Anda di halaman 1dari 73

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi kuman

Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis adalah batang aerobik tahan

asam yang tumbuh dengan lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar ultraviolet.

Tuberkulosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, termasuk meninges, ginjal,

tulang, dan nodus limfe (Smeltzer, 2002)

Indonesia menduduki peringkat ke-2 di dunia dalam jumlah kasus TB, baik

dalam jumlah keseluruhan kasus maupun kasus baru. Berdasarkan laporan WHO, di

tahun 2017 diperkirakan ada 1.020.000 kasus TB di Indonesia, namun baru terlapor

ke Kementerian Kesehatan sebanyak 420.000 kasus. Jumlah tersebut mengalahkan

Tiongkok di urutan ketiga yang memiliki sekitar 1,4 milyar penduduk. Hanya satu

negara yang lebih buruk jumlah kasus TB-nya dari Indonesia, yakni India yang

memiliki jumlah penduduk 1,3 milyar.Pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan

pada perempuan. Bahkan berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada

laki-laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang terjadi di

negara-negara lain. Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada

fakto risiko TBC misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Survei

ini menemukan bahwa dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5%

dan hanya 3,7% partisipan perempuan yang merokok.

Untuk prevalensi penyakit syndrome obstruktif post tuberculosis di Balai Besar

Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Makassar mulai dari bulan Januari 2019 sampai

tanggal 31 Desember 2019 terdapat 524 pasien yang dirujuk ke poli fisioterapi BBKPM.

(BBKPM, 2019).

1
Tuberkulosis paru ini juga meninggalkan gejala sisa yang dinamakan Sindrom

Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT) yang cukup meresahkan. Gejala sisa yang paling

sering ditemukan yaitu gangguan faal paru dengan kelainan obstruktif yang memiliki

gambaran klinis mirip Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)

Patogenesis timbulnya SOPT sangat kompleks, kemungkinan penyebabnya

adalah akibat infeksi TB yang dipengaruhi oleh reaksi 2 imunologis perorangan

sehingga terjadi mekanisme makrofag aktif yang menimbulkan reaksi peradangan

nonspesifik yang luas. Peradangan yang berlangsung lama ini menyebabkan proses

proteolisis dan beban oksidasi sangat meningkat untuk jangka lama sehingga destruksi

matriks alveoli terjadi cukup luas dan akhirnya mengakibatkan gangguan faal paru.

Berdasarkan penjelasan di atas, pasien dengan kasus Sindrom Obstruksi Pasca

Tuberkulosis (SOPT) menimbulkan berbagai tingkat gangguan yaitu berupa adanya

sputum, terjadinya perubahan pola pernapasan, rileksasi menurun, perubahan postur

tubuh, berat badan menurun dan gerak lapang paru menjadi tidak maksimal bila tidak

segera dilakukan penanganan atau tindakan fisioterapi.

Dari permasalahan tersebut, modalitas fisioterapi yang bisa digunakan MWD,

TENS, Postural Drainage, Pursed Lip Breating, dan Diafragma Breathing pada kondisi

Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis (SOPT).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Kasus

1. Definisi Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis

SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca tuberkulosis) adalah penyakit obstruksi

saluran napas yang ditemukan pada penderita pasca tuberkulosis dengan lesi

paru yang minimal yang masih sering ditemukan pada pasien pasca

Tuberkulosis dalam praktik klinik (Irawati, 2013).

Kerusakan paru yang terjadi pada penyakit saluran pernapasan obstruktif

adalah komplikasi yang terjadi pada sebagian besar penderita Tuberkulosis

pasca pengobatan. Gejala sisa yang paling sering ditemukan yaitu gangguan

faal paru dengan kelainan obstruktif yang memiliki gambaran klinis mirip

penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) (Shetty, 2010). Hilangnya fungsi paru

paling tinggi terjadi pada 6 bulan saat diagnosis tuberkulosis dan 12 bulan

setelah dinyatakan sembuh dari tuberkulosis (Sailaja, 2015).

2. Anatomi dan Fisiologi

a. Anatomi pada Paru-paru

1) Traktus Respiratorius Bagian Atas

Traktus respiratorius bagian atas terdiri dari banyak bagian dan fungsinya

yaitu :

3
Gambar 1.1 Traktus respiratorius

a) Hidung

Bagian anterior dari hidung dari bagi dalam paruhan kiri dan

kanan oleh septum nasi. Setiap paruhan dibagi secara tidak lengkap

menadi empat daerah yang mengandung saluran nasal yang berjalan

kebelakang mengarah pada nasofaring. Area tepat dalam lubang

hidung dilapisi oleh kulit yang mengandung rambut yang kasar. Sisa

dari interior dilapisi oleh membrana mukosa.

Fungsi dari hidung adalah membawa udara dari dan ke paruparu

dan menghangatkan udara saat diinspirasi. Bulu di dalam lubang

hidung dan silia yang melapisi membrana mukosa bertindak untuk

mengangkat debu dan benda asing lain dari udara.

Jika terjadi infeksi, efek lokal utama adalah iritasi dari sel mulkus

yang menyebabkan produksi mukus yang berlebihan, pembengkakan

dari membrana mukosa akibat edema lokal dan kongesti dari

pembuluh darah. Saluran hidung cenderung menjadi terblokir oleh

pembengkakan mukosa dan sekresi virus, sekret jernih, tetapi jika

4
terdapat invasi sekunder bakteri, sekret menjadi kekuning-kuningan

atau kehijauan akibat adanya pus ( neutrofil mati dan granulose ).

b) Faring

Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya

seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah

serta terletak pada bagian anterior kolum vertebra. Kantong ini mulai

dari dasar tengkorak terus menyambung ke esophagus setinggi

vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan dengan rongga

hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan rongga mulut

melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah

berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan

esophagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa

kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang

terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput

lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia

bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan

laringofaring (hipofaring). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut

lendir (mukosa blanket) dan otot.

Adapun Faring yang terbagi menjadi 3 bagian, yaitu:

(a) Nasofaring

(b) Orofaring

(c) Laringofaring (Hipofaring)

5
c) Laring

Laring terletak di depan faring dan diatas permulaan trakhea.

Terutama terdiri dari tulang rawan tiroid dan tricoid dan tujuh tulang

rawan lain yang dihubungkan secara bersama oleh membrana. Suatu

struktur tulang rawan tergantung diatas tempat masuk ke laring ini

merupakan epiglotis yang mengawal glotis selama menelan,

mencegah makanan masuk laring dan trakhea. Inflamasi dari

epiglotis dapat menimbulkan obstruksi terhadap saluran pernafasan.

Bagian interior laring mengandung dua lipatan membrana

mukosa yang terlentang melintasi ringga dari laring dari bagian

tengah tulang rawan tiroid ke tulang rawan arytenoid. Ini merupakan

pita atau lipatan suara. Selama pernafasan biasa pita suara terletak

dalam jarak tertentu dari garis tengah dan udara respirasi melintas

secara bebas diantaranya tanpa menimbulkan keadaan vibrasi.

Selama insiprasi dalam yang dipaksaan mereka berada dalam

keadaan lebih abduksi, sementara selama berbicara atau menyanyi

mereka dalam keadaan adduksi. Perubahan ini dipengaruhi oleh otot-

otot kecil. Pada anak-anak, pita suara lebih pendek dibandingkan

dengan orang dewasa.

Laring berfungsi sebagai alat respirasi dan fonasi tetapi pada saat

yang sama ambil bagian dalam deglutisi, selama waktu mana laring

akan menutup dalam usaha mencegah makanan memasuki traktus

respiratorius makanan bagian bawah. Laring juga tertutup selama

regurgitasi makanan sehingga mencegah terjadinya aspirasi makanan.

6
Refleks penutupan ini tergantung pada koordinasi neurimuskuler

yang kemungkinan tidak bekerja secara penuh pada bayi, sehingga

mengarah pada spasme.

d) Trakhea

Trakea merupakan suatu saluran rigid yang memeiliki

panjang 11-12 cm dengan diametel sekitar 2,5 cm. Terdapat pada

bagian oesephagus yang terentang mulai dari cartilago cricoid masuk

ke dalam rongga thorax. Tersusun dari 16 – 20 cincin tulang rawan

berbentuk huruf “C” yang terbuka pada bagian belakangnya.

Didalamnya mengandung pseudostratified ciliated columnar

epithelium yang memiliki sel goblet yang mensekresikan mukus.

Terdapat juga cilia yang memicu terjadinya refleks batuk/bersin.

Trakea mengalami percabangan pada carina membentuk bronchus

kiri dan kanan.

2) Traktus Respiratorius Bawah

a. Bronkus

Gambar 1.2 Bronkus

7
Bronkus terbagi menjadi bronkus kanan dan kiri. Bronkus

lobaris kanan (3 lobus) dan bronkus lobaris kiri (2 bronkus). Bronkus

lobaris kanan terbagi menjadi 10 bronkus segmental dan bronkus

lobaris kiri terbagi menjadi 9 bronkus segmental.Bronkus

segmentalis ini kemudian terbagi lagi menjadi bronkus subsegmental

yang dikelilingi oleh jaringan ikat yang memiliki : arteri, limfatik dan

saraf.

(a) Bronkus Primer (Utama) kanan berukuran lebih pendek, lebih

tebal, dan lebih lurus dibandingkan bronkus primer kiri karena

arkus aorta membelokkan trakea bawah ke kanan. Objek asing

yang masuk ke dalam trakea kemungkina di tempatkan dalam

bronkus kanan.

(b) Setiap bronkus primer bercabang sembilan sampai dua belas kali

untuk membentuk bronki sekunder dan tertier dengan diameter

yang semakin kecil. Saat tuba semakin menyempit, batang atau

lempeng kartilago mengganti cincin kartilago.

(c) Bronkiolus adalah bronkus segmental bercabang-cabang menjadi

bronkiolus. Bronkiolus mengadung kelenjar submukosa yang

memproduksi lendir yang membentuk selimut tidak terputus

untuk melapisi bagian dalam jalan napas.Dinding bronkiolus

mengandung otot polos & dipersarafi oleh sistem saraf otonom,

peka terhadap hormon tertentu dan zat kimia tertentu.

8
(d) Bronkiolus terminalis adalah bronkiolus membentuk percabangan

menjadi bronkiolus terminalis (yang tidakmempunyai kelenjar

lendir dan silia).

(e) Bronkiolus respiratori adalah bronkiolus terminalis kemudian

menjadi bronkiolus respiratori. Bronkiolus respiratori dianggap

sebagai saluran transisional antara jalan napas konduksi dan jalan

udara pertukaran gas.

(f) Duktus alveolar dan Sakus alveolar bronkiolus respiratori

kemudian mengarah ke dalam duktus alveolar dan sakus alveolar

dan kemudian menjadi alveoli.

b. Alveoli

Pertukaran O2dan CO2 terjadi di alveoli. Terdapat sekitar 300

juta yang jika bersatu membentuk satu lembar akan seluas 70

m2.Alveoli dan kapiler polmuner, Arteri polmuner membawa O2 dari

jantung ke paru-paru. Melalui vena polmuner darah kembali ke

jantung.

