Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN

PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK)

OLEH :

RADIMAN
NIM: 2030282050

PEMBIMBUNG KLINIK PEMBIMBING AKADEMIK

( ) ( Ns.Muhammad Arif, M.Kep )

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA


2021
BAB I

LAPORAN PENDAHULUAN

PPOK (PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK)

A. KONSEP DASAR
1. DEFINISI
PPOK adalah penyakit paru kronik dengan karakteristik adanya hambatan aliran
udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta
adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2009).
Penyakit paru obstruksi kronik adalah klasifikasi luas dari gangguan yang mencakup
bronkitis kronik, bronkiektasis, emfisema dan asma, yang merupakan kondisi ireversibel
yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara
paru-paru (Bruner & Suddarth, 2002).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD) merupakan suatu istilah yang sering
digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh
peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya.
Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD adalah :
Bronchitis kronis, emfisema paru-paru dan asthma bronchiale (S Meltzer, 2001 ).
2. Anatomi Dan Fisiologi Paru – Paru.
Merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung-gelembung
(gelembung hawa = alveoli). Gelembung-gelembung alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan
endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya lebih kurang 90 m2 pada lapisan inilah
terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan C02 dikeluarkan dari darah.
Banyaknya gelembung paru-paru ini kurang lebih 700.000.000 buah (paru-paru kiri dan
kanan).
Pembagian paru-paru; paru-paru dibagi 2 (dua) :
a. Paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belah paru), Lobus Pulmo dekstra superior,
Lobus media, dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun oleh lobulus.
b. Paru-paru kiri, terdiri dari; Pulmo sinester lobus supe¬rior dan lobus inferior.
Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan-belahan yang lebih kecil bernama segment.
Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu; 5 (lima) buah segment pada lobus
superior, dan 5 (lima) buah segment pada inferior. Paru-paru kanan mempunyai 10 segmen
yaitu;5 (lima) buah segmen pada lobus superior; 2 (dua) buah segmen pada lobus medialis,
dan 3 (tiga) buah segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi
menjadi belahan-belahan yang bernama lobulus.

Diantara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikal yang berisi
pembuluh-pembuluh darah getah bening dan saraf-saraf, dalam tiap-tiap lobulus terdapat
sebuah bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak sekali,
cabang-cabang ini disebut duktus alveolus. Tiap-tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus
yang diameternya antara 0,2 - 0,3 mm.

Pada rongga dada datarannya menghadap ke tengah rongga dada/kavum


mediastinum. Pada ba-gian tengah iiu tcrdapal lampuk paiu-paru alau hilus Pada
mediastinum depan terletak jantung. Paru-paru dibungkus oleh selaput yang bernama pleura.
Pleura dibagi menjadi 2 (dua):

a. Pleura viseral (selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung
membungkus paru-paru.
b. Pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luarAntara kedua pleura
ini terdapat rongga (kavum) yang disebut kavum pleura. Pada keadaan normal, kavum
pleura ini vakum/hampa udara sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan juga
terdapat sedikit cairan (eskudat) yang berguna untuk meminyaki permukaannya
(pleura), menghindarkan gesekan antara paru-paru dan dinding dada dimana sewaktu
bernapas bergerak.

