Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)

DI RS WAVA HUSADA KEPANJEN

Oleh :

RISNAWATI LANDARI (1920050)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KEPANJEN


A. DEFINISI
PPOK adalah penyakit paru yang berifat kronik dan menjadi salah satu faktor
yang menyebabkan sesak napas bagi penderitanya karena ditandai dengan hambatan
aliran udara yang bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru
terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya (Rumampuk & Thalib, 2020).
Penyakit paru obstruktif kronis merupakan penyakit saluran napas yang sifatnya
kronik, progresif irreveible atau reversibel sebagian yang ditandai dengan adanya
obstruksi saluran napas akibat reaksi inflamasi abnormal, hiperaktivasi saluran napas,
destruksi dinding alveolar dan bronchus yang menyebabkan terjadinya penurunan jumlah
oksigen yang masuk, memanjangnya masa ekspirasi akibat penurunan daya elastisitas
paru (Sulistiowati et al., 2021).

B. ANATOMI SISTEM RESPIRASI


Sistem respirasi adalah sistem yang memiliki fungsi utama untuk melakukan
respirasi dimana respirasi merupakan proses mengumpulkan oksigen dan mengeluarkan
karbondioksida. Fungsi utama sistem respirasi adalah untuk memastikan bahwa tubuh
mengekstrak oksigen dalam jumlah yang cukup untuk metabolisme sel dan melepaskan
karbondioksida (Peate and Nair, 2011).
Sistem respirasi terbagi menjadi sistem pernafasan atas dan sistem pernafasan
bawah. Sistem pernafasan atas terdiri dari hidung, faring dan laring. Sedangkan sistem
pernafasan bawah terdiri dari trakea, bronkus dan paru-paru (Peate and Nair, 2011).
a. Hidung
Masuknya udara bermula dari hidung. Hidung merupakan organ pertama dalam
sistem respirasi yang terdiri dari bagian eksternal (terlihat) dan bagian internal. Di
hidung bagian eksternal terdapat rangka penunjang berupa tulang dan hyaline
kartilago yang terbungkus oleh otot dan kulit. Struktur interior dari bagian eksternal
hidung memiliki tiga fungsi :
(1) menghangatkan, melembabkan, dan menyaring udara yang masuk
(2) mendeteksi stimulasi olfaktori (indra pembau)
(3) modifikasi getaran suara yang melalui bilik resonansi yang besar dan bergema.
Rongga hidung sebagai bagian internal digambarkan sebagai ruang yang besar pada
anterior tengkorak (inferior pada tulang hidung; superior pada rongga mulut); rongga
hidung dibatasi dengan otot dan membrane mukosa (Tortorra and Derrickson, 2014)
b. Faring
Faring, atau tenggorokan, adalah saluran berbentuk corong dengan panjang 13 cm.
Dinding faring disusun oleh otot rangka dan dibatasi oleh membrane mukosa. Otot
rangka yang terelaksasi membuat faring dalam posisi tetap sedangkan apabila otot
rangka kontraksi maka sedang terjadi proses menelan. Fungsi faring adalah sebagai
saluran untuk udara dan makanan, menyediakan ruang resonansi untuk suara saat
berbicara, dan tempat bagi tonsil (berperan pada reaksi imun terhadap benda asing)
(Tortorra and Derrickson, 2014)
c. Laring
Laring tersusun atas 9 bagian jaringan kartilago, 3 bagian tunggal dan 3 bagian
berpasangan. 3 bagian yang berpasangan adalah kartilago arytenoid, cuneiform, dan
corniculate. Arytenoid adalah bagian yang paling signifikan dimana jaringan ini
