NAMA
UNIT : ………………………………
DEPARTEMEN KEPERAWATAN
2023
LAPORAN PENDAHULUAN
ASMA BRONKIAL
Sistem pernapasan secara garis besar terdiri dari bagian konduksi yang terdiri
dari cavum nasi, nasofaring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus dan bronkiolus
terminal; dan bagian respirasi (tempat terjadi pertukaran gas) yang terdiri dari
bronkiolus respiratorius, duktus alveolar, dan alveoli. Sistem pernapasan terbagi
menjadi sistem pernafasan atas dan sistem pernafasan bawah. Sistem pernafasan
atas terdiri dari hidung, faring dan laring. Sedangkan sistem pernafasan bawah
terdiri dari trakea, bronkus dan paru-paru (Peate & Nair, 2017).
1. Hidung
Masuknya udara bermula dari hidung. Hidung merupakan organ pertama
dalam sistem pernapasan yang terdiri dari bagian eksternal (terlihat) dan
bagian internal. Pada hidung bagian eksternal terdapat rangka penunjang
berupa tulang dan hyaline kartilago yang terbungkus oleh otot dan kulit.
Struktur interior dari bagian eksternal hidung memiliki tiga fungsi :
menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara yang masuk;
mendeteksi stimulasi olfaktori (indra pembau); dan modifikasi getaran suara
yang melalui bilik resonansi yang besar dan bergema. Rongga hidung sebagai
bagian internal digambarkan sebagai ruang yang besar pada anterior
tengkorak (inferior pada tulang hidung; superior pada rongga mulut), rongga
hidung dibatasi dengan otot dan membrane mukosa (Tortorra & Derrickson,
2014).
2. Faring
Faring atau tenggorokan adalah saluran berbentuk corong dengan
panjang 13 cm. Dinding faring disusun oleh otot rangka dan dibatasi oleh
membrane mukosa. Otot rangka yang terelaksasi membuat faring dalam posisi
tetap sedangkan apabila otot rangka kontraksi maka sedang terjadi proses
menelan. Fungsi faring adalah sebagai saluran untuk udara dan makanan,
menyediakan ruang resonansi untuk suara saat berbicara, dan tempat bagi
tonsil (berperan pada reaksi imun terhadap benda asing) (Tortorra &
Derrickson, 2014).
3. Laring
Laring tersusun atas 9 bagian jaringan kartilago, 3 bagian tunggal dan 3
bagian berpasangan. 3 bagian yang berpasangan adalah kartilago arytenoid,
cuneiform dan corniculate. Arytenoid adalah bagian yang paling signifikan
dimana jaringan ini mempengaruhi pergerakan membrane mukosa (lipatan
vokal sebenarnya) untuk menghasilkan suara. 3 bagian lain yang merupakan
bagian tunggal adalah tiroid, epiglotis dan cricoid. Tiroid dan cricoid keduanya
berfungsi melindungi pita suara. Epiglotis melindungi saluran udara dan
mengalihkan makanan dan minuman agar melewati esofagus (Peate & Nair,
2017).
4. Trakea
Trakea atau batang tenggorokan merupakan saluran tubuler yang dilewati
udara dari laring menuju paru-paru. Trakea juga dilapisi oleh epitel kolumnar
bersilia sehingga dapat menjebak zat selain udara yang masuk lalu akan
didorong keatas melewati esofagus untuk ditelan atau dikeluarkan lewat
dahak. Trakea dan bronkus juga memiliki reseptor iritan yang menstimulasi
batuk, memaksa partikel besar yang masuk kembali ke atas (Peate & Nair,
2017).
5. Bronkus
Bronkus (cabang tenggorokan) merupakan lanjutan dari trakea, terdapat
pada ketinggian vertebrae torakalis IV dan V. Bronkus mempunyai struktur
sama dengan trakea dan dilapisi oleh sejenis sel yang sama dengan trakea dan
berjalan ke bawah kearah tampuk paru-paru.
Trakea terbagi menjadi dua cabang utama, bronkus kanan dan kiri, yang
mana cabang-cabang ini memasuki paru kanan dan kiri pula. Di dalam masing-
masing paru, bronkus terus bercabang dan semakin sempit, pendek dan
semakin banyak jumlah cabangnya, seperti percabangan pada pohon. Cabang
terkecil dikenal dengan sebutan bronchiole (Tortorra & Derrickson, 2014).
