elektromiografi adalah suatu teknik untuk mengevaluasi dan merekam sinyal

aktivitas otot. Pemeriksaan Elektromiografi dilakukan menggunakan alat yang


15

disebut electromyograph, lalu rekaman yang dihasilkan disebut dengan

Elektromiogram. Elektromiografi (EMG) adalah teknik yang digunakan untuk

mengevaluasi fungsi saraf dan otot dengan cara merekam aktivitas listrik yang

dihasilkan oleh otot skeletal. Ini merupakan tes penting yang digunakan untuk

mendiagnosis kelainan otot dan saraf. Ini sering digunakan untuk mengevaluasi

kelainan sistem saraf periferal (American Association of Neuromuscular &

Electrodiagnostic Medicine, 2015).

Elektromiografi mencakup penyisipan elektroda pin (jarum halus) melalui kulit

dan masuk ke dalam jaringan otot, kemudian aktivitas listrik otot direkam pada

komputer. Hasil tes ini memungkinkan ahli saraf mendiagnosis setiap aktivitas otot

atau saraf yang abnormal. Tes ini membantu membedakan antara akar saraf dan

penyakit otot (American Association of Neuromuscular & Electrodiagnostic

Medicine, 2015).

Pemeriksaan radiologi juga berguna untuk menilai apakah terdapat fraktur pada

daerah os clavicula atau os humerus, apakah pada bagian axilla terdapat subluksasi

sendi gleohumeral atau tidak.

2.9 Diagnosis Banding

Tabel 2.1 Diagnosis Banding

Obstetrical Brachial Plexus Palsy

Akar Gangguan
Jenis Manifestasi Klinis
Saraf Sensorik
Erb’s atau Erb- C5-C6 Posisi shoulder adduksi, endorotasi; Distribusi saraf
Duchenne’s elbow ekstensi; pronasi dan fleksi muskulokutaneus
palsy wrist (palmar fleksi). Wing scapula
dapat terjadi; menggenggam tidak ada
masalah.
16

Klumpke’s C7-T1 Elbow normal dan pada shoulder Dstribusi dermatom


Palsy terdapat kelemahan triceps thorak pertama (sisi
kelemahan pronasi, fleksor dan ulnar pada
ekstensor wrist dan finger; tidak ada tangan/lengan
fungsi tangan. Keterlibatan C7 dapat bawah)
menyebabkan Horner’s syndrome.
Erb-Klumpke’s C5-T1 Paralisis total pada ekstremitas. Distribusi C5-T1
(total plexus)
Palsy

2.10Penatalaksanaan Fisioterapi

Teknik-teknik fisioterapi yang dapat diberikan pada kondisi erb’s paralysis

antara lain:

1. Massage

Massage adalah suatu istilah yang digunakan untuk menerangkan manipulasi-

manipulasi tertentu dari jaringan lunak tubuh. Manipulasi-manipulasi tersebut

dilaksanakan oleh tangan secara sistematis dan bertujuan memberikan

pengaruh pada sistem otot, susunan saraf serta sirkulasi umum lainnya. Ada

beberapa macam manipulasi yang digunakan sesuai dengan kebutuhan dan

tujuan diberikannya massage (Ulaiqoh, 2016)..

2. Exercise Therapy (Terapi Latihan)

Exercise therapy merupakan kegiatan utama yang didukung oleh modalitas-

modalitas lain. Pengembalian fungsi gerak merupakan salah satu tujuan utama

dari layanan fisioterapi. Terapi latihan ini dilakukan untuk merehabilitasi

penderita yang mengalami hambatan dalam kondisi fisiknya sehingga dapat

berfungsi atau mendekati fungsi yang seharusnya (Ulaiqoh, 2016).


