Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN DIAGNOSA MEDIS PENYAKIT

PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DI RUANGAN RAJAWALI


BAWAH RSU ANUTAPURA PALU

DI SUSUN OLEH :

SITI NAHDALIA
2021032097

CI LAHAN CI INSTITUSI

Ns. Widyarti, S.Kep Dr. Tigor H. Situmorang, MH.,M.Kes

CI INSTITUSI

Ns. Ni Nyoman Elfiyunai,S.Kep.,M.Kes

PROGRAM STUDI NERS PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIDYA NUSANTARA PALU
2022
A. KONSEP TEORITIS
1. DEFINISI
Penyakit paru obstruksi kronik adalah istilah yang sering digunakan
untuk sekelompok paru yang berlangsung lamma dan ditandai oleh
peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebaga gambaran
patofisiologi utamanya. (sylvia, 2013)
Penyakit paru obstruksi kronis adalah suatu penyakit yang
dikarakteristikkan oleh adanya hambatan aliran udara secara kronis dan
perubahan-perubahan patologi pada paru, dimana hambatan aliran udara
saluran nafas bersifat progresif dan tidak sepenunya reversibel dan
berhubungan dengan respon inflamasi yang abnormal dari paru-paru
terhadap gas atau partikel yang berbahaya ( Hariman, 2015)
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan
aliran udara di saluran nafas yang bersifat progresif non reversibel atau
reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emifiesema
atau gabungan dari keduanya (perhimpunan dokter paru indonesia ,
2013 ).
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) merupakan suatu kelainan
dengan ciri-ciri adanya keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversible Pada klien PPOK paru-paru klien tidak dapat mengembang
sepenuhnya dikarenakan adanya sumbatan dikarenakan sekret yang
menumpuk pada paru-paru. (Lyndon Saputra, 2010)
2. ANATOMI FISIOLOGI
1) Anatomi
Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah
hidung, faring, laring, trakhea, bronkus, dan bronkiolus. Hidung; Nares
anterior adalah saluran-saluran didalam rongga hidung. Saluran-
saluran itu bermuara kedalam bagian yang dikenal sebagai vestibulum
(rongga hidung). Rongga hidung dilapisi sebagai selaput lendir yang
sangat kaya akan pembuluh darah, dan bersambung dengan lapisan
faring dan dengan selaput lendir sinus yang mempunyai lubang masuk
kedalam rongga hidung. Faring (tekak) adalah pipa berotot yang
berjalan dari dasar tengkorak sampai persambungannya dengan
esophagus pada ketinggian tulang rawan krikoid. Maka letaknya di
belakang laring (laring-faringeal). Laring (tenggorok) terletak di depan
bagian terendah faring yang memisahkan dari columna vertebrata,
berjalan dari faring sampai ketinggian vertebrata servikalis dan masuk
ke dalam trakhea di bawahnya.
Laring terdiri atas kepingan tulang rawan yang diikat bersama
oleh ligamen dan membran. Trakhea atau batang tenggorok kira-kira 9
cm panjangnya trachea berjalan dari laring sampai kira-kira ketinggian
vertebrata torakalis kelima dan di tempat ini bercabang menjadi dua
