Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN KASUS PROFESI FISIOTERAPI

MANAJEMEN FT GANGGUAN GERAK DAN AKTIVITAS


FUNGSIONAL REGIO KNEE JOINT SINISTRA BERUPA
NYERI, SPASME, KELEMAHAN OTOT, LIMITASI ROM
DAN GANGGUAN ADL (PRAYING DAN WALKING) E.C
OSTEOARTHRITIS GENU SEJAK 8 BULAN YANG LALU

Oleh:

NURVIANTI AULIA EKA SAFUTRI, S.Ft

R024 191 026

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI FISIOTERAPI


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
HALAMAN PERSETUJUAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menerangkan bahwa mahasiswa berikut :

Nama : Nurvianti Aulia Eka Safutri,S.Ft

NIM : R024191026

Adalah benar telah menyelesaikan telah laporan kasus dengan judul “Manajemen

Ft Gangguan Gerak Dan Aktivitas Fungsional Regio Knee Joint Sinistra Berupa

Nyeri, Spasme, Kelemahan Otot, Limitasi ROM Dan Gangguan ADL (Praying

Dan Walking) e.c Osteoarthritis Genu Sejak 8 Bulan Yang Lalu” pada bagian RS

Pendidikan Universitas Hasanuddin dan telah mendiskusikannya dengan

pembimbing.

Makassar, Oktober 2019

Mengetahui,

Clinical Instructor Clinical Educator

(Hamizah,S.Ft.,Physio.,M.Biomed (Andi Besse Ahsaniyah,S.Ft.,Physio.,M.Kes)


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas rahmat dan

hidayah-Nya sehingga laporan kasus yang berjudul ‟ Manajemen Ft Gangguan

Gerak Dan Aktivitas Fungsional Regio Knee Joint Sinistra Berupa Nyeri,

Spasme, Kelemahan Otot, Limitasi ROM Dan Gangguan ADL (Praying Dan

Walking) e.c Osteoarthritis Genu Sejak 8 Bulan Yang Lalu” dapat selesai sesuai

dengan waktu yang telah ditentukan. Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah

sebagai tugas evaluasi diri terhadap kasus pada tempat praktik lapang masing-

masing.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini tidak lepas dari

bantuan, dorongan, semangat, saran, dan pendapat berbagai pihak, oleh karena itu,

dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada yang terhormat :

1. Direktur Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin serta jajarannya

yang telah mengijinkan pelaksanaan praktik lapangan ini dalam rangka

pembelajaran bagi mahaiswa profesi Fisioterapi.

2. Ibu Hamizah,S.Ft.,Physio.,M.Biomed selaku kepala ruangan bagian

Fisioterapi sekaligus pembimbing utama dari pihak RS yang telah

mengarahkan dan membimbing dengan baik selama kami melakukan praktik

lapangan di RS Pendidikan Universitas Hasanuddin serta Fisioterapis yang

terdapat di RS Pendidikan Universitas Hasanuddin yang senantiasa

membimbing kami selama stase.


3. Andi Besse Ahsaniyah, S.Ft.,Physio.,M.Kes sebagai pembimbing yang telah

memberikan banyak waktu, pengarahan, saran dan referensi.

4. Kak Syarif, Ayu, Ririn, Evita dan Mala selaku teman kelompok yang telah

bersama-sama menjalani hari bersama dan membantu dalam pengerjaan

tugas-tugas.

5. Semua pihak yang telah ikut membantu dan atau terlibat dalam penyelesaian

laporan kasus ini.

Akhirnya, semoga laporan kasus ini bermanfaat baik pada diri sendiri

maupun pihak lain yang berminat.

Makassar, Oktober 2019

Penulis

Nurvianti Aulia Eka Safutri,S.Ft


DAFTAR ISI

Hal

aman

HALAMAN JUDUL............................................................................................. i

HALAMAN PENGESAHAN............................................................................... ii

KATA PENGANTAR........................................................................................... iii

DAFTAR ISI......................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

A. Latar Belakang................................................................................ 1

B. Anatomi Knee Joint......................................................................... 5

C. Biomekanik Knee Joint................................................................... 5

BAB II ANALISIS KEPUSTAJAAN.............................................................. 7

A. Kerangka Teori................................................................................ 1

B. Osteoarthritis Knee......................................................................... 5

1. Definisi......................................................................................... 7

2. Epidemiologi................................................................................ 7

3. Etiologi......................................................................................... 5

4. Faktor Resiko............................................................................... 7

5. Klasifikasi.................................................................................... 10
6. Patomekanisme............................................................................ 10

7. Manifestasi Klinis........................................................................ 12

8. Komplikasi................................................................................... 14

9. Diagnosa Banding........................................................................ 14

C. Pemeriksaan Fisioterapi.................................................................. 1

D. Penatalaksanaan Fisioterapi............................................................ 5

BAB III MANAJEMEN FISIOTERAPI ...........................................................

22

A. Anamnesis Umum...........................................................................

22

B. Anamnesis Khusus..........................................................................

26

C. Diagnosis Fisioterapi.......................................................................

26

D. Problem Fisioterapi.........................................................................

28

E. Tujuan Fisioterapi...........................................................................

22

F. Intervensi Fisioterapi.......................................................................

26

G. Evaluasi Fisioterapi.........................................................................

26

H. Modifikasi.......................................................................................

28
I. Home program.................................................................................

28

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................

30

LAMPIRAN.........................................................................................................

31
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tulang pada Knee Joint..........................................................................5

YGambar 2. Ligamen pada Knee Joint.....................................................................6

YGambar 3. Otot Fleksor pada Knee Joint...............................................................8

YGambar 4. Otot Ekstensor pada Knee Joint...........................................................9

YGambar 5. Bursa pada Knee Joint........................................................................11

YGambar 6. Meniscus pada Knee Joint..................................................................12

Gambar 7. Kapsul Sendi pada Knee Joint.............................................................13

Gambar 8. Tingkat Keparahan Osteoarthritis berdasarkan gambaran radiografi..28


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Knee Joint adalah sendi sinovial terbesar pada tubuh manusia,

terdiri oleh struktur tulang (distal femur, proksimal tibia, dan patella),

tulang rawan (meniskus dan tulang rawan hialin), ligamen dan membran

sinovial. Membran sinovial bertanggung jawab atas produksi cairan

sinovial, yang menyediakan pelumasan dan nutrisi ke tulang rawan

avaskular. Sayangnya, mengingat penggunaan berlebihan dan stres pada

sendi ini, dapat menyebabkan kondisi yang menyakitkan salah satunya

Osteoartritis (Sharma et al,2017; Richebé et al, 2018).

Osteoartritis (OA) adalah gangguan degeneratif pada sendi

sinovial yang ditandai dengan hilangnya fokus artikular tulang rawan

dengan perubahan reaktif pada tulang subkondral dan marginal, sinovium,

dan struktur paraartikular (Scoot, 2010). Menurut National Institute for

Health and Care Excellence (2014), OA mengacu pada sindrom klinis

nyeri sendi disertai dengan berbagai tingkat keterbatasan fungsional dan

penurunan kualitas hidup. Ini adalah bentuk paling umum dari penyakit

sendi degeneratif, mempengaruhi 15% hingga 40% orang berusia 40 tahun

ke atas. Penyakit ini adalah penyebab utama kecacatan dan memiliki

perjalanan yang lambat, progresif yang berakhir dengan kegagalan sendi

dan kecacatan (Ayanniyi & Adeniyi, 2017). 

Nyeri adalah alasan paling sering pasien dengan OA knee untuk

mencari perhatian medis dan rehabilitasi. Jika tidak diobati, rasa sakit dan
kekakuan akan terjadi mengakibatkan hilangnya fungsi fisik dan

kemandirian (Ayanniyi & Adeniyi, 2017).  Secara klinis, OA knee ditandai

dengan nyeri selama weight bearing, tenderness, stifness, krepitus, efusi

sesekali, pembengkakan, kehilangan gerakan, kelainan bentuk valgus atau

varus, dan penguncian lutut (Ayanniyi & Adeniyi, 2017; Sumathi et al,

2019).  Selain itu, mereka memiliki banyak limitasi fungsional ketika

duduk dan berdiri atau naik turun tangga. Ada remodeling pembentukan

osteofit tulang subartikular, kelemahan ligamen, peradangan sinovial dan

melemahnya otot periartikular. Perubahan-perubahan ini dapat terjadi

sebagai akibat dari ketidakseimbangan dalam equilibrium antara

kerusakan dan perbaikan jaringan sendi (Sumathi et al, 2019).

