1. HAILY SUMARTI
2. NANA WULANDARI
3. MARGA ADI SENO SAPUTRA
4. DHENI ARIPIN
5. ISKHAK
6. MUHAIMIN SANI
7. MUHAMMAD
A. Latar Belakang
Kehamilan merupakan penyatuan spermatozoa dan ovum hingga terjadi perubahan
fisiologi dan psikologi sampai kelahiran bayi baru lahir. kehamilan di hitung mulai dari 2
minggu setelah periode menstruasi normal terakhir wanita, lama total gestasi kehamilan
40 minggu dalam waktu 10 bulan atau 9 bulan (Astuti, 2018)
Salah satu masalah yang sering terjadi pada kehamilan adalah terjadinya
perdarahan. Perdarahan dapat terjadi pada setiap usia kehamilan. Perdarahan pada
kehamilan sendiri berarti perdarahan melalui vagina yang terjadi pada masa kehamilan,
bukan perdarahan dari organ atau sistem lainnya. Perdarahan pada kehamilan adalah
masalah yang cukup serius yang terjadi pada masyarakat Indonesia yang mengakibatkan
mortalitas yang cukup tinggi pada ibu-ibu di Indonesia. Oleh karena dapat
membahayakan keselamatan ibu dan janin. (Ratna,2018)
Angka Kematian Ibu Dan Bayi (AKI-AKB) di indonesia pada tahun 2019 jumlah
kasus kematian ibu justru meningkat dibanding tahun sebelumnya. pada tahun 2018
angka kematian ibu mencapai 41 kejadian, namun pada 2019 meningkat menjadi 49
kasus. Paling banyak disebabkan oleh pre eklamsi dan pendarahan. (Kemenkes R1,
2019). Lima penyebab kematian terbesar di Indonesia yaitu perdarahan 35,1%, hipertensi
21,5%, infeksi 5,8%, partus lama 1,2%, abortus 4,2%, dan penyebab lain-lain 32,2%
(Kemenkes RI, 2017).
Pengelompokan perdarahan pada kehamilan tersebut secara praktis dibagi menjadi:
perdarahan pada kehamilan muda, perdarahan sebelum melahirkan (antepartum
hemoragik), dan perdarahan setelah melahirkan (postpartum hemoragik). Perdarahan
pervaginam pada kehamilan muda adalah perdarahan yang terjadi sebelum kehamilan 22
minggu. Darah yang keluar biasanya segar (merah terang) atau berwarna coklat tua
(coklat kehitaman). Perdarahan yang terjadi biasanya ringan, tetapi menetap selama
beberapa hari atau secara tiba-tiba keluar dalam jumlah besar. (Ratna,2018)
Peran perawat sangat dibutuhkan pada ibu yang mengalami abortus yaitu pada
aspek promotif peran perawat memberikan pendidikan kesehatan tentang bedrest (tirah
baring) dengan tujuan untuk meningkatkan aliran darah ke uterus dan mengurangi
perdarahan, serta mengkonsumsi makanan gizi seimbang dengan tujuan membantu proses
pertumbuhan dan perkembangan janin dalam kandungan. Aspek preventif peran perawat
adalah dengan mengobservasi terjadinya perdarahan dengan tujuan mencegah terjadinya
syok hipovolemia dan tujuan membersihkan perineum yaitu mencegah terjadinya infeksi
pada sistem reproduksi. Pada aspek kuratif peran perawat melakukan kolaborasi dengan
dokter dalam memberikan obat uterotonik dengan tujuan menguatkan kehamilan serta
penanganan akibat perdarahan, diberikan obat antibiotic dengan tujuan mencegah
pertumbuhan bakteri pada sistem reproduksi akibat perdarahan dan tujuan dilakukan
tindakan pemeriksaan diagnostik USG yaitu untuk menentukan apakah janin masih hidup.
Pada aspek rehabilitative dengan melakukan istirahat cukup dan batasi aktivitas fisik
berlebihan dengan tujuan pemulihan fisik akibat perdarahan.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan ini agar mahasiswa mampu memahami asuhan
keperawatan perdarahan kehamilan awal dan lanjut.
2. Tujuan Khusus
Setelah mempelajari makalah ini mahasiswa mampu :
a. Menjelaskan konsep dasar perdarahan kehamilan awal dan lanjut secara
teoritis.
b. Menjelaskan asuhan keperawatan perdarahan kehamilan awal pada
abortus inkomplit secara teoritis.
C. Metode Penulisan
Dalam melakukan penulisan ini ada beberapa metode yang dilakukan yaitu :
1. Studi pustaka yaitu penulis mengumpulkan data dan informasi dari buku-buku yang
penulis pelajari
2. Observasi yaitu dengan melakukan pengamatan terhadap kegiatan.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini, yaitu sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis membahas tentang Latar Belakang, Tujuan
Penulisan, Metode Penulisan, Ruang Lingkup Penulisan, dan
Sistematika Penulisan.
BAB II : TINJAUAN TEORITIS
Dalam bab ini penulis membahas teori tentang perdarahan pada
kehamilan awal dan akhir.
BAB III : ASUHAN KEPERAWATAN
Dalam bab ini penulis membahas tentang asuhan keperawatan
perdarahan kehamilan awal pada abortus inkomplit secara teoritis.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini penulis membahas tentang Kesimpulan dan Saran.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
1. ABORTUS
a. Definisi
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat
hidup di luar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari 20 minggu
atau berat janin kurang dari 500 gram. Abortus yang berlangsung tanpa tindakan
disebut abortus spontan, sedangkan abortus yang terjadi dengan sengaja
dilakukan tindakan disebut abortus provokatus. Abortus provokatus ini dibagi 2
kelompok yaitu abortus provokatus medisinalis dan abortus provokatus
kriminalis.
b. Penyebab Genetik
Sebagian besar abortus spontan disebabkan oleh kelainan kariotip embrio.
Paling sedikit 50 % kejadian abortus pada trimester pertama merupakan kelainan
sitogenetik. Bagaimanapun, gambaran ini belum termasuk kelainan yang
disebabkan oleh gangguan gen tunggal (misalnya kelainan Mendelian) atau
mutasi pada beberapa lokus (misalnya gangguan poligenik atau multifaktor)
yang tidak terdeteksi dengan pemeriksaan kariotip.