2. Etiologi
Menurut berbagai penelitian patologi dan etiologi asma belum diketahui
dengan pasti penyebababnya, akan tetapi hanya menunjukan dasar gejala
asma, yaitu inflamasi dan respon saluran nafas yang berlebihan ditandai
dengan dengan adanya kalor (panas karena vasodilatasi), tumor (esudasi
plasma dan edema), dolor (rasa sakit karena rangsangan sensori), dan function
laesa (fungsi yang terganggu) (Sudoyo, 2015).
Sebagai pemicu timbulnya serangan dapat berupa infeksi (infeksi
Respiratory Syncytial Virus), iklim (perubahan mendadak suhu, tekanan udara),
inhalan (debu, kapuk, tungau, sisa serangga mati, bulu binatang, serbuk sari,
bau asap, uap cat), makanan (putih telur, susu sapi, kacang tanah, coklat, biji-
bijian, tomat), obat (aspirin), kegiatan fisik (olahraga berat, kecapaian, tertawa
terbahak-bahak) dan emosi (Sudoyo, 2015).
Sampai saat ini, etiologi asma belum diketahui dengan pasti. Namun suatu
hal yang sering kali terjadi pada semua penderita asma adalah fenomena
hiperaktivis bronchus. Bronkus penderita asma sangat peka terhadap rangsang
imunologi maupun non imunologi. Karena sifat tersebut, maka serangan asma
mudah terjadi akibat berbagai rangsang baik fisik, metabolisme, kimia,
allergen, infeksi dan sebagainya. Faktor penyebab yang sering menimbulkan
asma perlu diketahui dan sedapat mungkin dihindarkan. Faktor-faktor tersebut
adalah (Sudoyo, 2015) :
a. Alergen utama : debu rumah, spora jamur dan tepung sari rerumputan.
b. Iritan dengan asap, bau-bauan dan polutan.
c. Infeksi saluran nafas terutama yang disebabkan oleh virus.
d. Perubahan cuaca yang ekstrem
e. Aktivitas fisik yang berlebih.
f. Lingkungan kerja.
g. Obat-obatan.
h. Emosi.
i. Lain-lain : seperti refluks gastro esofagus.
3. Klasifikasi
Asma terbagi menjadi alergi, idiopatik, nonalergik dan campuran (mixed)
(Sudoyo, 2015), yaitu :
a. Asma alergik/ekstrinsik
Merupakan suatu jenis asma yang disebabkan oleh alergen
(misalnya bulu binatang, debu, ketombe, tepung sari, makanan dan lain-
lain). Alergen yang paling umum adalah alergen yang perantaraan
penyebarannya melalui udara (air borne) dan alergen yang muncul
secara musiman (seasonal). Pasien dengan asma alergik biasanya
mempunyai riwayat penyakit alergi pada keluarga dan riwayat
pengobatan eczema atau rhinitis alergik. Paparan terhadap alergi akan
mencetuskan serangan asma. Gejala asma pada umumnya dimulai pada
saat kanak-kanak.
b. Idiopatik atau asma non allergik/intrinsik
Merupakan jenis asma yang tidak berhubungan secara langsung
dengan alergen spesifik. Faktor-faktor seperti common cold, infeksi
saluran nafas atas, aktivitas, emosi dan polusi lingkungan dapat
menimbulkan serangan asma. Beberapa agen farmakologi, antagonis
beta adrenergik dan agen sulfite (penyedap makanan) juga dapat
berperan sebagai faktor pencetus. Serangan asma idiopatik atau non
alergik dapat menjadi lebih berat dan sering kali dengan berjalannya
waktu dapat berkembang menjadi bronkhitis dan emfisema. Pada
beberapa pasien, asma jenis ini dapat berkembang menjadi asma
campuran. Bentuk asma ini dimulai pada saat dewasa (> 35 tahun).
c. Asma campuran (mixed asthma)
Merupakan bentuk asma yang paling sering ditemukan.
Dikarakteristikkan dengan bentuk kedua jenis asma alergi dan idiopatik
atau non alergik. Klasifikasi keparahan asma dibedakan pada 3 kategori
umur, yaitu umur 0-4 tahun, 5-11 tahun dan > 12 tahun-dewasa. letak
perbedaannya adalah (Masriadi, 2016) :
1) Kategori umur 0-4 tahun, fungsi paru tidak menjadi parameter
gangguan. Hal ini karena pada anak-anak di bawah 4 tahun masih
sulit untuk dilakukan uji fungsi paru menggunakan spirometer. Pada
kategori umur ini, asma diklasifikasikan sebagai asma persisten jika
dalam 6 bulan terjadi ≥ 2 serangan yang membutuhkan steroid
oral atau episode mengi sebanyak ≥ 4 episode setahun yang
lamanya lebih dari sehari, serta memiliki faktor resiko untuk asma
persisten. Sedangkan pada kategori umur 5-11 tahun dan ≥ 12
sampai dewasa, asma diklasifikasikan sebagai persisten jika terjadi ≥
2 serangan yang menimbulkan steroid oral dalam setahun.