Gambar. 1.3 Alveoli

c. Paru-paru

9
Paru kanan dibagi atas tiga lobus yaitu lobus superior, medius

dan inferior. Paru kiri dibagi dua lobus yaitu lobus superior dan

inferior. Tiap lobus dibungkus oleh jaringan elastik yang

mengandung pembuluh limfe, arteriola, venula, bronchial venula,

ductus alveolar, sakkus alveolar dan alveoli. Diperkirakan bahwa

setiap paru-paru mengandung 150 juta alveoli, sehingga mempunyai

permukaan yang cukup luas untuk tempat permukaan/pertukaran gas.

Gambar 1. 4 Paru-paru

(a) Paru kanan dibagi atas tiga lobus yaitu:

(1) Lobus superior terdiri dari 3 segmen yaitu segment apical,

posterior, dan anterior.

(2) Lobus medius terdiri dari 2 segment yaitu segmen lateral dan

medial.

(3) Lobus inferior terdiri dari 5 segment yaitu segmen

superior,medial basal, anterior basal, lateral basal,dan

posterior basal.

10
(b) Paru kiri dibagi dua lobus yaitu

(1) Lobus superior terdiri dari 3 segmen apical, posterior, dan

anterior.

(2) Lingual terdiri dari segmen superiordan inferior.

(3) Lobus inferior terdiri dari 4 segment yaitu segmen anterior

basal, lateral basal, superior dan posterior basal.

Gambar 1.5 Segmen Paru.

Paru-paru dibungkus oleh pleura. Pleura ada yang menempel

langsung ke paru, disebut sebagai pleura visceral. Sedangkan pleura

parietal menempel pada dinding rongga dada dalam.

Diantara pleura visceral dan pleura parietal terdapat cairan

pleura yang berfungsi sebagai pelumas sehingga memungkinkan

pergerakan dan pengembangan paru secara bebas tanpa ada gesekan

dengan dinding dada.

11
(a) Volume Paru-paru

(1) Volume dan Kapasitas Paru.

Volume udara dalam paru-paru dan kecepatan pertukaran saat

inspirasi dan ekspirasi dapat diukur melalui spirometer.

(2) Volume Tidal (VT), yaitu volume udara yang masuk dan

keluar paru-paru selama ventilasi normal biasa. Nilai VT pada

dewasa normal sekitar 500 ml untuk laki-laki dan 380 ml

untuk wanita.

(3) Volume Cadangan Inspirasi (VCI), yaitu volume udara ekstra

yang masuk ke paru-paru dengan inspirasi maksimum di atas

inspirasi tidal. CDI berkisar 3100 ml pada laki-laki dan 1900

ml pada perempuan.

(4) Volume Cadangan Ekspirasi (VCE) yaitu volume ekstra

udara yang dapat dengan kuat dikeluarkan pada akhir

ekspirasi tidak normal. VCE berkisar 1200 ml pada laki-laki

dan 800 ml pada perempuan.

(5) Volume Residual (VR), yaitu volume sisa dalam paru-paru

setelah melakukan ekspirasi kuat. Rata-rata pada laki-laki

1200 ml dan pada perempuan 1000 ml. Volume

residual penting untuk kelangsungan aerasi dalam darah saat

jeda pernapasan.

(b) Kapasitas Paru-paru

(1) Kapasitas Residual Fungsional (KRF) adalah penambahan

volume residual dan volume cadangan ekspirasi. Kapasitas ini

12
merupakan jumlah udara sisa dalam sistem respiratorik

setelah ekspirasi normal. Nilai rata-ratanya adalah 2200 ml.

jadi nilai (KRF=VR+VCE).

(2) Kapasitas inspirasi (KI) adalah penambahan volume tidal dan

volume cadangan inspirasi. Nilai rata-ratanya adalah 3500 ml.

jadi nilai (KI=VT+VCI).

(3) Kapasitas Vital (KV) yaitu penambahan volume tidal, volume

cadangan inspirasi dan volume cadangan ekspirasi

(KV=VT+VCI+VCE). Nilai rata-ratanya sekitar 4500 ml.

(4) Kapasitas Total Paru (KTP) adalah jumlah total udara yang

dapat ditampung dalam paru- paru dan sama dengan kapasitas

vital ditambah volume residual (KTP=KV+VR). Nilai rata-

ratanya adalah 5700 ml.

a) Otot-otot Respirasi

1) Inspirasi

(a) Diaphragma

Otot ini letaknya diantara rongga perut dan rongga dada

dan di bagian tengahnya berbentuk kubah. Otot ini adalah otot

utama yang besar dari inspirasi yang akan bekerja selama

inspirasi rileks. Otot ini disarafi oleh nervus Phernic dari akar

saraf C3-C5.

(1) Intercostalis External

(2) Otot-otot Bantu Inspirasi (Accessory Muscle Inspirasi)

Yang termasuk dalam otot bantu pernapasan ini adalah :

13
a. Sternocleidomastoideus (SCM)

b. Upper Trapezius

c. Scaleni

Otot-otot lain seperti serratus anterior, pectoralis mayor dan

minor juga akan berperan aktif selama Deep Inspirasi untuk

mengangkat dan menarik kedepan costa bila upper extremitas

di fiksasi.

2) Ekspirasi

(a) Ekspirasi Rileks

Yang dimaksud dengan ekspirasi rileks adalah suatu

proses pasif saat seseorang rileks atau istirahat yang dimulai

setelah diaphragma kontraksi lalu bagian kubah atau sentral

diaphragm naik kembali ke posisi semula dan costa menjadi turun

ke posisi semula. Elastisitas recoil dari jarigan thoraks juga akan

menurunkan meningkatkan tekanan intrarhoracal sehingga terjadi

ekspirasi.

(1) Aktif Ekspirasi

Yang dimaksud dengan aktif ekspirasi adalah

ekspirasi yang dilakukan secara sadar dengan terkontrol, kuat

dan panjang sehingga secara aktif otot ekspirasi berkontraksi

khususnya otot abdominal dan otot intercostalis internal.

a. Otot Abdominalis

b. Otot Intercostalis Internal

b) Mekanisme Pernapasan

14
1) Mekanisme Pernapasan Dada

(a) Fase Inspirasi Pernapasan Dada

Mekanisme inspirasi pernapasan dada sebagai berikut:

Otot antar tulang rusuk (muskulus intercostalis eksternal)

berkontraksi  tulang rusuk terangkat (posisi datar)  paru-

paru mengembang  tekanan udara dalam paru-paru menjadi

lebih kecil dibandingkan tekanan udara luar  udara luar masuk

ke paru-paru.

(b) Fase Ekspirasi Pernapasan Dada

Mekanisme ekspirasi pernapasan perut adalah sebagai

berikut: Otot antar tulang rusuk relaksasi  tulang rusuk

menurun paru-paru menyusut  tekanan udara dalam paru-

paru lebih besar dibandingkan dengan tekanan udara luar 

udara keluar dari paru-paru.

c) Mekanisme Pernapasan Perut

1) Fase Inspirasi Pernapasan Perut

Mekanisme inspirasi pernapasan perut sebagai berikut: Sekat

rongga dada (diafraghma) berkontraksi posisi dari melengkung

menjadi mendatar paru-paru mengembang  tekanan udara dalam

paru-paru lebih kecil dibandingkan tekanan udara luar  udara

masuk.

2) Fase Ekspirasi Pernapasan Perut

Mekanisme ekspirasi pernapasan perut sebagai berikut: Otot

diafraghma relaksasi  posisi dari mendatar kembali melengkung 

15
paru-paru mengempis  tekanan udara di paru-paru paru lebih besar

dibandingkan tekanan udara luar  udara keluar dari paru-paru.

d. Fisiologi Sistem Pernafasan

Menurut Price dan Wilson (2006) proses pernafasan dimana oksigen

dipindahkan dari udara ke dalam jaringan-jaringan, dan karbondioksida

dikeluarkan ke udara ekspirasi dapat dibagi menjadi tiga proses . Proses yang

pertama yaitu ventilasi, adalah masuknya campuran gas-gas ke dalam dan ke

luar paru-paru. Proses kedua, transportasi yang terdiri dari beberapa aspek

yaitu difusi gas-gas antar alveolus dan kapiler (respirasi eksternal), distribusi

darah dalam sirkulasi pulmonal. Proses ketiga yaitu reaksi kimia dan fisik

dari oksigen dan karbondioksida dengan darah.

1) Ventilasi Ventilasi adalah pergerakan udara masuk dan keluar dari paru

karena terdapat perbedaan tekanan antara intrapulmonal (tekanan

intraalveoli dan tekanan intrapleura) dengan tekanan intrapulmonal

lebih tinggi dari tekanan atmosfir maka udara akan masuk menuju ke

paru, disebut inspirasi. Bila tekanan intapulmonal lebih rendah dari

tekanan atmosfir maka udara akan bergerak keluar dari paru ke atmosfir

disebut ekspirasi.

2) Transportasi oksigen Tahap kedua dari proses pernafasan mencakup

proses difusi di dalam paru terjadi karena perbedaan konsentrasi gas

yang terdapat di alveoli kapiler paru, oksigen mempunyai konsentrasi

yang tinggi di alveoli dibanding di kapiler paru, sehingga oksigen akan

berdifusi dari alveoli ke kapiler paru. Sebaliknya, karbondioksida

mempunyai konsentrasi yang tinggi di kapiler paru dibanding di alveoli,

16
sehingga karbondioksida akan berdifusi dari kapiler paru ke alveoli.

Pengangkutan oksigen dan karbondioksida oleh sistem peredaran dara,

dari paru ke jaringan dan sebaliknya, disebut transportasi dan pertukaran

oksigen dan karbondioksida darah. Pembuluh darah kapiler jaringan

dengan sel-sel jaringan disebut difusi. Respirasi dalam adalah proses

metabolik intrasel yang terjadi di mitokondria, meliputi penggunaan

oksigen dan produksi karbondioksida selama pengambilan energi dari

bahanbahan nutrisi.

3) Reaksi kimia dan fisik dari oksigen dan karbondioksida dengan darah.

Respirasi sel atau respirasi interna merupakan stadium akhir dari

respirasi, yaitu saat dimana metabolit dioksidasi untuk mendapatkan

energi, dan karbondioksida terbentuk sebagai sampah proses

metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru-paru.

3. Etiologi Sindrom Obstruksi Pasca Tubercolosis

Penyebab dari penyakit tuberkulosis ini adalah bakteri Mycobacterium

Tuberculosis dan Mycobacterium Bovis. Bakteri ini mempunyai sifat istimewa

yaitu dapat bertahan terhadap pencucian warna dengan asam dan alkohol,

sehingga sering disebut basil tahan asam (BTA), serta tahan terhadap zat kimia

juga tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersifat dorman dan aerob

(Widoyono,2015).