Kejadian tertinggi kelainan sitogenetik konsepsi terjadi pada awal
kehamilan. Kelainan sitogenetik embrio biasanya berupa aneuploidi yang
disebabkan oleh kejadian sporadis, misalnya nondisjunction meiosis atau
poliploidi dari fertilitas abnormal. Separuh dari abortus karena kelainan
sitogenetik pada trimester pertama berupa trisomi autosom. Trisomi timbul
akibat dari nondisjunction meiosis selama gametogenesis pada pasien dengan
kariotip normal. Untuk sebagian besar trisomi, gangguan meiosis maternal bisa
berimplikasi pada gametogenesis. Insiden trisomi meningkat dengan
bertambahnya usia.
Struktur kromosom merupakan kelainan kategori ketiga. Kelainan struktural
terjadi pada sekitar 3 % kelainan sitogenetik pada abortus. Ini menunjukkan
bahwa kelainan struktur kromosom sering diturunkan dari ibunya. Kelainan
struktur kromosom pada pria bisa berdampak pada rendahnya konsentrasi
sperma, infertilitas, dan bisa mengurangi peluang kehamilan dan terjadinya
keguguran.
Kelainan sering juga berupa gen yang abnormal, mungkin karena adanya
mutasi gen yang bisa mengganggu proses implantasi bahkan menyebabkan
abortus. Contoh untuk kelainan gen tunggal yang sering menyebabkan abortus
berulang adalah myotonic dystrophry, yang berupa autosom domina dengan
penetrasi yang tinggi, kelainan ini progresif, dan penyebab abortusnya mungkin
karena kombinasi gen yang abnormal dan gangguan fungsi uterus. Kemungkinan
juga karena adanya mosaik gonad pada ovarium atau testis.
Gangguan jaringan konektif lain, misalnya Sindroma Marfan, Sindroma
Ehlers-Danlos, homosisteinuri dan pseudoaxanthoma elasticum. Juga pada
perempuan dengan sickle cell anemia berisiko tinggi mengalami abortus. Hal ini
karena adanya mikroinfark pada plasenta. Kelainan hematologik lain yang
menyebabkan abortus misalnya disfibrinogenemi, defisiensi faktor XIII, dan
hipofibrinogenemi afibrinogenemi kongenital.
Abortus berulang bisa disebabkan oleh penyatuan dari 2 kromosom yang
abnormal, di mana bila kelainannya hanya pada salah satu orang tua, faktor
tersebut tidak diturunkan. Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa bila
didapatkan kelainan kariotip pada kejadian abortus, maka kehamilan berikutnya
juga berisiko abortus.
c. Penyebab Anatomik
Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetrik,
seperti abortus berulang, prematuritas, serta malpresentasi janin. Insiden
kelainan bentuk uterus berkisar 1/200 sampai 1/600 perempuan. Pada perempuan
dengan riwayat abortus, ditemukan anomali uterus pada 27 % pasien.
e. Penyebab Infeksi
Teori peran mikroba infeksi terhadap kejadian abortus mulai diduga sejak
1917, ketika DeForest dan kawan-kawan melakukan pengamatan kejadian
abortus berulang pada perempuan yang rernyata rerpapar brucellosis. Beberapa
jenis organisme tertentu diduga berdampak pada kejadian abortus antara lain:
● Bakteria
- Listeria monositogenes
- Klamidia trakomatis
- Ureaplasma urealitikum
- Mikoplasma hominis
- Bakterial vaginosis
● Virus
- Sitomegalovirus
- Rubela
- Herpes simpleks virus (HSV)
- Human immunodeficiency virus (HIV)
- Parvovirus
● Parasit
- Toksoplasmosis gondii
- Plasmodium falsiparum
● Spirokaeta
- Treponema pallidum
Berbagai teori diajukan untuk mencoba menerangkan abortus/EPL, di
antaranya sebagai berikut.
● Infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berat sehingga
kematian janin.
monositogenes).
g. Faktor Hormonal
Ovulasi, implantasi, serta kehamilan dini bergantung pada koordinasi yang
baik sistem pengaturan hormon maternal. Oleh karena itu, perlu perhatian
langsung terhadap sistem hormon secara keseluruhan, fase luteal, dan gambaran
hormon setelah konsepsi terurama kadar progesteron.
● Diabetes mellitus
1. Abortus Iminens
Abortus iminens juga disebut threatened abortion alias ancaman keguguran. Badan
Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan threatened abortion sebagai keluarnya
darah dari vagina yang terkait dengan kehamilan atau perdarahan dari vagina yang
tampak jelas pada paruh pertama masa kehamilan tanpa pelebaran serviks. (WHO,
NIH 2022). Abortus ini merupakan tingkat permulaan dan merupakan ancaman
terjadinya abortus, ditandai dengan perdarahan pervaginam, ostium uteri masih
tertutup dan hasil konsepsi masih baik dalam kandungan. Diagnosis abortus iminens
biasanya diawali dengan keluhan perdarahan pervaginam pada umur kehamilan
kurang dari 20 minggu. Penderita mengeluh mulas sedikit atau tidak ada keluhan
sama sekali kecuali perdarahan pervaginam. Ostium uteri masih tertutup besarnya
uterus masih sesuai dengan umur kehamilan dan tes kehamilan urin masih positif.
(Sarwono, 2014)
2.Abortus Insipiens
Abortus insipiens merupakan perdarahan dimana darah yang keluar dari tubuh calon
ibu cenderung lebih banyak dan bukan hanya sekdar flek seperti abortus iminiens.
Abortus insipiens juga sering disebut dengan inevitable abortion atau abortus
berlangsung yang berarti abortus ini terjadi dan tidak dapat dicegah. Selain
perdarahan, abortus ini ditandai dengan terbukanya ostium uteri ekstertum. Abortus
insipiens biasanya terjadi saat kondisi kehamilan belum menginjak 28 minggu.
Abortus jenis ini disertai dengan pembukaan Rahim, maka dari itu darah yang
dikeluarkan cenderung lebih banyak dan disertai rasa sakit. Biasanya, perdarahan ini
juga disertai dengan rasa mulas. Pada peristiwa abortus insipiens ini, hasil konsepsi
masih berada didalam rahim. (Arantika, 2019). Abortus yang sedang mengancam
yang ditandai dengan serviks telah mendatar dan ostium uteri telah membuka, akan
tetapi hasil konsepsi masih dalam karum uteri dan daiam proses pengeluaran.
