Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN ASMA BROCHIALE

NAMA

UNIT : ………………………………

DEPARTEMEN KEPERAWATAN
2023
LAPORAN PENDAHULUAN
ASMA BRONKIAL

A. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernapasan


Sistem pernapasan adalah sistem yang memiliki fungsi utama untuk
melakukan respirasi dimana respirasi merupakan proses mengumpulkan oksigen
dan mengeluarkan karbondioksida. Fungsi utama sistem respirasi adalah untuk
memastikan bahwa tubuh mengekstrak oksigen dalam jumlah yang cukup untuk
metabolisme sel dan melepaskan karbondioksida (Peate & Nair, 2017).

Gambar 1. Sistem Pernapasan

Sistem pernapasan secara garis besar terdiri dari bagian konduksi yang terdiri
dari cavum nasi, nasofaring, laring, trakea, bronkus, bronkiolus dan bronkiolus
terminal; dan bagian respirasi (tempat terjadi pertukaran gas) yang terdiri dari
bronkiolus respiratorius, duktus alveolar, dan alveoli. Sistem pernapasan terbagi
menjadi sistem pernafasan atas dan sistem pernafasan bawah. Sistem pernafasan
atas terdiri dari hidung, faring dan laring. Sedangkan sistem pernafasan bawah
terdiri dari trakea, bronkus dan paru-paru (Peate & Nair, 2017).
1. Hidung
Masuknya udara bermula dari hidung. Hidung merupakan organ pertama
dalam sistem pernapasan yang terdiri dari bagian eksternal (terlihat) dan
bagian internal. Pada hidung bagian eksternal terdapat rangka penunjang
berupa tulang dan hyaline kartilago yang terbungkus oleh otot dan kulit.
Struktur interior dari bagian eksternal hidung memiliki tiga fungsi :
menghangatkan, melembabkan dan menyaring udara yang masuk;
mendeteksi stimulasi olfaktori (indra pembau); dan modifikasi getaran suara
yang melalui bilik resonansi yang besar dan bergema. Rongga hidung sebagai
bagian internal digambarkan sebagai ruang yang besar pada anterior
tengkorak (inferior pada tulang hidung; superior pada rongga mulut), rongga
hidung dibatasi dengan otot dan membrane mukosa (Tortorra & Derrickson,
2014).
2. Faring
Faring atau tenggorokan adalah saluran berbentuk corong dengan
panjang 13 cm. Dinding faring disusun oleh otot rangka dan dibatasi oleh
membrane mukosa. Otot rangka yang terelaksasi membuat faring dalam posisi
tetap sedangkan apabila otot rangka kontraksi maka sedang terjadi proses
menelan. Fungsi faring adalah sebagai saluran untuk udara dan makanan,
menyediakan ruang resonansi untuk suara saat berbicara, dan tempat bagi
tonsil (berperan pada reaksi imun terhadap benda asing) (Tortorra &
Derrickson, 2014).
3. Laring
Laring tersusun atas 9 bagian jaringan kartilago, 3 bagian tunggal dan 3
bagian berpasangan. 3 bagian yang berpasangan adalah kartilago arytenoid,
cuneiform dan corniculate. Arytenoid adalah bagian yang paling signifikan
dimana jaringan ini mempengaruhi pergerakan membrane mukosa (lipatan
vokal sebenarnya) untuk menghasilkan suara. 3 bagian lain yang merupakan
bagian tunggal adalah tiroid, epiglotis dan cricoid. Tiroid dan cricoid keduanya
berfungsi melindungi pita suara. Epiglotis melindungi saluran udara dan
mengalihkan makanan dan minuman agar melewati esofagus (Peate & Nair,
2017).
4. Trakea
Trakea atau batang tenggorokan merupakan saluran tubuler yang dilewati
udara dari laring menuju paru-paru. Trakea juga dilapisi oleh epitel kolumnar
bersilia sehingga dapat menjebak zat selain udara yang masuk lalu akan
didorong keatas melewati esofagus untuk ditelan atau dikeluarkan lewat
dahak. Trakea dan bronkus juga memiliki reseptor iritan yang menstimulasi
batuk, memaksa partikel besar yang masuk kembali ke atas (Peate & Nair,
2017).
5. Bronkus
Bronkus (cabang tenggorokan) merupakan lanjutan dari trakea, terdapat
pada ketinggian vertebrae torakalis IV dan V. Bronkus mempunyai struktur
sama dengan trakea dan dilapisi oleh sejenis sel yang sama dengan trakea dan
berjalan ke bawah kearah tampuk paru-paru.
Trakea terbagi menjadi dua cabang utama, bronkus kanan dan kiri, yang
mana cabang-cabang ini memasuki paru kanan dan kiri pula. Di dalam masing-
masing paru, bronkus terus bercabang dan semakin sempit, pendek dan
semakin banyak jumlah cabangnya, seperti percabangan pada pohon. Cabang
terkecil dikenal dengan sebutan bronchiole (Tortorra & Derrickson, 2014).

Gambar 2. Struktur Bronkus


6. Paru-Paru
Paru-paru dibagi menjadi bagian-bagian yang disebut lobus. Terdapat tiga
lobus di paru-paru sebelah kanana dan dua lobus di paru-paru sebelah
kiri. Diantara kedua paru terdapat ruang yang bernama cardiac notch yang
merupakan tempat bagi jantung. Masing-masing paru dibungkus oleh dua
membran pelindung tipis yang disebut parietal dan visceral pleura. Parietal
pleura membatasi dinding toraks sedangkan visceral pleura membatasi paru
itu sendiri. Diantara kedua pleura terdapat lapisan tipis cairan pelumas. Cairan
ini mengurangi gesekan antar kedua pleura sehingga kedua lapisan dapat
bersinggungan satu sama lain saat bernafas. Cairan ini juga membantu pleura
visceral dan parietal melekat satu sama lain, seperti halnya dua kaca
yang melekat saat basah (Peate & Nair, 2017).
7. Alveolus