Sirkulasi pulmonar berasal dari ventrikel kanan yang tebal dinding 1/3 dan tebal
ventrikel kiri, Perbedaan ini menyebabkan kekuatan kontraksi dan tekanan yang ditimbulkan
jauh lebih kecil dibandingkan dengan tekanan yang ditimbulkan oleh kontraksi ventrikel
kiri. Selain aliran melalui arteri pulmonal ada darah yang langsung mengalir ke paru-paru
dad aorta melalui arteri bronkialis. Darah ini adalah darah "kaya oksigen" (oxyge-nated)
dibandingkan dengan darah pulmonal yang relatif kekurangan oksigen.
Darah ini kembali melalui vena pulmonalis ke atrium kiri. Arteri pulmonalis
membawa darah yang sedikit mengandung 02 dari ventrikel kanan ke paru-paru. Cabang-
cabangnya menyentuh saluran-saluran bronkial sampai ke alveoli halus. Alveoli itu
membelah dan membentuk jaringan kapiler, dan jaringan kapiler itu menyentuh dinding
alveoli (gelembung udara). Jadi darah dan udara hanya dipisahkan oleh dinding kapiler.
Dari epitel alveoli, akhirnya kapiler menjadi satu sampai menjadi vena pulmonalis
dan sejajar dengan cabang tenggorok yang keluar melalui tampuk paru-paru ke serambi
jantung kiri (darah mengandung 02), sisa dari vena pulmonalis ditentukan dari setiap paru-
paru oleh vena bronkialis dan ada yang mencapai vena kava inferior, maka dengan demikian
paru-paru mempunyai persediaan darah ganda.
Kapasitas paru-paru. Merupakan kesanggupan paru-paru dalam menampung udara
didalamnya. Kapasitas paru-paru dapat dibedakan sebagai berikut :
a. Kapasitas total. Yaitu jumlah udara yang dapat mengisi paru-paru pada inspirasi
sedalam-dalamnya. Dalam hal ini angka yang kita dapat tergantung pada beberapa hal:
Kondisi paru-paru, umur, sikap dan bentuk seseorang,
b. Kapasitas vital. Yaitu jumlah udara yang dapat dikeluarkan setelah ekspirasi maksima.l
Dalam keadaan yang normal kedua paru-paru dapat menampung udara sebanyak ± 5
liter
c. Waktu ekspirasi. Di dalam paru-paru masih tertinggal 3 liter udara. Pada waktu kita
bernapas biasa udara yang masuk ke dalam paru-paru 2.600 cm3 (2 1/2 liter)
d. Jumlah pernapasan. Dalam keadaan yang normal: Orang dewasa: 16 - 18 x/menit,
Anak-anak kira-kira : 24 x/menit, Bayi kira-kira : 30 x/menit, Dalam keadaan tertentu
keadaan tersebut akan berubah, misalnya akibat dari suatu penyakit, pernafasan bisa
bertambah cepat dan sebaliknya.

Beberapa hal yang berhubungan dengan pernapasan; bentuk menghembuskan napas


dengan tiba-tiba yang kekuatannya luar biasa, akibat dari salah satu rangsangan baik yang
berasal dari luar bahan-bahan kimia yang merangsang selaput lendir di jalan pernapasan.
Bersin. Pengeluaran napas dengan tiba-tiba dari terangsangnya selaput lendir hidung, dalam
hal ini udara keluar dari hidung dan mulut.

3. Klasifikasi PPOK
a. Bronkitis Kronis
1) Pengertian
Bronkitis kronis didefinisikan sebagai adanya batuk produktif yang berlangsung 3
bulan dalam satu tahun selama 2 tahun berturut-turut. (Bruner & Suddarth, 2002)

2) Patofisiologi
Asap mengiritasi jalan nafas mengakibatkan hipersekresi lendir dan inflamasi.
Karena iritasi yang konstan ini, kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan sel-sel
goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun dan lebih banyak lendir yang
dihasilkan. Sebagai akibat bronkiolus dapat menjadi menyempit dan tersumbat.
Alveoli yang berdekatan dengan bronkiolus dapat menjadi rusak dan membentuk
fibrosis, mengakibatkan perubahan fungsi makrofag alveolar yang berperan penting
dalam menghancurkan partikel asing termasuk bakteri. Pasien kemudian menjadi
lebih rentan terhadap infeksi pernapasan. Penyempitan bronkial lebih lanjut terjadi
sebagai akibat perubahan fibrotik yang terjadi dalam jalan napas. Pada waktunya
mungkin terjadi perubahan paru yang ireversibel, kemungkinan mengakibatkan
emfisema dan bronkiektasis.
3) Tanda dan Gejala
Batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin.
4) Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan analisa gas darah : hipoksia dengan hiperkapnia
b) Rontgen dada : pembesaran jantung dengan diafragma normal/mendatar
c) Pemeriksaan fungsi paru : Penurunan kapasitas vital (VC) dan volume
ekspirasi kuat (FEV), peningkatan volume residual (RV), kapasitas paru total
(TLC) normal atau sedikit meningkat.
d) Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit : dapat sedikit meningkat