Sedangkan Syndrome obstruktif post tuberculosis (SOPT) itu disebabkan

oleh bekas dari luka akibat infeksi TB paru atau fibrosis yang dipengaruhi oleh

reaksi imunologi seseorang sehingga terjadi mekanisme makrofag aktif yang

menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik yang luas (Mahendra, 2015). Jadi,

17
semakin luas jaringan paru yang rusak akibat infeksi kuman TB, semakin

berkurang membran pernapasan total dan kerusakan jaringan paru-paru yang

hebat (Titin dkk, 2007).

4. Patofisiologi Sindrom Obstruksi Pasca Tubercolosis

Penyakit ini ditularkan melalui percikan ludah yang berada diudara

(droplet) saat seorang pasien TBC batuk dan percikan ludah yang mengandung

bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat bernapas dan mengkolonisasi

bronkiolus atau alveolus (Corwin, 2005).

Apabila bakteri tuberkulosis dalam jumlah yang banyak berhasil menembus

mekanisme pertahanan sistem pernapasan dan berhasil menempati saluran napas

bawah, maka pejamu akan melakukan respon imun dan peradangan yang kuat di

alveoli (parenkim) paru dan bronkus. Proses radang dan reaksi sel menghasilkan

nodul pucat kecil yang disebut tuberkel primer. Di bagian tengah nodul terdapat

basil tuberkel. Bagian luarnya mengalami fibrosis, bagian tengah mengalami

kekurangan makanan sehingga terjadi nekrosis. Proses terakhir ini dinamakan

perkijuan. Perkijuan tersebut dapat menyebabkan erosi dinding bronkus. Materi

cair ini dapat dibatukkan keluar, meninggalkan kerusakan fibrosis tanpa atau

dengan perkijuan dan perkapuran yang tampak pada foto toraks (Tambayong,

2001).

Patogenesis timbulnya SOPT sangat kompleks, kemungkinan

penyebabnya adalah akibat infeksi TB yang dipengaruhi oleh reaksi 2

imunologis perorangan sehingga terjadi mekanisme makrofag aktif yang

menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik yang luas. Peradangan yang

berlangsung lama ini menyebabkan proses proteolisis dan beban oksidasi sangat

18
meningkat untuk jangka lama sehingga destruksi matriks alveoli terjadi cukup

luas dan akhirnya mengakibatkan gangguan faal paru.

5. Gambaran Klinis Sindrom Obstruksi Pasca Tubercolosis

Adapun gambaran klinis yang timbul pada pengidap TBC dan SOPT

yaitu:

a. Demam

Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-

kadang panas badan dapat mencapai 40-410 Celsius. Serangan demam

pertama dapat sembuh sebentar ,tetapi kemudian dapat timbul

kembali.Begitulah seterusnya hilang timbul demam influenza ini ,sehingga

pasien merasa tidak pernah terbeba dari serangan demam influenza. Keadaan

ini sangat terpengaruh oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya

infeksi kuman tuberkolosis masuk.

b. Batuk atau batuk berdarah

Gejala ini bayak ditemukan.batuk terjadi karena adanya iritasi pada

bronkus.batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar.

Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja

batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni

setelah minggu-mimggu atau berbulan-bulan peradangan bermula.sifat batuk

dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradagan

menjadi produktif (menghasilkal sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa

batuk darah karena terdapat pembuuh darah yang pecah.kebanyakan batuk

darah pada tuberkulusis terjadi pada kavitas,tetapi dapat juga terjadi pada

ulkus dinding bronkus.

19
c. Sesak nafas

Pada penyakit ringan (baru tumbuh)belum dirasakan sesak nafas.sesak

nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut,yang infiltrasinya

sudah meliputi setengah bagian paru-paru dan takipneu.

d. Nyeri dada

Gejala ini agak jarang ditemukan.nyeri dada timbul bila infiltrasinya

radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis .terjadi

gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.

e. Malaise dan Kelelahan

Penyakit tuberculosis bersifat radang menahun, gejala malaise sering

ditemukan berupa anaoreksia tidak ada nafsu makan,badan makin

kurus(berat badan turun), sakit kepala,keringat malam,dll. Selain itu juga

terjadi kselitan tidur pada malam hari (Price, 2005). Gejala malaise ini makin

lama makin berat dan terjadi ilang timbul secara tidak teratur.

B. Tinjauan tentang Pengukuran Fisioterapi

1. Auskultasi

Untuk mendengar suara khususnya suara nafas. Bunyi nafas normal dan

abnormal terjadi akibat gerakan udara di airway selama inspirasi dan expirasi.

a. Persiapan pasien : Posisi pasien duduk comfortable dan rileks.

b. Teknik pelaksanaan :

1) Tempatkan stetoskop pada dada pasien.

2) Kemudian stetoskop digerakkan dengan pola simetris (S) pada dinding

dada lalu posisi lateral dinding dada setinggi T2, T6, T10.

20
3) Minta pasien untuk deep inspirasi melalui hidung dan ekspirasi

melalui mulut beberapa kali dan bersamaan dengan itu terapis

menggerakkan stetoskop pada tiap tiap dinding dada pasien.

Kanan Kiri
Regio
Ves Ronchi Whes Ves Ronchi Whes

Apical

Middle

Lower

Posterior

2. Muscle Test

a. M. Pectoralis Mayor

1) Posisi pasien : Supine lying.

2) Teknik pelaksanaan : Instruksikan pasien untuk mengangkat kedua

tangannya ke atas sampai full ROM atau sampai menyentuh bed. M.

pectoralis mayor dikatakan memendek apabila salah satu atau kedua

lengan tidak dapat menyentuh bed.

b. M. Pectoralis Minor

1) Posisi pasien : Supine lying.

2) Teknik pelaksanaan : Instruksikan pasien untuk menggerakkan

bahunya menyentuh bed. M. pectoralis minor dikatakan memendek

apabila salah satu atau kedua bahu tidak dapat menyentuh bed.

c. M. Upper Trapezius

21
1) Posisi pasien : Supine lying, dengan kepala pasien berada

diluar bed dan disanggah oleh tangan terapis.

2) Teknik pelaksanaan : Terapis menggerakkan kepala pasien kearah

lateral fleksi dengan memberikan caunter fleksi pada bahu pasien. M.

Upper trapezius dikatakan memendek apabila pasien merasa nyeri.

d. M. Sternocleidomastoideus

1) Posisi pasien : Supine lying, dengan kepala pasien berada

diluar bed dan disanggah oleh tangan terapis.

2) Teknik pelaksanaan : Terapis menggerakkan leher pasien kearah

ekstensi, rotasi. M. Sternocleidomastoideus dikatan memendek apabila

ada nyeri.

3. Pengukuran Derajat Sesak dengan Skala Borg

Skala ini digunakan untuk membantu penderita menderajatkan intensitas

sesak dari derajat ringan sampai berat.

SKALA DERAJAT SESAK

0 Tidak sesak sama sekali

0,5 Sesak sangat ringan

1 Sesak nafas sangat ringan

2 Sesak nafas ringan

3 Sedang

4 Sesak nafas cukup berat

5 Sesak berat

6 Sesak berat

7 Sesak nafas sangat berat

22
8 Sesak nafas sangat berat

9 Sangat-sangat berat (hampir maksimal)

10 Maksimal

4. Mobilitas Sangkar Thorax dengan Antropometri

Pengukuran mobilitas sangkar thoraks dapat di lakukan secara langsung

dengan meletakan tangan di atas chest pasien dan merasakan pergerakan

sangkar thoraks atau dengan meteran untuk melihat selisih antara inpirasi dan

ekspirasi. Jika selisih antara inspirasi dan ekspirasi di bawah 3,5 cm

menunjukkan ada penurunan mobilitas sangkar thoraks. Adanya pemeriksaan

ini bertujuan agar pemeriksa dapat menilai secara obyektif dalam mengukur

pengembangan thoraks dan dapat pula dijadikan sebagai bahan evaluasi dalam

menilai pengembangan thoraks setelah diberikan terapi.

a. Axilla

1) Persiapan pasien : Posisi pasien dalam keadaan duduk rileks

dengan pakaian di lepaskan dari tubuh.

2) Teknik pelaksanaan :

a) Tempatkan meteran pada axilla, kemudian lihat dan catat angka

awal.

b) Kemudian instruksikan pasien untuk deep inspirasi dan ekspirasi.

c) Lihat dan catat angka pada meteran pada saat pasien inspirasi dan

ekspirasi.

b. Papilla Mammae

23
1) Persiapan pasien : Posisi pasien dalam keadaan duduk rileks di atas

bed dengan pakaian di lepaskan dari tubuh.

2) Teknik pelaksanaan :

a) Tempatkan meteran pada papilla mammae, kemudian lihat dan

catat angka awal.

b) Kemudian instruksikan pasien untuk deep inspirasi dan ekspirasi.

c) Lihat dan catat angka pada meteran pada saat pasien inspirasi dan

ekspirasi.

c. Processus Xhypoideus

1) Persiapan pasien : Posisi pasien dalam keadaan duduk rileks I atas

bed dengan pakaian di lepaskan dari tubuh.

2) Teknik pelaksanaan :

a) Tempatkan meteran pada processus xhypoideus, kemudian lihat

dan catat angka awal.

b) Kemudian instruksikan pasien untuk deep inspirasi dan ekspirasi.

c) Lihat dan catat angka pada meteran pada saat pasien inspirasi dan

ekspirasi.

5. Derajat Nyeri Dada dengan VAS

VAS digunakan untuk mengukur kwantitas dan kwalitas nyeri yang

pasien rasakan, dengan menampilkan suatu kategorisasi nyeri mulai dari “tidak

nyeri, ringan, sedang, atau berat”.

24
Skala Keterangan
0 Tidak nyeri
1–3 Nyeri ringan
4–6 Nyeri sedang
7–9 Nyeri berat terkontrol
10 Nyeri berat tidak terkontrol

6. Pemeriksaan Spirometri

Pemeriksaan Spirometri dilakukan untuk melihat fungsi paru dari

komponen volume, kecepatan dan waktu yang berhubungan dengan penyakit

paru. Hal yang dapat mempengaruhi volume paru dan kecepatan aliran adalah

usia, jenis kelamin, ras serta tinggi badan. Berat badan tidak mempengaruhi

nilai prediksi normal.

Adapun prosedur pelaksanaan sebagai berikut :

a. Tahap persiapan :

1) Periksa alat berfungsi dengan baik dan sambungkan ke stop kontak.

2) Jelaskan tujuan dan cara kerja pemeriksaan kepada pasien.

3) Posisi pasien duduk disamping alat.

4) Nyalakan alat (power on). Masukan/atur data pasien berupa nama,

tanggal lahir, ID, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, ras dan

riwayat merokok.

25
5) Hubungkan pasien dengan alat dengan cara memberikan instruksi

kepada pasien agar memasukkan mouthpiece ke dalam mulutnya dan

menutup hidung.

6) Tekan tombol start pada layar spirometri untuk memulai pengukuran.

