Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN HASIL PRAKTIK PROFESI NERS

ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


Tn.N PADA KASUS PENYAKIT PARU OBSTUKSI KRONIK
(PPOK)

05 MARET 2021

Nama Mahasiswa :
Fitriansyah
205140006

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA
JAKARTA
2021
LAPORAN HASIL PRAKTIK PROFESI NERS
ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
PADA KASUS PENYAKIT PARU OBSTUKSI KRONIK
(PPOK)

05 MARET 2021

Nama Mahasiswa :
Fitriansyah
205140006

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA
JAKARTA
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK
(PPOK)

Nama Mahasiswa : Fitriansyah


NPM : 205140006
Tgl Praktek : 05 Maret 2021
Judul Kasus : Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Ruangan : -

A. Definisi
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang dapat
dicegah dan diobati. Penyakit Paru Obstruksi Kronis ditandai dengan adanya hambatan
aliran udara di saluran nafas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel
parsial,serta adanya respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya
(GOLD, 2016).

PPOK adalah penyakit yang dicirikan oleh keterbatasan aliran udara yang tidak dapat
pulih sepenuhnya. Keterbatasan aliran udara biasanya bersifat progresif dan di kaitkan
dengan respon inflamasi paru yang abnormal terhadap partikel atau gas berbahaya, yang
menyebabkan penyempitan jalan nafas, hipersekresi mucus, dan perubahan pada system
pembuluh darah paru. Penyakit lain seperti kistik fibrosis, bronkiektasis, dan asama
yang sebelumnya diklasifikasiakan dalam jenis COPD kini di klasifikasikan paru kronis,
meskipun gejala tupang tindih dengan COPD lain. Merokok singaret, polusi udara, dan
pajanan di tempat kerja (batu bara, katun, biji-bijian padi) merupakan factor penting
yang menyebabkan terjadinya COPD, yang dapat terjadi dalam rentang waktu 20-30
tahun (Suddarth, 2015).
B. Etiologi
Faktor risiko PPOK di seluruh dunia yang paling banyak ditemui adalah merokok
tembakau. Selain jenis tembakau, (misalnya pipa, cerutu, dan ganja) juga merupakan
faktor risiko PPOK. PPOK tidak hanya berisiko bagi perokok aktif saja namun juga bisa
berisiko bagi perokok pasif yang terkenan pajanan asap rokok.
Selain itu faktor - faktor yang berpengaruh pada perjalanan dan perburukan PPOK
antara lain:

1. Faktor genetik
2. Usia & jenis kelamin
3. Pertumbuhan dan perkembangan paru
4. Pajanan terhadap partikel, gas berbahaya
5. Faktor sosial ekonomi
6. Asma dan hipereaktivitas saluran napas
7. Bronkitis kronis
8. Infeksi berulang di saluran napas

Faktor risiko utama PPOK antara lain merokok, polutan indoor, outdoor dan polutan di
tempat kerja, selain itu ada juga faktor risiko lain yaitu genetik, gender, usia, konsumsi
alkohol dan kurang aktivitas fisik. Data Riskesdas 2013 berdasarkan karakteristik
terlihat prevalensi PPOK semakin meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Prevalensi PPOK lebih tinggi pada laki-laki (4,2%) dibanding perempuan (3,3%) dan
mulai meningkat pada kelompok usia ≥ 25 tahun. Prevalensi PPOK lebih tinggi di
perdesaan (4,5%) dibanding perkotaan (3,0%) dan cenderung lebih tinggi pada
masyarakat dengan pendidikan rendah (7,9%) dan kuintil indeks kepemilikan terbawah
(7,0%) (Septidiani,2018).

C. Anatomi Fisiologi Pernapasan


1. Anatomi sistem pernapasan
Sistem pernapasan termasuk hidung , rongga hidung dan sinus , faring , laring (kotak
suara),trakea (tenggorokan ) , dan saluran-saluran yang lebih kecil yang mengarah ke
pertukaran gas di permukaan paru-paru . Saluran pernapasan terdiri dari saluran udara
yang membawa udara dari dan ke permukaan tersebut . Saluran pernapasan dapat dibagi
menjadi bagian konduksi dan bagian pernapasan. Bagian konduksi terdapat dari jalan
masuk udara dihidung ke rongga hidung ke bronkiolus terkecil dari paru-paru . Bagian
pernapasan termasuk saluran bronkiolus pernapasan dan kantung udara halus , atau
alveoli ( al - VE ) , di mana terjadi pertukaran gas . Sistem pernapasan termasuk saluran
pernapasan dan jaringan terkait , organ , dan struktur pendukung . Saluran-saluran kecil
ini menyesuaikan kondisi udara dengan menyaring , pemanasan , dan melembabkan itu ,
sehingga melindungi bagian konduksi yang peka dan melindungi pertukaran sistem
pernapasan bawah dari partikel-partikel , patogen , dan lingkungan ekstrem (Martini et
al 2012).

