Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN STUDI KASUS PROFESI FISIOTERAPI

MANAJEMEN FISIOTERAPI GANGGUAN FUNGSIONAL PARU-PARU

BERUPA SESAK NAPAS E.C PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

SEJAK 6 BULAN YANG LALU

OLEH :

AKHMAD RIDHANI, S.FT. R024181008

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI FISIOTERAPI


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2019
HALAMAN PERSETUJUAN

Yang bertandatangan di bawah ini, menerangkan bahwa mahasiswa berikut:

Nama : Akhmad Ridhani, S.Ft

NIM : R024181008

Lokasi Stase : Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat


Makassar

Adalah benar telah menyelesaikan kasus dengan judul “Manajemen Fisioterapi

Gangguan Fungsional Paru-Paru Berupa Sesak Napas E.C Sindrom Obstruktif Pasca

Tuberkulosis Sejak 5 Bulan Yang Lalu” pada bagian Balai Besar Kesehatan Paru

Masyarakat Makassar (BBKPM)

Makassar, 01 September 2019

Mengetahui,

Clinical Instructor Clinical Educator

Alfi Syahar, S.ST,Ft Fadhia Adliah, S.Ft, Physio, M.Kes

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusun akhirnya dapat menyelesaikan
penyusunan laporan studi kasus dengan judul “Manajemen Fisioterapi
Gangguan Fungsional Paru-Paru Berupa Sesak Napas E.C Sindrom
Obstruktif Pasca Tuberkulosis Sejak 5 Bulan Yang Lalu”.
Penyusunan laporan studi kasus ini merupakan salah satu tugas pada
pelaksanaan Program Studi Pendidikan Profesi Fisioterapi Fakultas Keperawatan
Universitas Hasanuddin. Melalui penyusunan laporan ini diharapkan dapat
memberikan pemahaman lebih tentang patofisiologi dan penatalaksanaan
fisioterapi kardiopulmonal pada kasus Sindrom Obstruktif Pasca Tuberkulosis
yang ditemui penyusun pada saat melakukan praktek lapangan yang akan
bermanfaat pada masa yang akan datang.
Dalam penyusunan laporan studi kasus ini, banyak ditemui tantangan dan
hambatan yang mendasar. Namun semua itu dapat terselesaikan dengan baik
berkat dukungan, bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini sudah selayaknya penyusun menyampaikan rasa terima kasih
kepada para instruktur klinis di Unit Fisioterapi Balai Besar Kesehatan Paru
Masyarakat Makassar dan edukator klinis yang telah membimbing dalam
penyusunan laporan studi kasus ini.
Akhir kata, tiada gading yang tak retak. Penyusun menyadari bahwa laporan
studi kasus ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala
kerendahan hati penyusun memohon maaf yang sebesar-besarnya dan membuka
diri untuk segala saran dan kritik yang sifatnya membangun sehingga dapat
dilakukan perbaikan untuk pencapaian hasil yang lebih baik. Akhirnya, penyusun
berharap semoga laporan studi kasus dapat bermanfaat bagi kita semua.
Makassar, September 2019

Penyusun

3
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN.........................................................................
ii
KATA PENGANTAR.......................................................................................
iii
DAFTAR ISI.....................................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR........................................................................................
v
DAFTAR TABEL.............................................................................................
vi
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................
1
A. Latar Belakang..........................................................................
B.Anatomi Paru-Paru.....................................................................
.......................................................................................................
C.Fisiologi Paru-Paru.....................................................................
.......................................................................................................
BAB II ANALISIS KEPUSTAKAAN BERDASARKAN KASUS...............
3
A.Kerangka/Mind Mapping Teori..................................................
15
B.Definisi Sindrom Obtrukstif Pasca Tuberkulosis.......................
15
C.Etiologi.......................................................................................
15
D.Epidemiologi..............................................................................
16
E.Patomekanisme...........................................................................
18

4
F.Klasifikasi dan Derajat SOPT.....................................................
19
G.Manifestasi Klinis......................................................................
18
H.Pemeriksaan dan Penegakan Diagnosis.....................................
20
I.Diagnosis Banding.......................................................................
20
J.Penatalaksanaan Fisioterapi........................................................
20
K.Kerangka/Mind Mapping Teknologi Fisioterapi........................
20
BAB III MANAJEMEN FISIOTERAPI..........................................................
22
A.Data Pasien Umum....................................................................
22
B.Pemeriksaan CHARTS...............................................................
22
C.Diagnosis Fisioterapi..................................................................
28
D.Problem Fisioterapi....................................................................
28
E.Tujuan Penanganan Fisioterapi..................................................
28
F.Intervensi Fisioterapi..................................................................
28
G.Evaluasi Fisioterapi....................................................................
31
H.Modifikasi Fisioterapi................................................................
31
I.Home Program.............................................................................
31

5
J.Kemitraan....................................................................................
32
K.Dokumentasi..............................................................................
32
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................
33
LAMPIRAN.....................................................................................................
35

6
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi Paru.......................................................................................


9
Gambar 2. Otot-Otot Pernapasan..........................................................................
10
Gambar 3. Aktivitas Otot Pernapasan...................................................................
12

7
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Skala Sesak..............................................................................................


19
Tabel 2. History Taking.........................................................................................
22
Tabel 3. Palpasi......................................................................................................
25
Tabel 4. PFGD.......................................................................................................
25
Tabel 5. Hasil Pemeriksaan Laboratorium............................................................
27
Tabel 6. Intervensi Fisioterapi...............................................................................
30
Tabel 7. Evaluasi Fisioterapi ................................................................................
30

8
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu dari 10 penyebab kematian di seluruh

dunia. Pada tahun 2015, 10,4 juta orang jatuh sakit disebabkan Tuberkulosis.

Lebih dari 95% kematian akibat Tuberkulosis terjadi pada penduduk negara yang

berpenghasilan rendah dan menengah. Enam negara menyumbang 60% dari kasus

Tuberkulosis yaitu Negara,India Indonesia, Cina, Nigeria, Pakistan, dan Afrika

Selatan ( WHO, 2015 ). Tuberkulosis terjadi di setiap bagian dunia. Pada tahun

2015, jumlah terbesar kasus Tuberkulosis baru terjadi di Asia, dengan 61% dari

kasus baru, diikuti oleh Afrika, dengan 26% dari kasus baru. Pada 2015, 87% dari

kasus TB baru terjadi di 30 negara beban Tuberkulosis yang tinggi (WHO, 2015).

Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

kuman Tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis). Gejala utama adalah batuk

selama 2 minggu atau lebih, batuk disertai dengan gejala tambahan yaitu dahak,

dahak bercampur darah, sesak nafas, badan lemas,nafsu makan menurun, berat

badan menurun, malaise (rasa tidak nyaman), berkeringat malam hari tanpa

kegiatan fisik, demam lebih dari 1 bulan (Rikesdas, 2013). Dilihat dari hasil

Riskesdas pada tahun 2013, prevalensi penduduk Indonesia yang didiagnosis

Tuberkulosis paru pada tahun 2013 adalah 4/1000 penduduk.


Tidak hanya tuberkulosis paru saja yang dapat meresahkan seluruh penduduk

dunia. Tuberkulosis paru ini juga meninggalkan gejala sisa yang dinamakan

Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT) yang cukup meresahkan. Gejala

sisa akibat TB yang paling sering ditemukan yaitu gangguan faal paru dengan
kelainan obstruktif yang memiliki gambaran klinis mirip Penyakit Paru Obstruksi

Kronik (PPOK).
Patogenesis timbulnya SOPT sangat kompleks, dinyatakan pada penelitian

terdahulu bahwa kemungkinan penyebabnya adalah akibat infeksi TB yang

dipengaruhi oleh reaksi imun seseorang yang menurun sehingga terjadi

mekanisme makrofag aktif yang menimbulkan peradangan nonspesifik yang luas.

