Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PENDAHULUAN

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

OLEH KELOMPOK III


DESAK GEDE MIRAH PUSPITA DEWI (152)
DENI ALAMSYAH (153)
NI LUH MADE ARYAWATI (154)
NI KETUT INTAN SARTIKA DEWI (155)
KODRI (156)
PANDE KOMANG RISKA KAYOBI (157)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR TAHUN
AKADEMIK
2023/2024
1. KONSEP DASAR PENYAKIT

A. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD) merupakan suatu istilah yang sering
digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai
oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisologi
utamanya. Ketiga penyakit yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD
adalah Bronchitis kronis , emfisema paru-paru dan asthma bronchiale (S Meltzer,
2001:595). Tetapi dalam suatu Negara, yang termasuk di dalam COPD adalah
emfisema paru-parudan Bronchitis Kronis. Nama lain dari COPD adalah
“Chronic Obstructive Aiway Disease”.
Chronic Obstructive Aiway Disease (COPD) mengacu pada kelompok penyakit
paru-paru yang menyumbat jalan nafas dan meningkatkan kesulitan untuk bernafas.
Emphysema dan Chronic Bronchitis adalah dua kondisi umum yang membuat
COPD, tapi COPD dapat juga mengacu pada kerusakan yang disebabkan oleh chronic
Asthmatic Bronchitis. Pada semua kasus, kerusakan pada saluran pernafasan pada
akhirnya mempengaruhi pertukaran oksigen dan karbondioksida pada paru-paru.
COPD menyebabkan kasus kematian dan sakit pada sebagian belahan dunia.
Kebanyakan COPD dikarenakan merokok dalam waktu yang lama dan dapat dicegah
dengan tidak merokok atau berhentimerokok secepat mungkin. Kerusakan pada
paruparu tidak dapat diperbaiki, jadi perawatan berfokus pada mengontrol gejala dan
meminimalisir kerusakan yang terjadi.

B. Etiologi
Etiologi penyakit ini belum diketahui. Penyakit ini dikaitkan dengan faktor-faktor
risiko yang terdapat pada penderita antara lain:
1. Merokok sigaret yang berlangsung lama
2. Polusi udara
3. Infeksi peru berulang
4. Umur
5. Jenis kelamin
6. Ras
7. Defisiensi alfa-1 antitripsin
8. Defisiensi anti oksidan

Pengaruh pada masing-masing faktor risiko terhadap terjadinya COPD adalah


saling memperkuat dan faktor merokok dianggap yang paling dominan.

C. Klasifikasi
Penyakit yang termasuk dalam kelompok penyakit paru obstruksi kronik adalah
sebagai berikut :
1. Bronkitis Kronik
Bronkitis merupakan definisi klinis batuk-batuk hamper setiap hari disertai
pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3 bulan dalam satu tahun dan terjadi
paling sedikit selama 2 tahun berturut-turut. a. Etiologi :
Terdapat 3 jenis brokitis akut, yaitu :
- Infeksi : stafilokokus, streptokokus, pneumokokus, haemophilus influenza
- Alergi
- Rangsang : missal asap pabrik, asap mobil, asap rokok, dan lainlain.

Bronkitis kronis dapat merupakan komplikasi kelainan patologik yang mengenai


beberapa alat tubuh, yaitu :

- Penyakit jantung menahun, baik pada katup maupun myocardium. Kongesti


menahun pada dinding bronchus melemahkan daya tahannya sehingga infeksi
bakteri mudah terjadi
- Infeksi sinus paranasalis dan rongga mulut, merupakan sumber bakteri yang
dapat menyerang dinding bronchus
- Dilatasi bronchus (bronchietasi) menyebabkan gangguan susunan dan fungsi
dinding bronchus sehingga infeksi bakteri mudah terjadi
- Rokok, yang dapat menimbulkan kelumpuhan bulu getar selaput
lenderbronchus sehingga drainase lendir terganggu. Kumpulan lendir tersebut
merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
b. Patofisiologi
Bronchitis akut dapat timbul dalam serangan tunggal atau dapat timbul
kembali sebagai eksaserbasi akut dari bronkitis kronis. Pada infeksi saluran
nafas bagian atas, biasanya virus, seringkali merupakan awal dari serangan
bronkitis akut. Dkter akan mendiagnosis akut bronkitis kronis jika klien
mengalami batuk atau produksi sputum selama beberapa hari + 3 bulan dalam
1 tahun dan paling sedikit dalam 2 tahun berturut-turut. Bronkitis timbul sebagai
akibat dari adanya paparan terhadap agent infeksi maupun non-infeksi
(terutama rokok tembakau). Iritan akan menyebabkan timbulnya respon
inflamasi yang akan menyebabkan vasodilatasi, kongesti, edema mukosa dan
bronchospasme.