Prevalensi OA di dunia termasuk dalam kategori tinggi berkisar

antara 2.3% hingga 11.3%, selain itu OA merupakan penyakit

muskuloskeletal yang sering terjadi yaitu pada urutan ke 12 di antara

seluruh penyakit yang ada. Hal tersebut dapat diketahui bahwa prevalensi

OA pada lansia usia > 60 tahun diestimasikan sebesar 10 -15% dengan

angka kejadian 18.0% pada perempuan dan 9.6% pada laki - laki, dari

angka tersebut dapat dilihat bahwa prevalensi OA pada perempuan lebih

tinggi dibandingkan dengan laki - laki (Ireneu et al, 2017). ). Prevalensi

OA berdasarkan usia di Indonesia cukup tinggi yaitu 5% pada usia 40

tahun, 30% pada usia 40 - 60 tahun, dan 65% pada usia tua (lansia) lebih

dari 61 tahun (Ireneu et al, 2017).

Manajemen OA genu terutama terkonsentrasi pada pengurangan

nyeri, meningkatkan ROM sendi dan meningkatkan kekuatan otot,


mengabaikan pengencangan ligamen dan otot yang mempengaruhi fungsi

tungkai bawah dan gaya berjalan (Sumathi et al, 2019). Fisioterapi sebagai

pilihan utama manajemen konservatif; yang mencakup berbagai strategi

seperti manual therapy, therapeutics exercises, patellar taping dan

modalitas elektroterapi dengan atau tanpa modalitas termal sebagai

langkah-langkah untuk mengurangi nyeri (Nor&Lyn, 2011).

B. ANATOMI KNEE JOINT

Knee joint merupakan bagian dari ekstremitas inferior yang

menghubungkan tungkai atas dengan tungkai bawah. Knee joint adalah

sendi paling besar dalam tubuh, sangat komplek mempunyai otot fleksor

dan ekstensor yang kuat serta mempunyai ligamen yang kuat. Fungsi dari

knee joint ini adalah untuk mengatur pergerakan dari kaki. Tulang-tulang

dipadukan dengan berbagai cara misalnya dengan kapsul sendi, pita

fibrosa, ligamen, tendon, fasia, atau otot. Persendian ini adalah lokasi

paling sering mengalami patologi, dengan Osteoartritis menjadi salah satu

kondisi yang paling sering terjadi di genu (Pratama, 2019).

1. Tulang Pembentuk

Tulang yang membentuk knee joint, yaitu os femur, os tibia, os fibula

dan patella. Berikut adalah penjabaran dari tiap tulang pembentuk

Genu (Pratama, 2019).

a. Tulang femur

Merupakan tulang pipa terpanjang dan terbesar di dalam tulang

kerangka pada bagian pangkal yang behubungan dengan

acetabulum membentuk kepala sendi yang disebut caput femoris.


Di sebelah atas dan bawah dari columna femoris terdapat laju yang

disebut throcanter mayor dan throcanter minor, di bagian ujung

membentuk persendian genu. Terdapat dua buah tonjolan yang

disebut condylus medialis dan condylus lateralis, diantara kedua

condylus ini terdapat lekukan tempat letaknya tulang tempurung

genu (patella) yang disebut dengan fosa condylus (Pratama, 2019).

b. Tulang tibia

Tulang tibia bentuknya lebih kecil, pada bagian pangkal melekat

pada os fibula. Pada bagian ujung membentuk persendian dengan

tulang pangkal kaki dan terdapat taju yang disebut os malleolus

medialis (Pratama, 2019).

c. Tulang fibula

Merupakan tulang pipa yang terbesar sesudah tulang paha yang

membentuk persendian genu dengan os femur pada bagian

ujungnya. Terdapat tonjolan yang disebut os malleolus lateralis

atau mata kaki luar (Pratama, 2019).

d. Tulang patella

Pada gerakan fleksi dan ekstensi patella akan bergerak pada

tulang femur. Jarak patella dengan tibia saat terjadi gerakan

adalah tetap dan yang berubah hanya jarak patella dengan femur.

Fungsi patella di samping sebagai perekat otot-otot atau tendon

adalah sebagai pengungkit knee joint. Pada posisi fleksi genu 90

derajat kedudukan patella diantara kedua condylus femur dan saat


ekstensi maka patella terletak pada permukaan anterior femur

(Pratama, 2019).

Gambar 1. Tulang Penyusun Knee Joint


( sumber : sobbota, 2013)
2. Ligamen

Tulang diikat bersamaan bukan oleh tulang tetapi oleh ligamen dan

otot. Ligamen yang bertugas adalah ligamen collateral dan ligamen

cruciatum. Ligamen cruciatum terletak didalam kapsul sendi dan arena

itu disebut ligamen intracapsular. Terletak antara condilus medial dan

lateral. Ligamen cruciatum terletak saling menyilang (Pratama, 2019).

a. Ligamen anterior cruciatum

Ligamen anterior cruciatum adalah ligamen yang melekat pada

area intercondylaris anterior tibia dan berjalan ke arah atas, ke

belakang dan lateral untuk melekat pada bagian posterior

permukaan medial condylus lateralis femoris (Pratama, 2019).

b. Ligamen posterior cruciatum

Ligamen posterior cruciatum adalah ligamen yang melekat pada

area intercondylaris posterior tibia dan berjalan ke arah atas,


depan dan medial untuk dilekatkan pada bagian anterior

permukaan lateral condylus medialis femoris (Pratama, 2019).

c. Ligamen medial collateral

Ligamen medial collateral adalah ligamen yang melekat pada

condilusmedial femur dan tibia. Serat dari meniscus medial

melekat pada ligamen ini yang ikut serta untuk sering robeknya

meniscus medial selama benturan yang berlebihan (Pratama,

2019).

d. Ligamen lateral collateral

Ligamen lateral collateral menempel pada condilus lateral femur

sampai ke caput fibula, sendi ini sangat kuat dari benturan dari

tekanan sisi medial genu (Pratama, 2019).

Gambar 2. Ligamen pada Knee Joint


( sumber : Netter, 2018)

3. Otot penyusun

Otot penyusun dalam knee joint terdapat dua gerakan utama, yaitu fleksi

dan ekstensi. Untuk dapat melakukan gerakan tersebut dibutuhkan


kelompok otot sekitar knee joint (Pratama, 2019). Berikut ini adalah

kelompok otot yang membantu pergerakan fleksi dan ekstensi genu:

a. Fleksor genu

Kelompok otot fleksor genu adalah hamstring yang terdiri dari biceps

femoris, semitendinosus, dan semimembranosus. Selain itu juga dibantu

otot-otot gracilis, sartorius, gastrocnemius, popliteus dan plantaris

(Pratama, 2019).

Nama
No Origo Insertio Innervasi
otot

tuberositas
ischiadicum,
membagi tendon
sama besar
Biceps Femoris sisi lateral
dengan nervus tibial
1 semitendinosus caput fibula
(S1-S3)
dan
semimembranos
us

tuberositas
ischiadicum, permukaan
Semitendinosus membagi tendon medial dari
sama besar nervus tibial
2 dengan superior tibia
(L5-S2)
semitendinosus melalui tendon
dan biceps pes anserinus
femoris
tuberositas
ischiadicum,
membagi tendon permukaan
sama besar posterior nervus tibial
3 Semimembranosus
dengan medial (L5-S2)
semitendinosus condylus tibia
dan biceps
femoris
permukaan
½ dibawah
medial dari nervus
symphisis pubis
4 Gracilis superior tibia obturator (L3-
dan ½ atas
melalui tendon L4)
arcus pubis
pesanserinus
nervus
spina iliaca permukaan
5 Sartorius femoral (L2-
anterior antero medial
L3)
atas os
superior tibia tepat di
pes anserinus
caput medial
permukaan
dan lateral dari
posterior
permukaan nervus tibial
6 Gastrocnemius calcaneus
posterior (S1-S2) 7)
membentuk
condylus
tendon Achilles
femoralis
permukaan
permukaan
posterior nervus tibial
7 Popliteus lateral condylus
proksimal shaft (L4, L5)
lateral
tibial
lateral
supracondylar
tenda
8 Plantaris femur di atas nervus Tibial
calcaneus
lateral head
gastrocnemius

Gambar 3. Otot Fleksor pada Knee Joint


( sumber : Netter, 2018)
b. Ekstensor genu

Kelompok otot ekstensor genu adalah quadriceps yang terdiri dari rectus

femoris, vastus medialis, vastus intermedius, dan vastus lateralis. Keempat

otot quadriceps bersatu membentuk tendon dan melekat pada tulang tibia

(tuberositas tibialis) melalui ligamen patella (Pratama, 2019).