17

2.11Kerangka/ Mind Mapping Teknologi Fisioterapi

Manifestasi klinis:
- Ekstensi, abduksi Problem Fisioterapi:
dan endorotasi - Kelemahan Otot
shoulder. Erb’s Paralysis - Nyeri
- Ekstensi dan supinasi - Limitasi ROM
elbow - Muscle Tightness
- Palmar flexi wrist

Modalitas terpilih
1. Masssage
Meningkatkan kemampuan motorik 2. NMT
ekstremitas atas anak 3. PROMEX
4. Strengthening exercise
5. Stretching Exercise

Gambar 2.2 Kerangka/ Mind Mapping Teknologi Fisioterapi


BAB III

MANAJEMEN FISIOTERAPI

3.1 Identitas Pasien

Nama Bayi : By. I

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 2 bulan 16 hari

Alamat : Makassar

Vital Sign

Denyut Nadi : 118x/menit

Pernapasan : 35 x/menit

Suhu : 36,1○ C

Nutrisi

Berat Badan : 5 kg

Panjang Badan : 52 cm

IMT : 14,8 kg/m2

3.2 Pemeriksaan Fisioterapi (CHARTS)

Chief of Complain

Tidak ada gerakan pada tangan kanan

History Taking

a. Riwayat pre natal

Usia ibu pada saat hamil By. I yaitu pada usia 42 tahun dan merupakan kehamilan

yang kelima. Selama hamil ibu By. I tidak pernah merasakan keluhan yang berat.

Ibu By. I juga rutin melakukan kontrol kehamilan di dokter. Selama hamil nutrisi

18
19

ibu juga baik dan ibu By. I juga rutin mengkonsumsi susu ibu hamil. Selama

kehamilan ibu By. Ijuga tidak pernah mengalami hipertensi dan demam. Mual dan

muntah hanya dialami ketika trimester awal kehamilan

b. Riwayat natal

By. I merupakan anak kelima dari lima bersaudara yang dilahirkan melalui

persalinan pervaginam (normal) dengan cukup bulan. Pada saat persalinan, ibu

By. I mulai merasakan kontraksi pada pukul 02.00 WITA dan ketuban pecah dini

pada pukul 05.00 WITA. Ibu By.I tidak disarankan untuk melakukan operasi

caesar dikarenakan kondisi ibu By. I yang masih kuat mengedan sehingga bayi

lama dijalan lahir. By. I lahir pada pukul 12.30 WITA dengan bantuan oleh dua

bidan, perut bagian atas didorong kemudian kepala bayi ditarik oleh bidan.

Kondisi bayi ketika dilahirkan tidak langsung menangis dan kondisi bayi

berwarna kuning. Berat badan lahir by. I yaitu 3,7 kg. Setelah dilahirkan bayi

segera dibawa ke ruang NICU untuk mendapatkan perawatan yang intensif dan

bayi segera diberikan penyinaran selama 24 jam. Bayi dirawat selama 5 hari di

ruang NICU.

c. Riwayat post natal

Pada saat memasuki usia 2 minggu, ketika ibu memandikan By. I, ibu mulai

merasa bahwa lengan kanan anaknya tidak pernah bergerak, dibandingkan lengan

kiri dan kakinya yang aktif bergerak. Mengetahui kondisi anaknya tersebut, ibu

tidak segera membawa ke dokter. Setelah usia 1 bulan ibu By. I baru

memeriksakan anaknya ke dokter di Rumah Sakit Batara Guru Belopa dan dokter

menyarankan agar anaknya di fisioterapi. Sekarang By. I menjalani fisioterapi di

Mother and Child RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo.


20

Assymmetric

1. Inspeksi Statis

a. Pasien baring dengan posisi cervical lateral fleksi dextra.

b. Elevasi, endorotasi, ekstensi pada shoulder dextra

c. Ekstensi dan pronasi pada elbow joint dextra

d. Palmarfleksi dan ulnar deviasi wrist joint dextra

e. Phalangs tampak normal.

f. Lengan kanan tampak lebih kecil daripada lengan kiri.

2. Inspeksi Dinamis

a. Bayi mampu merespon bunyi.

b. Bayi mampu menggenggam tangan fisioterapis dengan baik.

c. Bayi mampu merespon adanya cahaya.