Gambar 3. Struktur Alveolus

Cabang-cabang bronkus terus terbagi hingga bagian terkecil, yaitu


bronchiole. Bronchiole pada akhirnya akan mengarah pada bronchiole
terminal. Dibagian akhir bronchiole terminal terdapat sekumpulan alveolus,
kantung udara kecil tempat dimana terjadi pertukaran gas (Sherwood, 2014).
Dinding alveoli terdiri dari dua tipe sel epitel alveolar. Sel tipe I merupakan sel
epitel skuamosa biasa yang membentuk sebagian besar dari lapisan dinding
alveolar. Sel alveolar tipe II jumlahnya lebih sedikit dan ditemukan berada
diantara sel alveolar tipe I. sel alveolar tipe I adalah tempat utama pertukaran
gas. Sel alveolar tipe II mengelilingi sel epitel dengan permukaan bebas yang
mengandung mikrofili yang mensekresi cairan alveolar. Cairan alveolar ini
mengandung surfaktan sehingga dapat menjaga permukaan antar sel tetap
lembab dan menurunkan tekanan pada cairan alveolar. Surfaktan merupakan
campuran kompleks fosfolipid dan lipoprotein. Pertukaran oksigen dan
karbondioksida antara ruang udara dan darah terjadi secara difusi melewati
dinding alveolar dan kapiler, dimana keduanya membentuk membran
respiratori (Tortora & Derrickson, 2014).
Pernapasan mencakup dua proses yang berbeda namun tetap
berhubungan, yaitu respirasi seluler dan respirasi eksternal. Respirasi
seluler mengacu pada proses metabolisme intraseluler yang terjadi di
mitokondria. Respirasi eksternal adalah serangkaian proses yang terjadi saat
pertukaran oksigen dan karbondioksida antara lingkungan eksternal dan sel-sel
tubuh (Sherwood, 2014). Terdapat empat proses utama dalam proses
respirasi, yaitu :
a. Ventilasi pulmonar (bagaimana udara masuk dan keluar dari paru).
b. Respirasi eksternal (bagaimana oksigen berdifusi dari paru ke sirkulasi
darah dan karbondioksida berdifusi dari darah ke paru).
c. Transport gas (bagaimana oksigen dan karbondioksida dibawa dari paru
ke jaringan tubuh atau sebaliknya).
d. Respirasi internal (bagaimana oksigen dikirim ke sel tubuh dan
karbondioksida diambil dari sel tubuh) (Peate & Nair, 2017).

B. Konsep Dasar Asma Bronkial


1. Pengertian
Asma merupakan salah satu penyakit saluran nafas yang banyak
dijumpai, baik pada anak-anak maupun dewasa. Kata asma berasal dari
bahasa Yunani yang berarti “terengah-engah”. Hippocrates menggunakan
istilah asma untuk menggambarkan kejadian pernafasan yang pendek-
pendek (shortness of breath) lebih dari 200 tahun yang lalu. Sejak itu istilah
asma sering digunakan untuk menggambarkan gangguan yang terkait dengan
kesulitan bernafas, termasuk adalah istilah asma kardiak dan asma bronchial.
Menurut National Ashtma Education and Prevention Program (NAEPP) pada
National institute of Health (NIH) Amerika, asma didefinisikan sebagai
penyakit inflamasi kronik pada paru (Ikawati, 2006).
Asma Bronkial adalah penyakit pernafasan obstruktif yang ditandai oleh
spame akut otot polos bronkiolus. Hal ini menyebabkan obsktrusi aliran udara
dan penurunan ventilasi alveolus (Huddak & Gallo, 2010).
Asma Bronkial adalah penyakit jalan nafas obstruktif intermiten,
reversibel dimana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap
stimulan tertentu (Smeltzer & Bare, 2015).
Asma Bronkial adalah penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran
napas yang ditandai dengan adanya mengi, batuk dan rasa sesak di dada yang
berulang dan timbul terutama pada malam atau menjelang pagi akibat
penyumbatan saluran pernapasan (Sudoyo, 2015).
Asma Bronkial adalah suatu keadaan dimana saluran nafas mengalami
penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang
menyebabkan peradangan (Nurarif & Kusuma, 2016).
Asma Bronkial merupakan proses inflamasi kronik saluran pernapasan
menjadi hiperesponsif, sehingga memudahkan terjadinya konstriksi bronkus,
edema dan hipersekresi kelenjar (Marcdante, 2021).

2. Etiologi
Menurut berbagai penelitian patologi dan etiologi asma belum diketahui
dengan pasti penyebababnya, akan tetapi hanya menunjukan dasar gejala
asma, yaitu inflamasi dan respon saluran nafas yang berlebihan ditandai
dengan dengan adanya kalor (panas karena vasodilatasi), tumor (esudasi
plasma dan edema), dolor (rasa sakit karena rangsangan sensori), dan function
laesa (fungsi yang terganggu) (Sudoyo, 2015).
Sebagai pemicu timbulnya serangan dapat berupa infeksi (infeksi
Respiratory Syncytial Virus), iklim (perubahan mendadak suhu, tekanan udara),
inhalan (debu, kapuk, tungau, sisa serangga mati, bulu binatang, serbuk sari,
bau asap, uap cat), makanan (putih telur, susu sapi, kacang tanah, coklat, biji-
bijian, tomat), obat (aspirin), kegiatan fisik (olahraga berat, kecapaian, tertawa
terbahak-bahak) dan emosi (Sudoyo, 2015).
Sampai saat ini, etiologi asma belum diketahui dengan pasti. Namun suatu
hal yang sering kali terjadi pada semua penderita asma adalah fenomena
hiperaktivis bronchus. Bronkus penderita asma sangat peka terhadap rangsang
imunologi maupun non imunologi. Karena sifat tersebut, maka serangan asma
mudah terjadi akibat berbagai rangsang baik fisik, metabolisme, kimia,
allergen, infeksi dan sebagainya. Faktor penyebab yang sering menimbulkan
asma perlu diketahui dan sedapat mungkin dihindarkan. Faktor-faktor tersebut
adalah (Sudoyo, 2015) :
a. Alergen utama : debu rumah, spora jamur dan tepung sari rerumputan.
b. Iritan dengan asap, bau-bauan dan polutan.
c. Infeksi saluran nafas terutama yang disebabkan oleh virus.
d. Perubahan cuaca yang ekstrem
e. Aktivitas fisik yang berlebih.
f. Lingkungan kerja.
g. Obat-obatan.
h. Emosi.
i. Lain-lain : seperti refluks gastro esofagus.