b. Bronkiektasis
1) Pengertian
Bronkiektasis adalah dilatasi bronki dan bronkiolus kronis yang mungkin
disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus;
aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran pernapasan atas; dan
tekanan akibat tumor, pembuluh darah yang berdilatasi, dan pembesaran nodus
limfe. (Bruner & Suddarth)
2) Patofisiologi
Infeksi merusak dinding bronkial, menyebabkan kehilangan struktur
pendukungnya dan menghasilkan sputum yang kental yang akhirnya dapat
menyumbat bronki. Dinding bronkial menjadi teregang secara permanen akibat batuk
hebat. Infeksi meluas ke jaringan peribronkial sehingga dalam kasus bronkiektasis
sakular, setiap tuba yang berdilatasi sebenarnya adalah abses paru, yang eksudatnya
mengalir bebas melalui bronkus. Bronkiektasis biasanya setempat, menyerang lobus
atau segmen paru. Lobus yang paling bawah lebih sering terkena.
Retensi sekresi dan obstruksi yang diakibatkannya pada akhirnya
menyebabkan alveoli di sebelah distal obstruksi mengalami kolaps (ateletaksis).
Jaringan parut atau fibrosis akibat reaksi inflamasi menggantikan jaringan paru yang
berfungsi. Pada waktunya pasien mengalami insufisiensi pernapasan dengan
penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi dan peningkatan rasio volume residual
terhadap kapasitas paru total. Terjadi kerusakan campuran gas yang diinspirasi
(ketidakseimbangan ventilasi-perfusi) dan hipoksemia.
3) Tanda dan Gejala
a) Batuk kronik dan pembentukan sputum purulen dalam jumlah yang sangat
banyak
b) Jari tabuh, karena insufisiensi pernapasan
c) Riwayat batuk berkepanjangan dengan sputum yang secara konsisten negatif
terhadap tuberkel basil
4) Pemeriksaan Penunjang
a) Bronkografi
b) Bronkoskopi
c) CT-Scan : ada/tidaknya dilatasi bronkial
e. Emfisema
1) Pengertian
Emfisema didefinisikan sebagai suatu distensi abnormal ruang udara diluar
bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. (Bruner & Suddarth, 2002)
2) Patofisiologi
Pada emfisema beberapa faktor penyebab obstruksi jalan napas yaitu :
inflamasi dan pembengkakan bronki; produksi lendir yang berlebihan; kehilangan
rekoil elastik jalan napas; dan kolaps bronkiolus serta redistribusi udara ke alveoli
yang berfungsi.
Karena dinding alveoli mengalami kerusakan, area permukaan alveolar yang
kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu berkurang, menyebabkan
peningkatan ruang rugi (area paru dimana tidak ada pertukaran gas yang dapat
terjadi) dan mengakibatkan kerusakan difusi oksigen. Kerusakan difusi oksigen
mengakibatkan hipoksemia. Pada tahap akhir penyakit, eliminasi karbondioksida
mengalami kerusakan, mengakibatkan peningkatan tekanan karbondioksida dalam
darah arteri (hiperkapnia) dan menyebabkan asidosis respiratorius.
Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan, jaring-jaring kapiler
pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel kanan
dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam arteri pulmonal.
Dengan demikian, gagal jantung sebelah kanan (kor pulmonal) adalah salah satu
komplikasai emfisema. Terdapatnya kongesti, edema tungkai, distensi vena leher
atau nyeri pada region hepar menandakan terjadinya gagal jantung.
Sekresi meningkat dan tertahan menyebabkan individu tidak mampu untuk
membangkitkan batuk yang kuat untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan
kronis dengan damikian menetap dalam paru yang mengalami emfisema
memperberat masalah.
Individu dengan emfisema mengalami obstruksi kronik ke aliran masuk dan
aliran keluar udara dari paru. Paru-paru dalam keadaan heperekspansi kronik.
Untuk mengalirkan udara kedalam dan keluar paru-paru, dibutuhkan tekanan
negatif selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat yang adekuat harus
dicapai dan dipertahankan selama ekspirasi. Posisi selebihnya adalah salah satu
inflasi. Daripada menjalani aksi pasif involunter, ekspirasi menjadi aktif dan
membutuhkan upaya otot-otot. Sesak napas pasien terus meningkat, dada menjadi
kaku, dan iga-iga terfiksaksi pada persendiannya. Dada seperti tong (barrel chest)
pada banyak pasien ini terjadi akibat kehilangan elastisitas paru karena adanya
kecenderungan yang berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang.
3) Tanda dan Gejala
a) Dispnea
b) Takipnea
c) Inspeksi : barrel chest, penggunaan otot bantu pernapasan
d) Perkusi : hiperresonan, penurunan fremitus pada seluruh bidang paru
e) Auskultasi bunyi napas : krekles, ronchi, perpanjangan ekspirasi
f) Hipoksemia
g) Hiperkapnia
h) Anoreksia
i) Penurunan BB
j) Kelemahan
4) Pemeriksaan Penunjang
a) Rontgen dada : hiperinflasi, pendataran diafragma, pelebaran interkosta dan
jantung normal
b) Fungsi pulmonari (terutama spirometri) : peningkatan TLC dan RV,
penurunan VC dan FEV
f. ASMA
1) Pengertian
Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten, reversibel dimana
trakea dan bronki berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. (Bruner &
Suddarth, 2002)
2) Patofisiologi
Individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk terhadap
lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel
mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan
antigen dengan antibodi, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut
mediator) seperti histamin, bradikinin dan prostaglandin serta anafilaksis dari
substansi yang bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan
paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas, bronkospasme,
pembengkakan membran mukosa dan pembentukan mukus yang sangat banyak.
Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh
impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau non
alergi ketika ujung saraf pada jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti infeksi,
latihan, dingin, merokok, emosi dan polutan, jumlah asetilkolin yang dilepaskan
meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung menyebabkan
bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi yang dibahas
diatas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respon
parasimpatis.
Selain itu, reseptor - dan -adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak
dalam bronki. Ketika reseptor  adrenergik dirangsang , terjadi bronkokonstriksi;
bronkodilatasi terjadi ketika reseptor -adrenergik yang dirangsang.
Keseimbangan antara reseptor - dan -adrenergik dikendalikan terutama oleh
siklik adenosin monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor –alfa mengakibatkan
penurunan c-AMP, yang mengarah pada peningkatan mediator kimiawi yang
dilepaskan oleh sel-sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi respon beta-
mengakibatkan peningkatan tingkat cAMP, yang menghambat pelepasan mediator
kimiawi dan menyebabkan bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa
penyekatan -adrenergik terjadi pada individu dengan asma. Akibatnya, asmatik
rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan konstriksi otot
polos.
3) Tanda dan Gejala
a) Batuk
b) Dispnea
c) Mengi
d) Hipoksia
e) Takikardi
f) Berkeringat
g) Pelebaran tekanan nadi
4) Pemeriksaan Penunjang
a) Rontgen dada : hiperinflasi dan pendataran diafragma
b) Pemeriksaan sputum dan darah : eosinofilia (kenaikan kadar eosinofil).
Peningkatan kadar serum Ig E pada asma alergik
c) AGD : hipoksi selama serangan akut
d) Fungsi pulmonari :
• Biasanya normal
• Serangan akut : Peningkatan TLC dan FRV; FEV dan FVC agak menurun
4. Etiologi