Nose

Nasal Cavity
Pharynx
Oral Cavity

Right Primary
Bronchus Larynx

Lungs Trakhea

Saluran pernafasan dari atas kebawah dapat dirinci sebagai berikut, rongga hidung,
faring, laring, trakea, percabangan bronkus, paru- paru (bronkiolus,alveolus). Rongga
hidung dilapisi selaput lender yang sangat kaya akan pembuluh darah, dan bersambung
dengan lapisan faring dan selaput lender. Faring adalah pipa berotot yang berjalan dari
dasar tengkorak sampai persambungannya dengan oesofagus pada ketinggian tulang
rawan krikoid. Faring terbagi menjadi 3 bagian yaitu nasofaring, orofaring dan
laringofaring kemudian Laring, laring berperan untuk pembentukan suara dan untuk
melindungi jalan nafas terhadap masuknya makanan dan cairan. Trakea, merupakan
lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16 sampai 20 cincin kartilago yang terdiri dari
tulang- tulang rawan yang terbentuk seperti C.
Bronkus merupakan percabangan trachea. Setiap bronkus primer bercabang 9 sampai 12
kali untuk membentuk bronki sekunder dan tersier dengan diameter yang semakin kecil.
Struktur mendasar dari paru-paru adalah percabangan bronchial yang selanjutnya secara
berurutan adalah bronki,bronkiolus,bronkiolus terminalis, bronkiolus respiratorik,
duktus alveolar, dan alveoli. Dibagian bronkus masih disebut pernafasan extrapulmonar
dan sampai memasuki paru-paru disebut intrapulmonary. Terakhir adalah Paru-paru
yang berada dalam rongga torak,yang terkandung dalam susunan tulang-tulang iga dan
letaknya disisi kiri dan kanan mediastinum yaitu struktur blok padat yang berada
dibelakang tulang dada. Paru-paru berbentuk seperti spins dan berisi udara dengan
pembagian udara Antara Paru kanan, yang memiliki tiga lobus dan paru kiri dua lobus.

2. Fisiologi Sistem Pernapasan


Respirasi adalah suatu peristiwa ketika tubuh kekurangan oksigen (o2) dan o2 yang
berada di luar tubuh dihirup (inspirasi) melalui organ pernapasan. Pada keadaan tertentu
tubuh kelebihan karbon diksida (CO2), maka tubuh berusaha untuk mengeluarkan
kelebihan tersebut dengan menghembuskan napas (ekspirasi) sehingga terjadi suatu
keseimbangan antara O2 dan CO2 di dalam tubuh.

Sistem respirasi berperan untuk menukar udara ke permukaan dalam paru. Udara masuk
dan menetap dalam sistem pernapasan dan masuk dalam pernapasan oto. Trakea dapat
melakukan penyaringan, penghangatan, dan melembapakan udara yang masuk,
melindungi permukaan organ yang lembut. Hantaran tekanan menghasilkan udara ke
paru melalui saluran pernapasan atas. Tekanan ini berguna untuk menyaring,mengatur
udara, dan mengubah permukaan saluran napas bawah. (Syaifuddin,2012)

Proses pernapasan berlangsung melalui beberapa tahapan, yaitu :


1) Ventilasi paru, yang berarti pertukaran udara antara atmosfer dan alveolus paru
2) Difusi oksigen dan karbondioksida antara alveoli dan darah
3) Pengangkutan oksigen dan karbondioksida dalam darah dan cairan tubuh ke dan
dari sel jaringan tubuh.
Udara bergerak masuk dan keluar paru karena adanya selisih tekanan yang terdapat
antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Diantaranya itu perubahan
tekanan intrapulmonar, tekanan intrapleural, dan perubahan volume paru. Keluar
masuknya udara pernapasan terjadi melalui 2 proses mekanik, yaitu :
1) Inspirasi : proses aktif dengan kontraksi otot-otot inspirasi untuk menaikkan
volume intratoraks, paru-paru ditarik dengan posisi yang lebih mengembang, tekanan
dalam saluran pernapasan menjadi negatif dan udara mengalir ke dalam paru-paru.
2) Ekspirasi : proses pasif dimana elastisitas paru (elastic recoil) menarik dada
kembali ke posisi ekspirasi, tekanan recoil paru-paru dan dinding dada seimbang,
tekanan dalam saluran pernapasan menjadi sedikit positif sehingga udara mengalir
keluar dari paru-paru, dalam hal ini otot-otot pernapasan berperan (Sherwood,2012).