Penderita akan merasa mulas karena kontraksi yang sering,dan kuat, perdarahannya
bertambah sesuai dengan pembukaan serviks uterus dan umur kehamilan. Besar
uterus masih sesuai dengan umur kehamilan dengan tes urin kehamilan masih positif.
Pada pemeriksaan USG akan didapati pembesaran uterus yang masih sesuai dengan
umur kehamilan, gerak janin dan gerak ;'antung janin masih jelas walau mungkin
sudah mulai tidak normal, biasanya terlihat penipisan serviks uterus atau
pembukaannya.(Sarwono, 2014)
3.Abortus Kompletus
Seluruh hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri pada kehamilan kurang dari 20
minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Semua hasil konsepsi telah
dikeluarkan, osteum uteri telah menutup, uterus sudah mengecil sehingga perdarahan
sedikit. Besar uterus tidak sesuai dengan umur kehamilan. Pemeriksaan USG tidak
perlu dilakukan bila pemeriksaan secara klinis sudah memadai. Pada pemeriksaan tes
urin biasanya masih positif sampai 7 - 10 hari setelah abortus. Pengelolaan penderita
tidak memerlukan tindakan khusus ataupun pengobatan. Biasanya hanya diberi
roboransia atau hematenik bila keadaan pasien memerlukan. Uterotonika tidak perlu
diberikan. (Sarwono, 2014)
Gambar 2.2 Abortus kompletus dan abortus inkompletus (Sarwono, 2014).
4.Abortus Inkompletus
a) Definisi
Abortus yang terjadi sebelum usia gestasi 10 minggu, janin dan plasenta
biasanya keluar bersama-sama. Bila kehamilan lebih besar akan terjadi sisa
kehamilan. Perdarahan pervaginam adalah gejala awal, bila jaringan plasenta
tertahan perlu dilakukan tindakan digital atau kuretase. Bila terjadi perdarahan
masif dapat terjadi syok hipovolemik (Handono, 2014). Sebagian hasil konsepsi
telah keluar dari kavum uteri dan masih ada yang tertinggal. Batasan ini juga
masih terpancang pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin
kurang dari 500 gram. Sebagian jaringan hasil konsepsi masih tertinggal di
dalam uterus di mana pada pemeriksaan vagina, kanalis servikalis masih terbuka
dan teraba jaringan dalam kavum uteri atau menonjol pada ostium uteri
eksternum. Perdarahan biasanya masih terjadi jumlahnya pun bisa banyak atau
sedikit bergantung pada jaringan yang tersisa, yang menyebabkan sebagian
placental site masih terbuka sehingga perdarahan berjalan terus. Pasien dapat
jatuh dalam keadaan anemia atau syok hemoragik sebelum sisa jaringan
konsepsi dikeluarkan. Pengelolaan pasien harus diawali dengan perhatian
terhadap keadaan umum dan mengatasi gangguan hemodinamik yang terjadi
untuk kemudian disiapkan tindakan kuretase. (Sarwono, 2014)
Abortus Inkomplit adalah salah satu jenis keguguran yang ditandai dengan
pengeluaran sebagian hasil konsepsi padabkehamilan sebelum usia 20 minggu
dengan masih ada sisa yang tertinggal di dalam uterus (Ekasari & Natalia, 2019).
b) Etiologi
Menurut buku Protokol forHigh- RiskPregnancies yang ditulis John T.
Queenan, MD., pasien dengan abortus 50% tidak diketahui penyebabnya.
Faktor-faktor yang meyebabkan abortus inkomplit(Duhita, 2014)
Faktor fetal
Keguguran pada hamil muda disebabkan abnormalitas zigot, atau plasenta.
Selain itu abnormalitas pada kromosom, abnormalitas kromosom
diturunkan dari gen kedua orang tuanya. Sekitar 95 % dari kelainan
kromosom disebabkan oleh kegagalan gametogenesis. Autosomaltrisomi
adalah kelainan kromosom yang paling sering ditemukan pada abortus
trimester awal. Adanya riwayat abortus sebelumnya akan meningkatkan
risiko fetalaneuploidy dari 1 % menjadi 2%. Kelainan monosomy X akan
menyebabkan sindrom Turner, dimana biasanya mengalami keguguran
dan kemungkinan kecil janin tidak akan bertahan sampai TM 3. Triploid
sering dihubungkan dengan Mola Hidatidosa parsial. Janin dengan jumlah
kromosom normal (Euploidy) (46 XY / XX) cenderung lebih lama
daripada janin dengan Aneuploidy.
Faktor imunologi
Hubungan ibu dan janin bisa hancur oleh sel natural killer yang diaktivasi
oleh kekebalan yan dibuat oleh sistem imun termasuk masalah hormon
dan hiperkoagulabilitas darah yang disebabkan oleh peningkatan antibodi
antikardiolipin yang mempunyai peran dalam merangsang keguguran.
Faktor lainnya disebabkan karena rokok, obat-obatan, stres, diet, faktor
lingkungan,dan infeksi.
Faktor Ibu
Faktor ibu yang dapat menyebabkan keguguran yaitu ibu yang mempunyai
penyakit mendadak misalnya radang paru- paru, tipus perut, radang ginjal,
malaria. Selain itu toksin, bakteri dan virus juga dapat menyebabkan
kematian janin melalui plasenta.
c) Komplikasi
Komplikasi akibat abortus inkomplit antara lain : Perdarahan, Perforasi, syok,
infeksi sampai dengan kematian. Perdarahan bisa dihentikkan dengan cara
melakukan tindakan kuret, yang tujuan untuk membersihkan jaringan yang tersisa
di uterus. kemudian perforasi dapat terjadi terutama pada uterus dalam posisi
hireretrofleksi. saat tejadi perforasi laparotomi segera dilakukan untuk
menentukkan luasnya perlukaan yang terjadi. Selain itu infeksi genetalia eksterna
yaitu staphylococci, sedangkan pada vagina ada lactobacili. Selain itu komplikasi
dapat terjadi kematian, kematian ibu sekitar 60 hingga70 % disebabkan oleh
perdarahan, abortus berkontribusi terhadap kematian sekitar 15 % (Leveno, 2016)
J. Pathway
5. Missed Abortion
Abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah meninggal dalam kandungan
sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil konsepsi seluruhnya masih tertahan dalam
kandungan. Penderita missed abortion biasanya tidak merasakan keluhan apa pun
kecuali merasakan pertumbuhan kehamilannya tidak seperti yang diharapkan. Bila
kehamilan di atas 14 minggu sampai 20 minggu penderita justru merasakan rahimnya
semakin mengecil dengan tanda-tanda kehamilan sekunder pada payudara mulai
menghilang. (Sarwono, 2014). Kadangkala missed abortion juga diawali dengan
abortus iminens yang kemudian merasa sembuh, tetapi pertumbuhan janin terhenti.