mempengaruhi pergerakan membrane mukosa (lipatan vokal sebenarnya) untuk
menghasilkan suara. bagian lain yang merupakan bagian tunggal adalah tiroid,
epiglotis, dan cricoid. Tiroid dan cricoid keduanya berfungsi melindungi pita suara.
Epiglotis melindungi saluran udara dan mengalihkan makanan dan minuman agar
melewati esofagus (Peate and Nair, 2011).
d. Trakea
Trakea atau batang tenggorokan merupakan saluran tubuler yang dilewati udara dari
laring menuju paru-paru. Trakea juga dilapisi oleh epitel kolumnar bersilia sehingga
dapat menjebak zat selain udara yang masuk lalu akan didorong keatas melewati
esofagus untuk ditelan atau dikeluarkan lewat dahak. Trakea dan bronkus juga
memiliki reseptor iritan yang menstimulasi batuk, memaksa partikel besar yang
masuk kembali keatas (Peate and Nair, 2011).
e. Bronkus
Setelah laring, trakea terbagi menjadi dua cabang utama, bronkus kanan dan kiri,
yang mana cabang-cabang ini memasuki paru kanan dan kiri pula. Didalam masing-
masing paru, bronkus terus bercabang dan semakin sempit, pendek, dan semakin
banyak jumlah cabangnya, seperti percabangan pada pohon. Cabang terkecil dikenal
dengan sebutan bronchiole (Sherwood, 2010). Pada pasien PPOK sekresi mukus
berlebih ke dalam cabang bronkus sehinga menyebabkan bronkitis kronis.
f. Paru
Paru-paru dibagi menjadi bagian-bagian yang disebut lobus. Terdapat tiga lobus di
paru sebelah kanana dan dua lobus di paru sebelah kiri. Diantara kedua paru terdapat
ruang yang bernama cardiac notch yang merupakan tempat bagi jantung. Masing-
masing paru dibungkus oleh dua membran pelindung tipis yang disebut parietal dan
visceral pleura. Parietal pleura membatasi dinding toraks sedangkan visceral pleura
membatasi paru itu sendiri. Diantara kedua pleura terdapat lapisan tipis cairan
pelumas. Cairan ini mengurangi gesekan antar kedua pleura sehingga kedua lapisan
dapat bersinggungan satu sama lain saat bernafas. Cairan ini juga membantu pleura 8
visceral dan parietal melekat satu sama lain, seperti halnya dua kaca yang melekat
saat basah (Peate and Nair, 2011). Cabang-cabang bronkus terus terbagi hingga
bagian terkecil yaitu bronchiole. Bronchiole pada akhirnya akan mengarah pada
bronchiole terminal. Di bagian akhir bronchiole terminal terdapat sekumpulan
alveolus, kantung udara kecil tempat dimana terjadi pertukaran gas (Sherwood,
2010). Dinding alveoli terdiri dari dua tipe sel epitel alveolar. Sel tipe I merupakan sel
epitel skuamosa biasa yang membentuk sebagian besar dari lapisan dinding alveolar.
Sel alveolar tipe II jumlahnya lebih sedikit dan ditemukan berada diantara sel alveolar
tipe I. sel alveolar tipe I adalah tempat utama pertukaran gas. Sel alveolar tipe II
mengelilingi sel epitel dengan permukaan bebas yang mengandung mikrofili yang
mensekresi cairan alveolar. Cairan alveolar ini mengandung surfaktan sehingga dapat
menjaga permukaan antar sel tetap lembab dan menurunkan tekanan pada cairan
alveolar. Surfaktan merupakan campuran kompleks fosfolipid dan lipoprotein.
Pertukaran oksigen dan karbondioksida antara ruang udara dan darah terjadi secara
difusi melewati dinding alveolar dan kapiler, dimana keduanya membentuk membran
respiratori (Tortora dan Derrickson, 2014)