7) Instruksikan pasien agar bernapas biasa terlebih dahulu sebanyak 2x,

lalu menarik napas dalam dan menghembuskannya secara maksimal.

8) Tekan tombol stop pada layar spirometri untuk mengakhiri

pengukuran, lalu tekan analysis sehingga data akan keluar ke layar

spirometri.

9) Periksa data dan dilanjutkan dengan mencetak hasil perekaman (tekan

tombol print).

10) Intruksikan kepada pasien agar mengambil mouthpiece pada alat

spirometri yang telah digunakan lalu membuangnya ke tempat yang

telah disediakan.

7. Pemeriksaan Toleransi Aktivitas

Six Minute Walking Test adalah suatu cara untuk mengukur kemampuan

daya tahan pasien dalam melakukan suatu aktivitas fisik tertentu. Tes ini

didasarkan pada sensasi pengalaman fisik pasien selama beraktivitas meliputi

peningkatan tekanan darah, denyut nadi, pernapasan serta tingkat kelelahan.

a. Prosedur Test

1) Tujuan : Untuk memperoleh tingkat severity pasien secara

akurat.

2) Persiapan Alat :

26
 Pastikan stopwatch, stethoscope, sphygmomanometer, dan pulse

oximeter tersedia, dan dalam kondisi baik.

 Peralatan lainnya meliputi; pita perekat untuk memberi tanda

disetiap 1 lap, segitiga kuning/cones untuk menandai tempat

putaran.

 Kursi yang mudah dipindah-pindahkan.

 Peralatan safety seperti oksigen, untuk mengantisipasi

kemungkinan bila terjadi hal yang tidak diharapkan (misalnya

pasien tiba-tiba merasa pusing atau kesadaran pasien menurun).

3) Persiapan Pasien

 Jelaskan prosedur test kepada pasien, untuk memastikan pasien

kooperatif.

 Sebelum dilakukan test, periksa tekanan darah, denyut jantung,

respirasi, dan saturasi oksigen pasien.

 Pasien harus beristirahat dengan duduk di kursi, dekat dengan

garis start, kurang lebih 5-10 menit sebelum test dilakukan.

 Informasikan kepada pasien untuk berjalan sejauh mungkin

selama 6 menit, jangan atau jogging.

4) Teknik Operasional Six-Walking Test

 Posisikan pasien pada garis start. Pada saat pasien mulai berjalan,

nyalakan stopwatch.

 Pusatkan perhatian pada pasien, jangan sampai salah menghitung

jumlah putaran.

27
 Berikan semangat kepada pasien setiap 1 menit, dan menurut

American Thoracic Society, sesuai dengan ketentuan kalimat di

bawah ini :

(a) Menit 1 selesai : “Anda sudah benar melakukannya,

teruskan, ada 5 menit lagi.”

(b) Menit 2 selesai : “Bagus, pertahankan seperti ini, anda masih

punya 4 menit lagi.”

(c) Menit 3 selesai : “Anda melakukannya dengan baik, sudah

setengah jalan.”

(d) Menit 4 selesai : “Anda sudah baik melakukannya, tinggal 2

menit lagi.

(e) Menit 5 selesai : “Anda sudah baik melakukannya, tinggal 1

menit lagi.”

(f) Menit 6 selesai : “Finish.”

 Tanyakan tingkat severity aktivitas yang dirasakan oleh pasien

setelah test dilakukan.

 Catat hasil pengukuran pada medical record pasien.

Parameter :

Skala Tingkat Severty Aktivitas yang Dirasakan

0 Tidak ada sama sekali.

1 Aktivitas sangat ringan (apa pun itu seperti tidur,

menonton TV, mengendarai mobil, dll).

2-3 Aktivitas ringan (rasanya seperti anda dapat bernapas

dengan mudah selama empat jam dan bercakap-cakap).

28
4-6 Aktivitas sedang (rasanya seperti anda melakukan

exercise selama empat jam dengan bernapas agak berat,

masih dapat bercakap-cakap dalam waktu singkat).

7-8 Aktivitas berat (hampir sulit untuk bernapas, masih dapat

mengucapkan kalimat).

9 Aktivitas sangat berat (sangat sulit untuk

mempertahankan intensitas latihan, sulit bernapas dan

hanya dapat mengucapkan satu kata).

10 Aktivitas dengan upaya maksimal (merasakan sangat

tidak mungkin untuk tetap mempertahankan bernapas

sepenuhnya, tidak mampu untuk berbicara).

8. CAT (COPD Assesment Test )

CAT (COPD Assessment Test ) adalah suatu kuesioner yang diberikan

yang menilai semua aspek dampak dari suatu penyakit dimana pertanyaannya

mencangkup (batuk, dahak, sesak napas, sesak dada, kepercayaan diri,

aktivitas, tidur, dan tingkat energy). Jadi ada 8 pertanyaan pada skala 1 sampai

5 poin

a. Tujuan : Untuk mengukur keparahan paru-paru dan perubahan kualitas

hidup.

b. Teknik : Fisioterapi memberikan penjelasan tujuan dari CAT pada

pasien, Kemudian fisioterapi memberikan lembar penilaian

yang beri 8 pertanyaan dan score terdiri dari 0 1 2 3 4 5

29
Kemudian menyuruh pasien untuk silang score sesuai yang

dirasakan, kemudian jumlahkan score.

c. Interpretasi skor CAT adalah bila skor :

1) 5 : Pasien dalam kondisi normal.

2) <10 : Ringan. Pada kondisi ini pasien menjalani aktivitas harian

dengan baik, namun terkadang kondisi PPOK membuat

keterbatasan beberapa aktivitas biasa.

3) 10-20 : Sedang. PPOK mengganggu aktivitas sehari-hari pasien,

hampir setiap hari pasien mengeluhkan batuk berdahak, dan

terdapat satu kali serangan dalam setahun.

4) >20 : Berat. PPOK membuat pasien menghentikan beberapa

aktivitas hariannya, sesak akan lebih berkurang ketika

pasien berbicara.

30
C. Tinjauan tentang Intervensi Fisioterapi

1. Terapi Oksigen (O2)

Oksigenasi adalah salah satu komponen gas dan unsur vital dalam proses

metabolisme, untuk mempertahankan kelangsungan hidup seluruh sel tubuh.

Secara normal elemen ini diperoleh dengan cara menghirup udara ruangan

dalam setiap kali bernafas (Harahap,2004).

Terapi oksigen merupakan terapi pernafasan dalam mempertahankan

oksigenasi jaringan yang adekuat. Secara klinis tujuan utama pemberian O2

adalah untuk mengatasi keadaan hipoksemia, menurunkan kerja nafas dan

menurunkan kerja miocard (Harahap,2004).

2. MWD (Microwave Diathermy)

Menurut penelitian Nia Rima Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

‘Aisyiyah Yogyakarta (2017). Modalitas yang sesuai untuk mengurangi nyeri

dada pasien adalah dengan pemberian modalitas berupa MWD. Hasil terapi

menunjukkan bahwa adanya penurunan nyeri yang signifikansetelah dilakukan

terapi selama 4 minggu.

MWD adalah salah satu terapi heating yang menggunakan stressor fisis

berupa energi elektromagnetik yang dihasilkan oleh arus bolak balik frekuensi

2450 MHz dengan panjang gelombang 12,25cm. Microwave Diathermy

(MWD) adalah bentuk radiasi elektromagnetik Efek yang terjadi adalah

kenaikan temperatur, yaitu berpengaruh terhadap jaringan yang bersifat

isolator, konduktor, dan jaringan elektrolit. Pada jaringan yang bersifat isolator

panas dapat timbul akibat discplacment current karena dipengaruhi oleh

electron yang kuat, sedangkan pada jaringan yang bersifat konduktor panas

31
terjadi akibat rotasi dipole karena ion-ion bersifat lebih mobile. Karena sifat

panas yang dihasilkan dapat meningkatkan ekstensibilitas jaringan kolagen,

maka hal ini dapat membantu sebelum melakukan latihan atau treatment.

3. TENS

TENS merupakan suatu cara penggunaan energy listrik guna merangsang

sistem saraf melalui permukaan kulit (Parjoto, 2006). Jenis arus TENS untuk

menghasilkan kontraksi otot dibutuhkan fase durasi dan frekuensi yang tepat.

Tanggap rangsang jaringan tubuh lebih ditentukan oleh durasi dan amplitude

stimulasi listrik dan nama arus listrik yang digunakan. Faktor lain yang juga

ikut mempengaruhi respon jaringan ialah frekuensi, dimana pada stimulus yang

menimbulkan tanggap rangsang motorik frekuensi menentukan bentuk

kontraksi otot yaitu single brisk, parsial tetanik ataupun tetanik penuh.

Frekuensi stimulus yang diperlukan untuk menghasilkan kontraksi tetanik pada

suatu kelompok otot dikenal sebagai Critical Fusion Frequency (CFF).

Frekuensi yang menghasilkan kontraksi otot adalah 30-80 Hz sementara

tanggap rangsang jaringan frekuensi untuk motorik adalah 10-50 Hz sehingga

peneliti menggunakan frekuensi 10Hz, 30Hz, dan 50Hz. Pengaruh fisiologis

stimulasi listrik terhadap jaringan tubuh sebagai berikut : (Alon G, 1987)

Tingkat jaringan : 1) Kontraksi otot rangka dan efeknya terhadapnya kekuatan

otot, kecepatan kontraksi serta daya tahan terhadap kelelahan, 2) Kontraksi

otot-otot polos dan rileksasi yang berdampak pada aliran arteri maupun vena,

3) Regenerasi jaringan, termasuk tulang, ligament, jaringan ikat dan kulit.

32
4. Postural Drainage

Menurut penelitian Febrina Adriana (2015) pada penatalaksanaan

fisioterapi pada Asma Bronkhial di RSKP Respira Jogjakarta. Postural drainase

(PD) merupakan salah satu intervensi untuk melepaskan sekresi dari berbagai

segmen paru dengan menggunakan pengaruh gaya gravitasi.. Mengingat

kelainan pada paru bisa terjadi pada berbagai lokasi maka PD dilakukan pada

berbagai posisi disesuaikan dengan kelainan parunya. Waktu yang terbaik

untuk melakukan PD yaitu sekitar 1 jam sebelum sarapan pagi dan sekitar 1

jam sebelum tidur pada malam hari.

Postural drainase (PD) dapat dilakukan untuk mencegah terkumpulnya

sekret dalam saluran nafas tetapi juga mempercepat pengeluaran sekret

sehingga tidak terjadi atelektasis. Pada penderita dengan produksi sputum yang

banyak PD lebih efektif bila disertai dengan clapping dan vibrating.