No Nama otot Origo Insertio Innervasi

spina iliaca
anterior inferior
dan bagian tuberositas n. femoris
1 m. rectus femoris superior lekukan L2- L 4
tibia
acetabulum

trochanter
major dan n. femoris
tuberositas
2 m. vastus lateralis permukaan
tibia L2- L 4
lateral atas linea
aspera

linea
intertrochanteric tendon patella n. femoris
3 m. vastus medialis a dan bagian dan tuberositas L2- L 4
medial linea tibia
aspera
2/3 atas bagian
m. vastus anterior dan Tuborisitas n. femoris
4 L2- L 4
intermedius permukaan tibiae
lateral os femur

Gambar 4. Otot Ekstensor pada Knee Joint


( sumber : Netter, 2018 )
4. Bursa

Bursa adalah suatu kantung tertutup dari jaringan areolar. Dindingnya

lembek saling terpisah oleh suatu lapisan cairan licin yang menyerupai

putih telur. Sebagian suatu pelumas dan untuk mengurangi gesekan antara

tulang, otot, tendon serta memungkinkan gerakan bebas (Pratama, 2019).

a. Bursa anterior

1) Bursa supra patellaris

Terletak di bawah m. quadriceps femoris dan berhubungan erat

dengan rongga sendi (Pratama, 2019).

2) Bursa prepatellaris

Terletak pada jaringan subcutan diantara kulit dan bagian depan

belahan bawah patella dan bagian atas ligamentum patella (Pratama,

2019).

3) Bursa infrapatellaris superficialis.

Terletak pada jaringan subcutan diantara kulit dan bagian depan

belahan bawah ligamentum patella (Pratama, 2019).

4) Bursa infapatellaris profunda

Terletak diantara permukaan posterior dari ligamenum patella dan

permukaan anterior tibia. Bursa ini terpisah dari cavum sendi

melalui jaringan lemak dan hubungan antara keduanya ini jarang

terjadi (Pratama, 2019).

b. Bursa Superior

1) Reccessus subpopliteus
Ditemukann sehubungan dengan tendon m. popliteus dan

berhubungan dengan rongga sendi (Pratama, 2019).

2) Bursa M. Semimembranosus

Ditemukan sehubungan dengan insersio m.semimembranosus dan

sering berhubungan dengan rongga sendi (Pratama, 2019).

Gambar 5. Bursa pada Knee Joint


( sumber : Netter, 2018 )

5. Meniscus

Meniscus adalah lempeng berbentuk sabit fibrocartilago pada

permukaan artikular tibia. Batas perifernya tebal dan cembung. Melekat

pada bursa. Batas dalamnya cekung dan membentuk tepian bebas.

Permukaan atasnya cekung dan berhubungan langsung dengan condylus

femoris. Fungsi meniscus ini adalah memperdalam fascies artikularis

condylus tibialis untuk menerima condylus femoris yang cekung

(Pratama, 2019).
a. Meniscus medialis

Berbentuk huruf C. lebih lebar di posterior daripada anterior, kurang

mobile daripada meniscus medialis.

b. Meniscus lateralis

Hampir berbentuk sirkuler, lebih kecil, lebih dapat digerakkan secara

bebas.

Gambar 6. Meniscus pada Knee Joint


( sumber : Netter, 2018 )

7. Kapsul sendi

Kapsul sendi merupakan pengikat kedua tulang yang bersendi agar

tulang tetap berada pada tempatnya pada waktu terjadi gerakan. Tersusun

atas fibrosis dan membran synovial internal yang melapisi semua

permukaan internal cavitas artikularis yang tidak dilapisi kartilago

artikularis (Pratama, 2019). Kapsul sendi terdiri dari:


a. Lapisan luar

Disebut juga fibrous capsul, terdiri dari jaringan penghubung yang

kuat yang tidak teratur. Dan akan berlanjut menjadi lapisan fibrous

dari periosteum yang menutupi bagian tulang. Dan sebagian lagi akan

menebal dan membentuk ligamentum (Pratama, 2019).

b. Lapisan dalam

Disebut juga synovial membran, bagian dalam membatasi cavum

sendi dan bagian luar merupakan bagian dari artikular kartilago.

Membran ini menghasilkan cairan synovial yang terdiri dari serum

darah dan cairan sekresi dari sel synovial. Cairan synovial ini

merupakan campuran yang kompleks dari polisakarida protein, lemak

dan sel-sel lainnya. Polisakarida ini mengandung hyaluronic acid yang

merupakan penentu kualitas dari cairan synovial dan berfungsi sebagai

pelumas dari permukaan sendi sehingga sendi mudah digerakkan

(Pratama, 2019).

Gambar 7. Kapsul Sendi pada Knee Joint


( sumber : Marieb & Keller, 2018)
C. Biomekanik Knee Joint

Knee joint dibentuk oleh epiphysis distalis tulang femur, epiphysis

proksimalis, tulang tibia dan tulang patella, serta mempunyai beberapa

sendi yang terbentuk dari tulang yang berhubungan, yaitu antar tulang

femur dan patella disebut articulation tibio femoral dan antara tulang tibia

dengan tulang fibula proksimal disebut articulation tibio proksimal

(Pratama, 2019).

Knee joint terdiri dari hubungan antara: os femur dan os tibia

(tibiofemoral joint), os femur dan os patella (patellofemoral joint), os tibia

dan os fibula (tibiofibular proksimal joint) .

a. Tibiofemoral joint

Dibentuk oleh condylus femoralis lateralis dan medialis

(convex/cembung) dan tibia plateu (concave/cekung). Permukaan sendi

dari condylus medialis lebih lebar dibanding condylus lateralis kira-

kira 1-2 cm, sehingga jika terjadi gerakan fleksi atau ekstensi pada

permukaan sendi bagian lateral sudah terbatas dibanding bagian

medial. Konsekuensinya, penekanan pada bagian medial relatif lebih

kecil dibanding pada bagian lateral. Bentuk kroming kedua condylus

pada bagian anterior lebih kecil dibanding pada bagian posterior. Pada

keadaan seperti itu maka fase-fase terjadi gerak rolling dan sliding

yang mengikuti arah dari permukaan sendi (Pratama, 2019).

Pada prinsipnya gerak meniscus mengikuti gerak dari condylus

femoralis, sehingga waktu fleksi maka bagian posterior dari kedua


meniscus tertekan yang memberikan regangan kearah posterior

sepanjang 6 mm untuk meniscus medialis dan sepanjang 12 mm untuk

meniscus lateralis (Pratama, 2019).

b. Patellofemoral joint

Facet sendi ini terdiri dari tiga permukaan pada bagian lateral

pada satu permukaan pada bagian medial. M. Vastus lateralis

menarik patella kearah proximal sedangkan. Vastus medial menarik

patella ke medial, sehingga posisi patella stabil (Pratama, 2019).

c. Tibiofibularis proksimal joint

Hubungan tulang tibia dan fibula merupakan syndesmosis yang

ikut memperkuat beban yang diterima knee joint sebesar 1/16 dari

berat badan (Pratama, 2019).

1. Osteokinematika

Osteokinematik merupakan gerakan yang terjadi diantara kedua tulang.