Fungsi dari sistem pernapasan adalah:


1). Menyediakan area yang memadai untuk pertukaran gas antara udara dan sirkulasi
darah
2). transport udara dari dan ke pertukaran permukaan di paru-paru;
3). Melindungi permukaan pernafasan dari dehidrasi, perubahan suhu, dan variasi
lingkungan lainnya;
4). Mempertahankan sistem pernapasan, dan jaringan lain dari invasi oleh pathogen
mikroorganisme;
5). Memproduksi suara yang terlibat dalam berbicara, bernyanyi, atau komunikasi
nonverbal;
6). Membantu dalam regulasi volume darah, tekanan darah, dan control pH cairan tubuh
(Martini et al 2012)

D. Patofisiologi
PPOK di tandai dengan obstruksi progresif lambat pada jalan nafas. Penyakit ini
merupakan salah satu eksaserbasi periodic, sering kali berkaitan dengan infeksi
pernapasan, dengan peningkatan gejala dyspnea dan produksi sputum. Tidak seperti
proses akut yang memungkinkan jaringan paru pulih, jalan napas dan parenkim paru
tidak kembali ke normal setelah ekserbasi; Bahkan, penyakit ini menunjukkan
perubahan destruktif yang progresif (LeMone et al., 2016).
Meskipun salah satu atau lainya dapat menonjol PPOK biasanya mencakup komponen
bronchitis kronik dan emfisema, dua proses yang jauh berbeda. Penyakit jalan napas
kecil, penyempitan bronkiola kecil, juga merupakan bagian kompleks PPOK. Melalui
mekanisme yang berbeda, proses ini menyebabkan jalan napas menyempit, resistensi
terhadap aliran udara untuk meningkat, dan ekpirasi menjadi lambat dan sulit (LeMone
et al., 2016).
E. Pathway

PPOK

Bronkitis Kronis
Asma
Efisema

Asap dan infeksi


Alergik (debu) Non alergik

E.Paniobular E. Sentribular
Reaksi antigen yang Fungsi silia menurun dan
dihasilkan IgE lendir meningkat

Rusaknya bronkus
pernafasan, duktus, Rusaknya lobus
Bronkiolus tersumbat
Antibody (IgE) alveolar,alveoli sekunder
menyerangsel mast dalam
paru
Alveolus rusak membentuk
Area kontak lansung fibrosis
permukaan alveolar
Pemajanan berulang dengan paru
berkurang Makrofag alveolus
rusak
Ikatan antibodi dan Gen
Kerusakan serabut elestik

MK. Resiko Infeksi


Pelepasan produksi sel manst
Paru sulit Barrel
(mediator) berkembamg chest
elastis

Kontaksi otot
polos bronkus Pembentukan mucus
Peningkatan ruang rugi (udara
yang banyak
tidak bisa tertukar

Pembengkakan
membran mukosa
MK.Ketidak Kerusakan difusi O2
seimbangan nutris
kurang dari
bronkospasme kebutuhan
Hipoksemia

Penyempita MK. Gangguan


n bronkus Sekret tertahan pertukaran gas
MK.
Ketidakefektifan
bersihan jalan
Udara terjebak

Suplai O2 menurun Usaha bernafas


berlebihan

Mudah lelah Clubbing


Ekspirasi memanjang

MK. Intoleransi aktifitas


MK. Ketidakefektifan pola nafas
Sumber: Bahtiar Nur Abdillah, 2014
F. Tanda dan Gejala
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi dari tanpa gejala dan dengan gejala dari
ringan sampai berat, yaitu batuk kronis, berdahak, sesak napas bila beraktifitas, sesak
tidak hilang dengan pelega napas, memburuk pada malam/dini hari, dan sesak napas
episodic (Tana et al., 2016). Untuk dapat menghindari kekambuhan PPOK, maka
pemahaman tentang penyakit dan cara mencegah kekambuhan PPOK menjadi dasar
yang sangat penting bagi seseorang khususnya penderita PPOK. Kekambuhan dapat
terukur dengan meliputi skala sesak berdasarkan skala MMRC (Modified Medical
Research Counci). Untuk mengeluarkan dahak dan memperlancar jalan pernapasan pada
penderita PPOK dapat dilakukan dengan cara batuk efektif (Faisal, 2017).

Gejala PPOK jarang muncul pada usia muda umumnya setelah usia 50 tahun ke atas,
paling tinggi pada laki-laki usia 55-74 tahun. Hal ini dikarenakan keluhan muncul bila
terpapar asap rokok yang terus menerus dan berlangsung lama (Salawati, 2016).