Peradangan yang berlangsung lama ini menyebabkan gangguan faal paru yaitu

sesak napas, batuk berdahak dan batuk darah. Penelitian lainnya menunjukkan

bahwa puncak terjadinya gangguan faal paru pada pasien pasca TB terjaadi dalam

waktu 6 bulan setelah diagnosis (Irawati, 2013).


Penyebaran dan penyembuhan TB masih belum tuntas walaupun obat dan cara

pengobatannya telah diketahui. SOPT dapat mengganggu kualitas hidup pasien,

serta berperan sebagai penyebab kematian sebesar 15% setelah durasi 10 tahun.

Deteksi dini SOPT dengan uji faal paru pada pasien pasca TB berperan untuk

memperbaiki kualitas hidup pasien (Irawati, 2013).


Berdasarkan penjelasan di atas, pasien dengan kasus Sindrom Obstruksi Pasca

Tuberkulosis (SOPT) menimbulkan berbagai tingkat gangguan yaitu berupa

adanya sputum, terjadinya perubahan pola pernapasan, rileksasi menurun,

perubahan postur tubuh, berat badan menurun dan gerak lapang paru menjadi

tidak maksimal bila tidak segera dilakukan penanganan atau tindakan fisioterapi.

Dari permasalahan tersebut, modalitas fisioterapi yang bisa digunakan adalah IR

yang berfungsi untuk melancarkan sirkulasi darah dan rileksasi otot-otot

pernapasan, Breathing Exercise dan Coughing Exercise yang akan mengurangi

sputum atau membersihkan jalan napas, mengontrol pola pernapasan, membuat

rasa nyaman dan melegakan saluran pernapasan, serta yang terakhir adalah

Mobilisasi Sangkar Toraks yang berfungsi untuk membantu meningkatkan


mobilitas trunk dan shoulder yang mempengaruhi respirasi serta memperkuat

kedalaman inspirasi dan ekspirasi yang pada akhirnya akan memperbaiki fungsi

pernapasan, meningkatkan ketahanan dan kekuatan otot-otot pernapasan (Subroto,

2010). Oleh karena itu, kami sebagai mahasiswa Profesi Fisioterapi Universitas

Hasanuddin mengangkat tema “Manajemen Fisioterapi Gangguan Fungsional

Paru-Paru Berupa Sesak Napas E.C Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis

Sejak 6 Bulan Yang Lalu”


1.2 Anatomi dan Fisiologi Paru
1.2.1 Anatomi Paru
Paru-paru adalah organ penting dari respirasi, jumlahnya ada dua, terletak

di samping kanan dan kiri mediastinum, dan terpisah satu sama lain oleh

jantung dan organ lainnya dalam mediastinum. Paru-paru memiliki area

permukaan alveolar kurang lebih seluas 40 m2 untuk pertukaran udara (Faiz &

Moffat, 2003). Karakteristik paru-paru yaitu berpori, tekstur kenyal ringan;

mengapung di air, dan sangat elastis. Permukaan paru-paru halus, bersinar, dan

membentuk beberapa daerah polihedral, yang menunjukkan lobulus organ:

masing-masing daerah dibatasi oleh garis-garis yang lebih ringan (fisura). Paru

kanan dibagi oleh fisura transversa dan oblik menjadi tiga lobus: atas, tengah,

dan bawah. Paru kiri memiliki fisura oblik dan dua lobus (Drake, 2012).
Setiap paru memiliki bentuk kerucut yang terdiri dari bagian puncak

(apeks), dasar (basis), tiga perbatasan, dan dua permukaan. Puncak (apeks

pulmonis) memiliki permukaan halus dan tumpul. Puncak apeks menonjol ke

atas dalam leher sekitar 2,5 cm di atas klavikula. Dasar (basis pulmonis

memiliki permukaan luas, konkaf, dan terletak di atas diafragma, yang

memisahkan paru-paru kanan dari lobus kanan hati, dan paru-paru kiri dari

lobus kiri hati, lambung, dan limpa. Karena diafragma sebelah kanan lebih
tinggi daripada di sisi kiri, kecekungan dasar paru kanan lebih dalam dari yang

di sebelah kiri. Basis pulmonalis paru turun selama inspirasi dan naik selama

ekspirasi (Snell, 2012).

Gambar 1. 1 Anatomi paru


Sumber : Sobotta: Atlas Anatomi Manusia, 2013

Permukaan mediastinal adalah permukaan medial yang cekung. Pada

permukaan mediastinal terdapat dari hilus pulmonis, yaitu suatu cekungan

dimana bronkus, pembuluh darah, dan saraf yang membentuk radiks

pulmonalis masuk dan keluar paru. Ligamentum pulmonal adalah lipatan ganda

yang menghubungkan kedua lapisan pleura pada hilus paru. Ruang


10

diafragma (base) tergantung dengan permukaan cembung diafragma

dimana di sebelah kanan lebih cekung karena adanya hati (Snell, 2012).

Gambar 1.2 Otot-Otot Pernapasan


Sumber : Silbernagl, 2016

Otot Pernapasan dan Mekanisme Kerja Otot Pernapasan Otot skelet selain

berfungsi sebagai pembentuk dinding dada juga berfungsi sebagai otot

pernapasan. Menurut fungsinya, otot pernapasan dibedakan menjadi otot

inspirasi, yang terdiri dari otot inspirasi utama dan tambahan, serta otot

ekspirasi. Yang termasuk dalam otot inspirasi utama yaitu m. intercostalis

externus dan m. diafragma, sedangkan yang termasuk dalam otot inspirasi

tambahan yaitu m. sternocleidomastoideus berfungsi mengangkat sternum ke

superior, m. serratus anterior berfungsi mengangkat sebagian besar costa, dan

m. scalenus berfungsi mengangkat dua costa pertama. Selama pernapasan

normal dan tenang (quiet breathing), tidak ada otot pernapasan yang bekerja
selama ekspirasi, hal ini akibat dari daya lenting elastis paru dan dada. Namun

pada keadaan tertentu, di mana terjadi peningkatan resistensi jalan nafas dan

resistensi jaringan, misalnya saat serangan asma, otot ekspirasi dibutuhkan

kontribusinya. Dalam keadaan ini, otot ekspirasi yaitu m. rectus abdominis

memberikan efek tarikan ke arah inferior yang sangat kuat terhadap costa

bagian bawah, pada saat yang bersamaan otot ini dan otot abdominal lain

menekan isi abdomen ke arah diafragma, serta m. intercostalis internus juga

berfungsi menarik rongga toraks ke bawah (Sari, 2015).

1.2.2 Fisiologi Paru


1.2.2.1 Mekanisme Bernapas
Perubahan ritme kapasitas volume rongga dada dipengaruhi oleh kinerja

otot-otot pernapasan. Pada pernapasan normal, saat inprirasi, otot interkostal

eksternal berkontraksi, tulang kosta dan sternum akan tertarik ke atas, karena

tulang kosta pertama tidak bergerak. Diameter anterior-posterior dari rongga

dada bagian atas akan membesar dan memperbesar diameter transversal rongga

dada bagian bawah. Pada saat inspirasi ini, diafragma berkontraksi sehingga

turun, akibatnya kapasitas rongga dada meningkat. Akibatnya, tekanan antar

permukaan pleura (dalam keadaan normal negatif) menjadi lebih negatif: -2.5

menjadi -6 mmHg, lalu jaringan elastis pada paru akan meregang, dan paru

akan mengembang memenuhi kapasitas rongga dada. Pada saat ini tekanan

udara di alveolus adalah -1,5 mmHg (lebih rendah dari tekanan atmosfir).

Udara akan masuk ke dalam alveolus akibat perbedaan tekanan tersebut.