Klien dengan bronkitis kronis akan mengalami :

a. Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar mucus pada bronchi besar,


yang mana akan meningkatkan produksi mukus
b. Mukus lebih kental
c. Kerusakan fungsi ciliary sehingga menurunkan
mekanisme
pembersihan mukus. Oleh karena itu, “mucocilliary defence” dari paru
mengalami kerusakan dan meningkatkan kecenderungan untuk
terserang infeksi. Ketika infeksi timbul, kelenjar mukus akan menjadi
hipertropi dan hyperplasia sehingga produksi mukus akan meningkat.
Dinding bronchial meradang dan menebal (seringkali sampai dua kali
ketebalan normal) dan mengganggu aliran udara. Mukus kental ini
bersama-sama dengan produksi mukus yang banyak akan menghambat
beberapa aliran udara kecil dan mempersempit saluran udara besar.
Bronkitis kronis mula-mula mempengaruhi hanya pada bronchus besar,
tetapi biasanya seluruh nafas akan terkena. Mukus yang kental dan
pembesaran bronchus akan mengobstruksi jalan nafas, terutama selama
ekspirasi. Jalan nafas mengalami kollaps, dan udara terperangkap pada
bagian distal dari paru-paru. Obstruksi ini menyebabkan penurunan
ventilasi alveolar, hypoxia dan asidosis. Klien mengalami kekurangan
oksigen jaringan: ratio ventilasi dapat juga meningkatkan nilai PaCO2.
Klien terlihat cyanosis. Sebagai kompensasi dari hypoxemia, maka
terjadi polisitemia (overproduksi eritrosit). Pada saat penyakit
memberat, diproduksi sejumlah sputum yang hitam, biasanya karena
infeksi pulmonary. Selama infeksi klien mengalami reduksi pada FEV
dengan peningkatan pada RV dan FRC. Jika masalah tersebut tidak
ditanggulangu, hypoxemia akan timbul yang akhirnya menuju penyakit
cor pulmonal dan CHF.

2. Emfisema Paru
Emfisema paru merupakan suatu definisi anatomik, yaitu suatu perubahan
anatomic paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran udara
bagian distal bronkus terminalis, yang disertai kerusakan dinding alveolus. Sesuai
dengan definisi tersebut, maka jika ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang
udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan maka keadaan ini
sebenarnya tidak termasuk emfisema, melainkan hanya sebagai “overinflation”. a.
Patofisiologi
Emfisema merupakan kelainan dimana terjadinya kerusakan pada dinding
alveolar, yang mana akan menyebabkan overdistensi permanen ruang udara.
Perjalanan udara terganggu akibat dari perubahan ini. Kesulitan selama ekspirasi
pada emfisema merupakan akibat dari adanya destruksi dinding (septum)
diantaranya alveoli, kollaps jalan nafas sebagian dan kehilangan elastisitas kecil.
Pada saat alveoli dan septa kollaps, udara akan tertahan di antara ruang alveolar
(disebut blebs) dan diantara parenkim paru (disebut bullae). Proses ini akan
menyebabkn peningkatan ventilator pada “dead space” atau area yang tidak
mengalami pertukaran gas atau darah. Kerja nafas meningkat dikarenakan
terjadinya kekuranga fungsi jaringan paru untuk melakukan pertukaran oksigen dan
karbondioksida. Emfisema juga menyebabkan destruksi kapiler paru, lebih lanjut
terjadi penurunan perfusi oksigen dan penurunan ventilasi. Pada beberapa tingkat
emfisema dianggap normal sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada awal
kehidupan (usia muda), biasanya berhubungan dengan bronchitis kronis dan
merokok.

b. Patogenesis
Terdapat 4 perubahan patologik yang dapat timbul pada klien emfisema, yaitu
:
- Hilangnya elastisitas paru. Protease (enzim paru) merubah atau
merusakkan alveoli dan saluran nafas kecil dengan jalan merusakkan
serabut elastin. Akibat hal tersebut, kantung alveolar kehilangan
elatisitasnya dan jalan nafas kecil menjadi kollaps atau menyempit.
Beberapa alveoli rusak dan yang lainnya mungkin dapat menjadi
membesar.
- Hyperinflation Paru Pembesaran Alveoli mencegah paru-paru untuk
kembali kepada posisi istirahat normal selama ekspirasi
- Terbentuknya Bullae Dinding alveolar membengkak dan berhubungan
untuk membentuk suatu bullae (ruangan tempat udara) yang dapat dilihat
pada pemeriksaan x ray
- Kollaps jalan nafas kecil dan udara terperangkap. Ketika klien berusaha
untuk ekshalasi secara kuat, tekanan positif intratorak akan menyebabkan
kollapsnya jalan nafas.