Klasifikasi osteokinematic ditinjau dari mekanika sendi terdiri atas dua

bagian yaitu swing dan spin. Swing adalah suatu gerak ayunan sehingga

terjadi perubahan sudut diantara axis panjang tulang-tulang

pembentuknya. Sedangkan spin adalah suatu gerakan dimana tulang

bergerak tetapi axis mekanik sendi tidak bergerak. Gerakan yang terjadi

pada knee joint adalah: gerakan fleksi 100-1400, gerakan hyperekstensi 50-

100, gerakan eksorotasi dengan posisi genu fleksi 900, gerakan endorotasi

dengan posisi genu fleksi 900 (Pratama, 2019).

a) Arthrokinematik knee joint

Arthrokinematik knee joint adalah pada femur (cembung) maka


gerakan yang terjadi adalah rolling dan sliding berlawanan arah. saat

fleksi femur rolling ke arah belakang dan sliding kearah depan. Untuk

gerakan ekstensi, rolling kedepan dan sliding kebelakang. Dan jika

tibia bergerak fleksi maupun ekstensi maka rolling maupung slidding

akan searah, saat gerakan fleksi menuju ke doral sedang pada saat

bergerak ekstensi menuju kedepan. Pergerakan pada knee joint

pergerakan pada knee joint meliputi gerakan fleksi, ekstensi, dan

sedikit rotasi (Pratama, 2019).

a. Ekstensi

Ekstensi dilaksanakan oleh m. quadriceps femoris dan dibatasi

mula-mula oleh ligamenum crucitum anterior yang menjadi tegang.

Ekstensi knee joint lebih lanjut disertai rotasi medial dari femur dan

tibia serta ligamen collateral medial dan lateral serta ligamenum

popliteus obliqum menjadi tegang, serat-serat posterior ligamenum

cruciatum posterior juga dieratkan. Sehingga sewaktu knee joint

mengalami ekstensi penuh ataupun sedikit hiperekstensi, rotasi

medial dari femur mengakibatkan pemutaran dan penguncian

semua ligamen utama dari sendi, dan genu berubah menjadi

struktur yang secara mekanis kaku. Rotasi femur sebenarnya

mengembalikan femur pada tibia dan meniskus didapatkan mirip

bantal karet di antara condylus femoris dan condylus tibialis. Genu

berada dalam keadaan terkunci bila dalam keadaan hiperekstensi

(Pratama, 2019).
b. Fleksi

Sebelum fleksi knee joint dapat berlangsung, ligamen-ligamen

utama harus dalam keadaan kendur untuk memungkinkan terjadinya

gerakan di antara permukaan sendi. Peristiwa mengurai dan terlepas

dan keadaan terkunci ini dilaksanakan oleh m. popliteus, yang

memutar femur ke lateral pada tibia. Sewaktu condylus lateralis

femoris bergerak mundur, perlekatan m. popliteus pada meniskus

lateral ikut tertarik ke belakang. Meniskus harus menyesuaikan

bentuknya pada garis bentuk condylus yang berubah. Pada posisi

genu 900, maka kemungkinan rotasi sangat luas. Rotasi medial

dilakukan m. sartorius, m. gracilis, dan m. semitendinosus, rotasi

lateral dilakukan oleh m. biceps femoris. Pada posisi fleksi, dalam

batas tertentu tibia secara passive dapat digerakkan ke depan dan

belakang terhadap femur, hal ini dimungkinkan karena ligamen

intrakapsuler sedang dalam keadaan kendur (Pratama, 2019).


BAB II
ANALISIS KEPUSTAKAAN

A. Kerangka Teori
Kelainan Obesitas, DM, histerektomi,
metabolik manisektomi, osteoporosis,
hiperuremia, & Hipertensi
Etiologi Multifaktorial

Usia

Faktor Resiko Trauma, pekerjaan, aktivitas fisik &


Biomekanis
olahraga, & kelainan anatomis

Jejas pada permukaan tulang rawan sendi


Genetik

Ras
Perubahan metabolisme
kartilago dan sendi
Jenis
kelamin
Aktivitas Kondrosit ↑
Gaya hidup kurang konsumsi vit. D,

Pembentukan
kolagen+proteoglikan ↑

Penghancuran oleh Defisit Pengetahuan


enzim lisozim ↑

Pengahancuran kartilago ↑

Sel kondrosit kelelahan


Kontraktur
Gangguan body
Penipisan kartilago dan matriks sendi Perubahan fungsi sendi image
Deformitas

Perubahan sifat kolagen

Kartilago tipis

Penyempitan celah sendi Gesekan antar


krepitus
tulang

Osteofit di tepi karena tdk Terjadi laserasi sendi


ada tempat lagi antar tulang

Pelepasan
Deformitas tulang
mediator nyeri
Nyeri Nyeri kronis
Penonjolan
tulang

Keterbatasan gerak Penekanan radiks saraf,


periosteum, & pembuluh darah

Kekakuan sendi,
terutama pada pagi Perubahan gaya berjalan Resiko jatuh
hari

Hambatan mobilitas Defisit ADL


fisik

B. OSTEOARTHRITIS GENU

1. Defenisi

Osteoartritis (OA) adalah gangguan degeneratif pada sendi

sinovial yang ditandai dengan hilangnya fokus artikular tulang rawan

dengan perubahan reaktif pada tulang subkondral dan marginal, sinovium,

dan struktur paraartikular (Scoot, 2010). Karakteristik yang biasa muncul

pada OA berupa kerusakan pada kartilago (tulang rawan sendi), kartilago

sendiri merupakan suatu jaringan keras yang memiliki sifat licin yang

menutupi bagian akhir tulang keras di dalam persendian. Fungsi jaringan

kartilago sebagai penghalus gerakan antar - tulang dan sebagai peredam

(shock absorber) ketika persendian beraktivitas maupun bergerak. (Helmi,

2012). Ditandai dengan degenerasi kartilago sendi dan pembentukan

tulang baru (osteofit) pada bagian pinggir sendi, dapat menyebabkan

gangguan OA berkembang secara lambat, tidak simetris dan non


inflamasi, keadaan tersebut dapat mengakibatkan pecahnya biokimia

articular (hyaline) tulang rawan pada sendi sinovial lutut yang

mengakibatkan kartilago sendi mengalami kerusakan (Marlina, 2015).

Menurut National Institute for Health and Care Excellence (2014), OA

mengacu pada sindrom klinis nyeri sendi disertai dengan berbagai tingkat

keterbatasan fungsional dan penurunan kualitas hidup. Ini adalah bentuk

paling umum dari penyakit sendi degeneratif, mempengaruhi 15% hingga

40% orang berusia 40 tahun ke atas. Penyakit ini adalah penyebab utama

kecacatan dan memiliki perjalanan yang lambat, progresif yang berakhir

dengan kegagalan sendi dan kecacatan (Ayanniyi & Adeniyi, 2017). 

Nyeri adalah alasan paling sering pasien dengan OA knee untuk

mencari perhatian medis dan rehabilitasi. Jika tidak diobati, rasa sakit dan

kekakuan akan terjadi mengakibatkan hilangnya fungsi fisik dan

kemandirian (Ayanniyi & Adeniyi, 2017).  Secara klinis, OA knee ditandai

dengan nyeri selama weight bearing, tenderness, stifness, krepitus, efusi

sesekali, pembengkakan, kehilangan gerakan, kelainan bentuk valgus atau

varus, dan penguncian lutut (Ayanniyi & Adeniyi, 2017; Sumathi et al,

2019).  Selain itu, mereka memiliki banyak limitasi fungsional ketika

duduk dan berdiri atau naik turun tangga. Ada remodeling pembentukan

osteofit tulang subartikular, kelemahan ligamen, peradangan sinovial dan

melemahnya otot periartikular. Perubahan-perubahan ini dapat terjadi

sebagai akibat dari ketidakseimbangan dalam equilibrium antara kerusakan

dan perbaikan jaringan sendi (Sumathi et al, 2019).