Sebaliknya, pada saat ekspirasi dalam pernapasan normal, otot interkostal

eksternal akan relaksasi. Tulang kosta dan sternum akan turun. Lebar dan

dalamnya dada akan berkurang. Diafragma akan relaksasi, melengkung naik,

panjang rongga dada akan berkurang. Kapasitas rongga dada akan berkurang.
Tekanan antar permukaan pleura menjadi kurang negatif: dari -6 menjadi -2

mmHg. Jaringan elastis paru akan kembali ke keadaan semula. Tekanan udara

pada alveolus saat ini adalah +1,5 mmHg (lebih tinggi dari tekanan udara).

Udara akan terdorong keluar alveolus.

Gambar 1.3 Aktifitas otot pernapasan saat inspirasi dan ekspirasi

Sumber : Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, 2011

Pada keadaan pernafasan paksa, tepatnya saat inspirasi, otot cuping hidung

dan otot glotis akan berkontraksi untuk membantu masuknya udara ke dalam

paru-paru. Otot pada leher akan berkontraksi, tulang kosta pertama akan

bergerak ke atas (dan sternum bergerak naik dan ke depan). Pada saat ekspirasi

pada pernapasan paksa, otot interkostal internal berkontraksi, sehingga tulang

kosta akan menurun lebih dari pernafasan normal. Otot abdominal juga

berkontraksi untuk membantu naiknya diafragma (Sherwood, 2012).


1.2.2.2 Volume dan Kapasitas Paru
Kegiatan inspirasi dan ekspirasi atau menghirup dan menghembuskan

udara dalam bernapas hanya menggunakan sekitar 500 cc volume udara

pernapasan (kapasitas tidal = ± 500 cc). Kapasitas tidal adalah jumlah udara

yang keluar masuk paru-paru pada pernapasan normal. Namun dalam keadaan

ekstrim atau olah raga, siklus pernapasan memerlukan sekitar 1500 cc udara

pernapasan (expiratory reserve volume). Secara perhitungan matematis

Kapasitas Total Paru-paru (KTP) dapat ditentukan dengan cara mengukur

hiperventilasi maksimal dalam satu menit, atau dengan kata lain Kapasitas

Vital (KV) ditambah Volume Residual (VR). Jadi nilai Kapasitas Total Paru-

paru (KTP) = KV + VR.


Saat keadaan normal volume paru-paru manusia mencapai 4500 cc, yang

disebut sebagai kapasitas total udara pernapasan manusia. Pada keadaan

normal, kegiatan inspirasi dan ekspirasi dalam pernapasan hanya mengunakan

500 cc volume udara pernapasan atau disebut kapasitas tidal. Dari 500 cc udara

pernapasan yang digunakan untuk alveolus hanya sebesar 350 cc saja, sisanya

hanya mengisi saluran pernapasan. Walaupun demikian, kapasitas vital udara

yang digunakan dalam proses bernapas mencapai 3500 cc, yang 1000 cc

merupakan sisa udara yang tidak dapat digunakan tetapi senantiasa mengisi

bagian paru-paru sebagai residu atau udara sisa. Kapasitas vital adalah jumlah

udara maksimun yang dapat dikeluarkan seseorang setelah mengisi paru-

parunya secara maksimum. Sewaktu menghirup udara (inspirasi) dinding dada

secara aktif tertarik keluar oleh pengerutan dinding dada, dan sekat rongga

dada (diafragma) tertarik ke bawah. Berkurangnya tekanan di dalam paru-paru


menyebabkan udara mengalir ke paru-paru. Hembusan napas keluar (ekspirasi)

disebabkan mengkerutnya paru-paru dan diikuti rongga dada yang menyusut.


Faktor utama yang mempengaruhi kapasitas vital adalah bentuk anatomi

tubuh, posisi selama pengukuran kapasitas vital, kekuatan otot pernafasan dan

pengembangan paru dan rangka dada. Volume udara normal dalam paru

bergantung pada bentuk dan ukuran tubuh. Posisi tubuh juga mempengaruhi

volume dan kapasitas paru, biasanya menurun bila berbaring, dan meningkat

bila berdiri. Perubahan pada posisi ini disebabkan oleh dua faktor, yaitu

kecenderungan isi abdomen menekan ke atas melawan diafragma pada posisi

berbaring dan peningkatan volume darah paru pada posisi berbaring, yang

berhubungan dengan pengecilan ruang yang tersedia untuk udara dalam paru-

paru.
Fungsi paru dapat digolongkan menjadi dua yaitu gangguan fungsi paru

obstruktif (hambatan aliran udara) dan restriktif (hambatan pengembangan

paru). Seseorang dianggap mempunyai gangguan fungsi paru obstruktif bila

nilai VEP1/KVP kurang dari 70% dan menderita gangguan fungsi paru

restriktif bila nilai kapasitas vital kurang dari 80% dibanding dengan nilai

standar (Guyton, 2007).


2
BAB II

ANALISIS KEPUSTAKAAN BERDASARKAN KASUS

2.1 Kerangka/Mind Mapping Teori

Tuberkulosis
Mikrobakterium Tuberkulosis
(TB)

Sindrom
Reaksi Inflamasi > BatukObstruktif
dan
Pasca Tuberkulosis
sekresi mucus berlebih >
penyempitan saluran(SOPT)
nafas >
obtruktif

Gejala Klinis yang muncul:


- Batuk lama
- Produksi lendir (sputum)
- Sesak napas
- Demam
- Nyeri dada

Menurunnya kemampuan aktivitas fisik individu

Gambar 2.1 Kerangka/Mind Mapping Teori

2.2 Definisi

SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca tuberkulosis) adalah penyakit obstruksi

saluran napas yang ditemukan pada penderita pasca tuberkulosis dengan lesi paru

yang minimal yang masih sering ditemukan pada pasien pasca Tuberkulosis dalam
praktik klinik (Irawati, 2013). Kerusakan paru yang terjadi pada penyakit saluran

pernapasan obstruktif adalah komplikasi yang terjadi pada sebagian besar

penderita Tuberkulosis pasca pengobatan. Gejala sisa yang paling sering

ditemukan yaitu gangguan faal paru dengan kelainan obstruktif yang memiliki

gambaran klinis mirip penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) (Shetty, 2010).

Hilangnya fungsi paru paling tinggi terjadi pada 6 bulan saat diagnosis

tuberkulosis dan 12 bulan setelah dinyatakan sembuh dari tuberkulosis (Sailaja,

2015).

2.3 Etilogi

Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil

mikrobakterium tuberkulosis tipe humanus, sejenis kuman yang yang berbentuk

batang dengan ukuran panjang 1-4/mm dan tebal 0,3-0,6/mm. Sebagian besar

kuman terdiri atas asam lemak (lipid).

Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam

alkkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan

terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat bertahan hidup pada udara

kering maupun dingin (dapat tahan bertaun-tahundalam lemari es).Hal ini terjadi

karena kuman bersifat dormant.Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit lagi

dan menjadikan tuberculosis menjadi aktif lagi. Sifat lain kuman ini adalah aerob.

Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi

oksigennya.Dalam hal ini tekanan bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari pada

bagian lainnya, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit

tuberkulosis. (Amin, 2007).


Kuman ini tahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin

(dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman berada

dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan

menjadikan tuberkulosis aktif kembali. Sifat lain kuman adalah aerob. Sifat ini

menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan

oksigennya. Dalam hal ini tekanan bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari pada

bagian lainnya, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit

tuberkulosis.

Basil mikrobakterium tersebut masuk kedalam jaringan paru melalui

saluran napas (droplet infection) sampai alveoli, maka terjadilah infeksi primer

(ghon) selanjutnya menyebar kekelenjar getah bening setempat dan terbentuklah

primer kompleks (ranke). keduanya dinamakan tuberkulosis primer, yang dalam

perjalanannya sebagian besar akan mengalami penyembuhan. Tuberkulosis paru

primer, peradangan terjadi sebelum tubuh mempunyai kekebalan spesifik terhadap

basil mikobakterium.