3. Klasifikasi
Asma terbagi menjadi alergi, idiopatik, nonalergik dan campuran (mixed)
(Sudoyo, 2015), yaitu :
a. Asma alergik/ekstrinsik
Merupakan suatu jenis asma yang disebabkan oleh alergen
(misalnya bulu binatang, debu, ketombe, tepung sari, makanan dan lain-
lain). Alergen yang paling umum adalah alergen yang perantaraan
penyebarannya melalui udara (air borne) dan alergen yang muncul
secara musiman (seasonal). Pasien dengan asma alergik biasanya
mempunyai riwayat penyakit alergi pada keluarga dan riwayat
pengobatan eczema atau rhinitis alergik. Paparan terhadap alergi akan
mencetuskan serangan asma. Gejala asma pada umumnya dimulai pada
saat kanak-kanak.
b. Idiopatik atau asma non allergik/intrinsik
Merupakan jenis asma yang tidak berhubungan secara langsung
dengan alergen spesifik. Faktor-faktor seperti common cold, infeksi
saluran nafas atas, aktivitas, emosi dan polusi lingkungan dapat
menimbulkan serangan asma. Beberapa agen farmakologi, antagonis
beta adrenergik dan agen sulfite (penyedap makanan) juga dapat
berperan sebagai faktor pencetus. Serangan asma idiopatik atau non
alergik dapat menjadi lebih berat dan sering kali dengan berjalannya
waktu dapat berkembang menjadi bronkhitis dan emfisema. Pada
beberapa pasien, asma jenis ini dapat berkembang menjadi asma
campuran. Bentuk asma ini dimulai pada saat dewasa (> 35 tahun).
c. Asma campuran (mixed asthma)
Merupakan bentuk asma yang paling sering ditemukan.
Dikarakteristikkan dengan bentuk kedua jenis asma alergi dan idiopatik
atau non alergik. Klasifikasi keparahan asma dibedakan pada 3 kategori
umur, yaitu umur 0-4 tahun, 5-11 tahun dan > 12 tahun-dewasa. letak
perbedaannya adalah (Masriadi, 2016) :
1) Kategori umur 0-4 tahun, fungsi paru tidak menjadi parameter
gangguan. Hal ini karena pada anak-anak di bawah 4 tahun masih
sulit untuk dilakukan uji fungsi paru menggunakan spirometer. Pada
kategori umur ini, asma diklasifikasikan sebagai asma persisten jika
dalam 6 bulan terjadi ≥ 2 serangan yang membutuhkan steroid
oral atau episode mengi sebanyak ≥ 4 episode setahun yang
lamanya lebih dari sehari, serta memiliki faktor resiko untuk asma
persisten. Sedangkan pada kategori umur 5-11 tahun dan ≥ 12
sampai dewasa, asma diklasifikasikan sebagai persisten jika terjadi ≥
2 serangan yang menimbulkan steroid oral dalam setahun.
2) Kategori umur 5-11 tahun dengan umur ≥ 12 tahun dewasa,
terdapat perbedaan pada ukuran uji fungsi paru.

Klasifikasi tingkat penyakit asma berdasarkan berat ringannya gejala yang


dialami, yaitu :
a. Serangan asma akut ringan, dengan gejala :
1) Rasa berat di dada.
2) Batuk kering ataupun berdahak.
3) Gangguan tidur malam karena batuk atau sesak nafas.
4) Mengi tidak ada atau mengi ringan (arus puncak ekspirasi/APE kurang
dari 80%).
b. Serangan asma akut sedang, dengan gejala :
1) Sesak dengan mengi agak nyaring.
2) Batuk kering atau berdahak.
3) APE antara 50-80%.
c. Serangan asma akut berat, dengan gejala :
1) Sesak sekali, sukar berbicara dan kalimat terputus-putus.
2) Tidak bisa berbaring, posisi mesti ½ duduk agar dapat bernafas.
3) APE kurang dari 50%.

4. Manifestasi Klinik
Berikut ini adalah tanda dan gejala asma, menurut Ikawati (2016), tanda
dan gejala pada penderita asma dibagi menjadi 2, yakni :
a. Stadium dini
Faktor hipersekresi yang lebih menonjol :
1) Batuk dengan dahak bisa dengan maupun tanpa pilek.
2) Ronchi basah halus pada serangan kedua atau ketiga, sifatnya
hilang timbul.
3) Wheezing belum ada.
4) Belum ada kelainana bentuk thorak.
5) Ada peningkatan eosinofil darah dan IGE.
6) Blood gas analysis (BGA) belum patologis.
Faktor spasme bronchiolus dan edema yang lebih dominan :
1) Timbul sesak napas dengan atau tanpa sputum.
2) Wheezing
3) Ronchi basah bila terdapat hipersekresi.
4) Penurunan tekanan parial O2.
b. Stadium lanjut/kronik
1) Batuk, ronchi.
2) Sesak nafas berat dan dada seolah-olah tertekan.
3) Dahak lengket dan sulit untuk dikeluarkan.
4) Suara napas melemah bahkan tak terdengar (silent chest).
5) Thorak seperti barel chest.
6) Tampak tarikan otot sternokleido mastoideus.
7) Sianosis.
8) Blood gas analysis (BGA) Pa O2 kurang dari 80 %.
9) Rontgen paru terdapat peningkatan gambaran bronchovaskuler
kanan dan kiri.
10) Hipokapnea dan alkalosis bahkan asidosis repiratorik.
11) Bising mengi (wheezing) yang terdengar dengan atau tanpa
stetoskop, batuk produktif, sering pada malam hari, nafas atau
dada seperti tertekan, ekspirasi memanjang

5. Patofisiologi
Pada dua dekade yang lalu, penyakit asma dianggap merupakan penyakit
yang disebabkan karena adanya penyempitan bronkus saja, sehingga terapi
utama pada saat itu adalah suatu bronkodilator, seperti betaegonis dan
golongan metil ksantin saja. Namun, para ahli mengemukakan konsep
baru yang kemudian digunakan hingga kini, yaitu bahwa asma merupakan
penyakit inflamasi pada saluran pernafasan, yang ditandai dengan
bronkokonstriksi, inflamasi dan respon yang berlebihan terhadap rangsangan
(hyperresponsiveness). Selain itu juga terdapat penghambatan terhadap aliran
udara dan penurunan kecepatan aliran udara akibat penyempitan bronkus.
Akibatnya terjadi hiperinflasi distal, perubahan mekanis paru-paru dan
meningkatnya kesulitan bernafasan. Selain itu juga dapat terjadi peningkatan
sekresi mukus yang berlebihan (Ikawati, 2016).
Secara klasik, asma dibagi dalam dua kategori berdasarkan faktor
pemicunya, yaitu asma ekstrinsik atau alergi dan asma intrinsik atau
idiosinkratik. Asma ekstrinsik mengacu pada asma yang disebabkan karena
menghirup alergen, yang biasanya terjadi pada anak-anak yang memiliki
keluarga dan riwayat penyakit alergi (baik eksim, utikaria atau hay fever).
Asma instrinsik mengacu pada asma yang disebabkan oleh karena faktor-
faktor di luar mekanisme imunitas dan umumnya dijumpai pada orang
dewasa, disebut juga asma non alergik, dimana pasien tidak memiliki riwayat
alergi. Beberapa faktor yang dapat memicu terjadinya asma antara lain : udara
dingin, obat-obatan, stress dan olahraga (Ikawati, 2016).