2. Epidemologi Osteoarthritis

Prevalensi OA di dunia termasuk dalam kategori tinggi berkisar

antara 2.3% hingga 11.3%, selain itu OA merupakan penyakit

muskuloskeletal yang sering terjadi yaitu pada urutan ke 12 di antara

seluruh penyakit yang ada. Hal tersebut dapat diketahui bahwa prevalensi

OA pada lansia usia > 60 tahun diestimasikan sebesar 10 -15% dengan

angka kejadian 18.0% pada perempuan dan 9.6% pada laki - laki, dari

angka tersebut dapat dilihat bahwa prevalensi OA pada perempuan lebih

tinggi dibandingkan dengan laki - laki (Ireneu et al, 2017). Osteoarthritis

menurut American College of Rheumatology OA diderita dua per tiga

orang yang berumur lebih dari 60 tahun, dengan prevalensi 60,5% pada

pria dan 70,5% pada wanita (American College of Rheumatology, 2015).

Bagi masyarakat barat, OA merupakan masalah yang semakin

umum dan sering terjadi. Diperkirakan 8,5 juta orang di Inggris menderita

penyakit Osteoarthritis sehingga menyebabkan rasa sakit bahkan

kecacatan (Kingsbury et al, 2013) Amerika Serikat terdapat 15% dari

total penduduk yang menderita OA, 85% dari jumlah tersebut adalah

penderita dengan usia diatas 75 tahun dan 50% dari 3 jumlah tersebut

adalah penderita berumur diatas 65 tahun, sedangkan pada usia dibawah

65 tahun hanya berkisar 15% saja. Diperkirakan pada tahun 2020

penderita osteoarthritis akan meningkat 11,6 juta penderita (Ibrahim

Njoto, 2017). Prevalensi osteoarthritis berdasarkan Australian Institut of

Health and Welfare pada tahun 2014–2015 penduduk Australia pada


umur 55-64 tahun untuk laki-laki 15,9% sedangkan pada perempuan

28,3%. Umur 65-79 tahun penderita osteoarthritis knee pada laki-laki

21,2% dan perempuan 40,0% (Australian Institut of Health and Welfare,

2018). Prevalensi OA akan mengalami peningkatan seiring bertambahnya

orang yang berusia 60 tahun dan terjadinya kenaikan angka obesitas di

seluruh dunia khususnya di Amerika (Mobasheri & Batt, 2016).

Angka kejadian osteoartritis di Indonesia yang didiagnosis oleh

tenaga kesehatan sejak tahun 1990 hingga 2010 telah mengalami

peningkatan sebanyak 44,2% yang diukur dengan DALY (Disability

Adjust Lost Years). Berdasarkan hitungan DALY kualitas hidup pada

penderita OA mengalami kemunduran yaitu per 100.000 pada laki - laki

hanya 907,7 tahun dan pada tahun 2013, perhitungan OA berdasarkan

DALY per 100.000 perempuan mencapai puncak pada 1.327,4 tahun

(Alyling et al, 2017). Prevalensi OA berdasarkan usia di Indonesia cukup

tinggi yaitu 5% pada usia 40 tahun, 30% pada usia 40 - 60 tahun, dan

65% pada usia tua (lansia) lebih dari 61 tahun (Ireneu et al, 2017).

Prevalensi Osteoarthritis Genu di Indonesia adalah perempuan (14.9%)

lebih tinggi dari pada laki-laki (8.7%) diikuti peningkatan usia

(Pratama,2019).

3. Etiologi

OA diklasifikasikan ke dalam dua kelompok menurut etiologinya:

primer (idiopatik atau non-traumatik) dan sekunder (biasanya karena

trauma atau mekanis misalignment) (Bhagat et al, 2019). Etiologi dari OA

berhubungan dengan beban mekanik berulang-ulang dan penuaan.


Penelitian terbaru telah memisahkan faktor-faktor etiologi menjadi tiga

utama sub-kelompok: jenis kelamin, anatomi, dan massa tubuh ( Bhagat et

al, 2019). Diyakini bahwa OA secara eksklusif merupakan penyakit

degeneratif tulang rawan, namun, bukti terbaru telah membuktikan bahwa

OA adalah entitas multifaktorial, yang melibatkan berbagai faktor

penyebab seperti trauma, kekuatan mekanik, peradangan, reaksi biokimia,

dan gangguan metabolisme (Ayhan et al, 2014). Juga diketahui bahwa

jaringan tulang rawan bukan satu-satunya yang terlibat. Karena kurangnya

pembuluh darah dan persarafan, tulang rawan dengan sendirinya tidak

mampu menghasilkan peradangan atau rasa sakit setidaknya pada tahap

awal penyakit. Oleh karena itu, sumber rasa sakit terutama berasal dari

perubahan pada komponen sendi non-kartilaginosa, seperti kapsul sendi,

sinovium, tulang subkondral, ligamen, dan otot periarticular. Seiring

perkembangan penyakit, struktur ini terpengaruh dan perubahan termasuk

remodeling tulang, pembentukan osteofit, melemahnya otot periartikular,

kelemahan ligamen, dan efusi sinovial (Dulay et al, 2015).

4. Faktor Risiko Osteoarthritis

Secara garis besar, terdapat dua pembagian faktor risiko OA yaitu

faktor predisposisi dan faktor biomekanis. Faktor predisposisi merupakan

faktor yang memudahkan seseorang untuk terserang OA. Sedangkan

faktor biomekanik lebih cenderung kepada faktor mekanis/ gerak tubuh

yang memberikan beban atau tekanan pada sendi lutut sebagai alat gerak

tubuh, sehingga meningkatkan risiko terjadinya OA (Adhiputra, 2017).


a. Faktor predisposisi

faktor predisposisi merupakan factor yang dapat meningkatkan resiko

seseorang mengalami OA lutut sedangkan faktor biomekanin ditinjau

dari pembebanan oleh pergerakan tubuh yang menyebabkan terjadinya

OA. Beberapa faktor predisposisi yaitu :

1) Umur → Proses penuaan dianggap sebagai penyebab peningkatan

kelemahan di sekitar sendi, penurunan kelenturan sendi kalsifikasi

tulang rawa dan menurunkan fungsi kondrosit yang semuanya

mendukung terjadinya OA (Adhiputra, 2017).

2) Jenis Kelamin → Prevalensi OA pada laki-laki sebelum usia 50

tahun lebih tinggi dibandingkan perempuan. Tetapi setelah usia

lebih dari 50 tahun prevalensi perempuan lebih tinggi menderita

OA dibandingkan laki-laki. Perbedaan tersebut menjadi semakin

berkurang setelah menginjak usia 50- 80 tahun. Hal trsebut

diperkirakan karena pada masa usia 50-80 tahun wanita mengalami

pengurangan hormone estrogen yang signifikan (Adhiputra, 2017).

3) Obesitas → Obesitas merupakan faktor risiko terkuat yang dapat di

modifikasi. Selama berjalan, setengah berat badan bertumpu pada

sendi. Peningkatan berat badan akan melipat gandakan beban sendi

saat berjalan terutama sendi lutut (Adhiputra, 2017).

4) Faktor genetik → Faktor genetik diduga juga berperan pada

kejadian OA lutut, hal tersebut berhubungan dengan abnormalitas


kode genetik untuk sintesis kolagen yang bersifat diturunkan

(Adhiputra, 2017).

5) Osteoporosis → Osteoporosi merupakan salah satu faktor risiko

yang dapat menyebabkan osteoartritis. Salah satu faktor resiko

osteopororsis adalah minum-minum alkohol. Sehingga semakin

banyak orang mengkonsumsi alkohol sehingga akan mudah

menjadi osteoporosis dan osteoporosis akan menyebabkan

osteoarthritis (Adhiputra, 2017).

b. Faktor biomekanik yang berpengaruh terhadap angka kejadian OA

lutut diantaranya adalah :

1) Riwayat Trauma sendi → Trauma lutut yang aut termasuk robekan

pada ligament krusiatum dan meniscus merupakan faktor risiko

timbulnya OA lutut. Studi Framingham menemukan bahwa ornga

dengan riwayat trauma lutut memiliki risiko 5-6 kali lipat lebih

tinggi untuk menderita OA lutut. Hal tersebut biasanya terjadi pada

kelompok usia yang lebih muda serta dapat menyebabkan

kecacatan yang lama dan pengangguran (Adhiputra, 2017).

2) Kelainan anatomis yang dimiliki → Faktor risiko timbulnya OA

lutu anatara lain kelainan local pada sendi lutut seperti genu varum,

genu valgus, legg-calve Perthes disease dan dysplasia asetubulum.