3. Palpasi

Tabel 3.1 Hasil Palpasi


Karakteristik Dekstra Sinistra
Suhu Normal Normal
Oedem (-) (-)
Kontur Kulit Elastis Elastis
Tenderness (+) m. levator scapula, m. (-)
trapezius, m. pectoralis major.
Sumber: Data Primer, 2019

4. PFGD

Tabel 3.2 PFGD


Regio Gerakan Pasif Aktif dan TIMT
Dextra Sinistra
Shoulder Fleksi Terbatas, Nyeri Full ROM, elastic end Tidak dilakukan
springy end feel feel karena anak tidak
Ekstensi Full ROM, elastic Full ROM, elastic end memahami instruksi
end feel feel fisioterapis.
Abduksi Terbatas, Nyeri Full ROM, elastic end
springy end feel feel
Adduksi Full ROM, elastic Full ROM, elastic end
end feel feel
21

Terbatas, Nyeri Full ROM, elastic end


Eksorotasi springy end feel feel
Full ROM, elastic Full ROM, elastic end
Endorotasi end feel feel
Elastic end feel Full ROM, elastic end
Elevasi feel
Nyeri, hard end feel Full ROM, hard end feel
Depresi
Elbow Fleksi Terbatas, nyeri, Full ROM, soft end feel
springy end feel
Ekstensi Full ROM, hard Full ROM, hard end feel
end feel
Pronasi Full ROM, hard Full ROM, hard end feel
end feel Terbatas, nyeri, springy
Supinasi Terbatas, nyeri, end feel
springy end feel

Wrist Dorso Fleksi Terbatas, nyeri, Full ROM, Elastic end


Elastic end feel feel
Palmar fleksi Full ROM, Elastic Full ROM, Elastic end
end feel feel
Ulnar Deviasi Terbatas, nyeri, Full ROM, Elastic end
Elastic end feel feel
Radial Deviasi Full ROM, Elastic Full ROM, Elastic end
end feel feel

Sumber: Data Primer, 2019

Restrictive

1. Limitasi ROM : Terbatas pada shoulder, elbow dan wrist joint

2. Limitasi ADL : Menggapai benda, bertepuk tangan

3. Limitasi Pekerjaan :-

4. Limitasi Rekreasi : Tidak bisa bermain

Tissue Impairment and Psycogenic Prediction

1. Musculotendinogen : Muscle weakness m. Biceps brachii, m. ekstensor

wrist group, m. Brachialis, Mm. Deltoideus, Mm.

Rotator cuff dan Tightness m. pectoralis mayor

2. Osteoarthrogen : Shoulder, elbow dan wrist joint dextra


22

3. Neurogen : Suspek lesi pada Pleksus Brachialis Level C5,C6

4. Psikogen :-

Spesific Test
1. Vital sign
Denyut Nadi : 118x/menit

Pernapasan : 35 x/menit

Suhu : 36,1○ C

2. Pemeriksaan Antropometri
a) Berat Badan : 5 kg

b) Panjang Badan : 52 cm

c) Panjang Lengan : Dextra =19 cm

Sinistra = 19,5 cm

d) Lingkar lengan : Dextra = 11,5 cm

Sinistra = 12 cm

e) Lingkar Kepala : 37,2 cm

3. Palpasi : Spasme pada m. levator scapula, m. trapezius dextra, M. pectoralis


major dextra
4. Pengukuran Kualitas Nyeri (FLACC Scale)
Face :1
Leg :1
Activity :0
Cry :2
Consolability : 0
Total Skor :4
Interpretasi : Moderate Pain
23

5. Pemeriksaan Refleks
a. Refleks primitif

1) Refleks Moro

Hasil : (+)

Interpretasi : Normal

2) Tonic neck refleks

Hasil : (+)

Interpretasi : Normal pada sisi yang sehat, pada sisi lesi terdapat ada

sedikit gerakan.

3) Grasp reflex

Hasil : (+)

Interpretasi : Normal

4) Refleks Glabella

Hasil : (+)

Interpretasi : Normal

5) Rooting Reflex

Hasil : (+)

Interpretasi : Normal

b. Refleks Fisiologis

1) Biceps Reflex

Hasil : (+)

Interpretasi : Normal

2) Triceps Reflex

Hasil : (+)

Interpretasi : Normal
24

3) Brachioradialis reflex

Hasil : (+)