2) Kategori umur 5-11 tahun dengan umur ≥ 12 tahun dewasa,
terdapat perbedaan pada ukuran uji fungsi paru.
4. Manifestasi Klinik
Berikut ini adalah tanda dan gejala asma, menurut Ikawati (2016), tanda
dan gejala pada penderita asma dibagi menjadi 2, yakni :
a. Stadium dini
Faktor hipersekresi yang lebih menonjol :
1) Batuk dengan dahak bisa dengan maupun tanpa pilek.
2) Ronchi basah halus pada serangan kedua atau ketiga, sifatnya
hilang timbul.
3) Wheezing belum ada.
4) Belum ada kelainana bentuk thorak.
5) Ada peningkatan eosinofil darah dan IGE.
6) Blood gas analysis (BGA) belum patologis.
Faktor spasme bronchiolus dan edema yang lebih dominan :
1) Timbul sesak napas dengan atau tanpa sputum.
2) Wheezing
3) Ronchi basah bila terdapat hipersekresi.
4) Penurunan tekanan parial O2.
b. Stadium lanjut/kronik
1) Batuk, ronchi.
2) Sesak nafas berat dan dada seolah-olah tertekan.
3) Dahak lengket dan sulit untuk dikeluarkan.
4) Suara napas melemah bahkan tak terdengar (silent chest).
5) Thorak seperti barel chest.
6) Tampak tarikan otot sternokleido mastoideus.
7) Sianosis.
8) Blood gas analysis (BGA) Pa O2 kurang dari 80 %.
9) Rontgen paru terdapat peningkatan gambaran bronchovaskuler
kanan dan kiri.
10) Hipokapnea dan alkalosis bahkan asidosis repiratorik.
11) Bising mengi (wheezing) yang terdengar dengan atau tanpa
stetoskop, batuk produktif, sering pada malam hari, nafas atau
dada seperti tertekan, ekspirasi memanjang
5. Patofisiologi
Pada dua dekade yang lalu, penyakit asma dianggap merupakan penyakit
yang disebabkan karena adanya penyempitan bronkus saja, sehingga terapi
utama pada saat itu adalah suatu bronkodilator, seperti betaegonis dan
golongan metil ksantin saja. Namun, para ahli mengemukakan konsep
baru yang kemudian digunakan hingga kini, yaitu bahwa asma merupakan
penyakit inflamasi pada saluran pernafasan, yang ditandai dengan
bronkokonstriksi, inflamasi dan respon yang berlebihan terhadap rangsangan
(hyperresponsiveness). Selain itu juga terdapat penghambatan terhadap aliran
udara dan penurunan kecepatan aliran udara akibat penyempitan bronkus.
Akibatnya terjadi hiperinflasi distal, perubahan mekanis paru-paru dan
meningkatnya kesulitan bernafasan. Selain itu juga dapat terjadi peningkatan
sekresi mukus yang berlebihan (Ikawati, 2016).
Secara klasik, asma dibagi dalam dua kategori berdasarkan faktor
pemicunya, yaitu asma ekstrinsik atau alergi dan asma intrinsik atau
idiosinkratik. Asma ekstrinsik mengacu pada asma yang disebabkan karena
menghirup alergen, yang biasanya terjadi pada anak-anak yang memiliki
keluarga dan riwayat penyakit alergi (baik eksim, utikaria atau hay fever).
Asma instrinsik mengacu pada asma yang disebabkan oleh karena faktor-
faktor di luar mekanisme imunitas dan umumnya dijumpai pada orang
dewasa, disebut juga asma non alergik, dimana pasien tidak memiliki riwayat
alergi. Beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya asma antara lain : udara
dingin, obat-obatan, stress dan olahraga (Ikawati, 2016).