Pada pemeriksaan tes urin kehamilan biasanya negatif setelah satu minggu dari
terhentinya pertumbuhan kehamilan. Pada pemeriksaan USG akan didapatkan uterus
yang mengecil, kantong gestasi yang mengecil, dan bentuknya tidak beraturan
disertai gambaran fetus yang tidak ada tanda-tanda kehidupan. Bila missed abortion
berlangsung lebih dari 4 minggu harus diperhatikan kemungkinan terjadinya
gangguan penjendalan darah oleh karena hipofibrinogenemia sehingga perlu
diperiksa koagulasi sebelum tindakan evakuasi dan kuretase. (Sarwono, 2014)
6. Abortus Habitualis
Abortus spontan yang terjadi berturut-turut sebanyak tiga kali atau lebih tanpa
diketahui sebab yang jelas. Penyebab terjadinya abortus habitualis berkaitan dengan
penyebab umum seperti faktor genetik, faktor hormonal, faktor plasenta, dan faktor
infeksi. Dan dugaan penyebab khusus yaitu adanya serviks yang inkompeten dan
terdapat reaksi immunologis. (Manuaba, 2013). Abortus habitualis ialah abortus
spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturur-rurur. Penderita abortus habitualis
pada umumnya tidak sulit untuk menjadi hamil kembali, tetapi kehamilannya
berakhir dengan keguguran/abortus secara berturut-turut. Salah satu penyebab yang
sering dijumpai ialah inkompetensia serviks yaitu keadaan di mana serviks uterus
tidak dapat menerima beban untuk tetap bertahan menutup setelah kehamilan
melewati trimester pertama, di mana ostium serviks akan membuka (inkompeten)
tanpa disertai rasa mules/kontraksi rahim dan akhirnya terjadi pengeluaran janin.
Kelainan ini sering disebabkan oleh trauma serviks pada kehamilan sebelumnya,
misalnya pada tindakan usaha pembukaan serviks yang berlebihan, robekan serviks
yang luas sehingga diameter kanalis servikalis sudah melebar. (Sarwono, 2014)
7. Abortus Infeksiosus, Abortus Septik
Abortus infeksiosus ialah abortus yang disertai infeksi pada alat genitalia. Abortus
septik ialah abortus yang disertai penyebaran infeksi pada peredaran darah tubuh atau
peritoneum (septikemia atau peritonitis). Keiadian ini merupakan salah satu
komplikasi tindakan abortus yang paling sering terjadi apalagi bila dilakukan kurang
memperhatikan asepsis dan antisepsis. Abortus infeksiosus dan abortus septik perlu
segera mendapatkan pengelolaan yang adekuat karena dapat terjadi infeksi yang
lebih luas selain di sekitar alat genitalia juga ke rongga peritoneum, bahkan dapat ke
seluruh tubuh (sepsis, septikemia) dan dapat jatuh dalam keadaan syok septik.
(Sarwono, 2014)
8. Kehamilan Anembrionik (Blighted Ovum)
Kehamilan anembrionik merupakan kehamilan patologi di mana mudigah tidak
terbentuk sejak awal walaupun kantong gestasi tetap terbentuk. Di samping mudigah,
kantong kuning telur juga tidak ikut terbentuk. Kelainan ini merupakan suatu
kelainan kehamilan yang baru terdeteksi setelah berkembangnya ultrasonografi. Bila
tidak dilakukan tindakan, kehamilan ini akan berkembang terus walaupun tanpa ada
janin di dalamnya. Biasanya sampai sekitar 1,4 - 1,6 minggu akan terjadi abortus
spontan. (Sarwono, 2014)
2. Kehamilan Ektopik
a. Definisi Kehamilan Ektopik
Kehamilan ektopik ialah suatu kehamilan yang pertumbuhan sel telur yang telah
dibuahi tidak menempel pada dinding endometrium kavum uteri. Lebih dart 95 %
kehamilan ektopik berada di saluran telur (tuba Fallopii). Kejadian kehamilan
ektopik tidak sama diantara senter pelayanan kesehatan. Hal ini bergantung pada
kejadian salpingitis seseorang. Di Indonesia kejadian sekitar 5 - 6 per seribu
kehamilan. Patofisiologi terjadinya kehamilan ektopik tersering karena sel telur yang
sudah dibuahi dalam perjalanannya menuju endometrium tersendat sehingga embrio
sudah berkembang sebelum mencapai kavum uteri dan akibatnya akan tumbuh di
luar rongga rahim. Bila kemudian tempat nidasi tersebut tidak dapat menyesuaikan
diri dengan besarnya buah kehamilan, akan terjadi ruptura dan menjadi kehamilan
ektopik yang terganggu. (Sarwono, 2014)
c. Patologi
Pada proses awal kehamilan apabila embrio tidak bisa mencapai endometrium untuk
proses nidasi, maka embrio dapat tumbuh di saluran tuba dan kemudian akan
mengalami beberapa proses seperti pada kehamilan pada umumnya. Karena tuba
bukan merupakan suatu media yang baik untuk pertumbuhan embrio atau mudigah,
maka pertumbuhan dapat mengalami beberapa perubahan dalam bentuk berikut ini.
(Sarwono, 2014)
Hasil konsepsi mati dini dan diresorbsi.