c. Tipe Emfisema terdapat tiga


tipe dari emfisema :
- Emfisema Centriolobular merupakan tipe yang sering muncul,
menghasilkan kerusakan bronchioles, biasanya pada region paru atas.
Inflamasi berkembang pada bronchiolus tetapi biasanya kantung alveolar
tetap bersisa
- Emfisema Panlobular (Panacinar) merusak ruang udara pada seluruh
asinus dan biasanya termasuk pada paru bagian bawah. Bentuk ini bersama
disebut centriacinar emfisema, timbul sangat sering pada seorang perokok.
- Emfisema Paraseptal merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang
mengakibatkan isolasi dari blebs sepanjang perifer paru. Paraseptal
emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumothorax spontan. Panacinar
timbul pada orang tua dan klien dengan defisiensi enzim alpha-antitripsin.
Pada keadaan lanjut, terjadi peningkatan dyspnea dan infeksi pulmoner,
sering kali timbul Cor Pulmonal (CHF bagian kanan) timbul.
3. Asma
Asma merupakan suatu penyakit yang dicirikan oleh hipersensitivitas
cabang-cabang trakeobronkial terhadap berbagai jenis rangsangan. Keadaan ini
bermanifestasi debagai penyempitan saluran-saluran nafas secara periodic dan
reversible akibat bronkospasme.
Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah dilatasi bronkus dan bronkiolus kronik yang mungkin
disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus,
aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran pernafasan atas, dan
tekanan terhadap tumor, pembuluh darah yang berdilatasi dan pembesaran nodus
limfe
D. Pathway PPOK

E. Tanda Dan Gejala


Tanda dan gejala akan mengarah pada dua tipe pokok :
a. Mempunyai gambaran klinik dominan ke arah bronchitis kritis (blue bloater)
b. Mempunyai gambaran klinik ke arah emfisema (pink puffers).

Tanda dan gejalanya adalah sebagai berikut:


a. Kelemahan badan.
b. Batuk.
c. Sesak nafas.
d. Sesak nafas saat aktivitas dan nafas berbunyi.
e. Mengi atau wheeze.
f. Ekspirasi yang memanjang.
g. Bentuk dada tong (Barrel Chest) pada penyakit lanjut.
h. Penggunaan otot bantu pernafasan.
i. Suara nafas melemah.
j. Kadang ditemukan pernafasan paradoksal.
k. Edema kaki, asites, dan jari tabuh.

F. Pemeriksaan fisik :
a. manifestasi klinik PPOM :
- peningkatan dyspnea
- penggunaan otot-otot aksesori pernapasan (retraksi otot-otot abdominal,
mengangkat bahu saat inspirasi, napas cuping hidung)
- penurunan bunyi napas
- takipnea
- gejala yang menetap pada penyakit dasar
-
b. asthma
- batuk (mungkin produktif atau non produktif), dan perasaan dada seperti
terikat
- mengi saat inspirasi maupun ekspirasi yang dapat terdengar tanpa
stetoskop
- pernapasan cuping hidung
- ketakutan dan diaphoresis
c. Bronkhitis
- Batuk produktif dengan sputum berwarna putih keabu-
abuan, yang biasanya terjadi pada pagi hari
- Inspirasi ronkhi kasar dan whezzing - Sesak napas
d. Bronkhitis (tahap lanjut)
- Penampilan sianosis
- Pembengkakaan umum atau “blue bloaters” (disebabkan oleh edema
asistemik yang terjadi sebagai akibat dari kor pulmunal)
e. Emfisema
- Penampilan fisik kurus dengan dada “barrel chest” (diameter thoraks
anterio posterior meningkat sebagai akibat hiperinflasi paru-paru)
- Fase ekspirasi memanjang
f. Emfisema (tahap lanjut)
- Hipoksemia dan hiperkapnia
- Penampilan sebagai “pink puffers”
- Jari-jari tubuh
-
G. Pemeriksaan diagnostis :
1. Chest X-Ray :
Dapat menunjukan hyperinflation paru, flattened diafragma, peningkatan
ruang udara retrosternal, penurunan tanda vascular/bulla (emfisema),
peningkatan bentuk bronchovaskular (bronchitis), normal ditemukan saat
periode remisi (asthma)
2. Pemeriksaan Fungsi Paru :
Dilakukan untuk menentukan penyebab dari dyspnea, menentukan
abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi,
memperkirakan tingkat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek dari terapi,
missal Bronchodilator.
3. TLC
Meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada asthma, menurun pada
emfisema.
4. Kapasitas inspirasi :
Menurun pada emfisema.
5. FEV1/FVC :
Ratio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas vital (FVC)
menurun pada bronchitis dan asthma.
6. ABGs :
Menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali PaO2 menurun dan PaCO2
normal atau meningkat (bronchitis kronis dan emfisema) tetapi seringkali
menurun pada asthma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan
sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asthma).
7. Bronchogram :
Dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi saat inspirasi, kollaps bronchial pada
tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar usus (bronchitis).
8. Darah komplit :
Peningkatan hemoglobin (emfisema berat), peningkatan eosinophil (asthma).
9. Kimia darah :
Alpha 1-antitrypsin dilakukan untuk kemungkinan kurang pada emfisema
primer.
10. Sputum Kultur :
Untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi pathogen, pemeriksaan
sitology untuk menentukan penyakit keganasan atau allergi.
11. ECG :
Deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma berat), atrial disritmia
(bronchitis), gel. P pada leads II, III, AVF panjang, tinggi (bronchitis,
emfisema), axis QRS vertical (emfisema).
12. Exercise ECG, Stress Test :
Menolong mengkaji tingkat disfungsi pernafasan, mengevaluasi keefektifan
obat bronchodilator, merencanakan/evaluasi program.
13. Palpasi :
Palpasi pengurangan pengembangan dada?
Adakah fremitus taktil menurun?
14. Perkusi :
Adakah hiperesonansi pada perkusi?
Diafragma bergerak hanya sedikit?
15. Auskultasi :
Adakah suara wheezing yang nyaring?
Adakah suara ronkhi?
Vocal fremitus normal atau menurun?
H. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan radiologis
Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
a. Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang paralel,
keluar dari hilus menuju apeks baru. Bayangan tersebut adalah bayangan
bronkus yang menebal.
b. Corak paru yang bertambah.

Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada, yaitu:


a. Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary oligoemia dan bula.
Keadaan ini lebih sering terdapat pada emfisema panlobular dan pink puffer.
b. Corakan baru yang bertambah.
2. Pemeriksaan faal paru
Pada bronchitis kronik terdapat VE1 dan KV yang menurun, VR yang bertambah
dan KTP yang normal. Pada emfisema paru terdapat penurunan VEP1, KV, dan
KAEM (kecepatan arum ekspirasi maksimal) atau MEFR (maximal expiratory
flow rate), kenaikan KRF dan VR, sedangkan KTP bertambah atau normal.
Keadaan di atas lebih jelas pada stadium lanjut, sedangkan pada stadium dini
perubahan hanya pada saluran nafas kecil (small airways). Pada emfisema
kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang.
3. Analisa gas darah
Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul sianosis, terjadi
vasokontriksi vaskuler paru dan penambahan eritropoesis. Hipoksia yang kronik
merangsang pembentukan eritropoetin sehingga meninmbulkan polisitemia. Pada
kondisi umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan harus bekerja
lebih berat dan merupakan salah satu penyebab payah jantung kanan.

4. Pemeriksaan EKG
Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat kor
pulmunol terdapat deviasi aksis kekanan dan P pulmonal pada hantaran II, III, dan
avF. Voltase QRS rendah Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S kurang
dari 1. Sering terdapat RBBB inkomplet.
5. Kultur sputum, untuk mengetahui patogen penyebab infeksi.
6. Laboratorium darah lengkap

I. Penatalaksanaan Medis
Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:
1. Memperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala tidak hanya pada fase
akut, tetapi juga fase kronik.
2. Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas harian.
3. Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat dideteksi
lebih awal.

Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:

1. Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan


merokok, menghindari polusi udara.
2. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.
3. Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi
antimikroba tidak perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat sesuai
dengan kuman penyebab infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas atau
pengobatan empirik.
4. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan
kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih
controversial.
5. Pengobatan simtomatik
6. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.
7. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan dengan
aliran lambat 1-2 liter/menit.

Tindakan rehabilitasi yang meliputi:

1. Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret bronkus.


2. Latihan pernafasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan pernafasan
yang paling efektif.
3. Latihan dengan beban olahraga tertentu, dengan tujuan untuk memulihkan
kesegaran jasmani.
4. Vocational guidance , yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita dapat
kembali mengerjakan pekerjaan semula.
5. Pathogenesis Penatalaksanaan (Medis).

Pencegahan: Mencegah kebiasaan merokok, infeksi dan polusi udara Terapi


eksaserbasi akut dilakukan dengan:

1. Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi .


Infeksi ini umumnya disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia, maka
digunakan ampisili 4x0.25-0.56/hari atau eritromisin 4x0.56/hari Augmentin
(amoksilin dan asam klavulanat) dapat diberikan jika kuman penyebab
infeksinya adalah H. Influenza dab B. Cacarhalis yang memproduksi B.
Laktamase pemberian antibiotik seperti kontrimaksasol, amoksilin, atau
doksisiklin pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut tebukti
mempercepat penyembuhan dan membantu mempercepat kenaikan peak
flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksaserbasi. Bila
terdapat infeksi sekunder atau tanda- tanda pneumonia, maka dianjurkan
antibiotik yang kuat.
2. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
3. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik
4. Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan nafas, termasuk di dalamnya
golongan adrenergik b dan anti kolinergik. Pada pasien dapat diberikan
salbutamol 5 mg dan ipratopium bromida 250 mg diberikan tiap 6 jam
dengan nebulizer atau aminofilin 0,25-0,56 IV secara perlahan.