bronkus (bronchi). Trakhea tersusun atas 16 – 20 lingkaran tak tetap
yang berupa cincin tulang rawan yang diikat bersama oleh jaringan
fibrosa dan yang melengkapi lingkaran di sebelah belakang trakhea,
selain itu juga membuat beberapa jaringan otot.
Bronchus yang terbentuk dari belahan dua trakea pada ketinggian
kirakira vertebra torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan
trachea dan dilapisi oleh jenis sel yang sama. Bronkus-bronkus itu
berjalan ke bawah dan ke samping ke arah tampuk paru. Bronkus
kanan lebih pendek dan lebih lebar daripada yang kiri, sedikit lebih
tinggi dari arteri pulmonalis dan mengeluarkan sebuah cabang utama
lewat di bawah arteri, disebut bronkus lobus bawah. Bronkus kiri lebih
panjang dan lebih langsing dari yang kanan, dan berjalan di bawah
arteri pulmonalis sebelum dibelah menjadi beberapa cabang yang
berjalan ke lobus atas dan bawah.
Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi
bronkus lobaris dan kemudian menjadi lobus segmentalis. Percabangan
ini berjalan terus menjadi bronchus. Yang ukurannya semakin kecil,
sampai akhirnya menjadi bronchiolus terminalis, yaitu saluran udara
terkecil yang tidak mengandung alveoli (kantong udara). Bronkiolus
terminalis memiliki garis tengah kurang lebih 1 mm. bronkiolus tidak
diperkuat oleh cincin tulang rawan. Tetapi dikelilingi oleh otot polos
sehingga ukurannya dapat berubah. Saluran-saluran udara ke bawah
sampai tingkat bronkiolus terminalis disebut saluran penghantar udara
karena fungsi utamanya adalah sebagai penghantar udara ke tempat
pertukaran gas paru-paru.
Alveolus yaitu tempat pertukaran gas assinus terdiri dari
bronkiolus dan respiratorius yang terkadang memiliki kantong udara
kecil atau alveoli pada dindingnya. Ductus alveolaris seluruhnya
dibatasi oleh alveolis dan sakus alveolaris terminalis merupakan akhir
paru-paru, assinus atau kadang disebut lobulus primer memiliki tangan
kira-kira 0,5-1,0 cm. terdapat sekitar 20 kali percabangan mulai dari
trachea sampai sakus alveolaris. Alveolus dipisahkan oleh dinding
yang dinamakan pori-pori kohn.
Paru-paru terdapat dalam rongga toraks pada bagian kiri dan
kanan. Dilapisi oleh pleura yaitu parietal pleura dan visceral pleura. Di
dalam rongga pleura terdapat cairan surfaktan yang berfungsi untuk
lubrikai. Paru kanan dibagi atas tiga lobus yaitu lobus superior, medius
dan inferior sedangkan paru kiri dibagi dua lobus yaitu lobus superior
dan inferior.
Tiap lobus dibungkus oleh jaringan elastik yang mengandung
pembuluh limfe, arteriola, venula, bronchial venula, ductus alveolar,
sakkus alveolar dan alveoli. Diperkirakan bahwa setiap paru-paru
mengandung 150 juta alveoli,sehingga mempunyai permukaan yang
cukup luas untuk tempat permukaan/pertukaran gas. (Chris Tanto (
2015 ).
2) Fisiologi
Pernafasan paru merupakan pertukaran oksigen dan
karbondioksida yang terjadi pada paru-paru. Pernafasan melalui paru-