C. ETIOLOGI
Faktor risiko PPOK digolongkan menjadi paparan lingkungan dan faktor host.
Paparan dengan rokok merupakan penyebab terbesar dari PPOK, baik aktif maupun pasif.
Paparan lingkungan lain adalah faktor risiko PPOK yakni debu perjalanan, polusi dalam
dan luar ruangan yang secara lansgung terhidup masuk kedalam saluran pernapasan
(Nies, 2018).
D. KLASIFIKASI
(GOLD) 2015, PPOK diklasifikasikan seperti tingkatan berikut:
1. Derajat I (PPOK ringan)
Gejala klinis berupa batuk atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produks
sputum.Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak. Spirometri : FEV1/FVC <
70%, FEV1 ≥ 80% .
2. Derajat II (PPOK sedang)
Gejala klinis berupa batuk atau tanpa batuk, dengan atau tanpa produksi sputum.
Sesak napas derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat aktivitas). Spirometri :FEV1/FVC
< 70%; 50% < FEV1 < 80%.
3. Derajat III (PPOK berat)
Gejala klinis berupa sesak napas derajat sesak. Eksaserbasi lebih sering terjadi.
Spirometri :FEV1/FVC < 70%; 30% < FEV1 < 50%.
4. Derajat IV (PPOK sangat berat)
Gejala klinis pasien derajat III dengan gagal napas kronik. Disertai komplikasi kor
pulmonale atau gagal jantung kanan. Spirometri :FEV1/FVC < 70%; FEV1 < 30%
atau < 50%.
E. MANIFESTASI KLINIS (TANDA & GEJALA)
Menurut Royid et al (2020) berikut tanda dan gejala PPOK :
1. Sesak napas
2. Batuj dengan produksi sputum
3. Dada terasa berat
4. Wheezing
5. Tampak lelah
6. Penurunan berat badan
7. Anoreksia
F. PATHOFISIOLOGIS
PPOK dicirikan dengan adanya hambatan aliran udara kronis yang tidak
sepenuhnya reversibel, serta adanya respon inflamasi yang abnormal di paru. Perubahan
patologis paru pasien PPOK ditemukan pada saluran udara proksimal dan perifer,
parenkim paru dan pembuluh darah pernapasan. Pada pasien PPOK, respon pelindung
normal terhadap zat asing yang masuk ke dalam paru mengalami amplifikasi dan
menyebabkan kerusakan jaringan. Secara umum, perubahan inflamatif dan struktural
yang terjadi meningkat seiring dengan memburuknya kondisi penyakit dan bersifat
persisten bahkan setelah pasien berhenti terpapar zat asing. Beberapa mekanisme yang
terlibat dalam memperburuk respon inflamasi pada pasien PPOK diantaranya respon
imun bawaan dan adaptif, sel dan mediator inflamasi, ketidakseimangan protease dan
antiprotease, serta stress oksidatif. Seluruh mekanisme tersebut memeliki keterkaitan.
Sistem imunitas inflamasi bawaan menyediakan perlindungan primer terhadap zat
asing. Garis perlindungan pertama dari sistem ini terdiri dari mucociliary clearance
apparatus dan makrofag yang bertugas membersihkan bendaasing dari saluran
pernapasan. Pada pasien PPOK, kedua hal ini mengalami gangguan serius. Garis
perubahan kedua ialah eksudasi plasma dan sirkulasi sel ke dalam saluran udara besar
dan kecil, serta alveoli. Proses ini dikendalikan oleh kemokines pro-inflamasi serta
sitokolin, yang mana dihasilkan oleh sel-sel inflamasi. PPOK dicirikan dengan adanya
peningkatan netroufil, makrofag, limfosit T (CD8 > CD4) dan sel-sel dendritik di
berbagai bagian dalam paru. Sel dendritik merupakan major antigen-presenting cells
(MHC) yang menghubungkan respon imun bawaan dan adaptif. Selain mekanisme diatas,
adanya stress oksidatif juga berperan dalam patogenesis PPOK. Stress oksidatif dapat
menyebabkan stimulasi produksi mukus serta inaktivasi antiprotease, yang menyebabkan
adanya ketidakseimbangan proteaseantiprotease. Stres oksidatif dapat menyebabkan
amplifikasi inflamasi dengan mengaktifkan berbagai jalur interseluler. Perubahan-
perubahan patologis yangterjadi menyebabkan abnormalitias fisiologis, diantaranya
hipersekresi mukus, disfungsi silia, gangguan aliran udara, abnormalitas pertukaran
udara, hipertensi pulmoner dan efek siskemik.
Adanya hambatan aliran udara merupakan prinsip kerusakan fisiologis dari
PPOK. Faktor intrinsik yang menyebabkan kondisi ini diantaranya inflamasi dinding
bronkus termasuk inflamasi/edema mukosa, perubahan bentuk/fibrosis dinding bronkus
dan sekresi mukosa. Faktor ekstrinsik meliputi hilangnya elastisitas jaringan penunjang
dan adanya kompresi ekspirasi. Faktor lainnya seperti disfungsi otot-otot pernapasan
dapat memperparah kondisi tambahan aliran udara pada pasien. Hiperinflasi juga dapat
terjadi pada pasien PPOK, menyebabkan peningkatan kapasitas residu fungsional akibat
adanya udara yang terperangkap (Satryasa et al., 2018)
G. KOMPLIKASI
1. Hipoksemia
2. Asidosis respiratori
3. Gagal jantung
4. Cardiac disritmia
5. Infeksi respiratori