Etiologi penyakit ini belum diketahui. Penyakit ini dikaitkan dengan faktor-faktor
risiko yang terdapat pada penderita antara lain:

a. Merokok sigaret yang berlangsung lama


b. Polusi udara
c. Infeksi peru berulang
d. Umur
e. Jenis kelamin
f. Ras
g. Defisiensi alfa-1 antitripsin
h. Defisiensi anti oksidan
Pengaruh dari masing-masing faktor risiko terhadap terjadinya PPOK adalah saling
memperkuat dan faktor merokok dianggap yang paling dominan
5. Patofisiologi
Fungsi paru mengalami kemunduran dengan datangnya usia tua yang disebabkan
elastisitas jaringan paru dan dinding dada makin berkurang. Dalam usia yang lebih lanjut,
kekuatan kontraksi otot pernapasan dapat berkurang sehingga sulit bernapas.
Fungsi paru-paru menentukan konsumsi oksigen seseorang, yakni jumlah oksigen
yang diikat oleh darah dalam paru-paru untuk digunakan tubuh. Konsumsi oksigen sangat
erat hubungannya dengan arus darah ke paru-paru. Berkurangnya fungsi paru-paru juga
disebabkan oleh berkurangnya fungsi sistem respirasi seperti fungsi ventilasi paru.
Faktor-faktor risiko tersebut diatas akan mendatangkan proses inflamasi bronkus
dan juga menimbulkan kerusakan pada dinding bronkiolus terminalis. Akibat dari kerusakan
akan terjadi obstruksi bronkus kecil (bronkiolus terminalis), yang mengalami penutupan atau
obstruksi awal fase ekspirasi. Udara yang mudah masuk ke alveoli pada saat inspirasi, pada
saat ekspirasi banyak terjebak dalam alveolus dan terjadilah penumpukan udara (air
trapping).
Hal inilah yang menyebabkan adanya keluhan sesak napas dengan segala
akibatnya. Adanya obstruksi pada awal ekspirasi akan menimbulkan kesulitan ekspirasi dan
menimbulkan pemanjangan fase ekspirasi. Fungsi-fungsi paru: ventilasi, distribusi gas,
difusi gas, maupun perfusi darah akan mengalami gangguan (Brannon, et al, 1993).
6. Tanda Dan Gejala
Tanda dan gejala akan mengarah pada dua tipe pokok:
a. Mempunyai gambaran klinik dominant kearah bronchitis kronis (blue bloater).
b. Mempunyai gambaran klinik kearah emfisema (pink puffers).