Terapi jangka panjang dilakukan:

1. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin


4x0,250,5/hari dapat menurunkan kejadian eksaserbasi akut.
2. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap
pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif
dari fungsi faal paru.
3. Fisioterapi.
4. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
5. Mukolitik dan ekspektoran.
6. Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe
II dengan PaO2 (7,3 Pa (55 MMHg).
7. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri
dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi.

Rehabilitas untuk pasien PPOK adalah:

1. Fisioterapi.
2. Rehabilitasi psikis.
3. Rehabilitasi pekerjaan (Mansjoer 2001 : 481-482).

J. Komplikasi COPD
1. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55
mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan
mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap
lanjut timbul cyanosis.
2. Asidosis Respiratory
Penyakit ini timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia).
Tanda yang muncul antara lain Nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines,
tachipnea.
3. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus,
peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya
aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.
4. Gagal Jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus
diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering
kali berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat
juga dapat mengalami masalah ini.
5. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis
respiratory.
6. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial.
Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak
berespon terhadap terapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu
pernafasan dan distensi vena leher seringkali terlihat.

2. Konsep Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari sebuah proses keperawatan. Pada

tahap pengkajian terjadi proses pengumpulan data. Berbagai data yang dibutuhkan

baik wawancara, observasi, atau hasil laboratorium dikumpulkan oleh petugas

keperawatan. Pengkajian memiliki peran yang penting, khususnya ketika ingin

menentukan diagnosa keperawatan, perencanaan tindakan keperawatan,

implementasi keperawatan, serta evaluasi keperawatan (Prabowo, 2017).

Pengkajian terdiri dari dua yaitu pengkajian skrining dan pengkajian

mendalam. Pengkajian skrining dilakukan ketika menentukan apakah keadaan

tersebut normal atau abnormal, jika ada beberapa data yang ditafsirkan abnormal

makan akan dilakukan pengkajian mendalam untuk menentukan diagnosa yang

tepat (Nanda, 2018). Terdapat 14 jenis subkategori data yang dikaji yaitu respirasi,

sirkulasi, nutrisi dan cairan, eleminasi, aktivitas dan istirahat, neurosensory,

reproduksi dan seksualitas, nyeri dan kenyamanan, integritas ego, pertumbuhan

dan perkembangan, kebersihan diri, penyuluhan dan pembelajaran, interaksi

sosial, serta keamanan dan proteksi (PPNI, 2017).

Dalam pengkajian pada pasien PPOK dilakukan dengan menggunakan

pengkajian medalam mengenai bersihan jalan napas tidak efektif, dengan kategori
fisiologis dan subkategori respirasi. Pengkajian dilakukan sesuai dengan tanda

gejala mayor dan minor bersihan jalan napas tidak efektif dimana data mayornya

yaitu subjektif tidak tersedia dan data objektifnya batuk tidak efektif, sputum

berlebih, tidak mampu batuk, mengi, wheezing dan/atau ronkhi kering, sedangkan

tanda gejala minor, data subjektif dyspnea, sulit bicara, ortopnea. Data objektif yaitu

gelisah, sianosis, bunyi napas menurun, frekuensi napas berubah, pola napas

berubah (PPNI, 2017). Selain itu, hal-hal yang perlu dilakukan pada pengkajian

keperawatan pada pasien PPOK dengan bersihan jalan napas tidak efektif

(Muttaqin, 2014) yaitu :

a. Biodata pasien

Berisikan nama, jenis kelamin, usia, pekerjaan, dan pendidikan.

b. Keluhan utama

Penting untuk mengenal tanda dan gejala untuk mengetahuai dan mengkaji

kondisi pasien. Keluhan utama yang muncul seperti batuk, produksi sputum

berlebih, sesak napas, merasa lelah. Keluhan utama harus diterangkan sejelas

mungkin.

c. Riwayat kesehatan saat ini

Setiap keluahan utama yang ditanyakan kepada pasien akan diterangkan pada

riwayat penyakit saat ini seperti sejak kapan keluhan dirasakan, berapa lama dan

berapa kali keluhan terjadi, bagaimana sifat keluhan yang dirasakan, apa yang

sedang dilakukan saat keluhan timbul, adakah usaha mengatasi keluhan sebelum

meminta pertolongan, berhasil atau tidak usaha tersebut, dan sebagainya.

d. Riwayat kesehatan keluarga


Pengkajian riwayat penyakit keluarga sangat penting untuk mendukung

keluhan dari pasien, perlu dikaji riwayat keluarga yang memberikan predisposisi

keluhan seperti adanya riwayat batuk lama, riwayat sesak napas dari generasi

terdahulu. Adanya riwayat keluarga yang menderita kencing manis dan tekanan

darah tinggi akan memperburuk keluhan pasien.

e. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang difokuskan pada pasien PPOK dengan bersihan jalan nafas

tidak efektif (Muttaqin, 2014) yaitu :

1) Inspeksi

Inspeksi yang berkaitan dengan sistem pernapasan adalah melakukan

pengamatan atau observasi pada bagian dada, bentuk dada simetris atau tidak,

pergerakan dinding dada, pola napas, irama napas, apakah terdapat proses ekhalasi

yang panjang, apakah terdapat otot bantu pernapasan, gerak paradoks, retraksi

antara iga dan retraksi di atas klavikula. Dalam melakukan pengkajian fisik secara

inspeksi, pemeriksaan dilakukan dengan cara melihat keadaan umum dan adanya

tanda-tanda abnormal seperti adanya sianosis, pucat, kelelahan, sesak napas, batuk,

serta pada pasien PPOK dapat dilihat bentuk dada barrel chest.

2) Palpasi

Palpasi dilakukan untuk mengetahui gerakan dinding terak saat proses inspirasi dan

ekspirasi. Cara palpasi dapat dilakukan dari belakang dengan meletakkan kedua tangan

di kedua sisi tulang belakang. Kelainan yang mungkin didapat saat pemeriksaan palpasi

antara lain nyeri tekan, adanya benjolan, getar suara atau fremitus vokal. Cara mendeteksi

fremitus vokal yaitu letakkan kedua tangan pada dada pasien sehingga kedua ibu jari

pemeriksa terletak di garis tengah di atas sternum, ketika pasien menarik nafas dalam,

maka kedua ibu jari tangan harus bergerak secara simetris dan terpisah satu sama lain
dengan jarak minimal 5 cm. Getaran yang terasa oleh tangan pada saat dilakukan

pemeriksaan palpasi disebabkan oleh adanya dahak dalam bronkus yang bergetar pada

saat proses inspirasi dan ekspirasi.

3). Perkusi

Pengetukan dada atau perkusi akan menghasilkan vibrasi pada dinding dada

dan organ paru-paru yang ada dibawahnya, akan dipantulkan dan diterima oleh

pendengaan pemeriksa. Cara pemeriksa perkusi dengan cara permukaan jari tengah

diletakkan pada daerah dinding dada di atas sela-sela iga selanjutnya diketuk

dengan jari tengah yang lain.

4). Auskultasi

Auskultasi adalah mendengarkan suara yang berasal dari dalam tubuh dengan

cara menempelkan telinga ke dekat sumber bunyi atau dengan menggunakan

stetoskop. Pemeriksaan auskultasi berfungsi untuk mengkaji aliran udara dan

mengevaluasi adanya cairan atau obstruksi padat dalam struktur paru. Untuk

mengetahui kondisi paru-paru, yang dilakukan saat melakukan pemeriksaan

auskultasi yaitu mendengar bunyi napas normal dan bunyi napas tambahan.

f. Data pasien bersihan jalan napas tidak efektif termasuk dalam kategori fisiologis

subkategori respirasi, perawat harus mengkaji data gejala dan tanda mayor

minor (PPNI, 2017) meliputi :

1) Gejala dan tanda mayor


a) Subjektif : tidak tersedia

b) Objektif : batuk tidak efekti, tidak mampu batuk, sputum berlebih,

,mengi,wheezing dan atau ronkhi kering


2) Gejala dan tanda minor

a) Subjektif : dyspnea, sulit bicara, ortopnea

b) Objektif : gelisah, sianosis, bunyi napas menurun, frekuensi napas berubah, pola

napas berubah.

B. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Doenges (2012) adalah :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma,
peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan
energi atau kelemahan.
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi
perfusi ditandai dengan bunyi napas tambahan.
c. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan.
d. Resiko Infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama
(penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas (kerusakan
jaringan, peningkatan pemajanan pada lingkungan), proses penyakit kronis,
malnutrisi.

NO Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi Keperawatan Rasional


(SLKI) (SIKI)