Tanda dan gejala penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah sebagai berikut
Suddarth, (2015):
a. PPOK dicirikan oleh batuk kronis, produksi sputum, dan dyspnea saat menggerakkan
tenaga kerap memburuk seiring waktu.
b. Penurunan berat badan sering terjadi.
c. Gejala yang spesifik dengan penyakit. Lihat “Manifestasi Klinis” pada “Asma”,
“Bronkiektasis”, “Bronkitis”, dan “ Emfisema”.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Uji fungsi paru Pengukuran fungsi paru pada pasien PPOK diantaranya akan terdapat
kapasitas inspirasi menurun, volume residu meningkat pada emfisema, bronchitis kronis
dan asma, FEV1 selalu menurun, FCV awal normal dan menurun pada bronchitis serta
asma (Muttaqin, 2014).
2. Spirometri Pengukuran fungsi paru biasanya menunjukan peningkatan kapasitas paru
total (TLC) dan volume residual (RV). Terjadi penurunan dalam kapasitas vital (VC)
dan volume ekspirasi paksa (FEV). Temuan-temuan ini menegaskan kesulitan yang
dialami klien dalam mendorong udara keluar dari paru. Untuk menentukan penyebab
dispne, melihat obstruksi, memperkirakan derajat disfungsi. Merupakan alat kuantitatif
yang kuat saat uji reversibilitas digunakan untuk memastikan diagnosis yang tepat.
Spidometri dilakukan pada pasien dengan batuk kronis dan produksi sputum walaupun
tampa dispnea.
1. TLC: meningkat
2. Volume residu: meningkat
3. FEV1/FVC: rasio volume meningkat (Ikawati, 2016).

Untuk membedakan keparahan penyakit PPOK, dapat didasarkan pada hasil uji
spirometri yang menunjukkan tingkat keparahan obstruksinya.
Menurut GOLD terdapat 4 tingkatan berdasarkan hasil FEV1 pasca bronkodilatasi.
Tingkat Interpretasi Nilai FEV1 dan Gejala

GOLD I Ringan FEV1 > 80 %

GOLD Sedang 50% < FEV1 < 80%


II
GOLD Berat 30 % < FEV1 < 50 %
III
GOLD Sangat Berat FEV1 < 30 %
IV
Sumber: Ikawati,2016
Dari pengukuran-pengukuran diatas, mengelompokkan pasien PPOK menjadi 4
golongan menurut (GOLD, 2016) sebagai berikut :
1. Pasien kelompok A: resiko rendah, gejala lebih sedikit GOLD 1 atau GOLD 2
serangan akut 0-1 /tahun dan tanpa hospitalisasi, CAT < 10 atau mMRC 0-1.
2. Pasien kelompok B: resiko rendah, gejala lebih sedikit GOLD 1 atau GOLD 2
serangan akut 0-1/tahun dan tanpa hospitalisasi, CAT > 10 atau mMRC >2.
3. Pasien kelompok C: resiko tinggi, gejala lebih sedikit GOLD 3 atau GOLD 4
serangan akut > 2x/tahun atau >1 dengan hospitalisasi, CAT < 10 atau mMRC 0-1.
4. Pasien kelompok D: resiko tinggi, gejala lebih sedikit GOLD 3 atau GOLD 4
serangan akut > 2x/tahun atau >1 dengan hospitalisasi, CAT > 10 atau mMRC > 2.
3. Analisa gas darah ateri
Pengukuran gas darah ateri harus dilakukan pada semua pasien dengan FEV1 kurang
dari 40% yang di prediksi atau ketika tanda klinis gagal nafas atau gagal jantung kanan
terjadi (misalnya: sianosis sentral, pembengkakan pergelangan kaki dan peningkatan
tekanan vena jugularis). Analisa gas darah merupakan pemeriksaan untuk mengukur
keasaman (pH), jumlah oksigen dan karbon dioksida dalam darah, meliputi PO2, PCO2,
Ph, HCO3, dan saturasi oksigen (Muwarni, 2012).
1) PaO2: rendah (normal 80-100 mmHg)
2) PaCO2: tinggi (normal 35-45 mmHg)
4. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan pada pasien PPOK antara lain :
a. Haemoglobin meningkat (Hb) efisema luas dan peningkatan
hematokrit (Ht).
b. Eosinofil dan total IgE serum meningkat.
c. Pulse oksimetri : SaO2 oksigenasi menurun.
d. Elektrolit menurun karena pemakaian obat diuretic (Doenges, 2012).
5. Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan gram kuman atau kultur adanya infeksi campuran. Kuman pathogen yang
biasa ditemukan adalah Strepcocus pneumoniae, Haemophylus influenza, dan
Moraxella catarrhalis (Muttaqin, 2014).
6. Pemeriksaan radiologi thoraks foto
Menunjukan adanya hiperinflasi paru, pembesaran jantung, dan bendungan area paru.
Pada emfisema paru didapatkan diafragma dengan letak yang rendah dan mendatar
ruang udara retrosternal lebih besar (foto lateral), jantung tampak bergantung
memanjang dan menyempit Pada foto thorak pasien PPOK akan tampak bayangan
lobus, corakan paru bertambah (Bronkhitis kronis), defisiensi arterial corakan paru
bertambah (Emfisema) (Muttaqin, 2014).