Seperti yang telah dikatakan di atas, asma adalah penyakit inflamasi


saluran napas. Meskipun ada berbagai cara untuk menimbulkan suatu
respons inflamasi, baik pada asma ekstrinik maupun instrinsik, tetapi
karakteristik inflamasi pada asma umumnya sama, yaitu terjadinya infiltrasi
eosinofil dan limfosit serta terjadi pengelupasan sel-sel epitelial pada saluran
nafas dan dan peningkatan permeabilitas mukosa. Kejadian ini bahkan dapat
dijumpai juga pada penderita asma yang ringan. Pada pasien yang meninggal
karena serangan asma, secara histologis terlihat adanya sumbatan (plugs)
yang terdiri dari mukus glikoprotein dan eksudat protein plasma yang
memperangkap debris yang berisi sel-sel epitelial yang terkelupas dan sel-sel
inflamasi. Selain itu terlihat adanya penebalan lapisan subepitelial saluran
nafas. Respon inflamasi ini terjadi hampir di sepanjang saluran napas dan
trakea samapi ujung bronkiolus. Juga terjadi hiperplasia dari kelenjar-kelenjar
sel goblet yang menyebabkan hiperserkesi mukus yang kemudian turut
menyumbat saluran napas. Penyakit asma melibatkan interaksi yang kompleks
antara sel-sel inflamasi, mediator inflamasi dan jaringan pada saluran napas.
Sel-sel inflamasi utama yang turut berkontribusi pada rangkaian kejadian pada
serangan asma antara lain adalah sel mast, limfosit dan eosinofil, sedangkan
mediator inflamasi utama yang terlibat dalam asma adalah histamin,
leukotrein, faktor kemotaktik eosinofil dan beberapa sitokin, yaitu interleukin
(Ikawati, 2016).
Pada asma alergi atau atopik, bronkospasme terjadi akibat dari
meningkatnya responsivitas otot polos bronkus terhadap adanya rangsangan
dari luar, yang disebut alergen. Rangsangan ini kemudian akan memicu
pelepasan berbagai senyawa endogen dari sel mast yang merupakan mediator
inflamasi, yaitu histamin, leukotrien dan faktor kemotaktik eosinofil. Histamin
dan leukotrien merupakan bronko-konstriktor yang paten, sedangkan faktor
kemotaktik eosinofil bekerja menarik secara kimiawi sel-sel eosinofil menuju
tempat terjadinya peradangan, yaitu di bronkus (Ikawati, 2016).

6. Pathway
7. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah mencapai asma terkontrol
sehingga penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari. Pada prinsipnya penatalaksanaan asma dibagi
menjadi 2, yaitu : penatalaksanaan asma jangka panjang dan penatalaksanaan
asma akut/saat serangan.
a. Tatalaksana asma jangka panjang
Prinsip utama tatalaksana jangka panjang adalah edukasi, obat asma
(pengontrol dan pelega) dan menjaga kebugaran (senam asma). Obat
pelega diberikan pada saat serangan, obat pengontrol ditujukan untuk
pencegahan serangan dan diberikan dalam jangka panjang dan terus
menerus.
b. Tatalaksana asma akut pada anak dan dewasa
Tujuan tatalaksana serangan asma akut :
1) Mengatasi gejala serangan asma.
2) Mengembalikan fungsi paru ke keadaan sebelum serangan.
3) Mencegah terjadinya kekambuhan.
4) Mencegah kematian karena serangan asma.

Menurut Nurarif & Kusuma (2016), program penatalaksanaan asma


meliputi 7 komponen, yaitu :
a. Edukasi
Edukasi yang baik akan menurunkan morbiditi dan mortaliti. Edukasi tidak
hanya ditujukan untuk penderita dan keluarga tetapi juga pihak lain yang
sebagai pemegang keputusan, pembuat perencanaan bidang
kesehatan/asma, profesi kesehatan.
b. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
Penilaian klinis berkala antara 1-6 bulan dan monitoring asma oleh
penderita sendiri mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma. Hal
tersebut disebabkan berbagai faktor antara lain :
1) Gejala dan berat asma berubah, sehingga membutuhkan perubahan
terapi.
2) Pajanan pencetus menyebabkan penderita mengalami perubahan
pada asmanya.
3) Daya ingat (memori) dan motivasi penderita yang perlu dikaji,
sehingga membantu penanganan asma terutama asma mandiri.
c. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
d. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut
sebagai asma terkontrol. Terdapat 3 faktor yang perlu menjadi
pertimbangan, yaitu :
1) Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala
obstruksi jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.
2) Tahapan pengobatan.
a) Asma Intermiten, medikasi pengontrol harian tidak perlu
sedangakan alternatif lainnya tidak ada.
b) Asma Presisten Ringan, medikasi pengontrol harian diberikan
Glukokortikosteroid ihalasi (200-400 ugBd/hari atau
ekivalennya), untuk alternati diberikan Teofilin lepas lambat,
kromolin dan leukotriene modifiers.
c) Asma Persisten Sedang, medikasi pengontrol harian diberikan
kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800 ug BD/hari atau
ekivalennya), untuk alternatifnya diberikan glukokortikosteroid
ihalasi (400-800 ugBd atau ekivalennya) ditambah Teofilin dan
ditambah agonis beta 2 oral atau Teofilin lepas lambat.
d) Asma Persisten Berat, medikasi pengontrol harian diberikan
ihalasi glukokortikosteroid (> 800 ugBd atau ekivalennya) dan
agonis beta 2 kerja lama, ditambah 1 antara lain Teofilin lepas
lambat, Leukotriene Modifiers dan Glukokortikosteroid oral.
Untuk alternatif lainnya Prednisolo/metilprednisolon oral selang
sehari 10 mg ditambah agonis bate 2 kerja lama oral, ditambah
Teofilin lepas lambat.
3) Penanganan asma mandiri (pelangi asma).
Hubungan penderita dan dokter yang baik adalah dasar yang kuat
untuk terjadi kepatuhan dan efektif penatalaksanaan asma.
Rencanakan pengobatan asma jangka panjang sesuai kondisi
penderita, realistik/memungkinkan bagi penderita dengan maksud
mengontrol asma.
e. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
Pengobatan pada serangan akut antara lain : Nebulisasi agonis beta 2 tiap
4 jam, alternatifnya adalah Agonis beta 2 subkutan, Aminofilin intravena,
Adrenalin 1/1000 0,3 ml subkutan dan oksigen bila mungkin
kortikosteroid sistemik.
f. Kontrol secara teratur
Pada penatalaksanaan jangka panjang terdapat 2 hal yang penting
diperhatikan oleh dokter, yaitu :
1) Tindak lanjut (follow-up) teratur.
2) Rujuk ke ahli paru untuk konsultasi atau penangan lanjut bila
diperlukan.
g. Pola hidup sehat
1) Meningkatkan kebugaran fisik.
Olahraga menghasilkan kebugaran fisik secara umum. Walaupun
terdapat salah satu bentuk asma yang timbul serangan sesudah
execrise, akan tetapi tidak berarti penderita dilarang melakukan
olahraga. Senam asma Indonesia (SAI) adalah salah satu bentuk
olahraga yang dianjurkan karena melatih dan menguatkan otot-otot
pernapasan khususnya, selain manfaat lain pada olahraga umumnya.
2) Berhenti atau tidak pernah merokok.
3) Lingkungan kerja.
Kenali lingkungan kerja yang berpotensi dapat menimbulkan asma.