Tuberkulosis yang kebanyakan didapatkan pada usia 1-3 tahun. Sedangkan

yang disebut tuberkulosis post primer (reinfection) adalah peradangan jaringan

paru oleh karena terjadi penularan ulang yang mana di dalam tubuh terbentuk

kekebalan spesifik terhadap basil tersebut.

Faktor predisposisi penyebab penyakit tuberkulosis antara lain (Elizabeth

J powh 2001) :

1. Mereka yang kontak dekat dengan seorang yang mempunyai TB

aktif
2. Individu imunosupresif (termasuk lansia, pasien kanker, individu

dalam terapi kartikoteroid atau terinfeksi HIV)

3. Pengguna obat-obat IV dan alkoholik

4. Individu tanpa perawatan yang adekuat

5. Individu dengan gangguan medis seperti : DM, GGK, penyimpanan

gizi, by pass gatrektomi.

6. Imigran dari negara dengan TB yang tinggi (Asia Tenggara,

Amerika Latin Karibia)

7. Individu yang tinggal di institusi (Institusi psikiatrik, penjara)

8. Individu yang tinggal di daerah kumuh

9. Petugas kesehatan

SOPT disebabkan oleh bekas dari luka akibat infeksi TB paru. Jadi,

semakin luas jaringan paru yang rusak akibat infeksi kuman TB, semakin luas

bekas luka yang ditimbulkan. Gampangnya, jika pasien datang dengan TB paru

yang parah (destroyed lung) maka kemungkinan setelah sembuh akan

meninggalkan bekas yang luas sehingga keluhan yang dirasakan juga semakin

berat.

2.4 Epidemiologi

Secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TBC (CI

8,8 juta – 12, juta) yang setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Lima

negara dengan insiden kasus tertinggi yaitu India, Indonesia, China, Philipina, dan

Pakistan. Sebagian besar estimasi insiden TBC pada tahun 2016 terjadi di

Kawasan Asia Tenggara (45%)—dimana Indonesia merupakan salah satu di

dalamnya—dan 25% nya terjadi di kawasan Afrika. Badan kesehatan dunia


mendefinisikan negara dengan beban tinggi/high burden countries (HBC) untuk

TBC berdasarkan 3 indikator yaitu TBC, TBC/HIV, dan MDR-TBC. Terdapat 48

negara yang masuk dalam daftar tersebut.

Satu negara dapat masuk dalam salah satu daftar tersebut, atau keduanya,

bahkan bisa masuk dalam ketiganya. Indonesia bersama 13 negara lain, masuk

dalam daftar HBC untuk ke 3 indikator tersebut. Artinya Indonesia memiliki

permasalahan besar dalam menghadapi penyakit TBC. Jumlah kasus baru TB di

Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017 (data per 17 Mei 2018).

Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC tahun 2017 pada laki-laki 1,4

kali lebih besar dibandingkan pada perempuan. Bahkan berdasarkan Survei

Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan

pada perempuan. Begitu juga yang terjadi di negara-negara lain.

Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada faktor

risiko TBC misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Survei

ini menemukan bahwa dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak

68,5% dan hanya 3,7% partisipan perempuan yang merokok.

2.5 Patomekanisme

Patogenesis timbulnya SOPT sangat kompleks, dinyatakan pada penelitian

terdahulu bahwa kemungkinan penyebabnya adalah akibat infeksi TB yang

dipengaruhi oleh reaksi imun seseorang yang menurun sehingga terjadi

mekanisme makrofag aktif yang menimbulkan peradangan nonspesifik yang luas.

Peradangan yang berlangsung lama ini menyebabkan gangguan faal paru berupa

adanya sputum, terjadinya perubahan pola pernapasan, relaksasi menurun,


perubahan postur tubuh, berat badan menurun, dan gerak lapang paru menjadi

tidak maksimal (Irawati, 2013).

Apabila tubuh terinfeksi M. tuberculosis maka sistem imun host akan

bekerja melawan infeksi tersebut. Akibatnya M. tuberculosis akan melepasan

komponen toksik ke dalam jaringan yang akan menginduksi hipersensitivitas

seluler sehingga akan meningkatkan respons terhadap antigen bakteri yang

menimbulkan kerusakan jaringan, nekrosis, dan penyebaran bakteri lebih lanjut

(Menezes, 2007).

Perjalanan dan interaksi imunologi dimulai ketika makrofag bertemu

dengan M. tuberculosis. Dalam keadaan normal, infeksi TB merangsang limfosit

T untuk mengaktifkan makrofag sehingga dapat lebih efektif membunuh bakteri.

Makrofag aktif melepaskan IL-1 yang merangsang limfosit T. Limfosit T

melepaskan IL-2 yang selanjutnya merangsang limfosit T lain untuk bereplikasi,

matang, dan memberi respons lebih baik terhadap antigen. Limfosit T supresi (TS)

mengatur keseimbangan imunitas melalui peranan yang kompleks dan sirkuit

imunologik. Bila TS berlebihan seperti pada TB progresif, maka keseimbangan

imunitas terganggu sehingga timbul anergi dan prognosis jelek. Pada makrofag

aktif, metabolisme oksidatif meningkat dan melepaskan zat bakterisidal seperti

anion superoksida, hidrogen peroksida, dan radikal hidroksil yang menimbulkan

kerusakan pada membran sel dan dinding sel M. tuberculosis. Beberapa hasil

infeksi M. tuberculosis dapat bertahan dan tetap mengaktifkan makrofag sehingga

tetap terjadi proses infeksi yang dapat mendestruksi matriks alveoli. Diduga

proses proteolisis dan oksidasi sebagai penyebab destruksi matriks di mana

proteolisis mendestruksi protein yang membentuk matriks dinding alveoli oleh


protease, sedangkan oksidasi berarti pelepasan elektron dari suatu

molekul.Kehilangan elektron pada suatu struktur mengakibatkan fungsi molekul

akan berubah (Aida, 2006; Inam, 2010).

Sasaran oksidasi adalah protein jaringan ikat, sel epitel, sel endotel, dan

anti protease. Sel neutrofil melepas beberapa protease, yaitu:1) Elastase, yang

paling kuat memecah elastin dan protein jaringan ikat lain sehingga sanggup

menghancurkan dinding alveoli; 2) Catepsin G, menyerupai elastase, tetapi

potensinya lebih rendah dan dilepas bersama elastase; 3) Kolagenase, cukup kuat

tetapi hanya bisa memecah kolagen tipe I, bila sendiri tidak dapat menimbulkan

emfisema; 4) Plasminogen aktivator, urokinase dan tissue plasmin activator yang

merubah plasminogen menjadi plasmin. Plasmin selain merusak fibrin juga

mengaktifkan proenzim elastase dan bekerja sama dengan elastase (Aida, 2006).

Oksidan merusak alveoli melalui beberapa cara langsung, seperti

peningkatan beban oksidan ekstraseluler yang tinggi dengan merusak sel terutama

pneumosit I, modifikasi jaringan ikat sehingga lebih peka terhadap proteolisis,

berinteraksi dengan 1-antitripsin sehingga daya antiproteasenya menurun (Aida,

2006).

Tuberkulosis paru merupakan infeksi menahun sehingga sistem imun

diaktifkan untuk jangka lama, akibatnya beban proteolisis dan beban oksidasi

sangat meningkat untuk waktu lama sehingga destruksi matriks alveoli cukup luas

menuju kerusakan paru menahun (kronik) dan gangguan faal paru yang akhirnya

dapat dideteksi dengan spirometri (Inam, 2010).