5. Tapotemen

Radang saluran pernafasan dan bronkokonstriksi menyebabkan saluran

pernafasan menyempit dan sesak nafas/sukar bernafas yang diikuti dengan

33
suara “wheezing” (bunyi yang meniup sewaktu mengeluarkan udara/nafas)

(Putri dan Soemarno, 2013). Dalam pelaksanannya chest physiotherapy ini

selalu disertai dengan tapotemen atau tepukan dengan tujuan untuk melepaskan

mukus dari dinding saluran nafas dan untuk merangsang timbulnya reflek

batuk, sehingga dengan reflek batuk mukus akan lebih mudah dikeluarkan. Jika

saluran nafas bersih maka pernafasan akan menjadi normal dan ventilasi

menjadi lebih baik (Putri dan Soemarno, 2013). Saluran nafas yang bersih dan

pernafasan menjadi normal maka otomatis nyeri yang dirasakan pada ulu hati

akan menurun dan hilang.Clapping merupakan penepukan ringan pada dinding

dada dengan tangan dimana tangan membentuk seperti mangkuk. Tujuan dari

clapping ini adalah jalan nafas bersih, secara mekanik dapat melepaskan sekret

yang melekat pada dinding bronkus dan mempertahankan fungsi otot-otot

pernafasan (Potter dan Perry, 2006).

6. Breathing Exercise

Breathing exercise merupakan suatu teknik yang digunakan untuk

membersihkan jalan napas, merangsang terbukanya sistem collateral,

meningkatkan distribusi ventilasi dan meningkatkan volume paru (Pryor dan

Webber, 1998).

Pursed lip breathing merupakan salah satu latihan pernapasan guna

mengurangi sesak napas dan mengurangi kerja dari suatu pernapasan, yang

dibarengi dengan pernapasan diafragma dan latihan ini dapat dilakukan dengan

meniup lilin, meniup bola pingpong, dan membuat gelembung di dalam air

minum dengan menggunakan pipa hisap. Latihan ini berfokus pada

pengontrolan inspirasi dan ekspirasi juga dengan pola ekspirasi yang panjang

34
dengan cara bibir mencucu. Selain itu, breathing control merupakan latihan

pernapasan yang dapat meningkatkan volume paru, mempertahankan alveolus

agar tetap mengembang, meningkatkan oksigenasi, membantu membersihkan

sekresi mukosa, mobilitas sangkar toraks dan meningkatkan kekuatan, daya

tahan dan koordinasi otot-otot respirasi, meningkatkan efektifitas mekanisme

batuk, mempertahankan atau meningkatkan mobilitas chest dan thoracal spine,

koreksi pola-pola napas yang abnormal, dan meningkatkan relaksasi (Subroto,

2010).

7. Postural Drainage

Postural drainase (PD) merupakan salah satu intervensi untuk

melepaskan sekresi dari berbagai segmen paru dengan menggunakan pengaruh

gaya gravitasi.. Mengingat kelainan pada paru bisa terjadi pada berbagai lokasi

maka PD dilakukan pada berbagai posisi disesuaikan dengan kelainan parunya.

Waktu yang terbaik untuk melakukan PD yaitu sekitar 1 jam sebelum sarapan

pagi dan sekitar 1 jam sebelum tidur pada malam hari.

Postural drainase (PD) dapat dilakukan untuk mencegah terkumpulnya

sekret dalam saluran nafas tetapi juga mempercepat pengeluaran sekret

sehingga tidak terjadi atelektasis. Pada penderita dengan produksi sputum yang

banyak PD lebih efektif bila disertai dengan clapping dan vibrating.

8. Batuk Efektif (Coughing Exercise)

Coughing exercise atau batuk efektif merupakan suatu metode batuk

dengan benar, dimana pasien dapat menghemat energi sehingga tidak mudah

lelah dan dapat mengeluarkan dahak secara maksimal dari jalan napas dan area

paru. Selain itu coughing exercise menekankan inspirasi maksimal yang

35
dimulai dari ekspirasi. Adapun tujuan dilakukannya tindakan coughing

exercise adalah merangsang terbukanya sistem kolateral, meningkatkan

distribusi ventilasi, dan meningkatkan volume paru serta memfasilitasi

pembersihan saluran napas yang memungkinkan pasien untuk mengeluarkan

sekresi mukus dari jalan napas (Pratama, 2012).

Batuk yang benar cara pertama yang dilakukan adalah duduk agak

condong kedepan kemudian tarik nafas dalam dua kali lewat hidung keluarkan

lewat mulut kemudian nafas yang ketiga ditahan 3 detik dan batukkan 2 sampai

3 kali dan sebelum batuk efektif dianjurkan minum air hangat dan minum air

sebanyak 2 liter 1 hari sebelumnya dengan tujuan dahak menjadi encer dan

mempermudah pengeluaran sputum supaya dapat maksimal. Sedangkan pada

batuk biasa tidak menggunakan teknik yang benar karena tidak ada perlakuan-

perlakuan khusus sehingga penggeluaran sputum tidak maksimal.

9. Mobilisasi Sangkar Thorax

Mobilisasi sangkar toraks adalah suatu bentuk latihan aktive movement

pada trunk dan extremitas yang dilakukan dengan deep breathing yang

bertujuan untuk meningkatkan mobilitas trunk dan shoulder yang

mempengaruhi respirasi serta memperkuat kedalaman inspirasi dan ekspirasi

(Subroto, 2010).

Latihan-latihan ini dengan gerakan pada trunk dan anggota gerak atas

yang dapat membantu mobilisasi dada dapat dilakukan dengan latihan

pernapasan yang spesifik untuk meningkatkan ekspansi dada baik secara

segmental dan regional serta dapat disertai peregangan manual dan teknik-

teknik fasilitasi (Pratama, 2012).

36
Mobiliasi sangkar toraks dapat dilakukan dengan bantuan pergerakan

dari bahu dan tulang belakang. Mobilisasi sangkar toraks melibatkan gerakan

kompleks dari anggota gerak atas selain itu antara sternum, torakal vertebra,

serta otot-otot pernapasan. Mekanisme mobilisasi sangkar toraks adalah

meningkatkan panjang otot interkostalis dengan melakukan kontraksi yang

efektif dari anggota gerak atas.

10. ACBT (Active Cycle Breathing Tekhnique)

Menurut penelitian Ririt Ika Lestari di Rumah Sakit Paru dr Ario

Wirawan Salatiga pada tahun 2015, dimana ACBT dapat mengurangi sesak

napas dan pasien lebih mudah mengeluarkan sputum.

Active Cycle Breathing Technique (ACBT) adalah suatu teknik latihan

bernapas yang digunakan untuk memindahkan sputum dari paru-paru. Teknik

ini menggunakan kedalaman bernapas untuk memindahkan sputum dari saluran

udara kecil di bagian bawah paru paru menuju ke saluran udara yang lebih

besar di bagian atas, sehingga mudah untuk dikeluarkan dengan cara

dibatukkan (Pryor, 2008). ACBT terdiri dari tiga tahapan yaitu Breathing

control, deep breathing dan huffing.

a. Breathing Control

Kontrol pernapasan digunakan untuk merilekskan saluran

pernapasan dan meringankan sesak napas yang dirasakan oleh pasien . Hal

ini dapat dilakukan dengan cara:

1) Letakkan satu tangan diatas perut dan biarkan bahu dalam posisi

rileks.

2) Bernapasalah dengan tenang dan lembut.

37
Lamanya waktu yang digunakan untuk melakukan kontrol

pernapasan ini bervariasi, tergantung sejauh mana pasien merasakan sesak

napasnya. Tiga atau 4 kali bernapas dirasa cukup pada keadaan sesak

napas yang ringan dan lebih dari itu jika disertai adanya infeksi.

b. Deep Breathing

Napas dalam digunakan untuk mendapatkan udara dibelakang

sputum yang terjebak di saluran napas kecil. Langkah yang harus

dilakukan yaitu:

1) Rilekskan dada bagian atas.

2) Tarik napas secara perlahan dan dalam.

3) Bernapaslah perlahan hingga udara dalam paru-paru kosong, dengan

tidak memaksakan udara keluar.

4) Ulangi 3 hingga 4 kali. Jika merasa ringan, ulangi kembali dari kontrol

pernapasan awal.

5) Setelah melakukan latihan pernapasan, kembali ke kontrol pernapasan

lagi untuk memastikan saluran napas benar-benar rileks. Terkadang

jika pasien sedang dalam kondisi yang kurang sehat, atau dahaknya

sulit untuk dibersihkan, disarankan agar pasien mengulangi latihan

pernapasan dalam untuk kedua kalinya sebelum terengah atau batuk.

c. Huffing

Huffing digunakan untuk menggerakkan sputum dari saluran napas

kecil ke saluran napas yang lebih besar, yang nantinya akan dikeluarkan

melalui batuk. Batuk saja tidak dapat menghilangkan sputum dari saluran

napas kecil.

38
11. Stretching Exercise

Dalam penelitian Annisa Nurbaity di BBKPM Surakarta tahun 2018

terdapat pengaruh pemberian stretching terhadap penurunan spasme otot pasien

bronchitis kronis setelah pemberian terapi sebanyak 4 kali menggunakan

Wong-Baker FACES pain rating scale dengan nilai nyeri pada terapi pertama

adalah 6 dan pada terapi keempat nilai nyeri 4. Stretching merupakan metode

penguluran yang dilakukan dengan cara meregangkan otot secara perlahan-

lahan sampai otot terasa sakit namun bukan rasa sakit yang maksimal dan

ditahan untuk beberapa detik. Dosis yang diberikan selama 30 detik pada posisi

menegang dengan pengulangan 3 kali (Lee et al., 2015).

39
BAB III

PROSES FISIOTERAPI

Tanggal Pembuatan : 18 September 2019

Kondisi / Kasus : SOPT (Syndrome Obstructive Pulmonal Post Tuberculosis)

A. Keterangan Umum Penderita

Nama : Tn. H.A

Umur : 70 tahun

Jenis kelamin : Laki - laki

Pekerjaan : Pensiunan

Alamat : Maros

B. Data Medis Rumah Sakit

Diagnosa Medis : Dyspnea et causa SOPT

Catatan Klinis : Pasien pertama kali datang ke BBKPM Makassar pada

April 2013 dengan diagnose SOPT. Memiliki riwayat

OAT pertama kali tahun 2012, dimana pengobatan

hanya 5 bulan dikarenakan pasien mengalami

kecelakaan. Kemudian OAT kedua kalinya pada tahun

2016 dengan tuntas.

Medicametosa : Aminofilin, Salbutamol, CTM, Glyceryl Guaiacolate

(GG).

40
Hasil Laboratorium : Pada tanggal 9 Maret 2019 = BTA (-)

Pada tanggal 24 Juli 2019 = MTB (-)

41
Hasil Radiologi : Pada tanggal 3 April 2012 dengan hasil =

 Infectia Bronchiestatis Paracardial kanan +

 Spesifik aktif kanan

 Cor Diafragma Sinus baik

C. Segi Fisioterapi

1. Pemeriksaan Subyektif

a. Keluhan utama dan riwayat penyakit sekarang

 Keluhan Utama : Sesak nafas dan batuk produktif.