8. Komplikasi
Komplikasi akibat asma yang tidak terkendali antara lain :
a. Tidur yang terganggu.
b. Fungsi paru-paru yang terganggu menghalangi aktivitas fisik atau
olahraga, meningkatnya resiko penyakit jantung.
c. Peradangan menahun pada saluran pernapasan bisa mengakibatkan
kerusakan permanen pada paru.
d. Peningkatan risiko kematian karena serangan asma yang parah (Sunarti,
2011).

Komplikasi yang dapat teradi pada asma bronkial apabila tidak segera
ditangani adalah :
a. Gagal napas.
b. Bronkhitis.
c. Fraktur iga (patah tulang rusuk).
d. Pneumotoraks (penimbunan udara pada rongga dada di sekeling paru
yang menyebabkan paru-paru kolaps).
e. Pneumodiastinum penimbunan dan emfisema subkitus.
f. Aspergilosis bronkopulmoner alergik.
g. Atelektasis (Sundaru & Sukanto, 2006).

9. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan laboratorium meliputi :
1) Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum pada penderita asma akan didapati :
a) Kristal-kristal charcot leyden merupakan degranulasi dari
kristal eosinopil.
b) Spiral curshmann, yakni merupakan cast cell (sel cetakan) dari
cabang bronkus.
c) Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
d) Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umunya
bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang
terdapat mucus plug.
2) Pemeriksaan Darah
a) Analisa gas darah pada umunya normal akan tetapi dapat
pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia atau asidosis.
b) Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
c) Hiponaptremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas
15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.
d) Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari
Ig E pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari
serangan.
3) Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu
serangan menunjukkan gambaran hiperinflasi pada paru- paru, yakni
rodiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta
diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka
kelainan yang didapat adalah sebagai berikut :
a) Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hillus akan
bertambah.
b) Bila terdapat komplikasi empisema, maka gambaran radiolusen
akan semakin bertambah.
c) Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran inflitrate
pada paru.
d) Dapat pula menimbulkan atelektasis lokal.
e) Bila terjadi pneumonia mediastrium, pneumotoraks dan
pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran
radiolusen pada paru-paru.
4) Pemeriksaan Tes Kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang
dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
5) Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat
dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang
terjadi pada empisema paru, yaitu :
a) Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right
aixs devisiasi dan clockwise rotation.
b) Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni
terdapatnya RBB (Right bundle branch block).
c) Tanda-tanda hipoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia,
SVES dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negatif.

6) Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara
yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat
respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer
dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol
(inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau
FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak
adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan
spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi
juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan.
Banyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya
menunjukkan obstruksi.
7) Uji Provokasi Bronkus
Pengobatan profilaksis dianggap merupakan cara pengobatan yang
paling rasional, karena sasaran obat-obat tersebut langsung pada
faktor-faktor yang menyebabkan bronkospasme. Pada umumnya
pengobatan profilaksis berlangsung dalam jangka panjang, dengan
cara kerja obat sebagai berikut :
a) Menghambat pelepasan mediator.
b) Menekan hiperaktivitas bronkus
Hasil yang diharapkan dari pengobatan profilaksis adalah :
a) Bila mungkin bisa menghentikan obat simptomatik.
b) Menghentikan atau mengurangi pemakaian steroid.
c) Mengurangi banyaknya jenis obat dan dosis yang dipakai.
d) Mengurangi tingkat keparahan penyakit, mengurangi frekuensi
serangan dan meringankan beratnya serangan.
Obat profilaksis yang biasa digunakan adalah :
a) Steroid dalam bentuk aerosol.
b) Disodium Cromolyn.
c) Ketotifen.
d) Tranilast.
8) Foto Sinus Paranasalis
Diperlukan jika asma sulit terkontrol untuk melihat adanya
sinusitis (Hasdianah & Suprapto, 2016).
BAB II
APLIKASI TEORI

A. Kasus
B. Pengkajian
Pengkajian adalah pengumpulan, pengaturan, validasi dan dokumentasi
data (informasi) yang sistematis dan berkesinambungan. Sebenarnya
pengkajian adalah proses berkesinambungan yang dilakukan pada semua fase
proses keperawatan (Konzier, Berman & Snyder, 2011).
1. Identitas Klien
1) Usia : asma bronkial dapat menyerang segala usia, tetapi lebih sering
dijumpai pada usia dini. Separuh kasus timbul sebelum usia 10 tahun
dan sepertiga kasus lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun.
2) Jenis kelamin : laki-laki dan perempuan di usia dini sebesar 2:1 yang
kemudian sama pada usia 30 tahun.
3) Tempat tinggal dan jenis pekerjaan : lingkungan kerja diperkirakan
merupakan faktor pencetus yang menyumbang 2-15% klien dengan
asma bronkial. Kondisi rumah, pajanan alergen, hewan di dalam
rumah, pajanan asap rokok tembakau, kelembaban dan pemanasan.
2. Riwayat Kesehatan Klien
1) Keluhan utama
Keluhan utama yang biasa timbul pada pasien yang mengalami asma
bronkial adalah batuk, peningkatan sputum, dispnea (bisa berhari-
hari atau berbulan-bulan), hemoptisis, wheezing, stridor, dan nyeri
dada.
2) Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit sekarang yang biasa timbul pada pasien asma
bronkial adalah pasien mengalami sesak nafas, batuk berdahak,
biasanya pasien sudah lama menderita penyakit asma, dalam
keluarga ada yang menderita penyakit asma.
3) Riwayat kesehatan dahulu
Perawat menanyakan tentang riwayat penyakit pernafasan pasien.
Secara umum perawat perlu menanyakan mengenai hal-hal berikut
ini :
a) Riwayat merokok, merokok merupakan penyebab utama kanker
paru-paru, emfisema dan bronkhitis kronis. Semua keadaan itu
sangat jarang menimpa non perokok.
b) Pengobatan saat ini, alergi dan tempat tinggal.
c) Anamnesis harus mencakup hal-hal :
 Usia mulainya merokok secara rutin.
 Rata-rata jumlah rokok yang dihisap per-hari.
 Usia menghentikan kebiasaan merokok.
4) Riwayat kesehatan keluarga
Klien dengan asma bronkial sering kali ditemukan adanya riwayat
penyakit keturunan, tetapi pada beberapa klien lainnya tidak
ditemukan adanya penyakit yang sama pada anggota keluarganya.
5) Riwayat Psikososial
a) Presepsi klien terhadap masalahnya
Perlu dikaji tentang pasien terhadap penyakitnya. Presepsi
yang salah satu dapat menghambat respon kooperatif pada diri
pasien.
b) Pola nilai kepercayaan dan spiritual
Kedekatan pasien pada sesuatu yang diyakini di dunia dipercaya
dapat meningkatkan kekuatan jiwa pasien. Keyakinan pasien
terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta pendekatan diri pada-Nya
merupakan suatu metode penanggulangan stres yang
konstruktif.
c) Pola komunikasi
Gejala asma sangat membatasi pasien untuk menjalankan
kehidupannya secara normal. Pasien perlu menyesuaikan
kondisinya berhubungan dengan orang lain.
d) Pola interaksi
Pada pasien asma, biasanya interaksi dengan orang lain
berkurang.