2.6 Manifestasi Klinis

Adapun gejala utama pada penderita SOPT berupa: 1) batuk berdahak 2)

sesak napas, 3) penurunan ekspansi sangkar toraks. Gejala lainnya adalah demam

tidak tinggi atau meriang, dan penurunan berat badan (Widoyono, 2008).

1. Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza.Tetapi kadang-

kadang panas badan dapat mencapai 40-410 Celsius. Serangan demam

pertama dapat sembuh sebentar ,tetapi kemudian dapat timbul

kembali.Begitulah seterusnya hilang timbul demam influenza ini ,sehingga

pasien merasa tidak pernah terbeba dari serangan demam influenza.

Keadaan ini sangat terpengaruh oleh daya tahan tubuh pasien dan berat

ringannya infeksi kuman tuberkolosis masuk.


2. Batuk/batuk berdarah
Gejala ini bayak ditemukan.batuk terjadi karena adanya iritasi pada

bronkus.batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang

keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama,

mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan

paru yakni setelah minggu-mimggu atau berbulan-bulan peradangan

bermula.sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian

setelah timbul peradagan menjadi produktif (menghasilkal sputum).

Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuuh

darah yang pecah.kebanyakan batuk darah pada tuberkulusis terjadi pada

kavitas,tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding bronkus.

3. Sesak bernafas
Pada penyakit ringan (baru tumbuh)belum dirasakan sesak

nafas.sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut,yang

infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru dan takipneu.


4. Nyeri dada
Gejala ini agak jarang ditemukan.nyeri dada timbul bila infiltrasinya

radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis .terjadi

gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.


5. Malaise dan kelelahan
Penyakit tuberculosis bersifat radang menahun, gejala malaise sering

ditemukan berupa anaoreksia tidak ada nafsu makan,badan makin

kurus(berat badan turun), sakit kepala,keringat malam,dll. Selain itu juga

terjadi kselitan tidur pada malam hari (Price, 2005). Gejala malaise ini

makin lama makin berat dan terjadi ilang timbul secara tidak teratur.

2.7 Pemeriksaan & Penegakan Diagnosis

1. Anamnesis
Anamnesis adalah kegiatan komunikasi yang dilakukan antara pemeriksa

dan pasien yang bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang penyakit

yang diderita untuk mengarah ke diagnosis penyakit pasien. Adapun

pertanyaan terkait penegakan diagnose PPOK antara lain : Keluhan utama,

sejak kapan, apakah ada batuk dan berapa lama, apakah ada dahak dan

warnanya, riwayat merokok dan aktivitas sehari-hari.


2. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda :

a. Tanda-tanda infiltrat (redup, bronkial, ronki basah, dan lain-lain).


b. Tanda-tanda pennarikan paru, diafragma dan mediastinum.
c. Sekret di saluran nafas dan ronki.
d. Suara nafas amforik karena adanya kavitas yang berhubungan

langsung dengan bronkus.


3. Laboratorium darah rutin (LED normal atau meningkat, limfositosis)
4. Pemeriksaan sputum BTA
Diagnosis tuberkulosis paru pada orang dewasa ditegakkan dengan

ditemukannya kuman tuberkulosis. Semua suspek tuberkulosis diperiksa

3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu

(SPS).
a. S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek tuberkulosis

datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa

sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
b. P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera

setelah bangun tidur. Pot dahak dibawa dan diserahkan sendiri

kepada petugas di Fasyankes.


c. S (sewaktu): dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat

menyerahkan dahak pagi (Depkes RI, 2011).


5. Tes PAP (Peroksidase Anti Peroksidase) merupakan uji serologi

imunoperoksidase memakai alat histogen imunoperoksidase staining

untuk menentukan adanya IgG spesifik terhadap basil TB.


6. Tes Mantoux/Tuberkulin
7. Foto toraks PA dan lateral.
Gambaran foto toraks yang menunjang diagnosis tuberkulosis, yaitu :
a. Bayangan lesi terletak di lapangan atas paru atau segmen apikal

lobus bawah.
b. Bayangan berawan (patchy) atau bercak (nodular).
c. Adanya kavitas, tunggal atau ganda.
d. Kelainan bilateral, terutama di lapangan atas paru.
e. Adanya kalsifikasi.
f. Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian.
g. Bayangan milier (Mansjoer, Triyanti, Savitri, et al., 2000).

Tidak dibenarkan mendiagnosis tuberkulosis hanya berdasarkan

pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan

gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.


Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas

penyakit.

Gambar 2.2 Gambaran Foto Rontgen Dada pada Pasien Tuberkulosis

Sumber : Herchline,2013

Pada sebagian besar tuberkulosis paru, diagnosis terutama

ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak

memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto

toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut:

a. Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada

kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung

diagnosis tuberkulosis paru BTA positif.


b. Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen

dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan

tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT (lihat

bagan alur).
c. Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang

memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis

eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang


mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis

atau aspergiloma) (Depkes RI, 2006).


8. Teknik Polymerase Chain Reaction Deteksi DNA kuman secara spesifik

melalui amplifikasi dalam berbagai tahap sehingga dapat mendeteksi

meskipun hanya ada 1 mikroorganisme dalam spesimen. Juga dapat

mendeteksi adanya resistensi.


9. Becton Dickinson Diagnostic Instrument System (BACTEC) Deteksi

growth index berdasarkan CO2 yang dihasilkan dari metabolism asam

lemak oleh M. tuberculosis.


10. Enzyme Linked Immunosorbent Assay Deteksi respons humoral, berupa

proses antigen-antibodi yang terjadi. Pelaksanaannya rumit dan antibodi

dapat menetap dalam waktu lama sehingga menimbulkan masalah.


11. MYCODOT Deteksi antibodi memakai antigen lipoarabinomannan yang

direkatkan pada suatu alat berbentuk sisir plastik, kemudian dicelupkan

dalam serum pasien. Bila terdapat antibodi spesifik dalam jumlah

memadai maka warna sisir akan berubah (Mansjoer, Triyanti, Savitri, et

al., 2000).

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, keadaan ini

terutama ditujukan pada tuberkulosis paru:

a. Tuberkulosis paru BTA positif.


1) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA

positif.
2) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada

menunjukkan gambaran tuberkulosis.


3) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman

tuberkulosis positif. Universitas Sumatera Utara


4) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen

dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif

dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.


b. Tuberkulosis paru BTA negatif Kasus yang tidak memenuhi definisi

pada tuberkulosis paru BTA positif. Kriteria diagnostik tuberkulosis

paru BTA negatif harus meliputi:


1) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
2) Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis.
3) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT,

bagi pasien dengan HIV negatif.


4) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi

pengobatan (Depkes RI, 2011)

2.8 Diagnosis Banding

1. Pneumonia

Pneumonia adalah suatu penyakit inflamasi dari parenchyma paru-paru

seperti di alveoli dan yang berdekatan dengan airway dengan karakteristik

konsolidasi dan eksudat dan disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus

pada lower respiratory tract (saluran napas bawah).

2. Abses paru

3. Kanker paru

4. Bronkiektasis

5. Pneumonia aspirasi

2.9 Penatalaksanaan Fisioterapi

Adapun teknologi fisioterapi yang digunakan penulis pada kondisi

Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT) diantaranya:

1. Breathing Exercise
Breathing exercise merupakan suatu teknik yang digunakan untuk

membersihkan jalan napas, merangsang terbukanya sistem collateral,

meningkatkan distribusi ventilasi dan meningkatkan volume paru (Pryor

dan Webber, 1998).