 RPS : Pasien datang ke fisioterapi pada tanggal 18

September 2019 dengan keluhan sesak nafas

dan batuk

42
b. Riwayat keluarga dan status sosial

 Riwayat keluarga : Keluarga pasien tidak pernah mengalami hal

yang sama seperti dialami pasien.

 Status sosial : Pasien sudah lama tidak melakukan

pekerjaannya sebagai PNS.

c. Riwayat penyakit dahulu dan penyerta : Pasien tidak memiliki riwayat

penyakit dahulu dan penyakit penyerta.

2. Pemeriksaan Obyektif

a. Pemeriksaan Vital Sign

 Tekanan Darah : 140/90 mmHg

 Denyut Nadi : 90x/menit

 Pernafasan : 26x/menit

 Temperature : 36,5oC

 SaO2 : 98%

 Tinggi Badan : 159 cm

 Berat Badan : 55 kg

b. Inspeksi

 Saat statis : Raut wajah pasien nampak cemas,

pengembangan thorax menurun, bentuk dada

nampak sternum masuk ke dalam (pectus

excavatum), dan napas cepat dangkal

(tachypnea).

 Saat dinamis : Postur tubuh khyposis dan saat berjalan pasien

merasa sesak.

43
c. Palpasi

 Terdapat spasme pada M. Upper Trapezius.

d. Auskultasi

Regio Kiri Kanan

Vas Ronchi Whez Vas Ronchi Whez

Apical  

Mild Zone  

Lower Zone  

Posterior  

e. Muscle Test

 M. Pectoralis Major : Normal.

 M. Pectoralis Minor : Normal.

 M. Upper Trapezius : Terdapat spasme bilateral.

 M. Sterno cleido mastoideus : Normal.

f. Kemampuan Fungsional dan Lingkungan Aktivitas

 Kemampuan Fungsional : ADL pasien mandiri.

 Lingkungan Aktivitas : Pasien tidak dapat mengangkat

beban berat dan berjalan cepat.

3. Pemeriksaan Spesifik

a. Derajat Sesak dengan Skala Borg

SKALA DERAJAT SESAK


0 Tidak sesak sama sekali

44
0,5 Sesak sangat ringan
1 Sesak nafas sangat ringan
2 Sesak nafas ringan
3 Sedang
4 Sesak nafas cukup berat
5 Sesak berat
6 Sesak berat
7 Sesak nafas sangat berat
8 Sesak nafas sangat berat
9 Sangat-sangat berat (hampir maksimal)
10 Maksimal
Interpretasi : Sesak Nafas Sedang

b. Mobilitas Sangkar Thoraks dengan Antropometri

Selisih
Titik Ukur Inspirasi Awal Ekspirasi
Inspirasi Ekspirasi
Axilla 72 cm 70 cm 69 cm 2 cm 1 cm
Papilla Mamae 76 cm 74 cm 73 cm 2 cm 1 cm
Xyphoid 73 cm 71 cm 70 cm 2 cm 1 cm
Interpretasi : Penurunan mobilitas thoraks.

c. Derajat nyeri dada dengan VAS

Skala Keterangan
0 Tidak nyeri
1–3 Nyeri ringan
4–6 Nyeri sedang
7–9 Nyeri berat terkontrol

45
10 Nyeri berat tidak terkontrol
Interpretasi : 2 (Nyeri Ringan)

d. Pemeriksaan Fungsi Paru

Param Best Pred %Pred

FVC 2.42 3.02 80.24

FEV1 1.14 2.35 48.41

FEV1/FVC 46.99 74.83 62.79

Interpretasi : Moderate Obstruction

e. Pemeriksaan Toleransi Aktivitas

Hasil : Dilakukan pada tanggal 18 September 2019

 27 putaran dalam 6 menit


27 𝑋 7 189
= = 7, 56 trek
25 25

 Post Test :

1) Tekanan darah = 140/90 mmHg

2) SaO2 = 95%

3) Denyut nadi = 87x/menit

4) Pernafasan = 24x/menit

5) Tingkat Severty = 3 (Aktivitas ringan, rasanya seperti anda

bernapas dengan mudah selama empat jam bercakap-cakap).

46
f. CAT (Copd assessment test)

 Hasil : 13 (Sedang. PPOK mengganggu aktivitas sehari-hari pasien,

hampir setiap hari pasien mengeluhkan batuk berdahak, dan terdapat

satu kali serangan dalam setahun).

4. Diagnosis Fisioterapi dan Problematika Fisioterapi

a. Diagnosa Fisioterapi :

“Gangguan Fungsional Respirasi dengan Batuk berdahak disertai

Penurunan Mobilitas Sangkar Thoraks Et Cause Syndrome Obstructive

Post Tuberculosis (SOPT)“.

b. Problematika Fisioterapi

1) Impairment

 Sesak nafas.

 Batuk produktif.

 Retensi Sputum.

 Penurunan sangkar thorax.

 Spasme pada M. Upper Trapezius.

47
 Penurunan volume paru.

2) Fungsional Limitation

 ADL mandiri namun pasien tidak dapat mengangkat beban berat

dan tidak berjalan dengan cepat.

3) Participation Restriction

Mampu untuk berpartisipasi dengan lingkungan sekitarnya

seperti gotong royong namun tidak dapat mengangkat beban berat.

5. Rencana Fisioterapi

a. Jenis Terapi

 MWD

1) Persiapan alat :

a) Tes alat

b) Pre pemanasan 5-10 menit

c) Jarak ± 10 cm dari kulit

2) Persiapan pasien :

a) Sebelum memberikan modalitas Fisioterapi, pasien terlebih

dahulu di beritahukan efek dari alat yang akan diberikan.

b) Bebaskan daerah yang akan di berikan alat dari pakaian dan

perhiasan.

c) Posisikan pasien senyaman mungkin.

d) Tes sensibilitas.

e) Jarak antara kulit pasien dengan alat adalah 5-10 cm.

f) Durasi pemberian yakni ±10 menit.

g) Intensitas 30-50 w (sesuai toleransi pasien)

48
3) Teknik pelaksanaan :

a) Arahkan MWD ke middle thoraks kanan dan kiri pasien.

b) Jarak 10 cm.

c) Intensitas 30 w, arus intermitten

d) Waktu 10 menit

4) Tujuan : Untuk mengurangi nyeri ,meningkatkan rileksasilokal di

dada pasien dan melancarkan sirkulasi darah.

 TENS

1) Persiapan alat:

a) Tes alat

b) Basahi spons yang akan digunakan.

2) Persiapan pasien :

a) Sebelum memberikan modalitas Fisioterapi, pasien terlebih

dahulu di beritahukan efek dari alat yang akan diberikan.

b) Bebaskan daerah yang akan di berikan alat dari pakaian dan

perhiasan.

c) Posisikan pasien senyaman mungkin.

d) Tes sensibilitas.

e) Tempatkan pad pada daerah yang diinginkan.

f) Durasi pemberian yakni ±15 menit.

g) Intensitas sesuai toleransi pasien , dengan 2 pad.

3) Teknik pelaksanaan :

a) Lekatkan pad (vasotron) pada thoraks kanan dan kiri pasien.

b) Pilih arus Assimetrycal Alternating

49
c) Waktu 10 menit

d) Intesitas 9,7 mA

4) Tujuan : Untuk mengurangi nyeri

 Breathing Exercise dengan teknik Pulsed Lip Breathing

1) Teknik Pelaksaan : Pasien di posisikan serileks mungkin,

tangan pasien berada diatas rektus

abdominali pasien, kemudian tangan

fisioterapis diatasnya. Instruksikan pasien

menarik napas dengan hidung dan

keluarkan darimulut (ekspirasi panjang)

dengan 8x repetisi kemudian istirahat.

2) Tujuan : Untuk melatih otot-otot pernapasan,

memperbaiki ventilasi dan meransang

reflex batuk.

 Postural Drainase

1) Teknik Pelaksanaan :

a) Posisikan pasien segmen apical dengan posisi half lying.

b) Pertahankan posisi 20-30 menit jika pasien dapat

mentoleransi posisi tersebut atau selama posisi tersebut

produktif.

c) Pasien diinstrukikan bernapas dalam dan rileks .

d) Anjurkan pasien tarik napas dalam dan batuk 2x, jika pasien

tidak mampu batuk, lakukan vibrasi pada akhir ekspirasi

untuk membantu pasien.

50
2) Tujuan : Untuk mengalirkan mukus dari berbagai

segmen paru ke saluran napas yang lebih

besar dengan bantuan gravitasi.

 Latihan Batuk (Huffing Exercise)

1) Teknik Pelaksanaan : Posisikan pasien serileks mungkin untuk


melakukan deep breathing dan batuk.
Posisi duduk dengan leher sedikit fleksi
agar batuk lebih comportable. Ajarkan
pasien untuk mengontrol diagfragma
breathing khususnya deep inspirasi.
Demonstrasikan cara batuk yang dalam
dan kuat. Kemudian letakkan tangan di
abdomen pasien dan lakukan huffing pada
akhir eksipirasi, rasakan kontaksi
abdomen pasien.
2) Tujuan : Untuk membantu proses pengeluaran
mucus dalam paru agar saluran napas
menjadi lancar
 Stretching Exercise

M. Upper Trapezius

a) Teknik Pelaksanaan : Pasien diarahkan gerakan lateral

fleksi cervical, tangan kanan fisioterapi diletakkan dibahu pasien,

kemudian tangan kiri diletakkan dikepala pasien. Tahanan akan

diberikan secara bergantian. Fisioterapis mendorong bahu pasien

sambil pasien menahannya, kemudian fisioterapis mendorong

kepala pasien sambil pasien menahannya. Setelah itu, minta

pasien untuk tarik nafas dan rileks, kemudian fisioterapis

mendorong daerah bahu sambil pasien mengarahkan bahu ke arah

51
caudal dan tangan kiri fisioterapis juga mendorong kepala pasien

secara perlahan kearah lateral fleksi.

 Mobilisasi Sangkar Thoraks

1) Teknik Pelaksaan :

a) Posisi duduk, pasien membengkokkan chest ke samping

sehingga terjadi penguluran dan ekspansi samping

berlawanan selama inspirasi. Kemudian pasien meletakkan

genggaman tangan di sampingg chest lalu bengkokkan chest

ke lateral kearah genggaman tangan sambil ekspirasi.

Tingkatkan latihan ini dengan menempatkan tangan lebih

tinggi.

b) Pasien duduk di kursi dengan tangan di belakang kepala,

kedua tangan posisi abduksi horizontal selama inspirasi

dalam. Instruksikan pasien membungkuk ke depan bersama

elbow lalu ekspirasi.

c) Pasien duduk di kursi dengan kedua tangan di atas kepala

(fleksi shoulder bilateral 180o dan sedikit abduksi) selama

inspirasi. Minta pasien untuk membungkuk ke depan hip

dan meraih lantai selama ekspirasi

2) Tujuan : Memelihara atau memperbaiki mobilitas dinding chest,

trunk dan Shoulder akibat gangguan respirasi, meningkatkan

kemampuan deep inspirasi dan kontrol ekspirasi.

