Anda di halaman 1dari 60

REFERAT

“ASMA BRONKIAL”

Pembimbing :

dr. Taufik Raffendi, Sp.A,D.FM

Disusun Oleh :

Riko Sampurna 201610401011013

SMF ILMU KESEHATAN ANAK RS BHAYANGKARA KEDIRI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2017

1
BABI

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang ditandai

adanya mengi episodik, batuk dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran

nafas, termasuk dalam kelompok penyakit saluran pernafasan kronik. Prevalens

asma pada anak sangat bervariasi di antara negara-negara di dunia, berkisar

antara 1-18%. Meskipun tidak menempati peringkat teratas sebagai penyebab

kesakitan atau kematian pada anak, asma merupakan masalah kesehatan yang

penting. Jika tidak ditangani dengan baik, asma dapat menurunkan kualitas hidup

anak, membatasi aktivitas sehari-hari, mengganggu tidur, meningkatkan angka

absensi sekolah, dan menyebabkan prestasi akademik di sekolah menurun.(1)

Asma merupakan salah satu penyakit kronik yang tersebar diseluruh

belahan dunia dan sejak 20 tahun terakhir prevalensinya semakin meningkat pada

anak-anak baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Peningkatan

tersebut diduga berkaitan dengan pola hidup yang berubah dan peran faktor

lingkungan terutama polusi baik indoor maupun outdoor.1 Prevalensi asma pada

anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak sekitar 10%

pada usia sekolah dasar dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama.(2)

Prevalensi asma di seluruh dunia adalah sebesar 8-10% pada anak dan 3-

5% pada dewasa, dan dalam 10 tahun terakhir ini meningkat sebesar 50%.

sebanyak 10-15% anak laki-laki dan 7-10% anak wanita dapat menderita asma

pada suatu saat selama masa kanak-kanak. Beberapa survei menunjukkan bahwa

penyakit asma menyebabkan absensi 16 % pada anak sekolah di Asia, 43% anak-

2
anak di Eropa, dan 40% hari pada anak-anak di Amerika Serikat. Serangan asma

yang terjadi pada anak-anak tersebut, didiagnosis oleh para ahli sebagai asma

ekstrinsik yang dapat disebabkan oleh alergen. Di Indonesia prevalensi asma

belum diketahui secara pasti, namun hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-

14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (Internationla Study on Asthma

and Allergy in Children) tahun 1995 prevalensi asma masih 2,1%, sedangkan

pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%.(3)

World Health Organization (WHO) memperkirakan 100-150 juta

penduduk dunia menderita asma. Bahkan jumlah ini diperkirakan akan terus

bertambah hingga mencapai 180.000 orang setiap tahun. Sumber lain

menyebutkan bahwa pasien asma sudah mencapai 300 juta orang di seluruh dunia

dan terus meningkat selama 20 tahun belakangan ini.(4)

Pemahaman patogenesis, imunopatologi, genetika, manifestasi klinis,

diagnosis, dan tata laksana asma telah mengalami banyak kemajuan. Terjadinya

asma dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Akan tetapi, faktor mana

yang lebih berperan tidak dapat dipastikan karena kompleksitas hubungan kedua

faktor tersebut. Asma terjadi karena inflamasi kronik, hiper-responsif dan

perubahan struktur akibat penebalan dinding bronkus (remodeling) saluran

respiratori yang berlangsung kronik bahkan sudah ada sebelum munculnya gejala

awal asma. Penyempitan dan obstruksi pada saluran respiratori terjadi akibat

penebalan dinding bronkus, kontraksi otot polos, edema mukosa, hipersekresi

mukus. Apabila tidak dicegah dan ditangani dengan baik, maka diperkirakan

akan terjadi peningkatan prevalensi yang lebih tinggi lagi pada masa akan datang

serta mengganggu proses tumbuh-kembang anak dan kualitas hidup pasien.(5)

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Definisi asma pada anak masih diperdebatkan dan belum ada yang diterima

secara universal. Definisi asma yang ada pada beberapa pedoman memasukkan

gejala klinis dan karakteristiknya, serta mekanisme yang mendasari dengan

rincian yang berbeda antara satu pedoman dengan lainnya. (1)

Global Initiative Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai suatu penyakit

heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi kronik saluran respiratori.

Inflamasi kronik ini ditandai dengan riwayat gejala-gejala pada saluran respiratori

seperti wheezing (mengi), sesak napas, dan batuk yang bervariasi dalam waktu

maupun intensitas, disertai dengan limitasi aliran udara ekspiratori.(6)

International Consensus on (ICON) Pediatric Asthma mendefinisikan asma

sebagai gangguan inflamasi kronik yang berhubungan dengan obstruksi saluran

respiratori dan hiperesponsif bronkus, yang secara klinis ditandai dengan adanya

wheezing, batuk, dan sesak napas yang berulang.(7)

UKK Respirologi IDAI mendefinisikan, asma adalah penyakit saluran

respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang mengakibatkan obstruksi dan

hiperreaktivitas saluran respiratori dengan derajat bervariasi. Manifestasi klinis

asma dapat berupa batuk, wheezing, sesak napas, dada tertekan yang timbul

secara kronik dan atau berulang, reversibel, cenderung memberat pada malam

atau dini hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus.(20)

4
2.2 Anatomi dan Fisiologi

Gambar 1. Anatomi saluran pernafasan.(8)

Pernapasan adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung

oksigen kedalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung

karbondioksida (CO2) sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Penghisapan

ini disebut inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi. Secara garis besar

saluran pernafasan dibagi menjadi dua zona yaitu zona konduksi dan

respiratorius. Zona konduksi dimulai dari hidung, faring, laring, trakea, bronkus,

bronkiolus segmentalis dan berakhir pada bronkiolus terminalis. Sedangkan zona

respiratoris dimulai dari bronkiolus respiratoris, duktus alveoli dan berakhir pada

sakus alveolus terminalis.(8)

Saluran pernafasan mulai dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh

membran mukosa yang bersilia. Ketika udara masuk kerongga hidung, udara

5
tersebut disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan

fungsi utama dari mukosa respirasi yang terdiri dari epitel thorak yang bertingkat,

bersilia dan bersel goblet. Permukaan epitel dilapisi oleh lapisan mukus yang

disekresi oleh sel goblet dan kelenjar serosa. Partikel-partikel debu yang kasar

dapat disaring oleh rambut- rambut yang terdapat dalam lubang hidung.

Sedangkan, partikel yang halus akan terjerat dalam lapisan mukus untuk

kemudian dibatukkan atau ditelan. Air untuk kelembapan diberikan oleh lapisan

mukus, sedangkan panas yang disuplai keudara inspirasi berasal dari jaringan

dibawahnya yang kaya dengan pembuluh darah, sehingga bila udara mencapai

faring hampir bebas debu, bersuhu mendekati suhu tubuh dan kelembapannya

mencapai 100%.(8)

Udara mengalir dari hidung kefaring yang merupakan tempat persimpangan

antara jalan pernafasan dan jalan makanan. Faring dapat dibagi menjadi tiga

bagian yaitu nasofaring, orofaring dan laringofaring. Laring merupakan saluran

udara dan bertindak sebagai pembentukan suara terletak didepan bagian faring

sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke trakea di bawahnya. Laring

merupakan rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot dan

mengandung pita suara. Diantara pita suara terdapat glotis yang merupakan

pemisah saluran pernafasan bagian atas dan bawah.(8)

Trakea dibentuk dari 16 sampai dengan 20 cincin tulang rawan dan diantara

kartilago satu dengan yang lain dihubungkan oleh jaringan fibrosa dan di bagian

sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar (sel bersilia) yang

hanya bergerak keluar. Sel-sel bersilia ini berguna untuk mengeluarkan benda-

benda asing yang masuk bersama udara pernafasan, dan dibelakang terdiri dari

6
jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos dan lapisan mukosa.(8)

Bronkus merupakan lanjutan dari trakea dan terdapat dua cabang yang

terdapat pada ketinggian vertebra torakalis IV dan V. Sedangkan, tempat dimana

trakea bercabang menjadi bronkus utama kanan dan kiri disebut karina. Karina

memiliki banyak syaraf dan dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang

kuat jika batuk dirangsang. Bronkus utama kanan lebih pendek, lebih besar dan

lebih vertikal dari yang kiri yang terdiri dari 6-8 cincin dan mempunyai tiga

cabang. Bronkus utama kiri lebih panjang, lebih kecil, terdiri dari 9-12 cincin

serta mempunyai dua cabang.(8)