Tanda dan gejalanya adalah sebagai berikut:

a. Kelemahan badan
b. Batuk
c. Sesak napas
d. Sesak napas saat aktivitas dan napas berbunyi
e. Mengi atau wheeze
f. Ekspirasi yang memanjang
g. Bentuk dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut
h. Penggunaan otot bantu pernapasan
i. Suara napas melemah
j. Kadang ditemukan pernapasan paradoksal
k. Edema kaki, asites dan jari tabuh

7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan radiologist
Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1) Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang parallel, keluar
dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut adalah bayangan bronkus yang
menebal.
2) Corak paru yang bertambah

Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada yaitu:

1) Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary oligoemia dan bula.


Keadaan ini lebih sering terdapat pada emfisema panlobular dan pink puffer.
2) Corakan paru yang bertambah.
3) Pemeriksaan faal paru

Pada bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang


bertambah dan KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat penurunan VEP1, KV, dan
KAEM (kecepatan arum ekspirasi maksimal) atau MEFR (maximal expiratory flow rate),
kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP bertambah atau normal. Keadaan diatas lebih jelas
pada stadium lanjut, sedang pada stadium dini perubahan hanya pada saluran napas kecil
(small airways). Pada emfisema kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk
difusi berkurang.

b. Analisis gas darah


Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul sianosis, terjadi
vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan eritropoesis. Hipoksia yang kronik
merangsang pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan polisitemia. Pada
kondisi umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja lebih
berat dan merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan.
c. Pemeriksaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat kor
pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P pulmonal pada hantaran II, III, dan
aVF. Voltase QRS rendah Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S kurang dari 1.
Sering terdapat RBBB inkomplet.
d. Kultur sputum, untuk mengetahui petogen penyebab infeksi.
e. Laboratorium darah lengkap
8. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:
a. Memeperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala tidak hanya pada fase akut,
tetapi juga fase kronik.
b. Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas harian.
c. Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat dideteksi lebih
awal.

Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:

a. Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan merokok,


menghindari polusi udara.
b. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.
c. Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi antimikroba tidak
perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat sesuai dengan kuman penyebab
infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas atau pengobatan empirik.
d. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan kortikosteroid
untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih kontroversial.
e. Pengobatan simtomatik.
f. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.
g. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan dengan aliran
lambat 1 - 2 liter/menit.
Tindakan rehabilitasi yang meliputi:
a. Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret bronkus.
b. Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan pernapasan yang
paling efektif.
c. Latihan dengan beban oalh raga tertentu, dengan tujuan untuk memulihkan kesegaran
jasmani.
d. Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita dapat kembali
mengerjakan pekerjaan semula.
Pathogenesis Penatalaksanaan (Medis)

a. Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi, dan polusi udara


b. Terapi eksaserbasi akut di lakukan dengan :
1) Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi
Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia, maka
digunakan ampisilin 4 x 0.25-0.56/hari atau eritromisin 4×0.56/hari Augmentin
(amoksilin dan asam klavulanat) dapat diberikan jika kuman penyebab infeksinya
adalah H. Influenza dan B. Cacarhalis yang memproduksi B. Laktamase Pemberiam
antibiotik seperti kotrimaksasol, amoksisilin, atau doksisiklin pada pasien yang
mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dan membantu
mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode
eksaserbasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka
dianjurkan antibiotik yang kuat.
2) Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernapasan karena hiperkapnia
dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2
3) Fisioterapi membantu pasien untuk mengelurakan sputum dengan baik.
4) Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk di dalamnya
golongan adrenergik b dan anti kolinergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol
5 mg dan atau ipratopium bromida 250 mg diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer
atau aminofilin 0,25 - 0,56 IV secara perlahan.

c. Terapi jangka panjang di lakukan :


1) Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin 4×0,25-0,5/hari
dapat menurunkan kejadian eksaserbasi akut.
2) Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran napas tiap pasien
maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal
paru.
3) Fisioterapi
4) Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik
5) Mukolitik dan ekspektoran
6) Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal napas tipe II
dengan PaO2 (7,3 Pa (55 MMHg)

Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan


terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi.