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Foto Thorax
2. Kultur sputum
3. Lab darah lengkap
4. Elektrokardiografi/EKG
5. Pemeriksaan fall paru
I. PATHWAY

J. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a. Identitas klien
Nama, umur, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, agama,
pendidikan, status perkawinan
b. Status kesehatan saat ini
Keluhan utama saat masuk rumah sakit pada penderita PPOK yakni sesak napas,
batuk dan sputum berlebih.
c. Riwayat kesehatan saat ini
d. Riwayat kesehatan terdahulu
Untuk mengetahui riwayat penyakit terdahulu tanyakan pada pasien atau keluarga
dan juga obat-obatan yang biasa diminum oleh pasien pada masa dahulu.
e. Riwayat keluarga
Tanyakan pada pasien atau keluarga tentang riwayat penyakit keturunan (genetik).
f. Pola aktifitas-latihan
g. Pola makan dan minum
h. Pola eliminasi
i. Pola istirahat tidur
j. Pola kebersihan diri
k. Pola toleransi – koping stress
l. Pola nilai & kepercayaan

2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Kesadaran, tanda – tanda vital, tinggi badan serta berat badan
b. Pemeriksaan head to toe

3. Diagnosis keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan cara untuk mengidentifikasi, memfokuskan dan
mengatasi kebutuhan spesifik klien secara respon terhadap aktual dan risiko tinggi.
Berikut merupakan diagnosa keperawatan yang muncul pada diagnosa medis PPOK :
a. Bersihan jalan napas tidak efektif
b. Pola napas tidak efektif
c. Gangguan pertukaran gas
d. Gangguan pola tidur

4. Intervensi

Diagnosa SLKI & SIKI


Keperawatan
SLKI SIKI
Bersihan jalan napas tidak Setelah dilakukan Observasi
efektif b.d sekresi yang intervensi keperawatan 1. Monitor pola
tertahan d.d : diharapkan bersihan napas
1. Sputum berlebih jalan napas meningkat 2. Monitor bunyi
2. Batuk tidak efektif dengan kriteria hasil : napas
3. Tidak mampu batuk 1. Produksi sputum 3. Identifikasi
4. Mengi, wheezing menurun kemampuan batuk
atau ronkhi kering 2. Pola napas 4. Monitor sputum
5. Dispnea membaik (jumlah, warna,
6. Pola napas berubah 3. Dyspnea aroma)
7. Frekuensi nafas berkurang 5. Monitor tanda &
betambah gejala infeksi
saluran nafas
Terapeutik
1. Posisikan semi
fowler
2. Berikan minum air
hangat
3. Lakukan suction
selama 15 detik
4. Berikan oksigen, jika
perlu