Bronkiolus terminalis merupakan saluran udara kecil yang tidak mengandung

alveoli dan memiliki garis tengah 1 mm. Seluruh saluran udara mulai dari hidung

sampai bronkiolus terminalis ini disebut saluran penghantar udara atau zona

konduksi. Bronkiolus ini mengandung kolumnar epitelium yang mengandung

lebih banyak sel goblet dan otot polos. Setelah bronkiolus terminalis terdapat

asinus yang merupakan unit fungsional paru yaitu tempat pertukaran gas. Asinus

terdiri dari bronkiolus respiratoris, duktus alveolaris dan sakus alveolaris

terminalis yang merupakan struktur akhir dari paru.(8)

Secara garis besar fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua yaitu

pertukaran gas dan keseimbangan asam basa. Fungsi pertukaran gas dibagi

menjadi 3 proses. Pertama ventilasi, merupakan proses pergerakan keluar

masuknya udara melalui cabang-cabang trakeobronkial sehingga oksigen sampai

pada alveoli dan karbondioksida dibuang. Pergerakan ini terjadi karena adanya

perbedaan tekanan antara udara luar dengan di dalam paru-paru. Proses kedua

adalah difusi yaitu masuknya oksigen dari alveoli ke kapiler melalui membran

7
alveoli-kapiler. Proses ini terjadi karena gas mengalir dari tempat yang tinggi

tekanan parsialnya ketempat yang lebih rendah tekanan partialnya. Oksigen

dalam alveoli mempunyai tekanan parsial yang lebih tinggi dari oksigen yang

berada didalam darah. Karbondioksida darah lebih tinggi tekanan parsialnya dari

pada karbondioksida di alveoli. Proses ketiga adalah perfusi yaitu proses

penghantaran oksigen dari kapiler ke jaringan melalui transpor aliran darah.(9)

2.3 Epidemologi

Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10%

pada anak). Prevalensi pada anak menderita asma meningkat 8-10 kali di negara

berkembang dibanding negara maju. Prevalensi tersebut sangat bervariasi. Di

Indonesia, prevalensi asma pada anak berusia 6-7 tahun sebesar 3% dan untuk

usia 13-14 tahun sebesar 5,2%. Berdasarkan laporan National Center for Health

Statistics (NCHS), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57

per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun adalah 38 per

1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Sebelum masa pubertas, prevalensi asma pada

laki-laki 3 kali lebih banyak dibanding perempuan, selama masa remaja

prevalensinya hampir sama dan pada dewasa laki-laki lebih banyak menderita

asma dibanding wanita.(10)

Secara global, morbiditas dan mortalitas asma meningkat pada 2 dekade

terakhir. Peningkatan ini dapat dihubungkan dengan peningkatan urbanisasi.

WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma.

Berdasarkan laporan NCHS terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100

ribu. Sedangkan, laporan dari CDC menyatakan terdapat 187 pasien asma yang

meninggal pada usia 0-17 tahun atau 0.3 kematian per 100,000 anak. Namun

8
(11)
secara umum kematian pada anak akibat asma jarang.

2.4 Etiologi dan Faktor Resiko

Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3

tipe, yaitu(12) :

1. Ekstrinsik (alergik)

Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor

pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan

(antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan

dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika

ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan

terjadi serangan asma ekstrinsik.(12)

2. Intrinsik (non alergik)

Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap

pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau

bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi.

Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya

waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema.

Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.(12)

3. Asma gabungan

Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik

dari bentuk alergik dan non-alergik.(12)

9
Gambar 2. Tipe asma.(12)

Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu(!3):


1. Faktor genetik
(a) Hiperreaktivitas
(b) Atopi/Alergi bronkus
(c) Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
(d) Jenis Kelamin
(e) Ras/Etnik
2. Faktor lingkungan

10
(a) Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing,
alternaria/jamur)
(b) Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)
(c) Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang,
makanan laut, susu sapi, telur)
(d) Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-
blocker dll)
(e) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)
(f) Ekspresi emosi berlebih
(g) Asap rokok
(h) Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
(i) Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika
melakukan aktivitas tertentu
(j) Perubahan cuaca.(13)

Exercised induced asthma merupakan obstruksi jalan napas yang berhubungan


dengan exercised tanpa mempertimbangkan ada tidaknya asma bronkial.
Beberapa literatur menyebutnya sebagai exercised induced bronchospasm (EIB).
Exercised induced asthma harus dibedakan antara penderita asma dengan atlit.
Pada EIB, didapatkan berespons terhadap bronkodilator dan metakolin, serta
berhubungan eosinofil. Sedangkan EIB pada atlit, tidak ditemukan respon
tersebut. Latihan fisik yang dapat menyebabkan terjadinya EIB adalah latihan
fisik yang mengakibatkan tercapainya 90-95% predictable maximum heart
rate.(13)

Pada saat dilakukan latihan fisik, terjadi hiperventilasi karena meningkatnya


kebutuhan oksigen. Hiperventilasi ini menyebabkan saluran napas berusaha lebih
untuk menjaga kelembaban dan suhu udara yang masuk kedalam alveolus tetap
optimal. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan osmolaritas dari
permukaaan saluran napas dimana terjadinya aktivasi sel mast dan sel epitel
kolumnar. Aktivasi ini menyebabkan keluarnya proinflamatory mediator berupa
histamin, leukotrien, dan kemokien. Mekanisme ini pada akhirnya menyebabkan
terjadinya bronkospasme pada exercised induced asthma. Pada EIB atlit, tidak

11
terjadi pengeluaran mediator inflamasi maupun peningkatan eosinofil, neutrofil,
atau sel epitel kolumnar sehingga tidak berespon terhadap steroid inhalasi.(13)
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya asma(13):
 Pemicu: Alergen dalam ruangan seperti tungau, debu rumah, binatang
berbulu (anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi, serta
pajanan asap rokok.
 Pemacu: Rhinovirus, ozon, pemakaian β2 agonist.
 Pencetus: Infeksi viral saluran napas, aeroalergen seperti bulu binatang,
alergen dalam rumah (debu rumat, kecoa, jamur), seasonal aeroalergen
seperti serbuk sari, asap rokok, polusi udara, pewangi udara, alergen di
tempat kerja, udara dingin dan kering, olahraga, menangis, tertawa,
hiperventilasi, dan kondisi komorbid (rinitis, sinusitis, dan gastroesofageal
refluks).

Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai berikut15:

Hiperaktivitas bronkus obstruksi

Faktor Genetik
Sensitisasi inflamasi Gejala Asma

Faktor Lingkungan

Pemicu (inducer) Pemacu (enhancer) Pencetus (trigger)

Gambar 3. Etiologi dan Faktor resiko asma.(13)


Gen kandidat yang diduga berhubungan dengan penyakit asma, serta penyakit
yang terkait dengan penyakit asma sangat banyak. Gen MHC manusia yang
terletak pada kromosom 6p, khususnya HLA telah dipelajari secara luas dan
sampai saat ini masih merupakan kandidat gen yang banyak dipelajari dalam
kaitannya dengan asma. HLA-DR merupakan MHC (major histocompatibility
complex) klas II, suatu reseptor permukaan sel yang disandikan oleh kompleks
antigen leukosit manusia (HLA/ Human Leukocyte Antigen) yang terletak pada
kromosom 6 daerah 6p21.31.(13)

12
2.5 Patofisiologi

Asma dapat terjadi pada usia berapapun, tetapi paling sering berawal pada

anak usia dini. Asma terjadi sebagai hasil interaksi antara faktor genetik dan

lingkungan sehingga upaya dikerahkan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang

dapat dimodifikasi untuk pencegahan. Banyak pedoman menyebutkan bahwa

faktor tersebut antara lain infeksi, pajanan mikroba, alergen, stres, polusi, dan

asap tembakau. Perkembangan alergen-IgE spesifik, terutama jika terjadi pada

awal kehidupan, merupakan faktor risiko penting berkembangnya asma, terutama

di negara-negara maju.(16)

Konsep terkini patogenesis asma adalah asma merupakan suatu proses

inflamasi kronik yang khas, melibatkan dinding saluran respiratori, peningkatan

reaktivitas saluran respiratori dan menyebabkan terbatasnya aliran udara.

Hiperreaktivitas ini merupakan predisposisi terjadi penyempitan saluran

respiratori sebagai respons terhadap berbagai macam rangsang. Gambaran khas

adanya inflamasi saluran respiratori adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag,

dan sel limfosit T pada mukosa dan lumen saluran respiratori. Perubahan ini

dapat terjadi meskipun secara klinis asmanya tidak bergejala. Pemunculan sel-sel

tersebut secara luas berhubungan dengan derajat beratnya penyakit secara klinis.