6. Pathway
7. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah mencapai asma terkontrol
sehingga penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari. Pada prinsipnya penatalaksanaan asma dibagi
menjadi 2, yaitu : penatalaksanaan asma jangka panjang dan penatalaksanaan
asma akut/saat serangan.
a. Tatalaksana asma jangka panjang
Prinsip utama tatalaksana jangka panjang adalah edukasi, obat asma
(pengontrol dan pelega) dan menjaga kebugaran (senam asma). Obat
pelega diberikan pada saat serangan, obat pengontrol ditujukan untuk
pencegahan serangan dan diberikan dalam jangka panjang dan terus
menerus.
b. Tatalaksana asma akut pada anak dan dewasa
Tujuan tatalaksana serangan asma akut :
1) Mengatasi gejala serangan asma.
2) Mengembalikan fungsi paru ke keadaan sebelum serangan.
3) Mencegah terjadinya kekambuhan.
4) Mencegah kematian karena serangan asma.
8. Komplikasi
Komplikasi akibat asma yang tidak terkendali antara lain :
a. Tidur yang terganggu.
b. Fungsi paru-paru yang terganggu menghalangi aktivitas fisik atau
olahraga, meningkatnya resiko penyakit jantung.
c. Peradangan menahun pada saluran pernapasan bisa mengakibatkan
kerusakan permanen pada paru.
d. Peningkatan risiko kematian karena serangan asma yang parah (Sunarti,
2011).
Komplikasi yang dapat teradi pada asma bronkial apabila tidak segera
ditangani adalah :
a. Gagal napas.
b. Bronkhitis.
c. Fraktur iga (patah tulang rusuk).
d. Pneumotoraks (penimbunan udara pada rongga dada di sekeling paru
yang menyebabkan paru-paru kolaps).
e. Pneumodiastinum penimbunan dan emfisema subkitus.
f. Aspergilosis bronkopulmoner alergik.
g. Atelektasis (Sundaru & Sukanto, 2006).
9. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan laboratorium meliputi :
1) Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum pada penderita asma akan didapati :
a) Kristal-kristal charcot leyden merupakan degranulasi dari
kristal eosinopil.
b) Spiral curshmann, yakni merupakan cast cell (sel cetakan) dari
cabang bronkus.
c) Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
d) Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umunya
bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang
terdapat mucus plug.
2) Pemeriksaan Darah
a) Analisa gas darah pada umunya normal akan tetapi dapat
pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia atau asidosis.
b) Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
c) Hiponaptremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas
15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.
d) Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari
Ig E pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari
serangan.
3) Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu
serangan menunjukkan gambaran hiperinflasi pada paru- paru, yakni
rodiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta
diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka
kelainan yang didapat adalah sebagai berikut :
a) Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hillus akan
bertambah.
b) Bila terdapat komplikasi empisema, maka gambaran radiolusen
akan semakin bertambah.
c) Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran inflitrate
pada paru.
d) Dapat pula menimbulkan atelektasis lokal.
e) Bila terjadi pneumonia mediastrium, pneumotoraks dan
pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran
radiolusen pada paru-paru.
4) Pemeriksaan Tes Kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang
dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
5) Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat
dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang
terjadi pada empisema paru, yaitu :
a) Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right
aixs devisiasi dan clockwise rotation.
b) Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni
terdapatnya RBB (Right bundle branch block).
c) Tanda-tanda hipoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia,
SVES dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negatif.
6) Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara
yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat
respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer
dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol
(inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau
FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak
adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan
spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi
juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan.
Banyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya
menunjukkan obstruksi.
7) Uji Provokasi Bronkus
Pengobatan profilaksis dianggap merupakan cara pengobatan yang
paling rasional, karena sasaran obat-obat tersebut langsung pada
faktor-faktor yang menyebabkan bronkospasme. Pada umumnya
pengobatan profilaksis berlangsung dalam jangka panjang, dengan
cara kerja obat sebagai berikut :
a) Menghambat pelepasan mediator.
b) Menekan hiperaktivitas bronkus
Hasil yang diharapkan dari pengobatan profilaksis adalah :
a) Bila mungkin bisa menghentikan obat simptomatik.
b) Menghentikan atau mengurangi pemakaian steroid.
c) Mengurangi banyaknya jenis obat dan dosis yang dipakai.
d) Mengurangi tingkat keparahan penyakit, mengurangi frekuensi
serangan dan meringankan beratnya serangan.
Obat profilaksis yang biasa digunakan adalah :
a) Steroid dalam bentuk aerosol.
b) Disodium Cromolyn.
c) Ketotifen.
d) Tranilast.
8) Foto Sinus Paranasalis
Diperlukan jika asma sulit terkontrol untuk melihat adanya
sinusitis (Hasdianah & Suprapto, 2016).