H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :
1. Gagal napas
1). Gagal napas kronik : Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60
mmHg, dan pH normal, penatalaksanaan :
a. Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2.
b. Bronkodilator adekuat.
c. Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur.
d. Antioksidan
e. Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing.
2). Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :
a. Sesak napas dengan atau tanpa sianosis.
b. Sputum bertambah dan purulen.
c. Demam
d. Kesadaran menurun.
2. Infeksi berulang Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan
terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi
kronik ini imuniti menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit
darah.
3. Kor pulmonal Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai
gagal jantung kanan (Sugeny, 2018).

I. Penatalaksaan Medis
Penatalaksanaan medis yang dapat diberikan kepada klien dengan PPOK, yaitu:
1. Pengobatan Farmakologi
a. Bronkodilator
Dianjurkan penggunaan dalam bentuk inhalasi kecuali pada eksaserbasi digunakan oral
atau sistemik. Seperti salbutamol, aminofilin, teofilin, terbutalin.
b. Anti inflamasi
Pilihan utama bentuk metilprednisolon atau prednison. Untuk penggunaan jangka
panjang pada PPOK stabil hanya bila uji steroid positif. Pada eksaserbasi dapat
digunakan dalam bentuk oral atau sistemik.
c. Mukolitik
Tidak diberikan secara rutin. Hanya digunakan sebagai pengobatan simtomatik bila
tedapat dahak yang lengket dan kental. Contohnya ialah glyceryl guaiacolate,
acetylcysteine.
d. Antitusif
Diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat mengganggu. Penggunaan secara rutin
merupakan kontraindikasi. Contohnya seperti dekstrometorfan.
e. Antibiotik
Tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang untuk pencegahan eksaserbasi. Pilihan
antibiotik pada eksaserbasi disesuaikan dengan pola kuman setempat. Contoh antibiotik
yang sering digunakan ialah penicillin (Saftarina, Anggraini, & Ridho, 2017).
2. Pengobatan non farmakologi
a. Rehabilitasi Paru
1. Fisioterapi : terutama di tujukan untuk membantu mengeluarkan sekret bronkus.
2. Latihan pernafasan: untuk melatih penderita agar bisa melakukan pernafasan yang
paling efektif baginya.
3. Vocational Suidance: usaha yang dilakukan terhadap penderita agar dapat kembali
mampu mengerjakan perkerjaan semula.
4. Pengelolaan psikososila: terutama di terutama ditujukan untuk menyesuaikan diri
penderita dengan penyakit yang dideritanya (Padila, 2019).
b. Konseling Nutrisi
Malnutrisi adalah umum pada pasien PPOK dan terjadi pada lebih dari 50% pasien
PPOK yang masuk rumah sakit. Insiden malnutrisi bervariasi sesuai dengan derajat
abnormalitas pertukaran gas. Malnutri menyebabkan penurunan otot pernafasan dan
kelemahan otot pernafasan lebih lanjut. Tindakan preventif dapat mencakup
pemberian makanan yang sedikit dan sering untuk pasien yang mengalami sesak
nafas ketika makan: dapat mengatasi kemorbiditas, misalnya: sepsis pulmonal, tumor
paru secara tepat (Morton, 2012).
c. Penyuluhan
Berhenti merokok adalah metode tunggal yang paling efektif dalam mengurangi
resiko terjadinya PPOK dan memperlambat kemajuan tingkat penyakit. Selain itu,
metode ini adalah yang paling hemat biaya. Sesi konseling singakat (3 menit) untuk
mendorong perokok berhenti merokok yang menyebabkan angka berhenti merokok
menjadi 5% sampai 10% (Morton, 2012).
d. Aktifitas Olahraga
Program aktifitas untuk PPOK atas sepeda ergometri, latihan treadmill atau berjalan
diatur waktunya dan frekuensinaya dapat berkisar dari setiap minggu, dengan durasi
10 sampai 45 menit persesi dan intensitas latihan latihan dari 50% konsumsi oksigen
puncak sampai maksimum yang di toleransi. Banyak dokter menganjurkan pasien
untuk melatih diri sendiri (misalnya: berjalan 20 menit setiap hari) jika mereka tidak