Pada implantasi secara kolumner, ovum yang dibuahi cepat mati karena
vaskularisasi kurang dan dengan mudah terjadi resorbsi total. Dalam keadaan
ini penderita tidak mengeluh apa-apa, hanya haidnya terlambat untuk
beberapa hari.
Abortus ke dalam lumen tuba. (Abortus tubaria)
Perdarahan yang terjadi karena pembukaan pembuluh-pembuluh darah
oleh vili korialis pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan
mudigah dari dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya
pseudokapsularis. Pelepasan ini dapat terjadi sebagian atau seluruhnya,
bergantung pada derajat perdarahan yang timbul. Bila pelepasan menyeluruh,
mudigah dengan selaputnya dikeluarkan dalam lumen tuba dan kemudian
didorong oleh darah ke arah ostium tuba pars abdominalis. Frekuensi abortus
dalam tuba bergantung pada implantasi telur yang dibuahi. Abortus ke lumen
tuba lebih sering terjadi pada kehamilan pars ampularis, sedangkan
penembusan dinding tuba oleh vili korialis ke arah peritoneum biasanya
terjadi pada kehamilan pars ismika. Perbedaan ini disebabkan oleh lumen pars
ampularis yang lebih luas sehingga dapat mengikuti lebih mudah
pertumbuhan hasil konsepsi jika dibandingkan dengan bagian ismus dengan
lumen sempit. Pada pelepasan hasil konsepsi yang tidak sempurna pada
abortus, perdarahan akan terus berlangsung, dari sedikit-sedikit oleh darah,
sehingga berubah menjadi mola kruenta. Perdarahan yang berlangsung terus
menyebabkan tuba membesar dan kebirubiruan (hematosalping), dan
selanjutnya darah mengalir ke rongga perut melalui ostium tuba. Darah ini
akan berkumpul di kavum Douglasi dan akan membentuk hematokel
retrouterina.
e. Prognosis
Kematian pada mola hidatidosa disebabkan oleh perdarahan, infeksi, payah jantung
atau tirotoksikosis. Di negara maju kematian karena mola hampir tidak ada lagi.
Akan tetapi, di negara berkembang masih cukup tinggi yaitu berkisar antara 2,2 %
dan 5,7 %. Sebagian dari pasien mola akan segera sehatkembali setelah jaringannya
dikeluarkan, tetapi ada sekelompoK perempuan yang kemudian menderita degenerasi
keganasan menjadi koriokarsinoma.
● Plasenta previa atau komplit adalah plasenta yang menutupi seluruh ostium
uteri internum.
● Plasenta previa parsialis adalah plasenta yang menutupi sebagian ostium uteri
internum.
● Plasenta previa marginalis adalah plasenta yang tepinya berada pada pinggir
● Plasenta letak rendah adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah
rahim demikian rupa sehingga tepi bawahnya berada pada jarak lebih
kurang 2 cm dari ostium uteri internum. Jarak yang lebih dari 2 cm
dianggap plasenta letak normal.
c. Insiden
Plasenta previa lebih banyak pada kehamilan dengan paritas tinggi dan pada
usia di atas 30 tahun. Juga lebih sering terjadi pada kehamilan ganda daripada
kehamilan tunggal. Uterus bercacat ikut mempertinggi angka kejadiannya.
Pada beberapa Rumah Sakit Umum Pemerintah dilaporkan insidennya berkisar
1,7 % sampai dengan 2,9 %. Di negara maju insidensinya lebih rendah yaitu
kurang dari 1 % mungkin disebabkan berkurangnya perempuan hamil paritas
tinggi. Dengan meluasnya penggunaan ultrasonografi dalam obstetrik yang
memungkinkan deteksi lebih dini, insiden plasenta previa bisa lebih tinggi.
(Sarwono, 2014)
d. Etiologi
Penyebab blastokista berimplantasi pada segmen bawah rahim belumlah
diketahui dengan pasti. Mungkin secara kebetulan saja blastokista menimpa
desidua di daerah segmen bawah rahim tanpa latar belakang lain yang
mungkin. Teori lain mengemukakan sebagai salah satu penyebabnya adalah
vaskularisasi desidua yang tidak memadai, mungkin sebagai akibat dari proses
radang atau atrofi. Paritas ringgi, usia lanjut, cacat rahim misalnya bekas bedah
sesar, kerokan, miomektomi, dan sebagainya beperan dalam proses peradangan
dan kejadian atrofi di endometrium yang semuanya dapat dipandang sebagai
faktor risiko bagi teriadinya plasenta previa. (Sarwono, 2014)
e. Patofisiologi
Segmen bawah uterus tumbuh dan meregang setelah minggu ke 12
kehamilan, dalam minggu-minggu berikutnya ini dapat menyebabkan plasenta
terpisah dan menyebabkan terjadinya perdarahan. Perdarahan terjadi secara
spontan dan tanpa disertai nyeri, seringkali terjadi saat ibu sedang istirahat
(Sataloff dkk, 2014).
Segmen bawah uterus telah terbentuk pada usia kehamilan 20 minggu.
Usia kehamilan yang bertambah menyebabkan segmen-segmen bawah uterus
akan melebar dan menipis serta servik mulai membuka. Pelebaran segmen
bawah uterus dan pembukaan servik pada ibu hamil dengan plasenta previa
dapat menyebabkan terjadinya perdarahan. Darah yang keluar berwarna merah
segar, berlainan dengan darah yang disebabkan oleh solusio plasenta yang
berwarna merah kehitaman. Sumber perdarahannya adalah robeknya sinus
uterus akibat terlepasnya plasenta dari dinding uterus atau karena robekan sinus
marginalis dari plasenta. Makin rendah letak plasenta, makin dini perdarahan
terjadi karena ketidakmampuan serabut otot segmen bawah uterus untuk
berkontraksi (Wiknjosastro, 2014).
Plasenta previa dapat mengakibatkan terjadinya anemia bahkan syok,
terjadi robekan pada serviks dan segmen bawah rahim yang rapuh, bahkan
infeksi pada perdarahan yang banyak sampai dengan kematian (Manuaba,
2012).
f. Gambaran Klinis
Ciri yang menonjol pada plasenta previa adalah perdarahan uterus
keluar melalui vagina tanpa rasa nyeri. Perdarahan biasanya baru terjadi pada
akhir trimester kedua ke atas. Perdarahan pertama berlangsung tidak banyak
dan berhenti sendiri. Perdarahan kembali terjadi tanpa sesuatu sebab yang
jelas setelah beberapa waktu kemudian, jadi berulang. Pada setiap
pengulangan terjadi perdarahan yang lebih banyak bahkan seperti mengalir.