Kelemahan otot quadrisep dan laksiti ligamentum pada sendi lutut

termasuk kelainan local yang juga menjadi faktor risiko OA lutut

(Adhiputra, 2017).
3) Faktor pekerjaan → Osteoartritis banyak ditemukan pada pekerja

fisik berat terutama yang banyak menggunakan kekuatan bertumpu

pada lutut dan pinggang. Prevalensi lebih tinggi menderita OA

lutut ditemukan pada kuli pelabuhan, petani dan penambang

dibandingkan pekerja yang tidak menggunakan kekuatan lutut

seperti pekerja administrasi. Terdapat hubungan signifikan anatara

pekerjaan yang menggunakan kekuatan lutut dan kejadian OA lutut

(Adhiputra, 2017).

4) Aktivitas fisik → Aktivitas fisik berat seperti berdiri lama ( 2 jam

atau lebih setiap hari), berjalan jauh ( 2 jam atau lebih setiap hari),

mengangkat barang berat (10kg-20 kg) selama 10 kali atau lebih

setiap minggu), naik turun tangga setia hari merupakan faktor

risiko OA lutut (Adhiputra, 2017).

5) Kebiasaan olahraga → olah raga yang melibatkan intensitas tinggi

atau pembebanan langsung pada sendi akibat kontak dengan

pemain lain dapat meningkatkan resiko terjadinya kasus OA lutut.

Terutama pada saat pembebanan langsung pada sendi yang terjadi

secara repetitive dan melibatkan gaya twisting (Adhiputra, 2017)..

6) Kelemahan otot → terdapat hubungan yang signifikan antara

Arthrogenic Muscle Inhibition (AMI) dengan insiden terjadinya

OA lutut yang sangat dipengaruhi oleh daya kontraksi otot

Quadricep (Adhiputra, 2017).

5. Klasifikasi
Berdasarkan kriteria American College of Rheumatology (ACR)

seperti tercantum pada tabel berikut ini (Abari, 2016).

Tabel 2. Kriteria Osteoartritis genu menurut klasifikasi (ACR- 2016)

Berdasarkan kriteria Berdasarkan kriteria Berdasarkan kriteria


Klinis Klinis dan Radiografi Klinis dan
Laboratorik
Nyeri sendi lutut dan Nyeri sendi lutut Nyeri sendi lutut dan
minimal 3 dari 6 adanya osteofit dan minimal 5 dari 9
kriteria berikut : minimal 1 dari 3 kriteria berikut :
1. krepitus saat kriteria berikut : 1. Umur > 50
gerakan aktif 1. kaku sendi < 30 tahun
2. kaku sendi < 30 menit 2. Kaku sendi <
menit 2. Umur > 50 tahun 30 menit
3. Umur > 50 tahun 3. krepitus saat 3. Krepitus pada
4. Pembesaran gerakan aktif gerakan aktif
tulang sendi lutut 4. Nyeri tekan tepi
5. Nyeri tekan tepi tulang
tulang 5. Pembesaran
6. Tidak teraba tulang
hangat pada 6. Tidak teraba
sinovium sendi hangat pada
lutut sinovium yang
sendi terkena
7. LED < 40 mm /
jam
8. RF < 1 : 40
9. Analisis cairan
sendi normal
Menurut Kellgren dan Lawrence, secara radiologis Osteoartritis di

klafikasikan menjadi :

Gambar 8. Tingkat keparahan osteoarthritis berdasarkan gambaran radiografi

(Sumber: Nurrahman, 2018)

1) Grade 0 : Normal

2) Grade 1 : Meragukan, dengan gambaran sendi normal,

terdapat osteofit minim

3) Grade 2 : Minimal, osteofit sedikit pada tibia dan patella dan

permukaan sendi menyempit asimetris.

4) Grade 3 : Moderate, adanya osteofit moderate pada beberapa

tempat, permukaan sendi menyepit, dan tampak sklerosis

subkondral.
5) Grade 4 : Berat, adanya osteofit yang besar, permukaan

sendi menyempit secara komplit, sklerosis subkondral berat, dan

kerusakan permukaan sendi (Nurrahman, 2018).

6. Patomekanisme Osteoarthritis

OA terjadi karena degradasi pada rawan sendi, remodelling tulang, dan

inflamasi. Terdapat 4 fase penting dalam proses pembentukan osteoartritis

yaitu fase inisiasi, fase inflamasi, nyeri, fase degradasi (Amanda, 2015).

a. Fase inisiasi : Ketika terjadi degradasi pada rawan sendi, rawan sendi

berupaya melakukan perbaikan sendiri dimana khondrosit mengalami

replikasi dan memproduksi matriks baru. Fase ini dipengaruhi oleh faktor

pertumbuhan suatu polipeptida yang mengontrol proliferasi sel dan

membantu komunikasi antar sel, faktor tersebut seperti Insulin-like

growth factor (IGF-1), growth hormon, transforming growth factor b

(TGF-b) dan coloni stimulating factors (CSFs). Faktor-faktor ini

menginduksi khondrosit untuk mensintesis asam deoksiribo nukleat

(DNA) dan protein seperti kolagen dan proteoglikan. IGF-1 memegang

peran penting dalam perbaikan rawan sendi.

b. Fase inflamasi : Pada fase inflamasi sel menjadi kurang sensitif terhadap

IGF-1 sehingga meningkatnya pro-inflamasi sitokin dan jumlah leukosit

yang mempengaruhi sendi. IL-1(Inter Leukin-1) dan tumor nekrosis

faktor-α (TNF-α) mengaktifasi enzim degradasi seperti collagenase dan

gelatinase untuk membuat produk inflamasi pada osteoartritis. Produk


inflamasi memiliki dampak negatif pada jaringan sendi, khususnya pada

kartilago sendi, dan menghasilkan kerusakan pada sendi.

c. Fase nyeri: Pada fase ini terjadi proses peningkatan aktivitas fibrinogenik

dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan

penumpukan trombus dan komplek lipid pada pembuluh darah

subkondral sehingga menyebabkan terjadinya iskemik dan nekrosis

jaringan. Hal ini mengakibatkan lepasnya mediator kimia seperti

prostaglandin dan interleukin yang dapat menghantarkan rasa nyeri. Rasa

nyeri juga berupa akibat lepasnya mediator kimia seperti kinin yang

dapat menyebabkan peregangan tendo, ligamen serta spasme otot-otot.

Nyeri juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang menekan periosteum

dan radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis serta kenaikan

tekanan vena intramedular akibat stasis vena pada pada proses

remodelling trabekula dan subkondrial.

d. Fase degradasi : IL-1 mempunyai efek multipel pada sel cairan sendi

yaitu meningkatkan sintesis enzim yang mendegradasi rawan sendi.

Peran makrofag didalam cairan sendi juga bermanfaat, yaitu apabila

terjadi jejas mekanis, material asing hasil nekrosis jaringan atau CSFs

akan memproduksi sitokin aktifator plasminogen (PA). Sitokin ini akan

merangsang khondrosit untuk memproduksi CSFs. Sitokin ini juga

mempercepat resorpsi matriks rawan sendi.

7. Manifestasi Klinik

Gejala-gejala utama ialah adanya nyeri sendi, kekakuan; penurunan

rentang pergerakan sendi, kelemahan otot quadricpes dan perubahan


dalam proprioceptif (Bhagat et al, 2019). Penurunan kekuatan pada

kelompok otot yang melibatkan sendi signifikan karena menyebabkan

hilangnya progresif fungsi. Gejala-gejala ini secara signifikan membatasi

kemampuan individu untuk bangun dari kursi, berjalan, atau naik tangga

(Losina et al, 2013). Berjalan dengan pincang, hilangnya aligment anggota

badan, dan ketidakstabilan juga dapat diamati pada individu dengan OA.

Selama gerakan, krepitasi dapat didengar karena arthritis permukaan sendi

tidak teratur (Nguyen et al, 2011).

Secara spesifik, beberapa manifestasi klinis yang dapat ditimbulkan

adalah sebagai berikut :

1. Nyeri sendi

Keluhan ini merupakan keluhan utama pasien. Nyeri biasanya

bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat.

Beberapa gerakan dan tertentu terkadang dapat menimbulkan rasa

nyeri yang melebihi gerakan lain.