Sejalan dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus merangsang

proses reparasi saluran respiratori. Proses tersebut menghasilkan perubahan

struktural dan fungsional yang menyimpang pada saluran respiratori, dikenal

dengan istilah remodeling.(15)


 2.5.1 Mekanisme imunologis inflamasi saluran respiratori

Pada banyak kasus, terutama pada anak dan dewasa muda, asma

13
dihubungkan dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgH

dependent. Pada populasi diperkirakan faktor atopi memberikan

kontribusi pada 40% penderita asma anak dan dewasa.(14)

Sedikitnya ada dua jenis T3helper (Th1 dan Th2), limfosit subtipe

+
CD4 telah dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua

jenis limfosit T mensekresi interleukinH3 (ILH3) dan granulocyte3

macrophage colony3stimulating factor (GMHCSF), Th1 terutama

memproduksi ILH2, IF dan TNF . Sedangkan Th2 terutama

memproduksi sitokin yang terlibat dalam asma, yaitu ILH4, ILH5, ILH9,

ILH13, dan ILH16. Sitokin yang dihasilkan oleh Th2 bertanggung jawab

atas terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat ataupun cell3

mediated.(14)

Langkah pertama terbentuknya respons imun adalah aktivasi limfosit T

oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesoris, yaitu suatu

proses yang melibatkan molekul major histocompatibility complex (MHC

kelas II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8+). Sel

dendritik merupakan antigen presenting cells (APC) yang utama dalam

saluran respiratori. Sel dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam

sumsum tulang, membentuk jaringan luas, dan sel-selnya saling

berhubungan pada epitel saluran respiratori. Kemudian, sel-sel tersebut

bermigrasi ke kumpulan sel-sel limfoid di bawah pengaruh GM-CSF,

yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas, sel T,

makrofag, dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah ke

daerah yang banyak mengandung limfosit. Di tempat tersebut, dengan

14
pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai

APC yang efektif. Sel dendritik juga mendorong polarisasi sel T naïve-

Th0 menuju Th2 yang mengkoordinasi sekresi sitokin-sitokin yang

termasuk dalam klaster gen 5q31H33 (IL34 genecluster).(14)

Gambar 4. Patogenesis Asma.(14)

3.1.2. Inflamasi akut dan kronik 


Paparan alergen inhalasi pada pasien alergi dapat menimbulkan

respons alergi fase cepat dan pada beberapa kasus dapat diikuti dengan

respons fase lambat. Reaksi cepat dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang

sensitif terhadap alergen IgE spesifik terutama sel mast dan makrofag. Pada

pasien-pasien dengan komponen alergi yang kuat terhadap timbulnya asma,

basofil juga ikut berperan. Ikatan antara sel dan IgE mengawali reaksi

biokimia serial yang menghasilkan sekresi mediator-mediator seperti

15
histamin, proteolitik, enzim glikolitik, dan heparin serta mediator newly

generated seperti prostaglandin, leukotrien, adenosin, dan oksigen reaktif.

BersamaH sama dengan mediatorHmediator yang sudah terbentuk

sebelumnya, mediator-mediator ini menginduksi kontraksi otot polos

saluran respiratori dan menstimulasi saraf aferen, hipersekresi mukus,

vasodilatasi, dan kebocoran mikrovaskuler.(16)

Reaksi fase lambat dipikirkan sebagai sistem model untuk mempelajari

mekanisme inflamasi pada asma. Selama respons fase lambat dan selama

berlangsung pajanan alergen, aktivasi sel-sel pada saluran respiratori

menghasilkan sitokin-sitokin ke dalam sirkulasi dan merangsang lepasnya

leukosit proinflamasi terutama eosinofil dan sel prekursornya dari sumsum

tulang ke dalam sirkulasi.(16)


2.5.2. Remodeling saluran respiratori

Mediator inflamasi yang berperan merupakan mediator inflamasi yang

meningkatkan proses keradangan, mempertahankan proses inflamasi.

Mediator inflamasi tersebut akan membuat kepekaan bronkus berlebihan,

sehingga bronkus mudah konstriksi, kerusakan epitel, penebalan membrana

basalis dan terjadi peningkatan permeabilitas bila ada rangsangan spesifik

maupun non spesifik. Secara klinis, gejala asma menjadi menetap,

penderita akan lebih peka terhadap rangsangan. Kerusakan jaringan akan

menjadi irreversibel bila paparan berlangsung terus dan penatalaksanaan

kurang adekuat.(15)

Sejalan dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus

merangsang proses reparasi saluran respiratorik yang menghasilkan

16
perubahan struktural dan fungsional yang menyimpang pada saluran

respiratorik yang dikenal dengan istilah remodeling atau repair. Pada proses

remodeling yang berperan adalah sitokin IL4, TGF beta dan Eosinophil

Growth Factor (EGF). TGF beta merangsang sel fibroblast berproliferasi,

epitel mengalami hiperplasia, pembentukan kolagen bertambah. Akibat

proses remodeling tersebut terjadi pelepasan epitel yang rusak, jaringan

membrana basalis mukosa menebal (pseudothickening), hiperplasia

kelenjar, edema submukosa, infiltrasi sel radang dan hiperplasia otot.

Perubahan semacam ini tidak memberikan perbaikan klinis, tetapi

mengakibatkan penyempitan lumen bronkus yang persisten dan

memberikan gambaran klinis asma kronis.(15)

Gambar 5. Inflamasi dan remodeling pada asma.(15)

2.5.3. Obstruksi saluran respiratori

Inflamasi saluran respiratori yang ditemukan pada pasien asma

diyakini merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi. Obstruksi saluran

17
respiratori menyebabkan keterbatasan aliran udara yang dapat kembali baik

secara spontan maupun setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang

terjadi dihubungkan dengan gejala khas pada asma, yaitu batuk, sesak,

wheezing, dan hiperreaktivitas saluran respiratori terhadap berbagai

rangsangan. Batuk sangat mungkin disebabkan oleh stimulasi saraf sensoris

pada saluran respiratori oleh mediator inflamasi. Terutama pada anak,

batuk berulang dapat menjadi satu-satunya gejala asma yang ditemukan.(17)

Gambar 6. Patofisiologi asma bronkial.(17)

Penyempitan saluran respiratori pada asma dipengaruhi oleh banyak

faktor. Penyebab utama penyempitan saluran respiratori adalah kontraksi

otot polos bronkus yang diprovokasi oleh pelepasan agonis dari sel-sel

inflamasi. Yang termasuk agonis adalah histamin, triptase, prostaglandin

D2 dan leukotrien C4 dari sel mast, neuropeptida dari saraf aferen

setempat, dan asetilkolin dari saraf eferen postganglionik. Kontraksi otot

polos saluran respiratori diperkuat oleh penebalan dinding saluran

respiratori akibat edema akut, infiltrasi sel-sel inflamasi dan remodeling,

18
hiperplasia dan hipertrofi kronik otot polos, vaskular, dan sel-sel sekretori,

serta deposisi matriks pada dinding saluran respiratori. Selain itu, hambatan

saluran respiratori juga bertambah akibat produksi sekret yang banyak,

kental, dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar submukosa, protein plasma

yang keluar melalui mikrovaskular bronkus, dan debris selular.(17)

Gambar 7. Remodeling saluran respiratori pada asma.(15)

Pada anak, sebagaimana pada orang dewasa, perubahan patologis pada

bronkus (airway remodeling) terjadi pada saluran respiratori. Inflamasi

dicetuskan oleh berbagai faktor, termasuk alergen, virus, olahraga, dll.

Faktor tersebut juga menimbulkan respons hiperreaktivitas pada saluran

respiratori penderita asma. Inflamasi dan hiperreaktivitas menyebabkan

19
obstruksi saluran respiratori. Meskipun perubahan patofisiologis yang

berkaitan dengan asma pada umumnya reversibel, penyembuhan

sebagian/parsial dapat terjadi.(16)


2.5.4. Hiperreaktivitas saluran respiratori

Penyempitan saluran respiratori secara berlebihan merupakan

patofisiologi yang secara klinis paling relevan pada penyakit asma.

Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap reaktivitas yang berlebihan

atau hiperreaktivitas ini belum diketahui. Akan tetapi, kemungkinan

berhubungan dengan perubahan otot polos saluran respiratori (hiperplasi

dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder, yang menyebabkan perubahan

kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran respiratori terutama

daerah peribronkial dapat memperberat penyempitan saluran respiratori

selama kontraksi otot polos.(17)

Hiperreaktivitas bronkus secara klinis sering diperiksa dengan

memberikan stimulus aerosol histamin atau metakolin yang dosisnya

dinaikkan secara progresif, kemudian dilakukan pengukuran perubahan

fungsi paru (PFR atau FEV1). Provokasi/stimulus lain seperti latihan fisis,

hiperventilasi, udara kering, aerosol garam hipertonik, dan adenosin tidak

memunyai efek langsung terhadap otot polos (tidak seperti histamin dan

metakolin) tetapi dapat merangsang pelepasan mediator dari sel mast, ujung

serabut saraf, atau sel-sel lain pada saluran respiratori. Dikatakan

hiperreaktif bila dengan cara pemberian histamin didapatkan penurunan

FEV1 20% pada konsentrasi histamin kurang dari 8 mg%.(17)

20
2.6 Manifestasi klinis

Batuk kering berulang dan mengi adalah gejala utama asma pada anak. Pada

anak yang lebih besar dan dewasa, gejala juga dapat berupa sesak napas dada

terasa berat gejala biasanya akan memburuk pada malam hari yang dipicu dengan

infeksi pernapasan dan inhalasi alergen. Gejala lainnya dapat tersembunyi dan

tidak spesifik seperti keterbatasan aktivitas dan cepat lelah. Riwayat penggunaan

bronkodilator dan atopi pada pasien atau keluarganya dapat menunjang

penegakan diagnosis.(18)

GINA, konsensus Internasional dan PNAA menekankan diagnosis asma

didahului batuk dan atau mengi. Gejala awal tersebut ditelusuri dengan algoritme

kemungkinan diagnosis asma. Pada algoritme tampak bahwa batuk dan/atau

mengi yang berulang (episodik), nokturnal, musiman, setelah melakukan

aktivitas, dan adanya riwayat atopi pada penderita maupun keluarganya

merupakan gejala atau tanda yang patut diduga suatu asma.(6)

Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil., khususnya

anak di bawah 3 tahun, respons yang baik terhadap obat bronkodilator dan steroid

sistemik (5 hari) dan dengan penyingkiran penyakit lain diagnosis asma menjadi

lebih definitif. Untuk anak yang sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru

sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter,

atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan

histamin, metakolin, latihan (exercise), udara kering dan dingin atau dengan NaCl

hipertonis, sangat menunjang diagnosis.(18)

21
2.7 Diagnosis

Penegakan diagnosis asma pada anak mengikuti alur klasik diagnosis medis

yaitu melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang.

Anamnesis memegang peranan sangat penting mengingat diagnosis asma pada

anak sebagian besar ditegakkan secara kinis.(7)


2.7.1. Anamnesis

Keluhan wheezing dan atau batuk berulang merupakan manifestasi

klinis yang diterima luas sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala

respiratori asma berupa kombinasi dari batuk, wheezing, sesak napas, rasa

dada tertekan, dan produksi sputum. Chronic recurrent cough (batuk

kronik berulang, BKB) dapat menjadi petunjuk awal untuk membantu

diagnosis asma. Gejala dengan karakteristik yang khas diperlukan untuk

menegakkan diagnosis asma. Karakteristik yang mengarah ke asma

adalah(7):

• Gejala timbul secara episodik atau berulang. 


• Timbul bila ada faktor pencetus. 


o Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk,

suhu dingin, udara kering, makanan minuman dingin, penyedap

rasa, pengawet makanan, pewarna makanan.

o Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.

o Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold,

rinofaringitis

22
o Aktivitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa

berlebihan.

• Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya. 


• Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu,

bahkan dalam 24 jam. Biasanya gejala lebih berat pada 
malam

hari (nokturnal).


• Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan 
atau

dengan pemberian obat pereda asma.


2.7.2 Pemeriksaan fisik

Dalam keadaan stabil tanpa gejala, pada pemeriksaan fisik 
pasien

biasanya tidak ditemukan kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk

atau sesak, dapat terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung

(audible wheeze) atau yang terdengar dengan stetoskop. Selain itu, perlu

dicari gejala alergi lain pada pasien seperti dermatitis atopi atau rinitis

alergi, dan dapat pula dijumpai tanda alergi seperti allergic shiners atau

geographictongue.(1) 



2.7.3. Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan ini untuk menunjukkan variabilitas gangguan aliran


napas akibat obstruksi, hiperreaktivitas, dan inflamasi saluran respiratori,
atau adanya atopi pada pasien.(1) 


 Saturasi

Oksigen Pemeriksaan saturasi oksigen dilakukan dengan

menggunakan pulse oximetry sebelum diberikan terapi oksigen atau 5

23
menit setelah terapi oksigen dihentikan. Pasien dengan serangan asma

harus dimonitor ketat saturasi oksigennya, terutama pada anak yang

tidak dapat dilakukan pemeriksaan PEF. Saturasi oksigen normal pada

anak adalah >95%. Saturasi oksigen <92% merupakan prediktor

diperlukannya rawat inap, sedangkan saturasi oksigen <90%

merupakan tanda segera diperlukannya terapi yang agresif.(7) 



 Spirometri 


Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibilitas

dan untuk menilai variabilitas. Pemeriksaan uji fungsi paru merupakan

salah satu pemeriksaan yang direkomendasikan pada serangan asma,

sayangnya belum semua RS di Indonesia memunyai alat spirometri

untuk anak, dan jika tersedia, pemeriksaan ini belum rutin dikerjakan.

Jika alat tersedia dan kondisi pasien memungkinkan, PEF atau FEV1

dinilai sebelum diberikan terapi. Selanjutnya spirometri dilakukan satu

jam setelah pemberian terapi awal dan diperiksa berkala sampai

respons terhadap terapi komplit. 
Pada fasilitas terbatas dapat

dilakukan pemeriksaan dengan peakflowmeter.(7)

 Analisis gas darah 


Pemeriksaan ini tidak rutin diperlukan dan hanya

dipertimbangkan jika FEV <50% prediksi, atau pada pasien dengan


1

serangan asma berat, atau pasien yang menetap atau memburuk

dengan terapi awal. Hasil PaO <60 mmHg (8 kPa) dan PaCO
2 2

normal atau meningkat (khususnya >45 mmHg, 6 kPa) merupakan

petanda gagal napas.(7) 


24
 Rontgen toraks

Pemeriksaan rontgen toraks tidak rutin dilakukan pada pasien

dengan serangan asma. Pemeriksaan ini dipertimbangkan pada

serangan berat atau jika dicurigai terjadi komplikasi (misalnya

pneumotoraks) atau ada kondisi lain (misalnya pneumonia atau

inhalasi benda asing) yang menyertai dan/atau ada ancaman henti

napas yang tidak membaik dengan terapi. Kecurigaan ini perlu

diperhatikan pada anak yang disertai demam, tidak ada riwayat

keluarga dengan asma, dan wheezing unilateral.(7)

 Uji cukit kulit (skin prick test), eosinofil total darah, pemeriksaan IgE

spesifik. (7)


 Uji inflamasi saluran respiratori: FeNO (fractional exhaled nitric

oxide), eosinofil sputum.(7) 


 Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, atau larutan salin

hipertonik.(7) 


 Jika terindikasi dan fasilitas tersedia, lakukan pemeriksaan 
untuk

mencari kemungkinan diagnosis banding, misalnya uji tuberkulin, foto

sinus paranasalis, foto toraks, uji refluks gastro esofagus, uji keringat,

uji gerakan silia, uji defisiensi imun, CTHscan toraks, endoskopi

respiratori (rinoskopi, laringoskopi,bronkoskopi).(1)

25
Gambar 8. Alur diagnosis.(19)

2.8 Klasifikasi

Klasifkasi asma sangat diperlukan karena berhubungan dengan tatalaksana


lanjutan (jangka panjang). GINA membagi asma berdasarkan gejala dan tanda
klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium.menjadi 4 klasifikasi yaitu
asma intermiten, asma persisten, ringan, asma persisten sedang, dan asma persisten
berat.

26
Tabel 1. Klasifikasi asma berdasarkan GINA.(6)

Gejala/hari Gejala/malam PEF atau FEV1


PEF Variability

Derajat 1 <1kali perminggu < 2kali sebulan >80%


intermiten asimtomatik dan <20%
nilai PEF normal
diantara serangan

Derajat 2 >1 kali perminggu >2kali sebulan > 80%


Persisten ringan tapi <1 kali perhari 20-30%
serangan dapat
mengganggu
aktifitas
Derajat 3 Sehari sekali > 1kali seminggu 60-8-%
Persisten sedang serangan >30 %
menggangu
aktifitas
Derajat 4 Terus menerus sering <60%
Persisten berat sepanjang hari >30 %

Selain pembagian berdasarkan GINA, PNAA membagi asma menjadi 3 yaitu


asma episodik jarang, asma episodik sering dan asma persisten. Berikut ini tabel
klasifikasi asma berdasarkan PNAA:

Tabel 2. Klasifikasi Asma Berdasarkan PNAA.(20)

27
Tabel 3. Klasifikasi asma menurut derajat serangan.(1)

2.9 Diagnosis banding

Terdapat banyak kondisi dengan gejala dan tanda yang mirip dengan asma.