9. Komplikasi
a. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg,
dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan
mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul cyanosis.
b. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul
antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, tachipnea.
c. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus, peningkatan
rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan
meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.
d. Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus
diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali
berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat
mengalami masalah ini.

e. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis
respiratory.
f. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial. Penyakit
ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak berespon
terhadap therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi
vena leher seringkali terlihat.
WOC
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
A. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan proses yang
sistematis dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan pasien menurut Lyer et al (1996, dalam Setiadi, 2012).
Pengkajian adalah pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data dan menganalisanya
(Manurung, 2011). Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang
bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang pasien, agar dapat
mengidentifikasi, mengenali masalah-masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan
pasien, baik fisik, mental, sosial dan lingkungan menurut Effendy (1995, dalam Dermawan,
2012).
Pengkajian dilakukan dengan melakukan anamnesis pada pasien. Data-data yang
dikumpulkan atau dikaji meliputi :
1. Identitas Pasien
Pada tahap ini perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah,
agama, suku bangsa, status perkawinan, pendidikan terakhir, nomor registrasi, pekerjaan
pasien, dan nama penanggungjawab.
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong pasien mencari pertolongan
atau berobat ke rumah sakit. Biasanya pada pasien dengan Penyakit Paru Obstriksi
Kronik(PPOK)  didapatkan keluhan berupa sesak nafas
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dengan PPOK biasanya akan diawali dengan adanya tanda-tanda seperti batuk,
sesak nafas, nyeri pleuritik, rasa berat pada dada, berat badan menurun dan
sebagainya. Perlu juga ditanyakan mulai kapan keluhan itu muncul. Apa tindakan
yang telah dilakukan untuk menurunkan atau menghilangkan keluhan-keluhannya
tersebut.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan apakah sebelumnya pasien pernah masuk RS dengan keluhan yang
sama
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit-penyakit
yang sama
e. Riwayat Psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya serta
bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang dilakukan terhadap dirinya

3. Kebutuhan Bio-Psiko-Sosial-Spiritual
a. Bernafas
Kaji pernafasan pasien. Keluhan yang dialami pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi
Kronik ialah batuk produktif/non produktif, dan sesak nafas
b. Makan dan Minum
Perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan selama MRS pasien
dengan PPOK akan mengalami penurunan nafsu makan akibat dari sesak nafas dan
penekanan pada struktur abdomen. Peningkatan metabolisme akan terjadi akibat
proses penyakit
c. Eliminasi
Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai kebiasaan defekasi
sebelum dan sesudah MRS. Karena keadaan umum pasien yang lemah, pasien akan
lebih banyak bed rest sehingga akan menimbulkan konstipasi, selain akibat
pencernaan pada struktur abdomen menyebabkan penurunan peristaltik otot-otot
tractus degestivus.
d. Gerak dan Aktivitas
Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang terpenuhi dan Pasien akan
cepat mengalami kelelahan pada aktivitas minimal.
e. Istirahat dan tidur
Akibat sesak yang dialami dan peningkatan suhu tubuh akan berpengaruh terhadap
pemenuhan kebutuhan tidur dan istitahat, selain itu akibat perubahan kondisi
lingkungan dari lingkungan rumah yang tenang ke lingkungan rumah sakit, dimana
banyak orang yang mondar-mandir, berisik dan lain sebagainya.
f. Kebersihan Diri
Kaji bagaimana toiletingnya apakah mampu dilakukan sendiri atau harus dibantu oleh
orang lain.
g. Pengaturan suhu tubuh
Cek suhu tubuh pasien, normal(36°-37°C), pireksia/demam(38°-40°C),
hiperpireksia=40°C< ataupun hipertermi <35,5°C.

h. Rasa Nyaman
Observasi adanya keluhan yang mengganggu kenyamanan pasien. Nyeri dada
meningkat karena batuk berulang (skala 5)
i. Rasa Aman
Kaji pasien apakah merasa cemas atau gelisah dengan sakit yang dialaminya
j. Sosialisasi dan Komunikasi
Observasi apakan pasien dapat berkomunikasi dengan perawat dan keluarga atau
temannya.
k. Bekerja
Tanyakan pada pasien, apakan sakit yang dialaminya menyebabkan terganggunya
pekerjaan yang dijalaninya.
l. Ibadah
Ketahui agama apa yang dianut pasien, kaji berapa kali pasien sembahyang, dll.
m. Rekreasi
Observasi apakah sebelumnya pasien sering rekreasi dan sengaja meluangkan
waktunya untuk rekreasi. Tujuannya untuk mengetahui teknik yang tepat saat depresi.
n. Pengetahuan atau belajar
Seberapa besar keingintahuan pasien untuk mengatasi sesak yang dirasakan. Disinilah
peran kita untuk memberikan HE yang tepat dan membantu pasien untuk
mengalihkan sesaknya dengan metode pemberian nafas dalam