Pada plasenta letak rendah perdarahan baru terjadi pada waktu mulai
persalinan; perdarahan bisa sedikit sampai banyak mirip pada solusio
plasenta. Perdarahan diperhebat berhubung segmen bawah rahim tidak
mampu berkontraksi sekuat segmen atas rahim. Dengan demikian, perdarahan
bisa berlangsung sampai pascapersalinan. Perdarahan bisa juga bertambah
disebabkan serviks dan segmen bawah rahim pada plasenta previa lebih rapuh
dan mudah mengalami robekan. Robekan lebih mudah terjadi pada upaya
pengeluaran plasenta dengan tangan misalnya pada retensio plasenta sebagai
komplikasi plasenta akreta. Berhubung plasenta terletak pada bagian bawah,
maka pada palpasi abdomen sering ditemui bagian terbawah janin masih
tinggi di atas simfisis dengan letak janin tidak dalam letak memanjang.
Palpasi abdomen tidak membuat ibu hamil merasa nyeri dan perut tidak
regang. (Sarwono, 2014)
g. Diagnosis Komplikasi
1. Placenta abrupstio.
Pemisahan Placenta dari dinding Rahim
2. Perdarahan sebelum atau sesudah melahirkan yang dapat menyebabkan
histerektomi ( operasi pengangkatan Rahim)
3. Placenta akreta, Placentas inkreta, placenta perkreta
Plasenta akreta : plasenta melekat pada otot polos rahim/myometrium
(75%), Plasenta inkreta : plasenta menembus myometrium (18%),
Plasenta perkreta : plasenta menembus dinding luar rahim bahkan sampai
ke organ sekitar terutama kandung kemih (7%)
4. Prematur atau kelahiran sebelum waktunya (<37 minggu)
5. Kecacatan pada bayi
h. Penanganan
Semua pasien atau ibu dengan perdarahan pervaginam pada kehamilan trimester
ke -3, harus dirawat dirumah sakit tanpa periksa dalam ( touche vagina). Bila
pasien dalam keadaan syok karena perdarahan yang banyak, harus segera
dilakukan perbaikan keadaan umumnya dengan pemberian infus atau transfusi
darah (Maryunani dan Yulianingsih, 2017)
2. Solusio Plasenta
Solusio plasenta adalah lepasnya plasenta dari tempat implantasinya pada
korpus uteri sebelum bayi lahir. Dapat terjadi pada setiap saat dalam kehamilan.
Terlepasnya plasenta dapat sebagian (parsialis), atau seluruhnya (totalis) atau
hanya rupture pada tepinya (rupture sinus marginalis) (dr.Handayo,dkk, 2010).
Solusio plasenta adalah pelepasan plasenta dari tempat implantasi normalnya di
rahim sebelum kelahiran dan merupakan salah satu penyebab perdarahan ibu
hamil pada trimester ketiga yang terkait dengan kematian ibu dan janin.
(https://www.halodoc.com/kesehatan/solusio-plasenta)
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan
maternal plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada lapisan desidua
endometrium sebelum waktunya. Istilah lain dari solusio plasenta adalah ablatio
plasentae, abruptio plasentae, accidental haemorrhage dan prematur separation of
the normally implanted placenta.
Perdarahan yang berasal dari solusio plasenta yang luas bisa terjadi karena
perdarahan eksternal, perdarahan tersembunyi, dan plasenta previa parsial .
Perdarahan yang berasal dari solusio plasenta yang luas . Perdarahan eksternal:
plasenta terlah terlepas di bagian perifer: membran antara plasenta dan kanalis
servisis uteri juga terlepas dari desidua dibawahnya. Hal ini memungkinkan
darah mengalir keluar vagina. Perdarahan terselubung: tepi plasenta dan
membran masih melekat darah masih tertahan dalam uterus. Plasenta previa
parsial terdapat pelepasan plasenta dan perdarahan eksternal Bila terjadi pada
kehamilan di bawah 20 minggu gejala kliniknya serupa dengan abortus iminens.
Secara definitif diagnosisnya baru bisa ditegakkan setelah partus jika terdapat
hematoma pada permukaan maternal plasenta.
Solusio plasenta sebenarnya lebih berbahaya daripada plasenta previa bagi
ibu hamil dan janinnya. Pada perdarahan tersembunyi ( concealed hemorhage)
yang luas dimana perdarahan retroplasenta yang banyak dapat mengurangi
sirkulasi uteroplasenta dan menyebabkan hipoksia janin. Di samping itu,
pembentukan hematoma retroplasenta yang luas bisa menyebabkan koagulopati
konsumsi yang fatal bagi ibu.
● Kelas 0 : asimptomatik
Solusio plasenta sedang dalam hal ini plasenta telah lebih dari
seperempatnya tetapi belum sampai dua pertiga luas permukaannya.
Perdarahan pervaginam luas > 500 ml, uterus tetanik, syok maternal
sampai kematian janin dan koagulopati.
4) Berdasarkan ada atau tidaknya perdarahan pervagin
Plasenta yang terlepas > ½ bagian, perdarahan > 1000 ml, terdapat
fetal distress sampai dengan kematian janin, syok maternal serta
koagulopati
b. Etiologi
Penyebab utama dari solusio plasenta masih belum diketahui dengan jelas.
Meskipun demikian, beberapa hal di bawah ini diduga merupakan faktor-faktor
yang berpengaruh pada kejadiannya, antara lain sebagai berikut :
1) Usia, Paritas, Ras, dan Faktor Familial
Insidens solusio plasenta meningkat sesuai dengan usia ibu. Pada
penelitian FASTER (First and Second trimester Evaluation of Risk)
perempuan yang berusia lebih dari 40 tahun ditemukan 2,3 kali lipat lebih
mungkin mengalami solusio dibandingkan perempuan yang berusia ≤ 35
tahun. Diantara hampir 170.000 pelahiran yang dilaporkan pada rumah
sakit Parkland, solusio plasenta lazim terjadi pada perempuan Afrika-
Amerika dan Kaukasian (1:200) dibandingkan perempuan Asis (1:300)
atau Amerika latin (1:450). Jika seorang perempuan pernah mengalami
solusio plasenta berat, risiko untuk saudara perempuannya akan meningkat
2x lipat dan risiko yang dapat diwariskan sebesar 16%.