Selain asma, penyebab umum lain dari gejala batuk berulang pada asma meliputi

rhinosinusitis dan gastro-esophageal reflux (GER). GER merupakan silent-

disease pada anak, sedangkan pada anak dengan sinusitis kronik tidak memiliki

28
gejala yang khas seperti dewasa dengn adanya nyeri tekan local pada daerah

sinus yang terkena. Selain itu, kedua penyakit ini merupakan penyakit komorbid

yang sering pada asama, sehingga membuat terapi spesifik pada asma tidak

diberikan dengan tepat.(6)

Pada masa-masa awal kehidupan, batuk kronis dan mengi dapat terjadi pada

keadaan aspirasi, tracheobronchomalacia, abnormalitas jalan napas congenital,

fibrosis kistik dan displasia bronkopulmoner. Pada anak usia 3 bulan, mengi

biasanya ditemukan pada keadaan infeksi, malformasi paru dan kelainan jantung

dan gastrointestinal. Pada bayi dan batita, bronkiolitis yang disebabkan oleh

respiratory syncitial virus merupakan penyebab mengi yang umum.pada anak

yang lebih besar, mengi berulang dapat terjadi pada disfungsi pita suara. Selain

itu, batuk berulang jug dapat ditemukan pada tuberculosis terutama pada daerah

dengan penyebaran tinggi Tuberculosis.(6)

Gejala asma tidak patognomonik, dalam arti dapat disebabkan oleh berbagai

penyakit lain sehingga perlu dipertimbangkan kemungkinan diagnosis banding.(7)

 Inflamasi: infeksi, alergi

• Rinitis, rinosinusitis 


• Chronic upper airway cough syndrome 


• Infeksi respiratori berulang 


• Bronkiolitis 


• Aspirasi berulang 


• Defisiensi imun 


• Tuberkulosis

29
 
Obstruksi mekanis 


• Laringomalasia, trakeomalasia 


• Hipertrofi timus 


• Pembesaran kelenjar getah bening 


• Aspirasi benda asing 


• Vascularring, laryngeal web 


• Disfungsi pita suara 


• Malformasi kongenital saluran respiratori 


 Patologi bronkus 


• Displasia bronkopulmonal 


• Bronkiektasis 


• Diskinesia silia primer 


• Fibrosis kistik 


 Kelainan sistem organ lain 


• Penyakit refluks gastroHesofagus (GERD) 


• Penyakit jantung bawaan 


• Gangguan neuromuskular 


• Batuk psikogen 


2.10 Penatalaksanaan

Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever)

dan obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk meredakan serangan

atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada

30
lagi gejala maka obat ini tidak lagi digunakan atau diberikan bila perlu. Kelompok

kedua adalah obat pengendali yang disebut juga obat pencegah, atau obat profilaksis.

Obat ini digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik

saluran nafas. Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus diberikan

walaupun sudah tidak ada lagi gejalanya kemudian pemberiannya diturunkan pelan –

pelan yaitu 25 % setip penurunan setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 – 8

minggu.(21)

Berikut adalah jenis obat pelega dan pengendali asma pada anak(21):

1. Obat pelega (reliever)

a. Golongan β agonis kerja pendek atau short acting β-agonist/SABA(21)

 Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada

anak. Reseptor β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan,

alveolus, sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan

pankreas.

 Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik menyebabkan perubahan

ATP menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas

yang menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti

peningkatan klirens mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan

berkurangnya pelepasan mediator sel mast.

 Pemberian SABA peroral: efek bronkodilatasi dicapai setelah 30 menit.

Efek puncak dalam 2-4 jam dan lama kerja hingga 5 jam.

 Pemberian SABA secara inhalasi: awitan kerja cepat (<1 menit). Efek

puncak dalam 10 menit dan lama kerja hingga 4-6 jam.

 Penggunaan metered-dose inhaler (MDI): serangan asma ringan 2-4 puff

(semprotan) tiap 3-4 jam, serangan asma sedang :6-10 puff setiap 1-2

31
jam, dan pada serangan asma berat: 10 puff setiap 1-2 jam.

 Pasien yang tidak berespon terhadap 2 kali inhalasi (nebulizer/inhaler)

dikategorikan sebagai non-responder, pada inhalasi ke-3 dapat

ditambahkan ipratropium bromida.

 Efek samping SABA: tremor, sakit kepala, agitasi palpitasi, takikardia.

Tabel 4. Dosis obat SABA.(21)

Salbutamol

 Oral : 0,1-0,15 mg/kgBB/kali, setiap 6 jam

 Inhalasi: 0,1-0,15 mg/kgBB (maksimum 5 mg/kali), interval 20 menit

 Subkutan: 0-20 ug/kgBB/kali

Terbutalin

 Oral: 0,05-0,1 mg/kgBB/kali, setiap 6 jam

 Inhalasi: 2,5 mg/kali

 Subkutan: 5-10 ug/kgBB/kali

b. Golongan Methyl-xanthine (teofilin kerja cepat): Aminofilin intravena (22)

 Hanya diberikan pada serangan asma berat yang kurang/tidak berespon

dengan pemberian kombinasi SABA, antikolinergik (seperti ipratropium

bromida) serta steroid

 Dosis inisial: jika belum mendapatkan aminofilin 6-8 mg/kgBB,

dilarutkan dalam 20 ml dextrosa 5% garam fisiologis, diberikan dalam 20-

30 menit. Jika sudah mendapatkan aminofilin sebelumnya (<4jam)

berikan setengah dosis.

32
 Dosis rumatan : 0,5-1mg/kgBB/jam. Kadar aminofilin dalam darah

dipertahakan 10-20 ug/ml. Dosis maksimal 16-20mg/KgBB/hari(apabila

tidak dapat mengukur konsentrasi plasma

 Efek samping: mual, muntah sakit kepala. Pada konsentrasi tinggi dapat

menimbulkan kejang,takikardia,aritmia.

c. Golongan Antikolinergik (22)

 Ipratropium bromida  nebulisasi 0,1ml/kgBB setiap 4 jam.

 Awitan kerja 15 menit, efek puncak dalam 1-3 jam, dan lama kerja hingga

3-4 jam.

 Efek samping : mulut kering.

 Kombinasi SABA dan ipratropium bromida memberikan efek yang lenih

baik dari pada penggunaan obat secara terpisah (sendiri-sendiri).

d. Golongan Kortikosteroid Sistemik (22)

 Diberikan apabila terapi inisial SABA gagal mencapai perbaikan klinis

atau serangan asma tetap terjadi walaupun sudah menggunakan

kortikosteroid inhalasi, atau serangan asma ringan dengan riwayat

serangan asma berat.

Tabel 5. Dosis kortikosteroid untuk reliever.(22)

Metilprednisonlon IV Dosis 1 mg/kgBB,setiap 4-6 jam

Hidrokortison IV Dosis 4 mg/kgBB, setiap 4-6 jam

Dekssmetason IV Bolus 0,5-1mg/kgBB, dilanjutkan 1

mg/kgBB/hari diberikan setiap 6-8

jam

33
Prednison, prednisolon, Dosis 1-2 mg/kgBB/hari 2-3

triamsinolon oral kali/hari,selama 3-5 hari.

2. Obat Pengendali (Controller) (26)

a. Golongan β agonis kerja panjang (LABA). (26)

 Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol.


 Kombinasi steroid inhalasi dengan LABA memberikan dosis steroid
inhalasi menjadi dua kali lipat.
 Kombinasi steroid inhalasi dan LABA sudah tersedia dalam 1 paket:
o Salmeterol+Fluticasone propinate seretide (MDI).
o Formoterol +Budesonide  Symbicort (DPI).
Tabel 6. Dosis obat LABA. (26)
salmeterol Inhalasi Dosis untuk > 4 tahun:

50 ug/inhalasi, 2kali

sehari

formoterol Inhalasi Dosis untuk >5 tahun:

12 ug/inhalasi 2 kali

sehari

b. Golongan anti inflamasi steroid (26)

 Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling


efektif dan direkomendasikan untuk penderita asma semua umur.
 Intervensi awal dengan penggunaan inhalasi budesonide berhubungan
dengan perbaikan dalam pengontrolan asma dan mengurangi penggunaan
obat-obat tambahan.
 Terapi pemeliharaan dengan inhalasi glukokortikosteroid ini mampu
mengontrol gejala-gejala asma, mengurangi frekuensi dari eksaserbasi
akut dan jumlah rawatan di rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup,

34
fungsi paru dan hiperresponsif bronkial, dan mengurangi
bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.
 Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis,
mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi
terjadinya down regulation receptor β2 agonist.
 Efek samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan sistem
saraf pusat, dan gangguan pada gigi dan mulut.
Tabel 7. Dosis obat kortikosteroid controller. (26)
Budesonide
Bentuk : Inhalasi (MDI,Turbuhaler)
Asma sering:
-Usia < 12 tahun: 100-200ug
-Usia >12 tahun: 200-400ug
Asma persisten
-Usia < 12 tahun: 200-400ug
-Usia >12 tahun: 400-600ug
Fluticasone
Bentuk: Inhalasi (MDI)
Asma episodik sering
-Usia < 12 tahun: 50-100ug
-Usia >12 tahun: 100-200ug
Asma persisten
-Usia < 12 tahun: 100-200ug
-Usia >12 tahun: 200-300ug

Prednison
Bnetuk: oral
Dosis : 1-2mg/kgBB/hari; kemudian diturunkan hingga dosis terkecil
yang diberikan, selang sehari,pada pagi hari.