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinis tentang respon individu, keluarga
komunitas, terhadap masalah kesehatan yang actual dan potensial, atau proses kehidupan
(Potter, 2005).
Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai respons klien
terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialaminya baik yang
berlangsung aktual maupun potensial.Diagnosis keperawatan bertujuan untuk
mengidentifikasi respons klien individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi yang
berkaitan dengan kesehatan. (SDKI, 2017).
1. Bersihan jalan napas tidak efektif
Defenisi
ketidak mampuan membersihkan secret atau obstruksi jalan napas untuk
mempertahankan jalan napas tetap paten.
Penyebab:
Fisiologis
a. Spasme jalan napas
b. Hipersekresi jalan napas
c. Disfungsi neuromuskuler
d. Benda asing dalam jalan napas
e. Adanya jalan napas buatan
f. Sekresi yang tertahan
g. Hyperplasia dinding jalan napas
h. Proses infeksi
i. Respon alergi
j. Efek agen farmakologis (mis. Anastesi)

Situasional :
a. Merokok aktif
b. Merokok pasif
c. Terpajan polutar

Gejala dan tanda mayor

Objektif :

a. Batuk tidak efektif atau tidak mampu batuk


b. Sputum berlebih / obstruksi di jalan napas/mekonium di jalan napas (pada neonates)
c. Mengi, wheezing dan ronki kering

Gejala dan tanda minor

Subjektif :

a. Dyspepsia
b. Sulit bicara
c. Ortopnea

Objektif :

a. Gelisah
b. Sianosis
c. Bunyi napas menurun
d. Frekuensi napas berubah
e. Pola napas berubah

Kondisi klinis terkait :

a. Gullian barre syndrome


b. Sklerosis multiple
c. Myasthenia gravis
d. Prosedur diagnostic (mis. Bronkoskopi, transesophageal echocardiography)
e. Depresi system saraf pusat
f. Cedera kepala
g. Stroke
h. Kuadriplegia
i. Sindrom aspirasi mekonium
j. Infeksi saluran napas
k. Asma
2. Pola napas tidak efektif
Definisi :
Inspirasi dan ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi adekuat.
Penyebab :
a. Depresi pusat pernapasan
b. Hambatan upaya napas (mis. Nyeri saat bernapas, kelemahan otot pernapasan)
c. Deformitas dinding dada
d. Deformitas tulang dada
e. Gangguan neuromuscular
f. Gangguan neurologis (mis. Elektroensefalogram[EEG] positif, cedera kepala,
gangguan kejang)
g. Imaturitas neurologis
h. Penurunan energy
i. Obesitas
j. Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru
k. Sindrom hipoventilasi
l. Kerusakan inervasi diagfragma (kerusakan saraf C5 keatas)
m. Cedera pada medula spinalis
n. Efek agen farmakologis
o. Kecemasan

Gejala dan tanda mayor

Subjektif :

a. Dispnea

Objektif :
a. Penggunaan otot bantu pernapasan
b. Fase ekspirasi memanjang
c. Pola napas abnormal (MIS. Takipnea, bradipnea, hipeventilasi, kussmaul, cheyne-
stroke)

Gejala dan tanda minor

Subjektif :

a. Ortopnea

Objektif :

a. Pernapasan pursed-lip
b. Pernapasan cuping hidung
c. Diameter thorak anterior-posterior meningkat
d. Ventilasi semenit menurun
e. Kapasitas vital menurun
f. Tekanan ekspirasi menurun
g. Ekskursi dada berubah

Kondisi klinis terkait :

a. Depresi system saraf pusat


b. Cedera kepala
c. Trauma thoraks
d. Gullian barre syndrome
e. Seklerosis multiple
f. Myasthenia gravis
g. Kuadriplegia
h. Intoksikasi alcohol
3. Intoleransi aktivitas
Definisi :
Ketidak cukupan energy untuk melakukan aktivitas sehari-sehari
Penyebab :
a. Ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
b. Tirah baring
c. Kelemahan
d. Imobilitas
e. Gaya hidup monoton

Gejala dan tanda mayor :

Subjektif :

a. Mengeluh lelah

Objektif :

a. Frekuensi jantung meningkat lebih dari 20% dari kondisi istirahat

Gejala dan tanda minor

Subjektif :

a. Dispnea saat/setelah aktivitas


b. Merasa tidak nyaman setelah beraktivitas
c. Merasa lemah

Objektif :

a. Tekanan darah berubah lebih dari 20% dari kondisi istirahat


b. Gambaran EKG menunjukan aritmia saat/setelah aktivitas
c. Gambaran EKG menunjukan iskemia sianosis