BAB II
APLIKASI TEORI
A. Kasus
B. Pengkajian
Pengkajian adalah pengumpulan, pengaturan, validasi dan dokumentasi
data (informasi) yang sistematis dan berkesinambungan. Sebenarnya
pengkajian adalah proses berkesinambungan yang dilakukan pada semua fase
proses keperawatan (Konzier, Berman & Snyder, 2011).
1. Identitas Klien
1) Usia : asma bronkial dapat menyerang segala usia, tetapi lebih sering
dijumpai pada usia dini. Separuh kasus timbul sebelum usia 10 tahun
dan sepertiga kasus lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun.
2) Jenis kelamin : laki-laki dan perempuan di usia dini sebesar 2:1 yang
kemudian sama pada usia 30 tahun.
3) Tempat tinggal dan jenis pekerjaan : lingkungan kerja diperkirakan
merupakan faktor pencetus yang menyumbang 2-15% klien dengan
asma bronkial. Kondisi rumah, pajanan alergen, hewan di dalam
rumah, pajanan asap rokok tembakau, kelembaban dan pemanasan.
2. Riwayat Kesehatan Klien
1) Keluhan utama
Keluhan utama yang biasa timbul pada pasien yang mengalami asma
bronkial adalah batuk, peningkatan sputum, dispnea (bisa berhari-
hari atau berbulan-bulan), hemoptisis, wheezing, stridor, dan nyeri
dada.
2) Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit sekarang yang biasa timbul pada pasien asma
bronkial adalah pasien mengalami sesak nafas, batuk berdahak,
biasanya pasien sudah lama menderita penyakit asma, dalam
keluarga ada yang menderita penyakit asma.
3) Riwayat kesehatan dahulu
Perawat menanyakan tentang riwayat penyakit pernafasan pasien.
Secara umum perawat perlu menanyakan mengenai hal-hal berikut
ini :
a) Riwayat merokok, merokok merupakan penyebab utama kanker
paru-paru, emfisema dan bronkhitis kronis. Semua keadaan itu
sangat jarang menimpa non perokok.
b) Pengobatan saat ini, alergi dan tempat tinggal.
c) Anamnesis harus mencakup hal-hal :
Usia mulainya merokok secara rutin.
Rata-rata jumlah rokok yang dihisap per-hari.
Usia menghentikan kebiasaan merokok.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Klien dengan asma bronkial sering kali ditemukan adanya riwayat
penyakit keturunan, tetapi pada beberapa klien lainnya tidak
ditemukan adanya penyakit yang sama pada anggota keluarganya.
5) Riwayat Psikososial
a) Presepsi klien terhadap masalahnya
Perlu dikaji tentang pasien terhadap penyakitnya. Presepsi
yang salah satu dapat menghambat respon kooperatif pada diri
pasien.
b) Pola nilai kepercayaan dan spiritual
Kedekatan pasien pada sesuatu yang diyakini di dunia dipercaya
dapat meningkatkan kekuatan jiwa pasien. Keyakinan pasien
terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta pendekatan diri pada-Nya
merupakan suatu metode penanggulangan stres yang
konstruktif.
c) Pola komunikasi
Gejala asma sangat membatasi pasien untuk menjalankan
kehidupannya secara normal. Pasien perlu menyesuaikan
kondisinya berhubungan dengan orang lain.
d) Pola interaksi
Pada pasien asma, biasanya interaksi dengan orang lain
berkurang.
e. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum Klien
Keadaan umum pada pasien asma yaitu compos mentis, lemah,
dan sesak nafas.
2) Pemeriksaan Kepala dan Muka
Simetris, tidak ada nyeri tekan, warna rambut hitam atau putih,
tidak ada lesi.
3) Pemeriksaan Telinga
Inspeksi : Simestris, tidak ada lesi, tidak ada benjolan.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan.
4) Pemeriksaan Mata
Inspeksi : Simestris, tidak ada lesi, tidak ada odema.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, konjungtiva merah muda, sklera
putih.
5) Pemeriksaan Hidung
Inspeksi : Simetris, terdapat rambut hidung, terdapat pernafasan
cuping hidung, tidak ada lesi
Palpasi : tidak ada nyeri tekan.
6) Pemeriksaan Mulut dan Faring
Inspeksi : Mukosa bibir lembab, tidak ada lesi disekitar mulut,
biasanya ada kesulitan untuk menelan.
7) Pemeriksaan Leher
Inspeksi : Simetris, tidak ada peradangan, tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan.