35
c. Golongan Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA) (26)

Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan

mungkin hasilnya lebih baik. Sayangnya, belum ada percobaan jangka panjang

yang membandingkannya dengan steroid hirupan + LABA. Keuntungan

memakai LTRA adalah sebagai berikut (26) :

 LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil

leukotriane;

 Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap

bronkokonstriktor;

 Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction

 Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali per

hari., penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati; sayangnya

preparat montelukast ini belum ada di Indonesia;

 Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan

meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan

transforming growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan

terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta diharapkan

mencegah perubahan fungsi otot polos menjadi organ pro-inflamator.

Ada 2 preparat LTRA (26) :

a. Montelukast

Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral 1 kali

sehari.(respiro anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg qhs. (gina)

b. Zafirlukast

Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia > 7 tahun

dengan dosis 10 mg 2 kali sehari.

36
Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai tingkat

keparahan asma dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek samping

obat dapat mengganggu fungsi hati (meningkatkan transaminase) sehingga

perlu pemantauan fungsi hati.(26)

d. Golongan Teofilin Lepas Lambat

Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama

kortikosteroid yang bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis

pemeliharaan glukokortikosteroid. Tapi efikasi teofilin lebih rendah daripada

glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.(26)

Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala,

stimulasi ringan SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan

jarang, perdarahan lambung. Efek samping muncul pada dosis lebih dari

10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi dimulai pada dosis inisial

5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.(26)

Tabel 8. Jenis alat inhalasi sesuai usia.(22)

37
Tabel 9. Derajat kendali asma.(24)

2.9.1 Jenjang pengendalian asma

PNAA (2015) membagi derajat penyakit asma anak berdasarkan

kekerapan gejala dan derajat kendali. Setelah dilakukan tata laksana umum

berupa penghindaran pencetus, klasifikasi kekerapan asma dapat ditentukan

dalam waktu enam minggu. Pada asma intermiten tidak dibutuhkan tata

laksana asma jangka panjang sesuai dengan jenjang 1, sedangkan pada

asma persisten dilakukan tata laksana jangka panjang sesuai dengan jenjang

2 sampai jenjang 4 kemudian dievaluasi secara berkala untuk menaikkan

atau menurunkan jenjang dalam pemakaian obat pengendali asma.

Diagnosis derajat kendali dibuat setelah 6 minggu menjalani tata laksana

jangka panjang awal sesuai klasifikasi kekerapan.(20)

Pemberian steroid inhalasi sebagai tata laksana asma jangka panjang

harus dipertimbangkan pada pasien asma dengan salah satu dari kriteria

berikut: mengalami serangan asma pada 2 tahun terakhir, penggunaan obat

pereda asma 3 kali dalam satu minggu, terbangun karena serangan asma 1

kali dalam satu minggu. (20)

38
Gambar 9. Jenjang pengendali asma.(20)

Keterangan :

 Acuan awal penetapan jenjang tata laksana jangka panjang

menggunakan klasifikasi kekerapan.

 Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 6-8

minggu dan asma belum terkendali, maka tata laksana naik jenjang

ke atasnya (step up).

 Bila suatu jenjang dalam tata laksana sudah berlangsung selama 8-

12 minggu dan asma terkendali penuh, maka tata laksana turun

jenjang kebawahnya (step down). 


 Perubahan jenjang tata laksana harus memperhatikan aspek-aspek

penghindaran, penyakit penyerta. 


 Pada Jenjang 4, jika belum terkendali, tata laksana ditambahkan

omalizumab.(20) 


39

 Pengendalian asma senantiasa dilakukan berdasarkan derajat kendali

asma. Apabila asma belum terkendali maka dilakukan pemberian obat

sesuai jenjang selanjutnya. Sebelumnya perlu dicermati apakah dosis, cara

pemberian obat yang diberikan sudah tepat, apakah penghindaran faktor

pencetus telah dilaksanakan dengan benar. Pada setiap jenjang

pengendalian, apabila terjadi serangan/eksaserbasi asma, pasien harus

mendapatkan obat pereda asma yaitu obat inhalasi agonis β2 kerja

pendek.(27)


A. Jenjang 1

Pasien pada kondisi terkendali penuh dengan atau tanpa obat

pengendali, hanya mengalami gejala ringan 2 kali/minggu dan di

antara serangan pasien tidak mengalami gangguan tidur maupun

aktivitas sehari hari. Pada saat ini pasien hanya mendapatkan obat

pereda berupa inhalasi agonis β2 kerja pendek apabila mengalami

serangan asma. Sebagai alternatif bisa diberikan obat inhalasi agonis

β2 kerja pendek kombinasi dengan ipratropium bromida, agonis β2

kerja pendek oral, atau teofilin kerja pendek oral. Pengendalian asma

dihubungkan dengan tingkat pemakaian obat pereda asma. Bila

pemakaian obat pereda asma melebihi dua kanister setiap bulannya,

menandakan anak memerlukan obat pengendali asma. Pada tata

laksana jangka panjang jenjang 1, 2, 3, dan 4 pemilihan obat dinilai

berdasarkan pengurangan gejala asma, perbaikan fungsi paru, dan

penurunan frekuensi eksaserbasi asma. Pada pasien yang memiliki

faktor risiko dapat dipertimbangkan pemberian steroid inhalasi dosis

40
rendah.(20)

B. Jenjang 2

Pilihan utama obat pengendali pada jenjang ini adalah steroid

inhalasi dosis rendah, sedangkan sebagai pilihan lain dapat diberikan

antileukotrien yang diberikan pada pasien asma yang tidak

memungkinkan menggunakan steroid inhalasi atau pada pasien yang

menderita asma disertai rinitis alergi. Teofilin dan kromolin kurang

disarankan karena efikasinya lebih rendah dan lebih sering

menimbulkan efek samping.(20)

C. Jenjang 3

Pilihan utama pada jenjang 3 untuk anak berusia diatas 5 tahun

ialah kombinasi steroid dosis rendahHagonis β2 kerja panjang.

Pilihan lainnya ialah dengan menaikkan dosis steroid inhalasi pada

dosis menengah. Pemberian melalui inhalasi dosis terukur dengan

spacer akan memperbaiki deposisi obat di paru, mengurangi impaksi

obat di orofaring dan mengurangi efek sistemik. Selain itu dapat

diberikan kombinasi steroid inhalasi dosis rendahHantileukotrien atau

kombinasi steroid inhalasi dosis rendahHteofilin lepas lambat.(20)

D. Jenjang 4

Pasien asma yang tidak berhasil dikendalikan pada jenjang 3

sebaiknya dirujuk kepada dokter spesialis respirologi anak untuk

pemeriksaan lebih lanjut. Pada saat ini pasien asma dikategorikan

sebagai asma sulit (difficult–to3treat asthma). Pilihan pertama pada

41
jenjang 4 ialah kombinasi steroid inhalasi dosis menengahHagonis β2

kerja panjang. Menaikkan dosis steroid inhalasi dari dosis sedang ke

dosis tinggi hanya memberikan sedikit perbaikan. Keputusan ini

dapat dilaksanakan setelah pemberian steroid inhalasi dosis

sedangHagonis β2 kerja panjang diberikan selama 6H8 minggu.

Pilihan lain pada jenjang 4 ialah kombinasi steroid inhalasi dosis

tinggiHantileukotrin atau kombinasi steroid inhalasi dosis

tinggiHteofilin lepas lambat. Pada jenjang ini dapat dipertimbangkan

penambahan antiH imunoglobulin E (omalizumab) yang dapat

memperbaiki pengendalian asma yang disebabkan karena alergi.(20)

E. Jenjang 5

Semua pasien yang mencapai jenjang ini harus dirujuk dokter

spesialis respirologi anak untuk pemeriksaan dan tata laksana lebih

lanjut, oleh karena itu tata laksana pada jenjang ini tidak dituliskan

dalam gambar. Pada jenjang ini mulai dipertimbangkan pemberian

steroid oral, oleh karena itu pasien harus dijelaskan tentang

kemungkinan efek samping yang timbul akibat pemberian steroid oral

jangka panjang dan berbagai alternatif pilihan pengobatan.(20)

Pengendalian asma harus dimonitor teratur tergantung kondisi

pasien, derajat asma, dan penyakit lain yang menyertai asma. Pada

umumnya pasien dimonitor setiap bulan dan pencapaian perbaikan

setelah 3 bulan. Selain jenis obat, dosis obat, cara pemberian obat dan

kepatuhan, pasien asma senantiasa perlu dipantau bagaimana upaya

penghindaran faktor pencetus dan adanya penyakit penyerta asma.