Pursed lip breathing merupakan salah satu latihan pernapasan guna

mengurangi sesak napas dan mengurangi kerja dari suatu pernapasan, yang

dibarengi dengan pernapasan diafragma dan latihan ini dapat dilakukan

dengan meniup lilin, meniup bola pingpong, dan membuat gelembung di

dalam air minum dengan menggunakan pipa hisap. Latihan ini berfokus

pada pengontrolan inspirasi dan ekspirasi juga dengan pola ekspirasi yang

panjang dengan cara bibir mencucu. Selain itu, breathing control

merupakan latihan pernapasan yang dapat meningkatkan volume paru,

mempertahankan alveolus agar tetap mengembang, meningkatkan

oksigenasi, membantu membersihkan sekresi mukosa, mobilitas sangkar

toraks dan meningkatkan kekuatan, daya tahan dan koordinasi otot-otot

respirasi, meningkatkan efektifitas mekanisme batuk, mempertahankan

atau meningkatkan mobilitas chest dan thoracal spine, koreksi pola-pola

napas yang abnormal, dan meningkatkan relaksasi

(Subroto, 2010).

2. Mobilisasi sangkar toraks

Mobilisasi sangkar toraks adalah suatu bentuk latihan aktive movement

pada trunk dan extremitas yang dilakukan dengan deep breathing yang

bertujuan untuk meningkatkan mobilitas trunk dan shoulder yang


mempengaruhi respirasi serta memperkuat kedalaman inspirasi dan

ekspirasi (Subroto, 2010).

Mobiliasi sangkar toraks dapat dilakukan dengan bantuan pergerakan

dari bahu dan tulang belakang. Mobilisasi sangkar toraks melibatkan

gerakan kompleks dari anggota gerak atas selain itu antara sternum,

torakal vertebra, serta otot-otot pernapasan. Mekanisme mobilisasi sangkar

toraks adalah meningkatkan panjang otot interkostalis dengan melakukan

kontraksi yang efektif dari anggota gerak atas.

3. Coughing exercise
Coughing exercise atau batuk efektif merupakan suatu metode batuk

dengan benar, dimana pasien dapat menghemat energi sehingga tidak

mudah lelah dan dapat mengeluarkan dahak secara maksimal dari jalan

napas dan area paru. Selain itu coughing exercise menekankan inspirasi

maksimal yang dimulai dari ekspirasi. Adapun tujuan dilakukannya

tindakan coughing exercise adalah merangsang terbukanya sistem

kolateral, meningkatkan distribusi ventilasi, dan meningkatkan volume

paru serta memfasilitasi pembersihan saluran napas yang memungkinkan

pasien untuk mengeluarkan sekresi mukus dari jalan napas (Pratama,

2012).
4. IR (Infra Red)

Modalitas Infra Red Luminous dengan penetrasi mencapai jaringan

subkutan yaitu epidermis dan dermis. Pemberian Infra Red Luminous

diberikan dengan intensitas sesuai dengan toleransi dari pasien tersebut,

dimana pasien merasakan hangat pada area yang diterapi. Penyinaran


diberikan secara tegak lurus pada area yang diterapi pada jarak 30-45 cm

dan dengan dosis terapi selama 10-15 menit (Singh, 2005).

2.10 Kerangka/Mind Mapping Teknologi Fisioterapi

Gejala Klinis yang muncul: Modalitas Terpilih


- Batuk lama - MWD
- Sesak napas
- Breathing Exercise
- Spasme otot pernapasan
- Six Minutes Walking
- Nyeri dada
Exercise
- Respiratory Muscle
Strech Gymnastic
- Streatching Exercise
Pemeriksaan Fisik

- Auskultasi
- Fremitus
- Perkusi
- Lingkar thoraks
- NYHA, MET,HRS-A, Meningkatkan kemampuan
Indeks Barthel, Skala aktivitas fisik individu
Borg, dan Six Minutes
Walking Test

Gambar 2.3 Kerangka/Mind Mapping Teknologi Fisioterapi


BAB III

MANAJEMEN FISIOTERAPI

3.1 Data Umum Pasien


Nama : Tn. Dg. S
Usia : 56 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Jalan Ujung Bumi Lama
Pekerjaan : Wiraswasta (tidak aktif)
Agama : Islam
Diagnosa klinis : Sindrom Obtruksi Pasca Tuberkulosis
Vital Sign
Tekanan Darah : 140/90 mmHg
Denyut Nadi : 85 kali/menit
Pernapasan : 16x/menit
Suhu : 36˚ C
Saturasi Oksigen : 97 %
Berat Badan : 48 Kg
Tinggi Badan : 161 Cm

3.2 Pemeriksaan Fisioterapi Model CHARTS


1. Chief of Complain
Sesak napas
2. History Taking
Tabel 3.1 History Taking
No. Pertanyaan Informasi
1. Sejak kapan kejadiannya pak ? saya mengalami sesak napas sejak
sekitar 1 tahun yang lalu.
2. Bagaimana cerita awal mula bapak Saya mulai sesak itu ketika saya sering
mengalami sesak napas? batuk lama, dan saat itu saya periksa
dan ternyata saya menderita TB,
akhirnya saya berobat 6 bulan.

3. Apakah berobat 6 bulan nya tuntas ? Iya pak selesai.


21

4. Apakah batuknya berdahak dan Iya berdahak dan warnanya putih


jika iya warnanya apa ?
5. Seberapa sering Bapak batuk dan Kalo sekarang sudah Tidak terlalu sering
waktunya kapan ? dan biasanya muncul pada pagi hari
6. Apakah ada nyeri dada yang Tidak ada
bapak rasakan ?
7. Menurut bapak sesak nafasnya Sesak napas muncul saat udara dingin
muncul saat bapak melakukan biasanya dan saat aktivitas yang berat
aktivitas apa ? seperti angkat-angkat berat

8. Apakah bapak merokok? Iya saya pernah merokok, tetapi sudah


berhenti lama sejak 10 tahun yang lalu.
9. Apakah bapak pernah ke dokter? Iya pernah, saya pertama berobat ke
pelomonia kemudian dapat tau [enyakit
TB dan berobat 6 bulan, setelah itu saya
berobat rutin di BBKPM Makassar sejak
bulan April 2019 dan dirujuk ke
fisioterapi 19 Agustus 2019
10. Apakah bapak Pernah foto Iya pernah foto rontgen dan ada hasil tes
rontgen dan tes laboratorium? laboratorium.

11. Kata dokter apa hasil dari foto Kata dokter hasil foto saya yaitu TB Aktif
dan pemeriksaan laboratorium ? Lesi luas tapi itu sudah lama ketika di
pelomonia, dan labnya normal, dan TB nya
sudak tidak ada sekarang
12. Apakah nafsu makan dan tidur Pola makan saya lancar, namun porsi saya
bapak saat ini terganggu sedikit, saya bisa makan dan minum
sendiri, dan untuk pola tidur saya juga baik.
12. Apakah Buang air Kecil dan Buang air Kecil dan Buang air Besar lancar
Buang air Besar saat ini
terganggu?
13. Bagaimana perasaan Bapak Saya merasa khawatir. Saya ingin segera
setelah terkena penyakit ini? cepat sembuh dan bisa kembali beraktifitas
seperti sebelumnya.
14. Bagaimana perhatian keluarga Keluarga memberi perhatian dan selalu
dan teman saat ini? merawat dengan baik serta memberikan apa
yang dibutuhkan.
15. Apakah ada riwayat penyakit Tidak ada
lain?
16. Apakah masih ada keluhan lain? Batuk sesekali saja

Asymmetric
a. Inspeksi Stat
3. Asymmetric
a. Inspeksi Statis
1) Tampak Anterior
a) Wajah tampak cemas, namun tidak terlihat tampak kepayahan
respirasi
b) Warna bibir dalam batas normal
c) Tidak tampak sianosis pada ujung jari
d) Bentuk thorax : excavatum
e) Tampak shoulder simetris
f) SIAS (Spina Iliaca Anterior Superior) dan Knee simetris
2) Tampak Posterior
a) Tampak shoulder simteris
b) SIPS (Spina Iliaca Posterior Superior) dan Poplitea Simetris
3) Tampak Lateral
a) Tampak protraksi shoulder
b. Inspeksi Dinamis
Pola jalan dalam batas normal namun terkesan lambat, pola napas
tampak lambat dan dalam.
c. Palpasi
Tabel 3.2 Palpasi
Karakteristik Dekstra Sinistra
Suhu Normal Normal
Oedem (-) (-)
Kontur kulit Normal Normal