1. Bersihan jalan nafas Setelah dilakukan asuhan Latihan Batuk Efektif Latihan Batuk Efektif
tidak efektif keperawatan ... x ... jam (l.01006)
(l.01006)
berhubungan dengan diharapkan Bersihan
bronkospasma, Jalan Napas Observasi Observasi
peningkatan produksi (L.01001) meningkat 1. Identifikasi 1. Untuk
sekret, sekresi
dengan kriteria hasil : kemampuan batuk mengetahui kemampuan
tertahan, tebal, sekresi
kental, penurunan 1. Batuk efektif batuk
2. Monitor adanya
energi atau
meningkat ke skala 4 pasien
kelemahan. retensi sputum
2. Produksi
sputum 2. Untuk
3. Monitor tanda dan
menurun ke skala 4 mengetahui adanya
gejala infeksi saluran
3. Mengi menurun napas retensi sputum pada
ke pasien
skala 4 Terapeutik
3. Untuk
4. Wheezing
1. Atur posisi semi mengetahui tanda dan
menurun ke skala 4
fowler atau fowler gejala infeksi saluran
5. Mekonium
menurun 2. Buang sekret pada napas pada
ke skala 4 tempat sputum pasien
6. Dispnea menurun
Edukasi Terapeutik
ke skala 4
7. Ortopnea 1. Jelaskan tujuan dan 1. Agar pasien

membaik ke skala 4 prosedur batuk efektif merasa aman dan

8. Sulit berbicara nyaman


2. Anjurkan Tarik
membaik ke skala 4
napas melalui 2.
dalam Agar lingkungan
9. Sianosis membaik
hidung selama 4 detik, pasien menjadi lebih
ke skala 4
ditahan selama 2 detik, bersih
10. Gelisah membaik
kemudian keluarkan dari Edukasi
ke skala 4
mulut dengan bibir
11. Frekuensi 1. Agar pasien
mencucu (dibulatkan)
napas membaik ke mengetahui tujuan dan
selama 8
skala 4 prosedur Tindakan yang
detik
12. Pola napas diberikan
membaik ke skala 4
2. Agar pasien
dapat melakukan Teknik
3. Anjurkan batuk efektif dengan
mengulangi Tarik napas mandiri kedepannya
dalam hingga
3. Agar pola napas
3 kali dan
4. Anjurkan batuk dengan frekuensi napas pasien
kuat langsung setelah menjadi sedikit
Tarik napas dalam yang ke membaik
3
4. Agar pasien lebih
Kolaborasi mudah dalam
pengeluaran secret
1. Kolaborasi pemberian
mukolitik atau Kolaborasi
ekspektoran 1. Untuk membantu
dalam pengeluaran
sekret
2. Gangguan pertukaran Setelah dilakukan asuhan Pemantauan Respirasi Pemantauan Respirasi
gas berhubungan keperawatan ... x ... jam (l.01014) (l.01014)
dengan diharapkan Pertukaran
Observasi Observasi
ketidakseimbangan
Gas
ventilasi perfusi
1. Monitor frekuensi, 1. Untuk
ditandai dengan bunyi (L.01003) meningkat
napas tambahan irama, kedalaman, dan mengetahui frekuensi,
dengan kriteria hasil :
upaya napas kedalaman, dan
1. Dispnea
menurun
2. Monitor pola napas upaya napas
menjadi skala 5
3. Monitor 2. Untuk
2. Bunyi napas
adanya mengetahui pola napas
tambahan menurun
produksi sputum pasien
menjadi skala 5 3.
Takikardia membaik Terapeutik 3. Untuk
menjadi skala 5 1. Atur interval mengetahui ada
4. Pola napas pemantauan respirasi atau tidaknya
membaik menjadi skala 5 sesuai kondisi pasien sputum pada pasien
5. Warna kulit
2. Dokumentasikan Terapeutik
membaik menjadi skala 5 hasil pemantauan
1. Agar lebih
memudahkan perawat
untuk memantau
respirasi sesuai kondisi
Edukasi pasien

1. Jelaskan tujuan dan 2. Agar perawat


prosedur pemantauan
mengetahui
perkembangan pasien

Edukasi

1. Agar pasien
mengetahui tujuan dan
prosedur pemantauan
yang dilakukan oleh
perawat
3. Defisit nutrisi Setelah dilakukan asuhan Manajemen Nutrisi Manajemen Nutrisi
berhubungan dengan keperawatan ... x ... jam (l.03119) (l.03119)
ketidakmampuan diharapkan Status
Observasi Observasi
menelan makanan. Nutrisi (L.03030)
1. Identifikasi 1. Untuk
meningkat dengan
status
mengetahui masalah
kriteria hasil : nutrisi
status nutrisi pasien
1. Porsi makan yang
2. Identifikasi alergi
dihabiskan meningkat 2. Untuk
dan intoleransi makanan
2. Kekuatan mengetahui adakah
otot
3. Identifikasi alergi pada
mengunyah meningkat 3.
makanan yang disukai pasien baik berupa
Kekuatan otot
alergi obat, makanan
menelan meningkat 4. Monitor
atau sebagainya
4. Sikap terhadap asupan makanan

makanan/minuman 3. Untuk
5. Monitor berat
sesuai dengan tujuan badan meningkatkan nafsu
kesehatan meningkat makan pasien
Terapeutik
5. Perasaan
cepat 1. Fasilitasi menentukan 4. Untuk menjaga
pedoman diet (mis. asupan makanan pasien
kenyang menurun
5. Untuk
mengontrol
6. Nyeri abdomen Piramida makanan) berat badan paasien agar
menurun tetap ideal
2. Sajikan makanan
7. Berat badan
membaik secara menarik dan suhu Terapeutik