2) Hipertensi
Kondisi yang sangat dominan berkaitan dengan solusio plasenta
adalah suatu bentuk hipertensi (hipertensi gestasional, preeklamsia,
hipertensi kronis, atau kombinasi). Sibai melaporkanbahwa 1,5% diantara
perempuan hamil dengan hipertensi kronis mengalami solusio plasenta.
Keparahan hipertensi tidak selalu berhubungan dengan insiden solusio
plasenta, selain itu dari sebuah pengamatan oleh Magpie Tripel
Collaborative Group memberikan gambaran bahwa perempuan dengan
preeklamsia mungkin mengalami risiko solusio plasenta yang lebih rendah
jika diterapi dengan Magnesium Sulfat.
2) Pada solusio plasenta, darah dari tempat pelepasan akan mencari jalan
keluar antara selaput janin dan dinding rahim hingga akhirnya keluar dari
serviks hingga terjadilah perdarahan keluar atau perdarahan terbuka.
Terkadang darah tidak keluar, tetapi berkumpul di belakang plasenta
membentuk hematom retroplasenta. Perdarahan semacam ini disebut
perdarahan ke dalam atau perdarahan tersembunyi. Solusio plasenta
dengan perdarahan tersembunyi menimbulkan tanda yang lebih khas
karena seluruh perdarahan tertahan di dalam dan menambah volume
uterus. Umumnya lebih berbahaya karena jumlah perdarahan yang keluar
tidak sesuai dengan beratnya syok. Perdarahan pada solusio plasenta
terutama berasal dari ibu, namun dapat juga berasal dari anak.
d. Gambaran Klinis
e. Diagnosis
1) Diagnosis solusio plasenta kadang sukar ditegakkan.
2) Penderita biasanya datang dengan gejala klinis :
✔ Ruptur uteri
✔ Retardasi pertumbuhan
✔ Anemia
g. Penatalaksaan
Tujuan utama pelaksanaan ibu dengan solusio plasenta, pada prinsipnya
adalah anak :
1) Mencegah kematian ibu
2) Menghentikan sumber perdarahan
3) Jika janin masih hidup, mempertahankan dan mengusahakan janin lahir
hidup
Prinsip utama penatalaksanaannya antara lain :
1) Pasien (ibu) dirawat dirumah sakit, istirahat baring dan mengukur
keseimbangan cairan
2) Optimalisasi keadaan umum pasien (ibu), dengan perbaikan :
memberikan infuse dan transfuse darah segar
3) Pemeriksaan laboratorium : hemoglobin, hematokrit, COT (Clot
Observation Test/test pembekuan darah), kadar fibrinogen plasma,
urine lengkap, fungsi ginjal
4) Pasien (ibu) gelisah diberikan obat analgetika
5) Terminasi kehamilan : persalinan segera, pervaginam atau section
caesaria. Yang tujuannya adalah untuk menyelamatkan nyawa janin
dan dengan lahirnya plasenta, berjutuan agar dapat menghentikan
perdarahan.
6) Bila terjadi gangguan pembekuan darah (COT >30 menit) diberikan
darah segar dalam jumlah besar dan bila perlu fibrinogen dengan
monitoring berkala pemeriksaan COT dan hemoglobin.
7) Untuk mengurangi tekanan intrauterine yang dapat menyebabkan
nekrosis ginjal (reflek utero ginjal) selaput ketuban segera dipecahkan.
Yang perlu diketahui oleh semua bidan yaitu penanganan di tempat
pelayanan kesehatan tingkat dasar ialah mengatasi syok/pre-syok dan
mempersiapkan rujukan sebaik- baiknya dan secepat-cepatnya.
Mengingat komplikasi yang dapat terjadi yaitu perdarahan banyak dan
syok berat hingga kematian, atonia uteri, kelainan pembekuan darah
dan oliguria. Maka sikap paling utama dari bidan dalam menghadapi
solusio plasenta adalah segera melakukan rujukan ke rumah sakit
3. Ruptura Uteri
Ruptur uteri merupakan komplikasi gawat dalam bidang obstetri yang
memerlukan tindakan dan penanganan serius. (Manuaba, 2013). Ruptur uterus
adalah robeknya dinding uterus pada saat kehamilan atau persalinan pada saat
umur kehamilan lebih dari 28 minggu.
Ruptur uteri adalah Keadaan robekan pada rahim dimana telah terjadi
hubungan langsung antara rongga amnion dan rongga peritoneum atau
hubungan kedua rongga masih dibatasi oleh peritoneum viserale. (Sarwono,
2016)
a) Klasifikasi
Klasifikasi ruptura uteri menurut sebabnya adalah sebagai berikut :
berkembang.
● Aspek Anatomik
● Aspek Sebab
● Aspek Waktu
● Aspek Sifat
● Aspek Gradasi
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PERDARAHAN
KEHAMILAN AWAL ABORTUS INKOMPLIT
1. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas klien
Identititas ini meliputi : nama, umur, agama, suku, pendidikan, pekerjaan, alamat.
b. Data subjektif
Data subjektif adalah data yang didapat dari pasien sebagai suatu pendapat terhadap
suatu situasi data klien. Data tersebut tidak dapat ditentukan oleh petugas kesehatan
secara independen tapi melalui suatu interaksi atau komunikasi secara langsung
dengan klien.
Untuk mengetahui alasan yang membuat pasien datang yang berhubungan dengan
abortus inkomplit. Keluhan utama untuk mengetahui masalah yang sedang
dihadapi berkaitan dengan masa kehamilan,misalnya ada pengeluaran darah dari
jalan lahir, pada kasus abortus biasa terjadi pengeluaran darah dari jalan lahir, badan
terasa lemas, nyeri perut dan penglihatan kunang-kunang.
d. Riwayat penyakit sekarang
Ada tidaknya riwayat penyakit yang diderita sekarang
e. Riwayat penyakit dahulu
Untuk mengetahui kemungkinan adanya riwayat atau penyakit akut, dan kronis
seperti jantung, DM, hipertensi, asma yang dapat mempengaruhi pada masa nifas
ini.