d. Pola Kesehatan Sehari-Hari


1) Pola Nutrisi
Perlu dikaji tentang status nutrisi pasien meliputi, jumlah, frekuensi
dan kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya. Pada pasien sesak,
potensial sekali terjadi kekurangan dalam memenuhi kebutuhan
nutrisi, hal ini karena dispnea saat makan, laju metabolisme serta
ansietas yang dialami pasien.
2) Pola Eliminasi
Perlu dikaji tentang kebiasaan BAB dan BAK mencakup warna,
bentuk, konsistensi, frekuensi, jumlah serta kesulitan dalam
eliminasi. Penderita asma dilarang menahan buang air kecil dan
buang air besar, kebiasaan menahan buang air kecil dan buang air
besar akan menyebabkan feses menghasilkan radikal bebas yang
bersifat meracuni tubuh, menyebabkan sembelit dan mempersulit
pernafasan.
3) Pola Istirahat
Perlu dikaji tentang bagaimana tidur dan istirahat pasien meliputi
berapa lama pasien tidur dan istirahat. Serta berapa besar akibat
kelelahan yang dialami pasien. Adanya wheezing dan sesak dapat
mempengaruhi pola tidur dan istirahat pasien.
4) Pola Personal Hygiene
Perlu dikaji personal hygiene pada pasien yang mengalami asma.
Terkadang ada hambatan dalam personal hygiene.
5) Pola Aktivitas
Perlu dikaji tentang aktifitas keseharian pasien, seperti olahraga,
bekerja dan aktfitas lainnya. Aktifitas fisik dapat terjadi faktor
pencetus terjadinya asma. Turunnya toleransi tubuh terhadap
kegiatan olahraga.
6) Pola reproduksi dan seksual
Reproduksi seksual merupakan kebutuhan dasar manusia. Bila
kebutuhan ini tidak terpenuhi akan terjadi masalah dalam kehidupan
pasien. Masalah ini akan menjadi stresor yang akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya serangan asma.

e. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum Klien
Keadaan umum pada pasien asma yaitu compos mentis, lemah,
dan sesak nafas.
2) Pemeriksaan Kepala dan Muka
Simetris, tidak ada nyeri tekan, warna rambut hitam atau putih,
tidak ada lesi.
3) Pemeriksaan Telinga
Inspeksi : Simestris, tidak ada lesi, tidak ada benjolan.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan.
4) Pemeriksaan Mata
Inspeksi : Simestris, tidak ada lesi, tidak ada odema.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, konjungtiva merah muda, sklera
putih.
5) Pemeriksaan Hidung
Inspeksi : Simetris, terdapat rambut hidung, terdapat pernafasan
cuping hidung, tidak ada lesi
Palpasi : tidak ada nyeri tekan.
6) Pemeriksaan Mulut dan Faring
Inspeksi : Mukosa bibir lembab, tidak ada lesi disekitar mulut,
biasanya ada kesulitan untuk menelan.
7) Pemeriksaan Leher
Inspeksi : Simetris, tidak ada peradangan, tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan.
8) Pemeriksaan Payudara dan Ketiak
Ketiak tumbuh rambut atau tidak, tidak ada lesi, tidak ada
benjolan, payudara simetris.
9) Pemeriksaan Thoraks
a) Pemeriksaan Paru
 Inspeksi :
Batuk produktif/nonproduktif, terdapat sputum yang
kental dan sulit dikeluarkan, bernafas dengan
menggunakan otot-otot tambahan, sianosis, pernafasan
cuping hidung, penggunaan oksigen dan sulit bicara karena
sesak nafas.
 Palpasi :
Bernafas dengan menggunakan otot-otot tambahan,
takikardi akan timbul diawal serangan, kemudian diikuti
sianosis sentral.
 Perkusi :
Lapang paru yang hipersonor pada perkusi.
 Auskultasi :
Respirasi terdengar kasar dan suara mengi (Whezzing) pada
fase respirasi semakin menonjol.
b) Pemeriksaan Jantung
 Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
 Palpasi : Ictus cordis terletak di ICS V mid clavicula kiri.
 Auskultasi : BJ 1 dan BJ 2 tunggal, tidak ada suara
tambahan.
 Perkusi : Suara pekak.

10) Pengkajian Abdomen dan Pelvis


a) Inspeksi :
Pada inspeksi perlu perlu disimak apakah abdomen membusung
atau membuncit atau datar saja, tepi perut menonjol atau
tidak, umbilicus menonjol atau tidak, amati apakah ada
bayangan vena, amati juga apakah di daerah abdomen tampak
benjolan-benjolan massa. Laporkan bentuk dan letaknya.
b) Auskultasi :
Mendengar suara peristaltik usus, normal berkisar 5-35 kali per
menit : bunyi peristaltik yang keras dan panjang disebut
borborygmi, ditemui pada gastroenteritis atau obstruksi usus
pada tahap awal. Peristaltik yang berkurang ditemui
pada ileus paralitik. Apabila setelah 5 menit tidak terdengar
suara peristaltik sama sekali maka kita lakukan peristaltik
negative (pada pasien post operasi).

c) Palpasi :
Sebelum dilakukan palpasi tanyakan terlebih dahulu kepada
pasien adakah daerah yang nyeri apabila ada maka harus
di palpasi terakhir, palpasi umum terhadap keseluruhan dinding
abdomen untuk mengetahui apakah ada nyeri umum
(peritonitis, pancreatitis). Kemudian mencari dengan perabaan
ada atau tidaknya massa/benjolan (tumor). Periksa juga turgor
kulit perut untuk menilai hidrasi pasien. Setelah itu
periksalah dengan tekanan region suprapubika (cystitis), titik
mc burney (appendicitis), region epigastrica (gastritis), dan
region iliaca (adnexitis) barulah secara khusus kita melakukan
palpasi hepar. Palpasi hepar dilakukan dengan telapak tangan
dan jari kanan dimulai dari kuadran kanan bawah
berangsur-angsur naik mengikuti irama nafas dan cembungan
perut. Rasakan apakah ada pembesaran hepar atau tidak.
d) Perkusi
 Untuk memperkirakan ukuran hepar, adanya udara pada
lambung dan usus (tympani atau redup).
 Untuk mendengarkan atau mendeteksi adanya gas, cairan
atau massa dalam perut. Bunyi perkusi pada perut yang
normal dalah timpani, tetapi bunyi ini dapat berubah pada
keadaan tertentu misalnya apabila hepar dan limpa
membesar, maka bunyi perkusi akan menjadi redup,
khusunya perkusi di daerah bawah kosta kanan dan kiri.
11) Pemeriksaan Integumen
Adanya nyeri tekan atau tidak, struktur kulit halus, warna kulit sawo
matang, tidak ada benjolan.
12) Pemeriksaan Ekstermitas
a) Tanda-tanda injuri eksternal.
b) Nyeri.
c) Pergerakan.
d) Odema, fraktur.

f. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum pada penderita asma akan didapati :
a) Kristal-kristal charcot leyden merupakan degranulasi dari
kristal eosinopil.
b) Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan)
dari cabang bronkus.
c) Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
d) Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umunya
bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi dan kadang
terdapat mucus plug.
2) Pemeriksaan Darah
a) Analisa gas darah pada umunya normal akan tetapi dapat pula
terjadi hipoksemia, hiperkapnia atau asidosis.
b) Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
c) Hiponaptremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas
15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.
d) Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari
Ig E pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari
serangan.
3) Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada
waktu serangan menunjukkan gambaran hiperinflasi pada paru-paru,
yakni rodiolusen yang bertambah dan peleburan rongga
intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan tetapi bila
terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai
berikut :
a) Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hillus akan
bertambah.
b) Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka gambaran
radiolusen akan semakin bertambah.
c) Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran inflitrate pada
paru
d) Dapat pula menimbulkan atelektasis lokal.
e) Bila terjadi pneumonia mediastrium, pneumotoraks, dan
pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran
radiolusen pada paru-paru.
4) Pemeriksaan Tes Kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang
dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
5) Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat
dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang
terjadi pada empisema paru yaitu :
a) Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right aixs
devisiasi dan clockwise rotation.
b) Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni
terdapatnya RBB (Right bundle branch block).
c) Tanda-tanda hipoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia,
SVES dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negatif.
6) Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara
yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat
respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer
dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol
(inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau
FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak
adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan
spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi
juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan.
Banyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya
menunjukkan obstruksi.
7) Uji Provokasi Bronkus Untuk Membantu Diagnosis
Pengobatan profilaksis dianggap merupakan cara pengobatan yang
paling rasional, karena sasaran obat-obat tersebut langsung pada
faktor-faktor yang menyebabkan bronkospasme.

g. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis :
1) Oksigen 4-6 liter / menit.
2) Pemenuhan hidrasi via infus.
3) Terbutalin 0,25 mg / 6 jam secara subkutan (SC).
4) Bronkodilator atau antibronkospasme dengan cara :
a) Nebulizer (via inhalsi) dengan golongan terbutaline 0,25 mg
(Bricasma), fenoterol HBr 0,1% solution (berotec), orciprenaline
sulfur 0,75 mg (Allupent).
b) Intravena dengan golongan theophyline ethilenediamine
(Aminophillin) bolus IV 5-6 mg/ kg BB.
c) Peroral dengan aminofillin 3x150 mg tablet, agonis B2
(salbutamol 5 mg, feneterol 2,5 mg, terbutaline 10 mg).
d) Antiedema mukosa dan dinding bronkus dengan golongan
kortikosteroid, deksamethasone 4 mg IV setiap 8 jam.
C. Analisa Data

D. Diagnosa Keperawatan
Masalah yang lazim muncul (SDKI, 2017) adalah :
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan nafas,
spasme jalan nafas, proses infeksi, respon alergi.
b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas, depresi
pusat pernafasan, deformitas dinding dada.
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi-
perfusi.
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen, kelemahan.
e. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi.
1. Intervensi Keperawatan

Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan


No
SDKI SLKI SIKI
1 Bersihan jalan napas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan Latihan Batuk Efektif
berhubungan dengan hipersekresi keperawatan selama 3 x 24 jam, Observasi
jalan nafas, spasme jalan nafas, bersihan jalan nafas efektif dengan 1. Identifikasi kemampuan batuk.
proses infeksi, respon alergi. kriteria hasil : 2. Monitor adanya retensi sputum.
1. Batuk efektif meningkat. 3. Monitor tanda infeksi saluran napas.
2. Produksi sputum menurun.
3. Wheezing menurun. Terapeutik
4. Dispnea membaik. 4. Atur posisi semi-Fowler atau Fowler.
5. Frekuensi nafas membaik.
6. Pola nafas membaik Edukasi
5. Jelaskan tujuan dan prosedur batuk
efektif.
6. Anjurkan tarik napas dalam melalui
hidung selama 4 detik, ditahan selama 2
detik, kemudian keluarkan dari mulut
dengan bibir mencucu (dibulatkan)
selama 8 detik.
7. Anjurkan mengulangi tarik napas dalam
hingga 3 kali.
8. Anjurkan batuk dengan kuat langsung
setelah tarik napas dalam yang ketiga.

Kolaborasi
9. Kolaborasi pemberian mukolitik atau
ekspektoran, jika perlu.
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
No
SDKI SLKI SIKI
2 Pola napas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan Nafas
berhubungan dengan hambatan keperawatan selama 3 x 24 jam, pola Observasi
upaya nafas, depresi pusat nafas membaik dengan kriteria hasil : 1. Monitor pola napas (frekuensi,
pernafasan, deformitas dinding dada. 1. Tekanan ekspirasi meningkat. kedalaman, usaha napas).
2. Tekanan inspirasi meningkat. 2. Monitor bunyi napas tambahan (mis.
3. Dispnea menurun. Gurgling, mengi, weezing, ronkhi
4. Frekuensi nafas membaik. kering).
5. Kedalaman nafas membaik. 3. Monitor sputum (jumlah, warna, aroma).

Terapeutik
4. Posisikan semi-Fowler atau Fowler.
5. Berikan minum hangat.
6. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu.
7. Berikan oksigen, jika perlu.

Edukasi
8. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari,
jika tidak kontraindikasi.
9. Ajarkan teknik batuk efektif.

Kolaborasi
10. Kolaborasi pemberian bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik, jika perlu.
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
No
SDKI SLKI SIKI
3 Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan tindakan Pemantauan Respirasi
berhubungan dengan ketidak- keperawatan selama 3 x 24 jam, Observasi
seimbangan ventilasi-perfusi. pertukaran gas meningkat dengan 1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman,
kriteria hasil : dan upaya napas.
1. Dispnea menurun. 2. Monitor pola napas (seperti bradipnea,
2. Bunyi nafas tambahan menurun. takipnea, hiperventilasi, Kussmaul,
3. Nafas cuping hidung menurun. Cheyne Stokes, Biot, ataksik)
4. Takikardia membaik. 3. Monitor kemampuan batuk efektif.
5. Sianosis membaik. 4. Monitor adanya produksi sputum.
6. Pola nafas membaik. 5. Monitor adanya sumbatan jalan napas.
6. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru.
7. Auskultasi bunyi napas.
8. Monitor saturasi oksigen.
9. Monitor nilai AGD.
10. Monitor hasil x-ray toraks.