Edukasi
1. Anjurkan asupan
cairan 2000 ml/hari
2. Ajarkan teknik batuk
efektif

Kolaborasi
1. Kolaborasikan
pemberian obat
Pola nafas tidak efektif b.d Setelah dilakukan Observasi
kelmahan otot pernafasan intervensi keperawatan 1. Monitor pola
d.d : diharapkan pola napas napas (frekuensi,
1. Penggunaan otot membaik dengan kedalaman, usaha
bantu pernapasan kriteria hasil : nafas)
2. Fase ekspirasi 1. Kapasitas vital 2. Monitor bunyi
memanjang membaik nafas tambahan
3. Dispnea 2. Tekanan ekpirasi (gurgling, mengi,
4. Pola napas abnormal meningkat wheezing, ronki)
(takipnea, bradipnea, 3. Tekanan 3. Auskultasi bunyi
hipoventilasi) inspirasi nafas
5. Pernafasan cuping meningkat 4. Monitor saturasi
hidung 4. Dispnea oksigen
6. Tekanan ekspirasi menurun
menurun 5. Penggunaan otot Teraputik
7. Tekanan inspirasi bantu nafas 1. Posisikan semi fowler
menurun menurun 2. Lakukan fisioterapi
6. Frekuensi nafas dada
membaik 3. Berikan oksigen, jika
perlu

Kolaborasi
1. Kolaborasikan
pemberian
bronkodilator
Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan Observasi
b.d ketidakseimbangan intervensi keperawatan 1. Monitor pola
ventilasi perfusi d.d : diharapkan pertukaran napas (frekuensi,
1. Dispnea gas meningkat dengan kedalaman, usaha
2. Takikardi kriteria hasil : nafas)
3. Bunyi nafas 1. Dispnea 2. Monitor adanya
tambahan menurun sumbatan jalan
4. PCO2 2. Bunyi nafas napas
meningkat/menurun tambahan 3. Auskultasi bunyi
5. PO2 menurun menurun nafas
6. Pusing 3. Pusing menurun 4. Monitor saturasi
7. Penglihatan kabur 4. Penglihatan oksigen
8. Sianosis kabur menurun 5. Monitor
9. Gelisah 5. Gelisah menurun kecepatan oksigen
10. Nafas cuping hidung 6. Nafas cuping 6. Monitor
11. Pola nafas abnormal hidung menurun kemampuan
12. Kesadaran menurun 7. PCO2 membaik melepaskan
8. PO2 membaik oksigen saat
9. Takikardia makan
membaik
10. Sianosis Terapeutik
membaik 1. Pertahankan
11. Pola nafas kapatenan jalan
membaik napas
12. Warna kulit 2. Berikan oksigen
membaik tambahan, jika perlu

Kolaborasi
1. Kolaborasi
penentuan dosis
oksigen
2. Kolaborasi
penggunaan oksigen
saat beraktivitas dan
tidur
5. Implementasi
Implementasi merupakan pelaksanaan dari rencana asuhan keperawatan yang
telah disusun selama fase perencanaan. Hal ini terdiri dari aktivitas perawat dalam
membantu pasien mengatasi masalah kesehatannya dan juga untuk mencapai hasil
yang diharapkan dari pasien (Pangkey et al., 2021).

6. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan, dimana pada dokumentasi
ini akan membandingkan secara sistematis dan terencana tentang kesehatan pada
pasien dengan tujuan yang telah diformulasikan dengan kenyataan yang dialami oleh
pasien dengan melibatkan pasien dan tenaga kesehatan lainnya (Pangkey et al., 2021).
DAFTAR PUSTAKA

Nies, M. A. (2018). Keperawatan Kesehatan Komunitas dan Keluarga (Edisi pert). ELSEVIER
Pangkey, B. C. ., Hutapea, A. D., & Stanggang, I. S. Y. F. (2021). Dasar-Dasar Dokumentasi
Keperawatan. Yayasan Kita Menulis.
Rosyid, A. N., Marhana, I. A., & Hasan, H. (2020). Kedokteran Respirasi 2020. Airlangga
University Press.
Satryasa, A. B. S., Suryantari, S. A. A., Pratama, G. M. C. T., Hartawan, I. G. N. R. M., &
Muliarta, I. M. (2018). Potensi Pranayama Dalam Meditasi Raja Yoga Sebagai Modalitas
Pencegahan Serta Terapi Komplementer Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).
Essential: Essnce of scientific Medical Journal, 16(1), 21-29.
Selistowati, S., Sitorus, R., & Herawati, T. (2021). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Jurnal Ilmiah Kesehatan Keris Husada, 5(1),
30-38.

Anda mungkin juga menyukai