paru atau pernafasan ekternal, oksigen diambil melalui mulut dan
hidung pada waktu bernafas, dan oksigen masuk melalui trakea sampai
ke alveoli berhubungan dalam darah dalam kapiler pulmonal. Alveoli
memisahkan oksigen dari darah, oksigen menembus membran, diambil
oleh sel darah merah di bawa ke jantung dan dari jantung dipompakan
ke seluruh tubuh.
Proses pertukaran oksigen dan karbon dioksida terjadi ketika
konsentrasi dalam darah mempengaruhi dan merangsang pusat
pernafasan terdapat dalam otak untuk memperbesar kecepatan dalam
pernafasan sehingga terjadi pengambilan O2 dan pengeluaran CO2
lebih banyak. Darah merah (hemoglobin) yang banyak mengandun
oksigen dari seluruh tubuh masuk kedalam jaringan mengambil karbon
dioksida dibawa ke paru-paru dan di paru-paru terjadi pernafasan
eksterna. Besarnya daya muat udara dalam paru-paru 4500-5000 ml
(4,5-5 liter).
Udara yang diproses dalam paru-paru (inspirasi dan ekspirasi)
hanya 10 %, kurang lebih 500ml, disebut juga udara pasang surut (tidal
air) yaitu yang dihirup dan yang dihembuskan pada pernafasan biasa.
Kecepatan pernafasan pada wanita lebih tinggi dari pada pria.
Pernafasan secara normal, ekspirasi akan menyusul inspirasi dan
kemudian istirahat. Pada bayi ada kalanya terbalik inspirasi-istirahat-
ekspirasi,disebut juga penafasan terbalik. (http://makalahcentre.diakses
tgl 22 januari 2017)
3. ETIOLOGI
Ada tiga faktor yang mempengaruhi timbulnya PPOK yaitu rokok,
infeksi dan polusi.
1. Rokok
Menurut buku report of the WHO expert comitte on smoking
control, rokok adalah penyebab utama timbulnya ppok. Secara
fisiologi rokok berhubungan langsung dengan hiperflasia kelenjar
mukosa bronkus dan metaplasia skuamulus epitel saluran pernafasan.
Rokok juga dapat menyebabkan bronko kontriksi akut. menurut
Crofton & Douglas merokok menimbulkan pula inhibisi aktivitas sel
rambut getar, makrofage alveolar dan surfaktan.
2. Infeksi
Infeksi saluran pernafasan bagian atas pada seseorang penderita
bronchitiskronis hampir selalu menyebabkan infeksi paru bagian
bawah. Serta menyebabkan kerusakan paru bertambah. Ekserbasi
bronchitis cronik diperkirakan paling sering diawali dengan infeksi
virus yang kemudian menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri.
3. Polusi
Polusi zat-zat kimia yang juuga dapat menyebabkan bronchitis
adalah zat pereduksi seperti CO2, zat-zat pengoksidasi seperti N2O,
hydrocarbon, aldehid dan ozon.
Faktor penyebab dan faktor resiko menurut Neil F Gordan (2012)
yaitu :
1. Usia semakin bertambah faktor resiko semakin tinggi
2. Merokok
3. Jenis kelamin pria lebih beresiko diibanding wanita
4. Berkurangnya fungsi paru paru
5. Keterbukaan terhadap polusi seperti asap rokok dan debu
6. Polusi udara
7. Infeksi saluran pernafasan akut seperti pnemonia dan bronkitus
8. Kurangnya alfa anti tripsin ini merupakan kekurangan suatu enzim
yang normalnya melindungi paru-paru dari kerusakan peradangan.