Tenderness Nyeri tekan m. Nyeri tekan m. pectoralis


pectoralis minor minor
Sumber : Data Primer, 2019
d. Tes Orientasi
Pasien mampu meniup kertas
e. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar
Tabel 3.3 PFGD
Sendi Gerakan Aktif dan Pasif
Dx Sin
Cervical

Fleksi DBN DBN


Ekstensi DBN DBN
Lat.Fleksi Dx DBN DBN
Lat.Fleksi Sin DBN DBN
Rotasi Dex DBN DBN
Rotasi Sin DBN DBN
Shoulder

Fleksi DBN DBN


Ekstensi DBN DBN
Abduksi DBN DBN
Adduksi DBN DBN
Eksorotasi DBN DBN
Endorotasi DBN DBN
Protraksi DBN DBN
Retraksi DBN DBN
Depresi DBN DBN
Elevasi DBN DBN
Sumber : Data Primer, 2019
4. Restrictive
a. Range of motion (ROM) : ( - )
b. Activity Daily Living (ADL) : Sesak napas ketika beraktivitas berat dan
dingin
c. Pekerjaan : Semenjak sakit pasien tidak bisa menjalani pekerjaan
d. Rekreasi : ( - )

5. Tissue Impairment and Psychological Prediction


a. Psikogen : Kecemasan terhadap penyakit yang diderita
b. Neurogen :-
c. Musculotendinogen : kontraktur m. pectoralis minor
d. Osteoartrogen : -

6. Spesific Test
a. Zona Latihan
DNL = DNI +(30%-40%)(220-Usia-DNI)
Batas bawah Batas atas
DNL = 85+ 30%(220- 56- 85) DL= 85+ 40%(220- 56- 85)
DNL = 85+30% (79) DL = 85+40% (79)
DNL = 108,7 DL = 116,6
Batas denyut nadi latihan untuk pasien adalah antara 108 - 116 x/m.

b. Fremitus
Hasil : didapatkan getaran yang simetris antara paru
kanan dan kiri
Interpretasi : dalam batas normal

c. Perkusi
Hasil : semua lapang paru terdengar bunyi resonant atau
sonor
Interpretasi : Normal
d. Auskultasi
Hasil : semua lapang paru terdengar bunyi Vesikuler
Interpretasi : Normal
e. Pamp Hundle Movement Test
Hasil : Lobus dekstra dan sinistra mengembang secara
simetris.
Interpretasi : Normal
f. Bucket hundle Movement Test
Hasil : Lobus dekstra dan sinistra mengembang secara
simetris.
Interpretasi : Normal
g. Tes Panjang Otot (muscle length test)
m. Sternocleidomastoideus dalam batas normal
m. Pectoralis mayor dalam batas normal
m. Pectoralis minor indikasi mengalami pemendekan
m. upper trapezius dalam batas normal
h. Lingkar Thoraks
Tabel 3.4 Lingkar Thoraks
Pengukuran Inspirasi (cm) Ekspirasi (cm) Selisih (cm)
Upper lobe 95 92 3
Middle lobe 96 95 1
Lower lobe 95 93 2
Sumber : Data Primer, 2019
Interpretasi : Penurunan kemampuan ekspansi thorak
i. METs
Hasil :3
Interpretasi : berjalan dengan kecepatan +/- 3 km/jam
j. Pemeriksaan Indeks Barthel
Hasil : 94
Interpretasi : ketergantungan ringan
k. Skala Borg ( Derajat Sesak)
Hasil :2
Interpretasi : sesak ringan
l. HRS-A
Hasil : 23
Interpretasi : kecemasan sedang
m. Pemeriksaan Radiologi (Tahun lalu)
Kesan:
- TB Paru aktif lesi luas
n. Pemeriksaan Laboratorium
Tes Cepat Metabolik :
Sewaktu : -
Pagi : -
Sewaktu: -
BTA hasil negative
Interpretasi : TB sudah tidak ada
3.3 Diagnosis Fisioterapi
Adapun diagnosis fisioterapi yang dapat ditegakkan dari hasil proses
pengukuran dan pemeriksaan tersebut, yaitu: “Gangguan Fungsional Paru-Paru
Berupa Sesak Napas E.C Sindrom Obtruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT) Sejak 5
bulan yang Lalu”.
3.4 Problem Fisioterapi
1. Problem Primer : sesak napas
2. Problem Sekunder : kecemasan, pemendekan otot pectoralis minor,
penurunan ekspansi thorak, gangguan postur.
3. Problem Kompleks : gangguan ADL aktivitas berat.
3.5 Tujuan Penanganan Fisioterapi
1. Tujuan jangka panjang:
Mengoptimalkan kemampuan ADL

2. Tujuan jangka pendek:


a. Mengurangi sesak napas
b. Mengurangi kecemasan
c. Meningkatkan ekspansi thoraks
d. Menjaga panjang otot pectoralis minor
e. Mengatasi gangguan postur
3.6 Intervensi Fisioterapi
Adapun hasil evaluasi dan modifikasi terhadap program fisioterapi yang telah
diberikan pada klien tersebut, adalah sebagai berikut:
Tabel 3.6 Intervensi Fisioterapi

No. Problem Modalitas Fisioterapi Dosis


Fisioterapi

1 Kecemasan Komunikasi terapeutik F : 1x/hari


I : Pasien fokus
T : intrapersonal approach
T : Selama terapi
2 Metabolic Stress MWD F : 1x/hari
Reaction I : 30 cm di atas kulit
T : local (thorax bag.anterior)
T : 10 menit
3 Sesak napas Breathing Exercise F:1x sehari
I: 8 hitungan, 3x repetisi
T: Deep Breathing exc & Pulse lip
breathing
T: 5 menit
F:1x sehari
I: 8 hitungan, 3x repetisi
T: Diaphragmatic Breathing exc
T: 5 menit

4 Kontraktur otot Exercise therapy F : 1x/hari


pectoralis minor I : 15 hitungan, 3x repetisi
T : Stretcing exc
T : 5 menit
5 Gangguan postur Exercise therapy F : 1x/hari
I : 8 hit 3 rep
T : Bugnet exc (sitting)
T : 3 menit
6 Ekspansi Thorax Exercise Threapy F : 1x/hari
I : 8 hit 3 rep
T : Respiratory Muscle Strech
Gymnastic
T : 5 menit
7 Gangguan ADL Exerice therapy F:1x sehari
berjalan I: Low impact, toleransi pasien
T: 6 minutes walking exc
T: Toleransi pasien

3.7 Evaluasi Fisioterapi


Adapun hasil evaluasi dan modifikasi terhadap program fisioterapi yang telah
diberikan pada klien tersebut, adalah sebagai berikut:
Tabel 3.7 Evaluasi Fisioterapi
No Problem FT Parameter Hasil Interpretasi
Sebelum Setelah intervensi
intervensi
1 Kecemasan HRS-A 26 (Kecemasan 22 Ada penurunan
Sedang)

2 Sesak Napas Skala Borg 2 1 Ada penurunan

3 Ekspansi thorax Selisih inspirasi Upper : 3, Middle : Upper : 3, Middle : Ada peningkatan
dan ekspirasi 1, Lower : 2 2. Lower : 3

5 Gangguan Postur Inspesksi statis Protraksi shoulder Protraksi shoulder tetap

3.8 Modifikasi
Dari hasil evaluasi pasien maka dilakukan modifikasi berupa peningkatan
dosis Breathing Exercise yaitu 8 hitungan, 3 repetisi menjadi 10 hitungan, 5
repetis, Bugnet exercise dengan dosis yang juga di tingkatkan.
3.9 Home Program
Pasien diedukasi untuk melakukan latihan di rumah seperti beberapa
bentuk latihan pernapasan dan latihan jalan sesuai toleransi pasien untuk
meningkatkan kebugaran pasien.