Interpretasi : Normal

6. Pemeriksaan Sensorik

Hasil : Mampu merasakan sensasi jika di tekan atau dikelitik

Interpretasi : Sensorik normal

7. Pemeriksaan Auditrori

Hasil : Pasien mampu merespon dan mengikuti bunyi

Interpretasi : Pendengaran normal

8. Pemeriksaan ROM

Shoulder

S. 30○.0.○100○

F. 100○.0○. 30○

Elbow

S. 0○.0○.30○

Wrist

S. 25○.0○.90○

T. 15○.0○.30○

9. Pemeriksaan Visual

Hasil : Pasien mampu mengikuti objek

Interpretasi : Penglihatan normal


10. Denver Development Skrining Test II (DDST II)

a) Motorik Kasar : Sesuai usia 2 bulan

b) Motorik Halus : Sesuai usia 2 bulan

c) Bahasa : Sesuai usia 2 bulan


25

d) Personal Sosial : Sesuai usia 2 bulan

11. Hasil Radiologi Shoulder Joint bilateral AP: (18 November 2019)

Gambar 3.1 Hasil Radiologi


Sumber: Data Primer, 2019

Kesan: Suspek fraktur processus coracoid dextra

3.3 Diagnosis Fisioterapi

Adapun diagnosis fisioterapi yang dapat ditegakkan dari hasil proses pengukuran dan

pemeriksaan tersebut, yaitu : “Gangguan Motorik Upper Extremity Dextra Berupa

Kelemahan Otot et causa Erb’s Paralysis Usia Kalender 2 Bulan”.

3.4 Problem Fisioterapi

Adapun problem fisioterapi yaitu:

a. Problem primer

Muscle weakness flexor shoulder, extensor wrist dan Mm. Rotator cuff

b. Problem Sekunder

1) Limitasi ROM

2) Nyeri

3) Tightness m. levator scapula, m. trapezius dan m. pectoralis major

c. Problem Kompleks : Gangguan motorik upper extremity dextra


26

3.5 Tujuan Fisioterapi

a. Tujuan Jangka Pendek

1) Meningkatkan kekuatan otot flexor shoulder dan Mm. Rotator cuff

2) Mengurangi Nyeri

3) Mengatasi Tightness m. levator scapula, m. trapezius dan m. pectoralis

major

4) Meningkatkan lingkup gerak sendi.

b. Tujuan Jangka Panjang

Mengoptimalkan perkembangan motorik upper extremity dextra.

3.6 Intervensi Fisioterapi

Tabel 3.3 Intervensi Fisioterapi

No. Problem Fisioterapi Modalitas Fisioterapi Dosis

F : 1x/hari
Pre-eliminary I : 3x repetisi
1 Manual therapy
Exercise T : Massage
T : 3 menit
F : 1x/hari
Nyeri dan Limitasi I : 8 hit 3 rep
2 Exercise therapy
ROM T : PROMEX
T : 5 menit
F : 1x/hari
I : 8 hit 3 rep
3 Kelemahan Otot Exercise Therapy T : Active strengthening
(stimulasi bunyi)
T : 3 menit
F : 1x/hari
Tightness m. levator I : 8 hit 3x rep
T : NMT (myofascial release),
4 scapula, m. trapezius Exercise therapy
active and passive stretching
dan m. pectoralis major
exc.
T : 5 menit
Sumber: Data Primer, 2019
27

3.7 Evaluasi Fisioterapi

Tabel 3.4 Evaluasi Fisioterapi

Setelah 2x Intervensi
Problem
No Parameter Interpretasi
Fisioterapi
Sebelum intervensi Setelah intervensi

FLACC
1 Nyeri 4 4 Belum ada perubahan
Scale
Shoulder Shoulder
S. 30○.0.○100○ S. 30○.0.○100○
F. 100○.0○. 30○ F. 100○.0○. 30○
Limitasi Elbow Elbow
2 Goniometer S. 0○.0○.30○ S. 0○.0○.30○
Belum ada perubahan
ROM
Wrist Wrist
S. 25○.0○.90○ S. 25○.0○.90○
T. 15○.0○.30○ T. 15○.0○.30○
Sumber: Data Primer, 2019

3.8 Modifikasi Fisioterapi

Modifikasi program intervensi fisioterapi disesuaikan dengan hasil evaluasi yang

didapatkan dari perkembangan hasil terapi yang dicapai oleh pasien. Modifikasi dapat

berupa peningkatan dosis atau modifikasi jenis latihan.