mampu berpartisipasi dalam progaram latihan terstuktur.
ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK
(PPOK)
A. Pengkajian Keperawatan
1. Aktivitas dan Istirahat
Gejala :
· Keletihan, kelelahan, malaise,Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-
hari karena sulit bernafas
· Ketidakmampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi
· Dispnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan
Tanda :
· Keletihan
· Gelisah, insomnia
· Kelemahan umum/kehilangan massa otot
2. Sirkulasi
Gejala : Pembengkakan pada ekstremitas bawah
Tanda :
· Peningkatan tekanan darah
· Peningkatan frekuensi jantung
· Distensi vena leher 
· Edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung
· Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan peningkatan diameter pada dada)
· Warna kulit/membrane mukosa : normal/abu-abu/sianosis; kuku tabuh dan sianosis
perifer 
·   Pucat dapat menunjukkan anemia
3. Integritas Ego
Gejala :
· Peningkatan factor resiko
· Perubahan pola hidup
Tanda :
· Ansietas, ketakutan, peka rangsang
4. Makanan/ cairan
Gejala :
· Mual/muntah
· Nafsu makan buruk/anoreksia (emfisema)
· Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernafasan
· Penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat badan menunjukkan
edema (bronchitis)
Tanda :
· Turgor kulit buruk 
· Edema dependen
· Berkeringat
5. Hyegene
Gejala :
· Penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehari-
hari
Tanda :
· Kebersihan buruk, bau badan
6. Pernafasan
Gejala :
· Nafas pendek (timbul tersembunyi dengan dispnea sebagai gejala menonjol pada
emfisema) khususnya pada kerja; cuaca atau episode berulangnya sulit nafas (asma);
rasa dada tertekan,m ketidakmampuan untuk bernafas(asma)
· Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari (terutama pada saat bangun)
selama minimum 3 bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2tahun. Produksi
sputum (hijau, puith, atau kuning) dapat banyak sekali(bronchitis kronis)
· Episode batuk hilang timbul, biasanya tidak produksi pada tahap dini meskipun dapat
menjadi produktif (emfisema)
· Riwayat pneumonia berulang, terpajan pada polusi kimia/iritan pernafasan dalam
jangka panjang (mis. Rokok sigaret) atau debu/asap (mis.asbes, debu batu bara, rami
katun, serbuk gergaji
· Penggunaan oksigen pada malam hari secara terus-menerus.
Tanda :
· Pernafasan : biasanya cepat,dapat lambat; fase ekspresi memanjang dengan
mendengkur, nafas bibir (emfisema)
· Penggunaaan otot bantu pernafasan, mis. Meninggikan bahu, melebarkan hidung.
· Dada: gerakan diafragma minimal.
· Bunyi nafas : mungkin redup dengan ekspirasi mengi (emfisema);menyebar, lembut
atau krekels lembab kasar (bronchitis); ronki, mengi sepanjang area paru pada
ekspirasi dan kemungkinan selama inspirasi berlanjut sampai penurunan atau tidak
adanya bunyi nafas (asma)
· Perkusi : Hiperesonan pada area paru (mis. Jebakan udara dengan emfisema); bunyi
pekak pada area paru (mis. Konsolidasi, cairan, mukosa)
· Kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 atau 5 kata sekaligus.
· Warna : pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku; abu-abu keseluruhan; warna
merah (bronchitis kronis, “biru mengembung”). Pasien dengan emfisema sedang
sering disebut “pink puffer” karena warna kulit normal meskipun pertukaran gas tak
normal dan frekuensi pernafasan cepat.
· Tabuh pada jari-jari (emfisema).
7.  Keamanan
Gejala :
· Riwayat reaksi alergi atau sensitive terhadap zat/faktor lingkungan
· Adanya/berulang infeksi
· Kemerahan/berkeringat (asma)
8.  Seksualitas
Gejala :
·     penurunan libido
9. Interaksi Sosial
Gejala :
· Hubungan ketergantungan Kurang sistem pendukung
· Kegagalan dukungan dari/terhadap pasangan/orang dekat
· Penyakit lama atau ketidakmampuan membaik
Tanda :
· Ketidakmampuan untuk membuat//mempertahankan suara karena distress pernafasan
· Keterbatasan mobilitas fisik 
· Kelalaian hubungan dengan anggota kelurga lain