42
Penurunan dosis steroid dipertimbangkan setiap 8H12 minggu dengan

penurunan dosis sebesar 25H50%.(20)

2.9.2 Tahapan tata laksana serangan asma

The Global Initiative for Asthma (GINA) membagi tata laksana

serangan asma menjadi dua, yaitu tata laksana di rumah dan di fasilitas

pelayanan kesehatan (fasyankes)/RS. Tata laksana di rumah dilakukan oleh

pasien (atau orang tuanya) sendiri di rumah. Hal ini dapat dilakukan oleh

pasien yang memunyai pendidikan yang cukup dan sebelumnya telah

menjalani terapi dengan teratur. Pada panduan pengobatan di rumah, terapi

awal berupa inhalasi agonis β2 kerja pendek hingga tiga kali dalam satu

jam. Kemudian, pasien atau keluarganya diminta untuk melakukan

penilaian respons untuk penentuan derajat serangan, yang kemudian

ditindaklanjuti sesuai derajatnya. Akan tetapi, untuk kondisi di negara kita,

pemberian terapi awal di rumah cukup riskan dan kemampuan melakukan

penilaian juga masih dipertanyakan. Dengan alasan demikian maka apabila

setelah dilakukan inhalasi dua kali tidak memunyai respons yang baik,

maka dianjurkan untuk mencari pertolongan medis di klinik atau rumah

sakit.(27)


a. Tata laksana di rumah

Semua pasien/orangtua pasien asma seharusnya diberikan edukasi

tentang bagaimana memantau gejala asma, gejalaHgejala serangan asma

dan rencana tata laksana asma yang diberikan tertulis (asthma action

plan, AAP). Dalam edukasi dan “rencana aksi asma” (RAA) tertulis

harus disampaikan dengan jelas tentang jenis obat dan dosisnya serta

43
kapan orangtua harus segera membawa anaknya ke fasilitas pelayanan

kesehatan.(27)

Orangtua perlu diberikan edukasi untuk memberikan pertologan

pertama serangan asma di rumah. Tata laksana serangan asma di rumah

ini penting agar pasien dapat segera mendapatkan pertolongan dan

mencegah terjadinya serangan yang lebih berat. Namun demikian, perlu

ditekankan kepada pasien/orang tua, seberapa jauh kewenangan

pasien/orang tua dalam tata laksana serangan asma di rumah ini. Tenaga

medis/dokter juga harus menilai seberapa baik pemahaman dan ketaatan

pasien/orang tua tentang tata laksana serangan asma di rumah untuk

memastikan pasien mendapatkan tata laksana yang adekuat di rumah.

Pada beberapa keadaan, pasien harus segera dibawa ke fasyankes

terdekat, tidak menunggu respons terapi yang diberikan di rumah.(27)

A. Jika diberikan via nebulizer

• Berikan agonis β2 kerja pendek, lihat responsnya. Bila



gejala (sesak napas dan wheezing) menghilang, cukup

diberikan satu kali. 


• Jika gejala belum membaik dalam 30 menit, ulangi



pemberian sekali lagi 


• Jika dengan 2 kali pemberian agonis β2 kerja pendek via



nebulizer belum membaik, segera bawa ke fasyankes.(20) 


B. Jika diberikan via MDI + spacer

 Berikan agonis β2 kerja pendek serial via spacer dengan dosis:


2H4 semprot.
 Berikan satu semprot obat ke dalam spacer diikuti 6H8 tarikan
napas melalui antar muka (interface) spacer berupa masker atau
mouthpiece.
 Bila belum ada respons berikan semprot berikutnya dengan
siklus yang sama. Jika membaik dengan dosis 4 semprot, inhalasi
dihentikan.

44
 Jika gejala tidak membaik dengan dosis 4 semprot, segera bawa
kefasyankes.(20)

Gambar 10. Alur tatalaksana asma pada anak di fasyankes dan rumah sakit.(20)

45
Gambar 11. Alur tatalaksana asma pada anak di fasyankes dan rumah sakit.(20)

46
b. Tatalaksana di ruang emergency


Penderita yang datang dalam keadaan serangan langsung dinilai

derajat serangannya. Tatalaksana awal adalah pemberian beta agonis

secara nebulisasi. Garam fisiologis dapat ditambahkan dalam cairan

nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dengan selang 20 menit.

Pada pemberian ketiga dapat ditambahkan obat antikolinergik.

Tatalaksana awal ini sekaligus berfungsi sebagai penapis yaitu untuk

penentuan derajat serangan, karena penilaian derajat secara klinis tidak

selalu dapat dilakukan dengan cepat dan jelas.(25) 


Gambar 12. Alur penatalaksanaan asma di Klinik/Unit Gawat Darurat.(20)

47
c. Tata laksana di Ruang Rawat Sehari (RRS)

Oksigen yang telah diberikan saat pasien masih di UGD tetap diberikan.

Setelah pasien menjalani dua kali nebulisasi dalam 1 jam dengan

respons parsial di UGD, di RRS diteruskan dengan nebulisasi agonis β2

dan ipratropium bromida setiap 2 jam. Kemudian, berikan steroid

sistemik oral berupa prednison atau prednisolon. Pemberian steroid ini

dilanjutkan hingga 3H5 hari. Jika dalam 12 jam klinis tetap baik, maka

pasien dipulangkan dan dibekali obat seperti pasien serangan ringan

sedang yang dipulangkan dari klinik/UGD.(25)

d. Tata laksana di Ruang Rawat Inap

Berikut tata laksana yang diberikan setelah pasien masuk ke ruang rawat

inap (25):

• Pemberian oksigen diteruskan. 


• Jika ada dehidrasi dan asidosis maka berikan cairan intravena

dan 
koreksi asidosisnya. 



• Steroid intravena diberikan secara bolus, setiap 6H8 jam. Dosis

steroid intravena adalah 0,5-1 mg/kgBB/hari. 


• Nebulisasi agonis β2 kerja pendek kombinasi dengan

ipratropium bromida dengan oksigen dilanjutkan setiap 1H2

jam. Jika dalam 4H6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan

klinis, jarak pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4H6 jam.

48
• Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis: 


Bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, aminofilin

dosis awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB, yang dilarutkan

dalam dekstrosa atau garam fisiologis sebanyak 20 ml, dan

diberikan selama 30 menit, dengan infusion pump atau

mikroburet. Bila, respons belum optimal dilanjutkan dengan

pemberian aminofilin dosis rumatan sebanyak 0,5-1

mg/kgBB/jam. Jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang

dari 8 jam), dosis diberikan separuhnya, baik dosis awal (3-4

mg/kgBB) maupun rumatan (0,25H0,5 mg/kg/jam). 
H Bila

memungkinkan, sebaiknya kadar aminofilin diukur dan

dipertahankan 10H20 mcg/ml. 
H Pantau gejalaHgejala

intoksikasi aminofilin, efek samping yang sering adalah mual,

muntah, takikarsi dan agitasi. Toksisitas yang berat dapat

menyebabkan aritmia, hipotensi, dan kejang.

• Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6

jam hingga mencapai 24 jam, dan steroid serta aminofilin

diganti 
dengan pemberian peroral. 


• Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan


dengan dibekali obat agonis β2 (hirupan atau oral) yang

diberikan setiap 4H6 jam selama 24H48 jam. Selain itu, steroid

oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan

dalam 3H5 hari untuk reevaluasi tata laksana.(25) 



49
e. Kriteria rawat di Ruang Rawat Intensif

Pasien yang sejak awal masuk ke UGD sudah memperlihatkan

tanda-tanda ancaman henti napas langsung dirawat di ruang rawat

intensif (intensive care unit, ICU).(25) 


Kriteria pasien yang memerlukan ICU adalah (25):

• Tidak ada respons sama sekali terhadap tata laksana

awal di UGD 
dan/atau perburukan asma yang cepat.

• Adanya kebingungan, disorientasi, dan tanda lain

ancaman henti 
napas, atau hilangnya kesadaran. 


• Tidak ada perbaikan dengan tata laksana baku di ruang

rawat inap. 