3.9 Home Program

a. Ibu disarankan untuk melakukan passive ROM exercise (PROMEX) kepada

anaknya pada anggota gerak atas untuk meminimalisirkan terjadinya ketegangan,

pemendekan otot, serta mempertahankan lingkup gerak sendinya.

b. Ibu disarankan untuk lebih sering berkomunikasi dan mengajak anaknya bermain,

dengan menstimulasi menggunakan bunyi atau benda agar tangan anaknya dapat

berusaha menggapai benda tersebut.

3.10 Kemitraan

Melakukan kemitraan dalam rangka memberikan layanan prima kepada pasien,

diantaranya dengan dokter spesialis anak, dokter spesialis neurologi, dokter spesialis

patologi klinik, dokter spesialis radiologi, perawat, apoteker, dan ilmu gizi.
DAFTAR PUSTAKA

Abbottabad. 2006. Restoration Of Glenohumeral Motion In Erb’s Paralysis By


Tendon Transfers. Department of Surgery. The Aga Khan University
Hospital.

Albert, Todd J dan Alexander R. Vaccaro. 2013. Pemeriksaan Fisik Saraf Spinal.
Jakarta: Erlangga.

American Academy of Orthopedics Surgeon. 2016.

American Association of Neuromuscular & Electrodiagnostic Medicine. 2015.

Campbell, Neil. A., dkk. 2014. Biologi Edisi Kedelapan Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Dalyono, Muhammad. 2012. Pola Penderita Kelumpuhan Pleksus Brakhialis


karena Trauma Lahir: FK. UNAIR, RSUD DR SOETOMO, Surabaya.

Direktorat Gizi Masyarakat. 2016. Buku Saku Pemantauan Status Gizi dan
Indikator Kinerja Gizi Tahun 2015. Kemenkes RI. Jakarta.

Helmi, Noor Zairin. 2013. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Penerbit
Salemba Medika.

Kania, Nia. 2010. Upaya Peningkatan Kualitas Tumbuh Kembang Anak.

Kimberly. 2014. Obstetrical Brachial Plexus Palsy. Elsevier

Mahadewa, T. 2013. Saraf Perifer masalah dan Penanganannya. Indeks: Jakarta.

Moore Keith L., Dalley Arthur F., Agur Anne M.R.. 2014. Clinically Oriented
Anatomy. 7th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.

Qattan, et. al. 2009. Naraka Classification of Obstetric Brachial Plexus Palsy
Revisited.

Prawiharjo, Sarwono. 2014. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka.

Snell, R.S. 2014. Anatomi Klinik Berdasarkan Regio. Dialihbahasakan oleh


Suguharto L. Edisi ke-9. Jakarta: EGC.
Soetjiningsih. 2013. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC.

Syaifuddin. 2009. Anatomi Tubuh Manusia Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.

Ulaiqoh, Nida. 2016. Journal Physiotherapy Service for Children with Cerebral.

28
LAMPIRAN

1. FLACC Scale

Kategori 0 1 2

Face (F) Tidak ada ekspresi Sering menangis Dagu bergetar,


tertentu atau atau mengerutkan rahang mengepal
tersenyum kening, dan
perasaan tidak
tertarik
Leg (L) Posisi normal atau Gelisah dan tegang Kaki menendang
relaks
A (Activity) Berbaring normal, Menggeliat, Rigid, menghentak
aktif bergerak bergeser ke
belakang, tegang
C (Cry) Tidak menangis Merengek Menangis dan
(ketika bangun atau berteriak
hendak tidur)
C (Consability) Relaks Diyakinkan dengan Susah dihibur atau
pelukan, sentuhan tidak nyaman
atau ucapan
Total Skor =

Interpretasi :

0 = Rileks dan nyaman

1-3 = Ketidaknyamanan yang ringan

4-6 = Nyeri sedang

7-10= Ketidaknyamanan atau nyeri yang tinggi

29
2. Denver Development Skrining Test II (DDST II)

30

Anda mungkin juga menyukai