Untuk mengetahui apakah keluarga ada yang menderita penyakit seperti asma,
hepatitis, diabetes melitus derta penyakit menular seperti TBC dan hepatitis.
g. Riwayat menstruasi
Meliputi : haid pertama, siklus haid, lamanya haid, jumlah darah yang keluar,
pernahkan mengalami nyeri haid.
h. Riwayat pernikahan
Untuk mengetahui status pernikahan, lamanya pernikahan, menikah atau tidak
menikah, berapa kali perkawinan dan berapa jumlah anak yang dilahirkan.
i. Riwayat KB
Kaji apakah pasien pernah mengikuti KB kontrasepsi, jenis kontrasepsi, berapa lama
pemakaian, rencana KB setelah kuret dan kontrasepsi apa yang digunakan.
j. Riwayat kehamilan sekarang
Untuk mengetahui selama masa kehamilan, apakah ibu terdapat penyakit, dan upaya
yang dilakukan untuk mengatasi penyakit tersebut.
k. Pemeriksaan fisik (Head to Toe)
1) Status generalis
a) Keadaan umum : Setelah dilakukan kuret biasanya hasil yang didapatkan
sedang. Adapun tanda-tanda dari post kuret yaitu adanya nyeri,dan lemas.
b) Kesadaran : komposmentis, apatis, somnolen, atau koma.
2) Vital Sign
a) Tekanan darah, dilakukan pemeriksaan tekanan darah, sistolik 90-
130mmHg dan diastolik 70-90mmHg, tekanan darah pada abortus normal
atau menurun.
b) Suhu tubuh, normalnya 36,5º-37,5ºC.
c) Nadi, untuk mengetahui denyut nadi pasien dilakukan pemeriksaan, normal
nadi 60-100 x/ menit. Pada pasien yang mengalami keguguran biasanya
denyut nadi normal, cepat dan lambat. (Irianti, 2014)
d) Respirasi Rate, periksa frekuensi pernafasan yang dihitung dalam menit,
normalnya 16-24 x/ menit. Pada kasus abortus biasanya didapatkan hasil
pernapasan lebih lambat.
3) Tinggi Badan
Bila badan kurang dari 145 cm perlu diwaspadai kemungkinan ibu mempunyai
panggul yang sempit.
4) Lingkar Lengan Atas
Normal LILA pada ibu hamil 2,35cm, jika kurang dari 2,35cm maka dianggap
status gizi kurang.
5) Pemeriksaan kepala
Pemeriksaan kepala meliputi mata,hidung,mulut dan gigi, leher,rambut
6) Pemeriksaan dada
Ada tidaknya nyeri dada, pergerakan pernapasan, payudara membesar, areola
ukuran lebih luas.
7) Pemeriksaan abdomen
Untuk mengetahui keadaan kontraksi uterus, TFU.
P
8) Genetalia
Meliputi kebersihan, raba kulit didaerah selakangan, pada keadaan normal
tidak teraba benjolan kelenjar.
9) Ektremitas
Untuk mengetahui apakah terdapat varises.
10) Pemeriksaan penunjang
Meliputi pemeriksaan tes kehamilan, laboratorium, dan pemeriksaan USG
untuk mengetahui apakah jain asih hidup (Jannah, 2012)
c. Risiko Perdarahan
Diagnosa risiko merupakan diagnosa keperawatan yang menggambarkan
penilaian klinis dimana individu atau kelompok lebih rentan mengalami
masalah diabnding orang lain dalam situasi yang sama atau serupa (Purba,
2019)
Definisi : Berisiko mengalami kehilangan darah baik internal (terjadi di dalam
tubuh) maupun eksternal (terjadi hingga keluar tubuh) (SDKI, 2017)
Tujuan dan kriteria hasil yang ditetapkan yaitu : setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x8 jam, maka tingkat perdarahan menurun, dengan kriteria
hasil : perdarahan vagina menurun (menjadi normal 80 cc/perhari, tidak disertai
gumpalan), membrane mukosa lembap , tekanan darah, nadi dan suhu tubuh
tetap normal (SLKI, 2018)
Intervensi (SIKI, 2018) :
1) Monitor tanda dan gejala perdarahan
2) Monitor tanda-tanda vital
3) Pertahankan bedrest selama perdarahan
4) Anjurkan meningkatkan asupan makanan dan vitamin K
P
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat penulis ambil antara lain:
1. Perdarahan pada kehamilan sendiri berarti perdarahan melalui vagina yang
terjadi pada masa kehamilan, bukan perdarahan dari organ atau sistem lainnya.
Perdarahan pada kehamilan adalah masalah yang cukup serius yang terjadi pada
masyarakat Indonesia yang mengakibatkan mortalitas yang cukup tinggi pada
ibu-ibu di Indonesia. Oleh karena dapat membahayakan keselamatan ibu dan
janin. (Ratna,2018).
2. Asuhan keperawatan perdarahan kehamilan awal pada abortus inkomplit terdiri
dari:
a. pendahuluan yang membahas tentang Latar Belakang, Tujuan Penulisan,
Metode Penulisan, Ruang Lingkup Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
b. Tinjauan Teoritis perdarahan kehamilan awal dan lanjut.
c. Asuhan Keperawatan terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan, dan
rencana pelaksanaan.
B. Saran
Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan perdarahan kehamilan awal dan
lanjut, penulis menyampaikan saran kepada :
1. Bagi Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Diharapkan fasyankes mampu menetapkan suatu kebijakan dalam penangan
kasus pasien dengan perdarahan kehamilan awal dan lanjut. Fasilitas pelayanan
Kesehatan juga dapat mengajukan pelatihan bagi perawat untuk membantu
meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam melaksanakan asuhan
keperawatan pada pasien.
2. Bagi Perawat
Diharapkan perawat dapat memberikan asuhan keperawatan perdarahan
kehamilan awal abortus inkomplit.
3. Bagi Keluarga
Diharapkan keluarga dapat mendukung dan mengawasi ibu hamil agar tidak
terjadi perdarahan kehamilan awal dan lanjut.
P
DAFTAR PUSTAKA