52
b. Frekuensi Terapi

Dalam pemberian intervensi yang diberikan fisioterapi, frekuensi

yang diberikan yaitu 1x sehari.

6. Program Fisioterapi

a. Tujuan Jangka Pendek

1) Membantu mengurangi sesak nafas.

2) Membantu membersihkan jalan napas.

3) Mengurangi retensi sputum

4) Meningkatkan ekspansi sangkar toraks.

5) Meningkatkan volume paru.

6) Mengurangi spasme M. Upper Trapezius

b. Tujuan Jangka Panjang

1) Melanjutklan tujuan jangka pendek.

2) Manajemen terjadinya serangan ulang dengan edukasi kepada pasien

dan keluarga.

3) Meningkatkan kemampuan toleransi aktivitas fungsional penderita

guna meningkatkan kualitas hidup.

53
7. Evaluasi Fisioterapi

a) Evaluasi Sesaat

Hari/
No Problematik Intervensi Evaluasi
Tanggal
1. Rabu, 18 1. Sesak nafas. 1. MWD. 1. Sesak nafas
September 2. Batuk produktif. 2. TENS. menggunakan
3. Penurunan sangkar
2019 3. Breathing skala Borg :
thorax.
4. Retensi sputum. Exercise nilai 3 ( sesak
5. Spasme pada M. Upper 4. Postural nafas (sedang)
Trapezius.
Drainage menjadi nilai 0
6. Penurunan volume paru.
5. Latihan Batuk (tidak ada
6. Mobilisasi sesak)
Thoraks 2. Berkurangnya
7. Stretching retensi sputum
Exercise 3. Penurunaan
Spasme pada
M. Upper
Trapezius

54
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca tuberkulosis) adalah penyakit obstruksi

saluran napas yang ditemukan pada penderita pasca tuberkulosis dengan lesi paru

yang minimal yang masih sering ditemukan pada pasien pasca Tuberkulosis dalam

praktik klinik (Irawati, 2013).

Adapun gejala utama pada penderita SOPT berupa batuk berdahak, sesak

napas, penurunan ekspansi sangkar toraks. Gejala lainnya adalah demam tidak

tinggi atau meriang, dan penurunan berat badan (Widoyono, 2008).

Dari hasil penanganan fisioterapi selama 1kali terapi di Balai Besar

Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Makassar dapat diambil kesimpulan bahwa

pasien yang bernama Tn. A, umur 50 tahun dengan diagnosa medis Syndrome

Obstruktif Post Tuberkulosis (SOPT). Diperoleh hasil melalui evaluasi sesaat

berupa :

1. Sesak nafas menggunakan skala Borg : nilai 3 ( sesak nafas (sedang) menjadi

nilai 0 (tidak ada sesak).

2. Berkurangnya retensi sputum.

3. Penurunaan Spasme pada M. Upper Trapezius Saran

B. Saran

1. Bagi pasien

Penulis menyarankan kepada pasien untuk menghindari dan menjauhi

hal-hal atau tindakan yang dapat memicu terjadinya penyakit tersebut seperti

kelelahan. Hendaknya pasien rajin dalam latihan Breathing Exercise dan

55
Latihan Batuk seperti yang telah diajarkan oleh terapis agar keadaan atau

kondisi pasien lebih baik dan stabil. Selain itu pada saat pasien akan tidur

malam, pasien disarankan untuk menggunakan posisioning atau posisi saat

tidur yang tepat guna menjaga bronkus atau menghindari penumpukan mukus

pada saluran pernapasan, yaitu dengan posisi kepala lebih rendah dari pada

dada dan pasien disarankan untuk banyak mengkonsumsi air putih.

b. Saran bagi keluarga

Penulis menyarankan kepada keluarga pasien untuk selalu menjaga dan

mengontrol keadaan pasien dengan memberikan support, dan menjaga asupan

makanan dan selalu mengingatkan untuk selalu menjaga kesehatan dengan

berolahraga.

56
DAFTAR PUSTAKA

1. Sunaji, Fhaiqotul Vizky Amalia. 2017. Anatomi Sistem Pernafasan Bagian Bawah.

Diakses: 10/9/2019. https://id.scribd.com/document/347910071/Anatomi-Sistem-

Pernapasan-Bagian-Atas-Ocie

2. Widiarti, Diah. 2013. Anatomi dan Fungsi Sistem Saluran Pernapasan Bagian

Bawah. Diakses: 10/9/2019. https://id.scribd.com/document/149351523/Anatomi-Dan-

Fungsi-Saluran-Pernafasan-Bagian-Bawah

3. Nuraini Galena. 2016. Penatalksanaan Fisioterapi pada Kasus Frozen Shoulder

Dextra e.c. Capsulitis Adhesivadi RSUD Soehadi Prijonegoro Sragen. Program

Studi Diploma III Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.

4. Musaroh Latifatul. 2018. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Myofacial Trigger

Point Syndrome Upper Trapezius Dextra di RSUD Salatiga. Program Studi

Diploma III Jurusan Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas

Muhammadiyah Surakarta.

5. Noorhidayah Dwi. 2015. Penatalaksanaan Fisioterapi Padakasus Tuberkulosis

Paru Di Rsp. Ario Wirawan Salatiga. Program Studi Diploma III Fisioterapi

Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.

6. Munawaroh Fatimatul. 2015. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Tuberkulosis Paru

Di Bbkpm Surakarta. program studi diploma iii fisioterapi fakultas ilmu kesehatan

universitas muhammadiyah Surakarta

7. Rosmiwati Nur Emma.2014. Penatalaksaan Fisioterapi Pada Sindrom Obstruksi

Pasca Tuberkolosis (SOPT) Dir S Paru Dr Ario Wiranto. Program Studi Diploma

III Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.

57
LEMBAR ALGORHITMA ASSESSMENT

(Algorhitma assessment fisioterapi berdasarkan pengamatan dan perlakuan

terhadap kasus yang ditangani)

Nama Pasien =Tn. H.A Umur = 70 tahun Jenis Kelamin = laki-laki

Kondisi / Penyakit : : “Gangguan Fungsional Respirasi dengan Batuk berdahak disertai

Penurunan Mobilitas Sangkar Thoraks Et Cause Syndrome Obstructive Post Tuberculosis

(SOPT)“.

History Taking :

Pasien pertama kali datang ke BBKPM Makassar pada April 2013 dengan diagnose SOPT. Memiliki riwayat OAT

pertama kali tahun 2012, dimana pengobatan hanya 5 bulan dikarenakan pasien mengalami kecelakaan. Kemudian OAT

kedua kalinya pada tahun 2016 dengan tuntas.

Inspeksi

 Saat statis : Raut wajah pasien nampak cemas, pengembangan thorax menurun, bentuk dada
nampak sternum masuk ke dalam (pectus excavatum), dan napas cepat dangkal (tachypnea).
 Saat dinamis :Postur tubuh khyposis dan saat berjalan pasien merasa sesak.

Pemeriksaan fisik

 Pemeriksaan  Pengukuran Derajat sesak : 3 (sesak Palpasi :Terdapat spasme pada


auskultasi : ronchi napas sedang)
pada bagian apical  Pengukuran VAS: 2 (Nyeri Ringan) M. Upper Trapezius.
kiri dan kanan  Mobilitas sangkar thorax :
 Spirometri : Penurunan sangkar thorax : T
moderate  Muscle test : spasme upper trapezius
obstruction  Walking Tes six minute : 3,64 trek
dengan tingat severty yang dirasakan
pasien yaitu 3 Aktivitas ringan
(rasanya seperti anda dapat bernapas
dengan mudah selama empat jam dan
bercakap-cakap).

Pemeriksaan Penunjang :

Pemeriksaan Lab dan Radiologi

Hasil lab Hasil radiologi

Pada tanggal 3 April 2012 dengan hasil =


l 9 Maret 2019 = BTA (-)
 Infectia Bronchiestatis Paracardial kanan +
 Spesifik aktif kanan
24 Juli 2019 = MTB (-)  Cor Diafragma Sinus baik

58
Diagnosa ICF :

“Gangguan Fungsional Respirasi dengan Batuk berdahak disertai Penurunan

Mobilitas Sangkar Thoraks Et Cause Syndrome Obstructive Post Tuberculosis

(SOPT)“.

Makassar, ..........................................

Clinical Instructor, Preceptor,

59
LEMBAR BAGAN ICF

Bagan ICF sesuai dengan problematik yang ditemukan berdasarkan hasil assessment

terhadap kasus yang ditangani

Nama Pasien : Tn. H.A

Umur : 70 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Kondisi/Penyakit :
“Gangguan Fungsional Respirasi dengan Batuk berdahak disertai Penurunan Mobilitas

Sangkar Thoraks Et Cause Syndrome Obstructive Post Tuberculosis (SOPT)“.

Impairment Acivity Limitation Participation Restriction


(Body structure and
function)

 Sesak nafas. Mampu untuk berpartisipasi


 Batuk berdahak ADL mandiri namun dengan lingkungan
 Penurunan sangkar pasien tidak dapat sekitarnya seperti gotong
thorax. mengangkat beban berat royong namun tidak dapat
 Spasme pada M. dan tidak berjalan dengan mengangkat beban berat.
Upper Trapezius. cepat.

 Penurunan volume
paru.

Makassar, ..........................................

Clinical Instructor, Preceptor,

60
LEMBAR INTERVENSI FISIOTERAPI

Berbagai jenis pendekatan intervensi fisioterapi yang diberikan oleh CE bersama

dengan mahasiswa praktikan.

Nama Pasien : Tn. H.A Umur : 70 tahun Jenis Kelamin : laki-laki

Diagnosa Fisioterapi : “Gangguan Fungsional Respirasi dengan Batuk berdahak disertai Penurunan

Mobilitas Sangkar Thoraks Et Cause Syndrome Obstructive Post Tuberculosis (SOPT)“.

Jenis Tujuan Intervensi Alasan Klinis

Intervensi

MWD Mengurangi nyeri, Microwave Diathermy (MWD) adalah

meningkatkan sirkulasi darah, bentuk radiasi elektromagnetik Efek

memberikan efek vasodilatasi yang terjadi adalah kenaikan

sehingga elasticitas jaringan temperatur, yaitu berpengaruh

meningkat. terhadap jaringan yang bersifat

isolator, konduktor, dan jaringan

elektrolit. Pada jaringan yang bersifat

isolator panas dapat timbul akibat

discplacment current karena

dipengaruhi oleh electron yang kuat,

sedangkan pada jaringan yang bersifat

konduktor panas terjadi akibat rotasi

dipole karena ion-ion bersifat lebih

mobile. Karena sifat panas yang

dihasilkan dapat meningkatkan

61
ekstensibilitas jaringan kolagen, maka

hal ini dapat membantu sebelum

melakukan latihan atau treatment

TENS - Mengurangi nyeri akut Teori control gerbang (Gate Kontrol),

dan kronik teori ini menjelaskan bahwa serabut

- Menlancarkan sirkulasi syaraf dengan diameter kecil yang

darah membawa stimulus nyeri akan melalui

- Memelihara sifat pintu yang sama dengan serabut yang

fisiologis otot dengan memiliki diameter lebih besar yang

adanya rangsangan membawa impuls rab

saraf (mekanoreseptor), apabila kedua

serabut saraf tersebut secara bersama-

sama melewati pintu yang sama, maka

serabut yang lebih besar akan

menghambat hantaran impuls dari

serabut yang lebih kecil. Gerbang

biasanya tertutup, menghalangi secara

konstan transmisi nosiseptif melalui

serabut C dari sel perifer ke sel-T. Jika

timbul rangsangan nyeri perifer,

informasi dibawa oleh serabut C

mencapai sel-T dan gerbang akan

terbuka, menyebabkan transmisi

62
sentral ke Thalamus dan korteks

dimana impuls akan diinterpretasikan

sebagai nyeri. TENS berperan dalam

mekanisme tertutupnya gerbang

dengan menghambat nosiseptif

serabut C dengan memberikan impuls

pada serabut bermyelin yang

teraktifasi.