4. PATOFISIOLOGI
Fungsi paru mengalami kemunduran dengan datangnya usia tua yang
disebabkan elastisitas jaringan paru dan dinding dada makin berkurang.
Dalam usia yang lebih lanjut kekuatan kontraksi otot pernafasan juga dapat
berkurang sehingga sulit bernafas.
Faktor – faktr resiko diatas akan mendatangkan proses inflamasi
bronkus dan jugamenimbulkna kerusakan pada dinding bronkiolus
terminalis. Akibat dari kerusakan akan mengakibatkan penutupan atau
obstruksi awal fase ekspirasi. Udara yang msuk ke alveoli pada saat
inspirasi, pada saat ekspirsi banyak terjebak dalam alveolus dan terjadilah
penumpukan udara (air traping). Hal inilah yang mengakibatkan ada nya
keluhan sesek nafas dengan segala akibatnya. Adanya obstruksi pada awal
ekspirasiakan menimbulkan kesulitan ekspirasi dan menimbulkan
pemanjangan fase ekspirasi. fungsi paru sebagai ventilasi, difusi gas,
maupun perfusi darah akan mengalami gangguan.
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-
komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus
bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan
atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel
penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan
menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit
dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai tempat persemaian
mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Timbul
peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses ventilasi terutama
ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang
memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya
peradangan (GOLD, 2013).
5. PATHWAY
6. MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi dari tanpa gejala dan dengan
gejala dari ringan sampai berat, yaitu batuk kronis, berdahak, sesak napas
bila beraktifitas, sesak tidak hilang dengan pelega napas, memburuk pada
malam/dini hari, dan sesak napas episodic (Tana et al., 2016). Untuk dapat
menghindari kekambuhan PPOK, maka pemahaman tentang penyakit dan
cara mencegah kekambuhan PPOK menjadi dasar yang sangat penting bagi
seseorang khususnya penderita PPOK.
Kekambuhan dapat terukur dengan meliputi skala sesak berdasarkan
skala MMRC (Modified Medical Research Counci). Untuk mengeluarkan
dahak dan memperlancar jalan pernapasan pada penderita PPOK dapat
dilakukan dengan cara batuk efektif (Faisal, 2017) Gejala PPOK jarang
muncul pada usia muda umumnya setelah usia 50 tahun ke atas, paling
tinggi pada laki-laki usia 55-74 tahun. Hal ini dikarenakan keluhan muncul
bila terpapar asap rokok yang terus menerus dan berlangsung lama
(Salawati, 2016).
Tanda dan gejala penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah
sebagai berikut Suddarth, (2015):
a. PPOK dicirikan oleh batuk kronis, produksi sputum, dan dyspnea
saat menggerakkan tenaga kerap memburuk seiring waktu.
b. Penurunan berat badan sering terjadi.