8) Pemeriksaan Payudara dan Ketiak
Ketiak tumbuh rambut atau tidak, tidak ada lesi, tidak ada
benjolan, payudara simetris.
9) Pemeriksaan Thoraks
a) Pemeriksaan Paru
Inspeksi :
Batuk produktif/nonproduktif, terdapat sputum yang
kental dan sulit dikeluarkan, bernafas dengan
menggunakan otot-otot tambahan, sianosis, pernafasan
cuping hidung, penggunaan oksigen dan sulit bicara karena
sesak nafas.
Palpasi :
Bernafas dengan menggunakan otot-otot tambahan,
takikardi akan timbul diawal serangan, kemudian diikuti
sianosis sentral.
Perkusi :
Lapang paru yang hipersonor pada perkusi.
Auskultasi :
Respirasi terdengar kasar dan suara mengi (Whezzing) pada
fase respirasi semakin menonjol.
b) Pemeriksaan Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : Ictus cordis terletak di ICS V mid clavicula kiri.
Auskultasi : BJ 1 dan BJ 2 tunggal, tidak ada suara
tambahan.
Perkusi : Suara pekak.
c) Palpasi :
Sebelum dilakukan palpasi tanyakan terlebih dahulu kepada
pasien adakah daerah yang nyeri apabila ada maka harus
di palpasi terakhir, palpasi umum terhadap keseluruhan dinding
abdomen untuk mengetahui apakah ada nyeri umum
(peritonitis, pancreatitis). Kemudian mencari dengan perabaan
ada atau tidaknya massa/benjolan (tumor). Periksa juga turgor
kulit perut untuk menilai hidrasi pasien. Setelah itu
periksalah dengan tekanan region suprapubika (cystitis), titik
mc burney (appendicitis), region epigastrica (gastritis), dan
region iliaca (adnexitis) barulah secara khusus kita melakukan
palpasi hepar. Palpasi hepar dilakukan dengan telapak tangan
dan jari kanan dimulai dari kuadran kanan bawah
berangsur-angsur naik mengikuti irama nafas dan cembungan
perut. Rasakan apakah ada pembesaran hepar atau tidak.
d) Perkusi
Untuk memperkirakan ukuran hepar, adanya udara pada
lambung dan usus (tympani atau redup).
Untuk mendengarkan atau mendeteksi adanya gas, cairan
atau massa dalam perut. Bunyi perkusi pada perut yang
normal dalah timpani, tetapi bunyi ini dapat berubah pada
keadaan tertentu misalnya apabila hepar dan limpa
membesar, maka bunyi perkusi akan menjadi redup,
khusunya perkusi di daerah bawah kosta kanan dan kiri.
11) Pemeriksaan Integumen
Adanya nyeri tekan atau tidak, struktur kulit halus, warna kulit sawo
matang, tidak ada benjolan.
12) Pemeriksaan Ekstermitas
a) Tanda-tanda injuri eksternal.
b) Nyeri.
c) Pergerakan.
d) Odema, fraktur.
f. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum pada penderita asma akan didapati :
a) Kristal-kristal charcot leyden merupakan degranulasi dari
kristal eosinopil.
b) Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan)
dari cabang bronkus.
c) Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
d) Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umunya
bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang
terdapat mucus plug.
2) Pemeriksaan Darah
a) Analisa gas darah pada umunya normal akan tetapi dapat pula
terjadi hipoksemia, hiperkapnia atau asidosis.
b) Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
c) Hiponaptremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas
15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.
d) Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari
Ig E pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari
serangan.
3) Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada
waktu serangan menunjukkan gambaran hiperinflasi pada paru-paru,
yakni rodiolusen yang bertambah dan peleburan rongga
intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila
terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai
berikut :
a) Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hillus akan
bertambah.
b) Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran
radiolusen akan semakin bertambah.
c) Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran inflitrate pada
paru
d) Dapat pula menimbulkan atelektasis lokal.
e) Bila terjadi pneumonia mediastrium, pneumotoraks, dan
pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran
radiolusen pada paru-paru.
4) Pemeriksaan Tes Kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang
dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
5) Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat
dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang
terjadi pada empisema paru yaitu :
a) Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right aixs
devisiasi dan clockwise rotation.
b) Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni
terdapatnya RBB (Right bundle branch block).
c) Tanda-tanda hipoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia,
SVES dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negatif.
6) Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara
yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat
respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer
dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol
(inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau
FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak
adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan
spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi
juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan.
Banyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya
menunjukkan obstruksi.