( Soeroso, 2006 )

Perubahan ini dapat ditemukan meski OA masih tergolong dini

(secara radiologis). Umumnya bertambah berat dengan semakin

beratnya penyakit sampai sendi hanya bias digoyangkan dan menjadi

kontraktur, Hambatan gerak dapat konsentris (seluruh arah gerakan)

maupun eksentris (salah satu arah gerakan saja) ( Soeroso, 2006 ).

Kartilago tidak mengandung serabut saraf dan kehilangan

kartilago pada sendi tidak diikuti dengan timbulnya nyeri. Sehingga

dapat diasumsikan bahwa nyeri yang timbul pada OA berasal dari luar
kartilago (Felson, 2008).Pada penelitian dengan menggunakan MRI,

didapat bahwa sumber dari nyeri yang timbul diduga berasal dari

peradangan sendi (sinovitis), efusi sendi, dan edema sumsum tulang

(Felson, 2008).Osteofit merupakan salah satu penyebab timbulnya

nyeri. Ketika osteofit tumbuh, inervasi neurovaskular menembusi

bagian dasar tulang hingga ke kartilago dan menuju ke osteofit yang

sedang berkembang Hal ini menimbulkan nyeri (Felson, 2008).Nyeri

dapat timbul dari bagian di luar sendi, termasuk bursae di dekat sendi.

Sumber nyeri yang umum di lutut adalah akibat dari anserine bursitis

dan sindrom iliotibial band (Felson, 2008).

2. Hambatan gerakan sendi

Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat secara

perlahan sejalan dengan pertambahan rasa nyeri( Soeroso, 2006 ).

3. Kaku pagi

Rasa kaku pada sendi dapat timbul setelah pasien berdiam diri

atau tidak melakukan banyak gerakan, seperti duduk di kursi atau

mobil dalam waktu yang cukup lama, bahkan setelah bangun tidur di

pagi hari( Soeroso, 2006 ).

4. Krepitasi

Krepitasi atau rasa gemeratak yang timbul pada sendi yang

sakit. Gejala ini umum dijumpai pada pasien OA lutut. Pada awalnya

hanya berupa perasaan akan adanya sesuatu yang patah atau remuk

oleh pasien atau dokter yang memeriksa. Seiring dengan


perkembangan penyakit, krepitasi dapat terdengar hingga jarak tertentu

(Soeroso, 2006 ).

5. Pembengkakan sendi yang asimetris

Pembengkakan sendi dapat timbul dikarenakan terjadi efusi

pada sendi yang biasanya tidak banyak (<100cc) atau karena adanya

osteofit, sehingga bentuk permukaan sendi berubah ( Soeroso, 2006 ).

6. Tanda – tanda peradangan

Tanda – tanda adanya peradangan pada sendi (nyeri tekan,

gangguan gerak, rasa hangat yang merata, dan warna kemerahan) dapat

dijumpai pada OA karena adanya synovitis. Biasanya tanda – tanda ini

tidak menonjol dan timbul pada perkembangan penyakit yang lebih

jauh. Gejala ini sering dijumpai pada OA lutut (Soeroso, 2006).

7. Perubahan gaya berjalan

Gejala ini merupakan gejala yang menyusahkan pasien dan

merupakan ancaman yang besar untuk kemandirian pasien OA,

terlebih pada pasien lanjut usia. Keadaan ini selalu berhubungan

dengan nyeri kastrena menjadi tumpuan berat badan terutama pada OA

lutut (Soeroso, 2006).

8. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi akibat osteoarthritis dapat

terjadi apabila penyakit ini tidak ditangani dengan serius. Terdapat

dua macam komplikasi yaitu :

a) Komplikasi akut berupa, osteonekrosis, Ruptur Baker Cyst,

Bursitis.
b) Komplikasi kronis berupa malfungsi tulang yang signifikan, yang

terparah ialah terjadi kelumpuhan. (Conan dine, 2018)

9. Diagnosis Banding

Osteoarhtritis Genu merupakan salah satu penyakit yang

tergolong dalam bidang kajian Rheumatology. Beberapa penyakit

Rheumatology lainnya meliputi Rheumatoid Arthritis, Gout Arhtritis

yang memilki gejala hampir sama dengan Osteoarhtritis Genu.

Pentingnya diagnosis banding dalam hal ini untuk mengekslusi pasien

yang memiliki gangguan Inflamatory Arthritis tersebut. Rheumatoid

Arthritis merupakan suatu gangguan pada sendi dimana terjadinya

inflamasi kronis yang bersifat sistemis dan progresif. Pada RA

umumnnya terjadi keterlibatan sendi secara simetris atau bilateral

(sendi kanan dan kiri) dan umumnya menyerang sendi-sendi kecil

seperti jari-jari tangan, kaki, dan lain-lain. Pada keadaan kronis,

beberapa sistem yang diserang meliputi sistem cardiovascular,

pulmonal, gastrointestinal (Nurrahman, 2018).

Sedangkan pada Gout Arthritis, merupakan keadaan patologi

dimana terjadinya peningkatan kadar asam urat dalam tubuh, yang

kemudian akan terdeposisi dalam sendi sebagai kristal urat.

Hyperuricemia merupakan penyebab utama terjadinya gout artritis dan

hal ini terjadi sebagai akibat dari tinggi nya kadar purin dalam tubuh

ataupun adanya gangguan sekresi pada purin tersebut. Beberapa

manifestasi klinisnya adalah nyeri hebat yang bersifat akut, terjadi

tiba-tiba pada malam hari, adanya erythema, tenderness, dan


hipersensitifitas pada sendi. Pada fase kronis, muncul pembengkakan

pada sendi berupa thopi (Nurrahman, 2018).

A. Pemeriksaan Fisioterapi

1. Pemeriksaan Penunjang

Untuk menentukan diagnostik OA selain melalui pemeriksaan fisik

juga diperlukan pemeriksaan penunjang seperti radiologis dan

pemeriksaan laboratorium. Foto polos dapat digunakan untuk membantu

penegakan diagnosis OA walaupun sensivitasnya rendah terutama pada

OA tahap awal. USG juga menjadi pilihan untuk menegakkan diagnosis

OA karena selain murah, mudah diakses serta lebih aman dibanding sinar-

X, CT-scan atau MRI (Amoako dan Pujalte, 2014).

Gambaran radiologi OA sebagai berikut:

a. Pembentukan osteofit: pertumbuhan tulang baru (semacam taji)

yang terbentuk di tepi sendi.

b. Penyempitan rongga sendi : hilangnya kartilago akan menyebabkan

penyempitan rongga sendi yang tidak sama.

c. Badan yang longgar : badan yang longgar terjadi akibat terpisahnya

kartilago dengan osteofit.

d. Kista subkondral dan sklerosis: peningkatan densitas tulang di

sekitar sendi yang terkena dengan pembentukan kista degeneratif

Bagian yang sering terkena osteoarthritis, yaitu lutut.

Lutut :
a. Sering terjadi hilangnya kompartemen femorotibial pada

rongga sendi.

b. Kompartemen bagian medial merupakan penyangga tubuh

yang utama, tekanannya lebih besar sehingga hampir selalu

menunjukkan penyempitan paling dini.

Pada hasil radiografi pasien ditemukan adanya osteofit.

Pemeriksaan penunjang laboratorium OA biasanya tidak

banyak berguna. Darah tepi (hb, leukosit, laju endap darah)

dalam batas – batas normal kecuali OA generalisata yang

harus dibedakan dengan artritis peradangan (Imayanti, 2012).

B. Penatalaksanaan Fisioterapi

a. Infrared

Sinar infra red merupakan salah satu modalitas yang digunakan dalam

program rehabilitasi fisioterapi. Sinar hangat yang ditimbulkan infra red

dapat meningkatkan vasodilatasi jaringan superfisial sehingga dapat

memperlancarkan metabolisme dan menyebabkan efek relaks pada ujung

saraf sensorik, efek terapeutiknya yaitu mengurangi nyeri, pernyataan ini

didukung dari buku (Singh, 2012). Efek pancaran pada sinar infra red

memberikan pemanasan secara superfisial pada area kulit yang akan

menghasilkan efek fisiologis, pengaktifan reserptor panas pada

superfisial kulit bertujuan untuk mengubah transmisi atau konduksi saraf

sensoris dalam menghantarkan nyeri, sehingga terjadi pengurangan nyeri,

memberikan rasa nyaman dan relaksasi pada otot (Ansari et al., 2014).