Terapeutik
11. Atur interval waktu pemantauan
respirasi sesuai kondisi pasien.
12. Dokumentasikan hasil pemantauan.

Edukasi
13. Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan.
14. Informasikan hasil pemantauan, jika
perlu.
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
No
SDKI SLKI SIKI
Terapi Oksigen
Observasi
1. Monitor kecepatan aliran oksigen.
2. Monitor posisi alat terapi oksigen.
3. Monitor tanda-tanda hipoventilasi.
4. Monitor tanda dan gejala toksikasi
oksigen dan atelektasis.
5. Monitor tingkat kecemasan akibat terapi
oksigen .
6. Monitor integritas mukosa hidung akibat
pemasangan oksigen.

Terapeutik
7. Bersihkan secret pada mulut, hidung dan
trachea, jika perlu.
8. Pertahankan kepatenan jalan nafas.
9. Berikan oksigen tambahan, jika perlu.
10. Gunakan perangkat oksigen yang sesuai
dengat tingkat mobilisasi pasien.

Edukasi
11. Ajarkan pasien dan keluarga cara
menggunakan oksigen dirumah.

Kolaborasi
12. Kolaborasi penentuan dosis oksigen.
13. Kolaborasi penggunaan oksigen saat
aktivitas dan/atau tidur.
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
No
SDKI SLKI SIKI
4 Intoleransi aktivitas berhubungan Setelah dilakukan tindakan Terapi Aktivitas
dengan ketidakseimbangan antara keperawatan selama 3 x 24 jam, Observasi
suplai dan kebutuhan oksigen, toleransi aktivitas meningkat dengan 1. Identifikasi defisit tingkat aktivitas.
kelemahan. kriteria hasil : 2. Identifikasi kemampuan berpartisipasi
1. Kemudahan dalam melakukan dalam aktivitas tertentu.
aktivitas sehari-hari meningkat.
2. Keluhan lelah menurun. Terapeutik
3. Perasaan lelah menurun. 3. Fasilitasi memilih aktivitas sesuai
kemampuan.
4. Fasilitasi aktivitas fisik rutin (mis.
ambulasi, mobilisasi dan perawatan diri),
sesuai kebutuhan.
5. Libatkan kelarga dalam aktivitas, jika
perlu.
6. Berikan penguatan positif atas partisipasi
dalam aktivitas.

Edukasi
7. Anjurkan keluarga untuk memberi
penguatan positif atas partisipasi dalam
aktivitas.

Kolaborasi
8. Kolaborasi dengan terapi okupasi dalam
merencanakan dan memonitor program
aktivitas, jika sesuai.
Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
No
SDKI SLKI SIKI
5 Ansietas berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan Reduksi Ansietas
kurang terpapar informasi. keperawatan selama 1 x 24 jam, Observasi
ansietas klien menurun dengan kriteria 1. Identifikasi saat tingkat ansietas berubah
hasil : (konsidi, waktu, stresor).
1. Verbalisasi kebingungan menurun. 2. Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan
2. Verbalisasi khawatir akibat kondisi non verbal).
yang dihadapi menurun.
3. Perilaku gelisah menurun. Terapeutik
4. Perilaku tegang menurun. 3. Ciptakan suasana terapeutik untuk
menumbuhkan kepercayaan.
4. Motivasi mengidentifikasi situasi yang
memicu kecemasan.

Edukasi
5. Informasikan secara faktual mengenai
diagnosis, pengobatan dan prognosis.
6. Latih teknik relaksasi.

Kolaborasi
7. Kolaborasi pemberian obat ansietas, jika
perlu.
2. Implementasi Keperawatan

3. Evaluasi Keperawatan
DAFTAR PUSTAKA

Hasdianah, & Suprapto, S.I. 2016, Patologi dan Patofisiologi Penyakit, Nuha
Medika, Yogyakarta.

Hudak & Gallo. 2010, Keperawatan Kritis : Pendekatan Asuhan Holistik, Edisi 8,
Volume 2, EGC, Jakarta.

Ikawati, Z. 2006, Farmakoterapi Penyakit Sistem Pernapasan, Universitas Gadjah


Mada, Yogyakarta.

Ikawati, Z. 2016, Penatalaksanaan Terapi Penyakit Sistem Pernapasan, Bursa


Ilmu, Yogyakarta.

Kozier, Berman & Snyder. 2011, Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,
Proses dan Praktik, EGC, Jakarta.

Marcdante, K.J. 2021, Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial, 8th Edition,
Elsevier Pte Ltd, Singapore.

Masriadi, H. 2016, Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, Trans Info Media,


Jakarta.

Nurarif, A.H & Kusuma, H. 2016, Asuhan Keperawatan Praktis, Berdasarkan


Penerapan Diagnosa Nanda, NIC, NOC dalam Berbagai Kasus,
MediAction, Yogyakarta.

Peate, I & Nair, M. 2017, Fundamentals Of Anatomy and Physiology For Nursing
and Healthcare Students, John Wiley & Sons Inc, United States of
America.

PPNI. 2017, Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) : Definisi dan


Indikator Diagnostik (Cetakan III), DPP PPNI, Jakarta.

PPNI. 2018, Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) : Definisi dan


Tindakan Keperawatan (Cetakan II), DPP PPNI, Jakarta.

PPNI. 2019, Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) : Definisi dan


Kreteria Hasil Keperawatan (Cetakan II), DPP PPNI, Jakarta.

Sherwood, L. 2014, Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem, Edisi 8, EGC, Jakarta.

Smeltzer, S.C & Bare, B.G. 2015, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner and Suddarth, EGC, Jakarta.

Sudoyo, A.W. 2015, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi V, Interna
Publishing, Jakarta.
Sunarti. 2011, Hubungan Pengetahuan Penderita Asma Tentang Penyakit Asma
dengan Perilaku Mencegah Timbulnya Kekambuhan, Karya Tulis Ilmiah,
Universitas Muhammadiyah Ponorogo.

Sundaru, H & Sukanto. 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Ilmu
Penyakit Dalam, Jakarta.

Tarwoto & Wartonah. 2015, Kebutuhan Dasar Manusia & Proses Keperawatan,
Edisi 5, Salemba Medika, Jakarta.

Tortora, G.J & Derrickson, B. 2014, Principles of Anatomy and Physiology, 13th
Edition, John Wiley & Sons Inc, United States of America.

Anda mungkin juga menyukai