7) Uji Provokasi Bronkus Untuk Membantu Diagnosis
Pengobatan profilaksis dianggap merupakan cara pengobatan yang
paling rasional, karena sasaran obat-obat tersebut langsung pada
faktor-faktor yang menyebabkan bronkospasme.
g. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis :
1) Oksigen 4-6 liter / menit.
2) Pemenuhan hidrasi via infus.
3) Terbutalin 0,25 mg / 6 jam secara subkutan (SC).
4) Bronkodilator atau antibronkospasme dengan cara :
a) Nebulizer (via inhalsi) dengan golongan terbutaline 0,25 mg
(Bricasma), fenoterol HBr 0,1% solution (berotec), orciprenaline
sulfur 0,75 mg (Allupent).
b) Intravena dengan golongan theophyline ethilenediamine
(Aminophillin) bolus IV 5-6 mg/ kg BB.
c) Peroral dengan aminofillin 3x150 mg tablet, agonis B2
(salbutamol 5 mg, feneterol 2,5 mg, terbutaline 10 mg).
d) Antiedema mukosa dan dinding bronkus dengan golongan
kortikosteroid, deksamethasone 4 mg IV setiap 8 jam.
C. Analisa Data
D. Diagnosa Keperawatan
Masalah yang lazim muncul (SDKI, 2017) adalah :
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan nafas,
spasme jalan nafas, proses infeksi, respon alergi.
b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas, depresi
pusat pernafasan, deformitas dinding dada.
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi.
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen, kelemahan.
e. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi.
1. Intervensi Keperawatan
Kolaborasi
9. Kolaborasi pemberian mukolitik atau
ekspektoran, jika perlu.
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
No
SDKI SLKI SIKI
2 Pola napas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan Nafas
berhubungan dengan hambatan keperawatan selama 3 x 24 jam, pola Observasi
upaya nafas, depresi pusat nafas membaik dengan kriteria hasil : 1. Monitor pola napas (frekuensi,
pernafasan, deformitas dinding dada. 1. Tekanan ekspirasi meningkat. kedalaman, usaha napas).
2. Tekanan inspirasi meningkat. 2. Monitor bunyi napas tambahan (mis.
3. Dispnea menurun. Gurgling, mengi, weezing, ronkhi
4. Frekuensi nafas membaik. kering).
5. Kedalaman nafas membaik. 3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma).
Terapeutik
4. Posisikan semi-Fowler atau Fowler.
5. Berikan minum hangat.
6. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu.
7. Berikan oksigen, jika perlu.
Edukasi
8. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari,
jika tidak kontraindikasi.
9. Ajarkan teknik batuk efektif.
Kolaborasi
10. Kolaborasi pemberian bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik, jika perlu.
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
No
SDKI SLKI SIKI
3 Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan tindakan Pemantauan Respirasi
berhubungan dengan ketidak- keperawatan selama 3 x 24 jam, Observasi
seimbangan ventilasi-perfusi. pertukaran gas meningkat dengan 1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman,
kriteria hasil : dan upaya napas.
1. Dispnea menurun. 2. Monitor pola napas (seperti bradipnea,
2. Bunyi nafas tambahan menurun. takipnea, hiperventilasi, Kussmaul,
3. Nafas cuping hidung menurun. Cheyne Stokes, Biot, ataksik)
4. Takikardia membaik. 3. Monitor kemampuan batuk efektif.
5. Sianosis membaik. 4. Monitor adanya produksi sputum.
6. Pola nafas membaik. 5. Monitor adanya sumbatan jalan napas.
6. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru.
7. Auskultasi bunyi napas.
8. Monitor saturasi oksigen.
9. Monitor nilai AGD.
10. Monitor hasil x-ray toraks.
Terapeutik
11. Atur interval waktu pemantauan
respirasi sesuai kondisi pasien.
12. Dokumentasikan hasil pemantauan.
Edukasi
13. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan.
14. Informasikan hasil pemantauan, jika
perlu.
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
No
SDKI SLKI SIKI
Terapi Oksigen
Observasi
1. Monitor kecepatan aliran oksigen.
2. Monitor posisi alat terapi oksigen.
3. Monitor tanda-tanda hipoventilasi.
4. Monitor tanda dan gejala toksikasi
oksigen dan atelektasis.
5. Monitor tingkat kecemasan akibat terapi
oksigen .
6. Monitor integritas mukosa hidung akibat
pemasangan oksigen.
Terapeutik
7. Bersihkan secret pada mulut, hidung dan
trachea, jika perlu.