Pada penelitian lain menyatakan bahwa sinar infrared itu tidak


berpengaruh dalam penurunan intensitas nyeri tetapi sinar ini membantu

meningkatkan sirkulasi darah, metabolisme tubuh dan dapat

mengaktifkan photoacceptor yang menstimulasi rantai pernafasan dari

mitokondria sehingga fungsi dari fibroblas lebih optimal dalam perbaikan

jaringan (Tsai dan Hamblin, 2017).

b. Elektroterapi

Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)

direkomendasikan dalam sebagian besar pedoman sebagai modalitas

tambahan yang aman untuk menghilangkan rasa sakit (Claudia et al,

2010). TENS adalah intervensi untuk mengurangi nyeri dengan

menggunakan aliran listrik bertegangan rendah dalam mengaktifkan

jaringan saraf yang komplek. Hal ini terjadi oleh karena aktifnya saraf

descenden dalam saraf pusat untuk mengurangi hiperalgesia (Josimari,

2014). Pada TENS dengan frequensi tinggi dapat mengurangi substansi

P, yang akan meningkat pada ganglia pada manusia setelah cedera

jaringan, sedangkan pada TENS dengan frequensi rendah dapat

memblokade reseptor opioid perifer, sehingga mencegah analgesia,

dengan demikian TENS juga dapat mengubah rangsangan

nosiseptornpeifer untuk mengurangi masukan aferen ke sistem saraf

pusat (Nurrahman, 2018).

Efek fisiologis : Pemblokiran nyeri, melalui mekanisme teori kontrol

gerbang. Serabut afferent terdiri dari neuron sensorik berdiameter besar

(large fibers/A) dan neuron berdiameter kecil (small fibers/C). Small

fibers merupakan serabut saraf halus tidak bermyelin yang berfungsi


membuka jembatan hantaran rangsang nyeri, sedang large fibers

berfungsi menutup jembatan hantaran. Stimulasi serabut saraf

berdiameter besar dengan arus TENS dapat menutup gerbang sehingga

nyeri dapat terblokir. Vasodilatasi arteriole, mengakibatkan kenaikan

aliran darah yang memperlancar pembuangan materi yang berpengaruh

terhadap nyeri yaitu Bradikin, Histamin dan Materi P. Implikasi klinis,

Transcutaneus Elektrical Nerve Stimulation merupakan metode

pengobatan yang tidak merusak jaringan tubuh (non infasif) tidak

mengandung racun, berkhasiat alami sehingga efektif untuk pengobatan

nyeri kronis (Parjoto, 2006).

c. Therapeutic Exercises

Exercises telah terbukti meningkatkan fungsi, kekuatan, kecepatan

berjalan, dan self-efficacy dan untuk mengurangi rasa sakit dan risiko

kondisi kronis lainnya. Juga, mencegah atau menghambat perkembangan

penyakit menggunakan terapi fisik dan okupasi dan program latihan

(Losina et al, 2013; Bhagat et al, 2019). American College of

Rheumatology (ACR) telah menyetujui exercise sebagai pendekatan

terapi untuk manajemen OA knee. Tinjauan sistematis intervensi non-

farmakologis telah mendokumentasikan efektivitas latihan dalam

mengurangi rasa sakit dan kecacatan. Bukti menunjukkan bahwa

stretching, strengthening dan aerobic exercise mengurangi rasa sakit dan

meningkatkan kekuatan otot, kemampuan fungsional dan kesejahteraan

psikologis. Exercise meningkatkan daya tahan otot, meningkatkan

ketajaman proprioseptif, dan mengurangi penghambatan otot quadriceps.


Penurunan kekuatan quadriceps telah dilaporkan pada 20% - 70% pasien

dengan OA lutut. Setiap perbaikan otot kekuatan atau peak power dari

ekstremitas inferior dengan penurunan tingkat nyeri tertentu mungkin

penting dan merupakan prediktor kuat pada kemampuan fungsional. Otot

tungkai bawah sebagai otot penyangga alami untuk knee joint, disfungsi

otot yang berpotensi timbul baik kelemahan quadriceps atau kelemahan

relatif dari hamstrings. Kekuatan quadriceps dan hamstrings yang

memadai, baik isometrik maupun dinamis, sangat penting untuk

melakukan aktivitas dasar kehidupan sehari-hari seperti berdiri dan

berjalan. Pengujian kekuatan otot telah mengungkapkan bahwa mereka

yang menderita OA knee memiliki 25% hingga 45% kehilangan kekuatan

ekstensi knee dan 19% hingga 25% kehilangan kekuatan fleksi knee,

dibandingkan dengan kontrol yang berusia sama. Ada 3 faktor yang

diduga berkontribusi terhadap ekstensi knee dan kelemahan fleksi pada

mereka yang mengalami OA knee: atrofi otot, kegagalan aktivitas otot

volunteer, dan kelemahan dari peningkatan kontraksi otot antagonis

(Bhagat et al, 2019).

d. Strengthening exercise

Pasien dengan OA lutut cenderung memiliki kekuatan otot yang

berkurang sebagai akibat dari pengurangan aktivitas fisik dan

penghambatan rasa sakit. Dan memiliki potensi terbesar untuk

menghasilkan dan menyerap kekuatan di knee. Banyak studi klinis telah

menunjukkan peningkatan yang konsisten dalam kekuatan ekstensi knee

setelah pelatihan, serta pengurangan rasa sakit dan cacat fisik pada orang
dengan OA knee. Memperkuat otot hamstring untuk meningkatkan

kemampuan fungsional knee yang kurang. Ini mungkin karena fakta

bahwa, yang secara keseluruhan meningkatkan kekuatan hamstring dan

quadriceps, dan peningkatan rasio hamstring ke quadriceps (H: Q),

subluksasi anterior-lateral tibia dapat diminimalkan (Bhagat et al, 2019).

Pada sebuah penelitian program isometric quadriceps exercise

selama 5 minggu untuk pasien dengan OA knee menunjukkan efek

menguntungkan pada kekuatan otot quadriceps, nyeri, dan cacat

fungsional (Anwer & Alghadir 2014). Huang et al. melakukan pada 250

pasien yang menderita OA knee selama 12 minggu, hasilnya nyeri sendi

berkurang secara efektif dan fungsi knee joint meningkat dengan

pemberian isometric quadriceps exercise yang sistematis (Huang et al,

2017).

e. Stretching

Stretching harus dilakukan bersamaan dengan strengthening exercise.

Jika kelompok otot tertentu dibatasi, lebih banyak penekanan dapat

ditempatkan pada daerah-daerah ini tetapi harus ada peregangan semua

kelompok otot utama tungkai bawah, karena mereka semua memiliki

efek pada biomekanik lutut. Pasien harus diinstruksikan untuk menahan

regangan selama 20-30 detik agar efektif. Peregangan meliputi

quadriceps, hamstring muscles, iliotibial band (ITB), dan tendon

Achilles. Tightness ITB dapat memengaruhi excursion patella yang

normal. Fibers ITB distal menyatu dengan fibers superfisial dan dalam

retinakulum lateral, dan tightness ITB dapat berkontribusi pada


kemiringan patela lateral dan tekanan berlebihan pada patela lateral.

Karena ITB adalah jaringan yang sangat padat dan berserat, efektivitas

peregangan dipertanyakan (Alnahdi et al, 2012; Bhagat et al, 2019).

f. Taping

Taping knee, khususnya patella adalah strategi perawatan

fisioterapi yang direkomendasikan dalam penanganan OA knee oleh

beberapa pedoman klinis. Knee taping melibatkan pengaplikasian pita

pengikat kaku pada patela dan / atau struktur jaringan lunak terkait.

Mekanisme yang taping mengurangi rasa sakit tidak jelas, tetapi

beberapa penelitian mengatakan bawha ttaping dapat merubahan

aligment patella dan peningkatan fungsi dan aktivasi otot (Bhagat et al,

2019).

Anda mungkin juga menyukai