8. Indeks Massa yang


1. Untuk menjaga
Tubuh (IMT) membaik sesuai
program diet yang
9. Frekuensi 3. Berikan makanan dijalani pasien agar tetap
makan membaik tinggi serat untuk sesuai arahan dari dokter
10. Nafsu makan mencegah
2. Untuk
membaik konstipasi
meningkatkan nafsu
4. Berikan makanan makan pasien
tinggi kalori dan protein
3. Mencegah
Edukasi konstipasi dengan

1. Ajarkan posisi menganjurkan pasien

duduk, jika mampu mengkonsumsi makanan


tinggi serat seperti apel,
2. Ajarkan diet
kacangkacangan,
yang diprogramkan
brokoli dan lainnya.
Kolaborasi
4. Pemberian
1. Kolaborasi dengan ahli makanan tinggi kalori
gizi untuk menentukan
dan protein untuk
jumlah kalori dan jenis
nutrient yang dibutuhkan, memenuhi kebutuhan
jika perlu
energi dan protein yang
meningkat, mencegah
dan mengurangi
kerusakan jaringan
tubuh dan menambah
berat badan

Edukasi
1. Untuk melatih
mobilisasi dan
memberikan rasa
nyaman pada pasien

2. Untuk tetap
menjaga pola diet yang
telah diprogramkan
dan sesuai
aturan.

Kolaborasi

1. Untuk menjaga
asupan gizi sesuai
dengan anjuran ahli gizi
mengenai jumlah kalori
dan jenis nutrient yang
dibutuhkan
4. Risiko Infeksi Setelah dilakukan asuhan Pencegahan Infeksi Pencegahan Infeksi
berhubungan dengan keperawatan ... x ... jam (l.14539) (l.14539)
tidak adekuatnya diharapkan Tingkat
Observasi Observasi
pertahanan utama Infeksi 1.Agar pasien
1. Monitor tanda dan
(penurunan kerja silia, (L.14137) meningkat mengetahui tanda dan
menetapnya sekret), gejala infeksi lokal dan
dengan kriteria hasil : gejala infeksi lokal dan
tidak adekuatnya
sistemik
imunitas (kerusakan 1. Nafsu makan sistemik
jaringan, peningkatan
meningkat 2.
pemajanan pada
lingkungan), proses Nyeri menurun
Terapeutik
penyakit kronis,
3. Bengkak menurun 4. Terapeutik
malnutrisi.
busuk 1.
Batasi jumlah
Cairan berbau 1. Untuk mencegah
pengunjung penularan penyakit ke
menurun
pengunjung yang lain.
5. Sputum berwarna 2. Cuci tangan
sebelum
hijau menurun dan sesudah kontak dengan 2. Untuk menjaga
6. Kultur sel darah pasien dan kebersihan diri
putih membaik lingkungan pasien 3. Untuk menjaga
7. Kultur darah agar pasien tetap aman
membaik 3. Pertahankan teknik
Edukasi
8. Kultur sputum aseptik pada pasien
1. Agar pasien
membaik berisiko tinggi
memahami tanda dan
9. Kultur area Edukasi gejala infeksi
luka membaik 2. Agar pasien tetap
1. Jelaskan tanda dan
10. Kadar sel darah menjaga kebersihan dan
gejala infeksi
putih
keseterilan tangan
membaik 2. Ajarkan cara
3. Agar pasien tidak
mencuci tangan dengan
batuk sembarangan
benar
4. Agar asupan
3. Ajarkan etika batuk nutrisi pasien tetap

4. Anjurkan terpenuhi

meningkatkan asupan 5. Agar asupan


cairan pasien tetap
nutrisi terpenuhi

5. Anjurkan
meningkatkan asupan
cairan
DAFTAR PUSTAKA

Manurung, Nixson. 2018. Keperawatan Medikal Bedah Jilid 2. Jakarta : Trans Info Media
Pemeriksaan fisik pada respiratori dengan link:
http://repository.poltekkesdenpasar.ac.id/2305/3/BAB%20II.pdf. Dakses pada 9
agustus 2020
Zulkifi, Maesarah. 2017. Asuhan Keperawatan Pada Pasien PPOK. Aceh. Tersedia pada
https://www.academia.edu/37689132/asuhan_keperawatan_pada_pasien_dengan
_PPOK diakses pada 5 Agustus 2020.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta: DPP Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan
Tindakan Keperawatan. Jakarta: DPP Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi dan
Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: DPP Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Nama Pembimbing/CT : Denpasar,26 Oktober 2023
Nama Mahasiswa

Anda mungkin juga menyukai