B. Diagnosa Keperawatan
1.  Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi, peningkatan
produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi
bronkopulmonal.
2.  Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mukus, bronkokontriksi
dan iritan jalan napas.
3.  Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dengan
kebutuhan oksigen.
5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea,
kelamahan, efek samping obat, produksi sputum dan anoreksia, mual muntah.
C. Intervensi Keperawatan
DIAGNOSA NOC NIC
NO
KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan napas tidak NOC : 1. Beri pasien 6 sampai 8 gelas
efektif b.d v  Respiratory status : cairan/hari kecuali terdapat kor
bronkokontriksi, Ventilation pulmonal.
peningkatan produksi
v  Respiratory status : Airway 2. Ajarkan dan berikan dorongan
sputum, batuk tidak
patency penggunaan teknik pernapasan
efektif,
v  Aspiration Control diafragmatik dan batuk.
kelelahan/berkurangnya
Kriteria Hasil : 3. Bantu dalam pemberian
tenaga dan infeksi
bronkopulmonal.
v Mendemonstrasikan batuk tindakan nebuliser, inhaler dosis
efektif dan suara nafas yang terukur
bersih, tidak ada sianosis dan 4. Lakukan drainage postural
dyspneu (mampu mengeluarkan dengan perkusi dan vibrasi pada
sputum, mampu bernafas dengan pagi hari dan malam hari sesuai
mudah, tidak ada pursed lips) yang diharuskan.
v Menunjukkan jalan nafas yang 5.Instruksikan pasien untuk
paten (klien tidak merasa menghindari iritan seperti asap
tercekik, irama nafas, frekuensi rokok, aerosol, suhu yang
pernafasan dalam rentang ekstrim, dan asap.
normal, tidak ada suara nafas 6. Ajarkan tentang tanda-tanda
abnormal) dini infeksi yang harus
v Mampu mengidentifikasikan dilaporkan pada dokter dengan
dan mencegah factor yang dapat segera: peningkatan sputum,
menghambat jalan nafas perubahan warna sputum,
kekentalan sputum, peningkatan
napas pendek, rasa sesak didada,
keletihan.
7. Berikan antibiotik sesuai yang
diharuskan.
8. Berikan dorongan pada pasien
untuk melakukan imunisasi
terhadap influenzae dan
streptococcus pneumoniae.
2. Pola napas tidak NOC : 1.       Ajarkan klien latihan
efektifberhubungan v Respiratory status : Ventilation bernapas diafragmatik dan
dengan napas pendek, NOC pernapasan bibir dirapatkan.
mukus, bronkokontriksi v  Respiratory status : Airway 2.       Berikan dorongan untuk
dan iritan jalan napas patency menyelingi aktivitas dengan
v  Vital sign Status periode istirahat.
Kriteria Hasil : 3.       Biarkan pasien membuat
v Mendemonstrasikan batuk keputusan tentang perawatannya
efektif dan suara nafas yang berdasarkan tingkat toleransi
bersih, tidak ada sianosis dan pasien.
dyspneu (mampu mengeluarkan 4.       Berikan dorongan
sputum, mampu bernafas dengan penggunaan latihan otot-otot
mudah, tidak ada pursed lips) pernapasan jika diharuskan.
v Menunjukkan jalan nafas yang
paten (klien tidak merasa
tercekik, irama nafas, frekuensi
pernafasan dalam rentang
normal, tidak ada suara nafas
abnormal)
v Tanda Tanda vital dalam
rentang normal (tekanan darah
(sistole 110-130mmHg dan
diastole 70-90mmHg), nad (60-
100x/menit)i, pernafasan (18-
24x/menit))
3. Gangguan pertukaran v Respiratory status : Ventilation 1.      Deteksi bronkospasme
gas berhubungan Kriteria Hasil : saatauskultasi .
dengan ketidaksamaan v  Frkuensi nafas normal (16- 2.      Pantau klien terhadap
ventilasi perfusi 24x/menit) dispnea dan hipoksia.
v  Itmia 3.      Berikan obat-obatan
v  Tidak terdapat disritmia bronkodialtor dan kortikosteroid
v  Melaporkan penurunan dengan tepat dan waspada
dispnea kemungkinan efek sampingnya.
v  Menunjukkan perbaikan 4.      Berikan terapi aerosol
dalam laju aliran ekspirasi sebelum waktu makan, untuk
membantu mengencerkan
sekresi sehingga ventilasi paru
mengalami perbaikan.
5.      Pantau pemberian oksigen
4. Intoleransi aktivitas NOC : 1.      Kaji respon individu
berhubungan dengan v  Energy conservation terhadap aktivitas; nadi, tekanan
ketidakseimbangan v  Self Care : ADLs darah, pernapasan
antara suplai dengan Kriteria Hasil : 2.      Ukur tanda-tanda vital
kebutuhan oksigen v  Berpartisipasi dalam aktivitas segera setelah aktivitas,
fisik tanpa disertai peningkatan istirahatkan klien selama 3 menit
tekanan darah, nadi dan RR kemudian ukur lagi tanda-tanda
v  Mampu melakukan aktivitas vital.
sehari hari (ADLs) secara 3.      Dukung pasien dalam
mandiri menegakkan latihan teratur
dengan menggunakan treadmill
dan exercycle, berjalan atau
latihan lainnya yang sesuai,
seperti berjalan perlahan.
4.      Kaji tingkat fungsi pasien
yang terakhir dan kembangkan
rencana latihan berdasarkan
pada status fungsi dasar.
5.      Sarankan konsultasi
dengan ahli terapi fisik untuk
menentukan program latihan
spesifik terhadap kemampuan
pasien.
6. Sediakan oksigen sebagaiman
diperlukan sebelum dan selama
menjalankan aktivitas untuk
berjaga-jaga.
7. Tingkatkan aktivitas secara
bertahap; klien yang sedang atau
tirah baring lama mulai
melakukan rentang gerak
sedikitnya 2 kali sehari.
8. Tingkatkan toleransi terhadap
aktivitas dengan mendorong
klien melakukan aktivitas lebih
lambat, atau waktu yang lebih
singkat, dengan istirahat yang
lebih banyak atau dengan
banyak bantuan.
9. Secara bertahap tingkatkan
toleransi latihan dengan
meningkatkan waktu diluar
tempat tidur sampai 15 menit
tiap hari sebanyak 3 kali sehari.
5. Perubahan nutrisi NOC : 1. Kaji kebiasaan diet, masukan
kurang dari kebutuhan v  Nutritional Status : food and makanan saat ini. Catat derajat
tubuhberhubungan Fluid Intake kesulitan makan. Evaluasi berat
dengan dispnea, Kriteria Hasil : badan dan ukuran tubuh.
kelamahan, efek v  Adanya peningkatan berat 2. Auskultasi bunyi usus
samping obat, produksi badan sesuai dengan tujuan 3. Berikan perawatan oral sering,
sputum dan anoreksia, v  Berat badan ideal sesuai buang sekret.
mual muntah. dengan tinggi badan 4.Dorong periode istirahat I jam
v  Mampu mengidentifikasi sebelum dan sesudah makan.
kebutuhan nutrisi 5.Pesankan diet lunak, porsi
v  Tidak ada tanda tanda kecil sering, tidak perlu
malnutrisi dikunyah lama.
Tidak terjadi penurunan berat 6.Hindari makanan yang
badan yang berarti diperkirakan dapat menghasilkan
gas.
7.Timbang berat badan tiap hari
sesuai indikasi.