• Ancaman henti napas: hipoksemia tetap terjadi

meskipun sudah 
diberi oksigen (kadar PaO2 <60

mmHg dan/atau PaCO2 >45 mmHg, meskipun tentu

saja gagal napas dapat terjadi pada kadar PaCO2 yang

lebih tinggi atau lebih rendah).(25)

2.10 komplikasi

1) Status asmatikus adalah setiap serangan asma berat atau yang kemudian

menjadi berat dan tidak memberikan respon (refrakter) adrenalin dan atau

50
aminofilin suntikan dapat digolongkan pada status asmatikus. Penderita harus

dirawat dengan terapi yang intensif.(25)

2) Atelektasis adalah pengerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat

penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat

pernafasan yang sangat dangkal.(25)

3) Hipoksemia adalah suatu kondisi dimana tubuh dapat kekurangan oksigen

secara sistemik akibat inadekuatnya intake oksigen ke paru oleh serangan

asma.(25)

4) Pneumotoraks adalah terdapatnya udara pada rongga pleura yang

menyebabkan kolapsnya paru.(25)

5) Emfisema adalah penyakit yang gejala utamanya adalah penyempitan

(obstruksi) saluran nafas karena kantung udara di paru menggelembung secara

berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas.(25)

2.11 Pencegahan

a. Menjauhi alergen, bila perlu desensitisasi.

b. Menghindari kelelahan.

c. Menghindari stress psikis.

d. Mencegah/mengobati ISPA sedini mungkin.(28)

51
Gambar 13. Faktor pencetus asma dan cara pengindaran.(20)

52
53
Gambar 14. Faktor pencetus asma dan cara pengindaran.(20)

Gambar 15. Kartu Rencana Aksi Asma.(20)

54
2.12 Prognosis

Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir

menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang

berjumlah kira-kira 10 juta. Namun, angka kematian cenderung meningkat di

pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas.(20)

Informasi mengenai perjalanan klinis asma mengatakan bahwa prognosis

baik ditemukan pada 50 sampai 80 persen pasien, khususnya pasien yang

penyakitnya ringan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang menderita

asma 7 sampai 10 tahun setelah diagnosis pertama bervariasi dari 26 sampai 78

persen, dengan nilai rata-rata 46 persen; akan tetapi persentase anak yang

menderita penyakit yang berat relative rendah (6 sampai 19 persen). Bahkan bila

tidak diobati, pasien asma tidak terus menerus berubah dari penyakit yang ringan

menjadi penyakit yang berat seiring berjalannya waktu. Beberapa penelitian

mengatakan bahwa remisi spontan terjadi pada kira-kira 20 persen pasien yang

menderita penyakit ini di usia dewasa dan 40 persen atau lebih diharapkan

membaik dengan jumlah dan beratnya serangan yang jauh berkurang sewaktu

pasien menjadi tua.(20)

55
BAB III

KESIMPULAN

Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang

ditandai adanya mengi episodik, batuk dan rasa sesak di dada akibat

penyumbatan saluran nafas, termasuk dalam kelompok penyakit saluran

pernafasan kronik. Secara etiologis, asma adalah penyakit yang heterogen,

dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti genetik (atopik, hipereaktivitas

bronkus, jenis kelamin, dan ras) dan faktor-faktor lingkungan (infeksi virus,

pajanan dari pekerjaan, rokok, alergen, dan lain-lain).

Patogenesis asma yaitu suatu proses inflamasi kronik yang khas,

melibatkan dinding saluran respiratori, peningkatan reaktivitas saluran

respiratori dan menyebabkan terbatasnya aliran udara. Gambaran khas

adanya inflamasi saluran respiratori adalah aktivasi eosinofil, sel mast,

makrofag, dan sel limfosit T pada mukosa dan lumen saluran respiratori.

Perubahan ini dapat terjadi meskipun secara klinis asmanya tidak bergejala.

Pemunculan sel-sel tersebut secara luas berhubungan dengan derajat

beratnya penyakit secara klinis. Sejalan dengan proses inflamasi kronik,

perlukaan epitel bronkus merangsang proses reparasi saluran respiratori.

Proses tersebut menghasilkan perubahan struktural dan fungsional yang

menyimpang pada saluran respiratori, dikenal dengan istilah remodeling.

Penatalaksanaan dan pencegahan asma harus dilaksakan secara teratur

dan benar agar asma tidak menjadi berat dan pengobatan yang paling baik

adalah menghindari faktor pencetusnya.

56
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Asthma. Global strategy for asthma management and

prevention. 2014. 


2. Supriyanto, B. Diagnosis dan penatalaksanaan terkini asma pada anak.

Majalah Kedokteran Indonesia, Volume: 55, Nomor: 3, Maret 2005. FKUI

3. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan RI ;2009; 5-

11.

4. Kartasasmita CB. Epidemiologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno

B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama.

Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.71-83.

5. Bateman ED, Jithoo A. Asthma and allergy a global perspective. Allergy.

2007;62:213-5 


6. Global Initiative for Asthma (GINA). Pocket guide management and

prevention asthma in children. 2011

7. Papadopoulos NG, Arakawa H, Carlsen KH, Custovic A, Gern J, Lemanske R,

dkk. International consensus on (ICON) pediatric asthma. Allergy.

2012;67:976–97 


8. Gunardi, S. Anatomi system pernapasan. Balai Penerbit FKUI. 


9. Sherwood, L. Fisiologi manusia dari sel ke system. EGC. 2006 


10. Phelan PD. Asthma in children: epidemiology. BMJ. 1994;308:1584-5. 


57
11. Eder W, Ege MJ, von Mutius E. The asthma epidemic. N Engl J Med.

2006;355:2226H35. 


12. John M. Weiler, Sergio Bonini, Robert Coifman, Timothy Craig, Luı´s

Delgado, Miguel Capa o-Filipe. Asthma & Immunology Work Group Report :

Exercise-induced asthma. Iowa City, Iowa, Rome and Siena, Italy, Millville,

NJ, Hershey, Pa, Porto, Portugal, and Colorado Springs, Colo : American

Academy of Allergy : 2007

13. O’Byrne P, Bateman ED, Bousquet J, Clark T, Paggario P, Ohta K, dkk.

Global Initiative For Asthma. Medical Communications Resources, Inc ;

2006.

14. Holgate ST, Davies DE, Lackie PM, Wilson SJ, Puddicombe SM, Lordan JL.

Epithelial mesenchymal interactions in the p a t h o g e n e s i s o f a s t h m a .

J A l l e rg y C l i n I m m u n o l . 2000;105:193- 204. 


15. Bousquet J, Jeffery PK, Busse WW, Johnson M, Vignola AM. Asthma: from

bronchoconstriction to airway remodeling. Am J Respir Crit Care Med.

2000;161:1720H 45. 


16. Supriyatno B, Wahyudin B. Patogenesis dan Patofisiologi Asma Anak. dalam:

Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi

Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008.85-96.

17. S Makmuri M. Patofisologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B,

Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta

: Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.98-104.

18. Nataprawira HMD. Diagnosis Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B,

Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama.

Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.105-18.

58
19. Hamasaki Y, Kohno Y, Ebisawa M, Kondo N, Nishima S, Nishimuta T,


dkk. Japanese guideline for childhood asthma 2014. Allergol Int.

2014;63:335H56.

20. UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK

Pulmonologi 2004.


21. FitzFerald M. Global strategy for asthma management and prevention update;

2012. 


22. Barry PW, Fouroux B, Pederson S, O'Callaghan C. Nebulizers in childhood.

Eur Respir Rev. 2000;10:527-35.

23. Zar HJ, Asmus MJ, Weinberg EG. A 500Hml plastic bottle: An effective

spacer for children with asthma. Pediatr Aleergy Immunol. 2002;13:217-22.

24. Zar HJ, Streun S, Levin M, Weinberg EG, and Swingler GH. Randomised

controlled trial of the efficacy of a metered dose inhaler with bottle spacer for

bronchodilator treatment in acute lower airway obstruction. Arch Dis Child.

2007;92:142-6. 


25. Sly M. Asthma. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, penyunting.

Nelson Textbook of Pediatric. Edisi ke-15. Philadelphia: Saunders; 1996. h.

628-40. 


26. Rahajoe N. Deteksi dan Penanganan Jangka Asma Anak. dalam : Manajemen

Kasus Respiratorik Anak Dalam Praktek Sehari-hari. Edisi pertama. Jakarta :

Yapnas Suddharprana; 2007.h. 97-106.

27. Society B. T.. British guideline on the management of asthma : a national

clinical guideline. London: BMJ Publishing; 2011. 


59
28. Barthwal MS.Pitfalls in the management of bronchial asthma. Medicine

Update.2008;18:283-9.

60

Anda mungkin juga menyukai