8. Pertahankan kepatenan jalan nafas.
9. Berikan oksigen tambahan, jika perlu.
10. Gunakan perangkat oksigen yang sesuai
dengat tingkat mobilisasi pasien.
Edukasi
11. Ajarkan pasien dan keluarga cara
menggunakan oksigen dirumah.
Kolaborasi
12. Kolaborasi penentuan dosis oksigen.
13. Kolaborasi penggunaan oksigen saat
aktivitas dan/atau tidur.
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
No
SDKI SLKI SIKI
4 Intoleransi aktivitas berhubungan Setelah dilakukan tindakan Terapi Aktivitas
dengan ketidakseimbangan antara keperawatan selama 3 x 24 jam, Observasi
suplai dan kebutuhan oksigen, toleransi aktivitas meningkat dengan 1. Identifikasi defisit tingkat aktivitas.
kelemahan. kriteria hasil : 2. Identifikasi kemampuan berpartisipasi
1. Kemudahan dalam melakukan dalam aktivitas tertentu.
aktivitas sehari-hari meningkat.
2. Keluhan lelah menurun. Terapeutik
3. Perasaan lelah menurun. 3. Fasilitasi memilih aktivitas sesuai
kemampuan.
4. Fasilitasi aktivitas fisik rutin (mis.
ambulasi, mobilisasi dan perawatan diri),
sesuai kebutuhan.
5. Libatkan kelarga dalam aktivitas, jika
perlu.
6. Berikan penguatan positif atas partisipasi
dalam aktivitas.
Edukasi
7. Anjurkan keluarga untuk memberi
penguatan positif atas partisipasi dalam
aktivitas.
Kolaborasi
8. Kolaborasi dengan terapi okupasi dalam
merencanakan dan memonitor program
aktivitas, jika sesuai.
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
No
SDKI SLKI SIKI
5 Ansietas berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan Reduksi Ansietas
kurang terpapar informasi. keperawatan selama 1 x 24 jam, Observasi
ansietas klien menurun dengan kriteria 1. Identifikasi saat tingkat ansietas berubah
hasil : (konsidi, waktu, stresor).
1. Verbalisasi kebingungan menurun. 2. Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan
2. Verbalisasi khawatir akibat kondisi non verbal).
yang dihadapi menurun.
3. Perilaku gelisah menurun. Terapeutik
4. Perilaku tegang menurun. 3. Ciptakan suasana terapeutik untuk
menumbuhkan kepercayaan.
4. Motivasi mengidentifikasi situasi yang
memicu kecemasan.
Edukasi
5. Informasikan secara faktual mengenai
diagnosis, pengobatan dan prognosis.
6. Latih teknik relaksasi.
Kolaborasi
7. Kolaborasi pemberian obat ansietas, jika
perlu.
2. Implementasi Keperawatan
3. Evaluasi Keperawatan
DAFTAR PUSTAKA
Hasdianah, & Suprapto, S.I. 2016, Patologi dan Patofisiologi Penyakit, Nuha
Medika, Yogyakarta.
Hudak & Gallo. 2010, Keperawatan Kritis : Pendekatan Asuhan Holistik, Edisi 8,
Volume 2, EGC, Jakarta.
Kozier, Berman & Snyder. 2011, Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,
Proses dan Praktik, EGC, Jakarta.
Marcdante, K.J. 2021, Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial, 8th Edition,
Elsevier Pte Ltd, Singapore.
Peate, I & Nair, M. 2017, Fundamentals Of Anatomy and Physiology For Nursing
and Healthcare Students, John Wiley & Sons Inc, United States of
America.
Sherwood, L. 2014, Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem, Edisi 8, EGC, Jakarta.
Smeltzer, S.C & Bare, B.G. 2015, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner and Suddarth, EGC, Jakarta.
Sudoyo, A.W. 2015, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi V, Interna
Publishing, Jakarta.
Sunarti. 2011, Hubungan Pengetahuan Penderita Asma Tentang Penyakit Asma
dengan Perilaku Mencegah Timbulnya Kekambuhan, Karya Tulis Ilmiah,
Universitas Muhammadiyah Ponorogo.
Sundaru, H & Sukanto. 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Ilmu
Penyakit Dalam, Jakarta.
Tarwoto & Wartonah. 2015, Kebutuhan Dasar Manusia & Proses Keperawatan,
Edisi 5, Salemba Medika, Jakarta.
Tortora, G.J & Derrickson, B. 2014, Principles of Anatomy and Physiology, 13th
Edition, John Wiley & Sons Inc, United States of America.