3.10 Kemitraan
Melakukan kolaborasi atau kemitraan dalam rangka memberikan layanan
prima kepada pasien, di antaranya dengan Dokter Paru, Dokter patologi
klinik, Dokter radiologi, Ilmu gizi, Apoteker, Perawat, dan Psikologi.
DAFTAR PUSTAKA

Aida,N. 2006. Patogenesis Sindrom Ostruksi Pasca Tuberkulosis. Bagian Ilmu


Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Unit Paru
Rumah Sakit Persahabatan Jakarta.

Amin, Z., Bahar, A., 2007. Tuberkulosis Paru. Dalam:Sudoyo, A., W., dkk. Buku Ajar
Ilmu penyakit Dalam Jilid III. Ed 5. Jakarta : FKUI; 2230-2239.
Depkes RI, 2006, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Jakarta
Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2011. Buku Saku Petugas Kesehatan.
https://agus34drajat.files.wordpress.com/2010/10/buku-saku-lintas-diareedisi-
2011.pdf. Diakses: 23 Agustus 2019.
Fakultas Kedokteran UI, 2000, Kardiologi; Gagal Jantung, In: Mansjoer, A., Triyanti,
K., Savitri, R., Wardhan, W.I. & Setyowulan, W., edisi ketiga, Kapita
Kedokteran, Yogyakarta
Herchline, T.E., 2013. Tuberculosis. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/230802-overview [Accesed 23 Agustus
2019].
Irawati Anastasia. 2013. Naskah Publikasi Kejadian Sindrom Obstruksi Pasca
Tuberkulosis di RSU Dr. Soedarso Pontianak. (Thesis). Pontianak: Fakultas
kedokteran Universitas Tanjung PuraSubroto, 2011.

Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang


Kemenkes RI

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
Pratama Harisma. 2012. Fisioterapi Dada. Diakses: 23 Agustus 2019.
http://harismapratama.wordpress.com20121204fisioterapi-dada
Sailaja HK dan Rao N. 2015 . Study of Pulmonary Function Impairment by
Spirometry in Post Pulmonary Tuberculosis. Journal of Evolution of Medical
and Dental Sciences. Volume 4. Nomor 42.
Shetty AJ dan Tyagi A. 2010. Development Of Post Tubercular Bronchial Astma A
Pilot Study.Journal of Clinical and Diagnostic Research. Nomor 4.
Singh Jagmohan. 2005. Textbook Of Electrotherapy. New Delhi: Jaypee Brothers
Subroto Wisnu. 2010. Saluran Pernapasan pada Paru-Paru. Diakses: 23 Agustus 2019.
http://wishnusubroto.blogspot.com2010Saluran-Pernapasan-pada-ParuParu.htm l
Webber Barbara A and Pryor Jennifer A. 1998. Physiotherapy for Respiratory and
Cardiac Problems. London: Churchill Livingstone
WHO. World Health Statistics 2015: World Health Organization; 2015.

Widoyono. (2008). Penyakit tropis: epidemiologi, penularan, pencegahan dan


pemberantasannya. Erlangga. Jakarta

LAMPIRAN
Hamilton Rating Scale for Anxiety
No. Kelompok Gejala

1. Perasaan cemas a. Cemas


b. Takut
c. Mudah tersinggung
d. Firasat buruk
2. Ketegangan a. Lesu
b. Tidur tidak tenang
c. Gemetar
d. Gelisah
e. Mudah terkejut
f. Mudah menangis
3. Ketakutan pada a. Gelap
b. Ditinggal sendiri
c. Orang asing
d. Binatang besar
e. Keramaian lalulintas
f. Kerumunan orang banyak
4. Gangguan tidur a. Sukar tidur
b. Terbangun malam hari
c. Tidak puas, bangun lesu
d. Sering mimpi buruk
e. Mimpi menakutkan
5. Gangguan kecerdasan a. Daya ingat

6. Perasaan depresi a. Kehilangan minat


b. Sedih
c. Bangun dini hari
d. Berkurangnya kesenangan pada hobi
e. Perasaan berubah-ubah sepanjang hari
7. Gejala somatic a. Nyeri otot kaki
b. Kedutan otot
c. Gigi gemertak
d. Suara tidak stabil
8. Gejala sensorik a. Tinitus
b. Penglihatan kabur
c. Muka merah dan pucat
d. Merasa lemas
e. Perasaan di tusuk-tusuk
9. Gejala kardiovaskuler a. Tachicardi
b. Berdebar-debar
c. Nyeri dada
d. Denyut nadi mengeras
e. Rasa lemas seperti mau pingsan
f. Detak jantung hilang sekejap
10. Gejala pernapasan a. Rasa tertekan di dada
b. Perasaan tercekik
c. Merasa napas pendek atau sesak
d. Sering menarik napas panjang
11. Gejala saluran pencernaan makanan a. Sulit menelan
b. Mual, muntah
c. Enek
d. Konstipasi
e. Perut melilit
f. Defekasi lembek
g. Gangguan pencernaan
h. Nyeri lambung sebelum dan sesudah
i. Rasa panas di perut
j. Berat badan menurun
k. Perut terasa panas atau kembung
12. Gejala urogenital a. Sering kencing
b. Tidak dapat menahan kencing
13. Gejala vegetative/Otonom a. Mulut kering
b. Muka kering
c. Mudah berkeringat
d. Sering pusing atau sakit kepala
e. Bulu roma berdiri
14. Perilaku sewaktu wawancara a. Gelisah
b. Tidak tenang
c. Jari gemetar
d. Mengerutkan dahi atau kening
e. Muka tegang
f. Tonus otot meningkat
g. Napas pendek dan cepat
h. Muka merah

Masing- masing kelompok gejala diberi penilaian angka (skore) antara 0-4,
yang artinya adalah:
a. Nilai 0 = tidak ada gejala / keluhan
b. Nilai 1 = gejala ringan / satu dari gejala yang ada
c. Nilai 2 = gejala sedang / separuh dari gejala yang ada
d. Nilai 3 = gejala berat / lebih dari separuh dari gejala yang ada
e. Nilai 4 = gejala berat sekali / semua dari gejala yang ada
Masing- masing nilai angka (skore) dari 14 kelompok gejala tersebut
dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat
kecemasan seseorang, yaitu:
Total nilai (skore):
a. < 14 = tidak ada kecemasan
b. 14 – 20 = kecemasan ringan
c. 21 – 27 = kecemasan sedang
d. 28 – 41 = kecemasan berat
e. 42 – 56 = kecemasan berat sekali / panik

Indeks Barthel
Nilai
No Aktivitas
Bantuan Mandiri
1 Makan 5 10
2 Berpindah dari kursi roda ke 5-10 15
tempat tidur dan sebaliknya
3 Kebersihan diri, mencuci 0 5
muka, menyisir, mencukur dan
menggosok gigi
4 Aktivitas di toilet 5 10
5 Mandi 0 5
6 Berjalan mendarat (jika tidak 10 15
mampu) dengn kursi roda
7 Naik-turun tangga 5 10
8 Berpakaian dan bersepatu 5 10
9 Mengontrol BAB 5 10
10 Mengontrol BAK 5 10
Jumlah 100

Penilaian :
0-20 : Ketergantungan penuh
21-61 : Ketergantungan berat/sangat
62-90 : Ketergantungan moderat
91-99 : Ketergantungan ringan.
100 : Mandiri

Anda mungkin juga menyukai