Kondisi klinis terkait :

a. Anemia
b. Gagal jantung koroner
c. Gagal jantung kongestif
d. Penyakit katup jantung
e. Aritmia
f. Penyakit paru obstruksi kronis
g. Gangguan metabolic
h. Gangguan muskuloskletal
4. Resiko defisit nutrisi
Definisi :
Beresiko mengalami asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolism
Factor resiko :
a. Ketidak mampuan menelan makanan
b. Ketidak mampuan mencerna makanan
c. Ketidak mampuan mengabsorbsi nutrient
d. Peningkatan kebutuhan metabolisme
e. Factor ekonomi (mis. Financial tidak mencukupi)
f. Factor psikologis (mis. Stress, keengganan untuk makan)

Kondisi klinis terkait :

a. Stroke
b. Parkinson
c. Mobius syndrome
d. Cerebral palsy
e. Clef lip
f. Clef palate
g. Amyotropic lateral sclerosis
h. Kerusakan neuromuskuler
i. Luka bakar
j. Kanker
k. Infeksi
l. AIDS
m. Penyakit kronis
n. Enterokolitis
o. Fibrosis kistik
5. Gangguan pola tidur
Definisi :
Gangguan kualitas dan kuantitas waktu tidur akibat factor eksternal.
Penyebab :
a. Hambatan lingkungan (mis. Kelembapan lingkungan sekitar, suhu lingkungan,
pencahayaan, kebisingan, bau tidak sedap, jadwal pemantauan/pemeriksaan/tindakan)
b. Kurangnya control tidur
c. Kurangnya privasi
d. Restraint fisik
e. Ketiadaan teman tidur
f. Tidak familiar dengan peralatan tidur

Gejala dan tanda mayor

Subjektif :

a. Mengeluh sulit tidur


b. Mengeluh sering terjaga
c. Mengeluh tidak puas tidur
d. Mengeluh pola tidur berubah
e. Mengeluh istirahat tidak cukup

Gejala dan tanda minor

Subjektif :

a. Mengeluh kemampuan beraktivitas menurun

Kondisi klinis terkait :

a. Nyeri/kolik
b. Hipertiroidisme
c. Kecemasan
d. Penyakit paru obstruksi kronis
e. Kehamilan
f. Periode pasca partum
g. Kondisi pasca operasi
C. INTERVENSI
1. Bersihan jalan napas tidak efektif
Intervensi utama :
a. Latihan batuk efektif
b. Manajemen jalan napas
Intervensi pendukung :
a. Dukungan kepatuhan program pengobatan
b. Edukasi fisioterapi dada
c. Edukasi pengukuran respirasi
d. Fisioterapi dada
e. Konsultasi via telpon
f. Manajemen asma
g. Manajemen alergi
h. Manajemen anafilaksis
i. Manajemen isolasi
j. Manajemen ventilasi mekanik
k. Manajemen jalan napas buatan
l. Pemberian obat inhalasi
2. Pola napas tidak efektif
Intervensi utama :
a. Manajemen jalan napas

Intervensi pendukung :

a. Dukungan emosional
b. Dukungan kepatuhan program pengobatan
c. Dukungan ventilasi
d. Edukasi pengukuran respirasi
e. Konsultasi via telpon
f. Manajemen energy
g. Manajemen jalan napas buatan
h. Manajemen medikasi
3. Intoleransi aktivitas
Intervensi utama :
a. Manajemen energy

Intervensi pendukung :

a. Dukungan ambulasi
b. Dukungan kepatuhan program pengobatan
c. Dukungan meditasi
d. Dukungan perawatan diri
e. Dukungan spiritual
f. Dukungan tidur

D. IMPLEMENTASI
Implementasi keperawatan adalah pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat
dan pasien (Riyadi, 2010).Implementasi keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan
dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Setiadi, 2012).
E. EVALUASI
Evaluasi keperawatan adalah mengkaji respon pasien setelah dilakukan intervensi
keperawatan dan mengkaji ulang asuhan keperawatan yang telah diberikan (Deswani,
2009).
Evaluasi keperawatan adalah kegiatan yang terus menerus dilakukan untuk
menentukan apakah rencana keperawatan efektif dan bagaimana rencana keperawatan
dilanjutkan, merevisi rencana atau menghentikan rencana keperawatan (Manurung,
2011).

Anda mungkin juga menyukai