Postural Untuk mencegah terkumpulnya Pada postural dreinage posisi pasien

Drainase sekret dalam saluran nafas ditempatkan sedemikian rupa

tetapi juga mempercepat sehingga dari lokasi kelainan paru

pengeluaran sekret menjadi pengeluaran sekret dengan

bantuan gaya beratnya. Pada

umumnya dalam keadaan demikian,

juga dilakukan perkusi dan vibrasi.

Perkusi dan vibrasi merupakan energi

gelombang mekanik yang diterapkan

pada dinding dada dan diteruskan

kedalam paru. Dengan gelombang

energi mekanik tersebut sekret akan

bergetar dan turun. Dengan demikian

duharapkan bertambahnya

pembersihan sputum dari saluran

napas oleh pengaruh gaya beratnya

63
serta pengaruh perkusi dan vibrasi.

Latihan Untuk merangsang terbukanya Batuk efektif adalah merupakan suatu

Batuk sistem kolateral, meningkatkan metode batuk dengan benar, dimana

distribusi ventilasi, dan klien dapat menghemat energi

meningkatkan volume paru sehingga tidak mudah lelah dan dapat

serta memfasilitasi mengeluarkan dahak secara maksimal.

pembersihan saluran napas Jika sputum terlalu kental untuk dapat

yang memungkinkan pasien dikeluarkan, ada baiknya mengurangi

untuk mengeluarkan sekresi viskositasnya dengan meningkatkan

mukus dari jalan napas kandungan airnya melalui hidrasi

yang adekuat.

Breathing Untuk melatih otot-otot Latihan ini berfokus pada pengobatan

exercise pernapasan dan memperbaiki inspirasi dan eksiparasi juga dengan

ventilasi dan merangsang pola ekspirasi yang panjang dengan

reflex batuk cara bibir mencucu, selain itu

berathing control merupakan latihan

pernapasan yang dapat meningkatkan

volume paru, mempertahankan

alveolus agar tetap megembang,

meningkatkan oksigensi, membantu

membersihkan sekresi mukusa,

mobilitas sangkar thorax dan

64
meningkatkan kekuatan daya tahan

dan koordinasi otot-otot respirasi,

meningkatkan efektifitas mekanisme

batuk, memperthankan atau

meningkatkan mobilitas chestdan

thoracal spine, koreksi pola-pola

napas yang abnormal dan

meningkatkan relaksasi

(subroto,2010)

Mobilisasi Untuk meningkatkan mobilitas Latihan mobilisasi sangkar thoraks

Thoraks dinding dada dan akan terjadi stimulasi pada otot-otot

meningkatkan fungsi pernafasan yang mengalami

pernapasan. keterbatasan sehingga dapat

membantu kontraksi lebih kuat selama

inspirasi dengan demikian ekspansi

sangkar thoraks dapat bertambah.

Stretching Untuk mengurangi kekakuan, Pada saat stretching, otot akan terulur

Exercises spasme, dan nyeri tekan. maka spindle otot juga terulur.

Spindel otot akan melaporkan

perubahan panjang dan seberapa cepat

perubahan panjang itu terjadi serta

memberikan sinyal ke medulla

spinalis untuk meneruskan informasi

65
ini ke susunan saraf pusat. Spindel

otot akan memicu stretch refleks yang

biasa disebut juga dengan refleksi

miostatis untuk mencoba menahan

perubahan panjang otot yang terjadi

dengan cara otot yang diulur tadi

kemudian berkontraksi. Semakin tiba-

tiba terjadi perubahan panjang otot

maka akan menyebabkan otot

berkontraksi semakin kuat. Fungsi

dari spindel otot ini membantu

memelihara tonus otot dan mencegah

cedera otot. Salah satu alasan untuk

mempertahankan suatu penguluran

dalam jangka waktu yang lama adalah

pada saat otot dipertahankan pada

posisi terulur maka spindel otot akan

terbiasa dengan panjang otot yang

baru dan akan mengurangi sinyal tadi.

Secara bertahap reseptor stretch akan

terlatih untuk memberikan panjang

yang lebih besar lagi terhadap otot

(Pamungkas,2011).

66
Makassar, ..........................................

Clinical Instructor, Preceptor,

67
LEMBAR INTERVENSI FISIOTERAPI

Berbagai jenis pendekatan intervensi fisioterapi sesuai dengan Evidence Based practice

dan Clinical Reasoning

Nama Pasien : Tn. H.A Umur : 70 tahun Jenis Kelamin : laki-laki

Diagnosa Fisioterapi : “Gangguan Fungsional Respirasi dengan Batuk berdahak disertai


Penurunan Mobilitas Sangkar Thoraks Et Cause Syndrome Obstructive Post Tuberculosis
(SOPT)“.

Jenis Tujuan Intervensi Alasan Klinis

Intervensi

MWD Mengurangi nyeri, Menurut penelitian Nia Rima Fakultas

meningkatkan sirkulasi darah, Ilmu Kesehatan Universitas Aisyiyah

memberikan efek vasodilatasi Yogyakarta (2017). Modalitas yang

sehingga elasticitas jaringan digunakan untuk mengurangi nyeri

meningkat. pada pasien dengan pemberian

modalitas berupa MWD. Hasil terapi

menunjukkan bahwa adanya

penurunan nyeri yang signifikan

setelah dilakukan terapi selam

4minggu. MWD adalah salah satu

terapi heating yang menggunakan

stressor fisis berupa energi

eletromagnetik yang dihasilkan oleh

arus bolak balik


TENS - Mengurangi nyeri akut Menurut penelitian Latifatul

dan kronik Muasaroh (2018) “Penatalaksanaan

- Menlancarkan sirkulasi Fisioterapi pada Myofacial Trigger

darah Point Syndrome Upper Trapezius

- Memelihara sifat Dextra di RSUD Salatiga” , terhadap

fisiologis otot dengan penurunan nyeri setelah dilakukan

adanya rangsangan terapi 6 kali terapi dapat disimpulkan

saraf bahwa tingkat nilai nyeri semakin

berkurang, dari T1 yaitu nyeri = +++

(nyeri berat) dan T6 yaitu nyeri = +

(nyeri ringan).

Postural Untuk mencegah terkumpulnya Menurut penelitian Yustinan Tri

Drainase sekret dalam saluran nafas Utami (2017) penatalaksanaan

tetapi juga mempercepat fisioterapi pada kasus bronkiektasis di

pengeluaran sekret balai besar kesehatan paru masyarakat

surakarta. Postural Drainage adalah

teknik pengaturan posisi tertentu

untuk mengalirkan sekresi pulmonal

pada area tertentu dari lobus paru

dengan pengaruh gaya gravitasi,

dilakukan dengan memposisikan

pasien tidur miring atau side laying

searah dengan letak sputum yang ada.

Posisikan seperti itu hingga 10 menit.


Dengan menggunkan modalitas

fisioterapi berupa Postural Drainage,

dapat mengurangi tingkat sesak nafas

yang dapat dapat dilihat dari

penurunan nilai angka pada borg scale

T0 sebesar 4, T1 sebesar 4, T2 sebesar

4, T3 sebesar 3, dan T4 sebesar 3.

Selain itu Postural Drainage juga

dapat memudahkan pasien dalam

mengelurkan spuntum

Latihan Untuk merangsang terbukanya Menurut penelitian yuliatie, dkk

Batuk sistem kolateral, meningkatkan program SI keperawatan STIKES

distribusi ventilasi, dan PEMKAB JOMBANG (2015).

meningkatkan volume paru Modalitas sesuai untuk mengeluarkan

serta memfasilitasi sputum pada pasien adalah dengan

pembersihan saluran napas pemberian modalitas batuk efektif.

yang memungkinkan pasien Hasil penelitian menunjukkan bahwa

untuk mengeluarkan sekresi terdapat peningkatan volume psputum

mukus dari jalan napas (cc) setelah diberikan batuk efektif

terhadap 19 responden dari jumlah

sampelnya yaitu 24 responden.

Breathing Untuk melatih otot-otot Menurut penelitian anita puji lestari

exercise pernapasan, memperbaiki 2015 penatalaksanaan fisioterapi pada


ventilasi dan merangsang sindrom obstruksi. Paska tuberkulosis

reflex batuk di RS Paru Dr. Ario Wirawan selatiga.

Dalam pemberian pursed lip breathing

terhadap peneurunan sesak napas

setelah dilakukan 6kali terapi dapat

disimpulkan bahwa tingkat nilai

derajat sesak napas semakin

berkurang dari TI nilai sesak napas 5,

dan T6 tidak ada sesak napas.

Mobilisasi Untuk meningkatkan mobilitas Menurut penelitian Sukma Wardani

Thoraks dinding dada dan (2017) “Penatalaksanaan Fisioterapi

meningkatkan fungsi pada Pasien dengan Pneumonia di RS

pernapasan. Paru Dr. Ario Wirawan Salatiga” ,

dalam pemberian mobilisasi thoraks

terhadap dengan peningkatan sangkar

thoraks dengan menggunakan alat

ukur meteran setelah dilakukan terapi

3 kali terapi dapat disimpulkan bahwa

tingkat nilai pengembangan thoraks,

dari T1 pengembangan 1 cm dan T3

pengembangan thoraks 2 cm.

Stretching Untuk mengurangi kekakuan, Menurut penelitian Ema Nur

Exercises spasme, dan nyeri tekan. Rosmawati (2014) “Penatalaksanaan


Fisioterapi pada Syndrome

Obstructive Post Tuberculosis (SOPT)

di RS Paru Dr. Ario Wirawan” ,

dalam pemberian stretching exercise

terhadap penurunan spasme setelah

dilakukan terapi 6 kali terapi dapat

disimpulkan bahwa tingkat nilai

spasme semakin berkurang, dari T1

nilai ++ (spasme berat) dan T6 nilai

sesak + (spasme ringan).

Makassar, ..........................................

Clinical Instructor, Preceptor,


73

Anda mungkin juga menyukai