7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan radiologi
Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan: Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan
garis-garis yang parallel, keluar dari hilus menuju apeks
paru. Bayangan tersebut adalah bayangan bronkus yang menebal.
2. Corak paru yang bertambah
pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada yaitu:
Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary oligoemia
dan bula. Keadaan ini lebih sering terdapat pada emfisema panlobular
dan pink puffer.
3. Analisis gas darah
Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun,
timbul sianosis, terjadi vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan
eritropoesis. Hipoksia yang kronik merangsang pembentukan
eritropoetin sehingga menimbulkan polisitemia. Pada kondisi umur
55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja
lebih berat dan merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan.
4. Kultur sputum, untuk mengetahui petogen penyebab infeksi.
5. Laboratorium darah lengkap.

8. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:
a. Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan
merokok, menghindari polusi udara.
b. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.
Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi
antimikroba tidak perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat
sesuai dengan kuman penyebab infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas
atau pengobatan empirik.
c. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan
dengan aliran 1 - 2 liter/menit.

9. KOMPLIKASI
a. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55
mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya
klien akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan
pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.
b. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang
muncul antara lain: nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
c. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus,
peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema
mukosa. Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan
timbulnya dyspnea.
d. Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru),
harus diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi
ini sering kali berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan
emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.

B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
1) Identitas
Sebelumnya jenis kelamin PPOK lebih sering terjadi pada laki-laki,
tetapi karena peningkatan penggunaan tembakau di kalangan
perempuan di negara maju dan risiko yang lebih tinggi dari paparan
polusi udara di dalam ruangan (misalnya bahan bakar yang
digunakan untuk memasak dan pemanas) pada negara-negara
miskin, penyakit ini sekarang mempengaruhi laki-laki dan
perempuan hampir sama (Ismail et al., 2017). Kebanyakan penderita
PPOK terjadi pada individu di atas usia 40 tahun (PDPI, 2011). Hal
ini bisa dihubungkan bahwa penurunan fungsi respirasi pada umur
30-40 tahun (Oemiati, 2013).
2) Keluhan utama
Keluhan yang sering dikeluhkan oleh orang dengan penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) adalah Sesak napas yang bertambah berat
bila aktivitas, kadangkadang disertai mengi, batuk kering atau dengan
dahak yang produktif, rasa berat di dada (PDPI, 2011).
3) Riwayat kesehatan sekarang
Menurut Oemiati (2013) Bahwa Perokok aktif dapat mengalami
hipersekresi mucus dan obstruksi jalan napas kronik. Perokok pasif
juga menyumbang terhadap symptom saluran napas dan dengan
peningkatan kerusakan paru-paru akibat menghisap partikel dan gas-
gas berbahaya. Kebiasaan memasak dengan bahan biomass dengan
ventilasi dapur yang jelek misalnya terpajan asap bahan bakar kayu
dan asap bahan bakar minyak diperkirakan memberi kontribusi sampai
35% dapat memicu terjadinya PPOK. Produsi mukus berlebihan
sehingga cukup menimbulkan batuk dengan ekspetorasi selama
beberapa hari ± 3 bulan dalam setahun dan paling sedikit dalam dua
tahun berturut-turut dapat memicu terjadinya PPOK (Somantri, 2012)
4) Riwayat kesehatan masa lalu
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan, riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
(PDPI, 2011). Dan 18 memiliki riwayat penyakit sebelumnya termasuk
asama bronchial, alergi, sinusitis, polip nasal, infeksi saluran nafas saat
masa kanak-kanak dan penyakit respirasi lainya. Riwayat eksaserbasi
atau pernah dirawat di rumah sakit untuk penyakit respirasi (Soeroto &
Suryadinata, 2014).
5) Riwayat Kesehatan Keluarga Riwayat penyakit emfisema pada
keluarga (PDPI, 2011). Riwayat keluarga PPOK atau penyakit
respirasi lainya. (Soeroto & Suryadinata, 2014). Riwayat alergi pada
keluarga (Mutaqqin, 2008).
6) Pola Fungsi Kesehatan Pola fungsi kesehatan yang dapat dikaji pada
pasien dengan PPOK menurut Wahid & Suprapto (2013) adalah
sebagai berikut:
a) Pola Nutrisi dan Metabolik. Gejala: Mual dan muntah, nafsu
makan buruk/anoreksia, ketidakmampuan untuk makan,
penurunan atau peningkatan berat badan. Tanda: Turgor kulit
buruk, edema dependen, berkeringat.
b) Aktivitas/Istirahat. Gejala: Keletihan, kelelahan, malaise,
ketidakmampuan sehari-hari, ketidakmampuan untuk tidur,
dispnea pada saat aktivitas atau istirahat. Tanda: Keletihan,
gelisah, insomnia, kelemahan umum/kehilangan massa otot.
c) Sirkulasi. Gejala: pembengkakan pada ekstremitas bawah.
Tanda: Peningkatan tekanan darah, peningkatan frekuensi
jantung/takikardi berat, distensi vena leher, edema dependent,
bunyi jantung redup, warna kulit/membran mukosa
normal/cyanosis, pucat, dapat menunjukkan anemia.
d) Integritas Ego. Gejala: peningkatan faktor resiko, dan
perubahan pola hidup. Tanda: Ansietas, ketakutan, peka
rangsangan. e) Hygiene. Gejala: Penurunan kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan hygiene. Tanda: Kebersihan buruk, bau
badan
e) Pernapasan. Gejala: Batuk menetap dengan atau tanpa produksi
sputum selama minimum 3 bulan berturut-turut tiap tahun
sedikitnya 2 tahun, episode batuk hilang timbul. Tanda:
pernapasan bisa cepat, penggunaan otot bantu pernapasan,
bentuk dada barel chest atau normo chest, gerakan diafragma
minimal, bunyi nafas ronchi, perkusi hypersonan pada area
paru, warna pucat dengan sianosis bibir dan kuku, abu-abu
keseluruhan.

1. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi yang
tertahan
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya
napas
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan
membran alveoler kapiler
d. Nyeri akut berhubungan dengan agens pencedera fisiologis
(pleoritis)
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen

2. Intervensi Keperawatan
No. DIAGNOSIS INTERVENSI
KEPERAWATAN SLKI SIKI
1. Bersihan jalan Setelah dilakukan intervensi Latihan batuk efektif
nafas tidak efektif keperawatan selama ...x24 (I.01011)
berhubungan jam didapatkan Bersihan 1. Identifikasi kemampuan
dengan sekresi jalan nafas (L.01001) batuk
yang tertahan dengan kriteria hasil : 2. Monitor adanya retensi
1. Batuk efektif sputum
2. Produksi sputum 3. Atur posisi semi
berkurang fowler/fowler
3. Mengi tidak ada 4. Pasang perlak dan bengkok
4. Dispnea tidak ada dipangkuan pasien
5. Frekuensi nafas normal 5. Buang sekret pada tempat
6. Pola nafas normal sputum
6. Jelaskan tujuan batuk
efektif
7. Anjurkan tarik nafas dalam
melalui hidung selama 4
detik, ditahan selama 2
detik, keluarkan dari mulut
dan bibir mencucu
No. DIAGNOSIS INTERVENSI
KEPERAWATAN SLKI SIKI
(dibulatkan) selama 8 detik
8. Anjurkan tarik nafas dalam
sebanyak 3 kali
9. Anjurkan batuk dengan
kuat setelah nafas dalam ke
3
10. Kolaborasi dalam
pemberian ekspektoran

2. Pola nafas tidak Setelah dilakukan tindakan Managemen jalan napas


efektif ....x24 jam Pola Napas (I.01011)
berhubungan membaik dengan kriteria 1. Monitor pola napas
dengan hambatan hasil: 2. Monitor bunyi napas
upaya napas 1. Ventilasi semenit 3. Monitor sputum (jumlah,
meningkat warna, aroma)
2. Kapasitas vital 4. Pertahankan kepatenan
meningkat jalan napas dengan head-
3. Tekanan ekspirasi tilt dan chin-lift
meningkat 5. Posisikan semifowler an
4. Tekanan inspirasi fowler
meningkat 6. Berikan minum hangat
5. Dispnea menurun 7. Berikan fisioterapi dada
6. Penggunaan otot bantu bila perlu
napas menurun 8. Lakukan pengisapan lendir
7. Kedalaman napas kurang dari 15 detik
membaik 9. Berikan oksigen, jika perlu
10. Anjurkan asupan cairan
2000 mil/hari jika tidak
kontra indikasi
No. DIAGNOSIS INTERVENSI
KEPERAWATAN SLKI SIKI
11. Ajarkan teknik batuk
efektif
12. Ajarkan diet yang
diprogramkan
13. Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspetoran,
mukolitik, jika perlu.

3. Gangguan Setelah dilakukan intervensi Pemantauan respirasi


pertukaran gas selama ...x24 jam , maka (I.01014)
berhubungan pertukaran gas meningkat, 1. Monitor frekuensi, irama,
dengan perubahan dengan kriteria hasil : kedalaman dan upaya
membran alveoler 1. Dispnea menurun napas
kapiler 2. Bunyi napas tambahan 2. Monitor pola napas
menurun 3. Monitor kemampuan batuk
3. Gelisah menurun efektif
4. Pola napas membaik 4. Monitor adanya produksi
sputum
5. Monitor adanya sumbatan
jalan napas
6. Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru
7. Auskultasi bunyi napas
8. Monitor saturasi oksigen
9. Monitor nilai AGD
10. Monitor hasil x-ray torax
11. Atur interval pemantauan
respirasi sesuai kondisi
No. DIAGNOSIS INTERVENSI
KEPERAWATAN SLKI SIKI
pasien
12. Dokumentasian hasil
pemantauan
13. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
14. Informasikan hasil
pemantauan, jika perlu.