DAFTAR PUSTAKA
Faisal, A., 2017. Pengaruh Batuk Efektif Terhadap Perubahan Derajat Sesak Napas
Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (Ppok) Di Poliklinik Paru Rsud Dr.
H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin. Manuskrip.

Global Strategy For The Diagnosis, Management, And Prevention Of Chronic


Obstructive

KACANDRA SUGENY, K. S. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Tn. Y Dengan


Penyakit Paru Obstruksi Kronik Di Ruang Rawat Inap Paru RSUD Dr. Achmad
Mochtar Bukittinggi (Doctoral dissertation, STIKes PERINTIS PADANG).

LeMone, P., Burke, K.M. & Bauldoff, G., 2016. Buku Ajar Keperawatan Medikal
bedah, Ed. 5, Vol. 4. Jakarta: EGC.

NANDA, NIC- NOC. 2013.  Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnose


Medis & NAND, NIC- NOC. Jakarta: Media Action Publishing.

Pulmonary Disease, 2016, Global Intiative For Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD),USA

Pearce, E. C. (2016). Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. PT Gramedia Pustaka


Utama.

Saftarina, F., Anggraini, D.I. & Ridho, M., 2017. Penatalaksanaan Penyakit Paru
Obstruktif Kronis pada Pasien Laki-Laki Usia 66 Tahun Riwayat Perokok Aktif
dengan Pendekatan Kedokteran Keluarga di Kecamatan Tanjung Sari Natar. J
AgromedUnila, Volume 4, p.143.

Salawati, L., 2016. Hubungan Merokok Dengan Derajat Penyakit Paru Obstruksi
Kronik. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, Volume 16 Nomor 3 .

Septidiani, N. B. (2018). HUBUNGAN ASUPAN ENERGI, PROTEIN DAN


ANTIOKSIDAN DENGAN DERAJAT KEPARAHAN PADA PASIEN PENYAKIT
PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT
PARU DR. ARIO WIRAWAN SALATIGA (Doctoral dissertation,
MUHAMMADIYAH UNIVERSITY SEMARANG).

Suddarth, B.&., 2015. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth, Ed.12.


Jakarta: EGC

Susanti, 2015, Influenza Of Smoking On Chronic Obstructive Pulmonaly Disease


(COPD), Vol 4 No.5

Anda mungkin juga menyukai