4. Nyeri akut Setelah dilakukan intervensi Manajemen Nyeri (1.08238) :


berhubungan keperawatan selama ...x24 1. Identifikasi lokasi,
dengan agens jam didapatkan Tingkat karakteristik, durasi,
pencedera Nyeri (L.08066) adekuat frekuensi, kualitas dan
fisiologis dengan kriteria hasil : intensitas nyeri
(pleoritis) 1. Keluhan nyeri (4) 2. Identifikasi respon non
2. Gelisah (4) verbal
 4 = cukup menurun 3. Berikan teknik non
3. Frekuensi nadi (4) farmakologi untuk
4. Pola nafas (4) mengurangi rasa nyeri
5. Tekanan darah (4) (teknik relaksasi nafas
 4 = cukup membaik dalam, membaca istighfar)
4. Fasilitasi istirahat dan tidur
5. Jelaskan penyebab, periode
dan pemicu nyeri
6. Kolaborasi pemberian
analgesik

5. Intoleransi Setelah diberikan intervensi Manajemen Energi (1.05178)


aktivitas selama …x24 jam maka 1. Kaji faktor yang membuat
berhubungan Toleransi Aktifitas klien lemah
No. DIAGNOSIS INTERVENSI
KEPERAWATAN SLKI SIKI
dengan meningkat, dengan kriteria 2. Monitor TTV
ketidakseimbangan hasil: 3. Memilih aktivitas yang
antara suplai dan 1. Klien dapat beraktivitas membuat klien dapat
kebutuhan oksigen rutin secara mandiri melakukannya
2. Daya tahan tubuh klien 4. Monitor lokasi dan sumber
membaik/ stabil ketidak nyamanan/ nyeri
3. Pemulihan energi yang di alami klien saat
setelah istirahat beraktivitas
5. Monitor asupan makanan
klien
6. Tentukan jenis dan
banyaknya aktivitas yang
dibutuhkan untuk menjaga
ketahanan
7. Berikan kegiatan
pengalihan untuk
meningkatkan rileksasi :
Nafas dalam
6. D.0055 Pola Tidur (L.05045) Dukungan Tidur (1.05174)
Gangguan pola Setelah dilakukan intervensi Observasi
tidur berhubungan keperawatan 1 x 24 jam 1. Identifikasi pola aktivitas
dengan proses diharapkan gangguan tidur dan tidur
penyakit membaik. Dengan kriteria 2. Identifikasi faktor
hasil : pengganggu tidur
1. Keluhan sulit tidur 3. Identifikasi makan atau
menurun minuman yang
2. Keluhan sering terjaga mengganggu tidur
menurun 4. Identifikasi obat tidur yang
No. DIAGNOSIS INTERVENSI
KEPERAWATAN SLKI SIKI
3. Keluhan tidak puas tidur dikonsumsi
menurun Terapeutik
4. Keluhan pola tidur 5. Modifikasi lingkungan
berubah menurun 6. Fasilitasi menghilangkan
Keluhan istirahat tidak tidur syres sebelum tidur
cukup menurun 7. Tetapkan jadwal tidur rutin
Edukasi
8. Jelaskan pentingnya tidur
cukup selama sakit
9. Anjurkan menepati
kebiasaan tidur
10. Ajarkan relaksasi otot
autogenic atau cara
nonfarnakologi lainnya
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddart. 2012. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 volume
2. Jakarta, EGC.
Carpenito Moyet, Lynda Juall. 2013. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta:
EGC
Black, Joyce M & Hawks, Jane Hokanson. (2015). Keperawatan Medikal Bedah
Edisi 8. Singapore: Elsevier.
Corwin E.J., 2013. Buku Saku Patofisiologi. Penerbit Buku Kedokteran
EGC,Jakarta.
Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2015. Jakarta; Kemeterian
Kesehatan Republik Indonesia. 2014.
PDPI (2011). Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan tuberkulosis diIndonesia.
Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan
pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan pengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
PPNI. (2019). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Smeltzer, Suzanne C. (2015). Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth.
Jakarta: EGC.
Wijaya, A. S., & Putri, Y. M. (2015). Keperawatan Medikal Bedah 2
(Keperawatan Dewasa). Yogyakarta: Nuha Medika.
World Health Organization (WHO). Global Tuberculosis Report
2015.Switzerland. 2015.

Anda mungkin juga menyukai